KLAR Is Reportedly Securing Over 91 Billion Rupiah Pre Series A Funding

Dental care startup KLAR is reported to have raised pre-series A funding. Previous investors, including AC Ventures and Kenangan Fund are participated in this round. There are also new investors such as East Ventures, Venturra Discovery, and GK-Plug and Play.

One of the representatives involved in this round has confirmed the funding to DailySocial. Meanwhile, according to data submitted to the regulator, KLAR has received up to $6.12 million or equivalent to Rp91 billion Rupiah.

Previously, KLAR had secured seed funding from AC Ventures and Kenangan Fund in June 2021. The fresh fund was used for several spots, from market research, team strengthening, increasing brand awareness, and adding new product lines.

Product and services

KLAR was founded in September 2020 by Ellen Pranata, Adelia Susanto, and David Sugiharta. All three have mutually sustainable backgrounds in this business.

Ellen was previously the director of a dental equipment importing company. Meanwhile, Adelia is an orthodontist with loads of experience in treating clear aligners. David himself is a dentist who specializes in prosthetics, aesthetics, and full mouth rehabilitations.

KLAR currently offers several products and services. The company offers two main products, Aligner and Retainer for dental care – produced independently. While the complementary services include an online consultation feature.

With the B2B2C business model, the company aims to empower doctors and clinic partners to become part of their business ecosystem. Based on its official website, there are currently almost 300 partner dental clinics spread across various cities in Indonesia.

Through the “KLAR Smile” application, dentists and patients can interact and monitor treatment status remotely. This innovation is considered to be a value proposition that distinguishes KLAR from other similar players.

According to data, the market potential for aligners in Indonesia is estimated to reach $3 billion (Rp43 trillion). With per capita GDP growth and increasing interest in personal care and aesthetics, KLAR believes the demand for aligners in Indonesia will continue to increase.

In Indonesia, apart from KLAR, there is RATA which also targeting the same segment. RATA alone has been supported by a number of investors, one of which is Alpha JWC Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

KLAR Dikabarkan Bukukan Pendanaan Pra-Seri A Lebih dari 91 Miliar Rupiah

Startup perawatan gigi KLAR dikabarkan telah menggalang pendanaan pra-seri A. Sejumlah pemodal masuk di putaran ini, termasuk investor tahap sebelumnya yakni AC Ventures dan Kenangan Fund. Adapun investor baru yang turut terlibat di antaranya East Ventures, Venturra Discovery, dan GK-Plug and Play.

Kepada DailySocial.id, salah satu pihak yang terlibat pada pendanaan ini mengonfirmasi adanya putaran tersebut. Adapun menurut data yang telah dilaporkan ke regulator, nilai yang diterima KLAR mencapai $6,12 juta atau setara Rp91 miliar Rupiah.

Sebelumnya KLAR telah membukukan pendanaan awal dari AC Ventures dan Kenangan Fund pada Juni 2021 lalu. Dana segar dimanfaatkan untuk sejumlah hal, mulai dari riset pasar, penguatan tim, peningkatan brand awareness, dan penambahan lini produk baru.

Produk dan layanan

KLAR didirikan sejak September 2020 oleh Ellen Pranata, Adelia Susanto, dan David Sugiharta. Ketiganya memiliki latar belakang yang saling berkesinambungan di bisnis ini.

Ellen sebelumnya menjadi direktur perusahaan importir peralatan dental. Sementara Adelia merupakan spesialis ortodonti yang memiliki banyak pengalaman terkait perawatan dengan clear aligners. David sendiri adalah dokter gigi yang ahli di bidang prosthetics, aesthetics, dan full mouth rehabilitations.

KLAR saat ini memiliki sejumlah produk dan layanan. Untuk produk, andalan mereka ada dua, yakni Aligner dan Retainer untuk perawatan gigi – diproduksi secara mandiri. Sementara layanan yang melengkapi ada fitur konsultasi online.

Dengan model bisnis B2B2C mereka turut memberdayakan mitra dokter dan klinik untuk menjadi bagian dalam ekosistem bisnisnya. Menurut data di situs resminya, saat ini ada hampir 300 klinik gigi rekanan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Melalui aplikasi “KLAR Smile”, dokter gigi dan pasien dapat berinteraksi dan memantau status perawatan dari jarak jauh. Inovasi ini dinilai menjadi proposisi nilai yang membedakan KLAR dengan pemain sejenis lainnya.

Menurut data, potensi pasar untuk aligner di Indonesia diestimasi bisa mencapai $3 miliar (Rp43 triliun). Dengan pertumbuhan PDB per kapita dan meningkatnya minat perawatan diri dan estetika, KLAR yakin permintaan aligner di Indonesia akan terus meningkat.

Di Indonesia, selain KLAR, ada RATA juga bermain di segmen yang sama. RATA sendiri juga telah didukung sejumlah investor, salah satunya Alpha JWC Ventures.

Kiat Startup Bertahan di Tengah “Tech Winter”

Sebagai salah satu VC yang menduduki posisi teratas dalam hal investasi kepada startup di Indonesia, AC Ventures memiliki fokus khusus untuk mendukung pertumbuhan portofolio mereka. Memasuki masa sulit startup yang juga kerap disebut “Tech Winter”, AC Ventures memiliki beberapa catatan penting yang wajib di perhatikan oleh penggiat startup di tanah air.

Mulai dari strategi penggalangan dana yang tepat, potensi untuk melakukan M&A, hingga saat ini menjadi waktu yang tepat untuk merekrut talenta digital terbaik ke dalam tim. Hal ini seusai yang disampaikan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir dalam sesi webinar yang diadakan Rabu (03/8) lalu.

Efisiensi penggunaan kapital

Masih berlangsungnya perang antara Ukraina dan Rusia, ditambah dengan aturan Zero-Covid Policy yang diterapkan oleh Tingkok, mengakibatkan tertundanya aktivitas bisnis dan penutupan pabrik yang mempengaruhi kepada supply chain di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ditambah lagi dengan inflasi dan meninggkatnya harga berbagai barang dan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan bisnis kebanyakan startup. Untuk bisa bertahan dan mendapatkan profit, idealnya startup sudah mulai melakukan efisensi dalam hal penggunaan kapital atau modal yang ada saat ini.

Idealnya ketika dana segar sudah didapatkan oleh startup, bisa untuk menggunakan runway tersebut untuk waktu sekitar 36-48 bulan ke depan. Diprediksi pendanaan atau penawaran untuk berinvestasi dari VC akan lebih sulit diberikan. Investasi yang tahun ini kemudian final biasanya sudah dijajaki sejak tahun lalu.

“Jika saat ini Anda mencari nilai valuasi, rata-rata jumlah tersebut sudah menurun sekitar 30% di private market. Di sisi lain untuk public market, nilainya bisa mencapai sekitar 50 hingga 80% berdasarkan di negara perusahaan tersebut beroperasi,” kata Pandu.

Strategi lain yang kemudian juga bisa dilancarkan oleh startup adalah fokus mengembangkan unique value proposition untuk mendapatkan growth. Perhatikan pula unit ekonomi dan hedge risk. Untuk bisa mendapatkan market share, gunakan berbagai macam kanal, salah satunya adalah melakukan merger and acquisition (M&A). Hal ini dinilai lebih efektif dibandingkan jika perusahaan mengambil jalan melalui kanal yang organik. M&A bisa melahirkan keuntungan yang positif bagi startup, jika dieksekusi dengan tepat.

Kondisi sulit saat ini juga mewajibkan startup untuk terus menghadirkan inovasi dengan keterbatasan yang ada. Dengan melakukan cara ini diharapkan menjadikan perusahaan lebih siap ke depannya. Namun yang tidak kalah penting untuk dilakukan oleh startup saat ini adalah, untuk bisa membangun tim yang berkualitas, dengan merekrut tenaga kerja terbaik.

“Saat ini adalah waktu terbaik untuk fokus merampingkan tim. Jika telah memiliki tim dengan nilai B hingga B+, saat ini kemudian menjadi yang tepat untuk kemudian merekrut talenta dengan nilai A+. Satu orang dengan nilai A+ bisa lebih baik didapatkan dibandingkan dengan menambah tim berjumlah 6 orang dengan nilai B+,” kata Pandu.

Perubahan investasi VC saat tech winter

Menurut Pandu jika startup telah memiliki produk yang tepat dan digunakan oleh orang banyak, maka bisa menciptakan less price sensitive. Untuk itu pastikan produk yang dimiliki telah melalui proses product market fit yang tepat. Mindset ini yang baiknya diterapkan oleh semua entrepeneur.

Sementara itu menurut Director Head of Research Credit Suisse, investor saat ini lebih fokus kepada apakah startup telah memiliki revenue model atau tidak. Mereka juga akan memprioritaskan kepada startup yang bisa merekrut target pengguna mereka dengan tepat dan pada akhirnya harus memiliki strategi monetisasi yang jelas.

Jika sebelumnya proses penggalangan dana terbilang cepat waktunya, namun saat ini ketika sudah mulai banyak investor yang melakukan kalkulasi dan due diligence secara ketat, proses penggalangan dana bisa berjalan lebih lama dari biasanya. Untuk mereka yang saat ini sudah berada di tahapan Seri A ke atas, juga harus melalui proses penyaringan yang ketat. Mulai dari latar belakang pendirinya hingga unit ekonomi yang dimiliki startup.

Untuk ukuran investasi juga bakal mengalami perubahan. Tidak lagi menawarkan jumlah yang besar, saat ini investor mulai mengurangi investasi mereka dengan nilai yang lebih kecil dari biasanya. Salah satu alasan adalah, mulai banyaknya Limited Partner (LP) yang melakukan evaluasi saat proses underwriting dilakukan.

Dilihat dari jumlah investor yang masuk ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, negara seperti Tiongkok hingga Korea Selatan juga sudah melirik banyak startup di Asia Tenggara.

Melansir dari DealStreetAsia, saat ini sudah mulai banyak VC asal Tingkok yang mendirikan kantor perwakilan mereka di Singapura. Tujuannya adalah untuk memberikan investasi kepada startup di Asia Tenggara. VC besar asal Tiongkok seperti Shunwei Capital, Source Code Capital dan Plus Capital, dikabarkan telah dalam proses melakukan ekspansi membuka kantor perwakilan mereka di Singapura.

Disinggung seperti apa dinamika IPO startup Indonesia ke depannya, Pandu menegaskan IPO yang dilakukan oleh GoTo merupakan salah satu yang terbilang sukses. Namun untuk mempercepat pertumbuhan startup jika memang bisa dilakukan kolaborasi dengan konglomerasi hingga M&A dengan kompetitor, menjadi lebih ideal dilakukan untuk mendapatkan growth yang positif.

Kondisi politik Indonesia yang akan diwarnai oleh Pemilu tahun 2024 mendatang juga diprediksi akan menunda terjadinya aktivitas investasi di tanah air. Namun saat Pemilu sudah selesai digelar, dipastikan kegiatan tersebut akan kembali berjalan normal. Untuk itu manfaatkan 9 bulan waktu sebelum Pemilu untuk kemudian startup mulai aktif melakukan kegiatan penggalangan dana.

CEO Atma Mengungkap Permasalahan Sistemis di Proses Perekrutan Pekerja Kerah Biru

Awal Mei 2022 lalu, Atma mengumumkan debutnya melalui pendanaan pra-awal senilai $5juta dari AC Ventures, Global Founders Capital, dan sejumlah angel investor. Visi besarnya adalah mendefinisikan ulang sistem pencarian kerja dan perekrutan untuk kalangan kelas menengah ke bawah (pekerja kerah biru).

Saat ini aplikasi Atma sudah bisa diakses publik melalui platform Android, menawarkan sejumlah fitur seperti loker tervalidasi, proses lamaran instan, platform pembuatan CV, sampai dengan layanan komunitas.

DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Co-founder & CEO Atma Edy Tan, membahas tentang cerita di balik pengembangan Atma dan rencana-rencana selanjutnya.

Dimulai dari mitra pengemudi Gojek

Sebelum membangun Atma, Edy merupakan Chief of Driver di Gojek yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi. Sehari-hari ia berkomunikasi dengan pengemudi, untuk merumuskan cara terbaik dalam menaikkan pendapatan mereka.

“Waktu itu cara pandang saya, bagaimana menaikkan pendapatan mitra dan menurunkan pengeluaran [operasional] mereka. Namun, ketika serangkaian strategi dibangun, pada Maret 2022 pandemi datang yang menyebabkan jumlah pemesanan menurun [khususnya untuk layanan transportasi]. Para mitra online 24 jam, tapi on-job cuma 2 jam, sisanya nongkrong di jalan, main Tik Tok, atau kegiatan lainnya yang tidak produktif. Order-nya sedikit, mitra sama banyaknya,” ungkap Edy bercerita.

Lalu, saat itu ia memutuskan untuk melakukan survei untuk tanya langsung ke mitra pengemudi. “Pak kalau saya kasih lebih banyak order [karena performa bagus], Anda mau tidak?” Jawaban yang diberikan justru membuat Edy merasa tertampar, seorang mitra kala itu berkata, “Sebenarnya yang kami butuhkan bukan jumlah order atau pemasukan yang lebih banyak, tapi stabilitas pemasukan.”

Ini adalah hal yang sulit, berbeda dengan korporasi, model pekerjaan on-demand cenderung mendapatkan pemasukan yang tidak stabil. Waktu itu pun Edy menjawab, “Kalau mau yang stabil, apa Anda tidak mau cari pekerjaan tetap [full time]?” Lantas jawaban yang diberikan menjadi tamparan kedua buat Edy, “Bukannya saya tidak mau, tapi tidak tahu caranya.”

Untuk kebanyakan pekerja kerah biru, informasi pekerjaan sebagian besar mengandalkan kabar dari mulut ke mulut, sayangnya hanya dengan lingkup yang kecil — seperti dari kerabat, teman, atau tetangga. Di lain sisi, akses antara pemberi kerja dan pencari kerja bermasalah, apalagi tidak sedikit dimainkan oleh pihak ketiga seperti harus melewati agensi, diminati uang pendaftaran, ancaman scam [penipuan], dan sebagainya.

Di sisi lain, dari pekerjanya juga tidak punya cukup wawasan untuk mengetahui cara melamar yang baik, membuat CV, pedoman wawancara, dan sebagainya.

Salah satu komunitas Atma / Atma
Salah satu komunitas Atma / Atma

Permasalahan sistemis

Ketika didalami, permasalahan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh pengemudi ojek online, namun hampir menjadi isu menaun di segmen kelas menengah ke bawah. Dari situ Edy tertarik dan tertantang untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada dalam sistem perekrutan pekerja di level ini.

“Ketika saya cari tahu, kapan orang butuh cari kerja? Maka jawabannya: ketika mereka sedang tidak punya pekerjaan, terhenti pekerjaannya karena perusahaan tidak sehat, atau tidak senang dengan pekerjaan yang dijalankan. Sayangnya untuk segmen kelas menengah ke bawah alasan ketiga tidak berlaku. Dan bagi saya, it doesn’t make sense. Karena dari sisi perusahaan, mereka bilang kesulitan untuk cari orang,” ungkap Edy.

Lantas ketika didalami lagi dengan survei, ada alur proses yang membuat para pencari kerja trauma secara emosional. Edy menjelaskan, biasanya seseorang akan mengirim lamaran ke sejumlah lowongan (bahkan sampai puluhan). Lalu ia akan masuk ke ‘ghosting zone‘, kadang lama menunggu panggilan atau mendapatkan kabar yang tidak jelas. Karena lama di-ghosting, akhirnya ketika ada pekerjaan yang masuk langsung diterima, dan rata-rata upahnya kadang jauh di bawah UMR (DKI Jakarta). Mereka terpaksa mengambil kesempatan tersebut.

“Kenapa harus begitu? Di luar itu banyak sekali perusahaan yang bermasalah mencari karyawan, apalagi untuk pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta,” imbuh Edy.

Di sisi perusahaan pun ternyata mendapati permasalahan juga. Dalam pengamatannya, Edy membagi perusahaan menjadi tiga kategori:

Tipe Perusahaan Permasalahan Perekrutan
Enterprise Mereka post 1 job, yang melamar ribuan orang. Permasalahan di sini sampahnya (spam) terlalu banyak; volume lamarannya tinggi membuat perekrut lama melakukan screening. Yang bagus banyak, yang jelek banyak.
Branded-SME Mereka post 1 job, yang melamar ada dan tidak terlalu banyak spam, tapi yang berkualitas jarang. Karena yang memiliki kualitas bagus akan cenderung lari ke Enterprise.
Unbranded-SME Mereka post 1 job, yang lamar tidak ada dan butuh waktu lama. Cari satu admin, bisa dua bulan dapatnya. Sayangnya 95% bisnis di kalangan ini.

Lantas ketika bertanya ke HR di perusahaan, bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan pekerja yang ideal? Salah satunya mengandalkan rekomendasi. Jika ada lowongan, lalu seorang karyawan memberikan rekomendasi orang yang bisa dipercaya, biasanya akan lebih cepat. Sekali-duakali bertemu, langsung memberikan penawaran. Yang mana model ini akan mengembalikan ke kondisi di atas, pekerja hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.

Lantas dari perekrutan yang normal prosesnya bisa sangat panjang. Biasanya perusahaan akan meminta CV, kemudian melakukan wawancara via telepon untuk memvalidasi keabsahan data yang diberikan. Setelah perekrut merasa mantap dengan kandidatnya, maka akan menjadwalkan wawancara dengan user. Proses ini berjalan berminggu-minggu, bahkan beberapa bulan. Dan jika digali akar permasalahannya, proses tersebut lama karena banyak kandidat yang tidak terkualifikasi masuk ke proses lamaran.

Isu tersebut yang coba diselesaikan Atma lewat produknya untuk melakukan match-making (berdasarkan qualification, skills, dan culture fit). User experiences yang ingin dibangun lewat Atma, perusahaan tidak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan kandidat sesaat setelah mereka posting sebuah pekerjaan. Tidak perlu menunggu kandidat untuk melamar, karena sudah langsung disodorkan rekomendasi orang-orang yang seusai dengan kualifikasi.

Sementara dari sisi pencari kerja, misalnya mitra pengemudi, ketika mereka selesai memenuhi pesanan bisa buka aplikasi Atma untuk bergabung ke sebuah komunitas. Di sana ia akan mendapatkan berbagai informasi peluang baru, pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dan dekat dengan mereka.

Layanan yang disediakan Atma

Atma mendeskripsikan dirinya sebagai social job platform powered by community. Ini yang menjadi proposisi nilai dari produknya. Di job marketplace pada umumnya, orang dari berbagai rentang usia, berbagai demografi sosial, berbagai kelas ekonomi berbaur menjadi satu. Sementara di Atma semua dimulai dari komunitas yang bersifat tertutup, dibangun dari komunitas offline dari beberapa tempat, lalu ditarik ke online.

Sebelum masuk ke platform, setiap kandidat akan mendapatkan yang disebut dengan “internal employee scoring” dilihat dari sisi niat mereka untuk bekerja, karakter, dan lain sebagainya. Ini adalah informasi insider yang didapat dari komunitas tersebut, juga ditujukan sebagai kurasi tahap awal. Dan ketika sudah masuk, barulah mereka dibantu platform untuk membangun profil (termasuk CV).

Setiap pekerja hanya bisa melihat pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Dan untuk menentukan kualifikasi ini, setiap skillset diukur melalui sebuah kuis yang telah didesain khusus di aplikasi. Sehingga ketika pengguna melamar, dipastikan dia sudah melalui beberapa tahap awal penyaringan.

“Sebelumnya 80% waktu perekrut akan dihabiskan untuk menyortir spam, melakukan screening, dan verifikasi data. Sisanya 20% digunakan untuk memproses kandidat terkualifikasi. Ini yang mau kita ubah, ke depannya perekrut bisa menggunakan 100% waktunya untuk fokus pada kandidat yang terkualifikasi saja,” terang Edy.

Aplikasi yang ada juga memungkinkan masing-masing mendapatkan pembaruan data terkini — termasuk untuk progres lamaran yang diajukan. Sehingga ketika waktunya wawancara atau proses seleksi, kandidat juga akan mendapatkan notifikasi di aplikasinya. Hal ini juga ditujukan agar karyawan tidak melakukan ghosting terhadap perusahaan dengan sulit untuk dikontak.

Atma juga tidak menggantikan sistem HRIS yang ada di perusahaan, namun bisa dihubungkan dan diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada.

Segmen yang disasar Atma

Secara umum, aplikasi Atma diperuntukkan bagi perekrutan pekerja dengan gaji di bawah Rp10 juta. Mereka membatasi layanannya untuk industri atau vertikal bisnis tertentu. Karena menurut Edy, kalangan pekerjaan di level tersebut kualifikasinya hampir sama untuk semua jenis bisnis.

Untuk segmen tersebut, tidak sedikit perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing untuk pemenuhan pegawainya. Namun demikian, Edy mengatakan hal sebaliknya, bahwa Atma tidak bersaing dengan perusahaan outsourcing.

“Di perusahaan outsourcing terbesar, dari 100 kandidat biasanya hanya terkonversi 20 pekerja yang terkualifikasi. Jadi sebenarnya mereka juga jadi klien kami, karena memiliki permasalahan yang sama,” ujar Edy.

Terkait model bisnis, ia tidak mau menjelaskan secara eksplisit. Namun dikatakan, bahwa dari sisi perusahaan maupun kandidat sebenarnya memiliki “daya beli” untuk membayar. Dari survei internal, 95% perusahaan mau membayar untuk mendapatkan kandidat yang seusai kualifikasi. Sementara 70% calon pekerja mau membayar untuk mendapatkan kesempatan pekerjaan yang lebih baik. Nyatanya banyak pekerja yang rela merogoh kocek untuk mengikuti pelatihan bahkan membayar jasa mempercantik CV.

“Saat ini menurut BPS ada 206 juta populasi usia kerja. 131 juta orang sudah bekerja, Atma ingin membantu mereka mendapatkan cari kerja dengan gaji yang lebih bagus. Kemudian 9 juta masih menganggur, di sini Atma membantu mereka menemukan pekerjaan,” jelas Edy.

Target Atma berikutnya

Jajaran founder Atma / Atma
Jajaran founder Atma / Atma

Edy enggan untuk menyebutkan metrik-metrik yang hendak diraih. Yang ia tekankan, bahwa Atma akan selalu berprinsip “community first”, termasuk produk akan didesain untuk menyesuaikan kebutuhan komunitas. Di fase pra-awal ini, yang ingin difokuskan adalah memberikan kesan yang baik kepada penggunaannya, misalnya dengan menyelesaikan masalah spam di atas dari sisi perusahaan. Untuk pendanaan yang didapat kemarin, fokusnya akan banyak ke pengembangan produk, go-to-market, dan membangun tim yang solid.

“Nama PT kami adalah Atma Meraki Nusantara. Atma artinya esensi hidup. Meraki itu dari bahasa Yunani, artinya melakukan sesuai untuk jiwa raga. Sementara Nusantara itu merepresentasikan Indonesia,” terang Edy.

Di akhir diskusi ia bercerita mengapa akhirnya memilih membangun Atma dengan model bisnis yang ada saat ini. Secara pribadi, ia memang selalu nyaman untuk melakukan sesuatu yang memberikan dampak baik dan menolong orang. “Dulu saat saya kuliah di Boston University, saya mendapatkan kepuasan sendiri ketika menjadi fellow untuk penjadi pengajar kepada calon mahasiswa yang mau masuk ke jurusan saya. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat orang lain berhasil,” ujarnya.

Dan dalam membangun startupnya, ia memiliki 5 prinsip utama yang dipegang teguh:

  • Apapun yang dibangun harus memberikan dampak yang besar dan bisa di-scale dengan produk, bukan dengan operasional.
  • Bisnis yang digarap dipastikan bisa berkelanjutan. Dengan adanya enduring problem statement, di sana akan ada potensi pemasukan yang baik.
  • Intellectually stimulating. Bisnis yang dibangun harus benar-benar menarik, setiap tahap ada permasalahan baru yang bisa dipecahkan. Contohnya, untuk perekrutan permasalahan yang ada seperti yang tadi di ceritakan, tapi ke depan berbeda lagi, misalnya untuk menghadapi era automasi. Hal-hal yang selalu menantang bikin tidak cepat bosan.
  • Game of scale, harus ada return of capital yang bagus untuk perusahaan. Ini juga menjadi alasan mengapa pre-seed funding mereka tergolong besar, karena para founder tidak ingin membangun bisnis yang asal-asalan.
  • Terakhir, melakukan poin 1-4 dengan orang yang benar-benar disukai.
Application Information Will Show Up Here

IDEAL Debut dengan Pendanaan Pra-Awal 57 Miliar Rupiah, Demokratisasi Proses Pengajuan KPR

Startup proptech yang fokus membantu memudahkan proses pembiayaan atau pengelolaan hipotek “IDEAL” mengumumkan perolehan pendanaan pra-awal senilai $3,8 juta atau senilai 57 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh AC Ventures dan Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Living Lab Ventures dan Ciputra Group.

Dana segar akan dimanfaatkan IDEAL untuk pengembangan produk, perekrutan dan peningkatan layanan. Startup ini didirikan oleh sejumlah founder, meliputi Albert Surjaudaja, Ian Daniel Santoso, Indira Nur Shadrina, dan Jeganathan Sethu.

Layanan dan model bisnis

Platform IDEAL membantu pengguna menghitung biaya dan cicilan pembiayaan properti secara detail sesuai dengan kebutuhan dan preferensi yang dimiliki. Mereka turut menyediakan sistem aplikasi yang memungkinkan pengguna melakukan pengajuan pembiayaan di beberapa bank sekaligus. Yang menarik, ada sebuah dasbor untuk memantau status perkembangan pengajuan tersebut.

Tujuan IDEAL adalah menyederhanakan dan mendigitalkan proses administrasi yang selama ini rumit dan memakan waktu serta biaya besar. Di samping memberikan rasa aman, karena dokumen-dokumen bisa dikelola secara aman — tidak perlu lagi mengirim foto KTP via WhatsApp ke agen atau sejenisnya.

Model bisnis IDEAL dengan mengenakan komisi kepada bank dan developer properti untuk setiap pengajuan yang berhasil terfasilitasi. Di debut awalnya, saat ini IDEAL telah bekerja sama dengan lima bank, termasuk CIMB, OCBC, dan Maybank; juga dengan pengembang properti seperti Sinar Mas Land, Ciputra Group, dan Agung Sedayu Group.

“IDEAL menjadi spesial karena kami mengutamakan pikiran dan hati konsumen dalam mengambil keputusan pengembangan produk. Karena itu, kami juga hadir dengan jaringan yang luas, baik di bidang perbankan maupun pengembang properti. Kami percaya bahwa investor kami memiliki visi yang sama, yaitu membantu masyarakat Indonesia mencapai kehidupan ideal mereka, dimulai dengan digitalisasi proses KPR,” ujar Albert selaku CEO.

Permasalahan dalam pembiayaan properti

Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2021 industri KPR lokal bernilai $39 miliar dengan proyeksi pertumbuhan lima tahun ke depan 17%. Gen Y dan Gen Z dinilai akan mendominasi populasi pekerja dalam 10 tahun ke depan, sehingga disinyalir akan menjadi target pasar utama sektor properti.

Saat ini 75% pembelian rumah di Indonesia dilakukan secara KPR, namun demikian karena literasi finansial yang minim membuat mayoritas pemohon belum memahami sepenuhnya proses-proses tersebut. Sementara itu, di sisi pemberi pinjaman mereka juga mendapat tantangan seperti proses pengiriman dokumen yang berantakan, keamanan data, dan masih banyak lagi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, startup seperti IDEAL mendigitalkan sejumlah proses untuk memberikan pengalaman baru yang lebih ringkas. Di sisi lain paradigma hipotek sebagian besar bergantung pada saran agen properti, IDEAL memberikan kendali kembali kepada pembeli, sehingga mereka dapat memilih produk KPR terbaik yang tersedia di pasar.

Sejumlah startup proptech lain juga memberikan solusi serupa. Di antaranya Tanaku, Ringkas, dan Pinhome. Ketiganya juga baru mendapatkan pendanaan tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Bisnis “Quick Commerce” Global Terguncang, Bagaimana Nasib Pemain Lokal?

Kabar kurang sedap datang dari startup quick commerce di berbagai negara. Pengurangan staf secara masif, penutupan dark store (infrastruktur pemenuhan dan distribusi), penghentian bisnis di wilayah tertentu, sampai dengan berhentinya startup terkait menjadi sorotan banyak media. Startup terdampak termasuk mereka yang telah memiliki nama besar, sebut saja Gopuff, Zapp, Yango Deli, Gorillas, Geitr, Deliveroo, dan beberapa lainnya.

Di Indonesia sendiri, era quick commerce justru baru saja dimulai. Semua pemain yang ada baru memasuki tahun pertamanya. Kendati demikian, dari sisi industri sambutannya luar biasa. Lihat saja, Astro yang baru berdiri September 2021 lalu baru-baru ini membukukan pendanaan seri B, membuat dana ekuitas yang dikumpulkan perusahaan telah mencapai $90 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah.

Pelaku industri lokal masih optimis

Kami berkesempatan berbincang dengan Co-Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li untuk membicarakan hipotesisnya dalam berinvestasi ke startup quick commerce. Di Indonesia, AC Ventures adalah pendukung awal dan utama Astro.

Mereka mengidentifikasi model quick commerce ini sebagai gelombang disrupsi lanjutan dari industri ritel konsumen di Indonesia, khususnya di kota-kota tier-1 dengan populasi kepadatan tinggi.

Mengawali perbincangan, Adrian mengulas kembali tentang industri. Sebelumnya layanan e-commerce horizontal seperti Shopee, Tokopedia, hingga Blibli berhasil merajalela. Lalu, kemunculan model hybrid omnichannel seperti perusahaan ride-hailing yang bekerja sama dengan pengecer offline untuk menawarkan model Instacart/Flipkart, mengaktifkan saluran penjualan offline dan online.

Pada akhirnya kemunculan quick commerce sebagai gelombang terbaru telah diadopsi dengan cepat oleh konsumen yang turut diakselerasi oleh pandemi Covid-19.

“Dibandingkan dengan model ritel yang ada, konsep quick commerce menunjukkan peningkatan dari segi hasil penjualan serta pemanfaatan aset juga efisiensi biaya yang signifikan. Toko grosir memiliki keunggulan dalam hal pemanfaatan ruang dan pemenuhan pengiriman di sisi produktivitas penjualan. Dengan fokus pada layanan pengiriman, quick commerce juga memperluas cakupan area ke pelanggan dalam jarak 2-3 km yang kemudian berkontribusi pada peningkatan kinerja penjualan aset tetap bersama dengan produktivitas kurir,” jelas Adrian.

Dari faktor penjualan dan penghematan biaya di atas, pihaknya sangat yakin bahwa quick commerce akan menjadi game-changer dalam bisnis ritel konsumen di Indonesia.

Pandemi jadi momentum pertumbuhan quick commerce

Salah satu narasumber kami dari kalangan investor mengatakan, firmanya tidak begitu tertarik untuk ikut andil ke dalam hingar-bingar quick commerce, karena menurutnya ini adalah model bisnis yang relevan saat adanya pembatasan ketat beberapa waktu lalu.

Saat pandemi dimulai pertengahan 2020, pembatasan ketat dilakukan di mana-mana. Masyarakat mencari cara-cara baru untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan online marketplace dan e-grocery yang sebelumnya ada pun ramai diserbu pembeli.

Misalnya Sayurbox, menurut data internal mereka, sepanjang H2 2021 nilai perdagangan atau GMV produk premium meningkat sampai 53%. Pemain lain, Happyfresh sepanjang tahun 2020 juga mengalami peningkatan trafik transaksi sampai 10-20x lipat.

Melihat kesuksesan pemain legacy, quick commerce berusaha hadir menawarkan solusi yang lebih andal. 10-15 menit, ini adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan para quick commerce untuk memproses dan mengantarkan pesanan kebutuhan pokok yang dipesan lewat aplikasinya. Kategori produknya pun cukup lengkap, mulai dari sayur-mayur, kebutuhan pokok (minyak, gula, dll), makanan ringan, bahkan sampai dengan daging.

Tentu di tengah pembatasan aktivitas yang digalakkan masyarakat, kecepatan dan pemenuhan ini menjadi penting, karena barang-barang tersebut terkadang dibutuhkan secara mendesak di waktu tertentu. Namun kini kondisinya sudah sangat berbeda. Covid-19 bisa dikatakan telah terkendali — di tengah vaksinasi yang semakin meluas, 97% untuk dosis pertama. Masyarakat pun mulai merasa bebas untuk beraktivitas di luar.

Kebiasaan dan tren baru masyarakat yang sempat terbentuk ketika pandemi lambat-laun mulai berubah, kembali ke masa sebelum pandemi. Salah satunya dikatakan oleh Nur, seorang rekan yang tinggal di Jabodetabek. Layanan e-grocery sangat ia andalkan ketika PPKM ditegakkan pemerintah. Namun sekarang ia memilih kembali datang ke supermarket, “Mencium langsung aroma bahan makanan dan pengalaman jalan-jalan berbelanja itu yang selama ini hilang. Dan kami senang bisa melakukannya kembali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Managing Partner Gayo Capital Edward Chamdani. Ia melihat bahwa pertumbuhan di sektor quick commerce  sangat tergantung dari perubahan kebiasaan para pelanggan.

“Saat ini layanannya sendiri masih menyasar kota-kota tier-1, jika mereka bisa terus rutin menggunakan layanan ini dan model bisnisnya terbukti ‘sticky’ maka sektor ini akan terus bertumbuh.” ujarnya.

Analisis persaingan horizontal

Selain tidak bisa menawarkan pengalaman yang dibawakan ritel tradisional (dan modern) — untuk beberapa orang pengalaman ini lebih dari sekadar kecepatan berbelanja—platform quick commerce sebenarnya juga bersaing dengan beberapa pemain sekaligus. Sebut saja dengan minimarket yang saat ini bisa dijumpai di berbagai titik strategis (plus dilengkapi aplikasi pesan-antar), toko kelontong, tukang sayur keliling, sampai layanan digital yang sudah ada sebelumnya.

Peta persaingan penyedia produk kebutuhan harian / DailySocial.id

Produk FMCG dan makanan segar memang menjadi komoditas yang dikonsumsi semua kalangan, di manapun mereka berada. Sementara yang hendak digarap oleh quick commerce adalah konsumen di kota metropolitan. Segmen rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas diprediksi menjadi pendorong pertumbuhan bisnis ini, terutama mereka yang memilih kenyamanan dan belanja cepat pada produk habis pakai.

Mereka belum menyasar segmen lain yang biasa berbelanja produk terkait, contohnya ke orang-orang yang mengandalkan asisten rumah tangga. Pun demikian penetrasi di luar metro, masih belum dilakukan. Ada satu pemain yang bermain di tier-2, yakni Radius, namun dari informasi sumber yang kami dapat, penetrasi layanannya belum mendapatkan traksi yang berarti membuat mereka masih bermanuver dalam “stealh mode”.

Hal ini juga sebenarnya menjadi antisipasi yang dilakukan startup e-grocery Titipku. Sebelumnya mereka fokus memulai bisnis dari daerah Yogyakarta, namun karena untuk mengejar pertumbuhan mereka menutup layanan yang di daerah, lalu fokus ke Jabodetabek.

Venture Capitalist Eddi Danusaputro berpendapat, sebenarnya infrastruktur e-grocery modern justru dibutuhkan di kota lapis dua.

“Menurut saya, bisnisnya [quick commerce] akan feasible tapi harus diubah sedikit. Kalau di tier 1, mungkin supply dan demand-nya sudah kuat. Hal ini belum tentu berlaku di tier 2 dan tier 3. Satu hal yang harus diperhatikan adalah path to profitability, dari masing-masing tier berbeda tapi harus tetap ada. Ini akan menentukan waktu yang tepat untuk ekspansi.”

Secara global, menurut laporan Research and Market, ukuran pasar untuk quick commerce ini telah mencapai $25 miliar di tahun 2020 dan akan bertumbuh sampai dengan $72 miliar di tahun 2025. Di sisi lain, berdasarkan laporan Euromonitor, ukuran pasar yang mencakup sembako, toko serba ada, supermarket, dan pasar induk di Indonesia dilaporkan mencapai $97 miliar pada tahun 2020. Di sisi lain,  kota tingkat 1 mewakili setidaknya seperempat pasar.

Co-Founder & CEO Astro Vincent Tjendra mengklaim, ruang pertumbuhan layanan quick commerce di kota besar masih sangat luas. Terlebih penetrasi e-grocery dinilainya baru sekitar 0,4% dari total penetrasi e-commerce di Indonesia. Artinya, ini menjadi sebuah momentum untuk mengevaluasi peluang-peluang baru.

Optimisme senada disampaikan Co-Founder & CEO Bananas Mario Gaw. Ia mengatakan, “Layanan quick commerce masih terbilang baru di Indonesia. Namun, kami melihat adanya peluang sangat besar pada groceries market ini terutama mengingat besarnya populasi masyarakat Indonesia dan besarnya pasar untuk barang kebutuhan sehari-hari yang belum tergarap. Sejak awal berdiri, kami ingin menciptakan pengalaman berbelanja yang menyenangkan bagi konsumen kami dan terus melakukan inovasi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka”

Arah perkembangan quick commerce di Indonesia

Tidak hanya Astro, kini pasar quick commerce turut diramaikan sejumlah pemain lainnya, termasuk Bananas, AlloFresh (bentukan Bukalapak dan CT Corp), hingga Radius yang fokus di pasar luar Jakarta. Sementara pemain legasi juga mulai mendirikan unit yang sama, seperti Sayurbox lewat SayurKilat, Tokopedia dengan Tokopedia Now, sampai Grab via GrabMart Kilat.

Startup Pendanaan Terakhir Total Pendanaan Investor
Astro Seri B $90 juta Accel, Tiger Global AC Ventures, Global Founders Capital, Lightspeed, Sequoia Capital India, dll.
AlloFresh Corporate Joint Venture $70 juta PT Trans Retail Indonesia (bagian dari CT Corp), Bukalapak, dan Growtheum Capital Partners
Bananas Pendanaan Awal ~$1,5 juta East Ventures, SMDV, Arise, Y Combinator, dll.
Radius Pra-Awal ~500 ribu Y Combinator

Mengambil salah satu studi kasus bisnis quick commerce di Indonesia dalam mengoperasikan layanannya. Untuk menghadirkan proses pengiriman cepat, Bananas mengandalkan hub mikro berbasis teknologi (dark stores) dalam menjalankan bisnisnya. Dark stores ditempatkan di berbagai lokasi strategis mendekati area pemukiman yang memungkinkan mitra pengemudi untuk mengantarkan produk pesanan kepada pelanggan secara instan.

Selain itu, mereka juga berkolaborasi langsung dengan berbagai brand principal untuk menghadirkan berbagai pilihan produk. Fokus terhadap penggunaan data menjadi salah satu kekuatan yang dihadirkan penyedia quick commerce untuk menghadirkan value untuk mitra penyedia produknya tersebut. Data ini penting untuk mempelajari perilaku serta kebutuhan konsumen demi menjaga akurasi level stok produk.

Kondisi tersebut membuat pada startup quick commerce membutuhkan modal tidak sedikit untuk debut dan mengakselerasi bisnisnya. Seperti yang disampaikan Bananas, bahwa pendanaan awal yang didapat akan difokuskan untuk mendorong perkembangan bisnis dan membangun lebih banyak dark stores yang akan menyediakan berbagai macam pilihan produk.

Disrupsi ritel FMCG

Cerita menarik lainnya datang dari Astro. Disampaikan hingga Mei 2022, pertumbuhan yang dicatatkan perusahaan telah mencapai 10x lipat dengan efisiensi pengiriman yang lebih tinggi ke pelanggan. Mereka telah mengoperasikan dark stores di 50 titik di Jabodetabek dengan 1.500 SKU produk, mempekerjakan lebih dari 200 staf.

Melalui aplikasinya, selain menyuguhkan UI/UX yang sangat sederhana, Astro juga berusaha memberikan pengalaman belanja yang lebih dipersonalisasi. Bahkan jika ada item yang tidak sesuai pesanan, fitur pelaporan di aplikasi juga disediakan untuk melakukan penggantian produk dalam waktu maksimal 15 menit.

Hal lain yang juga menarik adalah, kini Astro mulai mengembangkan produk private label. Mereka memulai dengan produk minuman dan makanan siap santap, di antaranya aneka kopi dan roti. Ini menarik, karena ritel modern juga melakukan hal serupa untuk pemenuhan barang konsumsi sekali pakai — contohnya Indomaret juga memproduksi air mineral sampai tisu dengan brand milik mereka sendiri. Diyakini juga bahwa strategi ini dapat menghadirkan unit ekonomi yang signifikan.

Produk makanan dan minuman yang diproduksi in-house dengan brand Astro / Astro

Pengalaman akan kecepatan yang ditawarkan oleh quick commerce jelas menjadi proposisi nilai tersendiri. Selain itu, dengan perputaran produk yang cepat dan akuisisi kanal pembelian masyarakat memungkinkan bisnis ini mendapatkan keuntungan potensial dari setiap penjualannya. Faktanya, di kancah global selama pandemi quick commerce mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 50%.

Tantangan bagi pelaku quick commerce di Indonesia adalah menyeimbangkan pertumbuhan dan cash burn dalam proses merumuskan resep yang tepat untuk skalabilitas. Oleh karena itu, model bisnis memerlukan perhatian yang mendetail pada sisi logistik operasi dan pengadaan, pembangunan merek, dan kontrol kualitas.

Tanggapan pelaku e-grocery

Dalam sebuah kesempatan temu media, Managing Director HappyFresh Indonesia Filippo Candrini memberikan komentar terkait quick commerce yang mulai menjadi tren pasar dan terkesan segera menggantikan peran platform e-grocery.

“Berdasarkan pengalaman kami dalam pengamatan terhadap perilaku konsumen e-grocery, kami mengetahui bahwa sebagian besar konsumen merencanakan pembelanjaan dengan memilih beragam produk dari berbagai kategori dan menyimpannya di keranjang belanja,” ujarnya.

Sebagai antisipasi, HappyFresh mengembangkan layanan Supermarket Online agar bisa menampung lebih banyak SKU di toko virtual. Jumlah ini cenderung lebih besar dari kapasitas dark stores quick commerce – dengan waktu pengiriman hanya dalam 30 menit atau pada jam-jam tertentu sesuai preferensi pengguna (untuk layanan full-weekly grocery basket).

“Dengan demikian, kami mencegah risiko kerusakan bahan makanan atau membahayakan keselamatan mitra pengemudi pengiriman kami,” tambah Filippo.

Dari hipotesis tersebut, HappyFresh masih meyakini bahwa model yang diusung sekarang adalah yang paling relevan dengan kebutuhan pasar. Dan pada akhirnya fokus ke kualitas produk akan menjadi kunci utama kebertahanan layanan e-grocery. Dengan kata lain, HappyFresh tidak akan turut andil dalam hingar-bingar quick commerce dulu.

Peluang ekspansi di luar kota metro

Sementara pasar e-grocery Indonesia bertumbuh pesat disokong oleh pandemi, potensi ini belum tergarap sepenuhnya mengingat masih banyak area di luar kota metropolitan yang masih belum merasakan dampak dari kemudahan dan kecepatan pengiriman yang ditawarkan layanan quick commerce.

Dalam upaya penetrasinya sendiri, tantangan hadir dari berbagai sisi, di mana timbul kelangkaan penyedia online, lalu melambungkan biaya layanan serta proses pengiriman yang memakan waktu berhari-hari. Pada akhirnya, keterbatasan ini memaksa pelanggan untuk memilih yang “lebih efisien”, yaitu supermarket offline.

Tentunya tidak mudah menggambarkan potensi yang dimiliki ketika solusi ini bahkan belum menjangkau bagian masyarakat yang lebih besar. Prediksi pertumbuhan layanan quick commerce saat ini masih sangat bergantung pada inklusivitas dari perkembangan digitalisasi yang terjadi di Indonesia.

Meskipun begitu, digitalisasi ritel tradisional di Indonesia tetap berlangsung. Pasar grosir di Indonesia disebut telah bertumbuh hingga $207 miliar. Sekitar 70% dari total tersebut datang dari area pedesaan. Fakta ini menciptakan optimisme di sektor ini untuk bisa berkembang bahkan 5x lipat dalam lima tahun ke depan.

Sementara kota tingkat 1 akan menjadi ranah pertumbuhan layanan quick commerce, Adrian mengungkapkan proyeksinya terkait ekspansi layanan ini, “Kami percaya bahwa distribusi berbasis agen atau B2B2C model akan menjadi solusi yang tepat untuk kota tingkat 2-3 karena mereka menjembatani kesenjangan antara kesiapan teknologi dan biaya logistik jarak jauh yang akan diperjuangkan oleh perdagangan cepat menguntungkan khususnya di daerah yang kurang padat.”

Masa depan layanan quick commerce ini sendiri terkait erat dengan demokratisasi pertumbuhan ekonomi yang telah dialami Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin meningkat oleh pergerakan modal politik negara. Tidak hanya redistribusi ekonomi namun penetrasi layanan ini ke area pedesaan juga bisa menciptakan redistribusi talenta, dengan lebih banyak pekerja kerah biru dan talenta teknologi tidak lagi harus mencari peluang kerja berkualitas di kota-kota tingkat 1.

Kristin Siagian berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Data Pendanaan Startup Indonesia H1 2022, Masih Tunjukkan Tren Peningkatan

DailySocial.id kembali merekap transaksi pendanaan startup digital sepanjang paruh pertama (H1) tahun 2022. Terdapat beberapa tren menarik yang dapat dicermati, di tengah isu miring yang tengah menjadi sorotan di ekosistem — salah satunya tentang koreksi pasar akibat krisis ekonomi global, yang berdampak langsung dengan cara investor menilai sebuah startup.

Mengingatkan kembali, tahun 2022 diawali dengan optimisme akan kebangkitan ekosistem bisnis digital setelah sebelumnya banyak terganjal akibat pembatasan di tengah pandemi. Banyak kalangan menilai, bahwa ekonomi digital Indonesia akan meroket seiring dengan adopsi teknologi yang sangat kencang selama masa karantina mandiri.

Benar saja, sepanjang Q1 2022 kami mencatat pendanaan startup meningkat lebih dari 2x lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Namun demikian, memasuki Q2 2022 sejumlah gejolak muncul, turut berdampak langsung pada iklim investasi startup. Di permukaan, kabar seperti startup melakukan layoff, pivot bisnis, sampai dengan penutupan usaha santer terdengar. Namun apakah kondisi goncangan tersebut berdampak langsung pada kucuran pendanaan ke startup Indonesia?

Artikel ini akan menyajikan data-data yang menjawab pertanyaan tersebut.

Peningkatan kuartal ke kuartal

Berdasarkan pendanaan startup yang diumumkan ke publik, sepanjang Q2 2022 terdapat 71 transaksi membukukan dana lebih dari $1,4 miliar. Secara jumlah transaksi, minus 4 angka dibandingkan Q1 2022, namun di sisi nominal terdapat peningkatan hampir $300 juta.

Pendanaan startup Q1 dan Q2 2022, ditinjau dari puataran investasinya

Menilik lebih dalam, terdapat beberapa tren menarik yang bisa diperhatikan. Pertama, adanya pertumbuhan nilai pendanaan lanjutan sepanjang Q2 ini, khususnya di seri B ke atas. Kendati secara jumlah transaksi pendanaan awal dan pra-awal masih mendominasi — mencerminkan adanya perhatikan khusus investor pada generasi founder baru.

Tren pendanaan sepanjang H1 2022

Terkait pendanaan lanjutan, sebanyak 17 startup berhasil membukukan pendanaan dengan nominal di atas $50 juta dalam putaran terakhirnya. Paling besar didapatkan unicorn Xendit dalam pendanaan lanjutan seri D.

Pendanaan startup dengan nominal terbesar sepanjang H1 2022

Ditinjau dari kategori bisnis, fintech masih menjadi yang paling banyak diburu sepanjang H1 2022 ini. Disusul model lain, yakni logistik dan social commerce. Yang kedua ini menarik, social commerce menjadi perhatian investor karena model bisnisnya mampu menangkap gap yang sejauh ini masih belum bisa diselesaikan layanan e-commerce yang sudah ada — misalnya dalam mengefisiensikan distribusi produk untuk pengguna di kota lapis 2/3/4.

Kategori bisnis startup yang paling diminati investor sepanjang H1 2022

Di sisi investor, East Ventures dan AC Ventures masih menduduki peringkat teratas sebagai pemodal ventura yang paling aktif — dari sisi jumlah transaksi yang diikuti. Adapun angel investor berpartisipasi dalam 44 transaksi pendanaan yang ada.

Investor paling aktif memberikan pendanaan kepada startup Indonesia sepanjang H1 2022

Jika berbekal pada data tren pendanaan yang ada, isu bubble brust yang tengah ramai dibincangkan pada Q2 2022 ini seperti tidak memberikan dampak berarti, karena terkait pendanaan trennya masih cenderung mengalami peningkatan. Namun, bisa jadi dampak tersebut justru terjadi pada kalkulasi pendanaan tersebut — misalnya tentang penghitungan valuasi perusahaan saat startup memasuki fase pendanaan lanjut.

Perbandingan dengan tahun 2021

Jika pada kuartal pertama peningkatannya 2x lipat year-on-year, tampaknya pada paruh pertama tahun ini trennya masih konsisten. Sepanjang H1 2021, ada sekitar 87 pendanaan dengan total nilai yang diumumkan mencapai $1,3 miliar. Sementara di H1 2022, jumlah dan nilainya meningkat, mencapai 146 transaksi dan membukukan nilai $2,6 miliar.

Terjadi peningkatan kuantitas di hampir semua ronde pendanaan, dari tahap awal sampai tahap akhir. Bahkan untuk pendanaan tahap awal jumlah transaksinya meningkat 2x lipat. Ini menjadi hal yang menarik, saat ada ketidakpastian ekonomi banyak investor masih percaya untuk meletakkan uangnya untuk membantu founder memvalidasi model bisnisnya — dalam hal ini memiliki risiko yang jauh lebih besar.

Tren pendanaan H1 dari tahun 2021 dan 2022

Kucuran pendanaan yang cenderung meningkat drastis juga bisa dipandang dari kesiapan di sisi investor. Sejak paruh kedua 2022, banyak VC yang memiliki fokus ke pasar Indonesia mengumumkan dana kelolaan baru.  Termasuk oleh pemodal ventura lokal seperti Arise Fund (MDI & Finch Capital), Intudo Ventures, Alpha JWC Ventures, East Ventures, AC Ventures, Sembari Kiqani (BRI Ventures), dan lain-lain.

Sejumlah dana kelolaan baru juga diumumkan pada paruh pertama tahun ini, seperti Indonesia Impact Fund (Mandiri Capital), Cydonia Fund (Indogen & Finch Capital), Teja Ventures, dan lainnya.

KitaBeli Secures 299 Billion Rupiah Funding, Expanding into New Business and Categories

An FMCG-specific social commerce startup, KitaBeli, announced a $20 million (worth 299.5 billion Rupiah) funding round led by Glade Brook Capital Partners, an American equity investment firm. KitaBeli’s previous investors, AC Ventures, and Go-Ventures also participated, along with a new investor, Innoven Capital.

KitaBeli is to use the fresh money to continue expanding into second and third-tier cities across the country, while launching new product categories such as beauty, personal care, mother & baby products, and frozen foods.

KitaBeli is a social commerce platform that offers FMCG products and allows users and partners to get discounts and earn money by leveraging their social network. This app allows consumers to enjoy discounted prices through a social and gamified shopping experience.

Unlike most e-commerce applications, KitaBeli runs a direct-to-consumer business model that offers buyers the basic necessities of daily life. KitaBeli combines PinDuoDuo’s ‘group buying’ approach and combines it with a local community approach.

“By being extremely consumer-focused, we have been able to achieve product-market fit and scale very fast in a historically untapped market,” explained Prateek Chaturvedi, co-founder and CEO of KitaBeli, Monday (18/7).

He continued, by leveraging the offline social networks of our Local Community Leaders (Mitras), we have been able to reach thousands of new users who are buying online for the first time in their lives. This has helped us build massive loyalty with our customers and enabled us to deliver better long-term margins than other players.”

“Glade Brook is one of the most experienced growth stage investors we’ve met, and their experience in e-commerce and social commerce across emerging markets globally is unmatched. The experience and insight that Linda Guo, Paul Hudson and their entire team have brought to this space convinced us that they are the right partners on our journey.” he said.

Glade Brook Capital Partners’ Partner, Linda Guo said, “We are excited to partner with KitaBeli to bring better, more affordable ecommerce access to second-tier communities in Indonesia. We believe the next wave of ecommerce growth in Indonesia will be driven by consumer demand outside major cities like Jakarta.”

AC Ventures Founder & Managing Partner Adrian Li added, the company’s commitment to KitaBeli further substantiates our thesis that Indonesia’s next frontier of ecommerce users will come from second- and third-tier cities in Indonesia. KitaBeli has focused on creating a solution that is well-suited for rural consumers. It utilizes social hooks and gamification to push engagement and employs a hyper-local community delivery model.

“KitaBeli’s product-led approach and operational excellence has demonstrated powerful customer engagement, strong top-line growth, and promising take rate expansion. We are enthusiastic about KitaBeli’s future and excited to have been a part of the journey from the very beginning,” Adrian said.

Opportunities in the second and third tier cities

Chaturvedi said that historically, expansion into rural areas has not been widely implemented by other players. Whereas second and third-tier cities in Indonesia currently represent a market of more than $100 billion, with over 200 million consumers and contributions exceeding 50% of the country’s GDP. However, this opportunity is not immune to the following issues.

For example, consumers often experience longer delivery times for online shopping orders. KitaBeli provides solutions by building warehouses in its operational areas, enabling it to make same-day and next-day deliveries straight to the customer.

Furthermore, consumers are often hitched with higher prices due to broken supply chains. This often results in 10%-50% cost higher than consumers living in Jakarta. By sourcing products directly from brands and principals, KitaBeli provides huge savings to consumers.

“Also, consumers in second-and third-tier cities often have trust issues with e-commerce as they don’t familiar with the person they doing business with. In order to solve the trust issues, KitaBeli employs a different strategy from its competitors, focusing on consumers’ offline networks and encouraging them to invite friends and family to use the platform.”

Over the past few months, KitaBeli claims to have grown more than 10 times and this achievement makes the company a leading player in this vertical in Indonesia.

Download the recent Social Commerce report published by DailySocial.id here. Discussing the trend and business model of Indonesian Social Commerce.

Application Information Will Show Up Here

KitaBeli Raih Pendanaan 299 Miliar Rupiah, Siap Perluas Bisnis dan Kategori Baru

Startup social commerce khusus produk FMCG KitaBeli mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan senilai $20 juta (senilai 299,5 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Glade Brook Capital Partners, perusahaan investasi ekuitas asal Amerika Serikat. Investor KitaBeli sebelumnya, yakni AC Ventures, Go-Ventures juga turut bergabung, bersama investor baru, Innoven Capital.

KitaBeli akan memanfaatkan dana segar untuk melanjutkan ekspansi ke kota-kota lapis kedua dan ketiga di seluruh nusantara, sembari meluncurkan kategori produk baru seperti kecantikan, perawatan pribadi, produk ibu & bayi, dan makanan beku.

KitaBeli adalah platform social commerce yang menawarkan produk FMCG dan memungkinkan pengguna dan mitra mendapatkan diskon dan mendapatkan uang dengan memanfaatkan jejaring sosial mereka. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk menikmati harga diskon melalui pengalaman belanja sosial dan gamified.

Berbeda dengan aplikasi e-commerce kebanyakan, KitaBeli menjalankan model bisnis direct-to-consumer yang menawarkan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari kepada pembeli. KitaBeli menggabungkan pendekatan ‘group buying’ ala PinDuoDuo dan menggabungkan dengan pendekatan komunitas lokal.

“Dengan sangat berfokus pada konsumen, kami telah mampu mencapai kesesuaian dan skala produk-pasar dengan sangat cepat di pasar yang secara historis belum dimanfaatkan,” jelas Co-founder dan CEO KitaBeli Prateek Chaturvedi dalam keterangan resmi, Senin (18/7).

Dia melanjutkan, dengan memanfaatkan jaringan sosial offline dari Pemimpin Komunitas Lokal (Mitra), perusahaan dapat menjangkau ribuan pengguna baru yang membeli secara online untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Langkah tersebut dapat membangun loyalitas dari pelanggan dan memungkinkan pihaknya untuk memberikan margin jangka panjang yang lebih baik daripada pemain lain.

“Glade Brook adalah salah satu investor tahap pertumbuhan paling berpengalaman yang pernah kami temui, dan pengalaman mereka dalam e-commerce dan social commerce di seluruh negara berkembang secara global tidak tertandingi. Pengalaman dan wawasan mendalam yang dibawa Linda Guo, Paul Hudson, dan seluruh tim mereka ke ruang ini meyakinkan kami bahwa mereka adalah mitra yang tepat dalam perjalanan kami,” ujarnya.

Partner Glade Brook Capital Partners Linda Guo menyampaikan, “Kami sangat senang dapat bermitra dengan KitaBeli untuk menghadirkan akses e-commerce yang lebih baik dan lebih terjangkau ke komunitas lapis kedua di Indonesia. Kami percaya gelombang pertumbuhan e-commerce berikutnya di Indonesia akan didorong oleh permintaan konsumen di luar kota-kota besar seperti Jakarta.”

Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, komitmen perusahaan terhadap KitaBeli semakin memperkuat tesis yang menyatakan bahwa pengguna e-commerce berikutnya di Indonesia akan datang dari kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia. KitaBeli telah berfokus pada penciptaan solusi yang cocok untuk konsumen pedesaan. Ini menggunakan kait sosial dan gamifikasi untuk mendorong keterlibatan dan menggunakan model pengiriman komunitas hyperlocal.

“Pendekatan yang dipimpin oleh produk dan keunggulan operasional KitaBeli telah menunjukkan keterlibatan pelanggan yang kuat, pertumbuhan lini atas yang kuat, dan ekspansi tingkat penerimaan yang menjanjikan. Kami sangat antusias dengan masa depan KitaBeli dan bersemangat untuk menjadi bagian dari perjalanan sejak awal,” ucap Adrian.

Potensi di kota lapis dua dan tiga

Chaturvedi menyampaikan, ekspansi ke daerah pedalaman ini secara historis belum banyak dilirik oleh pemain lain. Padahal di kota-kota tingkat kedua dan ketiga di Indonesia sekarang mewakili pasar lebih dari $100 miliar, dengan lebih dari 200 juta konsumen berkontribusi lebih dari 50% dari PDB negara. Akan tetapi, peluang tersebut tidak luput dari isu yang menghantui.

Di antaranya, konsumen sering mengalami waktu pengiriman yang lama untuk pesanan belanja online. Solusi yang diberikan KitaBeli adalah membuka gudang di setiap kota tempat ia beroperasi, memungkinkannya untuk melakukan pengiriman pada hari yang sama dan hari berikutnya langsung ke depan pintu pelanggan.

Berikutnya, konsumen sering dihadapi dengan harga yang lebih tinggi karena rantai pasokan yang rusak. Hal ini sering mengakibatkan pelanggan akhir membayar 10%-50% lebih banyak daripada konsumen yang hidup di Jakarta. Dengan mendapatkan produk langsung dari merek dan prinsipal, KitaBeli memberikan penghematan besar kepada konsumen.

“Terakhir, konsumen di kota tingkat kedua dan ketiga sering kali memiliki masalah kepercayaan dengan e-commerce ketika mereka tidak mengenal orang yang mempromosikan atau menjual produk. Untuk mendobrak hambatan kepercayaan, KitaBeli menggunakan strategi yang berbeda dari pesaingnya, berfokus pada jaringan offline konsumen dan mendorong mereka untuk mengundang teman dan keluarga untuk menggunakan platform.”

Selama enak bulan terakhir, KitaBeli mengklaim telah tumbuh lebih dari 10 kali lipat dan pencapaian ini menjadikan perusahaan sebagai pemain terdepan di vertikal ini di Indonesia.

Unduh laporan tentang Social Commerce yang baru diterbitkan DailySocial.id di sini. Membahas tren dan model bisnis Social Commerce yang ada di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Platform Pencatatan Keuangan PINA Raih Dana Segar Lebih dari 44 Miliar Rupiah

Startup pengembang aplikasi pencatatan keuangan personal PINA mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal senilai $3 juta (lebih dari 44 miliar Rupiah). AC Ventures, Vibe.VC, dan Y Combinator bergabung memimpin putaran teranyar ini, dengan partisipasi dari XA Network dan investor terdahulu, yakni 1982 Ventures dan Prasetia Dwidharma.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mengakselerasi pengembangan produk dan pertumbuhan pengguna. Beberapa fitur yang tengah dipersiapkan adalah konsultasi keuangan, investasi, dan layanan pelengkap lainnya, seperti akses ke pelatihan karier, sertifikasi perencana keuangan, dan acara keanggotaan eksklusif.

Dalam keterangan resmi, Co-founder PINA Daniel van Leeuwen menyampaikan, pihaknya percaya ada banyak Indonesia yang kurang terlayani dalam hal membangun kekayaan mereka, baik dalam hal akses ke saran maupun produk. Hal tersebut selaras dengan visi PINA dalam menawarkan platform manajemen kekayaan pribadi yang cerdas, praktis, yang memberdayakan orang untuk mengendalikan kehidupan finansial mereka.

“Kami percaya bahwa platform keuangan yang sempurna mampu mengelola dan mengotomatisasi setiap aspek keuangan seseorang berdasarkan keinginan dan kebutuhan mereka. Kami ingin menjadi OS (sistem operasi) kehidupan finansial masyarakat, dan penggalangan dana baru-baru ini akan memungkinkan kami bergerak lebih cepat menuju tujuan tersebut,” terang Leeuwen dalam keterangan resmi, Senin (4/7).

Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li turut menambahkan, meningkatnya adopsi transaksi nontunai seiring dengan meningkatnya individu-individu kaya di Indonesia mendorong munculnya peluang miliaran dolar baru untuk platform manajemen kekayaan, yang menawarkan tumpukan penuh layanan termasuk pengelolaan uang dan investasi.

“Tim PINA membawa pengetahuan dan koneksi mendalam dalam industri jasa keuangan – menjadikan PINA salah satu perusahaan paling menjanjikan di bidangnya,” ucapnya.

Sejumlah aplikasi wealth management bermunculan akhir-akhir ini, membantu pengguna untuk merencanakan tujuan keuangan mereka. Beberapa startup di lanskap tersebut juga telah mendapatkan pendanaan dari investor, di antaranya Finku, Sayakaya, Saham Rakyat, dan lain sebagainya.

Produk PINA

Didirikan pada 2021, PINA menawarkan saran keuangan holistik dan solusi manajemen investasi kepada investor ritel. Platform ini membawa misi untuk memberdayakan masyarakat Indonesia dengan membuat keputusan keuangan yang rumit menjadi sederhana. Selama ini, biaya tinggi dan setoran minimum membuat layanan pengelolaan kekayaan tidak dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Akses ke alat dan penasihat pengelolaan uang PINA gratis, dan pengguna hanya dibebankan biaya saat berinvestasi di platform. Melalui aplikasi PINA, pengguna dapat menautkan semua akun keuangan mereka untuk mengelola uang mereka di satu tempat dan memanfaatkan data tersebut untuk mengotomatiskan tujuan tabungan dan investasi yang telah mereka tetapkan.

Diklaim, saat ini PINA memiliki lebih dari 25 ribu pengguna di platform dan AUM bernilai lebih dari $4,1 juta. Dalam waktu tiga bulan setelah meluncurkan produknya, perusahaan berhasil menunjukkan daya tarik yang kuat, dengan AUM tumbuh dua kali lipat pada Februari 2022 dan 18 kali lipat lagi pada Maret 2022.

Sementara Christian Hermawan, yang memimpin operasi investasi dan hukum, telah lebih dari 26 tahun di pasar modal. Dia mendirikan Trust Securities dan mengembangkannya menjadi lebih dari $151 juta volume perdagangan bulanan. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Direktur Sucorinvest Investment Management. Hendry Chou memimpin produk dan menjadi Product Design Lead di Zenius sebelum mendirikan PINA.