Mengupas Serba-Serbi Model Bisnis pada Startup

Startup tak melulu bicara soal merealisasikan ide menjadi sebuah produk. Founder tentu perlu memikirkan bagaimana produk atau jasa dapat dijual ke pasar, berapa biaya yang dibutuhkan, atau bagaimana cara meraup pendapatan dan keuntungan.

Hal-hal barusan sebetulnya berkaitan erat dengan model bisnis. Tanpa itu, tidak mungkin startup dapat berkembang. Maka itu, founder perlu mencari model bisnis yang tepat sesuai dengan produk atau jasa yang mereka buat.

Dalam rangkaian program inkubasi DSLaunchpad 3.0 bersama AWS, sesi #SelasaStartup kali ini akan mengupas serba-serbi model bisnis bersama Co-founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe. Simak rangkumannya berikut ini.

Menentukan model bisnis

Jefrey menilai, tidak ada formula yang mutlak tentang bagaimana menentukan model bisnis yang tepat. Idealnya, founder bisa saja membuat model bisnis untuk jangka pendek, menengah, atau panjang. Namun, berdasarkan pengalamannya menjadi entrepreneur, sulit rasanya untuk memikirkan dan merencanakan semua hal dalam jangka panjang.

Ada banyak hal tidak terduga yang terjadi di luar rencana. Untuk itu, ia menilai bahwa terkadang founder perlu menjalani dulu untuk tahu apakah cara ini tepat atau tidak.

Hal ini juga berlaku ketika Jefrey merintis venture capital melalui Alpha JWC Ventures. Kala itu industri dan ekosistem digital di Indonesia belum berkembang seperti sekarang. Ada banyak tanda tanya yang muncul ketika membangun bisnis.

“Sama seperti startup, kita tidak bisa menyontek model bisnis, bahkan dari luar negeri sekalipun, karena kita tidak tahu exactly what it is. Bagi saya, kita bisa saja membuat model bisnis jangka pendek, menengah atau panjang, tetapi seimbangkan dengan sedikit intuisi, fate, dan modal nekat,” ujarnya.

Di samping itu, founder harus yang sangat memahami tentang bisnis yang akan dijalankan dan pasar yang ingin dibidik. Dalam hal ini, VC punya peran untuk mendorong critical thinking si founder dalam mengeksekusi strategi bisnis.

“Yang dapat kami berikan sebagai saran, terutama bagi early stage, adalah memahami pasar, mau diajak brainstorming, hingga terbuka dengan kerja sama. Suksesor di Alpha JWC itu banyak, sebanyak 10% dari total portofolio kami tahun lalu menjadi unicorn. Bagi saya, suksesor itu yang terpenting punya cara berpikir yang kritis,” tambahnya.

Validasi model bisnis

Lalu, bagaimana cara memvalidasi model bisnis? Jefrey menyebut bahwa tidak ada metode pas untuk memvalidasi model bisnis. Semua itu bergantung dari kategori bisnis yang dijalani oleh founder. Ia menampik bahwa growth dan profitabilitas menjadi metrik wajib untuk memvalidasi suatu bisnis.

Ia menyotohkan ketiga portofolionya, yakni Ajaib, Lemonilo, dan Kopi Kenangan. Jika bicara growth, metrik ini mungkin bisa dipakai Ajaib dengan menggunakan jumlah unduhan aplikasi atau pengguna. Namun, metrik ini tidak berlaku bagi Kopi Kenangan mengingat startup coffee chain ini perlu mencari lokasi gerai terlebih dahulu untuk mencari transaksi.

“Sama juga dengan Lemonilo yang mungkin melihat aspek produksi [makanan]. Jadi, it’s never one size that fits all. Di sini, kami membantu founder untuk brainstorming dan [melakukan] critical thinking. Kira-kira apa playbook yang make sense [untuk bisnis mereka]? Apa saja yang bisa didorong? Ini tidak mudah,” ujarnya.

Jefrey juga menggarisbawahi pentingnya untuk menemukan pain point sebuah masalah dan mengeksekusinya dengan baik. Ia menilai, hal tersebut dapat menjadi tantangan terbesar, sekaligus berpotensi menjadi kesalahan apabila tidak dipahami benar oleh founder. Jangan sampai, kita berasumsi solusi yang dikembangkan ini diperlukan masyarakat, dapat menyelesaikan masalah mereka, dan orang mau membayar solusi yang kita buat.

Mencari investor hingga ekspansi tim

Selain model bisnis, Jefrey juga bicara soal faktor-faktor kunci lain terkait yang dapat relevan terhadap model bisnis. Ia kembali mencontohkan Kopi Kenangan yang menurutnya tetap bisa sukses tanpa keterlibatan Alpha JWC. Ia bahkan menyebut Kopi Kenangan sudah untung sebelum mendapat kucuran investasi dari Alpha JWC.

Jika tidak mencari pendanaan, ini menunjukkan cara berpikir perusahaan yang dapat grow dan profitable sendiri. Namun, untuk mencapai unicorn atau katakanlah 1.000 outlet, mungkin butuh tujuh tahun. Di sini, VC berperan untuk mengakselerasi setengah dari waktu yang mungkin ingin dicapai.

Pasalnya, pendanaan dari VC dapat membantu startup untuk memperkuat tim. “Key success factor dari startup adalah tim, dan cara terbaik untuk memakai pendanaan tersebut adalah menambah tim. Mereka lah yang akan membangun great product and marketing.” tambahnya.

Memberi impresi ke investor

Untuk mengimpresi investor, Jefrey memberikan catatan menarik sebagaimana ia lihat dari pengalamannya berjumpa dengan banyak entreprenuer selama ini. Jika bicara soal impresi dari pitch deck saja, ia pribadi akan melihat sejumlah aspek, mulai dari latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, apa saja yang telah ia kerjakan sebelumnya. Demikian pula pada problem yang ingin di-solve dan pasar yang diincar.

“Jika bicara impresi saat bertemu di 15 menit pertama, saya akan lihat apa visinya untuk tahu seberapa ambisius dia, apakah itu satu tahun saja atau lima tahun. Intinya, saya ingin tahu critical thinking mereka karena itu penting. Kalaupun tidak berlanjut ke tahap selanjutnya, saya tetap berikan feedback. Ini cara saya untuk memberikan respect karena mereka berani ambil risiko dan peduli dengan impact,” tuturnya.

Terkait latar belakang pendidikan, ia menilai bahwa hal tersebut menjadi salah satu indikator yang menentukan founder memiliki rasa tanggung jawab. Bisa saja ada founder yang punya latar belakang pendidikan biasa, tetapi meraup pendanaan besar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tidak menjadi patokan sepenuhnya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa rasa tanggung jawab ini dapat diterjemahkan sebagai upaya founder mengembangkan skala timnya. “Company pasti hire orang yang lebih pintar dari kita [founder]. Bagaimanapun juga, kita perlu bekerja sama dengan orang yang lebih pintar dari kita untuk bisa maju.”

Langkah Reynazran Royono Membangun Startup “Fita” Lepas dari Bayangan Telkomsel

Telkomsel resmi meluncurkan platform digital terbaru Fita yang bermain di segmen prevented healthcare. Sebelumnya, aplikasi Fita sudah lebih dulu hadir di Google Play Store dan Apps Store pada pertengahan tahun ini.

Salah satu yang menarik, pada acara peluncuran virtual beberapa waktu lalu, Telkomsel sekaligus memperkenalkan Reynazran Royono sebagai CEO Fita. Pria yang karib disapa Rey ini dikenal sebagai Founder & CEO Snapcart, startup yang menawarkan layanan loyalty.

Dalam wawancara khusus oleh DailySocial.id, Rey mengaku bahwa ia kini telah bekerja sepenuhnya di Fita. “Karena saya founder, tentu saja [nama saya] akan tetap ada di board Snapcart. Namun, [peran saya] hanya key decision-making, tetapi bukan operasional yang mana itu dipegang C-level,” ungkapnya.

Menurut Rey, saat itu Snapcart sempat berencana masuk ke ranah healthtech mengingat vertikal ini mengecap pertumbuhan signifikan di masa Covid-19. Terutama di segmen prevented healthcare yang disebut tumbuh dua kali lipat. Di samping itu, ia melihat supply dan demand di segmen ini belum saling terpenuhi.

Di saat bersamaan, kala itu Telkomsel juga punya rencana serupa untuk masuk ke prevented healthcare melalui Fita, dan Rey mengaku tertarik dengan rencana pengembangannya. Namun, situasi ini dinilai berpotensi menjadi distraksi bagi Snapcart yang ingin masuk ke healthtech. Maka itu, ia memutuskan meninggalkan posisinya sebagai CEO Snapcart.

Gaya startup dan ekosistem

Ada beberapa alasan menarik yang mendorong Rey untuk berlabuh ke Fita. Pertama, Telkomsel memiliki basis pengguna dan ekosistem layanan yang dapat membantunya mengembangkan Fita. Sebagai entrepreneur yang telah malang melintang di ekosistem digital  leverage tersebut sangat signifikan mengingat user base adalah salah satu metrik yang sulit di-scale di startup.

Kedua, Telkomsel disebut memberikan independensi yang besar kepada Rey dan timnya untuk mengembangkan Fita. Menurut Rey, Fita berdiri dengan menggunakan pendekatan ala startup. Secara organisasi, tim Fita yang berjumlah 40 orang itu sepenuhnya berasal dari pro hire. Telkomsel hanya menyertakan satu orang di dalamnya untuk membantu pengembangan dan sinergi Fita.

Selain itu, Telkomsel memberikan keleluasaan pada Fita untuk mengamalkan growth mentality yang lekat pada kultur startup. Hal-hal tersebut dinilai dapat membantunya untuk bereksperimen di Fita, serta leluasa menyalurkan kemampuan dan pengalamannya sebagai entreprenuer.

“Bagi saya, keberhasilan startup didorong oleh tiga hal, yaitu product market-fit, company culture, eksperimentasi dan riset tersendiri, branding, hingga user acquisition. So far, Telkomsel memiliki ketiganya dan tidak ada influence dari sisi korporasi. Agenda ini tidak mungkin di-push dari Telkomsel mengingat mereka tidak punya core di situ [healthtech],” tuturnya.

Rey mengambil contoh pada strategi branding. Menurutnya, branding yang dilakukan Telkomsel bakal menghasilkan emotional selling ketimbang jika dilakukan Fita sendiri yang menurutnya bisa lekat dengan nilai functionality. Inilah salah satu agenda besar yang ingin dicapai Fita.

Rencana jangka panjang Fita

Sejak dikembangkan tahun lalu, Fita disebut telah mencapai product market-fit. Menurut data perusahaan, Fita telah diunduh sebanyak 350 ribu kali di perangkat Android dan iOS. Kemudian, Fita juga menempati peringkat pertama kategori Fitness and Health di Google Play Store Indonesia. Menurut Rey, mengingat 94% pasar Indonesia didominasi perangkat Android, pencapaian ini menjadi signifikan, dan sekaligus membuktikan produknya diterima pasar.

Ia melihat tantangan mengembangkan produk wellness masih besar. Pasalnya, pasar healthtech Indonesia saat ini 70% masih didominasi layanan telemedicine yang akselerasinya meningkat pesat tahun lalu. Pasar wellness mulai memperlihatkan tren pertumbuhan mengingat banyak masyarakat Indonesia kini mulai memperhatikan kesehatan di era Covid-19.

Untuk itu, Rey tengah mendorong awareness Fita agar melekat sebagai produk wellness di Indonesia. Ia juga akan fokus untuk mendorong value proposition produk dan target pasar berdasarkan riset yang telah dilakukannya selama 1,5 tahun terakhir.

Pertama, Fita akan memperkuat lokalisasi konten yang dekat dengan persona orang Indonesia. Konten ini bisa berupa kegiatan olahraga, meal plan, atau community. Selain itu, ia juga akan menggarap sistem reward yang dapat diperoleh dari berbagai konten Fita. Ia berharap konsep reward ini dapat membantu membentuk kebiasaan hidup sehat orang Indonesia.

“Di sini prevented healthcare masih sangat diabaikan. Makanya, kami banyak melakukan partnership untuk menggerakkan wellness di Indonesia. Sembari mencari opportunity untuk monetisasi, kami ingin menciptakan high performance growth startup, tapi tetap sustainable,” ujar Rey.

Sumber: Telkomsel Fita
Sumber: Telkomsel Fita

Terakhir, Fita akan melakukan enhance pada fitur existing untuk meningkatkan pengalaman penggunaan. Ambil contoh, mengetahui jumlah nutrisi dan kalori pada makanan dengan teknologi AI. Contoh lainnya, pemanfaatan AI untuk mengetahui apakah gerakan olahraga yang dilakukan sudah benar.

“Kami menargetkan bisa capai satu juta pengguna dengan menambah sepuluh coach dari posisi 40 coach saat ini. Dalam jangka pendek, kami berharap bisa capture 1%-2% pangsa pasar pada 2-3 tahun ke depan. Kami ingin bereksperimen dulu, jangan sampai langsung monetisasi dengan model berbayar,” tambahnya.

Kesempatan mencari investor

Selama ini, salah satu tantangan operator seluler dalam mengembangkan produk digital adalah mencapai Return of Investment (ROI). Hal ini mengingat industri telekomunikasi merupakan salah satu sektor yang padat investasi sehingga ROI menjadi krusial.

Hal ini turut disoroti pula oleh Rey. Menurutnya, Telkomsel tidak melihat hal tersebut sebagai metrik utama pada pengembangan Fita. Sejak awal Telkomsel telah memberikan komitmen kepada Fita untuk berkembang sebagai startup. “When it comes to metrik yang terukur, kami tidak menggunakan pendapatan, tetapi user base, terutama untuk tiga tahun pertama,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rey juga menyebut ia tidak menutup kemungkinan untuk mencari investor di luar lingkup Telkomsel maupun Telkom Group, atau bahkan lepas menjadi entitas terpisah seperti halnya LinkAja (sebelumnya T-cash).

“Ada fasenya untuk ke sana jika melihat pengalaman Telkomsel terdahulu. Saya rasa ini masuk ke plan Kuncie dan Fita. Namun perlu diketahui bahwa saat ini kami belum bisa bicara soal itu mengingat Fita masih dalam struktur Telkomsel, dan terlepas dari pendekatannya sebagai startup.”

Application Information Will Show Up Here

Klinik Pintar Secures 58 Billion Rupiah Series A Funding

Healthtech startup Klinik Pintar announced the series A funding of $4.15 million or around 58 billion Rupiah. Golden Gate Ventures led the funding, with the participation of Bundamedik Healthcare System (BMHS), Skystar Ventures, and Sequis Life.

Golden Gate Ventures previously invested in Klinik Pintar in a pre-series A funding round in November 2020, along with two other investors, Venturra Discovery and Kenangan Kapital, an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his official statement, Golden Gate Ventures’ representative, Justin Hall expressed optimism about the Indonesian health industry. Hall said, Indonesia has a great potential growth and Klinik Pintar is taking part in this growth by building an integrated health ecosystem. “The previously mentioned convinces us to support Klinik Pintar in advancing the health system through this funding support,” he explained.

Meanwhile, the BMHS’ representative, dr. Ivan Sini said that his participation in Klinik Pintar funding signifies the company’s commitment to developing an integrated health service ecosystem with Smart Clinics in Indonesia. “This synergy can be started from the referral system, laboratory, and supply chain,” he said.

For information, the Smart Clinic under the auspices of PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) offers a solution through a profit sharing system with the clinic owner. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their businesses and increase value-based care.

In order to realize this integrated health ecosystem, Klinik Pintar continues to develop the Klinik OS (Operating System) digital platform that digitizes operations and empowers clinics through digital. It includes online and offline end-to-end services, comprehensive standardization of SOPs, inventory and managerial management, and digitally connecting between clinics in the network and other supporting partners.

Service development in 2022

DailySocial.id had a chance to interview Medigo’s Co-founder & CEO, Harya Bimo regarding the future business plan using this new funding. On this occasion, the man who is familiarly called Bimo emphasized that from now on, Medigo will use Klinik Pintar as the branding of its services in the future.

In accordance with its mission to become a clinic supply chain provider in Indonesia, this new funding will be used to expand the Klinik Pintar network and services. Currently, Klinik Pintar already has 120 clinics available in 60 cities throughout Indonesia.

“We have proven that the framework [through the clinical supply chain model] is successful. Therefore, in the next two years, we want to strengthen existing services by increasing the value of the Smart network through service interoperability,” he said.

One of which is service synergy with the ecosystem owned by BMHS. To strengthen this synergy, BMHS has invested in series A shares totaling 2339 shares which were issued and issued in Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, with a direct share investment of $1.5 million or equivalent to Rp21 billion on 8 November. BMHS is part of the clinic’s operational partner through the Smart Clinic digital network.

This synergy will be performed by the Bundamedik Healthcare System, which is an integrated health service ecosystem belonging to PT Bundamedik Tbk, and consists of a network of hospitals, clinics, laboratories, to medical evacuation.

His team will implement a digital-based referral system, both to hospitals and laboratories, by utilizing the ecosystem owned by BMHS. According to Bimo, so far the referral system in Indonesia is still paper-based, which is considered inefficient for patients and health workers.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

With digital referrals, doctors and health workers can see the patient’s previous track record. In another example, a patient who is referred for laboratory tests can collect the results at the Klinik Pintar.

“We are trying to empower existing clinics. Considering that not all clinics have laboratories, we take an approach with a network strategy. Now, BMHS has a similar idea to what we are looking for. Our main synergy is to address the needs in areas that so far do not have access to laboratories. We “We will develop this network synergy with BMHS. Our target next year is to build 400 clinics,” he explained.

In another use case, Klinik Pintar will also improve interoperability in the supply chain by connecting clinics and suppliers (principals). Thus, clinics can order various medical equipment and health products, such as pharmaceuticals, vaccines, syringes, and gloves.

“We want to go national now. Currently, we supply gradually in Jabodetabek. Our next target is Java and outside Java. At the very least, our target is to be able to penetrate new cities every quarter. We are also collaborating with big pharmaceutical players because our permits are not distributors,” Bimo said.

In addition, his team will open new access for maternal and child services. Bimo assessed that this segment was still underserved in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. Klinik Pintar will provide a number of services, including home care and telemedicine through video calls.

Finally, his team is also developing a number of health programs as a preventive measure for serious diseases (diabetes, hypertension, heart) through a health plan. Currently, the program is only marketed to B2B consumers.

“Many internal diseases can’t actually be handled via chat and one meeting. An offline and online approach is required, not only teleconsultation, but also monitoring. This is one of the challenges we see in hospitals and clinics, not in handling severe symptoms,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Klinik Pintar Memperoleh Pendanaan Seri A Sebesar 58 Miliar Rupiah

Startup healthtech Klinik Pintar mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $4,15 juta atau sekitar 58 miliar Rupiah. Golden Gate Ventures kembali terlibat dan kali ini memimpin pendanaan, ditambah partisipasi PT Bundamedik Tbk (BMHS), Skystar Capital, dan Sequis Life.

Golden Gate Ventures sebelumnya berinvestasi di Klinik Pintar pada putaran pendanaan pra-seri A yang diumumkan November 2020, bersama dua investor lainnya, yaitu Venturra Discovery dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam keterangan resminya, perwakilan Golden Gate Ventures Justin Hall mengungkap optimistis terhadap industri kesehatan Indonesia. Menurut Hall, potensi pertumbuhan di Indonesia sangat besar dan Klinik Pintar mengambil peran dalam pertumbuhan tersebut dengan membangun ekosistem kesehatan terintegrasi. “Hal di atas meyakinkan kami mendukung Klinik Pintar dalam memajukan sistem kesehatan melalui sokongan pendanaan ini,” paparnya.

Sementara itu, perwakilan BMHS dr. Ivan Sini menambahkan bahwa partisipasinya di pendanaan Klinik Pintar menandakan komitmen perusahaan untuk mengembangkan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi bersama Klinik Pintar di Indonesia. “Sinergi ini dapat dimulai dari sistem rujukan, laboratorium, dan supply chain,” katanya.

Sebagai informasi, Klinik Pintar di bawah naungan PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based-care.

Demi mewujudkan ekosistem kesehatan terintegrasi ini, Klinik Pintar terus mengembangkan platform digital Klinik OS (Operating System) yang mendigitalkan operasional dan memberdayakan klinik melalui digital. Digitalisasi ini meliputi layanan end-to-end secara online dan offline, standardisasi SOP menyeluruh, pengelolaan inventaris dan manajerial, dan menghubungkan antar-klinik di jaringan dan mitra pendukung lainnya secara digital.

Rencana pengembangan layanan di 2022

DailySocial.id berkesempatan mewawancarai Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo terkait rencana bisnis ke depan dengan pendanaan baru ini. Pada kesempatan ini, pria yang karib disapa Bimo ini menegaskan bahwa kini Medigo akan memakai nama Klinik Pintar sebagai branding layanannya ke depan.

Sesuai misinya untuk menjadi penyedia supply chain klinik di Indonesia, pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengekspansi jaringan dan layanan Klinik Pintar. Saat ini, Klinik Pintar sudah memiliki 120 klinik yang tersedia di 60 kota di seluruh Indonesia.

“Kami sudah membuktikan bahwa framework [melalui model supply chain klinik] ini berhasil. Maka itu, dalam dua tahun ke depan, kami ingin memperkuat layanan yang sudah ada dengan meningkatkan value jaringan Pintar lewat interoperabilitas layanan,” ungkapnya.

Salah satunya adalah sinergi layanan dengan ekosistem yang dimiliki BMHS. Untuk memperkuat sinergi ini, BMHS melakukan penyertaan saham seri A sejumlah 2339 lembar saham yang ditempatkan dan dikeluarkan dalam Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, dengan penyertaan saham langsung $1,5 juta atau setara Rp21 miliar pada 8 November lalu. BMHS menjadi bagian dari mitra operasional klinik melalui jaringan digital Klinik Pintar.

Sinergi ini akan dilakukan Bundamedik Healthcare System yang merupakan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi milik PT Bundamedik Tbk, dan terdiri dari jaringan rumah sakit, klinik, laboratorium, hingga evakuasi medis.

Pihaknya akan mengimplementasi sistem rujukan berbasis digital, baik ke rumah sakit maupun laboratorium, dengan memanfaatkan ekosistem yang dimiliki BMHS. Menurut Bimo, selama ini sistem rujukan di Indonesia masih berbasis kertas yang dinilai kurang efisien bagi pasien dan petugas kesehatan.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

Dengan rujukan digital, dokter dan petugas kesehatan dapat melihat rekam jejak pasien sebelumnya. Pada contoh lain, pasien yang dirujuk untuk melakukan tes laboratorium, dapat mengambil hasilnya di Klinik Pintar.

“Kami berupaya empower klinik existing. Mengingat tidak semua klinik punya laboratorium, kami mengambil approach dengan strategi jaringan. Nah, BMHS punya pemikiran serupa dengan yang kami cari. Sinergi utama kami untuk address kebutuhan di daerah yang selama ini tidak punya akses ke laboratorium. Kami akan mengembangkan sinergi jaringan ini bersama BMHS. Target kami tahun depan membangun 400 klinik,” jelasnya.

Pada use case lain, Klinik Pintar juga akan meningkatkan interoperabilitas di supply chain dengan menghubungkan klinik dan supplier (principal). Dengan demikian, klinik dapat memesan berbagai peralatan medis dan produk kesehatan, seperti farmasi, vaksin, jarum suntik, dan sarung tangan.

“Kami ingin go national sekarang. Saat ini, supply kami lakukan bertahap di Jabodetabek. Target kami selanjutnya adalah Jawa dan luar Jawa. Paling tidak, kami target bisa tembus kota baru setiap kuartal. Kami juga kerja sama dengan pemain farmasi besar karena izin kami bukan distributor,” ujar Bimo.

Selain itu, pihaknya akan membuka akses baru bagi layanan ibu dan anak. Bimo menilai, segmen ini masih underserved di Indonesia, terutama selama pandemi Covid-19 terjadi. Klinik Pintar akan menyediakan sejumlah layanan, termasuk home care dan telemedicine melalui video call.

Terakhir, pihaknya juga tengah mengembangkan sejumlah program kesehatan sebagai tindakan preventif penyakit berat (diabetes, hipertensi, jantung) melalui health plan. Saat ini, program tersebut baru dipasarkan ke konsumen B2B.

“Banyak penyakit dalam yang sebetulnya tidak dapat ditangani via chat dan sekali pertemuan saja. Perlu approach offline dan online, tidak hanya telekonsultasi, tetapi juga monitoring. Ini salah satu tantangan yang kami lihat di rumah sakit dan klinik, bukan di penanganan gejala berat,” katanya.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Meluncurkan Aplikasi Pencatatan Keuangan “BukuMitra”

PT Bukalapak Tbk (IDX: BUKA) resmi meluncurkan aplikasi BukuMitra yang ditujukan bagi pelaku UMKM. Sebelumnya, BukuMitra masih tergabung dalam aplikasi Mitra Bukalapak.

Melalui keterangan resminya, aplikasi BukuMitra menawarkan sejumlah fitur pengelolaan keuangan, seperti pembukuan dan pencatatan utang secara digital. Pemilik usaha mulai dari warung, kios pulsa, kedai makanan, jasa laundry, hingga social commerce dapat memanfaatkan fitur-fitur tersebut.

Ada pula fitur media yang memudahkan pengguna untuk membuat poster, katalog, kartu nama, dan spanduk untuk mempromosikan bisnis usaha ke teman atau kolega mereka.

President Bukalapak Teddy Oetomo mengatakan, aplikasi Mitra Bukalapak telah membantu 8,7 juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skala bisnisnya. Misalnya, dari warung atau toko yang awalnya hanya menjual kebutuhan sehari-hari menjadi tempat pembelian voucher game, pembayaran tagihan, hingga menjadi agen pengiriman barang.

Namun, sering kali bisnis yang sedang bertumbuh ini masih dikelola dengan metode pembukuan tradisional dengan buku tulis atau kertas. Sementara, metode ini terbilang berisiko karena bisa tak sengaja terbuang, hilang, atau ketumpahan sesuatu.

“Hal ini yang mendasari lahirnya fitur SaaS di Mitra Bukalapak. Fitur ini telah digunakan lebih dari 300 ribu pengguna untuk melalukan pembukuan dan pencatatan utang. Dengan kesuksesan ini, Mitra Bukalapak meluncurkan aplikasi BukuMitra sehingga semakin banyak pelaku usaha berskala kecil yang mengelola bisnis secara efektif dan efisien,” tuturnya.

Disampaikan Teddy, seluruh catatan pembukuan pengguna BukuMitra akan tersimpan di cloud sehingga mengurangi risiko kehilangan data apabila perangkat pengguna rusak.

Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra
Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra

Pada kesempatan sama, Komisaris Bukalapak Bambang Brodjonegoro menambahkan bahwa kehadiran aplikasi pencatatan keuangan seperti BukuMitra dapat berkontribusi dalam merealisasikan salah satu pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) yang dicanangkan oleh PBB, yaitu pertumbuhan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan.

“Terdapat 64 juta pelaku UMKM di Indonesia yang diperkirakan berkontribusi terhadap lebih dari 60% PDB negara dan mempekerjakan 97% populasi negara. Dengan aplikasi BukuMitra, ini akan memberikan peluang kepada pelaku UMKM untuk tumbuh dan sejajar dengan pelaku bisnis ritel modern. Ini tentunya akan membawa dampak positif bagi ekonomi nasional,” ujarnya.

UMKM go digital

Digitalisasi UMKM merupakan salah satu potensi yang tengah digarap secara serius oleh pelaku startup di Indonesia. Digitalisasi ini tak hanya semata ditawarkan dalam bentuk sistem pembayaran saja, tetapi layanan-layanan turunan yang relevan dengan model bisnis mereka. Seperti halnya pencatatan atau pembukuan keuangan.

Beberapa startup Indonesia yang menawarkan produk atau aplikasi sejenis di antaranya seperti Credibook, Payfazz, dan Lababook. Misalnya, Payfazz Buku, aplikasi ini menghadirkan sejumlah fitur terintegrasi bagi para agen/mitra, mulai dari laporan penjualan, laporan stok produk, pencatatan keuangan, penagihan, hingga pembayaran.

Momentum akselerasi digital ini juga tengah dimanfaatkan Pemerintah untuk mencapai target digitalisasi 30 juta UMKM di 2023. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah UMKM yang sudah on-boarding ke ekosistem digital mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total 65 juta UMKM di Indonesia. Jumlah ini naik signifikan dari 8 juta UMKM yang bergabung di platform digital pada era sebelum Covid-19.

Application Information Will Show Up Here

BNI to Enter the Digital Bank Through Mini Bank Acquisition

Another top tier bank is to enter the digital business by acquireing a mini bank. Rumor has it, PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) is to acquire Bank Mayora, a BUKU II bank with less than IDR 2 trillion core capital.

On CNBC, BNI’s President Director, Royke Tumilaar has confirmed the company’s plan to acquire a bank. He said the company had finalized the initial process, but the bank name is still undisclosed.

“We have reached an initial agreement for a bank acquisition with a strong business ecosystem to be transformed into a digital bank,” Royke said at a press conference.

He said, the digital bank is to target the MSME segment and collaborate with experienced strategic partners to develop financial technology. Royke said that technology plays an important role in digital bank management, and capable to drive more efficient operational costs than conventional banks.

In general note, Bank Mayora is a retail and consumer bank that offers a variety of financial products, ranging from loans and deposits. Some of the loan products offered include Vehicle Loans (KKB), Multi-Use Loans (KMG), and Home Ownership Loans (KPR).

Meanwhile, BNI engaged in the consumer and business segments, both through savings, deposit and credit products. The bank with a “46” logo has a strong association as a widely used banking product by students/universities.

Quoting from Investor.id, Royke had given a sign that the company would not be transformed 100% into a digital bank without branch offices, instead will develop in terms of services, business processes, and products.

He said, apart from having fairly strong legacy in Indonesia, the Government as BNI’s majority shareholder demand the bank to focus on strengthening its position further as an international bank or global bank

The battle over SME market

Throughout this year, the Indonesian banking sector has been crowded with the launch of digital banking services to corporate actions, seeking for strategic partners. Bank Jago, BCA Digital, and Bank Neo Commerce have implemented the business in this first semester.

While several other banks are looking for strategic investors to raise capital, the media conglomerate PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) recently acquired 93% of Bank Fama‘s shares. Moreover, Kredivo has gradually acquired the shares of Bank Bisnis Internasional until eventually dominating with 40% ownership.

The corporate action is being pursued to meet the core capital obligation of IDR 2 trillion by the end of this year as stated in POJK No. 12.

Almost all of the banks are busy targeting the MSME segment amidst a surge in digital acceleration during the Covid-19 pandemic. Apart from being the foundation of the Indonesian economy, MSME is a segment with certain difficulties to capital access and has not been fully digitized.

Bank

Parent/Individual Acquisition/Subsidiary Transformation
BCA Bank Royal Indonesia BCA Digital
Jerry Ng and Patrick Walujo Bank Artos Bank Jago
BRI BRI Agro Bank Raya

Non-bank

Parent Acquisition/Subsidiary Transformation
Sea Group Bank Kesejahteraan Ekonomi Seabank
CT Group Bank Harda Internasional Allo Bank
EMTEK Bank Fama N/A
Kredivo Bank Bisnis Internasional N/A

This is a reason for digital banks to cooperate with platforms with a broad customer base and service ecosystem. That way, they can easily distribute financing products and loans using this leverage.

Based on data from the Central Statistics Agency (BPS), there were 65.5 million MSMEs in 2019, an increase of 1.98% from 64.2 million in 2018. Meanwhile, only about 8 million or 13% of MSMEs are integrated or utilize digital technology.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bertambah Lagi, BNI Akan Masuk ke Bank Digital Lewat Akuisisi Bank Mini

Bertambah lagi jumlah bank besar yang akan mencaplok bank mini untuk masuk ke bisnis digital. Kali ini PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) dikabarkan akan mencaplok Bank Mayora yang merupakan bank BUKU II dengan modal inti tidak sampai Rp2 triliun.

Mengutip CNBC, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar telah mengonfirmasi rencana perusahaan untuk mengakuisisi sebuah bank. Ia mengatakan perusahaan telah menyelesaikan proses tahap awal, tetapi ia masih merahasiakan nama banknya.

“Kami telah mencapai kesepakatan awal untuk akuisisi bank yang memiliki ekosistem bisnis kuat untuk dikembangkan menjadi bank digital,” ungkap Royke dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.

Menurutnya, bank digital ini akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan teknologi keuangan. Royke menilai teknologi memainkan peran penting dalam mengelola bank digital, serta dapat menekan biaya operasional lebih efisien dibandingkan bank konvensional.

Sebagai informasi, Bank Mayora merupakan bank di bidang ritel dan consumer yang menawarkan berbagai produk keuangan, mulai dari pinjaman (lending) dan simpanan (funding). Beberapa produk pinjaman yang ditawarkan di antaranya Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multi Guna (KMG), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Sementara, BNI bermain di segmen consumer dan bisnis, baik lewat produk tabungan, deposit, hingga kredit. Bank berlogo 46 ini memiliki asosiasi kuat sebagai produk perbankan yang banyak digunakan oleh kalangan mahasiswa/universitas.

Mengutip Investor.id, Royke sebelumnya pernah memberi sinyal bahwa perusahaan tidak akan 100% berubah menjadi bank digital yang tidak memiliki kantor cabang, tetapi bertransformasi dari sisi layanan, proses bisnis, dan produk.

Selain BNI telah memiliki legacy yang cukup kuat di Indonesia, ia menyebut Pemerintah selaku mayoritas pemegang saham mengamanatkan BNI untuk fokus memperkuat posisinya ke depan sebagai bank internasional atau bank global.

Berebut pasar UMKM

Sepanjang tahun ini, sektor perbankan Indonesia telah diramaikan dengan peluncuran layanan bank digital hingga aksi korporasi untuk mencari mitra strategis. Bank Jago, BCA Digital, dan Bank Neo Commerce sudah melakukan ini di semester I ini.

Sementara beberapa bank lain tengah mencari investor strategis untuk menghimpun modal. Baru-baru ini konglomerasi media PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (IDX: EMTK) mencaplok 93% saham Bank Fama. Kemudian, ada Kredivo yang secara bertahap mengakuisisi saham Bank Bisnis Internasional hingga kemudian menjadi pengendali dengan kepemilikan sebesar 40%.

Aksi korporasi tersebut tengah dikejar untuk memenuhi kewajiban modal inti Rp2 triliun sampai akhir tahun ini sebagaimana tertuang dalam aturan POJK Nomor 12.

Hampir semuanya ramai-ramai membidik segmen UMKM di tengah lonjakan akselerasi digital selama pandemi Covid-19. Selain merupakan fondasi perekonomian Indonesia, UMKM termasuk segmen yang cukup sulit mendapat akses modal dan rata-rata belum sepenuhnya terdigitalisasi.

Perbankan

Induk/Individu Akuisisi/Anak Usaha Transformasi
BCA Bank Royal Indonesia BCA Digital
Jerry Ng dan Patrick Walujo Bank Artos Bank Jago
BRI BRI Agro Bank Raya

Nonbank

Induk Akuisisi/Anak Usaha Transformasi
Sea Group Bank Kesejahteraan Ekonomi Seabank
CT Group Bank Harda Internasional Allo Bank
EMTEK Bank Fama N/A
Kredivo Bank Bisnis Internasional N/A

Ini salah satu alasan bank digital menggandeng platform-platform yang punya basis pelanggan dan ekosistem layanan yang luas. Dengan begitu, mereka dapat mudah menyalurkan produk pembiayaan maupun pinjaman dengan leverage tersebut.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebesar 65,5 juta UMKM di 2019 atau naik 1,98% dari 64,2 juta di 2018. Sementara, baru sekitar 8 juta atau 13% UMKM yang terintegrasi atau memanfaatkan teknologi digital.

Paras Digital NFT Marketplace Platform Secures 71.8 Billion Rupiah Funding

Paras Digital’s NFT marketplace platform received of $5 million or around 71.8 billion Rupiah seed funding. It was obtained through an Initial Dex Offering (IDO) and investments by a number of investors.

As stated in the website, some of the investors involved in this round include Black Dragon Capital, Dragonfly Capital, Moonwhale Capital, Digital Renaissance, GFS Ventures, Global Coin Research, OKEx Blocdream Ventures, as well as several other venture capital and angel investors.

The Co-founder, Rahmat Albariqi said this funding will be used to scale up its business, including to expand NFT assets vertical on the NEAR Protocol, such as comics, games, and toys.

“The NFT popularity is increasing this year, and there are many opportunities we haven’t discovered. We believe [market] research and expansion into new verticals can maintain the NFT value. By adding value to digital assets, we can create a big change for NFT in the future,” says the man familiarly called Riqi.

Paras was founded in late December 2020 by Rahmat Albariqi and Afiq Shofy Ramadhan, and was fully developed by a team from Indonesia. Prior to funding, Riqi claimed to have worked on several projects with creators to create and release their IP on the NEAR Protocol.

It wants to open up opportunities for anyone with passion to develop their IP in the crypto world. Currently, Riqi and his team are pushing for the development of crypto-natives IP to be built on Paras.

“We aim to be a pioneer in the transformation of games, comics, toys, and works through smart contract capabilities and blockchain technology. Therefore, we want to open up a lot of access by offering content through various media,” he said.

Several local platforms have started to initiate a marketplace-based NFT platform. Two of them are Tokomall by Tokocrypto and Kolektibel.

Digital comic project and target market

In separate occasion, Riqi revealed that his team is currently working on three digital comic projects using NFT. The first Paras Comic project has just launched and the content is created by in-house creators.

Meanwhile, the majority of Paras users come from crypto-native and tech savvy level. However, Riqi said that the platform has started to be used by early adopters not new to blockchain and cryptocurrency technology.

Paras Digital will expand NFT assets to multiple verticals, such as comics and games

“We are targeting the pop-culture enthusiast market, such as fandom and gamers with a focus on China and Southeast Asia. To date, our total sales volume has reached $550 thousand from a total of 400 thousand transactions,” he said. Since Paras is built on the NEAR Protocol, this transaction is only available using NEAR cryptocurrency.

Riqi said that crypto volatility remains a different challenge. Especially when the crypto market declines, transactions and sales will automatically follow. However, he admits that he is passionate about pursuing the crypto world considering that there is always something new in the blockchain ecosystem.

“This requires us to be constantly learning and innovating. Even though most of Paras’ core team are from Indonesia, we still have to update about innovations happening in other parts of the world. Not to mention about the time difference between Indonesia and several countries as ‘blockchain epicenters’ like Lisbon and the United States,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Digital 101: Ecosystem and Future Prospect

In the last three years, the Indonesian banking industry has been stirred with the rise of digital banks, both in the form of new banks and conversions from existing banks. As a first step, the Government released a new regulation that is expected to accommodate the needs of digital bank players through the Financial Services Authority (OJK).

POJK Number 12/POJK.03/2021 contains various provisions related to the establishment of banks and capital. Among those are the provisions for the establishment of two types of digital banks. First, the establishment of a new bank as a digital bank and second, the transformation of existing commercial banks into digital banks

In addition, the new rules are also to provide clear boundaries regarding the digital banking business considering that this trend is still relatively new in the Indonesian banking industry.

In its efforts, digital banks continue to provide literacy, therefore, people understand the business and services they run. It is while taking advantage of digital finance rapid acceleration during the Covid-19 pandemic. Based on the FICO survey in 2020, 54% of Indonesian consumers prefer to use digital channels to interact with banks, 3% mobile banking, 7% internet banking, and 14% through telephone banking.

However, we cannot forget the large groups of Indonesian people who are more comfortable with financial transactions by visiting ATMs or branch offices.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) held a journalistic training to provide an in-depth understanding of digital banking. DailySocial had the opportunity to participate in the training held in Bali.

Several prominent observers participated, including the Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor Poltak Hotradero, and the Director of the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Digital bank perception

Many Indonesian people recognize digital banks as digital banking services. Also, considering it is still a brand-new business model, the understanding of digital banking is still considered blurry among the public.

Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mentions a definition to significantly distinguish digital and conventional banks. He said, a digital bank is defined as a bank along with its services where we no longer need to think about where the head office, branch offices, the number of ATMs, including the number of employee.

Similar to the GoPay and OVO digital wallet platforms, we have no idea where the money stored. With a decade of internet and smartphone adoption phenomenon, he considered the banking business would remain the same, but the delivery is started shifting.

In his opinion, this perception is reasonable considering that people are used to transacting at banks. Bank is identified as financial institution with branch offices and head office. Unlike the pre-digital era, banking competition is clear from the bank efforts to build an ecosystem. In the context of conventional banks, its ecosystem is branch offices and ATMs.

To date, the use of ATM started to be irrelevant. People are getting used to making financial transactions through mobile banking platforms and digital wallets. The banking industry has experienced massive adoption during the pandemic.

Based on OJK data, a total of 2,593 branch office networks were closed from 2017 to August 2021. These branch offices are closed in line with the bank’s digital transformation as seen from the increasing volume of digital transactions.

Piter said, whether conventional banks have not transformed into digital banks today, it does not mean they have failed to digitize. It’s more of a competition failure. It should be noted, the banking advantage factor has changed, things excelled in the past, could be a burden in the era of the digital ecosystem.

“This is not a sprint, but a marathon, determined by resilience. Moreover, digital banking is still a brand-new trend in Indonesia. Therefore, this is the reason for established banks to be prepared, not directly face-to-face but through proxies or subsidiary,” said Piter.

The above explanation is a reminiscent of Bank Jago’s Founder Jerry Ng hypothesis when he decided to acquire Artos Bank and change its name. Jerry considered Bank Artos have quite small legacies (branch offices, ATMs, and HR). In this case, his team can develop technology from scratch instead of taking a bank with thousands of branch offices.

Digital bank study case

Moreover, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor, Poltak Hotradero highlighted the digital ecosystem as one of the key factors in digital banks. He took several examples of successful digital banks in the world that apply a similar model, for example KakaoBank from South Korea.

KakaoBank was founded in 2016 and is owned by internet giant Kakao Corp. In its early days, KakaoBank recorded extraordinary achievements. Within five days, KakaoBank reached 1 million users.

KakaoBank also recorded financial performance above the industry average. For example, deposit growth was at 13.65% from the industry average at 11.98%. Also, KakaoBank’s NPL was at 0.26% where the industry reached 1.78%. Meanwhile, income fee reached 30.16% of the industry’s 28.02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Source: Boston Consulting Group

For Poltak, KakaoBank’s success also influenced by the large digital ecosystem owned by its parent company. Kakao has a diverse service portfolios, such as chat services, fintech, e-commerce, and games.

“The internet evolution has brought changes in people and money. Machines are integrated with each other thanks to the internet. This is the foundation for the development of digital banks where payments, liquidity, and analytics will be in the cloud. In other words, technology enables banks [digital] to be able to scale up faster,” he said.

In the future, Poltak mentioned the competition of three types of banks, conventional banks, digital banks, and embedded banks. He defines embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) as a service that has been operating digitally since day one and has entered the (native) ecosystem. He also said that embedded banks would become part of the plumbing system for corporate or individual financial services.

Source: FT Partners Research

“Digital platforms will facilitate synergies with other digital financial services, such as investment and insurance services. However, it is important to note that the biggest cost and risk of the digital transition is failure to maintain market share and segments. These factors can turn banks irrelevant,” he added.

Therefore, he highlighted that digitalization is a competitive necessity. We should not let the financial sector only delegate its role through banks, given the huge business potential and services. He believes market expansion is important for developing digital banks considering a large number of unexplored market segments in Indonesia and can only be served through digital.

Digital bank projection

According to his study, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira divides digital banks into three models, direct banks, neobanks, and challenger banks.

He explained that direct banks enlarge opportunities for banking services, such as savings and digital loan channeling. Furthermore, neobank operates as a fully digital bank, without branch offices, but with a mobile application. Meanwhile, challenger banks are said to be revolutionizing the way transactions, new loan models, and personal finance.

Bhima said the global potential accumulation of challenger bank and neobank markets could reach $578 billion in 2027, according to a Medici Research report.

We try to take other sources to provide a thorough definition, especially on neobanks and challenger banks. Citing from FinTech Magazine, neobank offers flexibility to various services, including payroll and expense management. In addition, neobank also offers corporate financial solutions to address the challenges of MSMEs.

The API presence helps to integrate business flows with banking requirements. However, neobanks do not have a banking license as they operate by relying on partner banks. Therefore, they cannot offer traditional banking services.

Meanwhile, challenger banks use technology to streamline the banking process. However, challenger banks also maintain a physical presence to operate fintech services. The challenger banks scope is generally much smaller than the mainstream banking sector. It is estimated that there are currently 100 challenger banks globally.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Unlike neobank, challenger bank has a bank license and can offer customers a wide range of traditional and digital banking services. These traditional banking services can be accessed and utilized more accommodatively than commercial banks.

Furthermore, Bhima considered that digital banks offer a number of advantages, both for individuals and business players. At the individual level, digital banks increase customer literacy in other financial products, such as investments. According to World Bank data in 2020, the share of stock market capitalization to GDP is still relatively small. The emergence of digital banks is projected to encourage investment interest.

In addition, digital banks can encourage financial control efforts in the MSME sector with financial transparency and efficiency. Moreover, business players can get access to financing channeled by digital banks through channeling schemes.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
Neobank evolution . Source: PwC

“To date, banks do not compete with technology, but with high interest rates. Moreover, digital bank suddenly appeared, offering easy services and access to capital. Currently, Indonesia has 65 million MSMEs and some of them are yet to receive loans. Digital banks can add to that financing capacity. If Indonesia wants to restore the economy to the level of 5%, its credit growth must triple,” he explained.

Based on data-driven credit scoring, digital banks can continue to grow by extending credit to unbankable segments. In the future, this loan disbursement can use the customer transaction rating indicator on e-commerce, food delivery, or ride-hailing platforms.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform Marketplace NFT “Paras Digital” Peroleh Pendanaan 71,8 Miliar Rupiah

Platform marketplace NFT Paras Digital memperoleh pendanaan tahap awal (seed) sebesar $5 juta atau sekitar 71,8 Miliar Rupiah. Pendanaan ini diperoleh melalui Initial Dex Offering (IDO) dan investasi sejumlah investor.

Sebagaimana disampaikan dalam blognya, beberapa investor yang terlibat dalam putaran ini di antaranya Black Dragon Capital, Dragonfly Capital, Moonwhale Capital, Digital Renaissance, GFS Ventures, Global Coin Research, OKEx Blocdream Ventures, serta beberapa venture capital dan angel investor lainnya.

Menurut Co-founder Rahmat Albariqi, pendanaan ini akan digunakan untuk meningkatkan skala bisnisnya, termasuk memperluas vertikal aset NFT pada NEAR Protocol, seperti komik, game, dan mainan.

“Popularitas NFT terus meningkat tahun ini, dan kami melihat ada banyak peluang yang belum kami temukan. Kami yakin riset [pasar] dan perluasan ke vertikal baru dapat menjaga nilai NFT. Dengan menambah nilai ke aset digital, kami dapat menciptakan perubahan besar bagi NFT di masa depan,” ujar pria yang akrab disapa Riqi ini.

Paras didirikan pada akhir Desember 2020 oleh Rahmat Albariqi and Afiq Shofy Ramadhan, dan sepenuhnya dikembangkan oleh tim dari Indonesia. Sebelum memperoleh pendanaan, Riqi mengaku telah mengerjakan beberapa proyek bersama kreator untuk membuat dan merilis IP mereka pada NEAR Protocol.

Pihaknya ingin membuka kesempatan bagi siapapun yang memiliki semangat mengembangkan IP miliknya di dunia kripto. Saat ini, Riqi bersama tim tengah mendorong pengembangan crypto-natives IP yang akan dibangun di atas Paras.

“Kami ingin mencoba menjadi pelopor transformasi pada game, komik, mainan, dan karya lewat kemampuan smart contract dan teknologi blockchain. Maka itu, kami ingin membuka banyak akses dengan menawarkan konten melalui berbagai media,” tuturnya.

Beberapa platform lokal juga mulai menginisiasi platform NFT berbasis marketplace. Dua di antaranya Tokomall milik Tokocrypto dan Kolektibel.

Proyek digital comic dan target pasar

Dihubungi secara terpisah, Riqi mengungkap bahwa pihaknya saat ini tengah menggarap tiga proyek digital comic dengan menggunakan NFT. Proyek perdananya Paras Comic baru saja meluncur yang mana kontennya dikerjakan oleh kreator in-house.

Adapun, mayoritas pengguna Paras berasal dari kalangan crypto-native dan tech savvy. Namun, Riqi menyebut platformnya mulai digunakan oleh kalangan early adopter yang belum awam terhadap teknologi blockchain dan cryptocurrency.

Paras Digital NFT
Paras Digital akan memperluas aset NFT ke beberapa vertikal, seperti komik dan game

“Kami membidik pasar pop-culture enthusiast, seperti fandom dan gamer dengan fokus pada Tiongkok dan Asia Tenggara. Hingga saat ini, total volume penjualan kami mencapai $550 ribu dari total 400 ribu transaksi,” tuturnya. Mengingat Paras dibangun di atas NEAR Protocol, transaksi jual-beli ini baru bisa menggunakan cryptocurrency NEAR.

Riqi menilai volatilitas kripto tetap menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ketika pasar kripto menurun, otomatis transaksi dan penjualan akan mengikuti. Kendati begitu, ia mengaku bersemangat menekuni dunia kripto mengingat selalu ada hal baru di ekosistem blockchain.

“Ini yang mengharuskan kami untuk constantly learning and innovating. Meski kebanyakan core team Paras berasal dari Indonesia, kami tetap harus update tentang inovasi yang terjadi di belahan dunia sana. Belum lagi bicara soal perbedaan waktu antara Indonesia dan beberapa negara yang menjadi ‘epicenter blockchain‘ seperti Lisbon dan Amerika Serikat,” tambahnya.