Layanan E-money LinkAja Resmi Meluncur, Dapat Dipakai Bertransaksi di Luar Negeri

Setelah sempat tertunda selama beberapa bulan, layanan fintech LinkAja akhirnya resmi meluncur pada Minggu (30/6). Peluncuran ini turut disaksikan langsung Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Menkominfo Rudiantara di Gelora Bung Karno, Jakarta.

Dalam sambutannya, CEO LinkAja Danu Wicaksana mengatakan bahwa kehadiran LinkAja membuka peluang untuk meningkatkan layanan inklusi keuangan di Indonesia yang saat ini terbilang rendah. Per 2018 tercatat 76 persen transaksi di Tanah Air masih didominasi uang tunai.

LinkAja diharapkan dapat menjadi agen pembangunan nasional dan membantu visi pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan Indonesia menjadi 75 persen pada akhir tahun ini.

Pada peluncuran ini, Danu turut memperkenalkan fitur terbaru LinkAja, yakni bertransaksi di luar negeri. Saat ini LinkAja baru tersedia di Singapura dan telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi Singtel.

“Jadi ada dua hal terkait layanan LinkAja di luar negeri. Pertama, remitansi dari luar ke dalam negeri. Kedua, membayar merchant di luar negeri dengan aplikasi LinkAja,” ungkap Danu kepada DailySocial.

Terkait layanan remitansi, perusahaan mengklaim menjadi satu-satunya layanan uang elektronik yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura.

Danu belum dapat memaparkan lebih lanjut mengenai strategi ekspansinya di luar negeri. Akan tetapi, LinkAja memiliki peluang untuk mencaplok pangsa pasar internasional, terutama basis pengguna remintasi Telkom dan layanan seluler Telkomsel yang bekerja di luar negeri atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Fitur unggulan lainnya adalah tarik tunai dengan menggunakan smartphone. Fitur ini memungkinkan pengguna menarik uang tunai tanpa harus membawa kartu debit di lebih dari 40 ribu ATM Link milik bank-bank pelat merah.

Seperti diketahui, LinkAja merupakan transformasi layanan pembayaran elektronik dari Tcash milik Telkomsel. Layanan berbasis Quick Response (QR) Code ini diumumkan pada Februari lalu dan sudah dapat dipakai untuk bertransaksi oleh pengguna sejak awal Maret.

LinkAja dikelola oleh PT Fintek Karya Nusantara atau Finarya yang merupakan perusahaan kongsi dari empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN), Telkomsel, Pertamina, Jasa Marga, dan Jiwasraya. LinkAja menjadi strategi untuk melawan dominasi Go-Pay dan OVO di pasar uang elektronik saat ini.

Sekarang LinkAja telah mengantongi 22 juta pengguna. Dari sisi kemitraan, LinkAja telah bekerja sama dengan lebih dari 15.000 merchant, pembayaran di 400 tagihan, dan 20 e-commerce di Indonesia. Selain itu, LinkAja juga memiliki fitur Cash in Cash Out (CICO) di lebih dari 100 ribu titik.

“Kami berfokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat. Salah satunya dengan digitalisasi SPBU bersama Pertamina, pembayaran nirsentuh di jalan tol dengan Jasa Marga, dan pembayaran digital di berbagai moda transportasi publik, seperti kereta,” papar Danu.

Application Information Will Show Up Here

Yuna & Co: Analisis Prediktif Menjadi Model Bisnis Menjanjikan dari Pemanfaatan AI

Yuna & Co merupakan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna dan juga pertama di Indonesia. Aplikasi ini mengandalkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memperoleh data tentang preferensi gaya pakaian pengguna.

Memasuki tahun keduanya, Yuna & Co telah melayani kebutuhan styling sebanyak 3000 pengguna wanita. Bagi perusahaan, angka tersebut merupakan pencapaian baik dengan dukungan 21 karyawan. Itu sudah termasuk beberapa personal stylist yang membantu kurasi pakaian pengguna.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja bicara tentang pesatnya perkembangan e-commerce di Indonesia yang mendorong perusahaan untuk dapat memberikan layanan fashion yang lebih personal kepada konsumen.

Sebagaimana kita tahu, e-commerce merupakan lokomotif industri digital di Indonesia. Riset Google Temasek memprediksi nilai transaksi e-commerce di Indonesia berdasarkan Gross Merchandise Value (GMV) bakal mencapai $53 miliar atau sekitar Rp 758 miliar di 2025.

Pria yang karib disapa Zendy ini berujar bahwa konsumen saat ini sudah jauh lebih matang. Konsumen dianggap sudah lebih paham apa yang mereka inginkan dibandingkan beberapa tahun silam saat industri e-commerce terbilang masih baru.

Akan tetapi, maraknya pemain e-commerce atau marketplace saat ini dinilai memberikan terlalu banyak pilihan kepada konsumen. Menurutnya, pemain di bisnis ini harus dapat memberikan yang lebih personal kepada setiap konsumen mereka.

“Sekarang konsumen sudah mulai terbiasa dan percaya untuk bertransaksi online. Malah konsumen punya begitu banyak pilihan setiap harinya. Bahkan terlalu banyak pilihan kadang bikin mereka bingung. Makanya, sudah saatnya kita bisa memberikan elemen personal untuk setiap konsumen,” jelasnya.

Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, Yuna & Co belum memiliki standar atau pengukuran tertentu. Akan tetapi, perusahaan tetap berpatok pada kepuasan konsumen sebagai Key Perfomance Indicator (KPI) utama.

“Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, sebetulnya teknologi AI kami masih dalam tahap pembelajaran. Tapi kami tidak akan berhenti berevolusi,” ungkapnya.

Kolaborasi dan bisnis analisis prediktif

Saat ini, Yuna & Co masih mengandalkan transaksi penjualan Matchbox sebagai model bisnis utamanya. Matchbox merupakan paket berisi satu set pakaian yang dipilih stylist Yuna & Co berdasarkan kebutuhan/selera/kepribadian dan ukuran tubuh pengguna.

Sebetulnya, perusahaan berminat untuk menerapkan sistem berlangganan (subscription). Apalagi, tingkat ketertarikan konsumen dinilai sangat tinggi terhadap produk ini. Akan tetapi, perusahaan ingin fokus terhadap penambahan pengguna baru, kolaborasi brand, dan edukasi pasar di tahun ini.

Untuk memperkuat bisnisnya di masa depan, Zendy melihat analisis prediktif sebagai model bisnis menjanjikan yang dapat menghasilkan pendapatan baru. Dengan mengandalkan data yang dimilikinya, analisis prediktif menjadi use case yang sangat memungkinkan dari pemanfaatan teknologi AI.

Selain itu, analisis prediktif juga dapat diimplementasikan untuk kebutuhan yang lebih luas, misalnya menurunkan jumlah inventory, meningkatkan kepuasan pelanggan, menurunkan item return yang menjadi biaya besar bagi perusahaan maupun konsumen.

“Analisis prediktif itu tidak hanya digunakan perusahaan kami, tetapi juga dapat menguntungkan ekosistem secara keseluruhan. Dengan data ini, kami harap dapat menguntungkan dan mengedukasi pemain industri besar, seperti UKM di industri tekstil,” jelas Zendy.

Application Information Will Show Up Here

PlayDay Live Strategy Targeting User Growth with Various Content

After a year operation, the video streaming platform PlayDay Live has five interactive and one recorded programs. The company plans to add more program, a live auction in 2019.

PlayDay Live’s Founder and CEO, Calvin Kizana said, their team is still focusing on user growth. Therefore, a startup under PT Inovidea Magna Global presents various content to increase viewers and new users.

First established, PlayDay Live aired one program, a Trivia or known as interactive quiz. It was chosen as pilot because it’s simple and concise for Indonesians

In addition, there are four other interactive programs, Kompakan (polling), Wagelaseh (fun fact), ShopDay (home shopping), and Kongkow (talk show). Those five are live programs, with a presenter who interacts with concurrent users.

Moreover, PlayDay Live is currently released recorded and interactive films. In this program, the user has given options and decided on how it ends.

“This year we recreate the app because the old version only displayed Trivia quiz, while now we have two new content, interactive film and live auction to be released,” he said on an interview with DailySocial.

“Our business model is still focusing on new user acquisition. However, there are some ads. Target [new user] per program is as much as possible. It must be two to three times up from our average viewers,” he added.

In addition, PT Inovidea Magna Global is also the developer of PicMix photo sharing app. The app had its time with “Blackberry era”, it was then the company acquires dozens of users without any promotion.

Due to the struggle to monetize PicMix, they later developed PlayDay Live with concern to be its leading business in the future. PlayDay Live is available in the app version (Android and iOS) and to be followed in the mobile web version.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Strategi PlayDay Live Incar Pertumbuhan Pengguna dengan Konten Variatif

Setelah satu tahun mengudara, platform video streaming interaktif PlayDay Live telah memiliki lima program interaktif dan satu program recorded. Perusahaan juga berencana menambah satu program lagi, yakni live auction di tahun 2019.

Founder dan CEO PlayDay Live Calvin Kizana mengungkapkan, pihaknya masih fokus terhadap penambahan jumlah pengguna. Maka itu, startup yang bernaung di bawah PT Inovidea Magna Global ini menghadirkan konten lebih beragam untuk meningkatkan jumlah viewer dan pengguna baru.

Saat awal berdiri, PlayDay Live menayangkan satu program, yakni Trivia atau kuis interaktif. Program kuis tersebut dipilih sebagai pilot karena dinilai mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia.

Selain Trivia, kini PlayDay Live menayangkan empat program interaktif lain, yaitu Kompakan (jajak pendapat), Wagelaseh (tayangan fun fact), ShopDay (home shopping), dan Kongkow (talkshow). Kelima program ini ditayangkan live, dengan presenter yang berinteraksi dengan concurrent user.

Di samping itu, PlayDay Live juga baru merilis tayangan film dengan format recorded dan interaktif. Pada program ini pengguna diberikan pilihan dan dapat menentukan akhir dari film.

“Tahun ini kami rombak aplikasi karena versi lama hanya [ada] kuis Trivia, sedangkan saat ini kita ada dua konten baru, yakni film interaktif dan live auction yang akan segera dirilis,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.

“Model bisnis kami masih sama, monetisasinya seperti televisi, yakni iklan dan sponsor. PlayDay Live juga punya In-App-Purchase untuk beli extra life, shout box, eraser, yang dapat digunakan untuk mengikuti program Trivia,” ungkapnya.

Sejak berdiri pada Juni 2018, kini PlayDay Live telah mengantongi 500 ribu pengguna dengan 700 lebih live show telah disiarkan. Total penonton concurrent saat ini berkisar 12.000-20.000an pada setiap show per program.

“Saat ini kami masih fokus untuk akuisisi pengguna baru. Jadi terkadang ada selipan iklan. Target [pengguna baru] per program mau sebanyak-banyaknya. Yang pasti dua hingga tiga kali lipat dari rata-rata viewer kita,” tambah Calvin.

Sekadar informasi, PT Inovidea Magna Global juga merupakan pengembang aplikasi jejaring berbagi foto PicMix. Aplikasi ini sempat berjaya di Indonesia “di era BlackBerry”, saat itu perusahaan dapat mengantongi ribuan pengguna tanpa mengeluarkan biaya untuk promosi.

Karena sulit memonetisasi PicMix, perusahaan akhirnya mengembangkan platform PlayDay Live yang diyakini dapat menjadi bisnis andalan di masa depan. Adapun PlayDay Live hadir dalam bentuk aplikasi (Android dan iOS) dan akan hadir dalam versi mobile web.

Application Information Will Show Up Here

Tren “New Retail” dan Pemberdayaan Pedagang Tradisional

Sejumlah stakeholder memprediksi new retail bakal menjadi the next big thing setelah e-commerce dan fintech di Indonesia. Prediksi ini sejalan dengan kemajuan internet dan perubahan gaya hidup masyarakat di era digital.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca memproyeksikan akan ada perubahan signifikan terjadi terhadap perkembangan new retail di Indonesia dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

“Perubahan ini dipicu oleh kemajuan infrastruktur digital yang akan mendorong lebih banyak pelaku usaha dalam negeri membuat produk lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal juga,” ungkapnya saat menjadi pembicara di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

New retail merupakan sebuah konsep yang disampaikan pertama kali oleh Co-founder Alibaba, Jack Ma. Mengutip Forbes, Ma menyebutkan konsep ini merupakan ‘jelmaan’ baru dari industri e-commerce, tidak ada lagi batas antara layanan online dan offline.

Meleburnya batasan ini sejalan dengan tingginya fokus penyedia layanan dalam memenuhi kebutuhan personal dari konsumen. Selain itu, Ma menilai new retail menjadi fase krusial terhadap kebangkitan ritel fisik dan berkembangnya ritel yang perlahan mulai terdigitalisasi.

Di Indonesia, industri ritel bersaing dengan e-commerce. Peritel tradisional dituntut untuk menggabungkan teknologi untuk menarik konsumen. Teknologi dapat membantu meningkatkan pengalaman berbelanja secara digital di toko fisik. Apalagi konsumen kini menuntut pelayanan yang lebih personal.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Willson menilai saat ini tren new retail di Indonesia dalam jangka pendek mulai bertumbuh. Sebagai contoh, startup Fore Coffee, yang juga dikembangkan East Ventures, menggunakan pendekatan digital dalam memasarkan produknya.

Dalam tiga bulan, Fore Coffee telah mengantongi unduhan aplikasi sebanyak 500 ribu dengan 40 outlet dalam tiga bulan. “Ini termasuk pencapaian yang sangat cepat. Dulu mungkin butuh dua sampai empat tahun untuk melakukan integrasi online dan offline seperti ini,” ungkap Willson.

Untuk mendorong new retail, Indonesia tidak harus sepenuhnya berkiblat ke Tiongkok, seperti Alibaba dan JD. Pasalnya, new retail di Tiongkok bukan lagi sebatas konsep. Di sana, industri ini sudah jauh lebih canggih berkat dukungan infrastruktur digital dan terintegrasinya penyedia produk dengan sistem, seperti payment gateway.

“Mereka sangat advance secara infrastruktur, dan penduduknya jauh lebih homogen dibandingkan kita. Kita tidak pakai kiblat, tetapi dengan pendekatan progresif-pragmatis,” ujarnya.

Warung Pintar menjadi model new retail di Indonesia

East Ventures tak hanya menjadi investor dan venture builder di Fore Coffee, tetapi juga Warung Pintar. Jika Fore Coffee memiliki layanan berbasis aplikasi dan memiliki toko fisik, Warung Pintar merupakan warung yang mengakomodasi pembayaran berbasis digital.

Ia menilai konsep new retail dapat memberdayakan usaha dan warung kecil di masa depan. Warung Pintar sebagai model new retail di Indonesia dinilai dapat mempercepat kesempatan berusaha bagi banyak orang, meningkatkan daya saing warung kecil dibanding peritel modern, dan inklusi teknologi dalam waktu singkat dan tepat sasaran.

Selain itu, menurutnya new retail juga dapat menciptakan sejumlah terobosan bagi para pelaku bisnis digital yang memiliki kemampuan teknologi, modal, dan keinginan untuk membantu rakyat kecil.

“Bayangkan sebanyak 1.200 pemilik warung jadi jago pakai perangkat mobile untuk mengurusi warungnya. Rakyat kecil tidak mungkin naik kelas kalau tidak dibantu.” paparnya.

Tentu untuk mendorong new retail sebagai sebuah bisnis baru, banyak PR yang perlu diselesaikan di Indonesia. Di antaranya, membangun infrastruktur fisik dan akses internet, meningkatkan kualitas produk, meningkatkan kapabilitas UKM, meningkatkan jumlah talenta lokal di bidangnya, serta membentuk regulasi untuk memayungi industri ini.

Enam Cara Menentukan Program Akselerasi Startup yang Tepat

Ada banyak opsi yang dapat dilakukan untuk membuat bisnis startup berkembang. Mendapatkan pendanaan tentu adalah salah satunya. Namun, tidak semua startup mampu untuk mendapat akses terhadap para pemodal.

Di samping pendanaan, tidak semua startup juga dibekali dengan knowledge dan model bisnis yang baik dalam membangun bisnis. Untuk menjawab hal ini, program akselerator menjadi sebuah opsi yang patut dicoba.

Di Indonesia, ada banyak sekali program akselerasi startup, misalnya 1000 Startup, Bekraf for Pre-Startup (Bekup), GnB Accelerator, Plug and Play Indonesia, hingga Grab Ventures Velocity (GVV) milik Grab.

Pada dasarnya, program akselerator bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan startup. Bagi Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata, program akselerator tak hanya untuk mendorong pertumbuhan startup, tetapi juga memaksimalkan potensi dan memberikan dampak luas.

Umumnya, penyedia program akselerasi startup akan menyediakan dukungan tambahan berupa mentorship, data perusahaan, dan jaringan yang lebih luas. Kategori dan status pendanaan startup yang diincar tergantung visi dan misi program.

Bagi Anda yang mulai tertarik untuk mengikutinya, DailySocial merangkum enam cara untuk menentukan program akselerasi yang tepat sesuai kebutuhan startup Anda. Simak ulasannya sebagaimana kami kutip dari Foresight:

Riset dulu sebelum memilih

Mengingat ada banyak pilihan, baiknya Anda menggali informasi pada program-program yang diincar. Setiap program pasti memiliki fokus dan kriteria yang berbeda-beda. Ini akan membantu untuk dapat menentukan program yang mendekati kebutuhan Anda.

Sebagai contoh, GVV angkatan kedua yang baru diluncurkan beberapa bulan lalu mencari startup berstatus pendanaan post seed dan akan fokus pada inovasi dan penyelesaian masalah di bidang agrikultur dan pemberdayaan usaha mikro.

Pada GVV angkatan pendahulunya, tidak ada kriteria tertentu, baik dari status pendanaan, kategori bisnis, maupun fokus masalah yang ingin diselesaikan.

Contoh lainnya, Digitaraya Powered by Google Developers Launchpad mengadakan program pelatihan selama satu bulan agar dapat menelurkan startup berkualitas setiap bulannya. Startup yang dicari adalah startup yang siap untuk mendapatkan investasi Seri A.

Yang terpenting adalah jangan memilih program akselerasi berdasarkan pemikiran teman atau kerabat Anda. Pilihlah sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi saat itu. Juga, anggap akselerator sebagai partner jangka panjang Anda dalam membangun bisnis di masa depan.

Pikirkan saat memilih akselerator lokal

Sejumlah akselerator memusatkan kegiatannya pada kota tertentu. Maka tak heran domisili menjadi salah satu kriteria di beberapa program. Program Startup Surabaya, misalnya, memprioritaskan penduduk dengan KTP Surabaya.

Apa kaitannya dengan hal ini? Ketika memilih program akselerator di kota yang berbeda dengan lokasi bisnis Anda, itu artinya Anda perlu pindah sementara. Bisa jadi programnya sesuai dengan yang Anda inginkan. Akan tetapi, keputusan ini akan memengaruhi hidup dan keberlangsungan startup Anda.

“Jika Anda ingin mengoptimalkan kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang, Anda perlu tahu apakah lokal akselerator yang dipilih menjadi opsi terbaik untuk mencapai itu.”

Kecocokan itu penting

Kecocokan yang dimaksud bisa mencakup fokus atau model bisnis dan status pendanaan startup. Anda tahu bahwa tidak semua akselerator menawarkan kriteria yang sama.

Ada akselerator yang tidak membatasi kategori startup, ada juga yang memiliki fokus pada industri atau vertikal bisnis tertentu. Selain itu, beberapa akselerator memilih startup di tahap awal (seed), tetapi akselerator lain lebih mengutamakan startup yang sudah punya model bisnis dan traction.

Mengapa ini menjadi penting? Setiap perusahaan dan investor punya ekspetasi dan pencapaian tersendiri. Akselerator yang mengincar startup berstatus pendanaan post seed bisa jadi menginginkan mereka untuk me-leverage aset perusahaan maupun meningkatkan pertumbuhan.

Anda juga perlu memerhatikan bagaimana akselerator mendeskripsikan programnya, bagaimana program ini berdiri, siapa saja mentornya. Ini akan menjawab apakah program ini cocok bagi startup Anda.

Akselerator menentukan pengalaman

Bergabung dengan program akselerasi memberikan Anda kesempatan untuk bertemu, belajar, hingga meminta masukan dan saran dari para akselerator yang menjadi pemain penting dalam ekosistem startup.

Secara langsung, Anda akan berinteraksi dengan mereka setiap hari dan tentunya akan menjadi bagian penting dalam pengalaman akselerasi Anda. Mereka juga yang akan membantu Anda dalam membuat keputusan.

Maka itu, Anda perlu benar-benar memperhatikan apapun yang mereka sampaikan mengenai program ini. Apa yang mereka cari pada wirausaha? Apa ekspetasi mereka? Bagaimana mereka mendefinisikan kesuksesan?

VP Strategi & Pengembangan Bisnis Digitaraya Nicole Yap pernah menyebutkan program akselerasinya didapat dari hasil studi mereka yang menunjukkan bahwa startup itu sering meminta apa yang mereka butuhkan, jadi akselerator tidak melulu memberikan tools yang dibutuhkan startup.

“Kita sangat percaya bahwa kesuksesan itu mutlak di tangan startup itu sendiri. Kita ingin ada dalam journey tersebut dengan memberi bentuk dukungan yang terbaik, sehingga startup akhirnya bisa merasa terkoneksi antara satu sama lain dan bisa berkolaborasi lebih lanjut,” papar Nicole.

Cari tahu pengalaman dari alumni program

Ini merupakan cara paling mudah untuk mengetahui pengalaman saat mengikuti program akselerasi. Anda dapat berbicara dengan para alumni program untuk mencari tahu perjalanan mereka saat mengikuti program.

Kendati begitu, Anda tidak harus ‘menelannya’ bulat-bulat karena pendapat alumni bisa menjadi bias. Pengalamannya belum tentu relevan dengan startup yang Anda bangun karena vertikal dan model bisnisnya bisa jadi berbeda.

Jangan mengejar valuasi

Ketika Anda melakukan penggalangan putaran dana, sebaiknya bukan valuasi yang Anda optimalkan, melainkan faktor-faktor yang dapat membantu untuk mendorong kesuksesan startup Anda. Hal ini juga berlaku pada akselerator.

Akselerator yang bagus mungkin menawarkan kesepakatan untuk sedikit berinvestasi dan mengambil lebih banyak porsi pada kepemilikan perusahaan. Hal ini karena mereka membantu untuk mempercepat perusahaan Anda dibanding startup lain.

Akselerator tidak diperuntukkan untuk semua perusahaan. Maka itu, lakukan leverage secara efektif, dan mereka akan menjadi partner terbaik untuk bisnis Anda. Pastikan Anda untuk tetap berhati-hati dalam mengevaluasi, dan pilih dengan bijak.

Empat Hal Seputar Membangun Industri Game Lokal

Diakui saat ini, skala industri game Indonesia belum sebesar di Tiongkok ataupun Jepang. Bagi sebagian pihak, industri game lokal kita juga belum dianggap menarik seperti bisnis-bisnis digital lainnya.

Indonesia memang salah satu gudang gamer terbesar di dunia. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Indonesia juga melahirkan sejumlah pengembang game terkemuka dengan game buatan lokal yang tak kalah saing dari luar.

Seperti apa gambaran industri game di Indonesia saat ini? Apakah kita mampu mendunia dan bersaing dengan pemain global?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, di sesi #SelasaStartup kali ini DailySocial menghadirkan topik menarik seputar industri game yang dibawakan CEO dan Co-Founder Agate  Arief Widhiyasa.

The next dopamine industry

Bagi Arief, industri game dapat diibaratkan sebagai industri dopamin atau industri yang produknya dapat dinikmati orang. Industri film dan musik juga termasuk di dalamnya.

Dopamin sendiri merupakan senyawa penting dalam tubuh yang dapat menciptakan perasaan senang dan memotivasi. “Saat main game, hormon-hormon kebahagiaan keluar,” candanya.

Bicara skala, ia menilai industri game sudah melampaui produk hiburan lain, seperti industri film. Sebagai perbandingan, ungkapnya, nilai industri game di 2017 telah mencapai  $108,9 miliar, hampir tiga kali lipat dari industri film yang sebesar $40,6 miliar.

“Saya meyakini industri game bakal menjadi the next huge dopamine industry ke depannya,” tutur Arief.

Apalagi, industri game telah berevolusi sejak 2015. Industri game tidak lagi melulu pada produk konsol dan PC yang cenderung tak praktis dan lebih mahal. Kehadiran smartphone memunculkan potensi lebih besar terhadap pertumbuhan industri game.

Selain itu, lanjutnya, definisi game kini telah berkembang luas dan telah diadopsi lintas industri, mulai dari militer hingga kesehatan. Ada banyak kasus pemanfaatan game untuk kebutuhan simulasi, seperti operasi jantung dan latihan menembak.

Industri hit-driven tetapi dikuasai asing

Kendati demikian, industri game juga memiliki dua sisi mata uang. Menurut Arief, industri game dikatakan sebagai industri yang hit-driven karena penjualannya bisa meraih return sangat besar, tetapi bisa juga sebaliknya.

“Kalau ada sepuluh game, satu produk bisa mendapat return 100 kali, sedangkan sembilan lainnya tidak mendapat return sama sekali. Ini bisa menjadi masalah,” ujarnya.

Di samping itu, industri game di Indonesia juga dihadapi oleh kekuatan pasar asing sehingga sulit untuk bersaing. Ia mengungkap pangsa game lokal hanya berkisar 0,4 persen atau setara Rp45 miliar dari total pasar game Indonesia.

Nilai investasi yang dikucurkan untuk industri game di Indonesia juga hanya $2 juta atau Rp30 miliar per tahun, tertinggal jauh dari Tiongkok yang sudah mencapai $5 miliar per tahun.

“Pasar kita dikuasai asing karena belanja [investasi game] di Indonesia rendah. Ada mismatch yang terjadi di lapangan dengan yang diyakini investor. Mereka belum aware dan yakin dengan industri ini,” katanya.

Perkuat ekosistem dari bawah ke atas

Permasalahan tak hanya soal investasi. Dalam pengalamannya membangun Agate, Arief dihadapkan pada minimnya jumlah pengembang atau talenta di bidang ini. Dengan kata lain, Indonesia mengalami kekurangan talenta.

Ia membandingkan jumlah pengembang game di Indonesia yang masih kalah jauh dengan negara-negara di Asia. Indonesia tercatat memiliki 1.200 pengembang, masih tertinggal jauh dari Tiongkok (250 ribu), Korea Selatan (95 ribu), dan Vietnam (10 ribu).

“Kalau mau scale [up] di sini sulit karena jumlah pengembang game sangat terbatas. Jadi secara ekosistem, kita kalah karena jumlah investor kurang, game company sedikit, dan talenta kurang. Ini jadi PR kita bersama. Kalau mau ekosistem besar harus bisa solve dari bawah,” jelasnya.

Kerja keras untuk mengejar kualitas

Tak kalah penting, Arief menekankan pentingnya mengejar kualitas di industri ini. Menurutnya, industri game berbeda dengan perusahaan teknologi atau startup.

Karena dalam hal ini, game tidak lagi dilihat oleh konsumen sebagai produk lokal atau global. Namun, lebih kepada game apa yang disukai dan berkualitas. Dengan kata lain, pengembang lokal harus bisa mengejar kualitas dari pemain global.

“Dari awal, kita harus bisa kejar kualitas sebagus-bagusnya. Masalahnya, kita tidak punya bekal untuk meraih itu. Caranya tidak ada, cuma perlu bekerja keras. Di Agate, kami bekerja 90 jam seminggu, dari jam 8 pagi hingga 11 malam selama enam hari.”

Grab Perluas Pengembangan Startup Binaan dengan Program Akselerator UI Works

Beberapa waktu lalu Grab melalui Grab Ventures Velocity (GVV) baru membuka program tahapan keduanya yang fokus pada inovasi dan penyelesaian masalah di bidang agrikultur dan pemberdayaan usaha mikro.

Kali ini, GVV melebarkan program pengembangan startup binaannya ke komunitas akademik. Grab resmi berkolaborasi dengan Universitas Indonesia (UI) sebagai mitra strategis Grab untuk program akselerator “UI Works”.

Program ini diperuntukkan bagi sivitas akademika UI serta anak muda di luar kampus UI. Kriteria yang dicari adalah startup berstatus tahap awal (early stage), khususnya di bidang teknologi, medis, dan sosial. Selain itu, startup wajib memiliki prototype atau versi beta pada produknya.

Ditemui di acara peluncurannya, Presiden Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata mengatakan pengembangan teknologi tidak harus menjadi yang terdepan, tetapi mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Program ini menyasar akademisi dengan tujuan untuk mempersiapkan para talenta terbaik dan ke depannya mereka mampu menciptakan inovasi dan produk yang sesuai dengan kebutuhan industri.

“Sayang sekali kalau mereka bikin startup atau solusi canggih tapi tidak sesuai dengan masalah yang ada di lapangan dan industri. Nanti malah [startup-nya] bakal underfunded,” tutur Ridzki di acara yang digelar di Perpustakaan Pusat UI., Depok.

Sementara Rektor UI Muhammad Anis mengakui bahwa perguruan tinggi menjadi tempat lahirya banyak startup dan inovator. Maka itu, ia menilai perlunya permutakhiran kurikulum agar ekosistem dapat adaptif dengan perkembangan teknologi.

“Kolaborasi ini menjadi salah satu langkah persiapan penting menuju era teknologi Industri 4.0. Kami gencar mendukung para mahasiswa untuk menciptakan startup sehingga setelah lulus dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri,” tambahnya.

Lebih lanjut, program UI Works ini terbagi dalam tiga tahapan antara lain (1) Pra-Akselerator, (2) Akselerator, dan (3) Demo Day. Grab turut menggaet Code Margonda sebagai mitra penyelenggara program ini.

Program “jemput bola”

Executive Director Grab Indonesia Ongki Kurniawan yang turut hadir di acara ini, menambahkan bahwa kolaborasi dengan perguruan tinggi ini sebetulnya merupakan refleksi dari pengalaman program pendahulunya, yakni GVV angkatan pertama.

Menurutnya, saat program tersebut dibuka, ada banyak sekali peserta yang tidak memenuhi kriteria. Berkaca dari pengalaman tersebut, perusahaan berinisiasi untuk “jemput bola” dengan ke anak-anak muda.

“Jadi setelah mereka selesai dengan program UI Works, mereka bisa lebih siap [untuk mengembangkan produk],” ucap Ongki.

Rangkaian program UI Works berlangsung selama dua bulan. Setelah program ini usai, para mahasiswa dapat tetap terhubung Grab dengan bekerja off site/remote tanpa meninggalkan bangku kuliah selama enam bulan.

Menurut Ridzki, pihaknya juga tengah mempertimbangkan agar para mahasiswa yang melaksanakan program off site selama enam bulan bisa mendapatan kredit yang dikonversi ke Satuan Kredit Semester (SKS).

Application Information Will Show Up Here

Menciptakan Layanan Fashion yang Lebih Personal dengan Kecerdasan Buatan

Pada dasarnya, manusia ingin selalu tampil keren. Memang terdengar mudah, tetapi bagi sebagian orang keinginan untuk tampil bagus menjadi sebuah beban tersendiri.

Contoh paling sederhana adalah memikirkan apa yang akan kita pakai setiap hari. Hal ini umumnya cukup sering dialami di kalangan perempuan.

Personal stylist bisa saja menjadi jawaban, akan tetapi kita tahu bahwa personal stylist bukan menjadi sebuah layanan terjangkau bagi segmen pasar menengah hingga ke bawah.

Lalu opsi yang dapat kita tawarkan? Teknologi. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan sebuah layanan fashion yang lebih personal.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja berbagi pengalaman tentang pemanfaatan AI dalam menghadirkan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna.

Scale up dengan teknologi AI

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fashion, pria yang karib disapa Zendy ini mengungkap tentang pentingnya mempelajari gaya dan preferensi pengguna untuk bisa scale up.

Menurutnya platform perlu untuk mempelajari bagaimana kebiasaan dan preferensi pengguna agar seluruh informasi tersebut dapat diolah menjadi sebuah rekomendasi kepada mereka saat berbelanja.

“Sekarang adalah era di mana pengguna ingin memiliki pengalaman yang lebih personal. Lalu, bagaimana mau scale up dengan personalisasi? Personalisasi itu kan harus one-to-one. Nah, di sini AI berperan sebagai tool,” ungkap Zendy.

Diakuinya, pengguna harus mengeluarkan effort dalam memberikan informasi seputar gaya dan preferensi fashion yang disukai. Namun, begitu pengguna telah mengalami pengalaman yang personal, mereka akan terus lanjut.

Kumpulan data untuk ciptakan analisis prediktif

The thing about fashion, brands want to own their data. Berbeda dengan industri musik atau film. Kita tidak akan tahu produk apa yang paling laris di H&M, misalnya,” kata Zendy.

Dalam hal ini, AI dapat mengambil peran lebih dalam mengolah kumpulan data (dataset) menjadi sebuah analisis yang prediktif. Di perusahaannya, data prediksi ini juga yang ia tawarkan kepada brand-brand yang menjadi mitranya.

“Semakin banyak pelanggan dan produk yang masuk ke dalam learning system kita, akan semakin banyak pula insight yang kita dapat. Kita bisa kasih rekomendasi ke brand, misal dari sisi bahan atau warna yang disukai pengguna,” ujar Zendy.

Manusia tetap punya peran

Meski teknologi ada untuk mempermudah proses kerja, bukan berarti manusia tak lagi dibutuhkan. Apalagi preferensi dan tren fashion seseorang kerap berubah-ubah.

Hal juga dapat menjadi tantangan dalam menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pelanggan. Akan tetapi, Zendy menyebutkan bahwa kecerdasan buatan akan terus berjalan dalam mengumpulkan dan mengolah jutaan data.

Di sisi lain, stylist juga akan tetap dibutuhkan dalam mengkurasi berbagai macam informasi. Menurutnya, tidak semua hal dapat terbantu dengan teknologi. Justru, teknologi berperan sebagai enabler.

“Ada hal-hal di mana kita perlu manusia untuk memutuskannya, dan tidak bisa mengandalkan kecerdasan buatan. When it comes to taste, we still needs human.” tutur Zendy.

Lima Hal Penting Membangun Budaya Kerja dan Mendidik Talenta di Startup

Menyongsong kemajuan era digital, Indonesia dihadapkan pada minimnya talenta-talenta berkualitas. Padahal talenta merupakan aset terpenting dalam membangun ekosistem digital di Tanah Air. Persaingan pun terjadi antar startup dalam memperebutkan talenta berbakat.

Di sisi lain, startup juga dituntut tetap eksploratif dalam mengadapi perkembangan teknologi dan pasar yang terus berubah. Diperlukan budaya kerja yang tepat agar startup dapat menjadi tempat berkarya yang nyaman bagi setiap karyawannya.

Di ajang idEA Works, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya berbagi pengalaman dan pandangan menarik tentang bagaimana membangun budaya kerja di startup dan mendidik orang untuk menjadi talenta yang potensial dan berkualitas di bidangnya.

Mari simak pengalaman inspiratifnya di sesi bertajuk “Gen of Good Talent” berikut ini:

Menjaga integritas perusahaan

Sebagai perusahaan media di bidang teknologi, Rama menegaskan pentingnya integritas kepada para pembacanya. Integritas menjadi penting untuk dapat menyajikan berita berkualitas dan terpercaya.

Perusahaan harus selalu berhati-hati dalam mempekerjakan talenta baru, tidak semata-mata hanya mengisi kekosongan sebuah posisi.

“As a media, integrity itu sangat penting. Apalagi [menyambut] industri 4.0, talenta menjadi aset penting. Makanya, kami tidak mau terburu-buru hire orang untuk menjaga integritas para pembaca kami,” tuturnya.

Media sosial sebagai personal branding

Diakuinya, dunia digital telah berkembang menjadi suaka baru bagi sejumlah orang. Setidaknya, sebagian dari kita memiliki lebih dari dua akun media sosial untuk bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Yang mungkin kita tidak tahu, sejumlah perusahaan kini telah memberlakukan rekam jejak digital sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini untuk melihat bagaimana attitude seseorang. Namun, Rama punya pandangan berbeda.

Ia menekankan bahwa media sosial sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai personal branding seseorang sebagai ruang kebebasan dan wadah untuk mengekspresikan diri.

“Saya percaya dengan rekam jejak digital, tapi kita tidak seperti itu. Masalah negatif dan positif itu subjektif. Jika menurut saya negatif, belum tentu buat orang lain. Soal [attitude] sebetulnya mau tak mau dilihat saat probation. Kalau tidak perform, kita cut,” paparnya.

Inisiatif dan transparan

Rama juga menyinggung tentang bagaimana kultur kerja dapat membangun kualitas talenta lebih baik. Diungkapkannya, ada sejumlah hal yang perlu ditanamkan kepada para karyawannya, seperti nilai  inisiatif dan transparansi.

“Inisiatif yang dimaksud, kalau yakin ada pekerjaan bisa dilakukan, ambil andil di dalamnya. Terlebih kamu yakin dengan metodemu dalam menyelesaikan pekerjaan,” ujar Rama.

Demikian juga transparansi dan kejujuran yang dijunjung tinggi perusahaan. Artinya, apabila merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karyawan tidak dipaksa untuk melakukannya.”Kalau bisa katakan iya. Kalau tidak, ini akan memakan waktu dan tenaga. Lebih baik dilakukan orang yang tepat,” katanya.

Memiliki risk tolerance

Nilai lain yang dibangun dalam kultur kerjanya, lanjut Rama, adalah memberikan kesempatan kepadan siapapun di perusahaan untuk mencoba sesuatu dan bereksperimen. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perusahaan.

“Ini salah satunya yang membedakan startup dengan perusahaan korporat. Kalau punya ide, silakan dieksekusi. Tapi kami kasih deadline untuk merealisasikannya. Engineer kami pernah coba buat aplikasi, kami biarkan. Memang hasilnya tidak sesuai, tetapi dia belajar dari situ,” jelasnya.

Tetap dinamis, tapi tidak terlalu cepat

Startup disebut harus dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tak heran jika startup terbiasa bereksperimen untuk mendapat sebuah solusi yang disruptif. Kultur ini yang sangat berbeda dengan perusahaan konvensional.

Rama menekankan pentingnya untuk bekerja lebih cepat dibanding perusahaan konvensional untuk menghemat waktu dan biaya. “Tetapi juga jangan terlalu cepat, itu tidak baik. Bagaimanapun butuh uji coba [solusi] sebelum launch ke pasar.”