Kepemimpinan Wanita dan Keberagaman dalam Industri Logistik yang Didominasi Pria

Sering dianggap sebagai ruang yang didominasi laki-laki, logistik sebenarnya memiliki peluang besar bagi perempuan sebagai pekerja. Industri ini sangat luas, meliputi proses fisik pengumpulan sumber daya, pengangkutan atau penempatan sumber daya tersebut menuju distribusi akhir. Namun, terkadang ada kerikil kecil ketika orang mencoba bergerak melawan kepercayaan utama dalam masyarakat. Ada bias gender yang tidak disadari yang menempel di pikiran untuk bertindak sesuai dan menahan niat sebenarnya dari ambisi seseorang.

Berdasarkan penelitian International Labour Organisation (ILO) bertajuk Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, bias gender yang tidak disadari diartikan sebagai asosiasi mental yang tidak disengaja dan otomatis berdasarkan gender, yang bersumber dari tradisi, norma, nilai, budaya, dan/atau pengalaman. Asosiasi otomatis dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan, memungkinkan penilaian cepat terhadap individu menurut gender dan stereotipnya.

Seorang asisten profesor di Departemen Psikologi Universitas Denver yang juga penulis utama makalah tersebut, Daniel Storage mengamati, “Stereotip yang menggambarkan kecemerlangan sebagai sifat laki-laki cenderung menahan perempuan untuk mencapai berbagai karir bergengsi.”

Namun, tidak demikian halnya dengan Roolin Njotosetiadi. Sebagai salah satu dari sedikit mahasiswi di jurusan teknik mesin di Nanyang Technological University, tidak pernah menjadi masalah baginya untuk mendaki jenjang pendidikan yang setara dengan kelompok pria lainnya. Semangat dan upaya tanpa akhir inilah yang membawanya ke posisi C-Suite di salah satu perusahaan logistik terkemuka di Indonesia, Logisly.

Perempuan sebagai tenaga kerja

Secara global, wanita kerap kurang terwakili di perusahaan, dan partisipasi wanita kian menurun semakin menaiki hierarki perusahaan. Namun, banyak perusahaan telah menunjukkan komitmen mereka terhadap kesetaraan gender dengan menetapkan kebijakan yang ramah keluarga dan memfasilitasi karier dan jaringan profesional wanita. Misalnya cuti hamil dan fasilitas kantor lainnya seperti ruang menyusui dan lain sebagainya.

Namun demikian, bias gender yang tidak disadari terus berdampak pada perempuan di tempat kerja, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk memungkinkan perempuan yang sangat terampil untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Seperti dikutip dari The Economic Times, pada 2010, perempuan hanya menyumbang delapan persen dari angkatan kerja logistik yang terus meningkat hingga 20 persen pada 2018.

Sejak ditetapkannya Raden Ajeng (RA) Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno tahun 1964, Indonesia telah mengalami perubahan sosial ekonomi dan pertumbuhan yang pesat dalam pencapaian pendidikan perempuan. Namun, selama periode ini, perempuan Indonesia hanya terlibat dalam pasar tenaga kerja, dengan rasio partisipasi angkatan kerja perempuan-laki-laki berada di sekitar 0,6, berdasarkan Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study oleh Cornell University ILR School.

Bagi Roolin, ada dua hal yang patut disoroti. Pertama, ini semua tentang persepsi, wanita tidak pernah bisa lebih pintar dari pria merupakan salah satu hal yang sangat salah. Kedua, ketika orang mulai membangun rumah tangga dan keluarga, mereka akan menghadapi beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keseimbangan kehidupan kerja. Namun, karena ada kewajiban “kodrat” yang ditempelkan pada wanita untuk mengurus keluarga, terkadang hal itu menjadi 10 kali lebih sulit.

“Di Logisly, kami berusaha memberikan ruang aman bagi perempuan untuk membangun karir sekaligus mengampu tanggung jawab dalam rumah tangga. Dengan 40% karyawan kami adalah perempuan, saya pribadi ingin menciptakan lingkungan yang sehat bagi mereka untuk mengembangkan bakat mereka di bidang logistik ,” tambah Roolin.

Faktanya, industri teknologi Indonesia semakin mendapat dukungan dari kehadiran perempuan di dalam ekosistem. Ada juga beberapa inisiatif yang diluncurkan, misalnya gerakan non profit bertujuan untuk mendidik dan memberdayakan perempuan yang memiliki passion di bidang teknologi, Girls in Tech. Belum lagi program Elevate Women untuk memfasilitasi womenpreneur di industri kreatif.

Kehadiran perempuan di industri teknologi akan selalu dinantikan. Masalahnya, masih ada persepsi yang melekat di beberapa industri bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan laki-laki. Roolin juga menyebutkan bahwa banyaknya CEO pria di Indonesia bukan karena lingkungan yang tidak mendukung, namun terkadang wanita memiliki prasangka bawah sadar terhadap diri sendiri, yang menurut mereka kurang mampu. Faktanya, tidak seperti itu.

“Bergabunglah di meja! Jika Anda memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, lakukanlah! Jangan pernah berpikir bahwa Anda tidak pantas menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Tingkatkan kepercayaan diri Anda. Jika Anda berada di tempat itu, Anda berhak berada di sana,” pungkasnya.

Kebangkitan sektor logistik

Dengan naik turunnya kebijakan restriksi di awal krisis pandemi, alih-alih melambat, industri logistik mampu pulih dan berakselerasi, baik dari kinerja bisnis maupun penambahan modal yang dibuktikan dengan berita pendanaan terkini dari banyak pihak platform logistik lokal.

Secara keseluruhan, ada penurunan permintaan logistik di tahun lalu, namun beberapa sektor masih tumbuh. Logisly, sebagai salah satu pemain teknologi yang mencoba melakukan diversifikasi, karena beberapa sektor melemah, secara refleks mereka beralih ke pasar yang ramai. Karena pandemi menciptakan efek yang belum pernah terjadi sebelumnya, perusahaan berusaha mempertahankan arus kas. “Beruntung bagi kami, hal itu yang menjadi proposisi nilai kami untuk transporter,” tambah Roolin.

Roolin, melalui Logisly, sekarang berfokus pada tiga hal, memperluas jaringan dengan pengirim dan pengangkut menggunakan strategi flywheel untuk meningkatkan layanannya; meningkatkan operasi dengan otomatisasi yang tersedia yang didukung oleh teknologi terbaru, dengan model B2B, kinerja sangat penting. Mereka ingin membangun tidak hanya solusi teknologi, tetapi juga kepercayaan dari semua mitra untuk mengelola kinerja ujung-ke-ujung mereka; juga bertumbuh dalam hal pengembangan manusia. Logisly adalah perusahaan teknologi dengan aset ringan, karyawan menjadi aset utamanya.

“Kami melanjutkan upaya kami untuk tidak hanya merekrut orang-orang terbaik untuk bergabung dengan tim kami, tetapi juga memastikan tim kami benar-benar tumbuh bersama Logisly dan merasa bahwa mereka dapat melihat ini sebagai tempat di mana mereka dapat tumbuh dengan potensi terbaik mereka,” tambah Roolin. .

Berdasarkan riset Startus-insights, transformasi digital menyumbang €1,42 triliun investasi di bidang logistik pada tahun 2025. Namun, penetrasi platform digital di industri logistik masih cukup rendah, setidaknya itulah yang diamati Roolin. Dalam hal shipper, inilah saatnya meninggalkan cara pemesanan manual konvensional hingga semua faktur berbasis kertas. Banyak platform tersedia untuk mendukung transformasi digital. Selain itu, bagi transporter, akan lebih leluasa dalam mendapatkan pesanan. Dengan usaha seminimal mungkin, mereka dapat meningkatkan pemanfaatan truk dan pendapatan pokok. Bisnis akan lebih mulus dan sepenuhnya digital, biaya akan semakin berkurang. Namun, dengan semua dukungan otomatisasi yang ada, disrupsi harus selalu terjadi setiap hari di dalam diri masyarakat.

“Disrupsi di bidang logistik sangatlah luas dan ini hanyalah sebagian kecilnya,” tambahnya.

Logistik sebagai industri bersinggungan dengan banyak industri lainnya, terutama e-commerce. Di Logisly, setidaknya ada dua titik untuk menghubungkan titik-titik ke bidang e-commerce. Banyak dari operasinya yang last-mile, tetapi beberapa telah berinvestasi di gudang sendiri, dimana mereka membutuhkan armada yang lebih besar dari gudang ke gudang. Selain itu, pemain jarak jauh membutuhkan dukungan dengan hub mereka di kota-kota tertentu. Selain itu, pembayaran digital juga menjadi salah satu teknologi yang wajib diadopsi. “Sebagai perusahaan teknologi, kita perlu cepat beradaptasi dengan otomasi terbaru guna meningkatkan produktivitas dan kecepatan. Selama ini yang saya tahu, kuncinya logistik adalah kecepatan,” tambahnya.

Karena tenaga kerja adalah elemen penting dari setiap model operasi logistik, maka peluang besar tidak hanya bagi laki-laki tetapi juga bagi perempuan untuk bergabung dengan angkatan kerja, dan sektor logistik sekarang mendukung perempuan berbakat dan energik dengan menumbuhkan budaya di mana perempuan diberikan berbagai platform untuk mengembangkan dan merawat diri mereka sendiri. Banyak perusahaan telah mengambil langkah positif dengan memperkenalkan budaya aman dan berorientasi pada perempuan serta inisiatif keseimbangan kehidupan kerja (work-life balance).

“Logistik berada dalam posisi untuk melayani semua pihak dengan barang sampai ke tujuannya. Ini melibatkan banyak orang dan mencakup semua bidang. Kami tidak dapat melakukan semuanya sendiri, oleh karena itu, kami membutuhkan mitra, untuk mengembangkan solusi hyperlocal-on-demand. Kuncinya adalah kolaborasi. Jika hanya satu yang membangun semuanya, kita tidak akan memiliki biaya yang cukup dan tidak akan ada cukup waktu,” jelas Roolin.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arnold Egg Mengungkap Segala Hal tentang Masa depan Industri Digital

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak Arnold Sebastian Egg atau akrab disapa Arno Egg menginjakkan kaki di Indonesia. Selama itu, ia berusaha membangun bisnis di negeri ini, keluar-masuk dunia e-commerce, merambah industri travel, hingga menemukan passion-nya di dunia digital.

Liburan yang membawa Arno ke Indonesia, tapi bisnis digital yang membuatnya bertahan. Dia memulai di usia yang cukup muda bersama Tokobagus, menghabiskan lebih dari tiga tahun sampai akhirnya mencapai traksi, memutuskan untuk merger, dan akhirnya melepaskan diri untuk membangun usaha digitalnya sendiri. Pada tahun 2013, ia secara resmi memutuskan segala keterbatasan dengan menjadi warga negara Indonesia untuk tetap berkarya di pasar nusantara.

Arno adalah seorang product guy, dia membangun produk berdasarkan apa yang dibutuhkan konsumen. Namun, ia juga menyarankan agar tidak jatuh cinta dengan produk Anda dan tetap mendengarkan opini orang. Ia telah mengecap manis dan menyeka peluh dengan membangun startup dari nol. Tokobagus adalah warisan pertamanya. Ia kini fokus mengembangkan produk digital melalui Sprout Digital, dan baru-baru ini meluncurkan platform baru bernama Toco. Selain itu, selama 6 bulan terakhir, dia juga terlibat sebagai Mitra Pendiri dari sebuah Venture Builder bernama Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial berkesempatan untuk bertemu dengannya secara virtual dan berdiskusi tentang industri digital di negara ini, dan dia pun sangat bersemangat. Berikut kami sajikan kisah lebih lengkapnya.

Kapan Anda mulai tertarik untuk mendalami industri teknologi?

Saya merupakan salah satu dari anak-anak yang pertama kali menggunakan PC di sekolah. Semua bermula ketika saya masih berusia sangat muda, lalu mengembangkan minat di bidang komputer dan menjadi mahasiswa ilmu komputer angkatan pertama. Awalnya, saya belajar di Rotterdam kemudian pindah ke AS untuk mendalami hal-hal yang saya minati. Setelah itu, saya kembali ke Belanda.

Bagaimana kisah Anda sampai ke Indonesia? Apa yang membuat Anda bertahan di sini?

Saya pergi berlibur ke Indonesia. Saya menikmati bersantai di pantai, lalu  menemukan warnet dan mulai berdiskusi dengan orang-orang di sana. Itu adalah bagaimana saya mulai melakukan hal-hal digital di Indonesia. Menurut saya ini adalah tempat terbaik untuk produk digital.

Saya berasal dari Belanda, namun sudah lama di Indonesia. Yang saya tahu, untuk sukses, Anda membutuhkan audiens yang banyak. Di Eropa, hal ini menjadi sangat sulit karena setiap negara memiliki budayanya sendiri, membuatnya agak sulit untuk diukur. Di Indonesia, meskipun dengan banyak budaya yang berbeda, cara orang beraktivitas masih tetap sama. Itulah mengapa saya memulai perjalanan digital saya di Indonesia.

Dulu, saya akui memang sulit, internet sangat mahal, meskipun audiens banyak, tidak ada yang bisa online. Oleh karena itu, pada masa-masa awal, saya mulai mendirikan software house di Bali, membangun jalur untuk pasar Eropa, sebagai proyek sampingan. Itu menjadi asal muasal Tokobagus.

Jadi, Tokobagus sebelumnya adalah proyek sampingan, bagaimana kisah dibaliknya?

Sebenarnya ini cerita lucu yang telah berkali-kali saya sampaikan. Pekerjaan ini datang dari seorang klien di Belanda yang ingin mendirikan bisnis classified kemudian gagal dan menyalahkan kami karena menghabiskan banyak uang tanpa hasil yang signifikan. Dari kesulitan mendapatkan pengguna hingga akhirnya gagal sebelum bisa masuk ke pasar. Saya rasa kebanyakan orang lupa ketika memulai perusahaan digital, butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan traksi.

Dengan Tokobagus, memakan waktu selama 2005-2008 sampai kita mendapatkan traksi yang nyata, kira-kira sekitar 3 tahun. Saya pikir pelajaran terbesar di sini adalah Anda harus bersabar. Ketika perusahaan mulai tumbuh, banyak yang mulai berkolaborasi di pasar, mereka bergabung dengan perusahaan lain. Kami mengakuisisi Berniaga karena jelas bahwa kami berdua berjuang untuk posisi yang sama. Hal ini menjadi masuk akal, dan kami dapat memfokuskan energi dan sumber daya kami untuk mengembangkan produk dan melayani konsumen. Hal ini juga untuk membawa perdamaian ke pasar.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg bersama tim Tokobagus.com dalam acara Power Seller Community 2011

Tidak lama setelah Tokobagus, Anda memulai bisnis di ranah OTA. Bagaimana pengalaman Anda?

Ketika saya pergi, saya memiliki klausul non-kompetisi yang sangat ketat dengan Tokobagus, jadi saya tidak dapat melakukan apa pun dengan basis e-commerce. Setelah melakukan eksplorasi, satu-satunya hal yang dapat saya lakukan saat itu adalah OTA. Selama itu saya juga akhirnya resmi menjadi orang Indonesia untuk bisa tetap berkarya di pasar, keadaannya bahkan jadi jauh lebih baik. Ketika saya masih sebagai orang asing, berbisnis di Indonesia cukup menantang dengan segala keterbatasannya.

Bagi saya, industri perjalanan adalah pengalaman yang sangat luar biasa tetapi sangat sulit. Meskipun semakin digital, hal itu cenderung masih cukup konvensional dengan internet. Satu-satunya pengalaman saya di OTA hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Saya menghabiskan masa itu untuk membangun jaringan, mendapatkan konteks dengan produknya. Segera setelah limitasi saya berakhir, saya bisa kembali ke basis e-commerce. Meskipun saya menikmati perjalanannya, OTA menjadi pertempuran yang sangat sulit untuk dimenangkan, ada banyak pemain besar dengan pendanaan dan pengalaman lebih banyak. Oleh karena itu, tidak apa-apa untuk jatuh, bersiap untuk petualangan selanjutnya!

Akhirnya Anda kembali ke industri e-commerce. Bisa jelaskan secara singkat bagaimana prosesnya?

Kembali ke e-commerce, saya bekerja untuk korporat, membantu menyiapkan online channel untuk HP yang fokus pada pasar konsumen dan UKM di Indonesia. Dalam industri korporat, mereka melakukan banyak hal dengan sangat berbeda. Meskipun mereka memiliki produk yang luar biasa kuat, pergerakan digitalnya masih cukup lambat. Saya tidak terlalu lama di tempat ini, tapi saya belajar banyak hal. Pengalaman ini memberi saya wawasan tentang bagaimana bergerak di pasar dengan cara korporasi dan bagaimana eksekusi mereka berbeda dari startup digital lainnya. Setelah itu, saya diminta oleh seorang teman untuk membantu menyiapkan produk digital di Lippo.

Saya terjun ke Lippo sebenarnya untuk mendirikan bank digital, yang sekarang dikenal sebagai OVO. Karena kami banyak melakukan riset, selain itu saya juga membantu MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (e-procurement B2B No.1 di Indonesia), dan Red Carper Logistics (RCL – Perusahaan logistik yang mengkhususkan diri dalam pemenuhan last-mile). Namun, OVO menjadi kasus pertama saya di bidang fintech. Sangat menyenangkan, karena saya suka melakukan hal-hal baru. Kita belajar bagaimana melakukan core banking system, switch, dan bagaimana sistem pembayaran di Indonesia. Ini menjadi perjalanan yang luar biasa dalam mempelajari banyak hal dan memahami cara kerja perbankan dan bagaimana kami dapat melakukan disrupsi dalam hal itu.

Anda sempat menjajal industri e-commerce, OTA, lalu fintech. Apa yang sebenarnya menjadi passion Anda?

Passion saya adalah digital. Saya sangat senang saat ini digital telah menjadi cara kerja bisnis normal. Dengan begitu, Anda harus aktif di ranah digital untuk bisa bertahan. Kejadian ini sunguh cepat. Memang, hasrat awal saya adalah di e-commerce, dan sementara saya mencurahkan banyak waktu saya di sana, saya tetap menikmati melakukan hal lainnya.

Saya bahagia bersama Sprout digital, membantu orang membangun produknya, juga membangun bisnis perusahaan. Selama berada di Lippo atau Bizzy, saya memiliki banyak ide yang tidak dapat persetujuan atau pendanaan. Namun, sekarang saya bisa mengeksekusinya sendiri dan mengeluarkannya ke pasar serta siap melayani pasar Indonesia. Kapanpun ada ide muncul di benak saya dan saya punya waktu untuk mencoba mengerjakannya dan melihat apa yang terjadi, saya merasa diberkati.

Pada satu linimasa, Anda memiliki tanggung jawab di beberapa perusahaan secara paralel. Bagaimana Anda memastikan semua berjalan seiring?

Sangat penting untuk menaruh kepercayaan Anda pada orang yang tepat di sekitar Anda serta menjalin hubungan yang baik dengan semua orang yang bekerja dengan Anda. Dengan lapisan yang baik di sekitar Anda, segala hal bisa jadi lebih mudah, karena mereka dapat memberi Anda informasi yang Anda butuhkan untuk membuat keputusan. Di OVO kami belum memiliki lapisan itu, jadi semua orang melapor langsung kepada saya, dan sangat penting untuk mengenal semua orang.

Ketika Anda membangun koneksi, bukan berarti hanya di tingkat rekan kerja namun juga secara pribadi, oleh karena itu, Anda dapat memahami apa yang dialami orang lain. Saya pribadi tidak percaya semua orang bisa berfungsi 100% setiap saat. Selalu ada suka dan duka. Setiap orang memiliki masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Jika Anda bisa memahaminya dan Anda bisa memberi ruang saat mereka membutuhkannya. Itu juga penting.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arnold Egg bersama Bizzy Korea

Ketika pertama kali datang ke Indonesia sebagai non-native, bagaimana impresi Anda terhadap negara ini? Adakah kesulitan untuk beradaptasi?

Tentu saja, itu membutuhkan waktu. Saya berasal dari Eropa yang pergerakan masyarakatnya tidak secepat saat saya tinggal di Bali. Di Jakarta, semakin hidup. Bagi saya, karena saya masih sangat muda ketika tiba di sini, saya dapat menyesuaikan diri dengan mudah, hanya mencoba untuk berbaur. Saya selayaknya bocah biasa yang kebetulan orang asing. Sesampainya di Indonesia, saya memutuskan ingin bekerja di sini, lalu saya pelajari bahasanya secepat mungkin. Meskipun bahasa Inggrisberfungsi dengan baik, karena orang-orang berbicara dalam bahasa Inggris di mana-mana, untuk tujuan tertentu, sangat penting untuk memahami penduduk setempat. Anda akan mendapatkan banyak informasi saat Anda berbicara dalam bahasa yang sama.

Anda telah membangun beberapa perusahaan, dengan segala ups and downs, apa yang membuat Anda percaya dengan pasar Indonesia?

Menurut saya, Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk digital. Cukup mengecewakan mengetahui beberapa investor global yang tidak pernah memasukkan Indonesia ke dalam peta. Ada begitu banyak pulau dan digital dapat membawa kesetaraan ke pasar. Masalah itu belum selesai sampai hari ini, saya sedang bekerja untuk digitalisasi rantai pasok logistik, mengerjakan beberapa proyek dengan petani untuk memastikan mereka yang berada di luar Jawa dapat tetap terlibat. Infrastruktur belum optimal dan banyak sekali proses yang masih belum efisien, negeri ini sangatlah luas. Digital akan jadi alat yang luar biasa untuk membuatnya lebih efisien dan menempatkan Indonesia pada posisi kompetitif di kawasan.

Di sekolah saya belajar banyak tentang Indonesia, ada banyak kontak di masa lalu saya. Setidaknya saya senang menyebut Indonesia sebagai rumah saya, untuk dapat mewujudkan impian saya, Indonesia adalah pasar terbaik untuk melakukannya. Tanah ini memiliki semua elemen untuk menjadi negara yang sangat kuat. Dengan semua perusahaan unicorn dan pemain besar, jika Anda membandingkan dengan pasar lain di kawasan ini. Ada banyak pemenang terlibat dalam kompetisi dan pasarnya sudah teredukasi. Saya sangat bersemangat mendengar hal itu.

Coba ceritakan tentang perusahaan Anda sekarang, Sprout Digital? Apa visi yang ingin Anda wujudkan?

Bagi saya, Sprout adalah sebuah yayasan. Ada beberapa tujuan yang ingin saya capai bersama Sprout, yaitu untuk menempatkan bakat baru ke pasar. Saya sangat senang melihat banyak orang yang sebelumnya di Tokobagus kini memiliki posisi yang baik di industri. Itu juga yang ingin saya lakukan di sini. Saya menaungi banyak anak muda yang baru memulai di industri digital. Saya ingin memberi mereka alat yang tepat untuk kemudian sukses di masa depan.

Dan tentu saja, Sprout memungkinkan saya membangun produk yang saya sukai. Kami baru saja meluncurkan Toco. Dari awal, cerita Tokobagus tidak pernah selesai. Melihat e-commerce semakin kurang bermanfaat bagi pemain kecil membuat saya berpikir bahwa inilah saatnya untuk melanjutkan bagian yang saya tinggalkan. Toco sekarang tidak jauh berbeda dengan Tokobagus di masa lalu, tetapi kami akan terus menambahkan fitur untuk memungkinkan pengguna membeli dan menjual dengan lebih nyaman tanpa menghilangkan keuntungan yang diperoleh dengan susah payah. Menjadikannya lebih transparan. Saat ini, bentuknya adalah C2C dan akan semakin banyak bergerak ke pasar campuran C2C dan B2C. Prosesnya tidak akan cepat tapi pasti.

Arnold Sebastian Egg

Di pikiranku selalu muncul hal-hal baru. Selain mendukung banyak perusahaan untuk sukses di ruang digital, Sprout memungkinkan saya untuk mengeluarkan ide-ide itu dari pikiran saya ke dalam produk yang dapat mulai digunakan orang.

Sungguh mengerikan apa yang terjadi pada dunia, sungguh menyakitkan melihat orang-orang menderita karena Covid, tidak hanya dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bisnis. Satu hal yang positif, yaitu hal ini mempercepat edukasi pasar. Saya pergi ke Lampung untuk proyek membantu petani. Saya melihat semua orang memiliki smartphone untuk pendidikan anak-anak mereka. Hal itu mempercepat seluruh proses digital, orang mulai memahami cara menggunakannya. Semua akan semakin mendekatkan jarak antara penduduk desa dan penduduk perkotaan. Transformasi digital membantu menyeimbangkan level dari liga permainan ini dan menggerakkan semua orang dalam fase yang sama.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg bersama tim Sprout-Toco

Di era digital seperti sekarang, bagaimana Anda menggambarkan industri teknologi di masa depan?

Saya senang melihat bagaimana orang-orang menyiapkan bisnis mereka sekarang. Indonesia sendiri sudah menjadi pasar yang menarik, kita tidak perlu terlalu banyak melihat ke dunia global sejak awal. Jika Anda ingin memulai sesuatu di Indonesia, jika Anda sukses, itu adalah pasar yang besar untuk dilayani. Bukannya saya tidak melihat Indonesia bisa bersaing di pasar global, saya kira ke depan mungkin bisa. Namun menurut saya, penting juga untuk mengambil langkah demi langkah. Jangan lakukan itu karena Anda ingin, namun jika ada demand, maka lakukan. Bagi saya, sukses di Indonesia itu sudah cukup, mendunia bukanlah tujuan terbesar saya.

Pertumbuhan organik itu fundamental. Anda dapat mempercepat tetapi Anda jangan sampai meledak dengan membeli pengguna. Itu tidak akan menyisakan apa pun untuk Anda. Saya mengaku kuno, hal itu membuat saya melawan arus. Bagi saya, ini semua tentang PnL (untung dan rugi). Apakah bisnis ini masuk akal? bisakah kamu menskalakannya? Jika Anda menskalakannya, apakah masih menghasilkan atau tidak? Saya membangun produk karena saya ingin melayani pelanggan. Saya memahami pelanggan, apa yang mereka butuhkan, dan masalahnya. Saya pikir itu juga alasan mengapa perusahaan Indonesia dapat bersaing dengan pemain global ketika mereka masuk. Amazon, eBay, Rakuten tidak memahami pengguna, kami memahami pelanggan kami. Itu adalah pengalaman yang membuka mata.

Namun dalam hal investasi, hal itu adalah sesuatu yang harus dipahami orang. Perusahaan membual tentang bagaimana mereka mengumpulkan lebih banyak uang sementara yang seharusnya mereka lakukan adalah fokus pada membangun perusahaan yang tepat. Penting untuk membuat iklim investasi sehat.

Sebagai seorang serial entrepreneur, apa yang bisa Anda sampaikan pada para penggiat teknologi dan digital di luar sana yang ingin berhasil dalam industri ini?

Anda perlu mencintai apa yang Anda lakukan, oleh karena itu, setiap perjuangan akan menjadi menyenangkan karena Anda menikmatinya. Tidak ada kisah sukses yang terjadi sejak hari pertama. Semua adalah tentang perjuangan, selalu ada pertarungan. Sangat sulit untuk sukses. Saya bilang seperti ini karena saya mengalaminya sendiri, setiap startup akan menyakitkan dan memiliki banyak rintangan. Saya memulai Tokobagus dengan domain saya sendiri, membangunnya dengan semua waktu yang saya punya. Kalau boleh saya katakan, bootstrap adalah cara yang baik untuk memulai bisnis.

Jangan jatuh cinta dengan produk Anda sendiri. Jika konsumen Anda mengatakan bahwa mereka tidak menyukainya, percayalah. Tidak apa-apa gagal, lebih baik gagal tapi cepat, daripada terlanjur malangkah jauh. Buat manuver, pivot, pahami apa yang diinginkan konsumen dan lakukan lagi. Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang benar-benar baru, bersiaplah untuk perjuangan berat karena Anda perlu edukasi pasar. Catatan untuk diri sendiri: Bekerja itu penting tetapi Anda perlu menyisihkan waktu untuk bersama keluarga dan orang yang Anda cintai. Penting untuk memiliki keseimbangan yang tepat dalam hidup.

Jika ada kesempatan, apakah Anda ingin kembali ke Belanda untuk memulai bisnis baru?

Tidak. Di Indonesia orang suka inovasi, orang suka mencoba hal baru. Setiap kali saya kembali ke kampung halaman, hal itu selalu membuat saya takut. Saya selalu melakukan hal yang sama persis dengan yang saya lakukan ketika di sana. Yang ingin saya katakan adalah, mereka jauh lebih lambat dalam berinovasi, hal itu akan sangat melelahkan bagi saya. Saya sangat diberkati karena saya pergi ke Asia. Saat ini saya berada di tengah episentrum. Asia adalah tempat inovasi atau pasar baru akan menuju masa depan. Saya percaya akan ada ups and downs. Adalah saat yang menyenangkan berada di sini. Mengapa kembali ke masa lalu?


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Platform “Aido Health” Tawarkan Telekonsultasi Medis Melalui Panggilan Video

Di tengah berbagai keterbatasan akses kesehatan yang disebabkan pandemi, layanan telemedis di Indonesia kini semakin berkembang karena dapat memberikan alternatif layanan kesehatan. Salah satu yang sedang mengembangkan solusi di bidang ini adalah “Aido Health”. Platform ini menyediakan telekonsultasi medis melalui panggilan video langsung dan perawatan kesehatan di dalam rumah, serta asistensi untuk membantu pasien mengelola kesehatan.

Aido didirikan pada tahun 2019, melihat kendala pada akses pelayanan kesehatan – jarak, ketersediaan spesialis, serta waktu tunggu yang sangat lama. Hal ini kerap menjadi alasan atas pelayanan yang tidak efektif sehingga mengurangi rasio kunjungan lanjutan, terutama untuk lebih dari 60 juta orang dengan penyakit kronis dan 21 juta lansia yang memiliki kebutuhan perawatan kesehatan yang lebih kompleks.

Co-Founder & VP Operations and Partnerships Aido Jyoti Nagrani mengungkapkan, “Menurut saya, ekosistem teknologi kesehatan secara keseluruhan di Indonesia masih sangat baru. Fokus kami adalah pada perawatan khusus jangka panjang dan  kesinambungan perawatan daripada penyakit/masalah episodik atau primer.”

Platform ini berfungsi sebagai ekstensi digital yang dapat menyesuaikan penawaran layanan perawatan kesehatan di luar tembok faskes dan di rumah pasien untuk memastikan kesinambungan perawatan yang berpusat pada pasien. Selain itu, sudah ada beberapa pemain yang juga mengembangkan solusi ini, seperti Alodokter dan Halodoc.

Hingga saat ini, aplikasi Aido telah mencapai angka 60 ribu unduhan dengan sekitar 5 ribu pengguna aktif per bulan (MAU). Perusahaan juga telah membangun jaringan dengan 60 penyedia layanan kesehatan di 30+ kota di antaranya bersama Bunda Group, Siloam Hospitals Group, dan Bethsaida Hospitals. Terdapat lebih dari  1100 spesialis di 30 bidang dan kemitraan dengan perusahaan asuransi swasta untuk memfasilitasi telekonsultasi tanpa uang tunai.

Program akselerasi Google

Beberapa waktu lalu, Aido menjadi salah satu dari sepuluh startup asal Indonesia yang terpilih untuk mengikuti program akselerator yang diselenggarakan oleh Google. Melalui program ini, selama empat minggu, para pendiri startup akan mendapatkan bimbingan dan dukungan proyek teknis, serta pembahasan mendalam dan workshop yang berfokus pada desain produk, akuisisi pelanggan, dan pengembangan kepemimpinan.

Mulai dari startup teknologi di bidang kesehatan, pendidikan, hingga berbagai platform online yang membantu mendorong kebiasaan daur ulang, atau mendorong pertumbuhan komunitas nelayan kecil serta UKM di bidang pertanian, kedelapan peserta terpilih menunjukkan keragaman komunitas startup di Indonesia serta cara kreatif mereka menggunakan teknologi untuk membantu menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi lokal.

Terkait akselerator program, Jyoti mengatakan bahwa ini menjadi kesempatan luar biasa untuk belajar, berkembang dan membangun jaringan – sekaligus menjajal startup/bisnis. Meskipun bukan sebuah jaminan kesuksesan, jaringan para founder akan sangat berharga dan meningkatkan kredibilitas.

Google terkenal dengan kualitas programnya dan dukungan yang diberikannya kepada perusahaan dan tim pendiri. Timnya berharap dapat mengumpulkan pengetahuan dan keterampilan serta belajar dari pengalaman Google yang luas untuk memanfaatkan praktik terbaik dan mengembangkan perusahaan dengan cara yang lebih diperhitungkan dan strategis.

“Kami juga sangat tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang alat Google, termasuk Google Cloud dan perangkat pemasaran untuk membantu meningkatkan kesadaran dan memberikan pendidikan kepada komunitas tentang ketersediaan dan manfaat layanan kesehatan digital kami. Selain itu, panduan dalam menjelajahi pembelajaran mesin dan AI dalam solusi kami,” tambah Jyoti.

Target di tahun ini

Berbagai layanan yang disediakan aplikasi Aido

Di laman LinkedIn-nya, perusahaan disebut telah mengantongi pre-seed senilai $300 ribu yang berasal dari sebuah grup Rumah Sakit besar di Indonesia. Dukungan ini disebut sangat membantu dalam hal pengembangan produk – dalam membangun, menguji kasus penggunaan – serta validasi hipotesis, memanfaatkan basis pelanggan mereka. Pihaknya juga menyampaikan rencana penggalangan dana di Q3/Q4 tahun ini yang akan digunakan untuk memperluas ekosistem penyedia serta meningkatkan product awareness.

Pandemi telah mempercepat adopsi layanan perawatan kesehatan digital. Pemerintah juga menunjukkan komitmen untuk mendukung solusi ini dengan cepat merilis Surat Edaran untuk memfasilitasi telekonsultasi antara dokter dan pasien dan mendorong masyarakat untuk memanfaatkan layanan perawatan kesehatan digital.

Jyoti menambahkan, “Hal ini turut menyoroti sistem perawatan kesehatan Indonesia yang tidak efisien. Pada dasarnya, menantang anggapan bahwa pasien selalu perlu dilihat secara fisik untuk perawatan. Saya rasa, layanan online/digital akan tetap ada dan perawatan kesehatan terus berkembang tidak hanya sekedar rumah sakit. Namun, dalam arti tidak hanya online – layanan offline dan online terintegrasi untuk memberikan perawatan yang lebih berpusat pada pasien.”

Meningkatnya jumlah pengguna internet dan harapan mereka untuk pengalaman yang lebih baik dalam perawatan kesehatan (dibandingkan dengan industri lain) akan semakin mendukung percepatan. Masyarakat akan lebih berdaya terhadap kesehatannya sendiri.

“Dalam jangka panjang, pandemi akan membantu pergeseran pola pikir dari kuratif ke preventif promotif. Orang-orang sekarang lebih diberdayakan tentang kesehatan mereka sendiri dan mereka akan mengharapkan cara yang lebih mudah dan nyaman dalam mengakses perawatan dari lokasi mana pun,” tutup Jyoti

Application Information Will Show Up Here

Halodoc Closes Series C Funding Round Worth 1.1 Trillion Rupiah

On its 5th anniversary (21/4), Halodoc announced the closing of $80 million (around 1.1 trillion Rupiah) series C funding round led by Astra International, with participation of Temasek, Telkomsel Mitra Inovasi, Novo Holdings, Acrew Diversify Capital Fund, and Bangkok Bank. There are some previous investors involved, including UOB Venture Management, Singtel Innov8, Blibli Group, Allianz X, Openspace Ventures, and others.

In the official release, this funding is said to be allocated to expand Halodoc’s penetration in various major health verticals as well as improve user experience through technology. Previously, Halodoc’s Co-Founder & CEO, Jonathan Sudharta had expressed his ambition for regional expansion, bringing practice from Indonesia to the targeted countries.

Djony Bunarto Tjondro as President Director of Astra said, “Astra’s participation in the Halodoc fundraising shows our confidence in Halodoc’s vision and commitment in overcoming challenges related to access to health services in Indonesia. The pandemic that has occurred to date is very challenging for the national health service system and we believe the investment made by Astra can support Halodoc to continue to provide innovative solutions that can benefit the lives of millions of Indonesians. ”

It’s all begin with a dream to simplify access to health for people, Halodoc has now developed into a healthtech platform that offers a variety of health services. In the five years of its journey, Halodoc has collaborated with various parties, one of which is Gojek, who was also their seed investor.

In addition, the company will continue the innovation to develop a B2B business model by partnering with insurance providers in 2018. Currently, there are more than 1000 corporate partners who have taken advantage of digital health services from Halodoc.

During the pandemic, the company experienced a significant growth of up to 16 times in terms of transactions as well as a 25 times user growth at 20 million active users per month in the same time period. The Halodoc Ecosystem is now supported by more than 20,000 licensed doctor partners, 2000 hospitals/clinics/labs, and 4000 registered pharmacies across hundreds of cities in Indonesia.

The Halodoc application has been equipped with three main features, a Health Store to make it easier for customers to buy medicines with doctor’s prescriptions quickly, safely & conveniently; Doctor Chat which allows patients to interact with more than 20,000 experienced and trusted doctors via chat, video call, or voice call; and Make Hospital Appointment which allows users to make appointments with doctors in 1000 partner hospitals.

Technology reform in the health sector

In 2021, the main focus of health industry players is to jointly succeed the national vaccination program and Halodoc becomes the first official partner of the Ministry of Health of the Republic of Indonesia by presenting the Covid-19 Vaccination Service Post which is a form of contribution of the nation’s children to the national vaccination acceleration program. In just one month, Halodoc has succeeded in presenting a drive-thru Covid-19 vaccination service post in seven locations in Indonesia, which cumulatively have successfully vaccinated nearly 80,000 Indonesians.

In this virtual event, participating also the Minister of Health of the Republic of Indonesia, Budi Gunadi Sadikin. He briefly expressed the government’s agenda related to technological reform in the health sector which would focus on Primary Care, Secondary Care (RS), Emergency Response, Funding, Culture and Human Resources, as well as IT and health data systems.

“Halodoc believes that digital is not the only way to revolutionize the health sector in Indonesia. Our strength is to combine technology with offline services also to improve the user experience and convenience. For us, innovation is not only about launching sophisticated solutions, Halodoc’s main goal is to solve health challenges in Indonesia, one of which is through technology, not only to expand access to health for more people, but also to provide a seamless and hassle-free user experience,” Jonathan added.

TMI’s CEO, Andi Kristianto also stated, “Halodoc and Telkomsel have recently developed and launched a variety of services built from telecommunication solutions that capable to provide powerful health experiences for patients in all around Indonesia. Currently, we are continuing this collaboration by making strategic investments that can create the most comprehensive end-to-end solutions that can transform the health sector.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Champion Women Leadership and Diversity in a Male-Dominated Logistics Industry

Often considered as the male-dominated space, logistics actually holds a big opportunity for women in the workforce. It is a very broad industry, encompasses the physical process of accumulating resources, the transportation or positioning of those resources to the final distribution. However, sometimes it hits different when people move against the major beliefs in society. There’s unconscious gender bias that plastered the mind to act accordingly and hold back the true intention of one’s ambition.

Based on a research by International Labour Organization (ILO) titled Breaking barriers: Unconscious gender bias in the workplace, unconscious gender bias is defined as unintentional and automatic mental associations based on gender, stemming from traditions, norms, values, culture, and/or experience. Automatic associations feed into decision-making, enabling a quick assessment of an individual according to gender and gender stereotypes.

An assistant professor in the University of Denver’s Department of Psychology and the paper’s lead author, Daniel Storage observed, “Stereotypes that portray brilliance as a male trait are likely to hold women back across a wide range of prestigious careers.”

However, that is not the case for Roolin Njotosetiadi. As one of the few female students in mechanical engineering major of Nanyang Technological University, it is never been much of an issue for her to climb the educational ladder along with the other male group. The spirit and unconditional effort are what carried her to the C-Suite position at one of the leading logistics companies in Indonesia, Logisly.

Women in the workforce

Globally, women are underrepresented in corporations, and the share of women decreases with each step up the corporate hierarchy. However, many companies have shown their commitment to gender equality by establishing family-friendly policies and facilitating women’s careers and professional networks. For example, pregnancy leave and other office facilities such as nursing room and so on.

Nevertheless, unconscious gender bias continues to impact women in the workplace, and more must be done to enable highly skilled women to advance into leadership positions. As quoted from The Economic Times, in 2010, women formed only eight percent of the logistics workforce which has steadily increased to 20 percent in 2018.

Since the designation of Raden Ajeng (RA) Kartini as a National Independence Hero based on the Presidential Decree of President Soekarno in 1964, Indonesia has experienced socioeconomic change and rapid growth in women’s educational attainment. However, throughout this period, Indonesian women have remained only moderately engaged in the labor market, with the female-male labor force participation ratio hovering around 0.6, based on Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study by Cornell University ILR School.

For Roolin, there are two things that should be highlighted. First, it’s all about perception, women can never be smarter than men is a very wrong one. Second, as people starting a family, they will face some difficulty adjusting to the work-life balance. However, since there’s this naturalized obligation in women to take charge of the care of familyit sometimes becomes 10 times harder.

“In Logisly, we tried to provide a safe space for women to build a career while also having responsibility in a household. With 40% of our employees are women, I personally want to create a healthy environment for them to develop their talent in logistics,” Roolin added.

In fact, the Indonesian tech industry is getting more support from women’s presence in the field. There are also some initiatives launched, for example, non-profit aims to educate and empower women who are passionate about technology, Girls in Tech. Also, the recent one, Elevate Women program to facilitate womenpreneur in the creative industry.

Women’s presence in the tech industry will always be expected. The thing is, there’s still an inherent perception in some industries that women are less capable than men. Roolin also mentioned that the higher number of male CEO in Indonesia is not due to an unsupportive environment, but sometimes women have their own unconscious bias against themselves, that they think they’re less capable. In fact, they’re not.

“Sit at the table! If you have the opportunity to participate, do it! Don’t ever think that you don’t deserve to be part of something big. Boost your confidence. If you’re there, you deserve to be there.” She added.

The rise of logistics

With the ups and downs due to the restriction policy at the beginning of the pandemic crisis, instead of slowing down, the logistics industry was capable to recover and accelerate, both from its business performance and the additional capital as proven by recent funding news from many local logistics platforms.

Overall, there is a decline in logistics demand last year, but some of the sectors are still growing. Logisly as one of the tech players trying to make diversification, as some of the sectors lay low, they reflexively shifted into the crowded market.  As the pandemic creates unprecedented effects, companies are trying to sustain the cash flow. “Luckily for us, that is our value proposition for the transporter,” Roolin added.

Roolin, through Logisly, is now focused on three things, expanding network with shippers and transporters using the flywheel strategy in order to better its services; improving operations with available automation supported by the latest technology, with the B2B model, performance is essential. They want to build not only tech solutions, but also trust from all our partners to manage their end-to-end performance; growing in terms of people development. Logisly is an asset-light tech company, people are its main asset.

“We continue on our effort to not only recruit really good people to join our team but make sure the team we have actually grown with Logisly and feel that they can see this as a place where they can live to their fullest potential,” Roolin added.

Based on the Startus-insights research, Digital transformation accounts for €1.42 trillion investments in logistics by 2025. However, the digital platform penetration in the logistics industry is still quite low, at least, that is what Roolin observed. In terms of Shipper, it’s time to leave the conventional way of manual ordering to all the paper-based invoicing. Many platforms are available to support digital transformation. Also, for the transporter, it will be more flexible to get an order. With the minimum effort, they can increase truck utilization and basic income. The business will be more seamless and totally digital, cost will be less and less burdening. However, with all the support of all the existing automation, disruption should always happen every day within the people.

“Disruption in logistics is quite extensive and this is just the tip of the iceberg,” she added.

Logistics as an industry intersects with many other industries, especially e-commerce. In Logisly, there are at least two to connect the dots to the e-commerce field. Many of its operations are last-mile, but some are investing in its own warehouse where they need a bigger fleet from warehouse to warehouse. Also, the last-mile players need support with their hub in certain cities. In addition, digital payment is also one of the must-adopted technology. “As a tech company, we need to fastly adapt to the latest automation in order to increase productivity and speed. For as long as I know, the key of logistics is speed,” she added.

As labor is a critical element of any logistics operating model, it holds big opportunities not only for men but also for women to join the workforce and the logistics sector is now supporting talented and energetic women by fostering a culture where women are provided with a various platform to develop and groom themselves. Many companies have taken positive steps by introducing a safe and women-oriented culture as well as work–life balance initiatives.

“Logistics is in a position to serve all parties with goods to its destination. It involves many people and covers all areas. We can’t do everything on our own, therefore, we need partners, in order to develop the hyperlocal-on-demand solution. The key is collaboration. If one should build everything, we wouldn’t have enough cost and there wouldn’t be enough time,” Roolin said.

Halodoc Umumkan Penutupan Putaran Pendanaan Seri C Senilai 1,1 Triliun Rupiah

Di hari jadinya yang ke-5 (21/4), Halodoc mengumumkan penutupan putaran pendanaan seri C sebesar $80 juta (sekitar 1,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh konglomerat Astra International, diikuti oleh Temasek, Telkomsel Mitra Inovasi, Novo Holdings, Acrew Diversify Capital Fund, serta Bangkok Bank. Turut berpartisipasi beberapa investor terdahulu seperti UOB Venture Management, Singtel Innov8, Blibli Group, Allianz X, Openspace Ventures, dan lainnya.

Dalam rilis resminya disebutkan bahwa pendanaan ini akan dialokasikan untuk memperluas penetrasi Halodoc di berbagai vertikal kesehatan utama serta meningkatkan pengalaman pengguna melalui teknologi. Sebelumnya, Co-Founder & CEO Halodoc Jonathan Sudharta sempat menyampaikan ambisinya untuk ekspansi regional, membawa hasil pembelajaran dari Indonesia untuk negara yang disasar.

Djony Bunarto Tjondro selaku Presiden Direktur Astra mengatakan, “Partisipasi Astra dalam fundraising Halodoc menunjukkan kepercayaan kami pada visi dan komitmen Halodoc dalam mengatasi tantangan sehubungan dengan akses layanan kesehatan di Indonesia. Pandemi yang terjadi hingga saat ini sangat menjadi tantangan bagi sistem layanan kesehatan nasional dan kami percaya investasi yang dilakukan oleh Astra dapat mendukung Halodoc untuk terus memberikan solusi inovatif yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan jutaan masyarakat Indonesia.”

Berawal dari mimpi untuk menyederhanakan akses kesehatan bagi masyarakat, Halodoc kini telah berkembang menjadi sebuah platform healthtech yang menawarkan layanan kesehatan yang bervariasi. Dalam lima tahun perjalanannya, Halodoc telah menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak salah satunya dengan Gojek yang juga merupakan investor awal mereka.

Selain itu, perusahaan juga terus berinovasi untuk mengembangkan bisnis model B2B dengan menggandeng provider asuransi di 2018. Kini, tercatat lebih dari 1000 mitra korporasi yang telah memanfaatkan layanan kesehatan digital dari Halodoc.

Selama pandemi, perusahaan mencatat pertumbuhan signifikan hingga 16 kali lipat dari sisi transaksi serta pertumbuhan pengguna aktif mencapai 25 kali lipat sebanyak 20 juta per bulan dalam periode waktu yang sama. Ekosistem Halodoc kini telah didukung lebih dari 20.000 mitra dokter berlisensi, 2000 RS/klinik/lab, serta 4000 apotek terdaftar yang tersebar di ratusan kota di Indonesia.

Aplikasi Halodoc sendiri telah dilengkapi dengan tiga fitur utama, yaitu Toko Kesehatan untuk memudahkan pelanggan membeli obat-obatan dengan resep dokter secara cepat, aman & nyaman; Chat Dokter yang memungkinkan pasien untuk berinteraksi dengan lebih dari 20.000 dokter berpengalaman dan terpercaya melalui chat, video call, atau voice call; dan Buat Janji Rumah Sakit (Appointment) yang memungkinkan pengguna untuk membuat janji temu dengan dokter di 1000 rumah sakit rekanan.

Reformasi teknologi di sektor kesehatan

Pada 2021, fokus utama pelaku industri kesehatan adalah bersama-sama menyukseskan program vaksinasi nasional dan Halodoc menjadi mitra resmi pertama dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dengan menghadirkan Pos Pelayanan Vaksinasi Covid-19 yang merupakan bentuk kontribusi karya anak bangsa pada program percepatan vaksinasi nasional. Hanya dalam satu bulan, Halodoc telah berhasil menghadirkan pos pelayanan vaksinasi Covid-19 secara drive thru di tujuh lokasi di Indonesia yang secara kumulatif telah berhasil memvaksinasi hampir 80.000 masyarakat Indonesia.

Dalam acara yang diadakan secara virtual ini, turut hadir Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin. Ia sempat menyampaikan agenda pemerintah terkait reformasi teknologi di bidang kesehatan yang akan berfokus pada Primary Care, Secondary Care (RS), Emergency Response, Pembiayaan (Funding), Budaya dan SDM, serta IT dan sistem data kesehatan.

“Halodoc percaya bahwa digital bukan satu-satunya cara untuk merevolusi sektor kesehatan di Indonesia. Kekuatan kami adalah menggabungkan teknologi dengan layanan-layanan offline sehingga dapat meningkatkan pengalaman dan kenyamanan pengguna. Bagi kami, inovasi bukan hanya sekadar meluncurkan aplikasi canggih, tujuan utama Halodoc adalah untuk menyelesaikan tantangan kesehatan di Indonesia salah satunya melalui teknologi agar tidak hanya memperluas akses kesehatan untuk lebih banyak orang, tetapi juga untuk memberikan pengalaman pengguna yang seamless dan tanpa ribet,” ungkap Jonathan.

CEO TMI Andi Kristianto turut menyampaikan, “Halodoc dan Telkomsel baru-baru ini mengembangkan dan meluncurkan berbagai layanan yang dibangun dari solusi telekomunikasi yang mampu memberikan pengalaman kesehatan yang mumpuni bagi pasien di seluruh pelosok Indonesia. Kini, kami melanjutkan kolaborasi tersebut dengan melakukan investasi strategis yang dapat menciptakan solusi end-to-end terlengkap yang dapat mentransformasi sektor kesehatan.”

Application Information Will Show Up Here

Arnold Egg Passionately Speaks about the Future in Digital Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It has been over 20 years since Arnold Sebastian Egg, or familiarly known as Arno Egg, arrived in Indonesia. During that time, he has been trying to build a business in this country, working in and out of e-commerce, making its way to the travel industry, until he found his passion in digital.

The holiday is what brought Arno to Indonesia, but doing digital business is what makes him stay. He started quite young with Tokobagus, spending over three years until finally get real traction, deciding to merge, and eventually left to build his own digital venture. In 2013, he finally got rid of all the limitations and became an Indonesian citizen to stay close to the market.

Arno is a product guy, he builds products based on what consumer needs. However, he still suggests that it’s not really appropriate to fall in love with your product and to listen to the people. He had wiped up a sweat and tasted sweetness in building startup from scratch. Tokobagus was his first legacy. He is now focused on developing digital products through Sprout Digital, and recently launched a new platform named Toco. Also, for the past 6 months, he’s been involved as a Founding Partner in a Venture Builder called Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial had a chance to virtually met him and discussed the digital industry in this country, and he was really passionate about it. Let’s hear more of the story.

When did you start to grow an interest in the tech industry?

I was one of those kids who occupied the first and only PC at school. I started at a very young age, and developed an interest in the computer field, then become the first batch of computer science students. At first, I studied in Rotterdam then moved to the US to catch up with the stuff I’m trying to learn. After that, I went back to Holland.

How did you end up in Indonesia? What makes you stay?

I went on holiday to Indonesia. I did enjoy sitting on the beach, then I find my way to the warnet and started talking to people over there. That’s how I started doing digital stuff in Indonesia. It is the best place for digital products in my opinion.

I’m from Holland, originally, already in Indonesia for a long time. What I know is in order to be successful, you need a big audience. In Europe, it’s very difficult because every country has its own different culture, which makes it a bit difficult to scale. In Indonesia, whether there are many different cultures, the way people do stuff is still the same. That’s why I started my digital journey in Indonesia.

Back then, it was difficult indeed, the internet was very expensive, even if there’s a big audience, nobody was able to go online. Therefore, in the early days, I started to set up a software house in Bali, building stuff for the European market, as a side project. It was the origin of Tokobagus.

So, Tokobagus used to be a side project, what’s the story behind that?

It was a funny story I told many times. It was from a client in Holland want to set up a classified business and then failed and blamed us for spending a lot of money without significant results. It was quite difficult to acquire users and finally run out before it was able to go into the market. I think most people forget that if you start a digital company, it takes quite a long time to get traction.

For Tokobagus, it was between 2005-2008 until we get real traction, around 3 years. I think what was the biggest lesson here, is you have to be patient. As the company grows, people have been doing stuff together in the current market, they merge with other companies. We acquired Berniaga because it’s clear that we both are fighting for the same spot. It just makes sense, and we can focus our energy and sources to develop the product and serve the consumers. It was also to bring peace to the market.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011

Not long after Tokobagus, you’ve started a new venture in the travel industry. How was it?

When I left, I had a very tight non-compete clause with Tokobagus, so I wasn’t able to do anything in the e-commerce base. After some research, the only thing I can do at the time was OTA. During that time I was also able to become Indonesian and keep close to the market, the situation is even better for me. When I was a foreigner, doing business in Indonesia is quite a challenge with all the limitations.

The travel industry was a very amazing journey but very difficult for me. Even though it’s getting more digital, it’s still quite a conventional internet way. My only experience in OTA was being on the side of the table. I spent those days setting up a network, getting context with the stuff. As soon as my limitation expired, I was able to get back into the e-commerce base. Even though I enjoy the journey, it was a very difficult battle to win, there were lots of big players with good funds and have been in the game for much longer. Also better companies with experience, therefore, it’s ok to fall, next!

Next, you did come back to the e-commerce industry. Can you share the journey?

Went back to e-commerce, I managed to work for the corporate, I was extra help for setting up the online channel for HP which focusses on the consumer and SMB market in Indonesia. In corporate industry, they do things totally differently. Even though they have amazingly strong products, it’s still quite slow in the digital pace. It wasn’t that very long journey, but I learned many things. It gave me insights on how to move on the market in corporate’s ways and how they execute differently than other digital startups. After that, I got asked by a friend to help out to set up the digital product in Lippo.

I jumped to Lippo mainly to set up a digital bank, which is now known as OVO. Because we were doing a lot of research, in the meantime, I also helped with MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (No.1 B2B e-procurement in Indonesia), and Red Carper Logistics (RCL – Logistics company specialized in last-mile fulfillment). However, OVO was my first deployment in the fintech space. Which is fun, because I like to do new things. We need to learn how to do the core banking system, switches, and how payments are done in Indonesia. It’s a great journey to learn so many and understand how normal banking works and how we can disrupt in that sense.

You’ve been into the e-commerce, travel industry, also fintech. What is your actual passion?

My passion is digital. I’m super happy that these days digital is just how normal business works. In that way, you need to be active in the digital space to be able to survive. It’s happening at a very fast pace. Indeed, my initial passion is in e-commerce, and while I manifest my time there, I still enjoy doing a lot of other stuff.

I’m happy with Sprout digital, helping people to set up new products, also do corporate venture building. During my time in Lippo or Bizzy, I had a lot of ideas that I was unable to get approval for or funding for. However, I can now execute that on my own and get that out into the market and ready to serve the Indonesian market. Whenever things pop out in my mind and I have time and work to try out and see what happens. I feel blessed.

At a certain period, you have to work and maintain several companies in parallel. How could you manage?

It’s very important to put your trust in the right people around you and good connection with all the people you work with. If you have a good layer around you then, it can make it easier, because they can fetch you the information you need to make decisions. In OVO we didn’t have that layer yet, so everybody reported directly to me, and it’s important to know everybody.

When you build connections, it’s not only at the working level but also on the private level, therefore, you can understand what people go through. I personally don’t believe everybody can function 100% all the time. There are always ups and downs. Everybody has personal issues and work issues. If you’re able to have a sense for that and you give people space when they need space. That’s important as well.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arno Egg with Bizzy Korea

When you first come to Indonesia as a non-native, what was your impression of this country? Do you find it difficult to adjust?

Of course, that takes some time. I came from Europe and the pace is not as fast as when I live in Bali. In Jakarta, it’s getting more alive. For me, as I was quite young when I arrived, I was able to adjust easily, just try to mix in. I was the same kid as every foreigner. Arrived in Indonesia, I want to work here, so learn the language as fast as I can. Although English is fine, because people speak in English everywhere, when it comes to specific purposes, it’s really important to understand the locals. You’ll get a lot of information when you talk in the same language.

You’ve set up several companies, what makes you believe in the Indonesian market?

I think Indonesia is the perfect market for digital. It was quite a disappointment for some global investors that never put Indonesia on the map. There are so many islands and digital can bring equality to the market. It’s not done yet until this very day, I was working to digitize the supply chain for logistics, working on some projects with farmers to make sure those outside of Java can stay in the playing field. Infrastructure is not optimized yet and there are so many processes that are still inefficient, it’s such a broad country. Digital is an amazing tool to make it more efficient and put Indonesia in a competitive position in the region.

In school I learned a lot about Indonesia, there are lots of touchpoints in my past. I’m happy to call Indonesia my home at least, to be able to live my dream, Indonesia is the best market to do so. It has all the ingredients to be a very strong country. With all the unicorns and big players, if you compare to the other market in the region. There were lots of winners in the competition and the market is already educated. I’m so energized by knowing that.

Tell me about your current venture, Sprout Digital. What is your vision?

For me, Sprout is a foundation. I have a few objectives with Sprout, it’s to place new talents into the market. I’m so happy to see many people who previously in Tokobagus are currently having good positions in the market. That’s something I want to do here as well. I have a lot of young people, who only started in the digital industry. I want to give them the right tools to make it successful in the future.

And of course, Sprout enables me to set up those products which I like to have myself. We’ve just launched Toco. From the beginning, the Tokobagus story was never finished. Seeing e-commerce getting less and less worthwhile for smaller players made me think that it was time to pick up where I left off. Toco is now the same as Tokobagus in the past, but we will continue adding features to enable users to buy and sell more conveniently without taking away their hard-earned profit. Making it more transparent. At the moment it is a C2C and that will move more and more to a mixed marketplace where you have C2C and B2C mixed. The process will be slow but sure.

Arnold Sebastian Egg

My mind always thinking about new things. Besides supporting a lot of companies to succeed in the digital space, Sprout enables me to be able to get those ideas out of my mind into products which people can start using.

It’s terrible what happened to the world, really painful to see people suffering because of Covid, not only in health but also in business. But there’s only one thing that’s positive, to speed up the education of the market. I went to Lampung for a project to help farmers. I saw everybody have smartphones for their children’s education. And that speeds up the whole digital process, people start to understand how to use it. It’ll move the distance closer between villagers and the urban population. Digital transformation is helping balance the level out of this playing field and moving everybody under the same phase.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg with Sprout and Toco team

In this digital era, how do you picture our tech industry will be in the future?

I’m happy to see how people are now setting up their businesses. Indonesia on its own is already an interesting market, we don’t have to look very much into the global from the beginning. If you want to start something in Indonesia, if you’re successful it’s a big market to serve. Not that I don’t see Indonesia can compete in the global market, I think in the future we might be able to. But I think it’s also important to take it a step at a time. Don’t do it because you want to, if there’s a demand for it, please do. For me, It’s good enough to be successful in Indonesia, going global is never really my biggest objective.

Organic growth is fundamental. You can speed up things a little but you should not implode buying all your users. It’ll leave you with nothing. I admit to being old-fashioned, it makes me against the odds. For me, it’s all about PnL (profit and loss). Does this business make sense? can you scale it? If you scale it, does it still make money or not? I was doing products because I want to serve customers. I understand the customers, what they need, and the problems. I think that’s also why Indonesian companies can compete with the global players as they arrived. Amazon, eBay, Rakuten don’t understand the users as we were understanding our customers. It was an eye-opener experience.

However when it comes to investment, it’s something that people should understand. Companies are bragging about how they raise more money while what they should really do is to focus on building the proper company. It’s important to make the investment climate healthy.

You’ve started several companies, anything you want to say to those tech/digital enthusiasts trying to make it into this industry?

You need to love what you’re doing, therefore, every struggle would be fine because you enjoyed it. There’s no success story that happened from day one. It’s always a struggle, it’s always a fight. It’s very difficult to be successful. I’m saying because I experience it myself, every startup will be painful and have a lot of work. I started Tokobagus with my own domain, build it with a lot of my time. If I may say, bootstrap is a good way to start a business.

Don’t fall in love with your own product. If your consumers said they don’t like that, believe them. It’s ok to fail, it’s better to fail fast, than in the long term. Create a maneuver, pivot, understand what the consumer wants and do it again. If you want to do something totally new, be ready for an uphill battle because you need to educate the market. Note to self: Working is important but you need to find time to spend with your family and loved ones. It’s important to have the proper balance in life.

If you had the chance, would you go back to Holland and start a new venture?

Nah. In Indonesia, people like innovations, people like to try out new things. Every time I go back, it always scares me. I always do the exact same thing I’ve been doing. What I want to say is, they’re much slower in innovations, it’ll be very tiresome for me. I’m super blessed that I went to Asia. I’m now in the middle of the epicenter. Asia is where the innovation or new market is going to be for the perceivable future. I believe in things will go up and down. It’s a fun time to be here. Why go back to the past?

Perkuat Komitmen Melayani Pedagang Ritel, Ula Fokus pada Proposisi Nilai

Platform e-commerce B2B yang fokus pada manajemen stok barang, Ula, terus memperkuat komitmennya untuk mendukung para pelaku ritel tradisional (termasuk warung) di Indonesia dalam mengoperasikan bisnis dengan bantuan teknologi. Ula membagikan strategi dan pendekatan yang dilakukan dalam menjangkau dan memastikan kebutuhan stok para pelaku ritel di tengah tingginya purchasing intention masyarakat Indonesia.

Hingga saat ini, perusahaan berhasil mencapai pertumbuhan bisnis sebesar 100x dalam hal volume dengan lebih dari 25 ribu toko telah tergabung dalam platform. Mengawali bisnis dengan 4 pendiri, timnya kini telah berkembang menjadi 200+ kolega yang tersebar di Indonesia, Singapura, dan India.

“Salah satu misi kami ketika merancang Ula adalah agar para pemilik warung dapat melakukan pemantauan ketika proses pengiriman. Kesejahteraan mereka berkaitan erat dengan toko yang mereka jalankan [..] Proses pengiriman kami adalah dua hari dan ini memberikan dampak yang sangat positif bagi peritel kecil,” ujar COO Ula Riky Tenggara.

Aplikasi Ula memungkinkan pelanggan untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Selain itu, aplikasi ini diklaim lebih ringan dan cocok untuk lingkungan koneksi rendah yang digunakan pelanggan kami dan untuk perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

“Terakhir, kami telah banyak berfokus pada pengalaman pelanggan; banyak pelanggan kami tidak terbiasa dengan belanja online dan kami memastikan bahwa mereka merasa nyaman membeli secara online melalui aplikasi kami untuk pertama kalinya dan bahwa antarmukanya ramah dan intuitif sehingga mereka dapat dengan mudah melihat manfaat dari persediaan melalui itu,” imbuh CCO Ula Derry Sakti dalam wawancara terpisah dengan DailySocial.

Dari sisi e-commerce, Covid-19 telah memaksa banyak bisnis, baik startup maupun tradisional, untuk melakukan konsolidasi atau fokus pada segmen intinya. Meskipun terasa berat dalam jangka pendek, ini membantu ekosistem menjadi matang secara keseluruhan sehingga para pemain bisa fokus pada kesejahteraan pelanggan. Dalam jangka panjang, itulah satu-satunya cara yang dirasa Ula tepat untuk membangun bisnis yang berkelanjutan.

“Kelekatan adalah fungsi proposisi nilai. Bagi kami, itu berarti bekerja mundur dari kebutuhan pelanggan,” tambah Derry.

Dan fokus ini akan menjadi sangat penting, karena pengecer kecil akan terus menjadi pilar perekonomian Indonesia. Pemulihan ekonomi mereka akan memainkan peran besar dalam pemulihan negara pasca pandemi. Indonesia adalah negara yang sangat berwirausaha, dan kami merasa terhormat dapat mendukung para pengusaha kecil ini – karena mereka dapat meningkatkan profitabilitas, mengembangkan bisnis, dan memperluas produk yang ditawarkan.

Rencana ke depan

Memasuki tahun ke-2 beroperasi di Indonesia, Ula menyadari pentingnya memahami dinamika kondisi pasar, termasuk kepada dampak dari momentum-momentum spesial seperti hari raya. Saat ini, Ula telah beroperasi di beberapa daerah di Indonesia termasuk kawasan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat;. Dimulai dengan fokus kepada penyediaan produk “kebutuhan harian” konsumen seperti FMCG dan kebutuhan pokok rumah tangga Indonesia, Ula berencana untuk berkembang di seluruh kategori lainnya, menyesuaikan dengan kebutuhan warung secara spesifik.

Ketika disinggung terkait pasar Jabodetabek, pihaknya menyebutkan bahwa wilayah tersebut ada dalam peta jalur ekspansi. Namun, mereka memilih untuk tidak memulai dari sana karena melihat kebutuhan pelanggan yang lebih mendesak di bagian lain Jawa di mana akses ke pilihan, layanan, dan harga terbaik masih kurang.

“Untuk saat ini prioritas kami adalah untuk terus membangun kepercayaan pelanggan di manapun kami berada dan ketika kami merasa memiliki proposisi nilai terbaik untuk pelanggan di Jabodetabek, kami akan masuk ke sana juga,” tambahnya.

Terkait rencana ke depan, Ula ingin terus tumbuh secara geografis di seluruh Indonesia, secara horizontal di seluruh kategori. Dengan menggunakan platform untuk menawarkan lebih banyak produk dan layanan serta fokus memberikan layanan terbaik pada pelanggan. Selain itu, pihaknya masih akan merekrut bakat terbaik di ketiga wilayah geografi mereka.

Hingga saat ini, Ula telah menerima pendanaan dengan total sebesar $30,5 juta sejak awal didirikan. Investor yang terlibat dalam pendanaan Ula termasuk Lightspeed India, Sequoia India, B Capital Group, Quona Capital, Saison Capital, SMDV, Alter.

Application Information Will Show Up Here

Proyeksi Pertumbuhan Industri Legaltech di Indonesia

Industri jasa hukum dikenal cukup konvensional dengan kebutuhan akan paperwork dan regulasi yang ketat. Hal itu menyebabkan terjadinya stagnasi atas inovasi di industri tersebut. Kompetisi yang terjadi hanya berkisar pada pertarungan harga dan kualitas, namun minim kreativitas karena sudah nyaman dengan pola kerja tradisional.

Hal ini menciptakan peluang baru bagi inovasi di sektor ini. Produk inovasi teknologi di industri jasa hukum inilah yang  dikenal secara luas dengan sebutan legaltech. Legaltech sendiri berkaitan erat dengan Regtech, smart legal tool yang menggunakan teknologi inovatif untuk membantu masyarakat dan bisnis pada umumnya memahami dan patuh terhadap peraturan yang berlaku.

Pada tahun 2017, para penggiat legaltech dan regtech di Indonesia sudah menginisiasi pembentukan asosiasi yang dinamai Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia (Indonesian Regtech and Legaltech Association IRLA). Ketika itu IRLA masih beranggotakan 10 startup hukum. Asosiasi ini bertujuan untuk memungkinkan kolaborasi antara setiap institusi yang mengejar inovasi teknologi dalam regulasi dan bisnis legal. Selama dua tahun berdiri, asosiasi ini relatif belum menuai dampak signifikan, disinyalir karena anggota yang masih sedikit dan kesibukan bisnis masing-masing.

Lalu di tahun 2019, asosiasi pertama di Asia Tenggara yang menghubungkan ekosistem legaltech atau startup digital yang bergerak di bidang hukum di seluruh kawasan, ASEAN LegalTech resmi diperkenalkan di Indonesia. Terdapat 88 startup legaltech di seluruh Asia Tenggara, 21 di antaranya berasal dari Indonesia.

Tantangan dan peluang

Berbicara mengenai tantangan, perkara hukum memang belum bisa sepenuhnya dilakukan secara digital. Meskipun sudah banyak startup yang menawarkan layanan digital, namun dalam beberapa aspek masih harus menggunakan cara tradisional. Selain itu, kondisi pasar yang belum siap menerima perkembangan teknologi turut menjadi salah satu beban tersendiri.

Dalam Global Legal Tech Report yang disusun Australian Legal Technology Association dan Alpha Creates, pandemi COVID-19 adalah tantangan teratas bagi perusahaan legaltech di seluruh dunia.

Sumber: ASEAN Legal Tech
Sumber: ASEAN Legal Tech

 

Legaltech untuk UMKM

Hukum itu melekat di setiap fase kehidupan masyarakat maupun entitas, termasuk UKM. Stigma terhadap jasa legal yang mahal serta kurangnya pemahaman terhadap dokumen-dokumen legal menjadi alasan kuat bagi para pelaku UKM untuk mengesampingkan urusan legal. Ini menjadi pasar yang menarik untuk dipecahkan startup legaltech.

Founder Lexar.id Ivan Lalamentik mengatakan, “Menurut kami, hal yang menjadi tantangan terbesar terhadap UKM terkait legal issue adalah membangkitkan kesadaran akan pentingnya legalitas perusahaan yang dimulai sejak awal berdirinya perusahaan. [..] Banyak dari pelaku UKM yang menganggap pendaftaran merek sebagai suatu biaya, padahal merek dagang itu merupakan aset yang tidak berbentuk (intangible asset) dan bilamana merek-merek tersebut belum didaftarkan, maka bisa menimbulkan risiko yang lebih besar.”

Dukungan lain juga disalurkan Justika, bagian Hukumonline yang fokus menggarap segmen UKM, dengan melakukan kerja sama strategis dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) untuk Program Konsultasi Hukum Gratis, yang melibatkan 100 advokat dari 40 kantor firma hukum ternama dari berbagai kota dan keahlian.

Masa depan legaltech di Indonesia

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan perlunya firma hukum dan tim internal untuk berinovasi lebih jauh dan menemukan metode yang tepat untuk memberikan layanan terbaik.

Ivan, yang juga menjabat sebagai First Deputy Chairman di IRLA mengungkapkan, “Secara umum Legaltech pasti akan berkembang lebih pesat lagi dan menurut saya, UKM akan menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan kemajuan tersebut karena terus mengalami pasang surut  di tengah masa pandemi Covid-19. [..] Terlebih lagi, sejak akhir 2020 kemarin, pemerintah telah menerbitkan UU Cipta Kerja, yang kami rasa akan berdampak positif kepada UKM, sehingga potensi market semakin membesar.”

Selain didukung perubahan perilaku konsumen, yang menyebabkan disrupsi teknologi lebih cepat terjadi, pandemi Covid-19 juga membawa dampak yang besar bagi perkembangan teknologi khususnya di bidang hukum. Bekerja dari rumah menjadi tantangan tersendiri dalam mengawasi dan memperbarui setiap regulasi yang dikeluarkan Pemerintah selama pandemi.

“Potensi pasar yang masih tersembunyi ini adalah UKM, jadi kami berharap dengan adanya teman-teman di industri legaltech dan oleh Kontrak Hukum khususnya, kami bisa lebih membantu dan mencapai para pelaku ekonomi UKM nasional, menaikkan kelas usaha mereka melalui legalitas dan meningkatkan akses dan kapabilitas mereka di era digital ini,” tutup Founding CEO KontrakHukum Rieke Caroline.

Nimbly Raih Pendanaan Pra-Seri A 67 Miliar Rupiah, Pasar Indonesia Tengah Jadi Prioritas

Perusahaan pengembang layanan automasi operasional bisnis berbasis di Singapura “Nimbly” raih pendanaan pra-seri A senilai $4,6 juta atau setara 67 milyar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Insignia Ventures Partners, dengan partisipasi Sovereign’s Capital dan Saison Capital. Dana segar akan difokuskan untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis di kawasan Asia Tenggara.

Daniel Hazman selaku Founder & CEO Nimbly Technologies dalam wawancara bersama DailySocial menyebutkan bahwa perusahaan sedang berada dalam fase pertumbuhan eksplosif dan ingin memperluas bisnis lebih jauh di luar Indonesia.

Selama kurang lebih tiga tahun beroperasi, Nimbly telah tersedia di tujuh negara termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, hingga Amerika Serika. Sebagian besar klien mereka datang dari industri ritel dan F&B, seperti KFC, Kopi Kenangan, 7-Eleven dan Under Armour.

Perusahaan yang juga dikenal dengan nama HelloNimbly ini menawarkan layanan yang bisa membantu perusahaan dalam automasi operasional bisnisnya seperti mengintegrasikan platform spreadsheet, email, dan pesan singkat dengan menggabungkan fungsinya ke dalam satu aplikasi. Termasuk daftar periksa, audit, dan live video untuk memastikan bahwa prosedur operasi standar diikuti di semua lokasi.

Terkait targetnya melalui pendanaan ini, Daniel turut mengungkapkan, “Kami masih menargetkan perusahaan di industri F&B, pertanian, ritel, manufaktur, manajemen fasilitas, dan FMCG yang berbasis di Asia Tenggara. Kami fokus pada Indonesia terlebih dulu karena ini adalah pasar terbesar di kawasan ini; saat kami ingin memperluas ke seluruh Asia Tenggara, Singapura adalah tempat yang tepat untuk itu.”

Daniel sempat menyebutkan rencananya untuk mulai masuk ke industri perbankan. Namun, ketika disinggung kembali terkait rencana tersebut, pihaknya mengatakan masih akan fokus pada industri yang selama ini sudah digarap.

Mengutip Insignia Ventures Partners, mitra pengelola pendiri Yinglan Tan, “Perusahaan SaaS saat ini menjadi vertikal yang sedang berkembang di Asia Tenggara dengan lebih banyak bisnis yang datang dari berbagai ukuran dan seluruh industri yang ingin melakukan transformasi serta mengembangkan kemampuan masuk ke area perangkat lunak.”

“Kami berharap dapat menjadi salah satu mitra pilihan utama organisasi kelas dunia dalam perjalanan transformasi digital mereka,” tutup Daniel.