Opportunities for Disney+ Hotstar Platform in Indonesia

Disney announced a strategic move in mid-August by launching Disney+ Hotstar’s Video on Demand (VOD) service (referred to as Disney+) in Indonesia on September 5th. Indonesia became the first country in Southeast Asia to get this opportunity and number two in Asia after India.

Indonesia was chosen due to its large population and high potential for business development in this sector. Over the years, Indonesian consumers prefer television as their primary medium. According to Statista, it is estimated that in 2020 there will be around 35.9 million users of Indonesia’s VOD services (13% of the population) who will contribute up to $275 million (around 4 trillion Rupiah) of revenue this year. The annual increase in these two metrics is quite healthy and there is still room for growth.

In addition, the fact that the Covid-19 pandemic has accelerated the adoption of VOD services becomes one of the main entertainment sources of the community.

In order to support its business in Indonesia, Disney+ partners with Telkomsel (Telkom Group) as the launching partner. This service also made a breakthrough with the availability of more than 300 local content, including the exclusive ones. They understand the value of product localization to attract consumers in this competitive market.

Telkom Group as the first local partner

Gandeng Telkomsel, operator telekomunikasi terbesar di Indonesia
Disney+ Hotstar partners with Telkomsel as a launching partner

Disney+ applies a different approach. In contrary to Netflix, which is confident without any special ceremonial yet offers easy payments outside of debit and credit cards, they try to be more “down to earth”.

In order to reach a wider audience, Disney+ partners with Telkom Group, Telkomsel in particular, as a launching partner. Interestingly, the largest state-owned telco company in Indonesia had blocked Netflix on its network for about 4.5 years for business reasons.

Consumers have an alternative way of paying for services, by charging credit/carrier billing, facilitated with a very competitive first 3-month subscription fee (read: very cheap).

Telkomsel users can enjoy a Pre-Order Special Offer for IDR 15,000 for one month or IDR 30,000 for three months. In addition, Disney+ subscribers can subscribe to Rp39 thousand per month or Rp199 thousand per year.

The price offered by Disney + is clearly competitive compared to other global and regional services. This price is more affordable than the cheapest Netflix package (mobile package) and slightly different from the package offered by Viu.

Then, Disney+ playbook is quite down to earth around here. They understand that Indonesian consumers are very price-sensitive, especially for tertiary services like VOD.

“Indonesia’s dynamic and tech-savvy population has a passion for quality local entertainment content and is also home to some of the biggest Disney fans in the region. We are confident by working with Telkomsel, Disney + Hotstar [..] can capture lots of Indonesian viewers,” Uday Shankar, President of The Walt Disney Company Asia Pacific said.

Original content

 Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BLU
Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, and Jefri Nichol from BCU

The presence of original content, which adapts to local trends, is one of the keys to seizing the Indonesian market. While not unique, Disney+ tries the same approach in a different way.

They tried to present more than 300 Indonesian films. There are seven new Indonesian films to be released exclusively. In particular, Disney+ announced a collaboration with Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Through this collaboration, Bumilangit will later be broadcast on its service streaming channel after rolling in theaters.

BCU, often referred to as the Indonesian Avengers, is a storyline that is connected to one another based on characters who are members of Bumilangit, a leading character-based entertainment company in Indonesia that manages more than 1000 characters created by many legendary Indonesian comic artists. BCU made its debut with Gundala which was among the top 10 highest-grossing films in Indonesia last year.

Tight competition in VOD sector

The natural selection occured in the VOD segment, especially in this year, proves that the VOD platform competition is quite intense in the region – including in Indonesia. Hooq was forced to close services, whereas iflix had to sell its business to Chinese digital giant Tencent.

However, this momentum is an opportunity for VOD players to better understand the character Indonesian consumers. Currently, it is a fact that the top three VOD segments in Indonesia are controlled by Viu, Netflix, and Vidio. The three of them carry different segmentations.

Viu represents the audience-oriented in Asia, especially South Korea. Netflix represents global content viewers (although most of them are still dominated by Hollywood content), while Vidio has strength in the local and sports segments.

It is intriguing to observe how compatible Disney+ will be to compete with existing players. The recipe they brought was just about right: availability of local content, a down-to-earth payment system, affordable prices, and engaging global content.

We are waiting for the execution of this recipe to spoil the eyes of the Indonesian audience.


Amir Karimuddin contributed to the writing of the original article in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peluang Platform VOD Disney+ Hotstar di Indonesia

Disney mengumumkan langkah strategis pertengahan bulan Agustus ini dengan meluncurkan layanan Video on Demand (VOD) Disney+ Hotstar (selanjutnya disebut Disney+) di Indonesia pada tanggal 5 September mendatang. Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendapatkan kesempatan ini dan nomor kedua di Asia setelah India.

Indonesia dipilih karena besarnya populasi dan tingginya potensi pengembangan bisnis di sektor ini. Selama bertahun-tahun, konsumen Indonesia telah memilih televisi sebagai media primernya. Menurut data Statista, diperkirakan tahun 2020 ini ada sekitar 35,9 juta pengguna layanan VOD Indonesia (13% penduduk) yang menyumbang pendapatan hingga $275 juta (sekitar 4 triliun Rupiah) tahun ini. Peningkatan kedua metrik ini per tahunnya cukup sehat dan masih ada ruang yang luas untuk bertumbuh.

Belum lagi fakta bahwa pandemi Covid-19 mengakselerasi adopsi layanan VOD sebagai salah satu hiburan utama masyarakat.

Untuk mendukung usahanya di Indonesia, Disney+ menggandeng Telkomsel (Telkom Group) sebagai partner launching. Layanan ini juga melakukan terobosan dengan ketersediaan lebih dari 300 konten lokal, termasuk yang bersifat eksklusif. Mereka memahami pentingnya pelokalan produk untuk menggaet konsumen di pasar yang kompetitif ini.

Telkom Group jadi partner lokal

Gandeng Telkomsel, operator telekomunikasi terbesar di Indonesia
Disney+ Hotstar menggandeng Telkomsel sebagai mitra peluncuran

Disney+ mencoba tampil beda. Dibandingkan Netflix, yang percaya diri hadir tanpa seremonial khusus dan belum menawarkan kemudahan pembayaran di luar kartu debit dan kredit, mereka berusaha lebih “membumi”.

Untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, Disney+ menggandeng Telkom Group, khususnya Telkomsel, sebagai mitra peluncuran. Menariknya, BUMN telekomunikasi terbesar di Indonesia ini pernah memblok Netflix di jaringannya selama sekitar 4,5 tahun dengan alasan bisnis.

Konsumen memiliki alternatif cara membayar layanan, dengan potong pulsa / carrier billing, dan dipermanis dengan biaya langganan 3 bulan pertama yang sangat kompetitif (baca: sangat murah).

Pelanggan Telkomsel dapat menikmati Pre-Order Special Offer seharga Rp15.000 untuk satu bulan atau Rp30.000 untuk tiga bulan. Selain itu, pelanggan Disney+ umum bisa berlangganan dengan harga Rp39 ribu per bulan atau Rp199 ribu per tahun.

Harga yang ditawarkan Disney+ ini jelas kompetitif jika dibanding layanan global dan regional lainnya. Harga ini lebih terjangkau dibanding paket termurah Netflix (paket mobile) dan hanya berbeda sedikit dibanding paket yang ditawarkan Viu.

Lagi-lagi playbook Disney+ lebih membumi di sini. Mereka paham konsumen Indonesia sangat sensitif dengan harga, apalagi untuk layanan tersier seperti VOD ini.

“Populasi Indonesia yang dinamis dan paham teknologi memiliki keinginan yang besar untuk konten hiburan lokal yang berkualitas, dan juga rumah bagi beberapa penggemar Disney terbesar di wilayah tersebut. Kami yakin bahwa dengan bekerja sama dengan Telkomsel, Disney+ Hotstar [..] akan memikat pemirsa di Indonesia,” kata Uday Shankar, President The Walt Disney Company Asia Pasifik.

Konten original

 Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BLU
Joko Anwar, Christine Hakim, Dimas Anggara, dan Jefri Nichol dari BCU

Kehadiran konten original, yang menyesuaikan tren dan selera lokal, menjadi salah satu kunci untuk merebut pasar Indonesia. Meski tidak unik, Disney+ mencoba pendekatan yang sama dengan cara yang berbeda.

Mereka mencoba menghadirkan lebih dari 300 film Indonesia. Terdapat tujuh film baru Indonesia yang akan dirilis secara eksklusif. Secara khusus Disney+ mengumumkan kolaborasi dengan Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Melalui kerja sama ini, nantinya Bumilangit akan ditayangkan di kanal streaming layanannya setelah penayangan di bioskop.

BCU, sering disebut sebagai Avengers-nya Indonesia, merupakan jalinan cerita yang tersambung satu sama lain dibuat berdasarkan karakter yang tergabung di Bumilangit, sebuah perusahaan hiburan berbasis karakter terdepan di Indonesia yang mengelola sekitar 1000 lebih karakter ciptaan banyak komikus legendaris Indonesia. BCU memulai debutnya dengan Gundala yang termasuk dalam jajaran 10 film terlaris di Indonesia tahun lalu.

Persaingan ketat pemain VOD

Seleksi alam yang terjadi di segmen VOD, khususnya tahun ini, membuktikan bahwa ketatnya persaingan platform VOD di regional–termasuk di Indonesia. Hooq terpaksa menutup layanan, sedangkan iflix harus menjual bisnisnya ke raksasa digital Tiongkok Tencent.

Meskipun demikian, momentum ini justru menjadi kesempatan bagi para pemain VOD untuk lebih memahami karakter konsumen di Indonesia. Saat ini bisa dibilang tiga besar segmen VOD di Indonesia dikuasai oleh Viu, Netflix, dan Vidio. Ketiganya mengusung segmentasi berbeda.

Viu mewakili penonton yang berkiblat di Asia, khususnya Korea Selatan. Netflix mewakili penonton konten global (meski sebagian besar masih dikuasai konten Hollywood), sedangkan Vidio memiliki kekuatan di segmen lokal dan olahraga.

Menarik untuk diamati, bagaimana nantinya penerimaan Disney+ untuk bersaing dengan para pemain yang sudah ada. Resep yang mereka bawa sebenarnya sudah cocok: ketersediaan konten lokal, sistem pembayaran yang membumi, harga terjangkau, dan konten global yang menarik.

Kita tunggu eksekusi resep ini untuk memanjakan mata penonton Indonesia.


Amir Karimuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Platform Logistik Prahu-Hub Mudahkan Pengiriman Barang Antar Pulau

Masih besarnya biaya pengiriman dalam negeri menjadi salah satu alasan mengapa platform digital logistik Prahu-Hub didirikan. Berdiri sejak tahun 2017, mereka hadir sebagai marketplace yang didesain untuk membantu masyarakat Indonesia yang ingin mengirim barang menggunakan kontainer.

Kepada DailySocial Founder Prahu-Hub Benny Sukamto mengungkapkan, saat ini untuk biaya pengiriman dalam negeri biayanya cukup besar dan lebih sulit dibandingkan pengiriman barang ke luar negeri. Tingginya biaya logistik tentunya akan berpengaruh terhadap melemahnya kekuatan dagang dalam negeri dan meningkatkan ketergantungan kepada luar negeri.

“Prahu-Hub hadir sebagai marketplace yang mempertemukan pengirim barang domestik antar pulau (shipper) dan penyedia jasa pengiriman (ekspedisi, pelayaran, dan trucking). Dari pemesanan yang terjadi di marketplace kami, akan dikenakan biaya administrasi yang dibebankan kepada partner kami, dalam hal ini adalah penyedia jasa pengiriman,” kata Benny.

Secara khusus Prahu-Hub memfokuskan hanya kepada pengiriman domestik antar pulau saja. Hal ini yang membedakan layanan Prahu-Hub dari layanan logistik lainnya.

Saat ini Prahu-hub telah memiliki lebih dari 400 pengirim barang yang telah menggunakan layanan, dan setiap minggu situs web telah dikunjungi 1500 calon pengirim barang. Layanan Prahu-Hub mencakup dari Sabang sampai Merauke. Prahu-Hub juga telah melayani lebih dari 900 pengguna yang telah menggunakan platform sebagai jasa pengiriman barang kepercayaan mereka.

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, perusahaan belum memiliki rencana untuk melancarkan kegiatan penggalangan dana. Namun Prahu-Hub tidak menutup kemungkinan jika adanya investor yang tepat untuk bergabung bersama membangun bisnis Prahu-Hub.

“Untuk penggalangan dana, kami belum merencanakan secara spesifik. Tetapi kami membuka komunikasi dengan investor yang share our view and want to grow together,” kata Benny.

Pandemi dan Alibaba Netpreneur

Founder Prahu-Hub Benny Sukamto
Founder Prahu-Hub Benny Sukamto

Disinggung seperti apa pertumbuhan bisnis Prahu-Hub saat pandemi, Benny menegaskan logistik adalah salah satu sektor yang dapat bertahan di masa pandemi ini. Tetapi ketersediaan barang dan kebutuhan barang memang mengalami penurunan di luar pulau, tidak hanya di pulau Jawa selama masa pandemi ini. Sehingga banyak sedikit akan berpengaruh pada volume pengiriman antar pulau.

Tahun 2019 lalu Prahu-Hub terpilih menjadi Alibaba Netpreneur dari Indonesia. Banyak pengalaman kemudian yang didapatkan oleh Prahu-Hub, startup yang didirikan oleh Benny Sukamto, setelah sepuluh tahun tinggal dan bekerja di Amerika Serikat di bidang software intelegensi bisnis, Benny kembali ke Indonesia dan mengembangkan bisnis logistiknya.

“Dengan mengikuti Netpreneur training class #1 dari Indonesia di kantor pusat Alibaba, saya mendapatkan banyak pengalaman memulai suatu startup dan mentransformasi perusahaan “brick and mortar” into digital company to survive in the long run,” kata Benny.

Pandemi Jadi Kesempatan Youtap untuk Percepat Digitalisasi Ritel Tradisional

Setelah resmi meluncur bulan Februari lalu, platform yang menyediakan pemrosesan e-money dan platform point-of-sales Youtap dihadapkan langsung dengan pandemi yang sempat menyulitkan pemilik UKM untuk menjalankan bisnisnya. Untuk mengakali kondisi tersebut, tim Youtap terjun ke pasar dan menemui target pengguna untuk melancarkan kampanye pentingnya penggunaan cashless hingga touchless.

Melalui kampanye yang dilancarkan, YouTap mengklaim mampu mengadopsi kenaikan hingga 300%. CEO Youtap Indonesia Herman Suharto mengatakan, perusahaannya selalu konsisten dengan visi untuk hadir di setiap lapisan usaha dalam membantu dan memberdayakan para pelaku usaha untuk mendapat pencapaian terbaik.

“Kami menghadirkan teknologi tepat guna yang bisa membantu para pelaku usaha mendapatkan solusi bisnis digital secara komprehensif hanya dalam satu aplikasi. Kami yakin Aplikasi Dagang Youtap akan membuat mitra merchant kami, khususnya UKM, dapat lebih produktif dalam mengembangkan usahanya,” kata Herman.

Saat ini Youtap telah memiliki 50 ribu mitra merchant dan telah memproses sekitar 1 juta transaksi. Targetnya hingga akhir tahun 2020, Youtap bisa mengakuisisi sekitar 1 juta merchant di seluruh Indonesia. Mereka juga berencana untuk memperluas kemitraan dengan layanan finansial hingga brand besar seperti McDonalds dan lainnya.

“Brand besar seperti McDonalds juga sudah merasakan layanan kami selama pandemi berlangsung. Kami berhasil meningkatkan penjualan mereka dengan menerapkan e-vocuher yang memudahkan proses pembelian dan pembayaran di gerai,” kata Herman.

Terkait lanskap persaingan, Youtap berhadapan dengan banyak pemain. Misalnya LinkAja, saat ini mereka turut mengoptimalkan sebaran layanan untuk pedagang pasar dan asongan. Aplikasi lain, misalnya Dana, juga turut bermanuver mengandalkan QRIS yang saat ini mulai digencarkan penetrasinya. Untuk POS sendiri, di Indonesia sudah memiliki beberapa layanan, mulai dari Moka dan Nadipos yang sudah masuk ke dalam grup Gojek, hingga Qasir, Pawoon, dan lain-lain.

Terkait pencatatan finansial, beberapa waktu terakhir startup-startup baru juga bermunculan, misalnya BukuWarung dan BukuKas. Keduanya sudah mendapatkan pendanaan pra-seri A untuk melakukan perluasan bisnis di seluruh Indonesia, menyasar peritel mikro.

Digitalisasi ritel konvensional juga akan membutuhkan waktu yang panjang. Karena sifatnya harus menyeluruh dan membentuk ekosistem, yang berarti tidak hanya dari sisi pedagang yang difasilitasi, namun dari sisi konsumen. Sementara trennya adopsi layanan e-money di kalangan masyarakat memang terus meningkat. Hanya saja, pemainnya pun sudah semakin banyak dengan persangian yang sangat ketat.

Aplikasi khusus untuk merchant

Mengklaim lebih dari platform kasir biasa, Youtap di Indonesia yang merupakan buah dari joint venture Salim Group dan Youtap Global, sebuah perusahaan teknologi yang berasal dari Selandia Baru. Melalui aplikasinya, semua pemilik UKM bisa lebih mudah membuat laporan keuangan, pendataan barang, hingga fitur notifikasi yang dibuat secara personal.

“Notifikasi ini cara kerjanya serupa dengan chat app seperti WhatsApp. Setiap pagi kami mengingatkan jumlah penjualan dari warung atau pemilik bisnis agar bisa lebih semangat lagi menjalankan bisnis setiap harinya,” kata Head of Product Development Youtap M. Syaiful Anam.

Meskipun untuk pilihan Basic bisa diakses secara gratis, namun bagi pengguna yang ingin menikmati berbagai fitur tambahan dan alat khusus bisa memilih cara berlangganan. Selain lebih mudah dan mempercepat proses, Youtap juga terus menerima masukan dari merchant, terkait dengan fitur baru atau tools apa yang diinginkan dan tentunya dibutuhkan oleh merchant. Mulai dari home delivery hingga proses untuk mempromosikan secara digital kepada target pelanggan lebih luas lagi.

“Salah satu feedback yang kami terima sudah kami realisasikan, dan rencananya satu bulan ke depan akan kami luncurkan fitur baru yang bisa bermanfaat bagi merchant saat pandemi ini,” kata Syaiful.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Optimis Model “Team Buying” Bisa Diterima di Tengah Kematangan Pasar E-commerce

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk bertransaksi sangatlah besar.

Pandemi juga menjadi pemancing positif kepada startup yang menyasar social commerce. Besarnya demand dilengkapi dengan penggunaan media sosial hingga model pembelian secara bersama (team buying), menjadi sangat ideal bagi startup yang menyasar social commerce untuk tumbuh secara positif. Salah satu startup yang mencoba untuk menghadirkan layanan tersebut adalah KitaBeli.

Fokus kepada konsep “team buying”

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain—secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

“Memperhatikan bahwa platform lain tidak fokus pada berbagi dan aspek sosial pembelian, kami memutuskan untuk memulai KitaBeli dan memungkinkan pengguna Indonesia untuk melakukan hal ini dengan lebih baik secara online,” kata Co-founder KitaBeli Prateek Chaturvedi.

Pendekatan yang langsung ke pelanggan akhir (direct-to-consumer) membuat KitaBeli berbeda dengan pemain social commerce lain di Indonesia. Pengguna langsung memesan barang di aplikasi, bukan melalui agen atau reseller. Cara ini membuat KitaBeli mampu membangun loyalitas pelanggan dan model bisnis yang lebih menguntungkan. Di platform lain kebanyakan pengguna diharuskan untuk berbicara dengan pemasok, mengonfirmasi stok, dan lainnya. Proses tersebut dapat memakan waktu berjam-jam.

“Kami juga melakukan pengiriman cepat. Semua pesanan dikirim dalam 2 hari dengan biaya yang sangat rendah. Dengan konsep berbagi dan mengajak teman Anda untuk bergabung dengan aplikasi, pengguna kami mendapatkan lebih banyak diskon. Mereka juga bisa melihat apa yang dibeli temannya, dan bergabung dengan grup teman tersebut, untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” kata Prateek.

KitaBeli kini telah beroperasi di area Jabodetabek, dengan jumlah pelanggan yang tumbuh dengan pesat. Model pembelian berkelompok mendorong pengguna untuk mengajak kenalannya untuk bergabung dan mengunduh aplikasi KitaBeli. Selain itu, nilai transaksi per pengguna di aplikasi KitaBeli terus tumbuh setiap bulan.

“Pengguna KitaBeli suka dengan fitur sosial KitaBeli. Mereka juga puas dengan kecepatan pengiriman barang, 95% dari pesanan diantar dalam 2 hari. Dari Jakarta, kami berencana untuk segera memperluas layanan ke kota-kota lain, termasuk kota tier 2-4,” kata Co-founder KitaBeli Ivana Tjandra.

Pendanaan tahapan awal

Akir bulan Agustus 2020, KitaBeli mengumumkan pendanaan tahapan awal dengan nilai yang tidak dipublikasikan. Dalam putaran yang dipimpin oleh East Ventures, AC Ventures bergabung ronde pendanaan tersebut dengan partisipasi dari beberapa angel investor. Selain memperluas area layanan ke kota tier 2-4, penerapan teknologi dengan mengembangkan produk menjadi rencana dari perusahaan selanjutnya.

“Kami berfokus untuk menciptakan pengalaman pengguna yang luar biasa, dan meningkatkan loyalitas pengguna. Pengguna kami sangat menyukai aplikasi ini. Setiap bulan mereka membeli lebih banyak dari kami, dan sangat sering membeli. Ini lebih penting bagi kami sekarang daripada jumlah pengguna,” kata Prateek.

Tim KitaBeli berbasis di India dan Indonesia, terdiri dari tim teknologi di Bengaluru serta tim operasional dan tim pemasaran di Jakarta. Sebelum mendirikan KitaBeli, Prateek adalah founder Getfocus.in, perusahaan SaaS penyedia solusi pemasaran B2B asal India yang diakuisisi Moka pada 2018. Adapun, Ivana berpengalaman mengembangkan bisnis dan vertikal baru untuk Bridestory dan Handy.

“KitaBeli memperkenalkan team buying ke salah satu pasar ecommerce dengan pertumbuhan paling pesat. Kami antusias untuk bermitra dengan Prateek dan Ivana, membawa cara berbelanja baru ini ke konsumen Indonesia,” kata Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Pengalaman ini mendorong pembelian barang kebutuhan pokok harian dengan frekuensi tinggi. Prateek dan Ivana adalah entrepreneur yang berpengalaman dan visioner dengan keahlian operasional di pasar lokal. Mereka ada di posisi terbaik untuk membangun cerita teknologi consumer selanjutnya di Indonesia,” kata Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Application Information Will Show Up Here

Otomo Klaim Pertumbuhan di Tengah Pandemi, Luncurkan Aplikasi Mobile untuk Akselerasi Bisnis

Setelah melakukan rebranding akhir tahun 2019 lalu, platform penyewaan kendaraan Otomo (sebelumnya Automo) mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif, termasuk di tengah krisis akibat pandemi. Kepada DailySocial Founder Otomo Charles Lin mengungkapkan, saat ini mereka juga telah meluncurkan aplikasi yang bisa diunduh di Play Store.

“Saat ini kami telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna di Indonesia dan secara aktif membangun lebih banyak fitur yang tidak hanya membantu pengendara tetapi juga pemilik mobil memperoleh penghasilan tambahan tanpa menggunakan mobil mereka,” kata Charles.

Dengan aplikasi ini, pengemudi dapat langsung meningkatkan pendapatan mereka dari layanan pelanggan dan kebersihan mobil, karena pengguna dapat memesan langsung ke setiap pengemudi jika mereka menyukai perjalanan dan layanan tersebut.

Ke depannya, cara ini bisa memastikan layanan berkualitas yang dapat dinikmati saat bepergian dengan Otomo. Otomo saat ini juga sedang membuka pendaftaran kepada pengemudi dan pemilik kendaraan di Jakarta. Untuk memudahkan pengguna mengakses platform.

Perubahan akibat pandemi

Otomo mencatat, pandemi yang terjadi juga telah mengubah perilaku masyarakat dalam hal penggunaan kendaraan atau transportasi umum. Yang dapat disediakan oleh Otomo adalah cara transportasi yang jauh lebih aman, dengan mengandalkan pengemudi yang sama dan disukai, untuk semua perjalanan selama sebulan. Dengan begitu, bisa mengurangi kontak ke lebih banyak pengendara dalam satu hari, yang tidak hanya akan meningkatkan pendapatan pengemudi tetapi juga meningkatkan aspek keselamatan kerja.

“Model bisnis baru kami yang disempurnakan telah direncanakan tepat sebelum pandemi terjadi, yang untungnya bagi kami terjadi sebelum peluncuran aplikasi ketika PSBB diberlakukan. Selama PSBB para developer kami bekerja keras untuk menyelesaikan aplikasi,” kata Charles.

Rencana Otomo

Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dicapai oleh Otomo, salah satunya adalah melakukan penggalangan dana akhir tahun ini. Perusahaan juga berharap beberapa tahun ke depan menuju profitabilitas. Otomo saat ini juga menjadi salah satu peserta program akselerasi GK Plug & Play batch 6 yang digelar tahun ini.

Saat ini telah bergabung sekitar 70 vendor di berbagai wilayah. Mulai dari Jakarta, Labuan Bajo, Bali, Bandung hingga Yogyakarta juga. Tidak hanya menyediakan opsi mobil, akhir tahun ini Otomo juga akan meluncurkan yacht dan helikopter.

Terdapat sekitar 300 lebih listing yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna. Otomo juga telah bekerja sama dengan Cars and Trips Pte Ltd di Singapura untuk peluncuran akhir tahun ini yang menyediakan layanan penyewaan mobil dan berbagi mobil dengan konsep peer-to-peer.

“Kami melihat Otomo sebagai Spotify dan Airbnb untuk transportasi di Indonesia. Di mana Anda sekarang dapat memesan tumpangan selama sebulan penuh, berdasarkan jadwal Anda sendiri dengan biaya yang jauh lebih murah daripada membeli sendiri dan menyewa sopir Anda sendiri. Memungkinkan pengendara untuk mengukur dan memilih hari apa yang mereka butuhkan untuk tumpangan, dan tidak perlu khawatir tentang parkir, pajak jalan, aturan Ganjil-Genap atau bahkan kerusakan mobil lagi,” kata Charles.

Application Information Will Show Up Here

PrivyID Supports Local Banking, Providing Online Credit Card Service

The digital signature platform developer startup PrivyID forms a strategic partnership with Bank Mandiri, BRI, BNI, BNI Syariah, Bank CIMB Niaga, and Bank Mega. This strategic collaboration has resulted in a process to facilitate customers to apply for credit cards online using a digital signature. The company claims to have assisted more than 50 thousand customers within one year.

PrivyID’s CEO, Marshall Pribadi told DailySocial that his team understands that credit card issuers need a solution to help them grow customers while simultaneously increasing the volume of credit card transactions with more efficient way.

“Well, the digital signature solution that PrivyID provides makes the credit card application process faster, more convenient, and safer. It’s faster because filling out forms is just a merely typing, more convenient because it can be done from anywhere and anytime, and safer because customer registration data is directly connected to the bank, without going through a third party,” Marshall said.

PrivyID has been registered as a Financial Technology Supporting Operator at Bank Indonesia since 2018. The regulatory sandbox program is designed to provide limited trial opportunities, evaluation, and monitoring various product innovations, services, technology, and business models of financial technology (fintech) companies. selected. Fintech organizers who passed the trial space program were considered to have products or services that were both feasible and safe for use by the wider community.

Contactless approach

Aside from safety, in terms of health protocols, the implementation of digital signatures in the online credit card application process has also resulted in a very high level of satisfaction among customers. Customers who want to use this service can directly access PrivyID, after filling in the form the customer can embed a digital signature on the platform. After the credit card issuer performs the underwriting process, the customer will be informed whether it has been approved or rejected.

“With digital signatures in the online application process, customers do not need to meet face to face or go to public places such as shopping centers to make credit cards. Digital signatures are the right contactless solution for financial service providers,” Marshall added.

Was founded in 2016, PrivyID has been trusted by more than 6 million users and 500 companies in Indonesia. PrivyID digital identity and signature services have also been used by other well-known companies such as Telkom, XL, Indosat, Unilever Indonesia, BCA Finance, Gramedia, Akulaku, and Kredivo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

PrivyID Dukung Perbankan Lokal Hadirkan Layanan Pengajuan Kartu Kredit Online

Startup pengembang platform tanda tangan digital PrivyID menjalin kerja sama strategis Bank Mandiri, BRI, BNI, BNI Syariah, Bank CIMB Niaga, dan Bank Mega. Kolaborasi strategis ini menghasilkan proses yang memudahkan nasabah mengajukan aplikasi kartu kredit secara online memanfaatkan tanda tangan digital. Perusahaan mengklaim dalam waktu satu tahun, sudah mempermudah proses lebih dari 50 ribu nasabah.

Kepada DailySocial CEO PrivyID Marshall Pribadi mengungkapkan, pihaknya memahami bahwa credit card issuer membutuhkan solusi yang mampu membantu mereka menumbuhkan jumlah nasabah sekaligus mendorong volume transaksi kartu kredit secara lebih efisien.

“Nah, solusi tanda tangan digital yang PrivyID sediakan membuat proses pengajuan kartu kredit jadi lebih cepat, lebih nyaman, sekaligus lebih aman. Lebih cepat karena isi formulir jadi tinggal diketik, lebih nyaman karena bisa dilakukan dari mana saja dan kapan saja, dan lebih aman karena data registrasi nasabah langsung terhubung dengan bank, tanpa melalui pihak ketiga,” kata Marshall.

PrivyID telah terdaftar sebagai Penyelenggara Penunjang Teknologi Finansial di Bank Indonesia sejak 2018. Program regulatory sandbox sendiri dirancang untuk memberikan kesempatan uji coba terbatas, evaluasi, dan monitoring terhadap berbagai inovasi produk, layanan, teknologi, serta model bisnis perusahaan-perusahaan teknologi finansial (tekfin) terpilih. Penyelenggara tekfin yang lulus dari program ruang uji coba ini dinilai memiliki produk atau layanan yang layak sekaligus aman untuk digunakan oleh masyarakat luas.

Pendekatan “contacless

Selain lebih aman dari segi protokol kesehatan, implementasi tanda tangan digital pada proses aplikasi kartu kredit secara online juga menghasilkan tingkat kepuasan yang sangat tinggi di tengah nasabah. Bagi nasabah yang ingin menggunakan layanan ini bisa langsung mengakses PrivyID, setelah mengisi formulir nasabah bisa menyematkan tanda tangan secara digital dalam platform. Setelah credit card issuer melakukan proses underwriting, nantinya akan diketahui apakah nasabah tersebut mendapatkan persetujuan atau ditolak.

“Dengan penggunaan tanda tangan digital pada proses aplikasi secara online, nasabah tidak perlu bertatap muka atau pergi ke tempat umum seperti pusat perbelanjaan untuk melakukan pembuatan kartu kredit. Tanda tangan digital merupakan solusi contactless yang tepat bagi penyedia jasa keuangan”, ungkap Marshall.

Didirikan pada tahun 2016, PrivyID telah dipercaya oleh lebih dari 6 juta pengguna dan 500 perusahaan di Indonesia. Layanan identitas dan tanda tangan digital PrivyID juga telah digunakan oleh perusahaan ternama lainnya seperti Telkom, XL, Indosat, Unilever Indonesia, BCA Finance, Gramedia, Akulaku, dan Kredivo.

Application Information Will Show Up Here

Manajemen Tim dan Penyesuaian Fokus Bisnis Jadi Agenda Penting Startup di Tengah Pandemi

Meskipun di awal bulan sempat mengalami beberapa tantangan, namun saat ini ketika pandemi sudah memasuki bulan kelima banyak startup yang bisa menyesuaikan keadaan dalam situasi bekerja di rumah. Istilah new normal bukan lagi bersifat sementara, namun diprediksi menjadi kondisi yang berlanjut.

Dalam sesi webinar yang digelar oleh program akselerator GK-Plug and Play, beberapa penggiat startup yang terdiri dari CEO AI Sensum Vivek Thomas, CEO Verihubs Williem, dan Head of Product Tiket Rosabella Sarudin berbagi pengalaman dan update menarik tentang tempat mereka bekerja saat pandemi berlangsung.

Manajemen tim dan penggunaan tools yang tepat

Sebagai startup yang menghadirkan teknologi Software as a Service (SaaS), Williem melihat tidak menemui kendala yang berarti saat pandemi terkait dengan manajemen dan mengelola time management team. Dalam hal ini Verihubs yang didominasi oleh tenaga engineer, memberikan kebebasan kepada anggota tim untuk bekerja di rumah, selama tugas yang dibebankan bisa diselesaikan.

“Kami menggunakan tools yang relevan, seperti Airtable. Dengan demikian semua tugas yang diberikan kepada engineer bisa di-monitor. Selama ini kami juga telah memberikan kesempatan remote working kepada pegawai, sehingga mudahkan transisi working from home,” kata Williem.

Hal serupa juga diterapkan oleh Vivek dalam hal mengelola tim selama bekerja di rumah. Meskipun tidak meninggalkan KPI yang telah ditetapkan kepada masing-masing pegawai, namun Vivek melihat adanya peluang transisi jabatan kepada beberapa pegawai selama pandemi berlangsung.

“Fokus kami tentunya kepada tim sales dan business development, namun di saat yang sama kami juga melihat ada beberapa tugas yang kemudian dialihkan dan diberikan kepada pegawai lainnya,” kata Vivek.

Pandemi juga diklaim menambah produktivitas pegawai, tantangan seperti transportasi hingga pengeluaran yang biasanya banyakan dihabiskan oleh pegawai di kantor, kini bisa dipangkas saat kegiatan bekerja di rumah diberlakukan.

“Kita sendiri belum bisa memutuskan kapan waktu yang tepat untuk kembali ke kantor. Karena setelah dilihat selama 5 bulan terakhir, produktivitas para pegawai tetap positif bahkan cenderung meningkat produktivitasnya,” Vivek.

Saat pandemi juga menjadi waktu yang tepat untuk mencoba atau meluncurkan layanan atau produk yang baru. Ketika semua layanan hingga tools mulai shifting ke digital, semua produk yang terkait dengan teknologi hingga touchless dan contactless produk, diprediksi bakal menjadi masa depan saat pandemi bahkan ketika pandemi berakhir.

“Salah satu yang telah kami luncurkan dan mendapat respons positif adalah ketika bulan Mei lalu kami meluncurkan Passwordku. Produk yang memudahkan pengguna untuk mengelola password mereka untuk semua. Saat pandemi peluncuran tersebut memvalidasi model bisnis kami saat ini dan ke depannya,” kata Williem.

Mengubah fokus dan target

Sebagai layanan OTA yang selama ini sudah meraih kesuksesan, Tiket mengakui selama pandemi berlangsung mengalami penurunan dari sisi penjualan. Ditutupnya penerbangan, penginapan hingga tempat hiburan, telah membatasi bisnis mereka untuk tumbuh selama 5 bulan terakhir.

Untuk mengakali tantangan tersebut, Tiket kemudian mulai memfokuskan kepada experience. Mulai dari menggelar acara musik live hingga sesi tanya jawab dengan artis idola, diklaim bisa membantu perusahaan untuk terus tumbuh selama pandemi.

Saat ini ketika aturan PSBB sudah mulai dilonggarkan di beberapa tempat wisata hingga destinasi favorit seperti Bali, Tiket juga berupaya untuk menggenjot jumlah penjualan tiket penerbangan, penginapan dan atraksi. Salah satunya adalah dengan cara melancarkan kampanye Tiket Clean. Yaitu kampanye yang berisikan himbauan dan aksi positif oleh Tiket kepada perhotelan yang tetap menjaga kebersihan dan mematuhi protokol kesehatan selama pandemi.

“Pada akhirnya hotel membutuhkan uang tunai, dengan memberikan promo berupa diskon hingga penawaran menarik yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan yang tertarik untuk melakukan pemesanan hotel saat ini atau tahun depan,” kata Rosabella.

Meskipun sarat dengan tantangan, namun dengan strategi ini diharapkan bisa memancing kembali minat masyarakat untuk kembali melakukan pemesanan dan menginap di hotel yang sudah terjamin kebersihannya.

Faktor Pendukung Transformasi Digital Korporasi

Berdasarkan laporan Corporate Digital Transformation yang disusun DSResearch, pandemi Covid-19 dinilai mempengaruhi transformasi digital perusahaan. Kondisi seperti saat ini mendorong percepatan pengembangan inovasi, khususnya yang berkaitan dengan pelanggan.

DailySocial mencoba mencari tahu kesiapan dan sejauh mana korporasi mendukung transformasi digital dan apakah pandemi menjadi faktor penentu yang mempercepat proses tersebut.

Membawa peluang baru

Menurut survei yang dilakukan Vanson Bourne untuk VMWare, terdapat tiga pilar yang menjadi fokus saat melakukan transformasi digital, yaitu meningkatkan efisiensi bisnis (48%), meningkatkan pengalaman pengguna (42%), dan meningkatkan teknologi yang dimiliki saat ini (39%).

Pengamat inovasi bisnis teknologi dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mencoba menambahkan satu pilar fokus lagi, yaitu peluang bisnis baru.

“Mungkin saya akan menambahkan New Business Opportunities, di mana korporasi mempelajari adanya shift in consumer behavior and create an entirely new business model to accommodate that opportunity. Kebanyakan korporasi hanya fokus improving the current business, tapi lupa bahwa pasar sudah berubah, untuk itu new business process and new business model is required. Contohnya ya Netflix,” kata Rama.

Meskipun penerapan transformasi digital menjadi krusial, tidak berarti banyak korporasi yang telah melakukannya. Pandemi mendorong kegiatan ini menjadi lebih masif.

IT Services Director Lintasarta Ginandjar Alibasjah mengatakan, “Menurut saya pandemi menjadi pemancing yang cukup efektif untuk mempercepat proses transformasi digital jika didukung dengan ramuan atau olahan cerdas antara teknologi dan talenta yang ada saat ini di tanah air.”

Tidak hanya korporasi yang sudah berusia 32 tahun seperti Lintasarta, yang  harus melakukan transformasi digital. Perusahaan konvensional di berbagai sektor perlu mempertimbangkan langkah ini.

Menurut Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna, transformasi digital sudah harus menjadi bagian dari roadmap korporasi agar ke depannya perusahaan bisa tetap bertahan dan bisa bersaing dengan yang lain. Inovasi harus sejalan dengan visi dan misi perusahaan agar perusahaan bisa tetap relevan.

“Saya melihat private sector sudah memiliki kemampuan lebih untuk bisa mewujudkan semua, namun dalam hal ini masyarakat juga harus didukung agar proses tersebut bisa berjalan secara sukses. Dalam hal ini pemerintah harus membantu baik dalam hal infrastruktur hingga hal terkait lainnya, terutama di daerah yang masih kesulitan untuk mengakses teknologi,” kata I Nyoman.

Teknologi, proses, dan talenta yang tepat

Transformasi digital tentu saja tidak mudah dilakukan. Ada beberapa tantangan yang menghambat kemajuan mereka. Tantangan yang lebih umum terkait proses dan teknologi — dua dari tiga pilar utama dari setiap upaya transformasi digital.

Kunci sukses lain yang mempengaruhi kesuksesan transformasi digital adalah talenta atau tim. Korporasi yang tidak menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat bisa menghambat terjadinya transformasi digital.

“Menurut saya, selain tools, korporasi juga harus fokus kepada kultur. Transformasi digital itu intinya adalah tentang culture of experimentation, culture of user-focused and data-driven decision making, and the culture of innovation,” kata Rama.

Salah satu perubahan kultur yang coba dikembangkan Pegadaian, BUMN yang berusia lebih dari 100 tahun, adalah dengan menggabungkan talenta pro-hire dan talenta existing dengan komposisi 20% : 80%.

“Dengan menerapkan langkah strategis tersebut kita ingin produk dan kultur mendatangkan inovasi termasuk adopsi dan akselerasi. Saat ini banyak sekali perusahaan besar hanya mengikuti saran dari konsultan. Masalahnya adalah dengan melakukan proses tersebut saat melakukan transformasi, tidak ada drive atau keinginan yang cukup kuat untuk menciptakan inovasi,” kata VP of Digital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko.