Hadirkan Teknologi dalam “Urban Farming”, Tunas Farm Dapat Pendanaan Awal dari Gayo Capital

Kesadaran masyarakat akan hidup sehat terus meningkat. Terlebih di kondisi pandemi, tubuh memerlukan nutrisi terbaik agar tercipta daya tahan yang prima. Melihat hal tersebut, Widya Surya Prayoga, Rudwiky Okta Putra, dan Topaz Kumoro menginisiasi Tunas Farm dengan visi mengintegrasikan solusi urban farming dengan teknologi.

Tunas Farm sudah memulainya dengan membangun ruang produksi tanaman indoor farming di kawasan Gading Serpong. Salah satu metode tanam yang diaplikasikan adalah hidroponik. Konsep bisnis yang disajikan berupa B2C, yakni menawarkan farm to table untuk memungkinkan konsumen dapat menikmati sayuran yang baru saja dipetik. Didukung dengan same day delivery oleh tim logistik Tunas Farm sendiri.

Baru-baru ini, untuk mengakselerasi bisnisnya, Tunas Farm menerima pendanaan pre-seed funding dari Gayo Capital. Tidak disebutkan detail nominal yang diterima. Hanya saya dikatakan, dana yang diperoleh akan difokuskan untuk peningkatan sistem hidroponik berbasis teknologi memanfaatkan IoT.

Saat ini Surya dan tim Tunas Farm sedang menyelesaikan persiapan fasilitas di Gading Serpong sebagai tempat produksi sekaligus display indoor vertical farming yang akan selesai dalam waktu dekat. Mereka juga berencana membangun fasilitas serupa di area lain dan akan memberikan pelatihan langsung tentang bagaimana cara bertani di rumah sendiri menggunakan sistem hidroponik.

Ia juga mengatakan, bahwa ke depannya Tunas Farm akan mengeluarkan produk hidroponik kit dengan sistem IoT yang bisa dimiliki oleh masyarakat untuk bertani di rumah sendiri dengan mudah.

Startup teknologi pertanian

Kendati bisnis agritech banyak dikatakan memiliki potensi besar di Indonesia, sejauh ini belum banyak solusi teknologi yang hadir mendemonstrasi proses bercocok tanam secara signifikan. Sementara banyak sekali potensi teknologi yang bisa dimanfaatkan, mulai dari IoT, big data, machine learning, computer vision, dan lain-lain. Tidak dimungkiri, isu di sektor pertanian masih sangat banyak, dari hulu ke hilir.

Salah satu yang mulai banyak diselesaikan terkait rantai pasokan (supply chain); memungkinkan konsumen –baik bisnis maupun konsumer—mengakses produk pertanian langsung dari para petani atau melalui medium yang lebih sederhana. Dampaknya, petani mendapatkan harga jual yang lebih baik kendati dari sisi konsumen pun juga lebih hemat. Selain itu, solusi lain yang mulai banyak adalah seputar pembiayaan produktif untuk mitra petani.

Beberapa startup mulai menghadirkan produk teknologi untuk menunjang pertanian – sebagian masih proses riset (banyak ditemui dalam kegiatan inkubator, kompetisi, maupun hackthon), lainnya sudah mulai diproduksi. Selain Tunas Farm, ada juga Mertani, Tanibox, dan Neurafarm. Mertani hadirkan solusi IoT dan big data untuk memantau petani memantau kondisi lahan perkebunannya dengan skala yang besar.

Adapun Neurafarm menghadirkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan bernama “Dr. Tania”, berfungsi membantu petani mengidentifikasi penyakit tanaman melalui analisis dari foto yang diunggah. Di skala yang lebih kecil, Tanibox menghadirkan perangkat berbasis sensor untuk membantu masyarakat bercocok tanam di dalam rumah.

6 Catatan Pelaku Agritech Beradaptasi dengan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku belanja di Indonesia dari offline ke online. Masyarakat mulai banyak memanfaatkan platform jual-beli untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari selama PSBB.

Tren ini tentu menjadi peluang besar bagi pelaku agritech yang memasarkan bahan pangan, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dengan kesiapannya menghadapi lonjakan pemesanan yang signifikan.

Lalu, bagaimana agritech beradaptasi terhadap perilaku konsumen selama pandemi? Simak insight menarik dari Co-founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Atasi penurunan transaksi lewat jalur petani

Pandemi menghantam berbagai sektor bisnis tanpa terkecuali. Bagi Kedai Sayur yang sejak awal bermain di segmen B2B, pandemi mengakibatkan volume transaksinya menurun.

Saat pertama kali diterapkan, masa PSBB berdekatan dengan bulan Ramadan, sedangkan mitra tukang sayur yang menjadi salah satu ujung tombak bisnisnya, mudik dalam jangka waktu lama. Belum lagi mitra dari hotel, restoran, dan cafe terpaksa harus menurunkan volume pesanan karena PSBB.

Menurut Adrian, perusahaan berupaya mencari celah baru untuk menghadapi situasi ini. Caranya adalah membantu distribusi hasil panen para petani agar cepat terserap, dan membantu siklus tanam mereka agar tidak berhenti.

“Biasanya volume pesanan mencapai Rp1 juta per hari. Karena pandemi, size-nya turun menjadi Rp400 ribu per hari. Untuk menyesuaikan demand, kami cari solusi dengan membantu distribusi ke customer base. Pendapatan mereka terdisrupsi karena jalur konvensional logistik terhambat,” ungkap Adrian.

Memberdayakan komunitas sebagai agen

Karena masih fokus di area B2B, Kedai Sayur belum memiliki channel B2C untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen. Kanal B2C sendiri ditargetkan meluncur di kuartal I 2021. Saat Covid-19 mewabah, ada banyak permintaan untuk bahan pangan dari segmen consumer.

Untuk beradaptasi terhadap permintaan tersebut, Adrian mau tak mau melakukan pivoting ke B2C. Ia menggunakan pendekatan komunitas untuk menjadi agen Direct-to-Consumer (DTC) kebutuhan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

Inisiatif ini diwujudkan lewat layanan Kedai Emak yang diluncurkan pada awal PSBB. Selain merangkul komunitas untuk menjadi agen, cara ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Melakukan efisiensi operasional bisnis

Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan efisiensi. Kedai Sayur melakukan shifting pasar dengan mengacu pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sebagai contoh, pada saat PSBB di Jakarta dipercepat, Kedai Sayur shifting pasar ke Bekasi dan Tangerang.

Adrian juga mengungkap bahwa pihaknya melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengevaluasi pusat distribusi yang sekiranya mendatangkan permintaan besar. Selama pandemi, ia terpaksa harus menutup satu pusat distribusi dikarenakan volume transaksinya menurun.

“Bagian logistik juga perlu diefisiensikan karena startup itu critical dengan runaway. Startup memang perlu mempertahankan service level, tetapi mereka harus tetap efisien,” tutur Adrian.

Masuk ke semua segmen pasar

Salah satu tantangan pelaku agritech di industri perishable adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan grade produknya secara lengkap. Menurut Adrian, kuncinya adalah masuk ke semua segmen pasar, baik B2B dan B2C.

Dengan masuk ke semua segmen, pelaku bisnis dapat memenuhi berbagai permintaan produk dari grade apapun. Penyerapan produk juga menjadi lebih cepat.

“Tukang sayur biasanya punya spesifik grade dalam memilih produk, sedangkan sourcing dari petani harus ambil semua grade. Nah, perishable itu baiknya masuk ke semua segmen supaya terserap. Kombinasi antara sourcing dan market demand itu jadi kunci sukses di bisnis ini,” kata Adrian.

Memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasional

Tak dapat dimungkiri, data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

Ambil contoh, harga cabe rawit di Bekasi dan Jakarta Timur bisa berbeda dengan di Jakarta Selatan. Justru dari situasi tersebut, Kedai Sayur dapat memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasionalnya.

“Kuncinya adalah meng-capture informasi dari last mile kami. Makanya, engine di back end dibuat sedemikian rupa untuk capture data secepat mungkin. Ini bisa jadi feedback ke bagian sourcing dan pricing untuk optimalisasi layanan,” jelasnya.

Value proposition yang kuat lewat logistik

Adrian menilai logistik menjadi elemen paling krusial dalam memasarkan produk pertanian. Apalagi produk ini masuk dalam kategori produk perishable. Bagi mitra seperti tukang sayur, tentu hal tersebut menjadi tantangan sendiri.

Ritme kegiatan kerja tukang sayur umumnya dimulai sejak malam hari, di mana mereka berbelanja produk satu per satu ke pasar dan mulai berjualan di pagi hari. Sementara, produk perishable tidak dapat dijual lagi apabila tidak laku,

“Maka itu kami menawarkan value proposition dengan solusi logistik sehingga tukang sayur bisa punya normal working hours, working capital, dan harga yang lebih baik. Sekarang tukang sayur tinggal login dan order saja. Mereka jadi punya bargaining power,” tutupnya.

Penguatan Jaringan Rantai Pasokan Jadi Strategi Pertumbuhan Bisnis Eden Farm

Pandemi yang telah mengubah pola konsumsi sayur dan buah masyarakat membawa angin segar bagi industri bisnis agritech. Penggunaan teknologi yang semakin lumrah juga menjadi salah satu penyebab kebiasaan membeli sayuran dan buah melalui aplikasi kini semakin masif terjadi.

Eden Farm adalah satu dari banyak pemain di industri agritech yang mengalami pertumbuhan signifikan. Mereka adalah pemasok bahan makanan segar, menggunakan teknologi untuk medium transaksinya. Klaim mereka, tahun ini ada 6 kali lipat pertumbuhan jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Data internal mereka juga mencatat saat ini sudah melayani 20 ribu UKM, 2 ribu reseller, seribu restoran dan cafe, dan juga 25 startup partner di Jabodetabek dan Bandung. Eden Farm bahkan sudah mulai melebarkan sayap ke produk makanan beku untuk daging dan ikan.

“Kami juga memperkuat dua fondasi penting di sisi pasokan dan permintaan dengan membangun Eden Farm Sourcing Center (ESC) dan Eden Farm Distribution Network (EDN). ESC adalah program kerja sama langsung dengan petani untuk menentukan pola tanam, kepastian harga jual, dan kepastian jumlah hasil tani yang diambil setiap harinya. Sedangkan EDN adalah jaringan distribusi yang dibuat dengan memberdayakan masyarakat. EDN tersebar di berbagai lokasi serta berada dalam radius 5 km dari pelanggan sehingga pengiriman lebih cepat dan efisien,” terang Co-founder Eden Farm David Gunawan.

David lebih jauh menjelaskan bahwa kondisi bisnis mereka tetap baik di masa pandemi. Hubungan baik dengan petani melalui ESC membuat harga dan suplai tetap stabil. Faktor pelanggan yang berada di beragam industri juga menjadi hal lain yang membuat Eden Farm tidak terlalu banyak terpengaruh pandemi.

“Faktor berikutnya adalah karena customer Eden Farm yang tersebar di berbagai sektor. Sehingga ketika salah satu jenis customer terdampak oleh Pandemi, permintaan Eden Farm tidak serta merta anjlok karena masih ada jenis customer lain yang tetap stabil di masa pandemi ini. Harga kami yang bisa dikatakan paling murah di market juga membantu para customer kami untuk tetap menjalankan usaha kulinernya di waktu sulit ini,” imbuh David.

Sejatinya di industri agritech banyak pemain yang mengalami lonjakan. Bahkan sektor ini diramaikan dengan para pemain baru hasil dari pivot atau inovasi mereka yang berada di industri lain. Hal ini disebabkan karena fakta di lapangan bahwa kebutuhan akan buah dan sayuran segar memang tengah naik. Kini tantangannya adalah bagaimana membawa kestabilan kualitas dan stok, mengingat yang dicari tidak hanya buah dan sayuran, tetapi buah dan sayuran yang segar dan berkualitas.

Bagi startup yang tahun lalu mengantongi pendanaan dari  Y Combinator, Everhaus, Global Founders Capital, Soma Capital, S7 Venture dan sejumlah angel investor ini fokus pada peruasan ESC dan EDN adalah salah satu cara untuk tetap menjaga suplai dan kualitas produk mereka.

“Kami terus memperluas jaringan ESC dan EDN untuk memperkuat hubungan dan kualitas petani, infrastruktur permintaan serta membuat proses bisnis kami semakin efisien. Saat ini kami juga sedang mempersiapkan diri untuk melakukan ekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Target tahun 2021 adalah menjadi startup agritech B2B nomor 1 di Indonesia dari segi market share,” tutup David.

Application Information Will Show Up Here

Kiat eFishery Menempatkan Nilai dan Tujuan sebagai Pedoman Kolaborasi

Kata-kata seperti “kolaborasi” dan “kemitraan” sering terlontar dari forum-forum bisnis teknologi atau dari para punggawa startup. Namun apa sebenarnya yang menjadi tujuan kolaborasi atau kemitraan dalam bisnis startup? Kami membahas topik ini dalam edisi #SelasaStartup teranyar bersama Founder & CEO eFishery, Gibran Huzaifah.

Dalam bisnis digital, kolaborasi kerap disebut sebagai kunci dalam membuka kemandekan pertumbuhan startup. Dengan fokus dan keahlian yang berbeda-beda, maka kolaborasi menjadi faktor penting dalam membesarkan suatu startup. Tak terkecuali bagi Gibran melalui eFishery. Berikut adalah pandangan Gibran perihal kolaborasi demi menggenjot pertumbuhan perusahaan.

Nilai dan tujuan sebagai landasan

Gibran menceritakan, startup yang ia dirikan selalu melandaskan keputusan berdasarkan kebutuhan petani budidaya ikan dan udang. Dari sana mereka dapat menciptakan inovasi produk yang dapat menciptakan nilai hingga dampak baru.

Begitu pula dengan kolaborasi, prinsip tersebut menjadi pegangan eFishery. Gibran percaya setiap startup punya misi besarnya masing-masing. Namun startup juga punya batas kemampuannya. Itu sebabnya sebelum memutuskan bekerja sama dengan pihak tertentu, ia mementingkan nilai apa yang bisa dilengkapi lewat kerja sama tersebut.

“Di sisi lain ambisi kita besar juga. Itulah pentingnya kolaborasi. Kita bisa bekerja sama dengan orang-orang yang punya value berbeda sehingga nilainya lebih lengkap dan lebih besar,” ujar Gibran.

Menurutnya suatu kolaborasi selalu bermula dari masalah yang dihadapi oleh petani budidaya. Contohnya seperti yang halnya yang mereka wujudkan dalam produk pembiayaan, eFisheryFund. Beberapa petani mengalami kendala untuk mengakses permodalan. Maka eFishery menggandeng fintech untuk mengembangkan fitur pembiayaan itu.

“Kita enggak pernah start dari dengan siapa berkolaborasi. Kita selalu start dari masalahnya,” imbuh Gibran.

Membuka peluang

Fokus terhadap nilai dan tujuan itu terbukti mampu membawa eFishery sebagai salah satu startup terpandang di sektor perikanan. Mereka kini sudah melayani ribuan petani budidaya di 240 kabupaten/kota dari 24 provinsi. Belum lama eFishery juga mengantongi pendanaan seri B yang dipimpin oleh Northstar dan GoVentures.

Gibran menilai pencapaian tersebut tak lepas dari konsistensi mereka melayani kebutuhan pelanggan mereka selama bertahun-tahun.

“Dari dulu kita enggak melakukan apa yang tidak kita lakukan. Baru 1,5 tahun terakhir saja kita eksperimen membesarkan model bisnis yang lain karena kita tahu kita punya scale dan resources untuk itu. Tapi 5 tahun pertama itu kita cuma melakukan satu hal saja,” cetus Gibran.

Selain kepercayaan petani budidaya ikan dan udang, konsistensi layanan eFishery menyebabkan mereka dipandang oleh pemerintah, dari daerah hingga pusat. Sejumlah kerja sama dilakukan untuk mengembangkan potensi ekonomi perikanan.

Begitu pula dari aspek pendanaan. Gibran mengenang begitu sulitnya menggelar babak pendanaan awal. Selain jarangnya startup yang bergerak di perikanan, layanan internet of things (IoT) yang dijual eFishery juga tergolong sangat baru bagi para petani budidaya ikan dan udang.

“Untung masih ada yang mau funding,” ujar Gibran berseloroh.

Melewati krisis pandemi

Meski sudah cukup besar, eFishery masih punya begitu banyak ruang untuk tumbuh. Pasalnya total petani budidaya di Indonesia mencapai 3,5 juta. Terlebih saat ini eFishery sudah melebarkan usahanya hingga pembiayaan dan distribusi.

Perluasan bisnis eFishery tersebut nyatanya jadi alternatif penting bagi petani budidaya di masa pandemi. Gibran bercerita sewaktu kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terjadi, penyerapan ikan hasil budidaya berkurang drastis. Keadaan itu nyaris menempatkan petani tak bisa menjual ikan sama sekali.

“Nanti ketika kondisi normal lagi, kita justru bisa kesulitan suplai. Malah jangan-jangan kita bisa impor karena pembudidaya ikan mati. Makanya kita coba crafting bangun kemitraan bareng stakeholder untuk bantu mereka,” tukasnya.

Meski sempat ada rumor eFishery akan ekspansi ke luar negeri, sepertinya sejauh ini mereka masih tetap menargetkan menggali potensi perikanan domestik. Gibran menyebut mereka saat ini menargetkan bisa menjangkau satu juta petani budidaya ikan dan udang di 34 provinsi Indonesia.

Membesarkan keempat produk yang mereka miliki saat ini jadi prioritas mereka. Dengan pendanaan yang belum lama mereka terima bertekad menjadi penyedia layanan end to end bagi ekosistem perikanan budidaya.

“Jadi fokusnya ke pengembangan unit bisnisnya dan ekspansinya,” pungkas Gibran.

Application Information Will Show Up Here

Memasuki Tahun Keempat, TaniHub Mulai Fokus Ekspansi ke Luar Jawa

Startup agritech TaniHub mulai ekspansi layanan ke luar Pulau Jawa memasuki hari jadinya yang keempat. Rencana tersebut akan didukung dengan memperkuat infrastruktur berupa pusat distribusi dan pusat pemrosesan dan pengemasan produk.

CEO TaniHub Ivan Arie Setiawan menerangkan, saat ini perusahaan memiliki lima pusat distribusi yang lokasinya masih di sekitar Jawa dan Bali, tepatnya di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

“Kita dalam dua tahun ke depan tidak hanya terfokus di Jawa dan Bali. Tapi juga di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” ucap Ivan dalam konferensi pers secara virtual, Senin (24/8).

Ekspansi pusat distribusi ini bertujuan untuk pemerataan penyebaran produk pertanian di seantero Indonesia. Alhasil, rantai pasok komoditas akan lebih efisien dan harga bisa terkendali. “Petani jadi punya kepastian untuk terus budidaya dalam jumlah signifikan agar kesejahteraan mereka meningkat.”

Dalam mendukung itu, TaniHub kini memiliki pusat pemrosesan dan pengemasan produk atau processing packing center (PPC) di Malang yang akan dirilis dalam waktu dekat. Fasilitas tersebut berfungsi untuk menghemat waktu distribusi produk pertanian hingga dua hari.

“Fasilitas ini baru ada di Malang, idealnya di tiap provinsi harus ada PPC. Nanti bakal ada di Jawa Barat, seperti Majalengka, lalu di Medan,” tambah Director of Supply Chain TaniHub Group Sariyo.

Kedua infrastruktur ini akan membuat TaniHub dapat memenuhi standar impor produk pertanian dapat merata, tak hanya ada di Pulau Jawa saja.

Ivan menuturkan, selama empat tahun berdiri, perusahaan sudah fokus untuk memperkuat sisi hulu. Seperti mendirikan TaniFund pada 2017 dan TaniSupply pada dua tahun berikutnya. Hal ini dilakukan agar perusahaan bukan sebatas menjadi penjual dari produk petani, namun ikut membina petani di hulu dalam proses produksi hingga panen.

“Kita juga harus berkolaborasi [dengan banyak mitra] supaya target membina 1 juta petani bisa segera terealisasi sebelum tahun 2023.”

Dampak pandemi

Meski perusahaan termasuk salah satu industri yang “beruntung” di tengah pandemi, sebetulnya ada rencana yang harus tertunda, yakni ekspansi ke luar Indonesia. “Kami memang mau ekspansi global, namun karena pandemi rencana ini agak tertunda namun tetap menjadi rencana besar kami dalam satu tahun depan tergantung situasi di negara tersebut,” jelas Co-Founder & President TaniHub Group Pamitra Wineka.

Sembari menyiapkan rencana besar tersebut, memperkuat pusat distribusi dan PCC menjadi faktor pendukung TaniHub. Pasalnya, kendala yang saat ini dihadapi perusahaan untuk ekspor adalah perlunya konsistensi hasil panen dari petani yang saat ini masih belum optimal, secara timing maupun kuantitas yang grade A.

“Tapi kita sudah mulai meningkatkan intensinya dari TaniFund untuk bantu sediakan bibit dan pupuk terbaik, maupun pengetahuan dari agronomis kita agar hasil panen mereka bisa meningkat kualitasnya.”

Transaksi di TaniHub selama pandemi diklaim mengalami kenaikan. Produk tanaman herbal misalnya, paling banyak dicari konsumen dan kenaikannya mencapai 20%. Jumlah pengguna pun bertambah hingga 20 ribu orang.

Secara keseluruhan, transaksi tumbuh tiga kali lipat setiap tahun. Empat tahun beroperasi, kini TaniHub telah menggaet lebih dari 30 ribu petani kecil yang bergabung ke dalam ekosistem.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Freshbox, Layanan Pengantaran Sayur dan Buah Segar

Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini layanan pembelian hasil panen (online grocery), baik sayur maupun buah, mulai banyak diminati masyarakat. Tak terkecuali FreshBox, mereka mengklaim mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga menyentuh 5 ribu pesanan dalam dua minggu. Ide dan layanan FreshBox mungkin bukan yang pertama, tapi mereka cukup optimis bisa terus tumbuh sambil terus menghadirkan produk berkualitas kepada penggunanya.

Berada di bawah naungan  PT Berkah Tani Sejahtera, FreshBox ingin mencoba mengubah pola makan masyarakat Indonesia melalui penyediaan layanan pembelian makanan sehat dan segar. Sekaligus mendukung petani di Indonesia untuk tetap bertahan dan tumbuh.

Founder FreshBox Matthew James kepada DailySocial bercerita, mereka membawa konsep “farm to table”, yang artinya produk mereka dipanen setiap hari dan datang langsung dari pertanian yang mereka miliki. Selanjutnya setelah diproses, langsung dikirim ke pengguna tanpa perantara.

“Kami dapatkan produk langsung dari kebun sendiri dan mitra petani. Produk segar dikirim ke fasilitas pemrosesan di mana kami lakukan pemilahan order, quality check dan langsung lanjut untuk last mile delivery ke konsumen,” kata Matthew.

Di segmen yang sama ada juga nama-nama seperti HappyFresh, SayurBox, TukangSayur, KedaiSayur, Tanihub, Etanee, dan lainnya. Kondisi sekarang adalah babak baru industri pengantaran produk makanan segar.

Di masa pandemi seperti sekarang ini permintaan melonjak tinggi, banyak pengguna bergabung, pengguna lama juga kini semakin sering transaksi. Ini adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan dan meningkatkan kepercayaan pengguna. Itu mengapa selain kesiapan teknologi ketersediaan stok juga jadi tantangan. Bisa jadi setelah ini selesai, masyarakat malah lebih nyaman berbelanja kebutuhan sehari-hari melalui aplikasi.

Freshbox, layanan yang sudah mulai dirintis sejak 2018 ini cukup optimis bisa memberikan yang terbaik bagi para konsumen mereka. Dengan tim, teknologi, dan hasil pertanian yang mereka miliki saat ini mereka cukup optimis untuk bisa memuaskan para pelanggan mereka. Saat ini mereka juga tengah dalam tahap penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis.

Founder Freshbox Matthew James / Freshbox
Founder Freshbox Matthew James / Freshbox

Matthew menjelaskan ada beberapa hal yang mereka unggulkan, di antaranya adalah komitmen pengiriman H+1 untuk menjaga kepuasan pelanggan, memiliki kebun sendiri sehingga produk, baik kualitas maupun ketersediaannya bisa dipastikan, dan juga memiliki in-house fleet sendiri.

“FreshBox dimulai dari sebuah mimpi oleh ibu saya untuk menjual sayur-mayur yang segar dikarenakan beliau sangat menyukai berkebun. Saya percaya akan mimpi beliau dan bersama dengan tim yang luar biasa, kami kembangkan FreshBox sampai apa adanya hari ini,” kisah Matthew.

Ia melanjutkan, saat ini impian Freshbox adalah untuk bisa tersedia di berbagai wilayah di Indonesia. Lengkap dengan kualitas layanan dan produk yang mereka miliki. Mimpi ini akan terus diupayakan seiring berjalannya waktu.

“Mimpi saya adalah untuk memberikan produk dan servis terbaik ke semua pelanggan di Indonesia, termasuk kota-kota dan daerah-daerah besar dan kecil sehingga kehidupan masyarakat Indonesia lebih mudah dan nyaman,” tutup Matthew.

Application Information Will Show Up Here

Indonesian Agritech’s Top Three Bucket List for The First Quarter of 2020

Agritech has become one of the essential segments in the industry for its representation of Indonesian culture. Agriculture held one-third of Indonesian land and workers. Technology has a crucial role to increase productivity in this industry due to the decreasing talent for the last decade.

Otherwise, the country should import more in order to feed its citizen. In 2025, Indonesian population is predicted to increase by 11 million from the current position at 270 million people.

Quoted from CompassList research project report titled “Indonesia Agritech Report 2020” released in March, the world is currently struggling with food supply crisis due to the Covid-19 pandemic. The global food supply chain is tightening for some countries are lockdown and stop exporting.

Most businesses are getting suspended as life continues, amid efforts to curb the spread of the virus. These conditions show the importance of maintaining food security – and national agriculture.

The report shows high optimism for agritech, given the sector is relatively new in Indonesia. As Chilibeli secured series A funding in March 2020, it shows a bright future in this sector. Chilibeli has just launched in less than a year.

“More efficient and equitable agricultural practices will pave the way for sustainable agriculture in Indonesia, benefiting farmers, resources and the community. This helps create a stronger agricultural sector, which in turn will support Indonesia’s food security and economic growth,” the report stated.

Require more deep-tech innovation

CompassList listed four categories for the current operational agritech. It’s based on funding, e-commerce, education and assistance, also technology development. In structural, it shows the highest concentration of agritech startups.

UMG Idealab‘s Investment & Venture Partner, Jefry Pratama said, the act of selling agriculture commodities is the simplest and most certain way for agritech startup to gain profit. Of all the highlighted startups, they utilize the e-commerce sector or market the products offline.

To date, the deep-tech startup in this industry only works with AI, data analytics, and robotics. There is no further deep-tech (a new technology that offers significant improvement of the current issue), such as genetical manipulation.

Source: CompassList
Source: CompassList

Startups took part in this sector includes Habibi Garden, BIOPS, HARA, and JALA. Each startup has a certain tech specialization in data collecting, farmers can translate daily and take action instantly.

JALA, for example, has been using series of sensors to detect water quality in shrimp ponds, salinity, and pH rate to oxygen. The data is to be sent to the cloud-based media analytics for further diagnosed options to improve water quality.

Shrimp farmers can eventually distribute less feed for exceeding feed can impact on the final quality. It should reduce shrimp waste and loss, also increasing yields.

The lack of deep tech innovation might occurs due to various factors. Starting from the lack of available talent, campus support, research institutions, large corporations. These entities have an important role in carrying the development costs (R&D) for certain sectors. This is where most likely the first time innovation has been found.

However, these issues are not impossible to overcome, as UMG Idealab did, the incubator and CVC from the conglomerate from Myanmar UMG. They invested in PT Mitra Sejahtera Pembangunan Bangsa (MSMB), an agritech startup focused on creating sensors, drones, and mobile applications for farmers.

Uniquely, the MSMB was founded by lecturers and students from UGM. The staff consists of students, recent graduates, and lecturers from local campuses in Yogyakarta and surrounding areas.

Other factors are also reflected in supporting infrastructure such as logistics and supply chain. India is more or less the same as Indonesia, although it cannot be generalized. Both are countries with large areas with infrastructure development that are still late in the countryside.

R&D becomes essential

The existence of an R&D center for a business is important, not just for agritech. To encourage more local farmers to increase their crop yields and reduce potential losses, more high-quality seed production is needed, developing better disease diagnosis tools, and new hardware.

Startups are yet to have the resources to create their own R&D, therefore, they become obstacles to entering “deep biotech” in seed development. They will take advantage of collaboration with local universities, such as IPB and UGM. The campus is equipped with expertise and facilities to pursue cross-marriages, genetic engineering and other basic science projects.

Unfortunately, this country still lacks funds to build R&D center. In 2018, the overall R&D budget will be Rp. 25.8 trillion or 0.2% of total GDP.

Source: CompassList
Source: CompassList

This condition encourages each stakeholder to collaborate to create superior seed varieties. Many multinational companies are financially supported through collaboration with local players and the central government, as well as with their own budgets. Collaboration like this can accelerate the discovery of seed development that suits local needs and conditions, such as varieties that are more resistant to drought.

“The government can play a more active role in developing Indonesian agriculture to be more resilient. We need to fund R&D in Indonesia, “added Pamitra Wineka’s Co-Founder & President TaniGroup.

Initiatives to accelerate logistics

The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) estimates as much as 120 kg to 170 kg of food per capita is lost or wasted every year in South and Southeast Asia. This is homework for Indonesia to improve logistics and supply chain infrastructure to prevent the loss of food.

ADB statistics link 25% -45% of the results of this decay due to poor packaging, inadequate cooling systems, and long delivery times.

Here the role of government and private sector is needed to reduce post-harvest losses. You do this by building a warehouse, a packing place, a cooling place close to agricultural land and fisheries. Food delivery vehicles must also be improved through better road conditions and vehicles that can adjust the temperature.

TaniGroup created a logistics subsidiary, TaniSupply, in September 2019 to address imbalances in the supply chain. Then, 8villages worked with agricultural intermediaries to create VLOGS, gathering data on logistics providers in a platform to help farmers find logistical partners.

If small farmers from neighboring villages can agree to the same logistics provider, for example, they can increase their bargaining power by collectively asking for lower shipping rates.

Tokopedia also made a similar initiation by making a branch store, a smart warehouse that can predict which items sell best in the nearest city. All traders, even micro, can place their stock in warehouses based on predicted purchasing trends.

This model can be adopted for agricultural products because farmers and fishermen have more or less the same challenges as online traders in Tokopedia.

Simplifying modes of transportation and supply chains undoubtedly results in reduced post-harvest losses. There is a need for intensive initiatives from startups and the government to strengthen local food, allowing fresh products to be easily accessible to consumers without any middlemen who bother.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tiga Catatan Agritech Indonesia Sepanjang Kuartal Pertama 2020

Agritech menjadi salah satu segmen industri yang penting karena melekat erat dengan Indonesia. Pertanian memakan hampir sepertiga dari penggunaan lahan dan tenaga kerja. Keberadaan teknologi sangat dibutuhkan untuk membantu industri ini agar punya produktivitas yang baik karena jumlah tenaga kerjanya terus menurun selama dekade terakhir.

Bila tidak, negeri ini harus mengimpor lebih banyak untuk memberi makan dirinya sendiri. Pada 2025, diprediksi populasi Indonesia bertambah 11 juta orang dari posisi saat ini sekitar 270 juta orang.

Mengutip dari laporan yang dirangkum lembaga riset CompassList bertajuk “Indonesia Agritech Report 2020” dirilis pada akhir Maret lalu, saat ini dunia sedang bergulat dengan ancaman krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Rantai pasokan makanan global menjadi tegang karena semakin banyak negara menutup diri dan menghentikan ekspor pangan.

Sebagian besar bisnis juga ditangguhkan bersamaan dengan masih terus berlanjutnya kehidupan, di tengah upaya menahan penyebaran virus. Kondisi tersebut memperlihatkan pentingnya menjaga ketahanan pangan –dan pertanian nasional.

Laporan ini memperlihatkan optimisme yang tinggi untuk agritech, walau masih relatif baru di Indonesia. Pendanaan seri A yang diperoleh Chilibeli pada Maret 2020, menjadi salah satu contoh nyata bahwa sektor ini punya jalan cerah di masa mendatang. Chilibeli sendiri baru dirilis kurang dari setahun.

“Praktik pertanian yang lebih efisien dan adil akan membuka jalan bagi pertanian berkelanjutan di Indonesia, memberi manfaat bagi petani, sumber daya, dan masyarakat. Ini membantu menciptakan sektor pertanian yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan tersebut.

Butuh lebih banyak inovasi deep-tech

CompassList menerangkan startup agritech yang beroperasi saat ini terbagi menjadi empat jenis. Yakni seputar pembiayaan, e-commerce, edukasi dan pendampingan, dan pengembangan teknologi. Secara berurutan, sekaligus memperlihatkan konsentrasi startup agritech terbanyak.

Investment & Venture Partner UMG Idealab Jefry Pratama menjelaskan, aktivitas menjual komoditas pertanian adalah cara paling sederhana dan paling pasti buat startup agritech dalam memperoleh pendapatan. Dari seluruh startup yang disoroti, mereka memanfaatkan kehadiran e-commerce atau memasarkannya secara offline.

Startup yang bermain di deep tech sejauh ini memanfaatkan AI, analitik data, dan robotika. Belum ada sampai ke deep tech (teknologi baru yang menawarkan kemajuan signifikan atas yang saat ini sedang digunakan), seperti rekayasa genetika.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Startup yang bermain di pengembangan teknologi di antaranya ada Habibi Garden, BIOPS, HARA, dan JALA. Masing-masing punya spesialisasi teknologi dalam pengumpulan data, petani dapat menerjemahkan dengan bahasa sehari-hari dan bisa langsung ambil tindakan.

JALA misalnya, menggunakan serangkaian sensor untuk mendeteksi kualitas air dalam kolam tambak udang, salinitas, dan keasaman terhadap kandungan oksigen. Data dikirim ke media analisis berbasis cloud yang kemudian memberikan saran untuk meningkatkan kualitas air.

Petani udang pada akhirnya bisa mendistribusikan lebih sedikit pakan jika kelebihan pakan karena ini berdampak pada kualitas akhir. Mereka dapat mengurangi pemborosan dan kehilangan udang, meningkatkan hasil panen.

Masih minimnya inovasi deep tech, sebenarnya terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari kurangnya ketersediaan talenta, dukungan dari kampus, lembaga riset, korporasi besar. Entitas-entitas ini punya peran penting dalam memikul biaya pengembangan (R&D) untuk sektor tertentu. Di sinilah kemungkinan besar terjadinya pertama kalinya inovasi ditemukan.

Namun isu tersebut dapat diatasi, seperti yang dilakukan oleh UMG Idealab, incubator dan CVC dari konglomerasi asal Myanmar UMG. Mereka berinvestasi ke PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB), startup agritech fokus pada menciptakan sensor, drone, dan aplikasi mobile untuk petani.

Uniknya MSMB didirikan oleh dosen dan mahasiswa dari UGM. Pegawainya terdiri dari mahasiswa, lulusan baru, dan dosen dari kampus lokal di Yogyakarta dan sekitarnya.

Faktor lainnya juga terefleksi dari infrastruktur pendukung seperti logistik dan supply chain. India menjadi pembanding yang kurang lebih sama dengan Indonesia, meski tidak bisa disamaratakan. Keduanya sama-sama adalah negara dengan wilayah yang luas dengan pengembangan infrastruktur masih terlambat di pedesaan.

Keberadaan R&D semakin dibutuhkan

Keberadaan pusat R&D bagi suatu bisnis adalah maha penting, tidak hanya buat agritech saja. Untuk mendorong lebih banyak petani lokal yang bisa meningkatkan hasil taninya dan mengurangi potensi kerugian, maka dibutuhkan lebih banyak produksi benih berkualitas tinggi, mengembangkan alat diagnosis penyakit yang lebih baik, dan perangkat keras baru.

Startup kemungkinan besar belum punya sumber daya besar untuk membuat R&D sendiri, sehingga menjadi hambatan masuk ke “deep biotech” dalam pengembangan benih. Mereka akan memanfaatkan kolaborasi dengan universitas lokal, seperti IPB dan UGM. Kampus dilengkapi dengan keahlian dan fasilitas untuk mengejar perkawinan silang, rekayasa genetika, dan proyek ilmu dasar lainnya.

Sayangnya, di negeri ini masih kekurangan dana untuk bangun R&D. Pada 2018, keseluruhan anggaran litbang adalah Rp25,8 triliun atau 0,2% dari total GDP.

Sumber : CompassList
Sumber : CompassList

Kondisi ini mendorong setiap stakeholder saling kolaborasi untuk menciptakan varietas benih unggul. Banyak perusahaan multinasional yang didukung secara finansial melalui kolaborasi dengan pemain lokal dan pemerintah pusat, serta dengan anggaran mereka sendiri. Kolaborasi seperti ini dapat mempercepat ditemukannya pengembangan benih yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, seperti varietas yang lebih tahan saat kekeringan.

“Pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mengembangkan pertanian Indonesia agar lebih tangguh. Kita perlu mendanai R&D di Indonesia,” tambah Co-Founder & Presiden TaniGroup Pamitra Wineka.

Inisiatif percepat logistik kian beragam

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) mengestimasi sebanyak 120 kg sampai 170 kg makanan per kapita hilang atau terbuang tiap tahunnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Indonesia untuk memperbaiki logistik dan infrastruktur rantai pasokan untuk mencegah hilangnya makanan tersebut.

Statistik dari ADB mengaitkan 25%-45% dari hasil pembusukan ini karena pengepakan yang buruk, sistem pendingin yang tidak memadai, dan waktu pengiriman yang lama.

Di sini perlu peran pemerintah dan swasta untuk mengurangi kerugian pasca panen tersebut. Caranya dengan membangun gudang, tempat pengepakan, tempat pendingin yang dekat dengan lahan pertanian dan perikanan. Kendaraan pengiriman makanan juga harus ditingkatkan melalui kondisi jalan yang lebih baik dan kendaraan yang bisa menyesuaikan suhu.

TaniGroup membuat anak usaha khusus logistik TaniSupply pada September 2019 untuk mengatasi ketimpangan dalam rantai pasokan. Lalu, 8villages bekerja sama dengan perantara pertanian untuk membuat VLOGS, mengumpulkan data tentang penyedia logistik dalam platform untuk bantu petani mencari mitra logistik.

Jika petani kecil dari desa tetangga dapat menyetujui penyedia logistik yang sama, misalnya, mereka dapat meningkatkan daya tawar mereka dengan secara kolektif meminta tarif pengiriman yang lebih rendah.

Tokopedia juga membuat inisiasi sejenis dengan membuat TokoCabang, gudang pintar yang dapat memprediksi barang mana yang paling laku di kota terdekat. Seluruh pedagang, mikro sekalipun, dapat menempatkan stok mereka di gudang berdasarkan tren pembelian yang sudah diprediksi.

Model ini dapat diadopsi untuk produk pertanian karena petani dan nelayan punya tantangan yang kurang lebih sama dengan pedagang online di Tokopedia.

Menyederhanakan moda transportasi dan rantai pasokan niscaya berdampak pada berkurangnya kerugian pasca-panen. Perlu inisiatif yang gencar dari startup dan pemerintah untuk memperkuat makanan lokal, memungkinkan produk segar semakin mudah terjangkau ke tangan konsumen tanpa ada tengkulak yang mengganggu.