Investree Raises 382 Billion Rupiah Funding of Series C’s First Round

The p2p lending startup, Investree announced the first round of Series C funding worth of $23.5 million (more than 382 billion Rupiah) led by MUIP, subsidiary of Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), and BRI Ventures. Other investors participated are SBI Holdings and 9F Fintech Holding Group, both are the existing investors in Series B round.

In the online pers conference, Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi explained, the fresh money will be channeled to tighten the company’s position as the leading p2p lending for SMEs and to support business in Thailand and the Philippines.

“The funding has closed since March 2020. In terms of close round, we’re still discussing in parallel with other potential investors. Whether there’s an adjustment of the total [funding], it’s still an ongoing process. It’s not because we’re currently well-capitalized,” he said on Wed (4/8).

Adrian also mentioned the funding received in the midst of this pandemic is proving investors’ strong confidence in the company’s strategy and management team. “A solid financial platform and conditions enable companies to tackle the current climate with confidence.”

The MUFG and BRI entrance through each of its ventures to Investree allows the company to deepen the partnership. MUFG is a shareholder of Bank Danamon. Synergy with the two banks, he added, is not new. Previously, Investree had begun to establish since 2016 with Bank Danamon and 2018 with BRI.

MUIP’s President and CEO’s Nobutake Suzuki said that he believes to invest in Investree because the company had good fundamentals in terms of performance, legality, and a mature background in the financial world. In addition, he saw the industry, Investree has a great opportunity to lead the lending market for SMEs.

CEO Nicko Widjaja added on his team’s interest is due to the success in serving underserved business segments, such as the creative industries. For conventional financial institutions, this segment tends to be full of risk. “We believe the collaboration between the BRI group and Investree, established since 2018, can contribute significantly to Indonesian economic growth.”

Investree secured  series B funding with an undisclosed value in mid-2018. At that time, the round was led by SBI Holdings Inc., then followed by MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, and Kejora Ventures.

Investree’s next target

Adrian saw opportunity amidst the ongoing pandemic, the company is to enter the growing industry sector, health and telecommunications. These two sectors are considered to have significant opportunities and can be helped through financing, especially now that the health industry is at the forefront in fighting a pandemic.

In addition, to reduce the rate of bad loans, the company has established a series of risk mitigations, such as using credit insurance, restructuring and rescheduling, which are seen on a case-by-case basis. How the borrowers are performing and how far Covid-19 is impacting their business.

“To date, we are discussing with several borrowers from hospitality and retail. We see case by case what we can do. Whether the impact is short-term, needs to be restructured. We have prepared the template and are ready to submit it to lenders because we are not the financiers. ”

Regarding the company’s expansion into Thailand and the Philippines, it is still in the stage of processing business licenses. If nothing gets in the way, it is estimated no later than the third quarter of this year, license can be issued. “Currently, the licensing process is still according to our plan and there has been no change.”

“We enter these two countries by partnering with locals who know the business and regulation in the area.”

Until the beginning of April 2020, the company recorded a total loan of IDR 5.11 trillion and a disbursed loan value of IDR 3.83 trillion. The average rate of return starts at 16% and TKB90 90%. There are 1297 borrowers consisting of individuals and institutions.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Seri C Tahap Pertama 382 Miliar Rupiah

Startup p2p lending Investree mengumumkan pendanaan tahap pertama seri C sebesar $23,5 juta (lebih dari 382 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MUIP, anak usaha ventura dari Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), dan BRI Ventures. Turut berpartisipasi investor lainnya SBI Holdings dan 9F Fintech Holdings Group, keduanya adalah investor existing yang masuk saat putaran seri B.

Dalam konferensi pers yang digelar secara online, Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi menjelaskan, dana segar akan digunakan untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai p2p lending terdepan untuk UKM dan mendukung bisnis perusahaan di Thailand dan Filipina.

“Pendanaan ini sudah close dari pertengahan Maret 2020. Untuk close round, kita masih paralel diskusi dengan potensi investor lainnya. Apakah ada kenaikan dari sisi jumlah [funding], masih dalam proses. Kita tidak buru-buru karena kita well capitalized,” terangnya, Rabu (8/4).

Adrian juga mengutarakan pendanaan yang diterima di tengah pandemi ini, membuktikan kepercayaan kuat investor terhadap strategi dan tim manajemen perusahaan. “Platform dan kondisi finansial yang kokoh memungkinkan perusaahaan untuk mengatasi iklim saat ini secara percaya diri.”

Masuknya MUFG dan BRI lewat masing-masing venturanya ke Investree, memungkinkan perusahaan untuk perdalam kemitraan. MUFG adalah salah satu pemilik saham Bank Danamon. Sinergi dengan kedua bank ini, sambungnya, bukan hal baru. Sebelumnya, Investree sudah mulai menjalin sejak 2016 dengan Bank Danamon dan 2018 dengan BRI.

Presiden dan CEO MUIP Nobutake Suzuki mengatakan, keyakinannya untuk berinvestasi ke Investree karena perusahaan tersebut punya fundamental yang baik dari sisi performa, legalitas, dan latar belakang petingginya yang matang di dunia finansial. Di samping itu, dia melihat secara industri, Investree punya peluang yang besar untuk memimpin pasar lending untuk UKM.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menambahkan, pihaknya tertarik dengan Investree karena mereka berhasil melayani segmen usaha underserved, seperti industri kreatif. Bagi institusi finansial konvensional, segmen ini cenderung penuh risiko. “Kami percaya kolaborasi antara grup BRI dan Investree yang telah berlangsung sejak 2018 mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.”

Investree mengantongi pendanaan seri B dengan nilai dirahasiakan pada pertengahan 2018. Pada saat itu, putaran dipimpin oleh SBI Holdings Inc, lalu diikuti oleh MCI, Persada Capital, Endeavor Catalyst, 9F Fintech Holdings Group, dan Kejora Ventures.

Rencana Investree berikutnya

Adrian melihat, di tengah pandemi yang masih berlangsung, perusahaan akan masuk sektor industri yang tumbuh hijau yakni kesehatan dan telekomunikasi. Dua sektor ini dinilai punya peluang yang signifikan dan bisa dibantu lewat pembiayaan, apalagi saat ini industri kesehatan menjadi garda terdepan dalam melawan pandemi.

Di samping itu, untuk menekan laju kredit macet, perusahaan sudah menetapkan serangkaian mitigasi risiko, seperti menggunakan asuransi kredit, restrukturisasi dan reschedule yang dilihat kasus per kasus. Bagaimana performa para peminjam tersebut dan seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap bisnis mereka.

“Sampai saat ini kita sedang diskusi dengan beberapa borrower dari perhotelan dan ritel. Kita lihat case by case apa yang bisa kita lakukan. Apakah dampaknya jangka pendek, perlu direstrukturisasi. Kita sudah siapkan template-nya dan siap disampaikan ke lender karena kita bukan pemberi pembiayaannya.”

Terkait ekspansi perusahaan ke Thailand dan Filipina, sejauh ini masih dalam tahap pemrosesan izin usaha. Bila tidak ada aral melintang, diperkirakan paling lambat pada kuartal ketiga tahun ini izin bisa dikantongi. “Sejauh ini proses perizinan masih sesuai rencana kita dan belum ada perubahan.”

Adrian juga memastikan perusahaan hanya fokus pada tiga negara sepanjang tahun ini. Thailand dan Filipina sebelumnya dipilih karena keduanya punya masalah yang sama dengan Indonesia, yakni rendahnya penetrasi pinjaman modal usaha untuk UKM.

“Kami masuk ke dua negara ini dengan menggandeng mitra lokal yang tahu bisnis dan regulasi di sana seperti apa.”

Hingga awal April 2020, perusahaan membukukan total pinjaman sebesar Rp5,11 triliun dan nilai pinjaman tersalurkan Rp3,83 triliun. Rata-rata tingkat pengembalian mulai 16% dan TKB90 90%. Ada 1297 peminjam yang terdiri dari individu dan institusi.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Metrik “Customer Lifetime Value” dalam Startup

Membangun startup tidak hanya mengandalkan metrik traction untuk validasi bisnis. Pada perjalanannya, founder juga perlu memikirkan metrik lainnya untuk memastikan kelangsungan bisnis.

Salah satu metrik utama adalah Customer Lifetime Value (CLV) atau nilai umur pelanggan, tentang bagaimana pelanggan dapat memberikan pengaruh besar terhadap bisnis startup.

Metrik ini acapkali dilupakan. Padahal CLV dapat membantu startup untuk mengukur pendapatan dan investasi yang dihabiskan untuk memperoleh pelanggan.

Apa saja hal-hal penting lainnya yang bersinggungan dengan CLV dan bagaimana cara menghitung metrik ini? Selengkapnya simak paparan Co-founder dan CEO Investree Adrian A Gunadi pada sesi #SelasaStartup berikut ini:

Strategi navigasi P2P lending

Adrian menekankan pentingnya memetakan strategi bernavigasi. Pasalnya, industri fintech sangat teregulasi dan diawasi ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika bicara soal ‘bakar uang’ dan regulasi, kedua hal ini tentu sangat bertolak belakang.

Yang perlu ditekankan adalah bagaimana pemain Peer-to-Peer (P2P) lending dapat bernavigasi dan tetap menyeimbangkan posisinya pada industri yang memiliki regulasi ketat.

Sejalan dengan perkembangan bisnis, startup harus mempertahankan keseimbangan saat melakukan ‘bakar uang’ dan menjaga pendapatan tetap naik.

“Karakter dan tantangan pada startup adalah mereka harus tumbuh dan scale dengan cepat. Makanya strategi navigasi ini penting karena kedua poin tersebut sering dikaitkan dengan ‘bakar uang’ dan regulasi,” sebutnya.

Eksplorasi pasar B2B

Bagi sejumlah pemain P2P lending, pasar Business-to-Business (B2B) dianggap lebih menarik dibandingkan Business-to-Consumer (B2C). Tentu saja, mencari traction pada segmen B2C lebih mudah. Namun, bukan itu.

Pentingnya menentukan target pasar akan sangat berkaitan dengan bagaimana sebuah startup melakukan bakar uang. Bagi Adrian, B2B menjadi lebih menarik karena biaya akuisisi pelanggan jauh lebih rendah dibandingkan B2C.

Berdasarkan riset Roland Berger di 2016, sebagaimana dikutip Adrian, alasan mayoritas pemain fintech di Eropa memilih segmen B2B adalah dapat menghasilkan pendapatan lebih maksimal.

“Sejak awal Investree tidak bermain di ranah B2C karena impact B2B terhadap pendapatan akan lebih tinggi. Ini patut menjadi pertimbangan bagi startup. Lagipula, semakin startup berkembang, investor tidak hanya akan melihat growth, tetapi juga profitabilitas,” paparnya.

Di sisi lain, pasar B2B juga dapat dieksplorasi lebih lanjut, seperti e-procurement. Sebagai startup yang juga masu ke ranah ini, Adrian menilai e-procurement berpotensi besar bagi P2P lending, terutama dapat mendorong lebih banyak borrower.

Ia mencontohkan bagaimana Investree mengakuisisi platform e-procurement Mbiz dan melakukan pendekatan ke Telkom dan Unilever. Yang diincar bukan mereka sebagai korporasi besar, tetapi vendor atau pihak ketiga yang menangani iklan dan event perusahaan ini.

Vendor-vendor ini kebanyakan berada di skala UKM yang membutuhkan cashflow yang jelas. Dengan e-procurement, Investree dapat membantu vendor Unilever maupun Telkom supaya dibayar lebih cepat.

“Kita tahu rata-rata pembayaran procurement vendor itu 90-120 hari. Bahkan ada yang 150 hari. Dengan melebarkan solusi ke ranah ini, ini bisa memudahkan pembayaran vendor,” jelas Adrian.

Menghitung CLV dan timing tepat menyetop ‘bakar uang’

Disebutkan sebelumnya bahwa penentuan target pasar akan berkaitan erat dengan bagaimana startup menentukan strategi bakar uang.

Jika sebuah startup mulai bicara tentang Customer Lifetime Value, pertanyaannya adalah sampai kapan harus melakukan strategi ‘bakar uang’ demi mengakuisisi pelanggan?

Sebagai pelaku P2P lending, Adrian memiliki perhitungan CLV sendiri, yakni pendapatan yang diperoleh borrower selama menjadi borrower di Investree. Jika hanya meminjam dana satu kali, artinya CLV juga hanya satu kali.

Kemudian, biaya untuk akuisisi pelanggan. Investree memperhitungkan beberapa komponen biaya, mulai dari biaya promosi, biaya tenaga kerja yang dipakai untuk memperoleh pengguna, hingga biaya processing. 

“Bobot setiap komponen berbeda. Akan tetapi, cost harus dihitung sampai borrower memberikan pendapatan ke Investree. Begitu ada opex dan gaji yang harus dibayarkan, startup sudah harus menghitung [CLV] karena growth tanpa pendapatan tidak sustain,” ucapnya.

Umumnya setelah tahun pertama, startup perlu menghitung metrik untuk memastikan bahwa penggunaan investasi untuk ‘bakar uang’ tidak lebih tinggi dari pendapatan yang diterima.

“Perhitungannya adalah CLV dibagi [biaya] akuisisi pelanggan. Di industri B2B, yang dianggap bagus anything above dua kali. Kalau Investree, average empat kali karena kita ada ekosistem yang mendukung sehingga faktor pembilangnya jauh lebih besar,” papar Adrian.

Pentingnya melakukan kolaborasi

Pada dasarnya, eksklusivitas bukan lagi yang utama dalam berbisnis. Adrian juga menekankan pentingnya berkolaborasi dengan ekosistem inti dan pendukung di industri P2P lending untuk menciptakan nilai lebih.

“Daripada mengajukan lisensi [bisnis tertentu], misalnya, lebih baik kita kerja sama dan menciptakan nilai masing-masing bagi bisnis,” katanya.

Adrian kembali mencontohkan bagaimana Investree menghadapi tantangan dalam meningkatkan konversi pada retail lender-nya. Menurutnya, retail lender cenderung menarik dana investasinya lebih cepat, apalagi untuk kebutuhan seasonal seperti hari raya dan liburan.

Retail lender itu tidak sticky ya. Kalau kita ingin masuk ke Telkom [untuk e-procurement], Telkom sebagai anchor partner tentu butuh kepastian bahwa Investree bisa mendukung,” ujarnya.

Hal ini membuat Investree tidak dapat mengukur sustainability fund dan harus mengeluarkan biaya lagi. Untuk mengatasi hal ini, Investree akhirnya melakukan pendekatan ke institutional lender untuk menyeimbangkan segmen pemberi pinjaman dengan retail lender.

Potensi Perluasan “Cashless Society” di Indonesia

Sejak tahun 2017 lalu, lebih dari tiga perempat masyarakat Tiongkok menggunakan pembayaran digital dan jumlahnya terus meningkat dengan cepat. Dukungan infrastruktur, teknologi, dan penetrasi internet yang meluas menjadikan negara Tirai Bambu tersebut sebagai cashless society paling terdepan secara global.

Tidak hanya pembayaran nontunai, Tiongkok juga sudah menjadi negara di Asia yang mengalami pertumbuhan paling agresif dalam hal pembayaran peer-to-peer, di mana penggunanya bisa saling melakukan pembayaran menggunakan teks. Menurut laporan Worldpay, hampir dua pertiga penjualan online dan lebih dari sepertiga pembayaran di toko ritel dilakukan melalui operator mobile dompet elektronik terkemuka, termasuk Alipay dan WeChat Pay.

Posisi Indonesia saat ini

Meluasnya cashless society di Tiongkok, yang sudah memasuki kota tier 3 dan 4, menjadi motivasi tersendiri bagi Indonesia, yang memiliki program Strategi Nasional Keuangan Inklusif, untuk mengikuti jejaknya.

Pemerintah berupaya memfasilitasi perluasan kehadiran cashless society dengan dua cara. Pertama perluasan infrastruktur konektivitas hingga ke pelosok melalui peluncuran Palapa Ring, sebuah proyek infrastruktur telekomunikasi di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.

Dukungan lain adalah peluncuran QR Code Indonesian Standard (QRIS) ke publik. Resmi diterbitkan bulan Agustus 2019 lalu, QRIS yang berlaku per tahun 2020 diharapkan menghadirkan efisiensi lalu lintas transaksi menggunakan uang elektronik dan perangkat digital lain yang mengadopsi kode QR.

Menurut pihak Ovo dan Dana, dua tantangan untuk memperluas adopsi penggunakan layanan nontunai adalah infrastruktur dan edukasi. Hal kedua ini terkait kebiasaan penggunaan uang tunai yang sudah membudaya.

“Mengapa pada akhirnya kita lebih fokus kepada kota-kota di tier 1, karena lokasinya yang lebih luas juga kesiapan masyarakat di kawasan tersebut untuk mulai mengadopsi pembayaran nontunai untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga memudahkan kami untuk menjangkau mereka, meskipun misi kami tentunya bisa hadir secara nasional,” ujar CEO Dana Vincent Iswara.

Sudah stabilnya konektivitas internet yang didukung rutinitas setiap hari yang membutuhkan akses ke skema nontunai menjadikan Jabodetabek paling ideal sebagai pilot project berbagai layanan nontunai.

“Di Ovo sendiri hingga saat ini kami sudah berada di 354 kota termasuk kota-kota di Papua seperti Nabire dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan penyebaran informasi yang merata dan edukasi yang masif, memungkinkan inklusi finansial terjadi di kota-kota tersebut,” kata Managing Director Ovo Harianto Gunawan kepada DailySocial.

CEO Investree Adrian Gunadi berpendapat, “Tantangan untuk bisa menyebarkan adopsi cashless society ke mereka adalah edukasi. Setidaknya untuk tahapan awal edukasi wajib untuk diberikan. Edukasi tersebut bisa dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan komunitas desa, lembaga keuangan yang mungkin sudah tersebar ke pelosok desa tersebut yang bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan perluasan edukasi,”

Ia menambahkan, mulai maraknya startup yang menjangkau pedesaan dan menawarkan pembiayaan dan konsultasi untuk meningkatkan hasil lahan pertanian, paling tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk mempelajari data agar semua bisa terukur dengan baik.

“Dengan kehadiran dan strategi yang dilancarkan oleh pemain fintech tentunya akan bisa men-leverage dari infrastruktur tersebut. Tidak hanya kota-kota besar tapi juga pedesaan sehingga ekonomi bisa meningkat sesuai dengan komitmen awal kami sebagai pemain fintech meng-cater masyarakat yang masih underserved dan unbanked dengan tujuan mengakselerasi pertumbuhan,” kata Adrian.

QRIS mendorong cashless society

Bank Indonesia menciptakan QRIS untuk menyederhanakan sistem pembayaran menggunakan QR Code di seluruh Indonesia. QRIS berfungsi mendukung pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, atau mobile banking. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, QRIS akan menjadi standar QR Code tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia.

Adanya QRIS, menurut penyedia layanan dompet digital seperti Ovo dan Dana, dipercaya bisa mempercepat penyebaran cashless society di Indonesia secara merata. Harianto menegaskan, diterbitkannya QRIS secara efisien bisa menjadi leapfrog untuk mempercepat pemerataan inklusi finansial.

Harianto melihat jika semua berjalan secara bersama (perbankan, fintech lending, penyedia dompet digital) dan saling mendukung proses yang ada tentunya bisa terintegrasi. Bukan hanya memudahkan proses, transaksi kode QR dinamis tergolong lebih aman, karena mesin EDC menghasilkan kode QR yang unik. Sementara melalui kode QR statis cenderung riskan.

“Untuk itu saya menyambut baik jika semua kalangan mulai dari perbankan hingga sesama pemain untuk bekerja bersama dan saling melakukan kolaborasi demi terciptanya sinergi dan integrasi yang terpadu. Jika tujuan akhir adalah mempercepat pemerataan inklusi finansial, kolaborasi harus tercipta,” kata Harianto.

Vincent menambahkan, sudah waktunya para pemain untuk tidak melulu fokus ke strategi untuk meraup market share, tetapi lebih ke kerja sama dan tumbuh bersama.

Cashless society di masa mendatang

Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Tiongkok untuk bisa menjadi negara cashless society terbesar di Asia. Jika kita berandai-andai apakah nantinya Indonesia bisa memasuki fase tersebut, baik Ovo, Dana, maupun Investree melihat potensi yang ada cukup positif.

“Kita lihat saja saat ini Indonesia termasuk yang paling cepat mengadopsi kebiasaan melakukan pembayaran nontunai. Didukung dengan makin seamless-nya teknologi yang ditawarkan oleh kami sebagai penyedia layanan dan berkembangnya ekosistem pendukung, saya melihat bukan tidak mungkin Indonesia akan bisa menjadi negara dengan cashless society yang besar jumlahnya,” kata Harianto.

Hal senada juga diungkapkan Vincent. Menurutnya, dengan teknologi yang relevan dan dukungan pihak perbankan yang melihat penyedia layanan uang elektronik sebagai kolaborator, bisa mempercepat penyebaran cashless society yang lebih merata.

“Pekerjaan rumah yang masih menjadi beban bagi kami adalah bagaimana bisa meyakinkan masyarakat lebih banyak lagi untuk terbiasa melakukan pembayaran secara nontunai. Saya melihat di kota tier 1 dan 2 saja ada beberapa di antara mereka yang masih enggan untuk mengunduh aplikasi Dana untuk melakukan pembayaran secara nontunai, meskipun sudah kami dampingi saat acara-acara offline. Artinya masih ada mindset di antara mereka yang enggan untuk mencoba,” kata Vincent.

Kewirausahaan dengan Dampak Sosial-Ekonomi Jadi Fokus Endeavor di Scale Up Asia 2019

Kewirausahaan dengan dampak sosial-ekonomi yang signifikan menjadi fokus Endeavor Indonesia dalam ajang “Scale Up Asia 2019: Turning Point”. Chairman of The Board Endeavor Indonesia Harun Hajadi mengatakan, pihaknya mendapati 45 high-impact entrepreneur yang dipilih dari dua ribu unit usaha di seluruh Indonesia.

“Melalui kegiatan Scale Up Asia 2019, Endeavor Indonesia berharap agar semangat high-impact entrepreneurship dapat tersebar lebih luas di Indonesia, sekaligus menjadi sarana pendukung dalam pertumbuhan ekosistem wirausaha,” ujar Harun.

Menurut Harun, 45 pengusaha tadi adalah pimpinan dari 37 perusahaan. Ia menyebut usaha mereka semua telah menyumbang 10 ribu lapangan kerja secara langsung. Penciptaan lapangan kerja ini adalah contoh utama dampak ekonomi-sosial kewirausahaan yang baik.

Sementara itu Kepala Deputi Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hari Sungkari, menambahkan high-impact entrepreneur banyak diperlukan guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Ia mengatakan ekonomi digital punya potensi sebesar US$130 miliar atau Rp1.832 triliun pada 2025. Dengan potensi sebesar itu, wirausaha sektor ekonomi digital diharapkan menjadi ujung tombak ekonomi nasional.

“Melalui rangkaian acara Scale Up Asia 2019, para wiraswasta tidak hanya berkesempatan untuk berkonsultasi langsung mengenai masalah terkait bisnis yang mereka hadapi, tapi juga memiliki wadah untuk membahas isu dan tantangan terkait dunia usaha secara lebih komprehensif,” imbuh Hari.

Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadhi menambahkan, ajang yang dihelat oleh Endeavor Indonesia ini membantu dirinya mengakses jejaring internasional. “Selain itu, kesempatan ini juga membuka luas koneksi menuju pihak-pihak potensial yang bisa diajak bekerja sama untuk mengembangkan bisnis, serta membuka kesempatan lainnya yang semula belum terbayangkan. Diri dan perusahaan pun secara otomatis menjadi teraktualisasi.”

Endeavor sendiri merupakan gerakan kewirausahaan global. Di Indonesia, Endeavor telah beroperasi selama tujuh tahun dan mendukung 45 pengusaha tadi, salah satunya adalah Founder & CEO Bukalapak Ahmad Zaky.

Dalam ajang Scale-Up Asia 2019 ini, Endeavor menggelar rangkaian acara yang terdiri dari Pitch Up Competition, Scale Up Connect, dan Scale Up Clinic. Seperti namanya, Pitch Up Competition ini menyeleksi tiga startup terbaik dari 100 peserta. Mereka yang terpilih adalah Piniship (platform logistik untuk UKM), Mospaze (marketplace e-logistik dan gudang on-demand), serta Zendmoney (penyedia jasa multi-currency account yang memudahkan  konsumen dalam pembayaran).

Sementara Scale Up Connect merupakan wadah bagi para pengusaha untuk berjejaring mengenai ekosistem wirausaha di Indonesia yang diikuti oleh 50 pengusaha internasional. Terakhir, Scale Up Clinic merupakan kegiatan mentoring yang pada lima hal yakni: strategi pertumbuhan, pengumpulan dana, sumber daya manusia, marketing & sales, dan operasional.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Scale Up Asia

AFPI Bangun Pusat Data Fintech Demi Cegah Kredit Macet

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit. FDC memiliki kesamaan fungsi dengan BI Checking dari Bank Indonesia dan SLIK dari OJK. Perilisan FDC sekaligus bersamaan dengan hari jadi AFPI yang pertama.

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menerangkan, tujuan dibentuknya FDC adalah membuat data para anggota AFPI lebih terintegrasi. Hal ini sekaligus memperjelas peran dan fungsi AFPI sebagai self regulatory organization yang mewadahi industri fintech p2p lending.

FDC juga memastikan industri p2p lending di Indonesia lebih sehat karena menghindari potensi kredit macet, penipuan, dan penyaluran kredit yang berlebihan. Untuk itu AFPI mewajibkan seluruh penyelenggara yang terdaftar di bawah OJK untuk menyerahkan data pelanggan untuk dimasukkan ke data center tersebut.

“Setiap ada borrower atau peminjam yang mau ambil pinjaman, penyelenggara wajib cek data mereka di FDC. Jika peminjam pernah bermasalah atau tidaknya, baru setelah itu baru ambil keputusan. Ini wajib dilakukan oleh penyelenggara,” terangnya, Senin (11/11).

Adapun data nasabah yang dimasukkan dan bisa diakses di data center antara lain NPWP, KTP, dan kolektabilitas kredit. Nama penyelenggara dirahasiakan demi kepentingan bersama.

Adrian mencontohkan, saat ini ada 15 perusahaan yang berpartisipasi dalam uji coba FDC. Beberapa nama di antaranya adalah Amartha, Danamas, Dompet Kilat, Finmas, Investree, Kimo, KlikACC, KoinWorks, Kredit Pintar, KTA Kilat, Maucash, Modalku, Taralite, Tokomodal, dan UangTeman.

Dari situ ada beberapa statistik yang berhasil dikumpulkan, misalnya borrower individu yang meminjam lebih dari satu penyelenggara sekitar 800 ribu orang. Angka tersebut didapat dari pengurangan jumlah borrower 2,9 juta orang dan jumlah borrower unik 2,1 juta orang.

Begitupun untuk peminjam dari skala perusahaan. Mereka yang meminjam di lebih dari satu penyelenggara ada 3 ribuan perusahaan. Angka tersebut diambil dari pengurangan jumlah borrower 19.826 dengan borrower unik sebesar 16.129.

Dari data tersebut diperoleh data seperti ada yang meminjam di 73 penyelenggara namun gagal bayar di 21 penyelenggara atau meminjam ke 53 penyelenggara, tapi gagal bayar di 49 penyelenggara. Hal ini diharapkan bisa diantisipasi lebih baik lagi.

Tentu saja bukan berarti pinjam di lebih dari satu perusahaan selalu buruk. FDC mencatat ada satu peminjam yang telah meminjam hingga 111 kali tapi tidak memiliki kredit macet sama sekali.

Perkaya data dari sumber lain

Saat ini, seluruh data nasabah wajib disampaikan penyelenggara setiap hari menjelang akhir hari ke dua regulator, yakni pusat Pusdafil OJK dan FDC AFPI. Setelah itu data yang persis sama akan direkonsiliasi di OJK.

Berikutnya, para penyelenggara diwajibkan untuk mengecek data di FDC, berbasis situs, sebelum memberikan pinjaman ke peminjam. Di sini diharapkan dapat menghindari risiko kredit macet dan potensi penipuan.

Adrian menjelaskan, untuk menjaga data-data tersebut tidak disalahgunakan oleh penyelenggara, OJK dan AFPI hanya akan memberi izin pengecekan data bila data tersebut memang tengah mengajukan pinjaman atau tengah dalam proses peminjaman.

Bila ada pelanggaran, asosiasi tidak segan-segan mencabut akses FDC maupun mencabut keanggotaan. “Di luar dua alasan tersebut, tidak boleh melakukan pengecekan. Apabila terbukti melakukan, aksesnya kami cabut dan tidak bisa jadi anggota AFPI lagi.”

Asosiasi akan mewajibkan seluruh penyelenggara yang terdaftar di bawah OJK untuk menyerahkan data nasabah paling lambat sampai akhir November 2019. OJK mencatat ada 144 penyelenggara yang terdaftar. “Kalau belum ada sampai akhir November, ya kita akan berikan warning.”

Mengingat seluruh data yang diinput menjelang akhir hari setiap harinya, alhasil data yang diakses penyelenggara tidaklah real time. Dia menyebut ke depannya, asosiasi akan mempersiapkan FDC agar dapat menyajikan data secara real time, paling lambat pada kuartal pertama 2020 mendatang.

Berikutnya FDC akan dilengkapi dengan sumber data dari pihak lain, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, asuransi, multifinance, perbankan, dan pasar modal. Saat ini FDC dapat diintegrasikan dengan BI Checking dan SLIK.

Mbiz Collaborates with Investree to Provide Financial Service

After previously reported in a strategic partnership with fintech lending, Mbiz officially announced Investree as the new associate to support financing for suppliers. Mbiz’ CEO, Rizal Paramarta said the company will be focused on supplier financing of SMEs in order to finalize the project through Mbiz platform and Mbizmarket.

“There are currently many SMEs having difficulty in meeting the client’s standard, [..] for being corporate and enterprise supplier, payment should be done after the project finished. In order to manage the financial system, they need a big amount of cash.”

He also mentioned the payment terms can affect business productivity in related companies, especially when the time does not meet the expectation or the current financial management terms. The issue might occur not only in SME-level but also suppliers with bigger management.

Adrian Gunadi, Investree’s CEO said the partnership with Mbiz considered as a strategic step on channel acquisition. The main objective is to reach broader coverage of SMEs in an efficient way.

“All borrowers will experience seamless lending process using integrated technology of Investree and Mbiz. They offer loans of Invoice Financing, Pre-Invoice Financing, and Buyer Financing. Those products are included in Investree‘s supply chain,” he said.

Although Mbiz has recently introduced its marketplace platform targeting SMEs called Mbizmarket, it can also be utilized by companies within the Mbiz ecosystem.

In terms of partnership extension with other financial institutions or fintech lending, Paramarta emphasized on its current focus to observe the strategic partnership with Investree. However, we keep the door open for those who want to collaborate with Mbiz.

Earlier, Mbiz has launched a leasing service with Tokyo Century Corporation, the biggest financing company in Japan.

Overall, the number of e-procurement players using Mbiz and Mbizmarket platform is increasing. It also involves companies of various scale, from giant corporates to SMEs. Since 2018, Mbiz has recorded an increasing number in service and product procurement company (60%), and service and product purchasing company (40%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gandeng Investree, Mbiz Hadirkan Akses Layanan Finansial

Setelah sebelumnya diberitakan telah menjalin kerja sama strategis dengan layanan fintech lending, Mbiz mengumumkan secara resmi kemitraan dengan Investree untuk membantu supplier mendapatkan pembiayaan. CEO Mbiz Rizal Paramarta menyebutkan, fokus Mbiz adalah memberikan pembiayaan ke supplier dari kalangan UKM guna menyelesaikan proyek melalui platform Mbiz dan Mbizmarket.

“Saat ini masih banyak supplier kalangan UKM yang kesulitan untuk memenuhi permintaan dari klien, [..] untuk menjadi supplier korporasi dan enterprise pembayaran dilakukan setelah proyek selesai. Untuk bisa mengatur keuangan mereka, diperlukan dana besar dari para supplier.”

Rizal menambahkan, termin pembayaran dapat mempengaruhi akselerasi produktivitas bisnis perusahaan-perusahaan yang terlibat, terutama jika waktu yang ditentukan tidak sesuai dengan ekspektasi atau kebijakan manajemen keuangan yang berlaku. Situasi ini bisa terjadi tidak hanya di bisnis UKM tetapi juga penyedia maupun pembeli berskala besar.

Menurut CEO Investree Adrian Gunadi, kerja sama antara Investree dan Mbiz ini merupakan salah satu langkah strategis penjualan perusahaan dalam bentuk acquisition channel. Tujuan utamanya mendukung target pertumbuhan Investree tahun 2020 mendatang. Hal ini merupakan salah satu strategi perusahaan untuk menjangkau pengusaha UKM di daerah-daerah lain seluruh Indonesia dengan lebih efisien.

“Nantinya semua borrower akan menikmati proses pengajuan pinjaman yang seamless dengan memanfaatkan integrasi teknologi antara Investree dan Mbiz. Jenis pinjaman yang ditawarkan dalam kerja sama ini adalah Invoice Financing, Pre-Invoice Financing, dan Buyer Financing. Ketiga produk tersebut termasuk dalam produk pembiayaan supply chain di Investree,” kata Adrian.

 

Meskipun saat ini Mbiz telah memperkenalkan platform marketplace yang menyasar konsumen UKM bernama Mbizmarket, pembiayaan  ini juga bisa dimanfaatkan perusahaan-perusahaan yang ada di ekosistem Mbiz.

Disinggung apakah nantinya Mbiz berencana untuk memperluas kemitraan dengan institusi keuangan atau layanan fintech lending lainnya, Rizal menegaskan fokus mereka saat ini melihat perkembangan kerja sama strategis dengan Investree terlebih dahulu. Namun jika ada pihak-pihak terkait yang ingin menjalin kolaborasi dengan Mbiz, tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama strategis lainnya.

Sebelumnya Mbiz juga telah menghadirkan layanan leasing menggandeng Tokyo Century Corporation, perusahaan pembiayaan terbesar di Jepang.

Secara keseluruhan, pelaku e-procurement yang memanfaatkan platform Mbiz dan Mbizmarket saat ini diklaim terus mengalami peningkatan. Skala perusahaan yang memanfaatkan platform mereka juga beragam, mulai dari perusahaan besar hingga UKM. Dibandingkan dengan tahun 2018 lalu, tahun ini Mbiz mencatat jumlah perusahaan penyedia barang dan jasa meningkat 60%, sedangkan perusahaan pembeli barang dan jasa meningkat hingga 40%.

 

DStour #62: Berkunjung ke Kantor Investree

Terletak di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, kantor layanan peer-to-peer lending Investree mengadopsi konsep open space dengan desain warna cerah yang mengikuti tema kantor perusahaan teknologi ternama, seperti Google. Kantor Investree dilengkapi ruang kerja, lounge, pantry, dan ruangan kolaborasi yang luas untuk pegawai bernama breakout room.

Dipandu CEO Investree Adrian Gunadi, berikut liputan #DStour selengkapnya.

Tahun Ini AFPI Ingin Benahi “Code of Conduct” Penyelenggaraan P2P Lending

Setelah resmi ditunjuk sebagai asosiasi yang mewadahi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi (p2p lending) oleh OJK, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) saat ini tengah bersiap untuk melancarkan lima hal yang menjadi fokus utama. Hal pertama yang menjadi perhatian dari AFPI adalah persoalan Code of Conduct untuk anggota dan penyelenggara p2p lending pada khususnya.

Kepada DailySocial Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menyebutkan, nantinya akan ada standardisasi yang tertata terkait dengan cara penagihan, pricing dan disclosure information. Dengan demikian AFPI sebagai mitra resmi OJK bisa mengawasi dan menegur jika adanya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota.

“Sebenarnya selama ini Code of Conduct sudah ada, hanya enforcement-nya tidak berjalan dengan efektif karena memang belum ada asosiasi yang ditunjuk secara resmi oleh OJK untuk menjalankan Code of Conduct,” kata Adrian.

Selain Code of Conduct, selama tahun 2019 ini, AFPI juga mulai fokus untuk memberikan edukasi bukan hanya kepada masyarakat umum tapi juga media hingga pemangku kebijakan. AFPI ingin memastikan informasi yang tersebar adalah akurat dan relevan, bahwa p2p lending saat ini sudah banyak membantu bukan hanya UKM tapi juga sektor pendidikan, kelautan hingga perikanan.

Sertifikasi resmi dari OJK

Hal lainnya yang bakal menjadi fokus dari AFPI di tahun 2019 ini adalah persoalan sertifikasi atau pemberian izin resmi dari OJK terhadap anggotanya. AFPI menginfokan dalam kuartal pertama 2019 bakal ada beberapa penyelenggara p2p lending yang akan mengantongi izin resmi dari OJK.

“Sebagai mitra saya melihat harusnya OJK sudah lebih mudah dan lebih nyaman untuk memberikan izin resmi kepada anggota AFPI. Hal tersebut yang juga menjadi prioritas dari AFPI,” kata Adrian

Secara keseluruhan saat ini anggota yang masuk ke dalam AFPI sudah berjumlah sekitar 99 institusi. AFPI mencatat ada sekitar 50-60% dari jumlah anggota yang menyasar kepada consumer. Nantinya AFPI akan membagi kategori tersebut secara terpisah, terutama penyelenggara yang masuk dalam kategori fintech lending productive, UKM, consumer hingga syariah.

“Untuk syariah sendiri AFPI mencatat akan ada beberapa anggota baru yang fokus kepada fintech syariah tahun ini. Dengan demikian diharapkan fintech syariah akan semakin bertambah lagi jumlahnya,” kata Adrian.

Sementara itu terkait dengan rencana AFPI dan OJK untuk membangun Pusat Data Fintech Lending, Adrian menegaskan saat ini hal tersebut masih menjadi perhatian dari AFPI. Berdasarkan informasi transaksi yang dibagikan oleh anggota, diharapkan AFPI bisa meminimalisir terjadinya over leverage dari sisi pengguna yang melakukan lebih dari satu pinjaman online.

Lalu, anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan terindikasi fraud, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.

“Saat ini kami mencatat semua anggota AFPI secara keseluruhan total aset atau loan yang sudah difasilitasi total per Desember 2018 kurang lebih sekitar Rp22 triliun. Dari sisi NPL angkanya juga cukup terjaga yaitu berada di angka 1,4%,” kata Adrian.