Startup SaaS OrderOnline Permudah Penjual Social Commerce Kelola Bisnis

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024. Ragam solusi yang disediakan startup untuk permudah jalan masuk UMKM go digital, kini datang dari berbagai celah aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lainnya.

Kondisi tersebut tercermin dengan laporan yang diterbitkan DSInnovate bertajuk “MSME Empowerment Report 2021”, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, seperti kekurangan modal, kesalahan penghitungan/transaksi, sulit masuk ke pasar, dan lainnya.

Apa yang terjadi di atas, dirasakan betul oleh Rovan Alfarry (CEO) dan Fazlur Rahman (CTO) bagaimana kesulitannya saat merintis usaha online kecil-kecilannya. Entah itu kesulitan mengecek rekening, lupa membalas pesan konsumer yang terlalu banyak, pencatatan penjualan yang tidak rapi, dan masih banyak lagi. Mereka pun berinisiatif membangun sendiri platform yang dapat menampung seluruh keluhannya tersebut agar semakin mudah berjualan.

“Awalnya, fitur ini hanya digunakan untuk pribadi saja. Tapi saat tahu rekan kami yang juga berjualan online merasa sangat terbantu dengan tools yang kami buat, kami berpikir untuk serius mengembangkan sebagai bisnis yang menjanjikan,” ujar Rovan saat dihubungi DailySocial.id.

Pengalaman tersebut akhirnya melahirkan OrderOnline pada Juli 2018. Rovan menuturkan, visi OrderOnline adalah platform bisnis online yang membantu UMKM bertumbuh dengan menjawab setiap permasalahan yang benar-benar mereka alami secara langsung.

Solusi OrderOnline

OrderOnline membantu pebisnis dalam penjualan melalui form order, manajemen order, manajemen customer, dan manajemen tim. Tiap pengguna dapat membuat toko online sendiri berupa katalog atau landing page di website, lengkap dengan checkout page yang telah terintegrasi dengan fitur COD, e-payment, transfer antarbank, serta tersedia sistem manajemen usaha dan laporan penjualan otomatis.

Solusi yang ditawarkan ini bukanlah barang baru yang disediakan oleh startup SaaS di Indonesia. Rovan bilang, diferensiasi yang diunggulkan OrderOnline adalah pengguna dapat menggunakan checkout page dan menjadwalkan follow up pesanan via WhatsApp. “Kedua fitur ini sangat membantu social commerce atau UMKM yang berjualan di media sosial.”

Dia merinci, setelah penjual mengirimkan checkout page ini ke beragam media sosial, konsumer dapat langsung membeli di halaman tersebut tanpa repot. Kemudian, untuk melakukan follow up konsumer secara berkala dan otomatis di platform OrderOnline yang akan terkoneksi langsung ke WhatsApp. “Hal ini sudah terbukti dapat meningkatkan keberhasilan penjualan.”

Dia melanjutkan, “OrderOnline hadir untuk menyederhanakan dan memudahkan proses bisnis online dengan fitur all-in-one-nya. Tak hanya bicara mengenai penjualan, namun juga manajemen bisnis dan tim yang dapat membantu proses kerja bisnis itu sendiri setiap harinya.”

Tak hanya itu, dari sisi logistik turut menjadi perhatian OrderOnline. Terhitung, perusahaan logistik seperti SiCepat, JNE, J&T, SAP, dan Ninja Xpress telah bergabung dengan platform. Para pebisnis dapat memilih armada logistik yang dekat dengan area usahanya.

Seluruh solusi ini tersedia dalam bentuk berlangganan untuk jangka waktu per bulan atau per tahun. Ada tiga kategori yang tersedia, yakni Personal, Business, dan Enterprise dengan biaya mulai dari Rp149 ribu.

“Kami juga memiliki fitur reseller yang dapat membantu mereka membeli barang dalam jumlah yang besar hanya dengan melakukan pembelian via website. Selain itu, kami juga memiliki media edukasi khusus (e-course) di bidang bisnis yang dapat membantu para pengusaha memajukan bisnisnya dari berbagai aspek inti yang dibutuhkan.”

Rencana berikutnya

Meski tidak dirinci secara spesifik, diklaim GMV dari OrderOnline sendiri hampir menyentuh angka Rp300 miliar dengan volume order hingga 1 juta per bulannya. Profil penggunanya berasal dari para penjual di media sosial (social commerce), bukan marketplace yang tersebar di seluruh Indonesia.

Rovan mengatakan, pihaknya fokus pada segmen ini karena ada beberapa keunggulan yang tidak dimiliki marketplace dari sisi pengeluaran yang lebih minim dan tidak adanya persaingan harga. “Kami juga menyasar pebisnis pemula atau yang baru memulai usahanya dengan kemudahan dan otomatisasi bisnis yang kami tawarkan secara online dengan harapan UMKM akan mulai go digital.”

Rencana berikutnya, OrderOnline akan lini bisnis baru seperti e-course OCademy untuk kelas bisnis dan marketing, fulfillment untuk penyediaan gudang penyimpanan dan pengemasan barang, omnichannel untuk sinkronisasi stok lintas e-commerce dan marketplace, layanan ekspedisi OExpress untuk layanan pengiriman paket, hingga financing untuk pendanaan modal usaha seller. “Untuk lini-lini bisnis tersebut sebagian besar akan dimulai di tahun ini,” tutup Rovan.

Perusahaan masih sepenuhnya mengandalkan dana sendiri (bootstrapping) dalam operasional usahanya. Namun dengan skala bisnis yang semakin besar, maka tidak menutup kemungkinan OrderOnline akan menggalang pendanaan perdananya.

Modalku dan Carro Umumkan “Co-Investment” di Bank Index

Grup Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura, Malaysia, dan Thailand) bersama platform jual-beli otomotif Carro mengumumkan investasi saham bersama (co-investment) di PT Bank Index Selindo (Bank Index). Tidak disebutkan nilai investasi bersama ini.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, kolaborasi ini mendukung strategi bisnis Modalku untuk masuk ke industri neobank. Di samping itu, ia menilai Bank Index menjadi partner yang tepat untuk memberdayakan dan mengembangkan UMKM.

“Sejak 2015, Grup Modalku telah menjadi mitra industri perbankan di seluruh wilayah operasional kami. Kemitraan dengan Bank Index akan membawa kolaborasi fintech dan perbankan ke level lebih tinggi. Kami ingin mendukung UMKM di lintas perbankan, pembayaran, pinjaman, dan layanan digital,” ujar Reynold.

CEO Carro Indonesia Jeremy Ong juga mengatakan bahwa langkah co-investment ini menjadi opsi natural untuk menjadi bagian dari perjalanan membangun kapabilitas dan infrastruktur di ekosistem otomotif, baik dalam hal pembelian, UMKM, hingga asuransi.

Carro sebelumnya juga masuk ke jajaran investor Allo Bank bersama Bukalapak dan Grab.

Sebagai informasi, Bank Index merupakan bank swasta dengan 52 jaringan kantor di Jabodetabek, Jawa, Sumatera, Bali, dan Batam. Bank Index memiliki fokus di segmen UMKM dan menjalankan bisnis pada rantai pasokan komersial.

Adapun Grup Modalku merupakan platform pendanaan bagi UMKM di Asia Tenggara yang memiliki lisensi di Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan saat ini juga beroperasi di Vietnam. Modalku menawarkan pinjaman hingga Rp2 miliar bagi para UMKM yang kesulitan dengan modal bisnis.

Menurut data terbaru, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman usaha sebesar Rp33,02 triliun kepada dengan jumlah transaksi mencapai 5 juta pinjaman UMKM.

Inklusi keuangan via neobank

Sejumlah pelaku fintech ramai-ramai mengumumkan kolaborasi atau sinerginya bersama perbankan. Tujuan kolaborasi ini tak lain untuk memperluas layanan keuangan, terutama ke segmen UMKM dan unbanked.

Sebelum ini, KoinWorks menggandeng Bank Sampoerna untuk meluncurkan layanan neobank UMKM KoinWorks NEO. Kala itu, Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyebut neobank menjadi gerbang awal untuk meningkatkan kapabilitas UMKM yang masih underserved dan underbanked, sebelum naik tingkat dan layak mendapat akses kredit.

Sebagaimana terangkum dalam Laporan Tahunan AFTECH 2021, OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3% dari 29,7% di 2016 menjadi 38% di 2019. Pertumbuhan indeks ini menandakan pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69% pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23% dan 19% responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Adapun, laporan ini menyebutkan layanan fintech di kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan dikarenakan faktor regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan.

Akan tetapi, keempat kategori ini dinilai mulai menggalang daya tarik di pasar sejalan dengan meningkatkan upaya pelaku di ekosistem keuangan untuk memperluas inklusi keuangan ke luar kota-kota tier 1.

Application Information Will Show Up Here

[Video] Potensi Platform SaaS untuk Pemasaran

DailySocial bersama Country Manager Insider Indonesia Arifin Iskandar membahas bagaimana Insider sebagai platform SaaS memberikan dampak bagi industri dan apa yang membedakan Insider dengan platform sejenis.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis dan kontribusi sejumlah startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Doctor Anywhere Ramaikan Pangsa Pasar Healthtech di Indonesia

Setelah hadir di sejumlah negara Asia Tenggara, startup healthtech asal Singapura Doctor Anywhere (DA) akan segera masuk ke Indonesia. Beberapa waktu lalu, DA mengumumkan telah menunjuk Felix Ignatius Tanumihardja sebagai General Manager di Indonesia.

Felix akan bertanggung jawab untuk mendorong strategi go-to-market dan peluncuran produk DA di Indonesia. Kendati begitu, belum ada informasi lebih lanjut mengenai ekspansi DA ke Indonesia dalam waktu dekat. “I’m very excited to launch our business in Indonesia,” demikian disampaikan Felix dalam laman resmi DA di LinkedIn.

Sebagai informasi, Felix tercatat telah lama menjejakkan karier di industri digital dan teknologi. Sebelum ini, ia bekerja sebagai Regional General Manager Grab dan dipercaya untuk mengelola lini bisnis GrabFod dan GrabMart.

Ia juga pernah menjadi Area Manager di platform OTA Expedia Group, dan menghabiskan 12 tahun di bidang product management di sejumlah perusahaan teknologi besar, yakni Lenovo, Samsung, Dell, dan Hewlett-Packard (HP).

Ekspansi regional

Didirikan oleh Lim Wai Mun di 2016, Doctor Anywhere merupakan startup asal Singapura yang menyediakan sejumlah layanan kesehatan, mulai dari telekonsultasi, Covid-19, homecare, dan wellness (marketplace).

Berdasarkan data terakhir, DA telah beroperasi di Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Fillipina. DA juga telah membangun tech hub untuk regional yang berbasis di Bangalore (India) dan Ho Chi Minh City (Vietnam).

Adapun, rencana ekspansi DA lebih luas telah digaungkan Founder dan CEO Doctor Anywhere Lim Wai Mun pasca-perolehan pendanaan seri C sebesar $65,7 juta pada 2021. Ia berujar, DA punya misi untuk menjadi penyedia healthcare berbasis teknologi dan omnichannel terbesar di Asia Tenggara.

Sejak meluncur di 2017, DA mencatat pertumbuhan eksponensial dengan 1,5 juta pengguna di Asia Tenggara. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu katalis terhadap pertumbuhan pesat layanan telekonsultasinya. Saat ini, DA telah bermitra dengan 2.800 dokter dan tenaga kesehatan di Asia Tenggara.

“Kami akan menggunakan pendanaan untuk meningkatkan kapabilitas digital kami dan kemampuan kami dalam menyediakan kualitas layanan healthcare secara seamless kepada pengguna kami di Asia Tenggara,” tambahnya.

Potensi healthtech

Indonesia termasuk salah satu pasar yang memiliki tantangan besar di sektor kesehatan, di antaranya karena faktor geografi, mahalnya biaya, hingga ketidakseimbangan rasio jumlah tenaga kesehatan dan kapasitas kamar dengan jumlah penduduk.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan di 2020, rasio dokter mencapai 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur RS berkisar 1,2 per 1.000 populasi di Indonesia.

Maka itu, layanan telekonsultasi dinilai memberikan kontribusi besar terhadap penanganan kesehatan masyarakat selama pandemi Covid-19. Telekonsultasi juga menjadi layanan healthtech yang paling tinggi adopsinya di Indonesia. Beberapa platform penyedia telekonsultasi di Indonesia di antaranya adalah Alodokter, Halodoc, dan KlikDokter.

Potensi adopsinya juga masih sejalan dengan meningkatnya penetrasi internet di Indonesia di luar kota-kota tier 1.  Mengacu e-Conomy SEA Report 2021, ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan.

Adapun, Health Investor Asia memproyeksikan total spending kesehatan masyarakat di enam Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand) mencapai $740 miliar di 205 atau naik dari $420 miliar di 2017.

Application Information Will Show Up Here

Masih Berkondisi “Stealth”, Honest Bank Dikabarkan Telah Bervaluasi Centaur

Masih dalam mode “stealth”, startup digitalopen banking Honest Bank dikabarkan telah mencapai valuasi sekitar $200 juta. Hal ini ditopang dengan pendanaan yang terus mengalir.

Menurut data yang disetor ke regulator, terakhir pada April 2022 ini sejumlah investor turut menambah pundi-pundi modal lebih dari $10,4 juta, di antaranya XYZ Capital, Digital Horizon, Alumni Ventures, dan sejumlah nama lainnya.

Sebelumnya, di tahap seed Honest Bank mendapatkan dukungan dalam XYZ Capital dan Village Global senilai hampir $3 juta. Kemudian dilanjutkan pendanaan seri A senilai hampir $23 juta dari Insignia, Global Founder Capital, Alpha JWC Ventures, dan beberapa lainnya. Jika ditotal dana ekuitas yang berhasil dibukukan sejauh ini hampir $37 juta.

Sementara itu, sampai saat ini produk atau layanan Honest Bank masih belum diluncurkan ke publik. Namun diketahui, perusahaan berbasis di Singapura itu memiliki misi untuk menawarkan platform keuangan yang bisa memberikan akses layanan perbankan yang adil kepada masyarakat di Asia Tenggara.

Startup ini mulai diinisiasi sejak 2019 oleh Peter Panas dan Will Ongkowidjaja. Will sendiri adalah salah satu Founding Partner dari Alpha JWC Ventures.

Indonesia jadi prioritas pasar

Awal tahun ini, Honest Bank mengakuisisi mayoritas saham (71,2%) dari PT Sahabat Finansial Keluarga (SFK). SFK adalah perusahaan pembiayaan yang dimiliki PT Bank Permata Tbk.

Berdasarkan keterbukaan di BEI, nilai akuisisi ini 241 miliar Rupiah. Disampaikan oleh Direktur Bank Permata Chalit Tayjasanant, akuisisi diharapkan bisa memperkuat lini pembiayaan konsumen dan produk keuangan inovatif SFK.

Selain terkait akuisisi SFK, sinyal rencana menjadikan Indonesia sebagai pasar debut mereka, saat ini perusahaan tengah melakukan perekrutan sejumlah posisi untuk ditempatkan di Jakarta.

Selain Indonesia, Thailand juga menjadi target awal yang sepertinya akan disinggahi Honest Bank.

Famous Allstars: “Creator Economy” Indonesia Belum Capai Puncak Pertumbuhan, Ruang Eksplorasi Masih Besar (Bagian I)

Bagi Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani, industri creator economy Indonesia saat ini tengah memasuki periode yang mendebarkan. Mengapa? Perkembangannya begitu cepat, pasarnya sangat antusias, dan ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi, baik dari sudut pandang kreator, inovator, hingga pemilik brand. 

Mereka punya pandangan demikian mengingat Famous Allstars atau FAS bukanlah pemain baru di industri ini. FAS telah lama menyaksikan perkembangan creator economy, dari ketika model monetisasinya masih konvensional hingga sekarang di mana kreator semakin independen berkarya.

Jika mengikuti perjalanannya, FAS berdiri dari penggabungan bisnis antara Famous dan Allstars pada 2019 silam. Famous menaungi channel-channel konten kreatif popular Indovidgram, KokikuTV, Avenu, dan Indovidgram pada 2012-2015. Sementara, Allstars adalah platform yang menghubungkan brand dengan influencer. FAS juga menerima pendanaan dari perusahaan konglomerasi media EMTEK Group dan bersinergi dengan RANS Entertainment di 2021.

Di sesi eksklusif ini, DailySocial merangkum obrolan panjang bersama Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani terkait lanskap industri, monetisasi, hingga rencana bisnisnya tahun ini. Selengkapnya, kami sajikan dalam dua bagian.

Creator economy punya definisi luas sehingga ada anggapan influencer juga termasuk di dalamnya. Bagaimana Anda mendefinisikan kedua hal ini?

Alex (Al): Definisi influencer sesuai terjemahannya: seseorang yang memberikan pengaruh lewat kreasinya. Karena teknologi bergerak dengan cepat, terminologi itu–at least dari sudut pandang saya–menjadi sedikit insignificant.

Dulu influencer tidak exist di awal kami membangun bisnis ini. Seiring berjalannya waktu [konteks: influencer mulai populer], terminologi ini semakin berkurang. Influencer ingin disebut sebagai kreator. Kenapa? Karena mereka merasa menghasilkan sesuatu dan bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya dulu kreator identik dengan hasil karya seni, sekarang berbeda. Konten video pendek bisa dikatakan sebagai kreasi. Jika hari ini, saya membuat konten digital di Instagram, YouTube, atau TikTok, saya bisa sebut diri sebagai kreator.

Creator economy ini menarik karena siapa saja dapat menjadi kreator dan influencer. Yang membedakan adalah skala dan kemampuannya. Bisa jadi saya kreator, tetapi skala kreativitasnya masih kalah dari kreator lain.

Contoh, istilah livestreamer pasti akan lebih besar lagi di masa depan. Apakah livestreamer disebut influencer atau content creator? Tentu bisa. Akan tetapi, livestreamer mungkin punya skillset berbeda dengan influencer karena influencer belum tentu bisa livestreaming. Sementara, influencer mungkin punya kemampuan copy writing yang baik, tetapi belum tentu bisa live selama satu jam. Youtuber belum tentu bisa livestreaming, karena kontennya sebagian besar recorded, bisa diulang, atau diedit.

Seniman menggambar nanti mungkin bakal dikenal sebagai NFT artist dalam 2-3 tahun lagi. Terminologinya berubah karena creator economy membentuk sebuah identitas dan lapangan kerja yang baru. Jadi, terminologi [baru] akan terus muncul seiring waktu karena industri creator economy akan semakin luas.

Di era kehadiran Web3, saat ini industri creator economy Indonesia ada di fase apa?

Arief (Ar): Saya pernah mengikuti talkshow yang diisi oleh Li Jin, Founder dan General Partner Atelier Ventures. VC ini banyak berhubungan dengan [startup] creator economy. Dalam paparannya, dia sebut ada empat fase creator economy.

Pertama, creator economy versi 1.0 itu ketika internet hadir di mana [setiap] individu bisa menjadi kreator. Lalu, di versi 2.0 kreator bisa reach [audiens] lewat platform. Di fase ini, kreator punya follower dan monetisasi lewat advertising dan sponsorship, yang mana [model ini] sedang banyak di Indonesia. Pada era 3.0, kreator menjadi independent business dan monetisasi langsung dari fans mereka. Nantinya akan ada creator economy 4.0 di mana kreator dan fans bisa berkolaborasi untuk membuat kreasi atau usaha bersama-sama.

Dengan kemunculan Web3, bukan berarti creator economy 2.0 ini langsung ditinggalkan. Di fase ini, influencer menjadi content creator atau sebaliknya, akan terus berkembang. Kami melihat industri creator economy akan berevolusi. Seberapa cepat? Tergantung dari pasarnya. Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menjadi kiblat untuk layanan livestreaming. Di sini, we just started. Banyak teman-teman di industri ini yang membuat platform untuk livestreaming, seperti GoPlay. It’s a very exciting industry we are in.

Famous Allstars juga mengeksplorasi apa yang dapat diakukan di fase ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi di masing-masing fase, baik Web2 maupun Web3. Misalnya, apa yang dapat kami lakukan di influencer marketing? Apa yang dapat kreator lakukan dengan IP di Web3? Kami sudah melihat potensi itu dan sudah menghasilkan sesuaty. Especially di Web2 dan Web3, we are going to have exciting projects.

Posisi FAS saat ini sangat strategis karena kami sudah lama terjun di industri creator economy. Kami tahu ke mana, kami buat web series, kami tahu bagaimana cara memindahkan IP ini ke NFT. Ini menjadi menarik karena IP dari kreator harus dihargai, ownership itu sangat penting

Al: Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan teknologi di Indonesia sangat masif. Penetrasi internet sudah capai 70 persen dan penetrasi smartphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Populasi kita besar.

Sebetulnya, influencer atau content creator kita sudah mulai dari 7-8 tahun lalu, tetapi infrastrukturnya belum matang. Sekarang smartphone dan paket data semakin murah. Ditambah populasi kita yang besar dan beragam. Faktor-faktor ini sangat signifikan untuk mendorong pasar creator economy di Indonesia.

Memang, industri creator economy 3.0 comes early di Indonesia. Bahkan era 2.0 saja belum mencapai puncak pertumbuhan (peak growth) di sini. Karena hal ini, seolah-olah ada overlap antara Web2 dan Web3 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kreator 3.0 akan menjadi pemain baru? Apakah kreator 2.0 harus convert ke 3.0? Jawabannya, tidak ada yang tahu. Menurut saya, Web3 masih sangat luas dan bisa berkembang cepat, tetapi use case-nya belum settle.

Poin utamanya, Web2 masih terlalu jauh [di Indonesia] sehingga potensi pasarnya, tanpa perlu jump ke Web3, masih akan tumbuh signifikan. It’s a very exciting moment ahead karena nanti kreator tak hanya bisa membuat karya, tetapi juga punyai Intellectual Property (IP). For now, it’s too early to tell.

Web2 masih akan tumbuh dengan cepat di Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dari sisi supply, jumlahnya akan terus bertambah, meski belum ada data dari sisi demand. Kami meyakini pasar influencer capai Rp3 triliun, inipun merupakan conservative number. Brand masih menghabiskan budget di media konvensional. Jadi, supply dan demand kita belum peak.

Monetisasi karya di era Web3 menjadi lebih independen. Apakah brand deals masih akan relevan bagi kreator?

Al: Ada dua sumber monetisasi kreator. Pertama, brand kerja sama dengan kreator dalam bentuk apapun, baik itu ulasan, post, eksposur, talent, atau livestreaming. Sebagai perbandingan, livestreaming di Tiongkok dibayar per penjualan (pay per conversion). Di Indonesia, model ini belum ada, masih di bayar di muka. Intinya, the money comes from brands. Kedua, kreator kini bisa monetisasi dari fans atau Direct-to-Consumer (D2C). Contohnya, ada platform yang memampukan fans untuk kasih donasi ke kreator, bukan dari brand. Jadi, model monetisasi, baik dari brand maupun fans/audiens tidak akan hilang. Bahkan, ketika bicara potensi pasarnya, justru brand deals akan semakin besar.

Bagi kreator, ini justru menjadi exciting period karena revenue channel-nya bertambah. Dulu cuma andalkan brand, sekarang kreator bisa langsung monetisasi dari fans. Bagi seorang gamer, livestreaming dengan model donasi mungkin cocok untuk mereka. Tapi lima tahun lalu, mereka belum berpikir [hobi gaming] dapat menjadi sebuah profesi. I believe dari angle [monetisasi] manapun, the industry will get bigger. 

Ar: Bagi brandcreators give another marketing channel yang menarik. Mereka melihat bagaimana kreator membuat review secara organik atau memengaruhi teman-temannya untuk membeli sebuah produk. Ini pasti akan berkembang. Artinya, kesempatan [kolaborasi] dan revenue channel akan semakin besar seiring berkembangnya Web3. Bukan berarti Web2 hilang begitu saja. Justru Web2 dan Web3 bisa saling bergandengan tangan, ada interpendensi.

Ada 120 ribu influencer di platform kami, di mana mayoritas adalah influencer nano dan mikro dengan follower 1.000an hingga 100 ribuan. Kami tidak ingin hanya milking potensi pasar, tetapi juga mengembangkan sumber dayanya.

Bagaimana peran Anda dalam menentukan model monetisasi yang tepat bagi kreator?

Al: Famous Allstars tidak ikut menentukan harga jual kreator, tetapi penting memastikan bahwa kreator dan brand dapat bertransaksi aman di platform kami. Kita tahu pasti ada kekhawatiran. Dari sisi kreator, brand tidak membayar konten yang sudah dibuat. Begitu juga dengan brand, kreator ingin dibayar di muka, tetapi brand khawatir kontennya tidak dikerjakan.

Di platform ini, pembayaran baru akan diteruskan apabila kreator telah menyelesaikan pekerjaan sesuai brief dari brand. Demikian juga kreator, ada rasa aman bahwa mereka akan dibayar karena sistem pembayarannya melalui platform. Begitu pekerjaan selesai sesuai arahan, kreator akan menerima pembayaran. Jadi, tidak perlu tagih terus-terusan ke brand. Jadi, ini bukan soal menentukan monetisasi, tetapi bagaimana membuat ekosistem untuk memfasilitasi pelaku creator economy. 

Di samping itu, pasar creator economy di Indonesia masih sangat besar. Kami tidak ingin mendorong kreator existing saja. Justru perlu nurture talent-talent baru di masa depan. Banyak orang punya talent, tetapi belum ketemu dengan ekosistem dan wadah yang tepat. FAS berkomitmen untuk menemukan itu.

Bagaimana pandangan Anda mengenai regulasi untuk mewadahi industri creator economy di Indonesia?

Al: Ini masih early talk, tetapi kami berencana untuk bentuk asosiasi [creator economy]. Saya dan Arief secara paralel mulai bergerak untuk merangkul teman-teman di industri ini. Kami berupaya mengesampingkan business views. Kami sadar semakin besar industrinya, akan semakin baik buat pemain.

Kami lakukan ini sebelum bicara kebijakan. I think the first and foremost agenda adalah mengedukasi industri ini, baik itu soal potensi kreator, hak-hak yang diperoleh kreator, hingga bagaimana mengatasi sebuah masalah. Semua punya tujuan sama untuk edukasi industri.

Edukasi ini tak cuma kreator saja, tetapi juga brand. Di antara agency saja, selama ini belum ada standard rules. So, it’s a jungle out there. Industri ini berkembang sangat cepat, tapi pertumbuhan cepat tanpa dibatasi guide yang tepat bisa membuat industri chaos. Jadi, kami rasa penting bagi pemain lama untuk ikut edukasi sehingga pemain baru bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kami tujuh tahun lalu. Kreator bisa belajar dari kreator yang sudah tumbang

Ar: Di FAS, kami juga melakukan edukasi, baik terkait konten, hak-hak kreator, Intellectual Property, hingga perpajakan. Tapi, kami ingin edukasi ini bersama stakeholder lainnya sehingga tidak dilakukan dengan cara sendiri. Apabila tidak ada keseragaman, industri creator economy bisa terkotak-kotakan.

Alangkah baiknya semua stakeholder bisa saling bekerja sama. Industri akan menjadi lebih kuat, kesempatan akan lebih besar tanpa adanya pagar yang bisa bikin sustainability industri berkurang. Bagaimanapun juga content creator is not just a banner, it’s a human being. Perlu ada trust dan kredibilitas.

Konferensi Nasional Young On Top 2022 Hadir Kembali Secara Offline

Tahun 2022 ini akan menjadi tahun pertama Young On Top National Conference (YOTNC) diselenggarakan secara offline di Jakarta setelah 2 tahun sebelumnya diselenggarakan secara online akibat pandemi Covid-19. 

Mengambil tema besar “Saatnya Kita Maju” konferensi yang bertujuan memberikan inspirasi dan mendorong anak muda Indonesia untuk aktif dalam kegiatan yang positif ini nantinya akan menghadirkan berbagai pembicara dari latar belakang yang berbeda, mulai dari menteri, C-level, pengusaha, pelaku profesional sukses hingga public figure

Beberapa speakers yang pernah hadir di YOTNC sebelumnya adalah Bapak Presiden Joko Widodo, Bapak Menteri Sandiaga Uno, Bapak Menteri Wishnutama, Najwa Shihab, William Tanuwijaya (Co-Founder & CEO Tokopedia), Andy F Noya, Axton Salim (Direktur Indofood), Peter Lydian (Country Director Facebook Indonesia), Chelsea Islan, Tasya Kamila, Fathia Izzati dan puluhan pembicara inspiratif lainnya.

“Karena pandemi sudah mereda maka YOTNC 2022 akan diselenggarakan secara offline agar ribuan peserta bisa bertemu langsung dan mengambil inspirasi dari para pembicara yang hadir,” jelas Community Organization Young On Top selaku penyelenggara dalam siaran pers yang DailySocial.id terima.

Kendati demikian, YOTNC 2022 yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 23 Juli 2022 mendatang ini masih bisa dipantau langsung secara online melalui kanal Youtube Live akun resmi Young On Top.

Acara rutin tahunan sejak 2011

Young On Top National Conference (YOTNC) adalah konferensi tahunan guna menginspirasi dan mendorong anak muda Indonesia untuk maju di segala bidang. Inisiasi yang digarap sejak tahun 2011 ini memang selalu berupaya mendatangkan speakers inspiratif dari berbagai sektor untuk membagikan pengalaman atau insight akan perjalanan karir dan atau bisnis mereka.

Billy_Boen_Bersama_Wisnu_Utama_pada_Young_On_Top_National_Conference_2019
Keseruan Young On Top National Conference (YOTNC) offline pada 2019 lalu/Dok: YOT

Untuk diketahui, Young On Top (YOT) sendiri lahir pada April 2009 silam sejak diterbitkannya buku berjudul sama “Young On Top” yang ditulis oleh Founder dan CEO YOT, Billy Boen. Dari kesuksesan karya tersebut, kini Young On Top telah menjelma menjadi sebuah perusahaan dan community-organization anak muda di 24 kota di tanah air dengan jumlah anggota lebih dari 600.000 orang. Presenter kondang Andy F.Noya pun diketahui masuk dalam jajaran struktur organisasi Young On Top sebagai Presiden Komisaris.

Tertarik mendengarkan langsung inspirasi karir, bisnis, leadership dan self development dari berbagai tokoh secara langsung sekaligus bangun networking dengan ribuan anak muda dari seluruh Indonesia di YOTNC 2022 Jakarta? 

Segera dapatkan tiketmu pada situs resmi YOT di sini https://www.youngontop.com/yotnc/ dan ikuti instagram YOT untuk mendapatkan informasi terupdate.

Flip Perluas Jangkauan Pasar, Hadirkan Fitur Remitansi untuk B2B

Mengirim uang dari dalam negeri ke luar negeri maupun sebaliknya telah menjadi aktivitas yang biasa dilakukan bagi beberapa nasabah. Dengan semakin pesatnya aktivitas transfer keuangan ini membuat banyak perusahaan keuangan menciptakan berbagai layanan yang memudahkan transaksi keuangan, yakni layanan remitansi.

Startup yang menawarkan layanan transfer antarbank Flip kini menambahkan fitur remitansi pada solusi B2B mereka Flip for Business. Melalui fitur ini, perusahaan dapat mengirim uang hingga ke 1.000 rekening di luar negeri sekaligus dengan biaya yang lebih kompetitif, baik ke rekening pribadi maupun bisnis secara real-time.

Layanan yang telah tersedia sejak Januari 2022 ini bisa digunakan oleh para pengusaha untuk melakukan transfer ke para mitra atau suplier yang berada di luar negeri secara sekaligus. Flip sendiri telah mendapat lisensi dari Bank Indonesia untuk menjalankan fitur International Transfer. Tidak ada biaya tersembunyi yang dikenakan pada setiap transaksi, serta kurs pengiriman uang juga dibuat lebih kompetitif dengan para pemain lain.

Saat ini, layanan International Transfer Flip for Business dapat melayani ke beberapa negara, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Inggris, Australia, dan Jerman. Negara-negara tersebut menjadi negara yang paling diminati oleh para pelaku bisnis di Indonesia. Namun, ke depannya, Flip akan berupaya memperluas cakupan layanan ini tidak terbatas di 7 negara tersebut.

Layanan ini juga sebagai wujud upaya Flip untuk mempermudah dan mendukung kelancaran arus transfer uang antarnegara, khususnya dari Indonesia ke luar negeri. Sebelumnya, Flip memang telah memiliki layanan International Transfer yang disebut Flip Globe. Para individu atau pengusaha bisa menggunakan layanan ini untuk mengirim uang ke 48 negara.

“Flip berharap dapat terus membantu semakin banyak perusahaan dan pemilik bisnis di Indonesia melalui solusi keuangan B2B, baik untuk keperluan transfer uang ke domestik maupun luar negeri serta penerimaan pembayaran. Melalui inisiatif ini juga, kami berharap dapat membantu transaksi keuangan semua segmen sesuai dengan tagline kami, #FlipBuatSemua.” jelas Henri.

Flip mengumumkan rebrand solusi B2B mereka dari “Big Flip” menjadi “Flip for Business pada awal tahun ini. Perubahan turut didukung dengan penguatan solusi automasi transaksi keuangan yang ditenagai dengan teknologi mutakhir, seperti dashboard for no-code solution, API for seamless integration, fitur lanjutan seperti verifikasi dan idempotency key.

Ada tiga fitur unggulan yang ditawarkan, yakni Money Transfer memungkinkan mitra dapat mengirim dana hingga 20 ribu akun bank dalam beberapa klik. Kemudian, Accept Payment yang menyediakan pembayaran bagi konsumen perusahaan klien yang mulus dan dapat diterima secara real-time. Terakhir, International Transfer yang mampu menghemat biaya transfer hingga 50% ke tujuh negara.

Selama kurang lebih 7 tahun beroperasi, solusi B2B Flip tumbuh secara signifikan di tengah meningkatnya adopsi teknologi. Layanan ini telah dimanfaatkan oleh ratusan perusahaan dan UKM (Usaha Kecil Menengah) di Indonesia, juga melayani lebih dari tujuh juta pengguna untuk memroses berbagai jenis transaksi keuangan dari dan ke berbagai daerah di Indonesia serta untuk pengiriman uang ke luar negeri.

Pada akhir tahun 2021 lalu, platform yang dikembangkan oleh Rafi Putra Arriyan, Luqman Sungkar, dan Ginanjar Ibnu Solikhin ini berhasil memperoleh pendanaan Seri B senilai 48 juta dolar yang dipimpin oleh Sequoia Capital India, Insight Partners, dan Insignia Ventures Partners.

Layanan Remitansi untuk B2B

Pasar remitansi, baik dari segi bisnis dan pengguna, masih sangat terfragmentasi di Indonesia. Sejatinya, layanan ini disediakan oleh hampir seluruh perbankan yang ada di Tanah Air. Kebanyakan pengguna layanan ini merupakan para pekerja migran atau pelajar yang berada di luar negeri.

Bank Indonesia (BI) mencatat pengiriman uang (remitansi) dari tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sebesar US$ 2,28 miliar atau setara Rp 33 triliun (kurs Rp 14.496/US$) pada kuartal II-2021. Nilai tersebut naik 0,75% dibandingkan pada kuartal I-2021 yang sebesar US$ 2,26 miliar (month to month/m-to-m).

Di samping itu, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia saat ini kian bertumbuh. Menggunakan kendaraan teknologi dan transformasi digital, pelaku bisnis kini mampu memasarkan produknya hingga ke luar negeri. Melihat hal ini, tentunya peluang aplikasi yang menawarkan layanan remitansi untuk bisnis ini semakin besar.

Di Indonesia, sudah ada beberapa pemain non-bank yang menyediakan layanan serupa dan fokus melayani b2b termasuk Wallex Technologies yang belum lama ini diakuisisi M-DAQ, juga RemitPro sebagai bagian dari solusi Digiasia Bios. Selain itu juga ada Transfez yang disebut akan memperluas layanannya ke sektor pembayaran B2B setelah berhasil mengamankan pendanaan yang dipimpin oleh East Ventures dan BEENEXT.

Application Information Will Show Up Here

Membaca Arah Startup Akuisisi BPR (Bagian II)

Ini merupakan tulisan lanjutan dari bagian pertama

Bala Bantuan untuk Industri BPR

Meningkatkan daya saing di industri BPR jadi barang wajib agar mereka dapat bertahan. Co-Founder dan CEO Komunal Hendry Lieviant menuturkan, sebelum pandemi banyak BPR yang terlena dan tidak merasa perlu untuk melakukan digitalisasi. Dalam menyalurkan kredit, mereka memang bisa memanfaatkan sumber dana dari berbagai pihak. Namun, mengumpulkan dana pihak ketiga (tabungan dan deposito) ternyata susah bukan main.

“BPR ini perlu lebih kompetitif tapi karena dorongan untuk digitalisasinya tidak terasa urgent, jadinya kesannya nanti-nanti saja. Tapi begitu pandemi, mereka jadi terjepit. Pandemi ini katalis untuk berubah. Jadi dipaksa harus berubah, kalau tidak ya tidak akan survive,” kata dia.

Kondisi tersebut benar adanya. Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto menyampaikan, ada empat poin utama yang menjadi tantangan bagi industri BPR dalam mewujudkan digitalisasi. Pertama, biaya investasi (capex dan opex) yang sangat tinggi. Kedua, adanya pembatasan dalam regulasi. Ketiga, kondisi BPR/BPRS yang beragam. Terakhir, kualitas SDM IT terbatas termasuk dalam kepemimpinannya.

Dalam mengatasi isu tersebut, biasanya para petinggi BPR melakukan dua cara umum untuk masuk ke dunia digital. Bagi BPR dengan BPRKU 3 (modal inti lebih dari Rp50 miliar) program digitalisasi dilakukan secara mandiri atau kerja sama dengan pihak ketiga. Akan tetapi, BPRKU 1 (modal inti kurang dari Rp15 miliar) dan BPRKU 2 (modal inti Rp15 miliar – Rp50 miliar) melakukannya dengan sistem sewa atau kerja sama dengan pihak ketiga.

“Untuk mewujudkan transformasi digital bagi industri BPR dan BPRS membutuhkan perjuangan terus menerus dan mendapat dukungan seluruh pemangku kepentingan yang ada,” tutur Joko.

Joko melanjutkan, “Perbarindo telah menggandeng berbagai pihak strategis, baik dari perbankan, pelaku industri fintech, maupun vendor penyedia jasa IT. Program tersebut telah dijabarkan dalam arsitektur pengembangan BPR-BPRS Now. Harapannya dengan adanya arsitektur ini, bisa menjadi acuan dalam mewujudkan transformasi digital di BPR-BPRS seluruh Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan daya saing.”

Pernyataan Joko sekaligus mengonfirmasi bahwa banyak perusahaan pengembang aplikasi diajak bekerja sama dengan BPR untuk merilis aplikasi digital di Google Play Store (lihat infografis).

Menggandeng pihak ketiga memang lebih murah dari segi biaya, namun jadi bumerang ketika perusahaan ingin mengembangkan ke fitur yang lebih kompleks, karena menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Bila diperhatikan secara seksama, aplikasi BPR yang ditujukan untuk nasabah ritel misalnya, tidak memiliki diferensiasi yang mencolok dan UI/UX sangat template. Jadi hanya sekadar “yang penting punya”.

Agar tidak layu di tengah jalan, OJK sejauh ini telah menerbitkan tiga stimulus. Pertama, petunjuk teknis terkait pelaksanaan kerja sama antara BPR dengan fintech lending yang tertuang dalam Buku Panduan Kerja Sama BPR dan Fintech Lending. Berikutnya, ada Kebijakan Akselerasi Transformasi Digital yang tertuang dalam Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2021-2025, POJK Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Produk BPR dan BPRS, dan percepatan digitalisasi sektor jasa keuangan berskala kecil melalui aplikasi.

Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto menjelaskan penerbitan Panduan Kerja Sama antara BPR dengan fintech lending ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih cepat dan akses keuangan yang lebih luas bagi masyarakat.

Bagi BPR manfaat yang mereka dapatkan adalah memperluas target pasar, meningkatkan kualitas pelayanan, memperkuat analisis calon debitur, serta meningkatkan adaptasi teknologi informasi dan digitalisasi industri BPR. “Sementara bagi fintech lending, dapat menjadi alternatif penambahan sumber pendanaan, serta memperkuat monitoring penyaluran pinjaman hingga ke daerah,” kata Anung.

Ia melanjutkan, berdasarkan survei yang dilakukan OJK pasca penerbitan panduan tersebut, hingga Januari 2022 tercatat ada 60 BPR yang telah memulai proses penjajakan maupun melaksanakan kerja sama penyaluran pinjaman dengan 23 fintech lending berizin.

“Jumlah tersebut diharapkan akan mengalami peningkatan, seiring dengan semakin baiknya implementasi model bisnis yang ada sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi BPR-BPR yang berminat dan memenuhi persyaratan prudensial dari OJK.”

Berikutnya, dalam dua POJK yang diterbitkan khusus untuk BPR ini pada intinya adalah membuka akses selebar-lebarnya bagi BPR agar dapat bermitra dengan berbagai perusahaan teknologi dan perbankan untuk memperluas solusinya.

Misalnya, dari POJK Nomor 25 tahun 2021 ini fokus pada dukungan buat BPR dengan memanfaatkan teknologi, baik melalui pengembangan in-house/mandiri (a.l layanan perbankan elektronik), maupun kerja sama dengan bank umum (a.l untuk layanan virtual account, e-KYC, QRIS, transfer antar bank, dan ATM cardless), dan perusahaan fintech (a.l lending, payment, funding agent/deposit channeling, agregator, dan IKD lainnya).

Salah satu contoh kerja sama yang sudah terjalin antara bank umum dengan BPR sudah diterapkan oleh Bank Danamon dan Bank Permata yang sama-sama memanfaatkan kehadiran Open API.

Bank Danamon bekerja sama dengan BPR Jatim untuk API Transfer dan Virtual Account Danamon untuk seluruh nasabah BPR Jatim dan BPR Lestari. Hal ini memungkinkan nasabah BPR dapat melakukan transfer antar bank melalui ATM atau aplikasi secara online dan real time, serta penerimaan dana secara online melalui virtual account. Inisiatif yang sama juga diterapkan oleh Bank Permata bersama Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya.

Sumber: OJK
Sumber: OJK

Kinerja keuangan BPR

Menurut OJK, per September 2021, jumlah BPR dan BPRS mencapai 1.646 unit, terdiri dari 1.481 BPR dan 165 BPRS. Angka ini mengalami tren penyusutan. Tercatat pada 2016 terdapat 1.799 BPR dan BPRS, kemudian pada 2017 terdapat 1.786 unit, tahun 2018 terdapat 1.764 unit, tahun 2019 1.709 unit, dan pada 2020 sebanyak 1.669 unit.

Seiring dengan aksi konsolidasi yang dilakukan, jumlah BPR dan BPRS yang tergolong dalam BPRKU 1 juga mengalami penyusutan. Tercatat dalam periode yang sama, jumlah BPR dan BPRS untuk BPRKU 1 sebanyak 1.138 unit, atau telah berkurang 306 unit dari 2015. Pada saat bersamaan, jumlah unit BPR dan BPRS tergolong BPRKU 2 mengalami pertumbuhan, dari posisi 2015 sebanyak 158 unit, menjadi 272 unit sampai dengan akhir kuartal III-2021. Sementara, BPR dan BPRS tergolong BPRKU 3 mengalami kenaikan, yakni dari 35 unit pada 2016, menjadi 71 unit pada akhir September 2021.

Aset BPR (tidak termasuk BPRS) pada Desember 2021 tumbuh 8,62% (yoy) dari sebelumnya 3,64%. Aset BPR tersentralisasi di Pulau Jawa (58,64%) dengan porsi terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki porsi 24,34% dan 12,94%.

Untuk DPK tumbuh 10,23% (yoy) menjadi Rp117,01 triliun. Peningkatan terjadi pada kedua komponen, baik deposito (porsi 69,35%) dan tabungan yang masing-masing tumbuh 10,56% dan 9,47%. Sebagaimana sebaran aset, DPK BPR masih terkonsentrasi di Jawa (60,91%), diikuti Sumatera (17,18%), Bali-Nusa Tenggara (13,09%) dan lainnya.

Adapun untuk kredit tumbuh 5,24%. Penyaluran didominasi ke sektor bukan lapangan usaha (porsi 33,28%), perdagangan besar dan eceran (21,23%), dan rumah tangga (12,91%). Secara spasial, mayoritas kredit BPR berada di Pulau Jawa (59,06%), sementara kredit terendah di Pulau Kalimantan (2,27%) dari total kredit. Hal tersebut sejalan dengan jumlah BPR yang mayoritas berada di Pulau Jawa (875 BPR) sedangkan di Kalimantan hanya 55 BPR.

Pada periode ini, risiko kredit BPR sedikit menurun dengan rasio NPL gross dan NPL net yang sedikit membaik, masing-masing sebesar 6,72% dan 4,37% dari tahun sebelumnya sebesar 7,22% dan 5,33%.

Jatuh hati menabung di BPR

Satu hal yang menarik soal DPK, DailySocial.id berkesempatan mewawancarai seorang nasabah setia BPR yang menjadikan deposito sebagai sarana tabungannya di masa depan.

Pagi itu, Zelita kembali berseluncur di dunia maya sebelum memulai aktivitas, sekadar untuk melihat kabar teman-temannya lewat unggahan yang dibagikan. Ketergantungannya terhadap media sosial sudah begitu tinggi, di sanalah ia mendapat berbagai informasi terbaru, entah itu promo, diskon, berita yang sedang viral, dan lain-lainnya.

Pun informasi tentang ramainya investasi di kripto, saham, ia pun ikut terpapar dan larut mengikuti perkembangannya. Lebih banyak cerita orang pamer untung banyak lewat investasi dengan cara instan, atau istilah zaman sekarang, flexing, berkat investasi di kedua kelas aset tersebut. Jarang ada orang-orang yang mau berbagi cerita berapa banyak uang yang hilangnya. Mungkin sudah jadi barang umum, lebih seru pamer kekayaan dengan cara instan daripada kisah sedihnya.

Meski demikian, ia bukan jadi kelompok yang mau ikut-ikutan coba dengan tren seperti itu. Zelita sedari kecil melihat langsung bagaimana perjuangan orang tuanya untuk menyisihkan gaji buat ditabung di deposito di BPR di lingkungan rumahnya di Tasikmalaya. Seperti buah tidak jauh dari pohonnya, ia pun melanjutkan kebiasaan tersebut untuk keluarga mininya.

“Kebetulan ayah sudah menyarankan untuk nabung di BPR, dari gue kuliah dia udah rajin nabung di sana. Sebenarnya dia punya rekening bank umum di BJB tapi cuma numpang lewat. Soalnya semua tabungannya di taruh di BPR, bahkan sampai sekarang.”

Kebetulan juga, suami Zelita juga bekerja di BPR Artha Galunggung, tempat yang biasa dipakai ayahnya dulu menabung deposito. Alhasil, dia jadi selalu minta tolong suaminya hanya sekadar untuk tarik tunai atau sekadar cek saldo. Maklum, BPR ini tidak menyediakan ATM. Jadi kalau mau setor dana atau tarik tunai ya harus datang ke kantor cabang. Aplikasi sebenarnya ada, tapi fungsinya hanya sekadar cek saldo tabungan, mutasi, dan cek saldo deposito saja.

Sudah hampir setahun ia mulai mencoba menabung deposito di BPR. Alasannya simpel, karena bunga yang ditawarkan 6% alias lebih tinggi dari bank umum. Simpan dana di tabungan pun bunga yang ditawarkan juga menjanjikan. Oia, biaya admin yang terpenting murah hanya Rp3 ribu per bulan. Setoran awalnya saja cukup Rp10 ribu.

“Jadi setiap gajian, langsung kosongin rekening di bank umum, pindahin saldo ke BPR. Karena suami kerja di sana, jadi sekalian minta tolong. Kalau tidak sempat pun, bisa telepon orang bank buat samperin kita.” Zelita melanjutkan, “Kalau depositonya sudah jatuh tempo, nanti petugas bank akan telepon kita mau diperpanjang, stop, mau ambil bunganya saja, semuanya bisa.”

Sistem kerja di BPR ini terkenal dengan jemput bolanya. Tak pandang bulu, bahkan nasabah kredit yang juga ikut menabung di BPR, sambil berjualan tutug oncom, pasti akan dikunjungi tiap hari. Sebab, rata-rata pemilik bisnis harian ini rutin menyisihkan uangnya, entah Rp100 ribu atau di atasnya buat ditabung. “Pas petugasnya datang, langsung cetak buku tabungannya di warungnya. Mereka bawa printer mobile gitu.”

Saking dekatnya dengan nasabah, banyak yang menyebut BPR sebagai bank pasar karena kelokalannya dan keeratan hubungan emosionalnya.

Bila menengok bunga deposito di Bank Mandiri pada April ini stabil di kisaran 2,25% hingga 2,5%. Di sana, nasabah bisa menyimpan mulai dari di bawah Rp100 juta hingga di atas Rp5 miliar. Sedangkan di BRI, bunganya mulai dari 2% untuk tenor jangka pendek, dan bunga 2,85% untuk tenor jangka panjang hingga 36 bulan.

Untuk menjaga loyalitas nasabah, BPR Artha Galunggung ini, menurut Zelita, rutin mengadakan program undian berhadiah. Dengan sistem poin, apabila nasabah berhasil mengumpulkan poin dengan jumlah tertentu maka berhak ikut undian. Hadiahnya mulai dari emas batangan, motor, hingga mobil.

“Padahal di Tasikmalaya ini banyak bank umum, kayak Bank Nobu, Bank Neo Commerce sudah buka cabang di sini. Tapi tetep setia sama BPR soalnya bunganya lebih gede, enggak berani ambil investasi yang macem-macem lah,” ucap Zelita.

Kelahiran DepositoBPR

Sama seperti alasan Zelita, Hendry Lieviant memilih BPR karena bunga depositonya yang tinggi dan dijamin LPS. Saat itu sekitar tahun 2019, startup p2p lending yang ia rintis, Komunal, kebetulan ada kelebihan idle money yang ingin disimpan di bank. Pertimbangannya ia ingin bunga yang lebih tinggi sekaligus aman. Setelah cari tahu lebih dalam, ternyata BPR adalah jawaban yang ia cari.

“Tapi inget sekali waktu itu prosesnya ribet, banyak paperwork. Ya sudah, kami jalani saja. Waktu itu belum terbersit sama sekali buat dijadikan produk. Justru idenya mulai muncul tepat saat pandemi,” kata Hendry.

Ia melanjutkan, ide untuk menyeriusi segmen BPR ini juga didukung dengan kondisi sejumlah BPR sudah menjadi lender institusi di Komunal. Mereka cukup terbantu dengan sistem channeling ini.  Meskipun demikian, begitu terjadi pandemi muncul masalah. Mereka kesulitan mengumpulkan deposan. “Itu yang belum ada solusinya dan butuh bantuan dari [platform] fintech untuk collecting deposito [dari mana saja] karena di regulasi kan itu diperbolehkan.”

Bagi BPR dengan modal pas-pasan, untuk investasi membangun solusi seperti demikian tentu bukan barang mudah karena perlu investasi yang cukup besar. Dus, bila masing-masing BPR buat solusi serupa tentunya jadi tidak efisien. Alhasil, Komunal bergerak untuk membuat DepositoBPR. Jadi seperti marketplace yang berisi BPR-BPR untuk para calon deposan.

Total BPR yang telah bergabung di DepositoBPR sudah mencapai 110 BPR. Sekitar 90% berada di Pulau Jawa dan Bali. Perusahaan akan lebih gencar menggaet BPR di luar dua pulau utama tersebut agar semakin banyak BPR yang terbantu. Diklaim Komunal telah berhasil menyalurkan dana nasabah senilai Rp500 miliar kepada mitra-mitra BPR yang sudah bekerja sama.

“Lagi pula BPR itu perlu lebih kompetitif. Sebelum pandemi mereka sadar bahwa digitalisasi itu penting, tapi ya entar entar saja. Sampai akhirnya terjepit di pandemi, mereka harus berubah kalau tidak ya enggak bisa survive.”

Peluncuran aplikasi DepositoBPR / Komunal

Saat pertama kali pilot project, OJK meminta Komunal untuk masuk ke Jawa Timur selama empat bulan. Alasannya, karena di sana faktanya adalah daerah dengan jumlah BPR terbanyak di Indonesia. Hasilnya pun sesuai ekspektasi. Hingga delapan bulan sejak diluncurkan, jumlah nasabah DepositoBPR dari Jawa Timur tembus hingga 35% dari total keseluruhan. Sisanya, di Jakarta (10%), Bali (10%), dan tersebar di seluruh Indonesia.

Sekitar 70% nasabah ini berusia 35 tahun ke atas. Ini fakta yang menarik. Menurut analisa Hendry, hal ini lantaran nasabah di usia tersebut sudah lebih paham bagaimana mengatur risiko keuangan tidak bisa sepenuhnya di taruh di high risk. Tapi target pengguna DepositoBPR ini tidak hanya untuk ritel, tapi juga korporat yang ingin simpan idle money-nya.

“Beda dengan kalangan muda, yang cenderung lebih berani dalam berinvestasi. Padahal melakukan due diligence yang tepat itu adalah langkah awal dalam mengatur risiko. Kami akan sering mengadakan edukasi finansial terkait ini,” pungkas Hendry.

Pinhome Dikabarkan Kantongi Pendanaan Seri B 719 Miliar Rupiah

Platform proptech Pinhome dikabarkan telah mengantongi pendanaan seri B senilai $50 juta atau setara 719 miliar Rupiah. Dari data yang disetorkan ke regulator, beberapa investor yang terlibat meliputi Goodwater Capital, Intudo Ventures, Ribbit Capital, Eurazeo Smart City, Insignia Ventures Partners, Watiga Trust, Global Founders Capital, dan sejumlah lainnya.

DailySocial.id mencoba untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak terkait, namun mereka enggan untuk menjelaskan lebih lanjut terkait dengan pendanaan ini. Menurut juru bicara Pinhome yang diwakilkan oleh Head of Marketing & PR Pinhome Dani, mereka belum dapat memberikan komentar apapun terkait dengan pendanaan maupun investor.

“Fokus Pinhome saat ini untuk meningkatkan layanan serta pengalaman konsumen saat melakukan transaksi properti maupun layanan rumah tangga, sehingga dapat meningkatkan new user serta monthly active user di aplikasi dan situs kami.”

Tahun 2021 lalu Pinhome telah mendapatkan pendanaan seri A yang dipimpin oleh Ribbit Capital dengan nilai investasi sebesar $25,5 juta atau setara 369,3 miliar Rupiah. Beberapa investor lain juga turut andil dalam pendanaan Pinhome, di antaranya Goodwater Capital, Insignia Ventures Partners, dan Global Founder Capital selaku unit investasi milik Rocket Internet.

Sebelumnya Pinhome juga telah melakukan penggalangan dana awal. Investor yang terlibat di antaranya adalah Insignia Ventures dan Global Founders Capital. Dari keseluruhan pendanaan yang berhasil dibukukan, diperkirakan valuasi Pinhome saat ini sudah mencapai $225 juta dan masuk ke jajaran Centaur.

Didirikan oleh CEO Dayu Dara Permata dan CTO Ahmed Aljunied sejak tahun 2020, Pinhome hadir dengan tujuan memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi.

Dalam sebuah kesempatan wawancara Dara menjelaskan, “Pinhome sangat berbeda, kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Dilengkapi fitur unggulan

Sempat melakukan integrasi dengan Gojek, saat ini Pinhome mengklaim telah dibekali dengan sederet keunggulan, salah satunya panduan membeli properti. Pengguna akan dipandu dalam menentukan budget dan properti ideal, opsi pembayaran, mengontak agen, melakukan kunjungan properti, menentukan estimasi harga, panduan KPR, memulai transaksi, menyiapkan dokumen penting, hingga proses serah terima semua dalam satu aplikasi.

Menurut survei internal Pinhome, KPR masih menjadi primadona generasi muda dalam membeli rumah idaman. Sebanyak 78% memiliki metode KPR bank, 12% memilih metode uang tunai (cash keras, cash bertahap), dan 9% menggunakan KPR multifinance. Saking pentingnya program KPR bagi pemilik rumah, Pinhome juga membuka kesempatan untuk KPR refinancing.

Saat ini, Pinhome telah bermitra dengan 50 lembaga keuangan, mulai dari bank dan multifinance yang dapat dipilih konsumen.

Application Information Will Show Up Here