Kata.ai Umumkan Pendanaan Seri B, Luncurkan Platform untuk Social Commerce

Rabu (25/11),platform teknologi percakapan bertenaga AI dan NLP Kata.ai mengumumkan pendanaan seri B yang dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund dengan partisipasi MDI Ventures dan Buana Investama. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima. Dana akan difokuskan untuk ekspansi dan akselerasi layanan AI pada industri yang lebih luas, seperti commerce, healthcare, dan insurtech.

“Fokusnya untuk ekspansi layanan ke arah UKM, khususnya social commerce, juga akselerasi layanan AI di industri lainnya seperti healthcare dan insurtech. Kata.ai di sini sebagai enabler untuk membantu para pemain di industri ini bisa lebih thriving dengan adanya teknologi kecerdasan buatan,” ujar CEO Kata.ai Irzan Raditya dalam konferensi pers media INTERACT 2020.

Irzan turut menyampaikan bahwa ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $125 miliar di tahun 2025. Diperkirakan pada tahun 2030, dampak dari kecerdasan buatan untuk GDP Indonesia bisa mencapai $366 miliar. Angka tersebut sangat masif melihat dampak positif yang AI bisa berikan pada Indonesia.

Selain itu, dengan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh pandemi, para pelaku bisnis harus mencari cara baru untuk bertahan dan menyambung penjualan. Sebanyak 125 juta masyarakat Indonesia telah menggunakan WhatsApp dan 70 juta dari mereka telah memiliki Instagram. Hal ini harusnya bisa dimanfaatkan para pelaku bisnis untuk menciptakan pengalaman baru dalam berbelanja.

Luncurkan platform Qios

Platform social commerce memang diprediksi memiliki peran yang cukup besar dalam penjualan online commerce di Indonesia. McKinsey memprediksi pada tahun 2022 total Gross Merchandise Value (GMV) social commerce di Indonesia akan mencapai $25 miliar. Melihat masalah dan kesempatan yang ada, tahun 2021 diprediksi menjadi momentum untuk conversational commerce, solusi ini tidak hanya digunakan untuk layanan pelanggan namun juga bisa menjadi layanan penjualan yang scalable.

QIOS merupakan layanan untuk para pelaku UKM terkhusus social seller yang berjualan melalui media sosial untuk mengelola bisnis. Melalui platform ini, para pelaku UMKM bisa membuat asistem virtual via WhatsApp untuk melayani pertanyaan, juga pembayaran hingga pengiriman.

Platform ini terintegrasi dengan e-wallet seperti OVO, DANA Linkaja dan juga layanan logistik seperti Go-Send dan Grab Express. Melalui platform ini, pelaku UMKM diharapkan bisa lebih fokus untuk mengelola bisnis dengan bantuan AI dan chatbot.

“Kami melihat banyak sekali peluang dalam sektor ini, selain teknologi chatbot, kami juga tengah mengembangkan teknologi voice, dan mencari cara bagaimana bisa mentransformasi para pelaku bisnis di Indonesia pada skala mikro, kecil dan menengah,” ungkap Irzan

Saat ini, Qios tersedia masih dalam versi beta. Model bisnisnya saat ini adalah freemium, namun akan ada biaya yang ditarik dari setiap transaksi yang dilakukan dalam platform. Belum ada informasi lebih lanjut terkait perhitungan yang digunakan. Salah satu dari puluhan merchant yang sudah menggunakan layanan Qios ini adalah Toko Kopi Tuku.

Rencana 2021

Sejak diluncurkan tahun 2016, Kata.ai sudah berkolaborasi dengan berbagai institusi dalam misinya untuk memberikan layanan conversational AI yang scalable dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia. Beberapa di antaranya adalah dengan meluncurkan asisten virtual untuk mengakomodasi kebutuhan pengguna BPJS, juga bekerja sama dengan Prixa untuk menyediakan sistem periksa gejala berbasis AI.

Kata.ai telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Angka pertumbuhan di tahun 2020 meningkat sebanyak 5x lipat dari tahun sebelumnya. Hingga saat ini, Kata.ai telah memproses lebih dari 750 juta percakapan. Selain itu, terdapat 3 juta Monthly Active Users yang berinteraksi dengan chatbot yang diciptakan dengan menggunakan Kata Platform.

Pandemi disebut menjadi salah satu faktor pendukung kesuburan bisnis yang memungkinkan pertumbuhan 3 kali lipat yang biasanya memakan waktu 18 bulan jadi hanya dalam kurun waktu 6 bulan.

Terkait rencana bisnis, Irzan menyampaikan, “Rencana bisnis kami tetap untuk mengakselerasi digital transformasi di Indonesia bagi para pelaku bisnis.”

Pertumbuhan Bisnis JOOX Selama 5 Tahun, Terus Pacu Kolaborasi

Musik telah menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan orang di belahan dunia mana pun. Orang-orang kini bersedia membayar harga yang pantas untuk dapat menikmati musik di mana pun mereka berada melalui perangkat seluler. Di Indonesia, kancah aplikasi streaming musik cukup penuh dengan pemain global. Salah satu yang terbesar, dan baru saja merayakan hari jadinya yang ke-5 adalah JOOX.

Pada tahun 2017, JOOX meluncurkan fitur LIVE dengan mendekatkan artis dan penggemar dengan pertunjukan langsung gratis dari artis lokal dan internasional. Di tahun yang sama, mereka juga meluncurkan fitur karaoke yang memungkinkan pengguna menyanyi, mendengarkan, dan mengomentari lagu yang disukai. Ada lebih dari 100 juta lagu telah dinyanyikan di JOOX, yang berarti 20 lagu dalam satu menit. Melihat pertumbuhan pengguna Karaoke yang cukup signifikan, JOOX memutuskan untuk meluncurkan fitur Karaoke baru, Quick Sing, sehingga memudahkan pengguna untuk menyanyikan lagu dan membagikannya kepada orang lain.

Peter May, Head of JOOX Indonesia, mengatakan, “Dalam lima tahun terakhir, kami juga melihat perkembangan pesat industri musik Indonesia. Setiap tahun, jumlah musisi baru bertambah, membawa kreasi dan inspirasi baru di semua genre musik. Platform streaming musik seperti JOOX telah membantu orang untuk mendapatkan akses ke beragam musik dan memperoleh kesadaran akan genre yang berbeda di Indonesia. Hal ini telah membantu meningkatkan kebanggaan masyarakat lokal terhadap musik Indonesia.”

Pertumbuhan bisnis JOOX

Meningkatnya kebutuhan akan layanan platform streaming musik mendorong JOOX untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk. Lebih dari sekedar platform streaming musik, JOOX merupakan platform hiburan sosial yang menyediakan lebih dari 30 juta koleksi lagu dengan berbagai pilihan genre musik yang dapat disimak melalui fitur interaktif lainnya untuk memenuhi kebutuhan hiburan masyarakat Indonesia kapanpun dan dimanapun.

Platform streaming musik besutan Tencent ini telah tersedia di delapan negara, antara lain Indonesia, Hongkong, Malaysia, Thailand, Myanmar, Makau, dan Afrika Selatan. Peter juga menyebutkan bahwa sebelum memasuki pasar, timnya melakukan riset dan survei menyeluruh tentang situasi pasar. Permintaan pasar adalah pertimbangan dasar JOOX untuk memulai operasinya. Sekarang, JOOX selalu menjadi salah satu pemain industri teratas di pasar tempatnya beroperasi. Dia mengklaim JOOX sebagai aplikasi streaming musik yang paling banyak diunduh, menurut App Annie, baik di Apple App Store dan Google Play Store (di semua pasar terkait) selama tiga tahun berturut-turut.

“Fokus utama kami adalah menyediakan layanan terbaik dan memenuhi beragam kebutuhan pelanggan di tempat kami beroperasi saat ini, tetapi kami selalu mencari cara untuk tumbuh baik di pasar yang ada atau di pasar baru yang potensial,” tambah Peter.

Sejak pandemi COVID-19, masyarakat kini menyesuaikan gaya hidupnya dengan melakukan berbagai aktivitas dari rumah secara virtual, termasuk cara mereka menikmati konten hiburan.

Tanpa merincikan angka pertumbuhan penggunanya, tim JOOX menyampaikan kebiasaan pengguna yang mendengarkan musik untuk menemani mereka melakukan apa pun, mulai dari bepergian, bekerja, belajar, dan bersantai. Beberapa ahli juga mengatakan bahwa musik bisa menjadi platform untuk merangkul dan mengekspresikan perasaan, kebahagiaan, atau kesedihan orang saat ini. Oleh karena itu, fitur Karaoke dan Live Streaming menjadi fitur JOOX yang paling banyak digunakan kedua dan ketiga.

“Semua fitur dan keseruan ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk terus berupaya menyediakan konten hiburan yang relevan bagi pengguna di Indonesia sekaligus mendukung ekosistem industri musik dan kreatif tanah air,” kata Peter.

Pimpinan JOOX Indonesia ini terus menyebutkan bahwa musik telah menjadi bagian dari kehidupan banyak orang. Selain itu, timnya juga melihat bahwa podcast mendapatkan daya tarik yang semakin signifikan di industri global. JOOX, dengan teknologi dan fitur-fiturnya saat ini, akan mendukung pertumbuhan podcast di wilayah ini.

Dengan kehadiran developer yang hanya berpusat di kantor China, JOOX tetap mengikuti tren teknologi di kawasan ini dengan menggunakan teknologi AI di platformnya. Teknologi pembelajaran mesin AI yang diterapkan di JOOX dikatakan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebiasaan, perilaku, dan preferensi pengguna saat mereka mendengarkan musik. Dari sana, JOOX dapat mengambil langkah berikutnya dengan memberikan pengalaman streaming musik yang disesuaikan kepada pengguna melalui fitur tambahan seperti rekomendasi daftar putar yang dipersonalisasi dan pemberitahuan dalam aplikasi.

Selain perluasan geografis dan pembaruan fitur, penggunaan teknologi pembelajaran mesin atau machine learning juga penting bagi pengguna dan musisi. Bagi pengguna, ini memudahkan mereka untuk menemukan lagu-lagu yang sesuai dengan selera dan preferensi, sedangkan bagi para musisi, ini membantu mereka mendapatkan eksposur untuk lagu-lagu mereka ke lingkup audiens yang lebih luas.

Terus pacu kolaborasi

Meskipun sistem berlangganan merupakan faktor penting dalam pertumbuhannya, JOOX memiliki aliran revenue yang cukup beragam. Di B2C, mereka memiliki fitur unik yang berbeda, seperti K-Plus, Coin Redemption (model sosial/ekonomi penggemar). Pengguna dapat menggunakan koin mereka untuk berbagi hadiah selama siaran langsung, mendukung lagu karaoke favorit mereka, atau membeli airtime, merchandise, voucher belanja, dan bahkan akses VIP.

Dari sisi B2B, JOOX menyediakan platform bagi pemasar dan pengiklan untuk menjangkau dan terlibat dengan audiens target mereka melalui musik dan hiburan.

JOOX telah berkolaborasi dengan pihak ketiga, agensi, dan merek untuk menyatukan konsumen dan pengiklan di platformnya. Kemitraan tersebut menawarkan eksposur berdasarkan rasio klik-tayang dan rasio respons aplikasi di JOOX. Beberapa mitra mereka sebelumnya seperti Coca-Cola, P&G, Unilever, dan merek regional terkemuka seperti eCommerce Shopee dan aplikasi super Asia Tenggara Grab telah memanfaatkan solusi periklanan JOOX di wilayah terkait.

Selain layanan streaming musik, JOOX juga menghadirkan banyak konten hiburan video, mulai dari siaran langsung acara musik regional seperti tiga upacara penghargaan K-Pop besar di Korea hingga program musik Korea seperti M countdown.

“Selain sebuah merek dan pengiklan, kami juga memposisikan diri sebagai penyedia hiburan digital karena kami bekerja sama secara erat dan memiliki hubungan yang kuat dengan label musik di seluruh wilayah,” kata Peter.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

JOOX’s 5-Year Business Growth in Indonesia, Continue Strives for Collaboration

Music has become a primary need for most people in any part of the world. Those people are willing to pay a good price to be able to enjoy music anywhere they could through their mobile devices. In Indonesia, the music streaming applications scene is quite full of global players. One of the biggest ones, and recently just celebrated its 5th year anniversary is JOOX.

In 2017, JOOX launched its LIVE feature by bringing artists and fans closer together with free live performances from both local and international artists. In the same year, they also launched a karaoke feature, enabling users to sing, listen, and comment on the songs they like. There are more than 100 million songs have sung on JOOX, which translates to 20 songs a minute. Seeing quite significant growth of its Karaoke user, JOOX decided to launch a new Karaoke feature, Quick Sing, making it easier for the user to sing a song and share it with people.

Peter May, Head of JOOX Indonesia, said, “In the past five years, we have also seen the rapid development of the Indonesian music industry. Every year, the number of new musicians increases, bringing new creation and inspiration across all music genres. Music streaming platforms like JOOX have helped people to get access to any music and gained awareness of different genres in Indonesia. This has helped contribute to the surge of local pride for Indonesian music.”

JOOX’s business growth

The increasing needs for music streaming platform services have driven JOOX to continue innovating and developing the product. More than just a music streaming platform, JOOX is a social entertainment platform that provides more than 30 million song collections with a wide selection of music genres that can be listened through other interactive features to meet the entertainment needs of the Indonesian people anytime and anywhere.

The Tencent backed music streaming platform has been available in eight countries, including Indonesia, Hongkong, Malaysia, Thailand, Myanmar, Macau, South Africa.  Peter also mentioned that before entering a market, his team will do thorough research and survey on the market situation. The market demand is the basic consideration for JOOX to start its operation. Now, JOOX is always one of the top industry players in the markets it operates in. He claims JOOX as the most downloaded music streaming app, according to App Annie, both on Apple App Store and Google Play Store (across all markets with its footprint) for three consecutive years.

“Our main focus is providing the best services and meeting the diverse needs of our customers where we currently operate, but we are always looking to grow whether it is in existing markets or in potential new markets,” Peter added.

Since the COVID-19 pandemic, people are now adjusting their lifestyle to carry out various activities from their homes virtually, this includes how they enjoy entertainment contents.

Without sharing any detailed numbers on its user growth, JOOX’s team said their users usually listen to music to accompany them doing anything, from commuting, working, studying, and relaxing. Some experts also said that music could be a platform to embrace and express people’s current feelings, happiness, or sadness. Therefore, the Karaoke and Live Streaming feature become the second and third most used feature of JOOX.

“All of these features and excitement are part of our commitment to continuously strive to provide relevant entertainment content for users in Indonesia while supporting the country’s music and creative industry ecosystem,” Peter said.

As the JOOX’s Indonesia Head continues mentioning that music has been a part of many people’s lives, his team also see that podcast is gaining more mainstream appeal in the global industry. JOOX, with its current technology and features, is to support the growth of podcasts in the region.

With the presence of developers only in China’s headquarter, JOOX still keeping up with the technological trend in the region by using AI technology in its platform.  The AI machine learning technology implemented in JOOX is said to have a better understanding of user’s habits, behavior, and preferences when they listen to music. From there, JOOX can take the next step by providing users with a customized music streaming experience through additional features like personalized playlist recommendations and in-app notifications.

Aside from geographical expansion and feature updates, the use of machine learning technology is also important for both users and musicians. For the users, it makes it easier for the user to find the songs that are suited to their tastes and preferences, while for the musicians, it helps them gain exposure to their songs to a wider scope of audience.

Continue strives for collaboration

While the subscription is an important factor in its growth, JOOX has a diversity of revenue streams. On B2C, they have different unique features, e.g. K-Plus, Coin Redemption (social/fan economy model). Users can use their coins to share gifts during live broadcasts, support their favorite karaoke song, or purchase airtime, merchandise, shopping vouchers, and even VIP access.

In terms of B2B, JOOX provides a platform for marketers and advertisers to reach and engage with their target audience via music and entertainment.

JOOX has been collaborating with 3rd parties, agencies, and brands to bring consumers and advertisers together on its platform. The partnerships offer exposure based on the click-through rate and app response rate on JOOX. Some of their previous partners like Coca-Cola, P&G, Unilever, and leading regional brands such as eCommerce Shopee and Southeast Asian super app Grab have leveraged JOOX’s advertising solutions in the region.

In addition to music streaming services, JOOX also brings in a lot of video entertainment content, from live broadcasts of regional music events such as the three major K-Pop award ceremonies in Korea to Korean music programs like M countdown, among others.

“Apart from brands and advertisers, we also position ourselves as a digital entertainment provider as we collaborate closely with and have a strong relationship with music labels across the regions,” Peter said.

Application Information Will Show Up Here

Ruangpeduli Diluncurkan, Mengakomodasi Bantuan Sosial untuk Pendidikan

Setelah Mendikbud menyatakan kondisi akibat pandemi belum memungkinkan kegiatan belajar-mengajar berlangsung secara normal, terdapat ratusan ribu sekolah ditutup sementara untuk mencegah penyebaran Covid-19. Puluhan juta siswa kini melakukan kegiatan belajar dari rumah dan kurang lebih empat juta guru melakukan kegiatan mengajar jarak jauh. Sayangnya, berbagai keterbatasan banyak ditemui, sehingga membuat agenda belajar daring tersebut kurang optimal.

Melihat kondisi tersebut, Ruangguru meluncurkan inovasi barunya yang diberi nama Ruangpeduli. Melalui platform ini, mereka ingin menghubungkan seluruh stakeholder dalam dunia pendidikan seperti pelajar, guru, sekolah, dan lainnya dengan berbagai pihak yang memiliki kapasitas untuk membantu. Ruangguru akan memusatkan dan melaksanakan seluruh kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini sudah berjalan dan yang akan datang, di dalam Ruangpeduli.

Co-Founder & CEO Ruangguru Belva Devara mengungkapkan, “Kondisi pandemi yang kita hadapi saat ini makin memperbesar berbagai tantangan pendidikan. Kami meluncurkan Ruangpeduli karena percaya bahwa gerakan peduli pendidikan bisa dibuat lebih terstruktur dan kolaboratif. Harapannya, lewat Ruangpeduli, akan ada lebih banyak individu dan lembaga yang terpanggil untuk berkontribusi untuk pendidikan Indonesia.”

Dalam platform ini, individu maupun lembaga dapat mengajukan program sosial pendidikan yang membutuhkan bantuan. Beberapa program pendidikan telah berlangsung melalui kerja sama dengan para mitra, seperti beasiswa pelatihan guru, beasiswa pendampingan siswa, pembelajaran intensif untuk siswa putus sekolah, dan akses gratis ke konten pendidikan.

“Adaro Foundation telah menjalin kerja sama dengan Ruangguru beberapa tahun terakhir. Visi dan misi kami beriringan, yakni meningkatkan kualitas pendidikan melalui sumber daya manusia yang mumpuni. Pelatihan guru dan beasiswa bagi pelajar telah kami berikan dan juga turut menyasar daerah 3T di Indonesia,” ujar Ketua Umum Adaro Foundation Okty Dayamanti.

Sebagai platform edtech, Ruangguru memiliki jaringan serta kapasitas dalam lingkup pendidikan Indonesia. Ruangguru juga bermitra dengan Kitabisa dan Benih Baik dalam urusan penggalangan dana. Seluruh proses akan dikelola oleh tim Ruangguru dan mitra terkait, timnya mengaku tidak mengambil komisi atau menerima dana dalam bentuk apapun.

“Kitabisa memiliki semangat yang sama dengan Ruangguru untuk menghubungkan jutaan kebaikan termasuk kebaikan di dunia pendidikan. Kemitraan ini menjadi awal yang baik dalam memudahkan para orang baik menyalurkan bantuan bagi para guru, siswa, dan pihak lain yang membutuhkan
bantuan pendidikan”, ujar Co-Founder & CEO Kitabisa.com Muhammad Alfatih Timur.

Terkait jenis kerja sama yang akan dilakukan bersama para mitra, Firdaus Juli,
Co-founder Benih Baik turut menyampaikan bahwa segala hal yang terkait pendidikan akan dilancarkan, karena hal itu merupakan root atau akar. “Kami menyambut positif kerja sama dengan Ruangguru untuk memperluas akses bantuan di sektor pendidikan. Kita harus menggandeng banyak mitra dalam menjangkau pihak-pihak yang berhak memperoleh bantuan pendidikan, agar dampak yang dihasilkan semakin luas,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Zi.Care Fokus Kembangkan Solusi Digitalisasi Rumah Sakit

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong banyak sektor bergerak ke arah digital, termasuk di dunia kesehatan. Dengan latar belakang lebih dari sepuluh tahun di beberapa rumah sakit ternama, Founder dan CEO Zi.Care Indonesia Jessy Abdurrahman melihat sebuah fenomena, dengan kemampuan dokter yang mumpuni serta teknologi yang tak kalah canggih, mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih akses kesehatan di luar negeri?

Hal ini mendorong ia untuk menemukan pain points dalam sistem operasional rumah sakit di Indonesia lalu mengembangkan solusi digital untuk mengatasi masalah tersebut.

Dibangun pada tahun 2017 bersama rekannya Sanjaya I Mayluddin, Zi.Care menawarkan solusi end-to-end untuk digitalisasi rumah sakit. Sebuah platform Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan yang sepenuhnya secara komprehensif menangani seluruh siklus dalam proses dari manajemen sumber daya hingga klaim asuransi.

Solusi yang ditawarkan

Saat ini, Zi.Care membagi bisnisnya dalam tiga macam konsep, yaitu B2B untuk menyediakan dan mengembangkan platform SaaS untuk fasilitas kesehatan; B2C untuk merevolusi utilitas aplikasi seluler perawatan kesehatan dan memasukkan rekam medis elektronik pribadi; serta B2G untuk menyelaraskan dan mendukung regulator dalam menetapkan standar ekosistem perawatan kesehatan digital.

Jodi Susanto, Co-Founder dan Executive Director Zi.Care Indonesia menyampaikan, “Solusi digital yang ingin kami tawarkan adalah end-to-end business process meliputi dokter, pasien, manajemen rumah sakit, perawat, back and front office, hingga purchasing dan procurement. Namun saat ini, kami fokus mengedepankan solusi EMR (Electronic Medical Record).”

Dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS mereka dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, pihaknya akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan pada rumah sakit berikut pemeliharaannya. Saat ini, perusahaan mengaku telah melayani 76 Rumah Sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.

Tekait layanan SaaS yang ditawarkan, Jodi turut menambahkan, “Zi.Care dibangun dengan kompleksitas yang lengkap, namun dalam penerapannya, sifatnya initialization, berdasarkan permintaan.”

Selain fokus pada beberapa fitur unggulan di atas, Zi.Care juga tengah mengembangkan solusi B2C yang disebut health passport, yaitu catatan medis elektronik untuk individual berbasis cloud yang terintegrasi sepenuhnya dengan stakeholder yang berkepentingan. Namun, perusahaan mengaku masih dalam perbincangan dengan beberapa stakeholder mengenai regulasi.

“Kita sudah berkomunikasi intensif dengan tim dari otoritas, seperti KemKes, Mendagri, dan lainnya. Karena dalam penggunaannya sendiri, terdapat juga integrasi antar kementrian dan butuh NIK. Namun, secara produk sudah jadi dan siap di-launching bersamaan dengan distribusi vaksin,” tambah Jodi.

Selain menawarkan solusi dalam hal sistem, Zi.Care juga memiliki modul yang memudahkan pasien BPJS untuk berobat di rumah sakit melalui fitur dana talangan BPJS. Saat ini telah bermintra dengan bank BNI, Mandiri, dan Mandiri Syariah, untuk rumah sakit yang belum bankable, kita juga sudah kerja sama dengan alami dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut.

“Kami menyebut ekosistem ini cloud hospital, di mana setiap layanan kesehatan bisa terjadi di bawah payung rumah sakit. Dengan konsep ini, setiap rumah sakit bisa menjangkau pasien di mana saja. Hal ini otomatis akan meningkatkan daya saing rumah sakit dengan solusi healthtech lainnya,” ujar Jodi.

Dalam perjalanan bisnisnya, Zi.Care telah bekerja sama dengan beberapa pihak terkait inklusi kesehatan. Pada tahun 2019, Zi.Care bersama lima startup kesehatan dan Kemenkes telah meneken MoU yang menyebut bahwa perusahaan akan mendukung aspek pengembangan teknologi dari platform SehatPedia. Aplikasi ini memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter-dokter beragam spesialisasi dari 33 rumah sakit vertikal Kemenkes.

Potensi pasar dan target

Bulan Juni 2020, Zi.Care akhirnya meluncurkan versi beta platformnya. Dalam aplikasi ini, ada beberapa fitur utama seperti Reservasi Online, Telekonsultasi, serta EMR. Perusahaan mengklaim telah mendapatkan 500 pengguna hingga saat ini.

Terkait pendanaan, Zi.Care berhasil meraih seed round dari Lima Ventura, sebuah venture capital milik Garuda Food senilai $600 ribu di tahun 2019. Perusahaan mengklaim valuasi saat itu berada di angka $2,5 juta. Saat ini, perusahaan tengah dalam proses penyelesaian putaran pendanaan seri A senilai $1,5 juta dari venture capital asal Singapura yang fokus pada healthech. Perusahaan juga mengungkap adanya beberapa potensi partisipasi dari grup farmasi lokal. Harapannya adalah untuk bisa close di akhir tahun 2020 ini.

Pada dasarnya, semua healthtech menikmati upside effect dari pandemi, namun ada yang ternyata nasibnya tidak begitu baik, yaitu rumah sakit dan klinik. Ketika pandemi, orang-orang sebisa mungkin untuk menghindari datang langsung ke rumah sakit, di sini Zi.Care ingin lebih dulu membantu pihak rumah sakit dalam melancarkan program internal sebelum akhirnya melakukan kesepakatan eksternal.

“Dalam artian, Rumah Sakit harus lebih dulu menerapkan digitalisasi sebelum bisa mencanangkan konektivitas dan integrasi dengan aplikasi,” tutup Jodi.

Application Information Will Show Up Here

Gambar header: Depositphotos.com

Achmad Zaky: to Achieve Something Big, One Must Dare to Dream Big

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Some people say entrepreneurship is like investing. It is often said that to be a successful investor, you have to think like a business owner. Technically it makes sense. Achmad Zaky is one of the inspirational stories of entrepreneurs who left his previous growth company to build a new venture in the tech investment landscape.

As a Founder & former CEO of Bukalapak, Zaky becomes one of the pioneers in the local e-commerce industry. Through his hard work, he managed to build an e-commerce site in 2010. After a decade of building and nurturing Bukalapak, he resigned as chief executive officer (CEO) of Bukalapak effective January 6, 2020. However, he is still an active advisor to the Board of Commissioners in the unicorn.

Zaky started Bukalapak with his hometown schoolmate, Nugroho Herucahyono. Before establishing Bukalapak, Zaky and Nugroho already had a company called Suitmedia. Being friends and partners for the past 20 years, they decided to set up another venture in the form of a VC fund, called init 6, currently deploying funds from their personal pockets, to invest in early-stage startups in Indonesia.

This is a profiling session with Achmad Zaky sharing his experience building ventures and insights on the tech startup and investment ecosystem in Indonesia.

After a decade of building and nurturing Bukalapak in the e-commerce vertical, you’ve recently entered the tech investment scene with Init 6. How does the VC life been treating you lately?

It is marvelous. I mean, in Bukalapak, we’re kind of single-minded. It’s all about e-commerce until the very technical aspect. In the VC industry, it is more horizontal, with all the industry potentials. Also, this industry is quite challenging, that is actually part of the reason I shifted from the e-commerce sector, to seek more challenges. It’s also been ten years and Bukalapak has grown this big, mature, and independent. In a parable way, I consider Bukalapak as my big-grown child, and in order to grow the ecosystem, I need to create a new venture. Not easy, but I’m refreshed now.

Init-6 team member
Achmad Zaky and Eduka’s team member. Eduka is Init 6’s first investment portfolio

Back in those days of Bukalapak, how do you feel about leaving your first-big-venture? How is it different from managing a company and VC?

It’s very difficult. I think this is what my parents feel as they sent me to college. However, when I see the Indonesian ecosystem, it’s clear that we need a more mature ecosystem. In order to reach that stage, there may have required more unicorns. With the existing ones, hopefully, the alumni including the founders can make another success story. It is for the sake of the young generation because they also need a role model.

Again, in the e-commerce area, it’s quite single-minded. Every day I go day by day move vertically to learn e-commerce to the technical aspect because I’m the founder. As an investor, it’s different to some degree. I savor the e-commerce sector very well, my ability expert on a specific industry. However, as investors, it’ll definitely not going to be just about one sector. I learned a lot for a while now, regarding the fintech sector, cloud computing, SaaS, as we recently invest in

In this tech investment landscape, I need to gain extensive insight from the industry.  Therefore, in terms of knowledge, it will not be as deep as when I was in e-commerce, but it’s absolutely fine. As an investor, I’m not expected to be Mr. Know-it-all. We have Founders who we believe have expertise in their field and we’ll take a perspective where they may lack, such as experience and network.

When you first started building this new venture, is it the same feeling like your first time in Bukalapak? Please do share a bit about the journey.

It all started with a dream. Nugroho and I have been friends since high school through university, it has been almost 20 years. Along the journey, we realized that we have a shared dream about how Indonesia can have lots of tech companies. As we noticed that the global war is all about technology, and Indonesia should drive the industry. The young generation must be able to compete in the future industry.

Zaky in his childhood figure
Zaky in his childhood figure

The world is now dominated by tech companies, while Indonesia still lacks those ventures. Also, we’re not to be complacent with all the achievements in Bukalapak by challenging ourselves. Can we create more unicorn in the next ten years? Then it becomes our personal challenge. If we can only create one unicorn in the last 10 years, hopefully, we can create more in the next span of ten years.

As good as it impacts the industry, it also affects the country positively. Especially with many young generations are motivated in being a player rather than just the end consumers. It is also our dream to cater to global demands with more Indonesian products. I’m not saying this is an easy task, it will be hard indeed, that is why we’re very thrilled. The biggest challenge is in front of us, to solve as many problems at a time. The way quite varies, it can be through another startup venture, but instead of doing something we’ve done previously, we tried to contribute to the same amount by supporting founders.

Zaky 2

init 6 is relatively new in the tech investment landscape. What is actually drives you to invest and what the key qualities you look for in a startup? What kind of VC do you want init-6 to be?

We are industry agnostic. In fact, we’ve been invested in 6 companies, and two of those are edtech. We seek for every industry, particularly in the most problematic area. Edtech is one of them but not the only one. This sector is lucrative and quite sexy for startups to disrupt and solve many problems.

In addition, when we invest in one, we’ll look for a founder with the capability and clean track record. Another extra point when the founder can grow the company with only a small amount of money. That’s the kind of founder we look for as if we’re looking at ourselves in the mirror.

However, as an expert, as I am in e-commerce sector, in my hypotheses, the sector has no longer become a problematic space. There are several unicorns that have done quite a good job of solving the problem. Except, when there is a sub-sector with quite an issue and sexy enough, we’ll consider to tap in.

Also, we’re kind of a typical executor investor. In other words, investors with more execution capability. It’s not the same as a venture builder, but we’re more than willing to help founders scale-up through collaboration and technical assistance. Indeed, exit becomes one of the goals, as it would also grow the ecosystem. That is also our goal for this venture. I think those are the key qualities we look for since we always want to keep things simple.

This is not an ideal situation for everyone. How Covid-19 affect your company and its portfolio? Given the situation that the venture debuts at the beginning of a crisis.

In fact, we saw this as an opportunity, when we first started at the time of the pandemic. The crisis becomes a natural screening, of what kind of startups worth invested and whatnot. Honestly, one of the reasons we launched this fund is due to pandemic Covid-19. We invest in early-stage startups to build a new way of life after Covid-19. We invest in great founders. We love technical founders with the passion to solve big problems. We understand their challenges and we are not afraid of getting our hands dirty in helping them.

The pandemic accelerates the digital era. People can’t go anywhere, even school must be held online, and digital becomes one and the most reliable tool. In terms of the founder, it is expected that founder quality will be improved, as the pandemic becomes a test. I called this venture a Covid University. Later, the Covid graduates will be very good in quality and mental. This is what we also encourage our portfolios. They are beyond ready to face this crisis with a number of anticipations. We believe this mental quality remains even after Covid-19, therefore, the company can achieve growth at all times.

Zaky 4

I noticed a few startup founders who eventually becoming an investor or create a VC fund. Do you consider this as some kind of level-up or do you have other insight?

The thing is, it is very important for ex-founder or those contributed to the development of the Indonesian tech startup landscape to stay active in the ecosystem.  We should perceive to grow our tech industry. There are many ways, which I personally decided in the form of a fund to back founders. Others might have their own channels, as long as they didn’t leave the ecosystem.

Some people can be very disappointed that they want to just stop and look for another industry, it is unfortunate for the ecosystem as if losing a small part of the brain. This is also what we’re trying to plant in the Indonesian culture. In Silicon Valley where the ecosystem has been mature, failure is common. In fact, people/founders who fail will have a better accumulation of knowledge. It is because they did what they’ve done and gained a lesson for the next venture.

In Indonesia, it is only natural to blame the founders. I think that’s the mindset/scene that our country needs to develop. There have to be more success stories from people who experience failure. That failure is not always a bad thing. Also, we, as founders also aware of the fact.

When the news spread of you leaving Bukalapak, there’s this plan about a foundation. What encourages you to do so? And how is it the foundation nowadays?

I mentioned supporting the young generation and create a foundation. In terms of supporting the young generation, it is through init 6. Moreover, Achmad Zaky Foundation is also quite active in supporting the education sector, such as building a school, providing scholarships. Honestly, this is partly because both my parents are teachers. They grant me a mandate to support Indonesia’s education sector, not limited to basic education, but also entrepreneurship skills and so on.

As an entrepreneur and investor, what can you say about the tech startup and investment landscape in Indonesia? In terms of founders, challenges, and projection.

There are two key factors, it is the seed and the environment. These are cross each other’s path, not in a black and white form. When we want to grow the seed, the land must be fertile, if we are to nurture, it’s the environment. There are people who are born with the gift of entrepreneurship, but I believe the success comes from above.

We, through our fund, will try to nurture as many startups with a little we have.  I’ve done my research, there are some countries with fertile land to grow startups. Indonesia indeed a leading environment in Southeast Asia, but not in the global competition. The indicator varies, from the high rate of a startup per capita, high exit rate compares to the less fertile land, also the numbers of startup employees. In the investment scene, when the exit rate is high, investors will be attracted, it will create more founders. This is quite a chicken and egg situation. Indonesia still a long way to go, and it starts with the investor and founders.

The cycle usually takes a decade, soon there will probably more exit news. I’ve been observing that Indonesia has quite a low exit rate with other countries in the same league, such as Israel and Berlin. In terms of the ecosystem, we have loads of homework. However, if we can be a leading market in Southeast Asia, why not upgrading the standard into a more global market. If we are to achieve big, we must dare to dream big.

It’s been over a decade you’ve been actively contributed to the ecosystem. During your journey, what is the most important lesson learned in the Indonesian tech industry?

To be honest, there are a lot of lessons learned. I’m here to speak as a startup founder because it’s still too early as an investor. As a founder, perseverance and experiment may be the most important practice I’ve learned in the startup industry. As a founder, we should never easily satisfied and always create innovations. Improve your standard growth by growth, and do not ever give up experimenting. I think that is also what has brought Bukalapak this far, innovation first.

The startup ecosystem is dynamic, it can be attached to a big space hypothetically, but uncertain. It’s not as simple as corporate launching a product. The market might not be ready, it requires an experiment and strong will. The startup is to bridge dreams with reality.

Aplikasi Pay OK Suguhkan Layanan Perencanaan Keuangan dan Investasi

Berdasarkan daftar penyelenggara IKD (Inovasi Keuangan Digital) OJK per Agustus 2020, terdapat tujuh platform klaster Financial Planer yang beroperasi di Indonesia. Selain Halofina, Fundtastic, Finansialku, dan beberapa platform lainnya; Pay OK tercatat menjadi salah satu yang juga menerima lisensi dari OJK pada tanggal 15 Juli 2019. Pay OK sendiri adalah aplikasi yang membantu nasabah mencatat dan merencanakan keuangan serta melakukan investasi.

Pay OK didirikan oleh Jayant Kumar (CEO) dan Najmuddin Husein (COO). Jayant memiliki pengalaman kerja di bidang teknologi di perusahaan Hong Kong, India dan Canada. Sementara Husein telah bekerja 13 tahun di industri perbankan dan fintech. Keduanya memiliki visi untuk membangun platform digital yang mempermudah interaksi antara pengguna dan perencanaan keuangan mereka.

“Misi kami selain mempermudah pengguna untuk merencanakan keuangan, kami hadir untuk menambah daya penetrasi produk keuangan di masyarakat, serta meningkatkan literasi keuangan di Indonesia,” ungkap Jayant.

Pay OK memulai operasional pada awal tahun 2019. Pada tahun pertama, timnya melakukan riset pasar untuk memastikan bahwa produk yang dibangun sesuai dengan keinginan pengguna. Sebelum mendapat lisensi, Pay OK juga sempat berpartisipasi di batch 4 GK Plug and Play Indonesia. Di sana mereka dikenalkan ke beberapa rekanan bank, mentor dari berbagai industri serta investor yang berpotensi. Perusahaan mengakui hal ini turut berperan dalam validasi bisnis model mereka.

Targetkan milenial di kala pandemi

Financial advisor adalah profesi yang menganalisis dan membantu nasabah untuk merencanakan keuangan mereka. Sesuai aturan, layanan seperti Pay OK tidak diperkenankan merekomendasikan sebuah produk ke nasabah tanpa algoritma yang transparan dan diuji. Oleh karena itu, timnya mencoba menampilkan solusi investasi secara transparan dan terbuka dan tidak melakukan pengelolaan dana pengguna. Semua transaksi pembelian dan penjualan investasi dilakukan langsung oleh pengguna. Pay OK dalam hal ini hanya meneruskan langsung ke Mitra Penyedia Produk Investasi.

Ketika disinggung mengenai diferensiasi bisnis dibandingkan pemain sejenis, Jayant mengungkapkan pada dasarnya dilakukan adalah bersama untuk memperkenalkan literasi produk dan layanan keuangan kepada masyarakat di Indonesia.

Dalam situasi pandemi ini, timnya juga mengaku ada banyak hal yang mempengaruhi laju bisnis, banyak integrasi dengan mitra yang terlambat sehingga mendorong mereka untuk menghadirkan inovasi baru pada aplikasi. Saat ini, Pay OK memperhatikan bawa banyak warga Indonesia mulai bisnis sendiri dari rumah untuk menjual makanan, peralatan rumah, pakaian secara online di e-commerce maupun media sosial.

Perusahaan mencoba beradaptasi untuk membangun fitur pencatatan keuangan usaha yang dapat membantu user kami yang wiraswasta untuk mengelola keuangan bisnis secara mudah dan otomatis.

“Dengan ini, kami menargetkan segmen user baru yaitu millennial yang beradaptasi saat pandemi dengan menjual online,” tambahnya.

Pay OK menerima investasi dari angel investor pada awal tahun 2019, dilanjutkan investasi dari perusahaan berbasis Indonesia di awal tahun 2020. Di awal 2021, perusahaan berencana melakukan fundraising untuk bisa ekspansi ke pasar lebih besar. Saat ini Pay OK telah tersedia untuk membantu pengguna di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.

“Total tim saat ini ada 20, kami berharap tim kecil kami bisa membawa impact yang besar terhadap pengguna Pay OK. Tim kami terdiri dari individu yang ingin berinovasi di industri keuangan,” tutup Jayant.

Application Information Will Show Up Here

Northstar Mencari “Lumbung Permata” di Pasar Indonesia

Pada bulan April, perusahaan Private Equity yang berkantor pusat di Singapura, Northstar telah mengumumkan penutupan fund kelimanya. Sejak debutnya pada tahun 2003, Northstar telah aktif berinvestasi di pasar Indonesia. Salah satu portofolio mereka yang teranyar adalah raksasa ride hailing, Gojek.

Dengan jumlah populasi anak muda dan basis konsumen yang terus berkembang menggerakkan roda perekonomian negara, Indonesia tetap menjadi pasar terbesar bagi investor di Asia Tenggara. Hal tersebut diungkapkan secara jelas oleh Co-Chief Investment Northstar, Sunata Tjiterosampurno, dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial. Setiap kali investor mencari peluang di Asia Tenggara, Indonesia harus ada di peta.

Selama membahas lanskap investasi di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara, ia menekankan untuk tidak menggeneralisasi lanskap VC dan PE. Di skema PE, lanjutnya, Indonesia dikatakan sebagai pasar yang cukup menarik karena banyaknya kesepakatan pasar menengah ($50-100 juta).

Singapura, di sisi lain, memiliki pasar sendiri. Lanskap ini relatif mirip dengan Thailand, Vietnam, dan Filipina. Ia juga menyoroti fakta bahwa tidak banyak potensi sumber daya alam atau sektor terkait masyarakat di Singapura. Selain itu, terdapat basis manufaktur di Thailand, dibandingkan dengan Indonesia yang kebanyakan melayani jenis transaksi pasar massal konsumen.

Secara historis dan ke depannya, memberi eksposur terhadap pertumbuhan konsumsi di Indonesia (yang didasari pertumbuhan kelas menengah) menjadi tema penting di Northstar. Apalagi di era digital ini, di mana segala sesuatu mulai bergeser ke cara non-konvensional.

“Digital telah menjadi komponen ekonomi yang lebih besar dan menyerbu pasar massal konsumen dan layanan keuangan dengan cara yang berbeda. Evolusi model bisnis yang memanfaatkan pasar tersebut telah menghasilkan investasi dalam bisnis yang lebih berorientasi digital atau menggabungkan bisnis online-offline,” imbuhnya.

skyscraper-3184798_1280

Fokus pada market yang besar

Dalam hal investasi, Northstar memiliki tiga area fokus, pasar massal konsumen, layanan keuangan, dan digital. Strategi ini telah diterapkan pada fund IV dan akan terus diadopsi dalam fund V. Dipastikan bahwa pasar terbesar perusahaan sejauh ini adalah Indonesia. Dari perspektif geografis, Indonesia akan mencaplok 60% – 70% dari total, sementara pasar lain mendapat bagian hingga 30% – 40%. Di pasar regional, Northstar telah mengambil peluang di Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Berinvestasi bukanlah tugas yang mudah. Ada beberapa kualitas utama untuk diperhatikan atau menjadi fokus. Bagi Northstar, yang pertama dan terpenting adalah pengusaha itu sendiri. Sampai pada akhirnya mereka bertemu dengan tim manajemen, para pendiri memang orang paling penting yang dapat menggerakkan bisnis ini dan menjadikannya besar.

Selanjutnya, seberapa besar ukuran pasar yang mereka kejar? Ada banyak perusahaan rintisan digital, tetapi jika mereka mencari pasar kecil maka inilah saatnya untuk mempertimbangkan kembali. Sebagai perusahaan yang berkomitmen untuk berinvestasi pada perusahaan yang sedang berkembang, adalah alami untuk menargetkan pasar yang besar.

Ketiga, model bisnis yang dapat dipertahankan, artinya mereka memiliki cara yang menarik untuk menghasilkan uang. Selain itu, mereka dapat membuat mode pertahanan untuk mengelola persaingan saat semakin ketat.

DailySocial turut menyinggung perjalanan Northstar dalam menemukan dan berinvestasi pada salah satu harta karun Indonesia, Gojek. Singkat cerita, sebagai pendiri Northstar, Patrick Walujo menjadi salah satu yang pertama kali terlibat di masa-masa awal Gojek. Perusahaan modal ventura afiliasinya, NSI, yang kini berganti nama menjadi Openspace Ventures, berinvestasi di putaran Seri A pada tahun 2014. Saat itu, Gojek sama sekali belum digital.

Saat Openspace berinvestasi ke Gojek, tujuannya adalah membawa perusahaan tersebut online dan membuat aplikasi. Dalam enam bulan, perusahaan berhasil meluncurkan aplikasi dan mendapatkan daya tarik yang luar biasa. Dengan sejumlah koneksi ke perusahaan, sebuah privilege ketika Openspace menjadi salah satu yang pertama dihubungi terkait pendanaan. Namun, dengan fokus investasi tahap lanjut, sudah sewajarnya bagi Northstar untuk berinvestasi di Seri B. Dengan ukuran tiket rata-rata antara $50 – $60 juta, perusahaan berinvestasi secara progresif hingga mencapai $60 juta.

Sunata juga menyebutkan bahwa Northstar mengamati pertumbuhan global Uber yang pesat mulai tahun 2014 dan mengantisipasi tren ini akan datang ke Indonesia. Northstar melihat peluang di segmen ride hailing dan transportasi. Mereka mendukung Nadiem saat ia memulai Gojek sebagai versi lokal Uber.

Bekerja sama dengan tim manajemen

scrabble-4958237_1280

Pandemi telah menjadi bencana pada beberapa bisnis yang memiliki komponen offline yang besar, tetapi untuk bisnis digital native atau bisnis digital besar, sebenarnya mengalami banyak pertumbuhan, karena orang-orang yang bekerja di rumah mencoba mendapatkan akses ke hal-hal yang mereka lakukan sebelumnya melalui mobile. Tahun lalu, Northstar berinvestasi di perusahaan edtech bernama Zenius, dan telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat kuat selama setahun terakhir. Terutama di saat pandemi, lebih banyak orang yang mencari untuk belajar di rumah karena tidak bisa bersekolah.

Karena Covid-19, adopsi digital meningkat. Oleh karena itu, beberapa bisnis mengalami pertumbuhan eksponensial seperti e-commerce dan banyak sektor berbeda mendapat manfaat dari peningkatan perilaku digital. Pada saat yang sama, kondisi makro secara keseluruhan sedang sulit di Indonesia, sehingga menyulitkan bisnis dengan komponen offline yang besar. Perusahaan menyadari bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menumbuhkan skala yang sama selama pandemi.

Grup Northstar dipastikan menjadi investor aktif di semua portofolio bisnis. Mereka menduduki kursi dewan di Dewan Komisaris dan bekerja sangat erat dengan tim manajemen, terutama selama krisis. Beberapa bisnisnya telah dilanda pandemi parah. Seperti yang sudah sering kita dengar, industri perjalanan dan pariwisata telah menurun secara signifikan, dan secara global.

“Mengingat pandemi COVID-19, dalam beberapa kasus, kami harus membuat beberapa keputusan strategis di perusahaan portofolio kami untuk memfokuskan kembali strategi bisnis pada area pertumbuhan potensial. Kami bekerja sangat erat dengan tim manajemen dalam perubahan ini,” sebut perwakilan Northstar.

Untuk para pendiri yang bisnisnya cukup terpukul, berikut beberapa insight terkait masalah terkini. Banyak investor asing merasa sulit untuk berinvestasi tanpa melibatkan orang di lapangan. Dengan cara lain, sangat tepat untuk berasumsi bahwa akan sulit bagi perusahaan Indonesia untuk mendapat modal asing sampai pandemi selesai.

“Salah satu hal terpenting bagi para pendiri adalah memastikan bahwa mereka dapat mendanai bisnis selama mungkin tanpa memerlukan modal eksternal. Dalam hal model bisnis, bagaimana Anda terus berinovasi, beradaptasi, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan konsumen yang berubah dengan cepat. Untuk kebanyakan bisnis, hal ini tentang beradaptasi dengan iklim yang berbeda dan belajar bagaimana bisa tetap bersinar dalam era new normal,” lanjutnya.

Flavor of the year

Mengenai strategi jangka panjang, sebagian besar private equity atau dana modal ventura sudah memiliki alokasi aset, fokus area, dan geografisnya sendiri. Juga jenis usaha yang akan diinvestasikan sambil menggalang dana. Dalam hal implementasi, Northstar akan tetap menggunakan strategi jangka panjang, tetapi mengkalibrasi tergantung pada siklus bisnis. Oleh karena itu, yang akan berubah sebenarnya dari segi valuasi, sektor tertentu, tetapi fokus tingkat tinggi tetap sama.

“Yang saya maksudkan adalah bahwa strategi investasi kami di bidang jasa keuangan, digital dan konsumen tetap sama, apakah ada pandemi atau tidak, menurut kami ini tetap menjadi sektor yang menarik dan akan terus fokus pada hal ini,” tambah Sunata.

wine-glasses-2300713_1280

Ia juga menyebutkan bahwa strategi jangka panjang berbeda dengan flavor of the year. Di tahun 2020 ini adalah Covid-19. Oleh karena itu, private equity perlu lebih optimis dan berhati-hati dalam hal penggelaran modalnya, banyak fokus pada optimalisasi perusahaan portofolio yang ada. Setiap tahun memiliki taste yang berbeda. Situasinya dinamis dan perusahaan akan terus mencari peluang yang sesuai dengan keadaan.

“Kami tetap aktif dalam mencari kesepakatan dan semua berbasis pada kasus, tergantung valuasi, performa bisnis. Namun, secara umum kami sangat aktif mencari peluang bagus,” ujar Sunata.

Hingga saat ini, The Northstar Group telah menginvestasikan lebih dari US $3,3 miliar di kawasan Asia Tenggara. Dana tersebut disalurkan melalui lebih dari 35 perusahaan di sektor perbankan, asuransi, konsumen/ritel, manufaktur, minyak dan gas, batubara dan pertambangan, teknologi, telekomunikasi, dan agribisnis. Belum lama ini perusahaan mengucurkan dana untuk eFishery, perusahaan intelijen akuakultur terkemuka di Indonesia.


Artikel asli terbit dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Northstar Seeks Hefty Gem in the Indonesian Market

Last April, Singapore headquartered Private Equity firm Northstar had announced the closure of its fifth flagship fund. Since its debut in 2003,  Northstar has been actively investing in the Indonesian market. One of their notable portfolios is the ride-hailing giant, Gojek.

With the number of young population and growing consumer base powering the country’s economy, Indonesia remains the largest market for investors in Southeast Asia. This is clearly stated by Northstar’s Co-Chief Investment, Sunata Tjiterosampurno, in an exclusive interview session with DailySocial. Therefore, whenever some investors look for opportunities in Southeast Asia, Indonesia has to be on the map.

As we continue discussing the investment landscape in Indonesia and other countries in Southeast Asia, he suggests to not generalized the VC and PE landscape. On the PE landscape, he continued, Indonesia is said to be quite an interesting market due to lots of mid-market deals ($50-100 million).

Singapore, on the other hand, is a market on its own. It’s a relatively similar landscape to Thailand, Vietnam, and the Philippines. He also highlighted the fact that there are not many natural resources or community-related sectors in Singapore. Also, there are more manufacturing-based deals in Thailand, compared to Indonesia which serves mostly consumer mass-market types of deals.

In terms of private equity firms, historically and still going forward, getting exposure to the growing consumption in Indonesia because the middle class is growing is an important theme in Northstar. Especially in this digital age, where everything starts to shift into non-conventional ways.

“Digital has become a big component of the economy and it is impacting consumer mass-market and financial services businesses in various ways. The transformation of business models in such segments has resulted in investment in a more digital-oriented business often leading to an online-offline business mode,” he added.

skyscraper-3184798_1280

Focusing on the big market

In terms of investment, Northstar has three focus areas, consumer mass-market, financial services, and digital. This strategy has been implemented in fund IV and to be continuously adopted by fund V.  It is confirmed that the firm’s largest market by far is Indonesia. From a geographic perspective, Indonesia is to take 60% – 70% of the plate, while other markets will take up to 30% – 40%. In the region, Northstar has been arranging deals in the Philippines, Thailand, Singapore, and Vietnam.

Investing is not an easy task. There are a few key qualities to look at or focus on. For Northstar, first and foremost is the entrepreneurs. As they further meet the rest of the management team, the founders are indeed the most important person who can drive this business and make it big.

Next, how big is the market size that they’re going after? There are lots of digital startups, but if they’re going for the small market then it’s time to reconsider. As the company committed to investing in growth companies, it is obvious to target a big market.

Third, the business model should be defensible, meaning that they have attractive ways to make money. Also, they can create a mode to manage the competition when it gets tight.

As the firm started to open up, DailySocial allegedly asked about Northstar’s journey in finding and investing in one of Indonesia’s treasure, Gojek. Long story short, as the founder of Northstar, Patrick Walujo was first involved in the early days of Gojek, its affiliated venture capital fund NSI, which is now rebranding into Openspace Ventures ended up investing in 2014 in series A. Gojek was barely digital.

As Openspace invested, the goal is to take the company online and to create an app. In six months, the company managed to launch an app and got tremendous traction. With a number of connections to the company, it’s a privilege to pick up the investing call on such short notice. However, as a later stage investment, it’s only natural for Northstar to invest in series B. With an average ticket size between $50 – $60 million, the company invested progressively to the extend of $60 million.

Sunata also mentioned that Northstar observed the rapid global growth of Uber starting back in 2014 and anticipated that it would come to Indonesia. Northstar saw the opportunities in the ride-hailing and transport segment, and backed Nadiem as he was starting Gojek as a local version of Uber.

Work closely with the management team

scrabble-4958237_1280

The pandemic has been very tough on some businesses that had large offline components, but for digital-native businesses or large digital businesses, it’s actually experienced a lot of growth, because people are at home working, trying to get access to things they’re doing previously through their phone. Last year, Northstar is reportedly invested in an edtech company named Zenius, and it has shown very strong growth for the past year. Especially in times of the pandemic, a lot more people are looking to learn at home because they can’t go to school.

Due to Covid-19, digital adoption has increased. Therefore, some businesses are having exponential growth such as e-commerce and a lot of different spaces benefit from digital behavior increase. At the same time, the overall macro condition is tough in Indonesia right now, resulting in difficulty for businesses with large offline components. The company is aware that it’s very hard for them to grow the same scale during the pandemic.

The Northstar Group is confirmed to be an active investor in all of the business portfolios. They occupied board seats in the Boards of Commissioners and work very closely with the management team, especially during the crisis. Some of its businesses have been badly hit by the pandemic. It’s as we’ve often heard that the travel and tourism industry has declined significantly, and globally.

“Given the COVID-19 pandemic, in some cases, we have had to make some strategic decisions at our portfolio companies to refocus the strategy of the business on potential growth areas. We work very closely with the management teams on these changes,” said the Northstar representative.

For those founders whose businesses were badly hit, here are some insights. A lot of foreign investors are finding it hard to invest without having people on the ground. In another way, it’s right to assume that it’ll be hard for Indonesian companies to tracks foreign capital until the pandemic is over.

“One of the most important things for founders is to make sure that they can fund their business for as long as possible without needing external capital. In terms of business models, how you constantly innovate, adapt, and evolve given rapidly changing consumer needs. For a lot of business, it is about adapting to the different climate we are in and learning how to prosper in the new normal,” he continued.

The flavor of the year

Regarding the long-term strategy, most private equity or venture capital fund already has its own asset allocations, focus areas, and geographic, also types of business to invest while raising the fund. In terms of implementation,  Northstar is to stick with the long term strategy, but calibrate depending on the business cycle. Therefore, what will change is actually in terms of valuations, specific sectors, but the high-level focus remains the same.

“What I am saying is that our strategy of investing in financial services, digital and consumers, would remain the same, whether there was a pandemic or not. We think these remain attractive sectors and we will continue to focus on them,” Sunata added.

wine-glasses-2300713_1280

He also mentioned that the long term strategy is different from the flavor of the year. In 2020, it’s actually Covid-19. Therefore, private equity needs to be more cautiously optimistic in terms of deploying its capital, focus lots on optimizing the existing portfolio companies. Every year there will be a different flavor of the year. The situation is dynamic and the company will continue to look for an opportunity that fits the circumstances.

“We are actively looking for deals, but each opportunity is case by case-based, depending on valuation, management team, business performance, and prospects. In general, we are actively looking for good opportunities in our focus sectors,” Sunata said.

To date, The Northstar Group has invested over US$3.3 billion with its co-investors in the Southeast Asian region. The fund channeled through more than 35 companies across the banking, insurance, consumer/retail, manufacturing, oil and gas, coal and mining services, technology, telecom, and agribusiness sectors. The recent one is for eFishery, Indonesia’s leading aquaculture intelligence company.

Nimbly Tawarkan Aplikasi untuk Bantu Bisnis Lakukan Audit Operasional

Setiap perusahaan pasti memiliki SOP (Standard Operating Procedure), sebuah panduan yang digunakan untuk memastikan kegiatan operasional berjalan sesuai ketentuan. Namun, dalam pelaksanaannya ada banyak tantangan di lapangan. Dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk memastikan bahwa semua agenda berjalan sesuai dengan SOP yang diterapkan.

Hal ini juga yang dirasakan Daniel Hazman, Founder dan CEO Nimbly Technologies, ketika bekerja di Walmart bagian operasional. Pelaksanaan SOP kerap tidak transparan tanpa sepengetahuan kantor pusat, sampai tiba waktunya inspeksi periodik. Lalu, muncul masalah-masalah di lapangan yang kemudian dilaporkan namun tidak pernah ada tindak lanjut. Hal-hal seperti ini beresiko tinggi untuk profitabilitas perusahaan.

Berangkat dari pengalaman tersebut, Daniel mengembangkan solusi digital yang bisa digunakan untuk memberdayakan pegawai dalam pelaksanaan SOP/protokol serta memfasilitasi manajemen dengan data terkini di lapangan demi meningkatkan efisiensi sekaligus menghemat biaya.

Model Bisnis

Nimbly memiliki fitur utama Digital Routines untuk mendigitalkan checklist manual melalui aplikasi mobile. Pengguna cukup memasukkan kuesioner, Nimbly menawarkan fleksibilitas dalam tipe pertanyaan – tidak hanya berupa teks dan angka namun juga berupa Flag (Bendera), Skoring, Pilihan berganda bahkan stok inventori.

Dalam aplikasi ini, pengguna juga dapat menyertakan foto atau video yang diambil secara live untuk meminimalisir kemungkinan fraudulent behavior. Setelah itu, laporan akan terkirim secara otomatis.

“Semua fitur-fitur ini mengeliminasi penggunaan bermacam-macam platform pada inspeksi/audit operasional secara konvensional yang biasanya membutuhkan pen and paper, Whatsapp, email, call – sekarang cukup menggunakan satu aplikasi saja untuk memudahkan audit inspeksi yang lebih efisien,” jelas Daniel

Dari sudut pandang manajemen, semua hasil akan muncul dalam satu dasbor, memungkinkan mereka untuk melihat bagaimana berbagai toko, area, serta pegawai bekerja dari waktu ke waktu berikut mengidentifikasi tren dan peluang.

Dari awal berdiri, Nimbly sudah mulai memonetisasi layanan. Pihaknya mengakui hal ini memang jarang terjadi pada startup early-stage, namun dari awal pengguna Nimbly sudah merupakan pengguna berbayar.  

“Kami bertujuan untuk membantu perusahaan membuat frontliner mereka melakukan rutinitas harian dengan benar. Masalah yang kami lihat adalah saat kantor pusat kewalahan dengan jumlah masalah yang ditemukan di tingkat toko dan berusaha untuk terus menyelesaikan semuanya tepat waktu,” tambahnya.

Rencana ke depan

Selama beroperasi kurang lebih 2 tahun sejak Agustus 2018, Nimbly telah melayani puluhan klien di berbagai industri seperti F&B, ritel, FMCG/distribusi, manajemen fasilitas, manufaktur dan Agrikultur.

Dari sisi pendanaan, Daniel mengungkap bahwa Nimbly sedang dalam tahap penggalangan dana Seri A dengan harapan bisa close di akhir tahun ini. Dengan dukungan tim yang saat ini berjumlah lebih dari 40 orang, dan masih akan bertambah di 12-18 bulan ke depan, Nimbly masih akan terus bertumbuh.

“Saat ini kami berada dalam fase pertumbuhan eksplosif dan ingin memperluas lebih jauh di luar Indonesia.” tambahnya.

Sebagai salah satu startup jebolan program akselerator SYNRGY yang diselenggarakan oleh BCA bersama GK-Plug and Play, Nimbly berkesempatan untuk menjajaki potensi kolaborasi dengan layanan keuangan seperti operasional cabang bank dan call center.

“Kami ingin menjajaki bersama BCA dan para pelaku jasa keuangan lainnya bagaimana kami dapat membantu mereka dengan potensi eksekusi jarak jauh untuk operasi cabang, call center, dan surveyor multifinance,” ungkap Daniel