Pitik Dapat Pendanaan Seri A 206 Miliar Rupiah Dipimpin Alpha JWC Ventures

Startup pengembang inovasi teknologi peternakan “Pitik” hari ini (19/5) mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $14 juta atau setara 206 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dengan partisipasi dari investor sebelumnya, yakni MDI Ventures dan Wavemaker Partners.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pitik resmi meluncur pada pertengahan 2021 diprakarsai oleh Arief Witjaksono dan Rymax Joehan. Mereka berambisi menghadirkan solusi teknologi end-to-end memberdayakan peternak unggas di Indonesia. Termasuk menghadirkan kemudahan dari sisi pembiayaan dan efisiensi rantai pasok.

Dengan dana segar yang dibukukan ini, Pitik akan memperluas ekosistem layanannya ke lebih banyak peternak ayam di Indonesia. Termasuk dengan memperkuat tim di seluruh divisi yang ada.

Selain itu, Pitik akan terus mengembangkan teknologi canggih dan produk automasi yang akan meningkatkan produktivitas pertanian lebih jauh. Perusahaan juga menargetkan membangun kehadiran di seluruh wilayah Jawa tahun ini dan memperluas ke pulau-pulau lain pada tahun 2023. Perusahaan juga akan memperluas bisnisnya ke layanan hilir seperti pemrosesan dan distribusi ke pengguna akhir.

Permasalahan di peternakan unggas

Sektor peternakan di Indonesia memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Menurut data, konsumsi daging ayam pada 2020 mencapai 7,9 kg per kapita, setara 3,5 juta kg per tahun. Diproyeksikan akan terus meningkat hingga 9,32 kilogram per kapita pada tahun 2029.

Kendati demikian, Pitik masih melihat adanya inefisiensi dalam sistem produksi dan rantai pasok produk ayam segar. Sistem produksi yang buruk dinilai mengakibatkan tingkat kematian unggas nasional 5-8x lebih tinggi dari rata-rata global. Sementara manajemen yang buruk membuat kebocoran pendapatan tahunan hingga 2 miliar Rupiah di tiap peternakan.

Solusi yang dihadirkan Pitik berupa platform manajemen peternakan. Perangkat lunak tersebut turut terhubung dengan sensor berbasis IoT yang diterapkan di kandang — menghasilkan model smart farming. Sehingga peternak bisa melakukan pemantauan lebih akurat terkait kondisi kandang dan perkembangan unggasnya.

Perangkat IoT Box Pitik yang dipasang di peternakan / Pitik

Di sisi lain, platform juga mendemokratisasi layanan pasok, menghubungkan petani dengan mitra terpercaya untuk menjual hasil panennya. Layanan pembiayaan turut dihadirkan untuk meningkatkan kapabilitas bisnis petani — data-data yang dihasilkan dianalisis sebagai potensi ternak untuk menghasilkan skoring kredit yang lebih kredibel.

Berdasarkan data terbaru, pemanfaatan layanan tersebut oleh Kawan Pitik (sebutan untuk mitra petani) diklaim bisa menekan angka kematian hingga 50% dan meningkatkan rasio konversi pakan 12% dibandingkan rata-rata nasional, yang akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.

Dalam 6 bulan terakhir, Pitik telah meningkatkan ukuran jaringan pertaniannya lebih dari 10x lipat melalui kemitraan dengan ratusan petani di 53 kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari jaringan peternak ini, Pitik saat ini menjual lebih dari 16 juta ekor ayam per tahun.

“Kami telah membuktikan bahwa teknologi kami efektif dalam membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan ekosistem kami mampu memberikan layanan bernilai tambah bagi petani. Impian besar kami adalah memberdayakan semua peternak unggas di Indonesia melalui layanan terpadu kami dan memastikan kami dapat meningkatkan taraf hidup mereka,” kata Co-Founder & CEO Pitik Arief Witjaksono.

Pertumbuhan startup di bidang peternakan

Di tengah potensi Indonesia sebagai penghasil ternak, beberapa startup hadir memunculkan solusi inovatif. Baik untuk membantu petambak udang, ikan, hingga peternak unggas. Selain Pitik, ada pemain lain yang juga mencoba membantu efisienkan proses bisnis di peternakan ayam, salah satunya Chickin. Berawal dari sebuah B2B commerce daging ayam untuk horeka, kini mereka turut kembangkan teknologi IoT untuk optimalkan manajemen kandang.

Tentu ini menjadi angin segar untuk para pelaku bisnis. Dari banyak riset yang dilakukan, mereka memang masih menghadapi banyak isu klasik. Seperti akses ke modal dan input produksi, masalah produksi (seperti inefisiensi pakan, penyakit, kualitas benih dan teknologi budidaya), dan masalah pasca produksi (seperti harga di tingkat petani yang rendah karena rantai pasokan yang panjang). Hal tambahan lainnya, seperti infrastruktur dan kebijakan yang tidak tepat, juga menjadi tantangan.

Harapannya, tentu adanya teknologi pendukung ini benar-benar bisa mendemokratisasi model bisnis yang ada. Dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hasil ternak dan pemasukan dari para peternak. Di samping untuk memastikan supply dari pasar terpenuhi dengan baik dari produsen dalam negeri.

“Kami telah membuka peluang bisnis hulu di bidang peternakan unggas. Memperluas ke hilir berarti kami dapat membantu petani mengekstraksi margin yang lebih tinggi dari rantai nilai. Ini selaras dengan misi kami untuk menjadi mitra petani di semua titik perjalanan pertanian,” kata Co-Founder & COO Pitik Rymax Joehana.

Ia melanjutkan, “Tidak hanya itu, ini juga berarti kami dapat menyediakan ayam yang lebih sehat dan berkualitas tinggi untuk konsumen Indonesia karena produk yang dijual oleh Pitik bersumber dari jaringan petani kami dengan standar kontrol kualitas dan pemantauan produk yang paling ketat.”

Application Information Will Show Up Here

ARIA Agritech’s Strategy to Produce New Generation of Indonesian Farmers

One of the biggest obstacles in the agriculture industry is the lack of interest among young generation of becoming farmers. The large amount of land to be cultivated using conventional methods also makes it difficult for most farmers to optimize their performance.

In fact, when there is a pest attack, farmers should have anticipated quickly and it usually requires a large number of workers to carry out the process. As a result, many farmers experienced crop failures and large losses because it was too late to overcome the issue.

Through this problem, ARIA, as an agritech startup, comes with a solution to increase productivity using drones and IoT, while providing prevention and predictive agricultural solutions to large-scale farmers and plantations. In addition, the idea for developing this product is to help farmers and plantation owners get good agricultural products, while at the same time attracting more young farmers to enter the agricultural sector.

ARIA’s Co-Founder & CEO, William Sjaichudin revealed to DailySocial, starting with drone technology, they wanted to be an agritech platform that could help farmers get quality agricultural products with the right planting process, while minimizing labor work in the field.

“Most agritech platforms in Indonesia are currently focused on the supply chain. However, many of them are complaining about the low quality of farmers’ harvests. With the technology and services we have, we want to overcome these problems and focus on quality control,” William said.

Focus on B2B segment

ARIA’s drone spray technology

ARIAwas co-founded by Arden Lim (CPO) and Yosa Rosario (COO). Currently, they operate two business verticals, B2B companies such as plantations and forestry. Especially for B2B clients, ARIA provides SaaS technology that helps them to carry out the planting process using directly connected data, so they can carry out accurate spraying activities.

Meanwhile, for both individual and farmers who own plantations, they expect to apply the best practices that previously been applied to large companies such as Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, and as ARIA’s current clients.

“Our target this year is to be able to serve 60 to 70 percent of B2B clients and 30 percent to farmers. We hope that ARIA can also help through programs owned by local governments and available vacant land,” William added.

Starting from technology, ARIA is quite confident to create jobs that attract the new potential farmers in Indonesia. Therefore, the regeneration of farmers can run well, replacing the farmers who are currently fewer in number and most of them have aged.

From the responses of farmers in various regions who welcome their mapping technology and drone spray, ARIA sees the potential to be able to produce new young farmers and drone pilots in the future.

“For the drone pilots, we currently have around 16 people and targeting to grow 40 more by the end of the month. Our drone pilots come from each region, adjusting the demand from the units ordered,” William said

ARIA adopts a business model as a service company. As buying and selling drones is difficult, their way of running a business is to provide drones at a low cost,  service per hectare. Thus, it can be more affordable for farmers. In order to integrated services, ARIA also collaborates with Bayer in the supply of chemicals for agriculture.

“In the future, we want to be able to make our own drones. What distinguishes us from other platforms is our direct approach by providing solutions. We are an end-to-end software and hardware platform for farmers,” William said.

Early stage fundraising plan

Currently, ARIA has secured pre-seed funding, which was organized and led by GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures and market leaders in agriculture and logistics such as Triputra Group, Waresix, and Sahabat Group who participated in this series.

ARIA will use this funding to develop its infrastructure network and quickly establish distribution points in 17 branches spread across Indonesia to reach 40 billion hectares of ARIA’s potential market. This development was also accompanied by the purchase of a large drone fleet, as well as the development of a key IoT asset in the form of tracking technology to provide value and impact of change for ARIA customers.

“It is very important for ARIA to deal with the regeneration of young Indonesian farmers, who are constrained by limited land and suffer from working in low-income professions throughout Indonesia. Farmers in Indonesia are slowly dying. ARIA’s vision is to grow a new generation of young millennial farmers who are tech-savvy and able to compete and develop at a global level,” William said.

In order to get a strategic partner who can help ARIA open up more opportunities, in the near future ARIA will also complete an early stage fundraising. It’s in the finalizing stage, according to the plan, ARIA will get the fresh funds at the end of March.

“The biggest advantage in Indonesia as an agriculture country is being a farmer. However, as they are still using the conventional methods, the opportunities and benefits that can be obtained by farmers stay limited. Through ARIA, we want to make the farming profession more profitable,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ambisi Startup Agritech ARIA Lahirkan Generasi Baru Petani di Indonesia

Salah satu kendala yang saat ini masih menjadi tantangan bagi pertanian adalah kurangnya minat petani muda untuk terjun ke bidang pertanian. Besarnya lahan yang harus digarap menggunakan cara dan metode lama juga menyulitkan sebagian besar petani untuk mengoptimalkan kinerja mereka.

Belum lagi jika ternyata ada serangan hama yang harus diantisipasi cepat, biasanya membutuhkan jumlah pekerja yang cukup besar untuk melakukan proses tersebut. Hasilnya banyak dari petani yang mengalami gagal panen dan kerugian yang cukup besar karena terlambat untuk diatasi.

Melihat masalah tersebut, ARIA yang merupakan startup agritech hadir dengan solusi untuk meningkatkan efisiensi produktivitas melalui penggunaan drone dan IoT, sekaligus menyediakan pencegahan dan prediksi solusi agrikultur kepada para petani dan perkebunan skala besar. Selain itu, motivasi pengembangan produk ini adalah untuk membantu petani dan pemilik perkebunan bisa mendapatkan hasil pertanian yang baik, sekaligus memancing lebih banyak petani muda untuk masuk ke sektor pertanian.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO ARIA William Sjaichudin mengungkapkan, berawal dari teknologi drone, mereka ingin menjadi platform agritech yang bisa membantu petani mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas dengan proses penanaman yang tepat, sekaligus meminimalisir penggunaan tenaga kerja di lapangan.

“Kebanyakan saat ini platform agritech di Indonesia lebih fokus kepada rantai pasok. Namun banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan masih rendahnya kualitas panen petani. Dengan teknologi dan layanan yang kami miliki, kami ingin mengatasi masalah tersebut dan fokus kepada quality control,” kata William.

Fokus di segmen B2B

Teknologi drone spray milik ARIA

Aria turut didirikan oleh Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Saat ini ada dua vertikal bisnis yang disasar oleh ARIA, yaitu perusahaan B2B seperti perkebunan dan kehutanan. Khusus untuk klien B2B, ARIA memberikan teknologi SaaS yang membantu mereka untuk melakukan proses penanaman memanfaatkan data yang terhubung langsung, sehingga bisa melakukan aktivitas penyemprotan yang akurat.

Sementara untuk petani baik itu yang individu hingga petani yang memiliki perkebunan, harapannya bisa menerapkan best practice yang telah diterapkan kepada perusahaan besar seperti Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, dan lainnya yang merupakan klien dari ARIA saat ini kepada mereka.

“Target kami tahun ini bisa melayani klien B2B sebanyak 60 hingga 70% dan ke petani sebanyak 30%. Kita harapkan melalui program yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan lahan kosong yang ada bisa membantu ARIA,” kata William.

Berangkat dari teknologi, ARIA cukup yakin bisa menciptakan lahan pekerjaan yang menarik perhatian calon petani baru di Indonesia. Sehingga regenerasi petani bisa berjalan dengan baik, menggantikan para petani yang saat ini makin sedikit jumlahnya dan kebanyakan sudah masuk dalam usia tua.

Dilihat dari respons para petani di berbagai daerah yang menyambut baik teknologi pemetaan dan drone spray yang mereka miliki, ARIA melihat ada potensi untuk bisa melahirkan petani muda baru dan drone pilot ke depannya.

“Untuk drone pilot sendiri saat ini kami sudah memiliki sekitar 16 orang dan targetnya bisa bertambah hingga 40 lebih hingga akhir bulan nanti. Drone pilot kita berasal dari masing-masing daerah, menyesuaikan demand dari unit yang dipesan,” kata William

Model bisnis yang diterapkan oleh ARIA adalah sebagai service company. Karena jual beli drone terbilang sulit, cara mereka menjalankan bisnis adalah menghadirkan drone dengan biaya murah yaitu service per hektar. Dengan demikian bisa lebih terjangkau untuk petani. Untuk memberikan layanan yang terpadu, ARIA juga menjalin kolaborasi dengan Bayer dalam hal penyediaan bahan kimia untuk pertanian.

“Ke depan kita maunya bisa bikin drone sendiri. Yang membedakan kami dengan platform lainnya adalah pendekatan langsung dengan memberikan solusi. Kita merupakan end-to-end software dan hardware platform untuk petani,” kata William.

Rencana penggalangan dana tahapan awal

Saat ini ARIA telah mendapatkan pendanaan tahapan pre-seed yang diselenggarakan dan dipimpin oleh GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures serta pemimpin pasar di bidang agrikultur dan logistik seperti Triputra Group, Waresix, dan Sahabat Group yang turut berpartisipasi dalam seri ini.

ARIA akan menggunakan pendanaan  ini untuk mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjangkau 40 miliar hektar pasar potensial ARIA. Pengembangan ini juga diiringi dengan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan untuk memberikan nilai dan dampak perubahan besar untuk pelanggan ARIA.

“Sangat penting untuk ARIA untuk menghadapi regenerasi petani muda Indonesia, yang terkendala dengan keterbatasan lahan dan menderita karena menjalani profesi dengan penghasilan rendah di seluruh Indonesia. Petani di Indonesia perlahan mati. Visi ARIA adalah untuk menumbuhkan generasi petani muda milenial baru yang tech-savvy dan mampu berkompetisi serta berkembang di tingkat global,” kata William.

Untuk mendapatkan mitra strategis yang dapat membantu ARIA membuka peluang lebih banyak lagi, dalam waktu dekat ARIA juga akan merampungkan penggalangan dana tahapan seed. Masih dalam proses finalisasi jika sesuai rencana dana segar tersebut akan diperoleh ARIA akhir bulan Maret ini.

“Keuntungan paling besar di Indonesia sebagai negara agriculture adalah menjadi petani. Namun karena saat ini masih menggunakan metode dan cara-cara yang lama menjadi kecil peluang dan manfaat yang bisa didapatkan oleh petani. Melalui ARIA kita ingin menjadikan profesi petani lebih profitable,” kata William.

Agriaku Dapat Pendanaan dari Arise, Selesaikan Isu Rantai Pasok Produk Pertanian

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) adalah startup argitech yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan untuk para petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja membukukan pendanaan awal yang dipimpin oleh Arise, sebuah dana kelolaan kolaboratif dari MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agrobisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. Diharapkan kolaborasi keduanya dapat memadukan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan komprehensif kepada UMKM agro dan petani.

Dengan dana segar yang didapat, Agriaku berencana menambah jumlah petani di jaringannya agar berhasil menembus pasar $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan ribuan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki cita-cita untuk menjadi superapp untuk pemain agri di Indonesia.

“Kemampuan Agriaku untuk memberdayakan petani melalui Toko Tani secara terukur melalui teknologi mengubah bisnis yang sangat tradisional di Indonesia. Kami bangga bermitra dengan tim Agriaku dan bersemangat untuk melihat hal-hal hebat di masa depan,” ujar Partner Arise Aldi Adrian Hartanto.

Selesaikan isu rantai pasok

Di fase awalnya, Agriaku masih fokus untuk meningkatkan jumlah mitra mereka. Model kemitraan ini dianggap lebih efektif ketimbang melakukan penjualan daring langsung ke petani, hal ini ditengarai tidak banyak petani yang cukup digital savvy untuk melakukan pembelanjaan kebutuhan produktivitasnya secara online.

Produk pertanian biasanya menjadi lebih mahal ketika sampai ke petani. Karena dalam proses rantai pasokannya harus melalui prinsipal, distributor, peritel, lalu konsumen akhir. Di sisi lain, kurangnya wawasan dan data untuk pengambilan keputusan pada distribusi produk pertanian juga kadang menimbulkan kesenjangan tersendiri, misalnya kelangkaan produk tertentu, yang mengakibatkan produktivitas petani terganggu.

Lewat layanannya, Agriaku ingin menciptakan sebuah jaringan yang transparan antara semua pemangku kepentingan dalam sistem supply chain produk pertanian. Salah satu pendekatannya, mereka membangun pasar yang disebut sebagai “Toko Tani”, terhubung dengan produsen atau distributor tingkat pertama. Cara ini diklaim memungkinkan petani mendapatkan katalog produk pertanian yang lengkap dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Sehingga kendati membeli ke mitra terdekat, yang mungkin adalah tetangganya sendiri, para petani juga tetap bisa mendapatkan penawaran menarik untuk produk-produk pertanian yang mereka butuhkan.

“Kami percaya bahwa pendekatan kami dalam memberdayakan Toko Tani lokal sebagai last mile agent untuk mendistribusikan setumpuk produk dan layanan bagi petani kecil di Indonesia berpotensi mendemokratisasi industri yang sejauh ini resisten terhadap perubahan”, kata Irvan.

Hipotesis investasi startup agri

Dalam publikasi bertajuk “Yielding Next Gen. Agri Conglomerate Leveraging Tech Orchestration”, Arise menyoroti  empat pain points utama dalam value chain pertanian. Yakni keterbatasan akses ke permodalan, rantai pasok yang terfragmentasi dan kurang efisien, minimnya akses ke teknologi, dan ketidakpastian harga akibat perubahan iklim.

Sementara sektor ini memiliki potensi industri yang sangat besar, nilainya bisa melebihi $500 miliar terhadap GDP global di tahun 2030 mendatang. Asia Pasifik sendiri berpotensi menyumbangkan 8,2% dari nilai total tersebut. Melihat tren tersebut, di kancah global investasi untuk startup argitech juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2020, terdapat sekitar 834 kesepakatan pendanaan, membukukan lebih dari $6,7 miliar.

Kendati pemain agritech sudah banyak bermunculan – termasuk beberapa yang sudah jadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery—tim Arise masih melihat ada beberapa celah yang masih belum terisi oleh inovasi digital. Salah satunya terkait B2B marketpalce yang memenuhi kebutuhan petani. Selanjutnya mereka juga akan melirik layanan manajemen dan IoT yang bisa membantu petani melakukan tata kelola lahan garapannya.

Ekosistem solusi digital untuk sektor pertanian / Arise

Di kancah global, beberapa startup argitech berhasil membukukan traksi luar biasa, termasuk kaitannya dengan investasi yang dibukukan. Belum lama ini DeHaat, sebuah startup asal India yang memiliki model bisnis serupa dengan Agriaku, baru saja mengumpulkan dana seri D senilai $115 juta dari Lightrock, Sequoia Capital India, dan Temasek Holdings, dll.

Application Information Will Show Up Here

Mengharapkan “Unicorn” dari Startup Budidaya Indonesia

Sempat dipandang sebelah mata, sektor pertanian dalam ekosistem startup digital kini mulai tunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa.

Menurut laporan bertajuk “Driving the Growth of Agritech Ecosystem in Indonesia” yang disusun DSInnovate bersama Crowde, diungkapkan sejumlah potensi dan tantangan dalam industri pertanian di Indonesia. Pertama dari sisi hulu, yakni sistem produksi oleh petani, per tahun 2018 tercatat ada sekitar 33,4 juta petani di seluruh Indonesia. Kedua, dari total tersebut 4,5 juta di antaranya telah memiliki akses ke internet.

Temuan ini menjadi menarik, artinya dengan pengembangan infrastruktur pita lebar yang terus dikebut oleh pemerintah dan aksesibilitas ke perangkat akses internet yang semakin terjangkau, dapat menjadi medium yang baik bagi sektor produksi ke sisi hulu untuk terhubung ke pasar. Startup agritech pun dapat berperan penting dalam memberikan edukasi  — beberapa telah melakukan, dengan implikasi dibukanya kanal distribusi produk pertanian yang lebih efisien.

Masih dari laporan yang sama, terungkap beberapa permasalahan mendasar yang dialami oleh industri pertanian tanah air. Meliputi peningkatan produktivitas, akses ke permodalan, regenerasi, dan akses pasar. Soal produktivitas termasuk distribusi pupuk dan langkah preventif yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi lahan didasarkan kondisi cuaca.

Berjalan di arah yang sama

Dimulai dari akar permasalahan tersebut, founder mencoba menghadirkan solusi yang efisien untuk memberikan efisiensi pada proses bisnis pertanian. Dari model bisnis yang sudah ada sejauh ini, kami mencoba memetakan ke dalam peta solusi di bawah ini.

Gambaran proses bisnis hulu ke hilir startup budidaya di Indonesia / DailySocial

Ada alasan yang cukup masuk akan kenapa pada akhirnya para startup memilih untuk melakukan pendekatan dari ujung ke ujung. Yakni menghadirkan efisiensi dari proses keseluruhan – termasuk di sisi variabel biaya, waktu, hingga kualitas produk. Langkah pertama yang harus dilakukan tentu pemilik platform perlu melakukan edukasi dan meyakinkan mereka bahwa dengan demokratisasi teknologi banyak potensi yang bisa didapat. Caranya beraneka ragam, dan yang akan diterima dengan baik adalah pendekatan solutif.

Dalam kesempatan wawancara dengan Co-Founder Tanihub Ivan Arie Sustiawan satu tahun setelah bisnisnya meluncur, ia menjelaskan perannya sebagai perantara jual-beli. Setiap transaksi pembelian akan dibayarkan terlebih dulu oleh Tanihub ke penjual berdasarkan tagihan atas penyerahan produk pangan ke pembeli, dan pembeli akan membayar tagihan ke TaniHub sesuai syarat dan ketentuan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Kebanyakan klien yang membeli lewat marketplace Tanihub adalah pemilik usaha yang biasanya membeli bahan pokok dengan jumlah besar. Proses pengadaan kadang membutuhkan waktu panjang untuk pencairan dana kepada petani. Di titik ini para petani bimbang, jika menjual cepat ke tengkulak mereka mendapati harga yang lebih murah; sementara menjual ke bisnis aksesnya sulit dan butuh waktu yang lama. Di situlah Tanihub masuk.

Seiring dengan penerimaan proses bisnis, eskalasi produk pun dilakukan. Dengan kepastian produknya diserap oleh platform, startup menawarkan pendanaan (modal) untuk membantu perluasan produksi, bahkan hingga pengemasan dan logistik (warehouse) untuk menangani proses distribusi.

Sektor perikanan relatif sama

Menyasar segmen pembudidaya yang sudah akrab dengan ponsel pintar dan internet, eFishery menghadirkan solusi pakan ternak otomatis berbasis IoT dengan jaminan lebih terukur dan hemat – berdampak pada nilai ekonomi. Proses edukasi dilakukan dengan cara bersama-sama mendampingi petani ikan untuk meningkatkan produksi mereka.

Penerimaan tersebut disambut baik oleh mereka dengan menambahkan layanan yang lebih menyeluruh, mulai layanan permodalan untuk pengadaan alat (eFisheryFund) hingga kanal distribusi produk (eFisheryFresh) menggandeng berbagai aplikasi online grocery.

Salah satu eFisheryPoint di kawasan pesisir Pantai Jatimalang, Purworejo / DailySocial

Langkah awalnya selalu dimulai dengan proses manual. Untuk memperkuat edukasi, kedua startup tersebut bahkan mendirikan unit di banyak titik untuk menangani proses transaksi dan produksi – seperti diketahui bahwa kalangan petani/pembudidaya termasuk penyumbang statistik unbankable, transaksi langsung menjadi prioritas.

Dukungan investor

Tahun 2021 seperti menjadi berkah tersendiri bagi startup yang bersinggungan dengan para petani/pembudidaya ikan. Pendanaan tahap lanjut diberikan untuk membantu ekspansi bisnis dan produk – beberapa juga untuk memvalidasi dan penetrasi layanan. Bahkan hingga tahun ini sudah ada beberapa startup yang mencapai valuasi ratusan juta dolar dari segmen ini.

Alih-alih terhambat, pandemi justru menjadi ajang pembuktian bagi para startup budidaya. Transaksi moncer tentu menjadi salah satu pertimbangan mengapa investor mau mempercayakan dananya kepada para founder tersebut.

Statistik DailySocial mencatat, sepanjang 3 tahun terakhir pendanaan ke startup budidaya sangat minim secara kuantitas.

Perusahaan Pendanaan Terakhir Tahun Est. Valuasi*
Tanihub Seri B 2021 $218 juta
Aruna Seri A 2021 $103 juta
eFishery Seri B 2021 $88 juta
Sayurbox Seri B 2021 $45 juta
Chilibeli Seri A 2020 $31 juta
Eden Farm Pra-Seri A 2021 tidak diketahui
Segari Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Dropezy Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Kedai Sayur Pendanaan Awal 2019 tidak diketahui
Etanee tidak diketahui tidak diketahui tidak diketahui

*berdasarkan data yang diinput ke regulator

Jajaran investor yang mendukung pendanaan pun juga cukup meyakinkan, karena melibatkan pemodal ventura lokal dan global dalam porsi signifikan dalam putaran-putaran pendanaan tertentu.

Investor lokal:

  • MDI Ventures
  • Intudo Ventures
  • AC Ventures
  • East Ventures
  • Northstar
  • BRI Ventures, dan lain-lain.

Investor global:

  • Openspace Ventures
  • Vertex Ventures
  • Prosus Ventures
  • 500 Startups
  • Wavemaker Partners
  • Sequoia Capital, dan lain-lain.

Mungkin sektor budidaya saat ini belum menghasilkan GMV yang signifikan dari transaksi yang ditorehkan. Namun lambat laun, dengan penetrasi layanan yang menyeluruh dan pasar yang semakin teredukasi, tidak mustahil bahwa aplikasi pertanian (khususnya B2C) akan menjadi the new e-commerce untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok. Sebuah hipotesis yang diyakini para investor terhadap vertikal ini.

Head of Southeast Asia Investments Prosus Ventures Sachin Bhanot, saat berinvestasi ke Aruna, mengungkapkan, “Setelah membangun rantai pasokan dan infrastruktur teknologi yang kuat dengan pengetahuan dan keahlian industri yang mendalam, kami percaya Aruna memiliki posisi unik dalam melayani permintaan global yang terus meningkat terhadap produk perikanan berkelanjutan, seraya mendukung mata pencaharian nelayan lokal.”

Dengan kepercayaan investor dan pasar yang semakin baik, bukan tidak mungkin jika beberapa tahun mendatang kita akan menyambut unicorn baru di vertikal agritech dan aquatech.


Gambar Header: Depositphotos.com

TaniHub to Secure Series B Funding Worth Nearly 1 Trillion Rupiah

The agritech startup TaniHub Group reportedly secured $65.5 million (over 940 billion Rupiah) Series B funding led by MDI Ventures. According to DailySocial’s source, participated also in this round, UOB Global Capital, Vertex Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, BRI Ventures, Add Ventures, Flourish Ventures, Intudo Ventures, Openspace Ventures, Tenaya Capital, and others.

This round has brought TaniHub’s valuation up to over $200 million.

One of the investors showed the “green signal” on the news and mentioned this investment is the company’s commitment to advancing the agricultural industry in Indonesia with a technological approach.

Previously, TaniHub management had boasted about the investment round the company was raising earlier this year. TaniHub Group’s Co-Founder & CEO, Pamitra Wineka said that investors in this round was very enthusiast, the value even oversubscribed from the initial target.

“We want to give this fund back to Indonesian farmers. We want to expand where we can reach more farmers, hopefully further to Papua,” he said.

TaniHub announced the Series A round in April 2020 worth of $17 million led by Openspace Ventures and Intudo Ventures.

In an official statement the company anounced today (5/21), Pamitra said, “[..] Furthermore, we plan to strengthen our role in every region in Indonesia to be closer to farmers and the community. Therefore, what we do at least to reduce the price disparity between farmers and consumers.”

MDI Ventures’ Portfolio Director, Sandhy Widyasthana added, “[..] MDI will continue to focus on investing in technology startups with big role in various sectors that influence people’s lives and can make a big difference in Indonesia. MDI considers TaniHub Group as having a big role in agriculture and has proven that its existence can have a positive impact on improving the quality of life for Indonesian farmers [..]” he said.

This year, TaniHub Group is increasingly expanding, also through the launching of the NFC (National Fulfillment Center) in Cikarang to provide agricultural supply chain infrastructure that can support national and global market demands. The NFC is ready to serve inbound and outbound to other islands outside Java and Bali as well as foreign markets.

On an area of ​​12,000 square meters, there’s a large capacity for cold storage and it accommodates non-fresh products such as groceries and processed food from various brands. In addition, the company is building more regional distribution facilities (DC), processing and product packaging centers (PPC), poultry processing centers (PPC), and rice mills at various points.

It is located in some areas, including North Sumatra, Riau, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Banjarmasin, Manado and Makassar. Currently, the fully-operated PPC location is in Malang, which supports the supply chain of various regional distribution facilities spread across five cities, including Bogor, Bandung, Kartasura, Surabaya and Denpasar.

Last April, the company exported 14.5 tons of watermelon from its farming partners in Lampung to the United Arab Emirates. In this country, it is predicted that the potential for sustainable demand from the UAE market will reach 156 tons per month.

They also target other countries to export fruits, such as pineapples, bananas, mangoes and oranges, including Singapore, Taiwan, South Korea and Malaysia with a capacity of 1,000 tons per month with an export value of IDR 15.31 billion this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

TaniHub Dikabarkan Peroleh Pendanaan Seri B Hampir 1 Triliun Rupiah (UPDATED)

Startup agritech TaniHub Group dikabarkan mengantongi perolehan pendanaan seri B sebesar $65,5 juta (lebih dari 940 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh MDI Ventures. Menurut informasi yang DailySocial terima, putaran ini juga diikuti oleh UOB Global Capital, Vertex Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, BRI Ventures, Add Ventures, Flourish Ventures, Intudo Ventures, Openspace Ventures, Tenaya Capital, dan lainnya.

Putaran ini membawa valuasi TaniHub melambung senilai lebih dari $200 juta.

Salah satu investor yang kami hubungi memberikan “sinyal hijau” atas kabar tersebut. Menurut mereka, investasi ini adalah komitmen perusahaan untuk memajukan industri pertanian di Indonesia dengan pendekatan teknologi.

Sebelumnya, manajemen TaniHub memang sudah sesumbar dengan putaran investasi yang sedang digalang perusahaan pada awal tahun ini. Co-Founder & CEO TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan antusiasme investor pada putaran ini diklaim begitu bagus, hingga oversubscribed dari dana yang ditargetkan.

“Dana ini mau kita kontribusikan balik kepada petani-petani di Indonesia. Kita mau ekspansi ke mana kita bisa jangkau lebih banyak petani, hopefully bisa sampai Papua,” ucapnya kala itu.

Putaran seri A sudah diumumkan Tanihub pada April 2020 sebesar $17 juta yang dipimpin Openspace Ventures dan Intudo Ventures.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan hari ini (21/5), Pamitra menyampaikan, “[..] Oleh karena itu kami berencana untuk memperkuat peran kami di setiap wilayah Indonesia agar semakin dekat dengan petani dan masyarakat. Sehingga pada akhirnya apa yang kami lakukan dapat mengurangi disparitas harga antara petani dan konsumen.”

Direktur Portfolio MDI Ventures Sandhy Widyasthana menambahkan, “[..] MDI akan terus fokus berinvestasi kepada startup-startup teknologi yang mempunyai peran besar di berbagai sektor yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan dapat membuat perbedaan besar di Indonesia. MDI melihat TaniHub Group mempunyai peran besar di bidang pertanian dan telah membuktikan bahwa keberadaannya dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas kehidupan para petani di Indonesia [..]” ucapnya.

TaniHub Group semakin ekspansif pada tahun ini, salah satunya lewat peresmian NFC (National Fulfillment Center) di Cikarang untuk mendukung infrastruktur rantai pasok agrikultur yang dapat menunjang permintaan pasar nasional dan global. Di lokasi tersebut siap melayani inbound dan outbound untuk pulau-pulau lain di luar Jawa dan Bali serta pasar luar negeri.

Di lahan seluas 12.000 meter persegi, memiliki kapasitas besar untuk cold storage dan menampung produk non-fresh seperti sembako dan pangan olahan
(processed food) dari berbagai macam jenama. Tak hanya itu, perusahaan membangun lebih banyak fasilitas distribusi regional (DC), pusat pemrosesan dan pengemasan produk (processing packing center/PPC), pusat pengolahan unggas (poultry processing center/PPC), dan penggilingan padi di berbagai titik.

Lokasi yang dipilih antara lain, Sumatera Utara, Riau, Palembang, Lampung, Banjarmasin, Banjarmasin, Manado, dan Makassar. Saat ini, lokasi PPC yang sudah beroperasi penuh adalah di Malang yang mendukung rantai pasok dari berbagai fasilitas distribusi regional yang tersebar di lima kota, yakni Bogor, Bandung, Kartasura, Surabaya, dan Denpasar.

Pada April kemarin, perusahaan melakukan ekspor buah semangka sebanyak 14,5 ton yang berasal dari mitra petaninya di Lampung ke Uni Emirat Arab. Di negara tersebut diprediksi adanya potensi permintaan yang berkelanjutan dari pasar UAE mencapai 156 ton per bulannya.

Negara lainnya yang tengah diincar untuk ekspor buah-buahan, termasuk nanas, pisang, mangga, dan jeruk ke Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia dengan kapasitas 1.000 ton per bulannya dengan nilai ekspor mencapai Rp15,31 miliar pada tahun ini.

*Kami menambahkan pernyataan resmi dari TaniHub

Application Information Will Show Up Here

Laporan Perkembangan Agritech di Indonesia 2021

Pertanian menjadi salah satu sektor penting yang menyokong perekonomian nasional di Indonesia. Di tengah pertumbuhan industrinya, diyakini masih menyimpan banyak peluang yang dapat dieksplorasi — baik dalam kaitannya dengan peningkatan produktivitas ataupun penemuan berbagai peluang baru. Tak terkecuali ketika berbicara tentang teknologi, dalam satu dekade terakhir terminologi agritech (agriculture-technology) menjadi populer di tengah perbincangan inovasi teknologi dan startup digital.

Jika ditelisik lebih lanjut, keberadaan agritech memiliki misi untuk mendemokratisasi berbagai proses bisnis yang ada dalam ekosistem pertanian. Kehadiran teknologi didesain menghasilkan efektivitas dan efisiensi, sehingga memberikan keluaran yang lebih baik. Ini sekaligus membuka peluang bagi para inovator di Indonesia, termasuk kawula muda yang bersemangat mengembangkan bisnis lewat startup. Karena pada kenyataannya, masih banyak isu dan tantangan spesifik yang dapat dibenahi bersama, termasuk dengan digitalisasi.

Dalam rangka melihat sejauh mana agritech memberikan dampak positif di Indonesia, CROWDE dan DSInnovate merilis sebuah laporan riset bertajuk “Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia”. Ada lima fokus pembahasan yang dirangkum dalam publikasi ini, meliputi:

  • Lanskap pertanian di Indonesia
  • Tantangan dalam industri pertanian
  • Inovasi yang mendorong pertumbuhan industri pertanian
  • Masa depan pertanian dalam impact investment
  • Studi kasus agritech di Indonesia

Banyak temuan menarik yang terungkap dalam laporan, salah satunya mengenai poin-poin penting yang layak disorot oleh inovator yang ingin memberikan solusi untuk memajukan industri pertanian. Mulai dari peningkatan produktivitas hasil tani, akses ke pinjaman modal produktif untuk para petani, penanganan regenerasi sumber daya manusia, pembenahan rantai pasokan produk pertanian, infrastruktur, dan regulasi.

Disampaikan juga tentang studi kasus, bagaimana impact investment diterapkan untuk membantu masalah permodalan petani. Termasuk bagaimana model pembiayaan tersebut memberikan risiko yang lebih minim untuk pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, turut disampaikan berbagai data tentang pertumbuhan industri — termasuk sebaran lahan produktivitas pertanian, dan tantangan spesifik yang dihadapi oleh stakeholder di ekosistem.

Untuk pembahasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: Driving the Growth of Agriculture Technology Ecosystem in Indonesia.

Disclosure: Laporan ini didukung oleh CROWDE, sebuah startup platform pembiayaan produktif yang mengkhususkan diri di sektor pertanian. Melalui pendekatan impact investment, selain memberikan dan modal, CROWDE juga memberikan bimbingan budidaya oleh ahli kepada mitra petani untuk memastikan hasil olahan lahan yang maksimal.

Eden Farm Umumkan Pendanaan Pra-Seri A Dipimpin Investible

Startup argitech Eden Farm mengumumkan telah menutup pendanaan pra-seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Putaran ini dipimpin oleh Investible dengan dukungan AC Ventures, Corin Capital, dan sejumlah angel investor.

Didirikan tahun 2017, startup jebolan Y Combinator (S19) tersebut memiliki misi untuk memaksimalkan pendapatan petani melalui perampingan rantai pasok pangan serta mendistribusikan produk pertanian berkualitas dan terjangkau kepada pengusaha kuliner di Indonesia.

“Pendanaan ini akan digunakan untuk memperluas operasi Eden Farm ke seluruh pulau Jawa dan Sumatera, menambah pilihan SKU, memperluas lahan strategis yang diolah melalui program pendanaan petani, dan melanjutkan pengembangan teknologi untuk mengautomasi sebagian besar proses bisnis […] Kami berada di posisi yang kuat untuk menjalankan seluruh rencana pengembangan 2021 dan selangkah lebih dekat ke tujuan utama kami,” ujar Co-Founder & CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan.

Sebelumnya di tahun 2019 mereka telah mendapatkan pendanaan awal senilai $1,7 juta dari sejumlah investor termasuk Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture, danangel investor.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial menjelang akhir 2020 David mengatakan, bersamaan dengan momentum pertumbuhan permintaan di masa pandemi, mereka tengah menguatkan dua fondasi penting. Yakni di sisi pasokan dan permintaan, direalisasikan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN).

ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien.

Dari statistik terbaru yang disampaikan, saat ini Eden Farm telah melayani lebih dari 25 ribu pedagang yang terdiri dari UMKM kuliner, hotel, restoran, kafe, pasar tradisional, reseller, dan startup di 12 kota dan 3 kabupaten di pulau Jawa.

Dari sisi suplai, mereka didukung oleh lebih dari 1500 petani individu dan kelompok dari pulau Jawa dan Sumatera. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertumbuh secara eksponensial di tahun 2021. Didukung sistem operasi berbasis data, Eden Farm meyakini bisa menciptakan rantai pasok bahan baku yang sangat efisien dari petani sampai dapur pengusaha kuliner serta menghasilkan margin yang positif dan terus bertumbuh.

Dalam sambutannya, Managing Partner AC Ventures Adrian Li mengatakan, “Eden Farm berhasil menciptakan bisnis yang sulit ditiru karena memiliki jaringan petani yang kuat, jaringan konsumen dengan permintaan yang stabil dan rantai pasok pangan yang efisien. Keunggulan ini memungkinkan para petani untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dan para pengusaha kuliner mendapatkan bahan pangan dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik.”

Potensi pertanian di Indonesia memang terus diperbincangkan pemain di ekosistem digital. Menurut data yang disampaikan, saat ini ada lebih dari 30 juta petani di penjuru nusantara. Sektor pertanian menyumbang 14% dari PDB Indonesia atau setara dengan $140 miliar dengan pertumbuhan 8% setiap tahunnya. Kondisi sektor pertanian sangat terfragmentasi sehingga menciptakan rantai pasokan pangan yang tidak efisien dan mengakibatkan pendapatan para petani berkurang dan tidak stabil.

Application Information Will Show Up Here

Startup Agritech Brambang Kenalkan “ReadyToEat”, Layanan Pemesanan Bahan Makanan Siap Masak

Setelah hadir sejak 2017 lalu menawarkan produk bawang merah, cabai, kentang, dan kebutuhan dapur lainnya, platform agritech Brambang kini mulai menjajah lini produk lainnya. Yang baru diluncurkan adalah layanan pesan-antar makanan siap saji “ReadyToEat”.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Brambang Dustin Haliman mengungkapkan, perusahaan melihat adanya peluang untuk menghadirkan ReadyToEat sebagai solusi makanan yang praktis di tengah kesibukan.

“Zaman sekarang banyak orang tidak ada waktu untuk masak di rumah. Pergi makan keluar atau delivery (pesan-antar) belum tentu praktis dan ideal. Produk ReadyToEat dapat disimpan di kulkas, siap setiap saat, dan memungkinkan konsumen untuk menikmati makanan enak tanpa repot masak.”

Saat ini layanan ReadyToEat Brambang hanya tersedia di Jakarta, Depok, Tangerang Selatan, Bekasi dan Kabupaten Bekasi (hanya kecamatan Cikarang Selatan dan Tambun Selatan). Untuk memastikan kualitas makanan terpantau dengan baik kondisinya, Brambang tidak memanfaatkan konsep cloud kitchen. Semua produksi dilakaukan secara langsung di central kitchen milik mereka.

“Kondisi saat ini membuat setiap orang berjaga-jaga tidak terkecuali dalam memilih makanan, hal itu yang mendorong Brambang’s Kitchen menghadirkan makanan ReadyToEat sehingga masyarakat tidak perlu khawatir saat hendak menyantapnya,” ujar Dustin.

Layanan pesan antar makanan siap masak dan siap saji yang sebelumnya sudah hadir di antaranya adalah CooklabHomeadeKulina, GorryGourmet dan Yummybox.

Pandemi mendorong akselerasi layanan baru

Salah satu faktor penunjang bagi Brambang untuk kemudian meluncurkan layanan ReadyToEat adalah, pandemi yang mendorong lebih banyak masyarakat untuk melakukan pembelian secara online. Meskipun tidak meninggalkan produk terdahulu, saat ini fokus dari Brambang adalah memperkenalkan lebih luas lagi layanan ReadyToEat.

“Seperti pada umumnya selama pandemi banyak orang mentransisi ke pembelanjaan secara online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk pembelian produk makanan. Kami di Brambang senantiasa berinovasi untuk membuat makanan yang enak, bermutu, dan praktis menjadi aksesibel pada masyarakat,” kata Dustin.

Tidak disebutkan lebih lanjut seperti apa strategi monetisasi yang dilancarkan dan berapa jumlah pengguna aktif Brambang hingga tahun 2021 ini. Namun perusahaan menjamin semua produk yang dijual di Brambang telah melewati proses kontrol mutu internal dan dikirim dengan fasilitas pendingin untuk menjamin kesegaran produk saat diterima oleh konsumen. Untuk memudahkan proses pembelian, Brambang juga telah meluncurkan aplikasi versi Android yang kini bisa diunduh oleh pengguna.

“Target Brambang adalah untuk memperkenalkan produk ReadyToEat kepada masyarakat secara luas dan untuk terus mengembangkan pilihan-pilihan makanan ReadyToEat,” kata Dustin.

Application Information Will Show Up Here