DxO Umumkan PhotoLab 4 dengan Teknologi AI DeepPRIME Baru

DxO telah mengumumkan software edit foto terbarunya, PhotoLab 4. Banyak fitur baru dan berbagai peningkatakan disematkan, tetapi yang paling disorot ialah teknologi DeepPRIME baru berbasis artificial intelligence (AI) untuk melakukan perbaikan demosaicing dan denoising dalam satu langkah.

DxO menggunakan machine learning dan jutaan gambar untuk melatih algoritme DeepPRIME.  Dibanding dengan algoritme denoising DxO sebelumnya, DeepPRIME memberikan keuntungan sekitar dua nilai sensitivitas ISO pada tingkat kualitas yang sebanding.

Menurut DxO, terobosan ini akan menciptakan peluang kreatif baru dan membantu fotografer profesional mengatasi gangguan digital atau kondisi kurang cahaya. Sebab memungkinkan meningkatkan kualitas foto yang diambil dengan ISO tinggi.

Sementara untuk fotografer amatir, DeepPRIME dapat mengkompensasi kelemahan sensor kecil seperti kamera compact dengan sensor 1 inci atau lebih kecil yang biasanya hanya dapat menghasilkan foto bagus dalam cahaya terang. DeepPRIME juga dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hasil foto yang diambil dengan kamera lama yang kurang canggih dari awal era digital.

dxo-photolab-4-smartworkspace-screen

Selain teknologi DeepPRIME, PhotoLab 4 juga menghadirkan ruang kerja baru yang disebut DxO Smart Workspace yang berpusat pada sistem filter yang dapat diakses melalui toolbar. DxO menyatakan ruang kerja baru ini tidak hanya akan memungkinkan pengguna PhotoLab berpengalaman bekerja lebih efisien, tetapi juga memungkinkan pengguna baru menyesuaikan diri dengan software dan tool yang tersedia dengan lebih cepat.

Peningkatan workflow lainnya mencakup kemampuan untuk mengganti nama banyak file sekaligus melalui DxO PhotoLibrary atau Photo Browser. Kemudian ada palet History baru yang menampilkan semua pengeditan dalam urutan kronologis dan menunjukkan pengeditan spesifik yang dilakukan, sehingga memungkinkan kita untuk kembali kapan saja ke perubahan tertentu.

PhotoLab 4 juga memungkinkan pengguna untuk secara selektif menyalin dan menempel hasil edit ke beberapa gambar yang dipilih. Kita dapat memilih pengeditan tertentu yang ingin diterapkan ke satu atau beberapa foto lain, seperti pencahayaan, warna, detail, penyesuaian lokal, geometri, atau tanda air.

Untuk melindungi foto dibagikan secara online, PhotoLab 4 menyertakan fitur Instant Watermarking baru. Kita dapat menyematkan teks dan dapat menyesuaikan penempatannya, skala, orientasi, opasitas, dan margin.

Lebih dari 60.000 kombinasi kamera dan lensa telah didukung oleh PhotoLab 4, termasuk dukungan kamera baru seperti Canon EOS R5, EOS R6, dan EOS 850D, Nikon D6 dan Z5, Olympus OM-D E-M10 Mark IV, dan Panasonic Lumix S5.

DxO PhotoLab 4 Essential Edition tersedia dengan harga promo US$99,99 dari US$129 untuk Windows dan macOS. Anda juga bisa mencobanya lebih dulu dengan trial satu bulan gratis untuk mencoba semua fitur-fiturnya.

Sumber: DPreview

Datasaur Bukukan Dana 58 Miliar Rupiah dari Keikutsertaannya dalam Y Combinator

Startup pengembang platform pelabelan data Datasaur mengumumkan perolehan investasi senilai $3,9 juta atau setara 58 miliar Rupiah. Nilai total pendanaan tersebut mencakup pendanaan awal senilai $1.1 juta yang diterima tahun lalu dari GDP Venture dan $2.8 juta pendanaan tambahan yang didapat usai mengikuti demo day di program akselerator Y Combinator Maret lalu. Investor baru yang terlibat meliputi Initialized Capital, Y Combinator, dan CTO OpenAI Greg Brockman.

Kepada DailySocial Founder & CEO Datasaur Ivan Lee mengungkapkan, sebagian besar dana tersebut akan dimanfaatkan untuk merekrut talenta guna memperkuat tim. Perusahaan juga memiliki rencana untuk berinvestasi lebih lanjut pada pengembangan sistem cerdas, dengan tujuan meningkatkan kapabilitas “automasi” pelabelan data, sehingga bisa membuat proses pengerjaan data menjadi lebih efisien.

“Kami juga ingin melakukan ekspansi [produk] lebih luas lagi, [masukan datanya] bukan hanya dalam format teks, tapi juga gambar dan video,” kata Ivan.

Tren penggunaan dan pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) yang makin masif melatarbelakangi pengembangan Datasaur. Di balik setiap algoritma AI, ada ribuan pelatihan mesin yang umumnya masih berbasis “human-labeled training”. Mengelola dan memberi label data seperti itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, memakan waktu, dan mahal.

Datasaur mencoba membantu mengefisienkan proses tersebut melalui beberapa fitur. Misalnya fitur labeling interface intelligence component yang dapat mengenali data-data dasar sehingga pemberi label tidak perlu menandai data yang sama berulang-ulang. Ada juga team organizing component untuk mengelola proses pelabelan data yang umumnya dilakukan berkelompok.

Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur
Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur

Selain di Indonesia, Datasaur juga menjalankan bisnis di California, Amerika Serikat.

“Untuk fokus bisnis kami di Indonesia, ke depannya Datasaur memiliki rencana untuk membantu menyebarkan penggunaan dan adopsi NLP di Indonesia, dan menjadi standar industri utama untuk pelabelan data di Indonesia,” kata Ivan.

Sebagai salah satu startup asal Indonesia yang menjadi anggota program akselerasi Y Combinator batch Winter 2020, banyak pengalaman serta edukasi penting yang didapatkan oleh Ivan. Bukan hanya memvalidasi bisnis, Datasaur juga mendapatkan banyak masukan terkait membangun tim yang solid dan fokus bisnis yang lebih terukur.

Selain Datasaur, ada juga startup lain dari Indonesia yang turut mendapat peruntungan di batch tersebut. Ialah BukuWarung, aplikasi pencatatan arus keuangan untuk pengusaha mikro di Indonesia. Selepas demo day, mereka juga mendapatkan antusias investor untuk turut berpartisipasi memberikan dananya.

Aplikasi Nvidia Broadcast Kini Sudah Tersedia untuk Semua Pengguna GPU Seri RTX

Usai diumumkan bersama Nvidia Reflex di acara peluncuran GeForce RTX 30 Series beberapa waktu lalu, aplikasi Nvidia Broadcast kini sudah tersedia dan dapat diunduh secara cuma-cuma oleh semua pengguna. Bukan cuma untuk kalangan streamer, aplikasi ini juga menawarkan banyak kegunaan selagi tren WFH masih terus berlanjut di masa pandemi.

Sederet fitur yang Nvidia Broadcast tawarkan pada dasarnya mampu menyulap webcam dan mikrofon standar menjadi perangkat pintar yang ditenagai oleh kecerdasan buatan (AI). Fitur-fiturnya pun cukup beragam, mulai dari yang simpel seperti Virtual Background untuk mengubah latar belakang dengan gambar atau video apapun – atau mungkin sekadar dibuat blur – sampai fitur yang lebih kompleks seperti Noise Removal.

Saya yakin sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya dalam beberapa bulan terakhir ini; saat sedang berbicara di hadapan orang banyak dalam suatu sesi video conference, tiba-tiba semua dibuat kaget oleh teriakan atau tangisan anak kecil, atau mungkin malah suara seseorang membanting pintu.

Gangguan-gangguan seperti ini sangat sulit dihindari karena, seperti yang kita tahu, hampir semua anggota keluarga kita menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah. Itulah mengapa fitur seperti Noise Removal ini jadi sangat menarik, sebab fungsi utamanya memang untuk menghilangkan suara-suara di sekitar yang mengganggu.

Fitur ini tentu juga sangat berguna buat para streamer, dan yang sangat menarik adalah, Noise Removal juga dapat mengeliminasi suara pengganggu yang berasal dari pengguna lain yang tergabung dalam percakapan. Jadi misalnya seorang streamer sedang bermain bersama temannya, dan teman tersebut lupa menyalakan fitur push-to-talk sehingga suara keyboard mekanisnya terdengar jelas di siaran langsung sang streamer, Noise Removal siap menanganinya.

Terakhir, ada fitur Auto Frame yang bisa mengatur framing webcam secara otomatis, memanfaatkan AI untuk mendeteksi pergerakan kepala pengguna. Kalau diibaratkan, memakai fitur Auto Frame ibarat mempunyai seorang kru kamera pribadi.

Seperti yang saya bilang, Nvidia Broadcast bisa didapatkan tanpa dipungut biaya satu sen pun. Namun syaratnya Anda harus punya kartu grafis seri RTX, minimal RTX 2060, sebab kinerja-kinerja berbasis AI-nya akan diproses oleh komponen Tensor Core, dan komponen ini tidak tersedia di GPU seri GTX.

Jaguar Land Rover Kembangkan Teknologi Contactless Touchscreen untuk Mengurangi Risiko Kecelakaan

Layar sentuh yang tidak perlu disentuh sepintas terdengar aneh sekali, tapi itulah teknologi yang baru-baru ini dikembangkan oleh Jaguar Land Rover (JLR) bersama dengan University of Cambridge. Dinamai “predictive touch“, teknologi ini mereka rancang supaya pengemudi tidak terlalu banyak menghabiskan waktunya melihat layar ketimbang jalanan.

Problemnya, kalau menurut JLR, adalah sering kali getaran yang diakibatkan permukaan jalan yang tidak rata bisa menyulitkan pengemudi untuk mengklik tombol yang tepat pada sebuah layar sentuh. Ujung-ujungnya pengemudi harus mengalihkan perhatiannya ke layar, dan tentu saja ini berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Nah, ketika sistem bisa tahu lebih dulu bagian mana yang akan kita klik sebelum jari kita menyentuh layar, pandangan kita pasti tetap akan lebih banyak tertuju ke jalanan. Itulah premis dari teknologi berbasis gesture semacam ini. Konsepnya sendiri bukanlah hal baru, akan tetapi di sini tim peneliti JLR dan Cambridge sudah memanfaatkan artificial intelligence guna mempercepat kinerja sistemnya.

Namun ternyata para peneliti di baliknya punya visi yang lebih besar dari sekadar mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Mereka percaya teknologi predictive touch juga bisa bermanfaat untuk mengurangi penyebaran bakteri dan virus – topik yang demikian penting di masa pandemi seperti sekarang – mengingat tidak ada kontak fisik antara jari dan permukaan layar.

Jadi ketimbang hanya diimplementasikan di dashboard mobil, teknologi predictive touch ini sebenarnya juga dapat diaplikasikan ke banyak perangkat di tempat umum yang memang dilengkapi layar sentuh. Contoh yang paling gampang tentu saja adalah mesin ATM, mesin check-in mandiri di bandara, mesin ticketing di stasiun kereta api maupun bioskop, dan masih banyak lagi.

Dalam beberapa kasus, predictive touch juga bisa membantu kaum difabel yang memiliki keterbatasan motorik. Tim riset JLR dan Cambridge bilang teknologinya sudah benar-benar matang dan siap diintegrasikan ke berbagai perangkat dengan mudah, sebab predictive touch tidak memerlukan hardware tambahan seandainya suatu perangkat sudah memiliki akses ke berbagai data sensori yang tepat untuk mendukung algoritma machine learning-nya.

Sumber: Engadget dan Jaguar Land Rover.

Lebih Dekat Mengenal eCLIS, Platform Pangkalan Data Perundang-undangan Indonesia

eClis.id (eCLIS) adalah sebuah platform yang didesain untuk memudahkan pengguna menemukan peraturan perundang-undangan Indonesia. Nama eCLIS sendiri merupakan akronim dari “Electronic Codification dan Legal Information System”. Dikembangkan mulai tahun 2015, kini eCLIS berusaha menjadi rujukan untuk informasi hukum dengan penerapan teknologi terkini.

Rajulur Rakhman, Co-founder dan CEO eCLIS menceritakan, kendati mulai dikembangkan sejak tahun 2015 platformnya baru mulai menjadi badan hukum sejak tahun 2017. Layanan mereka sudah digunakan di beberapa lembaga negara seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan juga sejumlah korporasi seperti PT Pertamina Lubricants dan PT Terminal Teluk Lampong.

“Model bisnis yang dilakukan adalah dengan menerapkan freemium, di mana pengguna eCLIS pada dasarnya dapat menggunakan secara gratis untuk data yang bersifat informasi dasar dan dapat meningkatkan jenis keanggotaannya menjadi premium untuk dapat menelusuri nilai tambah informasi hukum yang lebih lengkap dengan fitur yang telah disediakan eClis tanpa limitasi,” terang Rajulur.

Selain kategori premium eCLIS juga menyediakan jenis berlangganan elite membership yang disiapkan khusus untuk penggunaan di lembaga/organisasi/divisi/korporasi/satuan dengan fitur yang dapat disesuaikan dengan keinginan pelanggan.

Lebih dekat dengan eCLIS

Layaknya mesin pencari, eCLIS mampu menampilkan hasil penelusuran berbasis kata kunci. Sistem eCLIS diklaim mampu melakukan content analysis sehingga penggunanya bisa mendapatkan kerangka hukum berdasarkan kata kunci yang dimasukkan. Tampilannya pun tidak hanya dalam bentuk tabel, tetapi juga x-mind map lengkap dengan komentar dan catatan para ahli hukum dan pengguna lainnya.

“eCLIS diharapkan akan dapat menjadi AI dalam bidang hukum nantinya. Ke depan algoritma hukum nasional akan harmonis dengan dinamika hukum regional dan internasional,” imbuh Rajulur.

Rajulur lebih jauh menceritakan bahwa saat ini mereka tengah berfokus pada kampanye pemasaran dan penjualan, juga tengah mencari pendanaan tahap awal yang rencananya akan dimanfaatkan untuk melengkapi eCLIS dari segi data maupun teknologi yang digunakan.

“Pendanaan tersebut akan kami gunakan untuk mencapai tujuan eCLIS yang lebih besar yakni menjadi database peraturan Indonesia dan juga knowledge-base hukum yang nantinya akan dilengkapi dengan AI untuk membantu dan mendukung dalam pengembangan sistem hukum nasional khususnya pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia agar menghasilkan produk hukum yang tepat guna dan tepat sasaran serta menjadi sistem elektronik rujukan dunia dalam penelusuran informasi hukum di Indonesia,” tutup Rajulur.

Di Indonesia sendiri startup yang berkaitan dengan layanan hukum sudah banyak bermunculan. Legalku, Lexar, Poplegal, HukumOnline, Justika, dan KontrakHukum adalah beberapa nama yang juga menyediakan layanan berkaitan dengan hukum, hanya saja semuanya memiliki model bisnis dan pendekatan masing-masing.

Ekspansi ke Indonesia, Pengembang Platform Pemetaan Digital NextBillion.ai Siapkan Tim Lokal

Startup pengembang teknologi hiperlokal AI NextBillion.ai siap tancap gas ekspansi ke Indonesia pasca mengantongi pendanaan Seri A senilai US$7 juta (setara 101 miliar Rupiah) dari Lightspeed Venture Partners dan Falcon Edge Capital pada bulan lalu. Saat ini perusahaan sedang dalam proses onboarding untuk Country Manager di Indonesia sebelum merekrut tim lokal.

Co-Founder NextBillion.ai Ajay Bulusu belum bersedia memberikan nama kandidat tersebut. Dia mengatakan lewat penunjukkan ini, ia akan membantu NextBillion.ai membentuk tim lokal karena lebih paham soal keadaan pasar di Indonesia.

“Kami akan bekerja sama dan memercayakan pada Country Manager yang baru untuk melihat kebutuhan pasar dan merekrut orang-orang yang tepat di posisinya,” terang Ajay kepada DailySocial.

Menurut dia, Indonesia adalah pasar yang sangat menjanjikan karena sebagai negara kepulauan yang tiap daerah punya budaya, tradisi, serta infrastruktur yang berbeda. NextBillion.ai memiliki kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan itu, telah disesuaikan dengan keunikan geografi dan budaya hiperlokal dengan sangat baik.

“Karena kami menyadari bahwa satu versi peta saja tidak akan bisa memenuhi seluruh Indonesia,” tambahnya.

NextBillion.ai akan membawa produk pemetaannya yang bernama nextbillionmaps ke Indonesia. Ini adalah peta SaaS berbasis AI yang menyediakan akses API, seperti rute, navigasi, arah, dan matriks jarak, untuk perusahaan-perusahaan yang membutuhkan peta digital di dalam aplikasi/situs mereka.

Biasanya perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di layanan e-commerce, ride-hailing, dan perusahaan logistik yang membutuhkan pemetaan digital untuk menjalankan operasional mereka. Solusi pemetaan digital ini sebenarnya secara global dikuasai oleh Google Maps. Tapi NextBillion.ai memosisikan diri untuk negara berkembang dan mengedepankan solusi hiperlokal.

“Selain untuk perusahaan, teknologi pemetaan canggih ini juga dibutuhkan untuk mewujudkan konsep smart city -seperti rencana pemerintah Indonesia.”

Pesatnya jumlah pengguna smartphone dan perusahaan yang mengembangkan data lokasi dengan kecepatan yang meningkat, NextBillion.ai menawarkan teknologi tepat guna bagi perusahaan-perusahaan yang berekspansi ke pasar-pasar menjanjikan seperti Indonesia.

Dengan demikian, perusahaan tersebut dapat terbantu dalam meningkatkan skala operasi dengan solusi hiperlokal, hemat biaya, dan relevan. Mitranya tersebar dari perusahaan media sosial, transportasi online, pengantaran makanan, jasa pengiriman, dan logistik di Asia Tenggara, India, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

Ajay menuturkan, pihaknya sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa klien potensial di Indonesia. Mereka akan pelan-pelan melakukan penetrasi pasar begitu pilot project berhasil diselesaikan. “Kami juga senang melihat banyaknya pendanaan yang diraih oleh startup-startup di Indonesia karena ini akan mengakselerasi rencana kami juga.”

Didirikan oleh mantan karyawan Grab

NextBillion adalah startup yang umurnya masih hitungan bulan. Mereka resmi berdiri pada awal tahun ini dengan kantor pusat di Singapura dan lokasi lainnya di India dan Tiongkok. Ajay sendiri, bersama dua co-founder lainnya, yakni Gaurac Bubna dan Shaoling Zheng adalah mantan karyawan dari Grab.

Buah tangan mereka saat di Grab adalah mengembangkan pemetaan sendiri dinamai Grab Maps dengan fitur Routing, Pricing, dan Estimated Time of Arrival (ETA). Dengan pengalaman tersebut, dia meyakini perusahaan berada dalam posisi terbaik karena solusi pemetaan yang dikembangkan, dapat dikostumisasi, terukur, efektif, dan telah disesuaikan dengan kebutuhan negara-negara berkembang di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Selain nextbillionmaps, perusahaan juga memiliki produk kedua yakni nextbilliontasks. Di sini AI digunakan untuk mendekode data dalam menyederhanakan teks multibahasa, klasifikasi gambar, analisis sentimen dan anotasi video.

Terkait perolehan pendanaan ini, tergolong cepat untuk startup yang baru dirintis. Pada bulan keempat, sebenarnya pendanaan Seri A ini telah ditutup dan diumumkan ke publik dua bulan kemudian.

Selain Lightspeed Venture Partners dan Falcon Edge Capital, startup ini juga mendapatk suntikan investasi dari angel investor, seperti Nishant Rao, Prashant Malik, Anand Chandrasekeran, dan Ashwini Asokan.

YouTuber Kini Bisa Pakai Fitur Smart Reply untuk Membalas Komentar

Sekitar lima tahun yang lalu, Google meluncurkan fitur Smart Reply pertama kalinya untuk aplikasi Inbox by Gmail (yang sekarang sudah almarhum). Sejak itu fitur berbasis AI tersebut sudah menyebar ke produk-produk Google lainnya, mulai dari Gmail sampai Wear OS. Smart Reply bahkan juga dipakai oleh developer aplikasi untuk membantu mereka merespon review pengguna di Google Play Store.

Sekarang, giliran kreator YouTube yang kebagian jatah Smart Reply. Fitur ini sudah bisa mereka gunakan melalui YouTube Studio, dan diharapkan dapat membantu kreator jadi lebih aktif berinteraksi dengan para penontonnya. Jadi ketimbang harus mengetik balasan komentar satu per satu, kreator dapat mengklik anjuran balasan yang AI berikan, lalu menambahkannya lagi secara manual jika dirasa perlu.

Smart Reply di YouTube sejauh ini baru mendukung bahasa Inggris dan Spanyol saja, akan tetapi Google tentu sudah berencana untuk menambahnya lebih banyak lagi. Rencana ini juga didukung oleh model AI yang mereka rancang, yang ternyata cuma satu model saja tapi dengan tipe cross-lingual, bukan merupakan model yang terpisah untuk tiap-tiap bahasa.

Ini penting mengingat YouTube merupakan produk berskala global, dan komentar dari seorang penonton terkadang bisa terdiri dari dua bahasa yang berbeda. Belum lagi bahasa yang digunakan juga sering kali bukan bahasa baku, melainkan yang kerap kita jumpai pada konteks percakapan sehari-hari. Alhasil, Google harus merombak cara kerja Smart Reply secara drastis di YouTube, sebab fitur ini awalnya terlahir dari lingkup email yang didominasi perbincangan formal.

Juga menjadi tantangan lebih lanjut adalah bagaimana komentar-komentar di YouTube kerap menggunakan singkatan, slang, emoji, maupun tanda baca yang tidak konsisten. Google bilang bahwa model cross-lingual memungkinkan AI-nya untuk mempelajari sendiri sejumlah elemen percakapan – macam konteks pemakaian emoji misalnya – dalam suatu bahasa untuk memahami penggunaannya di bahasa lain.

Lalu apakah Smart Reply akan aktif di seluruh komentar yang ada pada suatu video? Tidak. Google turut melatih sistemnya untuk mengidentifikasi komentar-komentar yang sekiranya akan dibalas oleh sang pemilik channel. Idealnya, kalau kata Google, Smart Reply hanya akan aktif ketika AI-nya bisa menganjurkan balasan yang spesifik dan masuk akal.

Sumber: VentureBeat dan Google. Gambar header: Hello I’m Nik via Unsplash.

Bahasa.ai Secures Follow-on Funding Led by East Ventures

Bahasa.ai, a startup developer of the NLP / NLU platform for the Indonesian language, announced continued funding with a nominal, led by its previous investor, East Ventures. This round was attended by new investors, such as DIVA, SMDV, and Plug and Play Indonesia.

Previously, Bahasa.ai received seed funding from East Ventures with undisclosed value in August 2018. Bahasa.ai’s Co-Founder & CEO, Hokiman Kurniawan cannot reveal any further details related to this round while in contact with DailySocial.

“This round is after the seed funding and we don’t put a series. The entrance [of new investors] has started from the beginning of the year,” he said, Wednesday (1/7).

DIVA, as a publicly listed company, in its official statement wrote the Bahasa.ai’s investment was launched in April 2020 through a subsidiary company. The investment aims to strengthen one of its products, DIVA Intelligent Instant Messaging to provide a 360-degree experience to consumers, especially those who are less tech-savvy.

The entrance of Bahasa.ai, indeed, broadens user’s target segment. DIVA alone focuses on the SME segment, while Bahasa.ai supports e-commerce players, banking, and the modern retail segment.

The company’s business transformation has changed, from B2B2C to B2C, allowing access to user engagement and facilitating access to relevant products and services with faster and more accurate responses.

“Bahasa.ai has a healthy business model and a strong track record in supporting large companies and leading e-commerce players in empowering their business in digital technology, especially in the area of ​​chatbot and AI technology,” the company wrote.

The Company hopes that by connecting the company with the DIVA Group, Bahasa.ai can enter the larger ecosystem, both commercially and financially. Several companies have used the company’s service, including Dana, Tokopedia, Sinarmas Bank, Bussan Auto Finance, and Panorama JTB.

Bahasa.ai applies a neutral network algorithm that is unique to Indonesian, allowing the chatbot platform to interact with consumers in a natural way. Like talking with a personal assistant or friend.

Typographical errors, informal phrases, and Indonesian slang can be detected and predicted by Bahasa.ai because Bahasa.ai memorizes and predicts repeated behavior or frequent transactions.

Bahasa.ai offers appropriate and relevant advice for its users. Also, another capability as an advantage, the “push notification” feature that offers relevant call-to-action, based on customer profiles and existing history.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bahasa.ai Kantongi Pendanaan Lanjutan Dipimpin East Ventures

Bahasa.ai, startup pengembang platform NLP/NLU untuk Bahasa Indonesia, mengumumkan pendanaan lanjutan dengan nominal dirahasiakan yang dipimpin investor terdahulunya, East Ventures. Putaran ini diikuti oleh jajaran investor baru, seperti DIVA, SMDV, dan Plug and Play Indonesia.

Sebelumnya, Bahasa.ai mengantongi pendanaan tahap awal dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan pada Agustus 2018. Detail terkait putaran terbaru ini belum bisa dipaparkan lebih lanjut oleh Co-Founder & CEO Bahasa.ai Hokiman Kurniawan saat dihubungi oleh DailySocial.

Round ini setelah seed dan tidak kita beri seri. Masuknya [para investor] sudah dari awal tahun,” katanya, Rabu (1/7).

Mengingat DIVA adalah perusahaan terbuka, dalam keterangan resminya dipaparkan investasi ke Bahasa.ai dilakukan pada April 2020 melalui entitas anak perseroan. Tujuan dari investasi ini adalah memperkuat salah satu produknya, yakni DIVA Intelligent Instant Messaging memberikan pengalaman 360 derajat kepada konsumen, terutama segmen yang kurang melek teknologi.

Masuknya Bahasa.ai, tentunya memperluas target segmen pengguna. DIVA sendiri fokus pada segmen UKM, sementara Bahasa.ai mendukung pemain e-commerce, perbankan, dan segmen ritel modern.

Transformasi bisnis perseroan pun berubah, dari B2B2C menjadi B2C, memungkinkan akses ke user engagement dan memfasilitasi akses ke produk dan layanan yang relevan dengan respons yang lebih cepat dan akurat.

“Bahasa.ai memiliki bisnis model yang sehat dan rekam jejak yang kuat dalam mendukung perusahaan besar dan pemain e-commerce terkemuka dalam memberdayakan bisnisnya dalam teknologi digital, terutama pada area chatbot dan teknologi AI,” tulis perseroan.

Perseroan berharap dengan menghubungkan perusahaan dengan Grup DIVA, Bahasa.ai dapat memasuki ekosistem yang lebih besar, baik secara komersial dan finansial. Sejumlah perusahaan yang menjadi klien perseroan di antaranya adalah Dana, Tokopedia, Bank Sinarmas, Bussan Auto Finance, dan Panorama JTB.

Bahasa.ai mengaplikasikan algoritma jaringan netral yang unik bagi Bahasa Indonesia, memungkinkan platform chatbot untuk berinteraksi dengan konsumen dengan cara alami. Seperti halnya berbicara dengan asisten pribadi atau teman.

Kesalahan ketik, frasa informal, dan bahasa gaul Indonesia dapat dideteksi dan diprediksi oleh Bahasa.ai karena Bahasa.ai menghafal dan memprediksi perilaku berulang atau transaksi yang sering dilakukan.

Bahasa.ai menawarkan saran yang tepat dan relevan bagi penggunanya. Kapabilitas lainnya yang menjadi kelebihan adalah fitur “push notification” yang menawarkan calls-to-action yang relevan, berdasarkan profil konsumen dan riwayat yang ada.

GetGo to Boost AI Technology for Retail Transaction

The development of artificial intelligence technology for retail consumers in Indonesia has not been as massive as in more developed countries. The implementation is quite intended for the corporations or governments, for example by making chatbot or CCTV detectors. This opportunity was used by GetGo as an AI startup focused on retail consumer transaction solutions.

“We focus on the daily issues in retail transactions, although there are many challenges to be solved with AI. AI for retail is quite small [its players], even in the region it is still not big enough,” GetGo’s Co-Founder and CEO, Erdian Tomy told DailySocial.

Erdian, along with Andika Rachman as Chief AI Officer in developing GetGo since July last year. Both are strong in their respective backgrounds, for example, Erdian has experience in advertising and Andika is strong in the AI-based innovation.

The journey begins when there are problems shopping at offline stores, sellers can not know the character and habits of buyers to do upselling. Even buyers cannot feel a seamless shopping experience.

“Starts from there we began to enter the offline realm by creating a GetGo Mini Cashier-less Store product, in collaboration with co-working space at seven locations earlier this year.”

In this first product, employees of coworking space can shop from products sold in the box and pay without cashiers. The payment process is done online. Nearly three months of running, GetGo managed to get 761 unique users.

This mid-March must stop because there is an obligation to quarantine at home because of the pandemic in Indonesia. “Finally from March until now our first product had to stop temporarily because of all the WFH offices, so there were no employees leaving.”

Erdian and the team finally racked their brains to continue to innovate, finally releasing a second product targeting online consumers called GetGo Visual Search. This product is an API that is integrated with e-commerce platform owners to be used by consumers when searching for goods online.

In the initial stages, GetGo can only be able to detect fashion products. The way for consumers is to simply take pictures that they can through the camera features in e-commerce applications. Product results will be immediately listed based on what they are looking for.

“This product is B2B. So we have an API that can be used by e-commerce partners. Consumers don’t need to install additional applications because AI GetGo has already been embedded in the e-commerce application.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
A location of GetGo Mini Cashier-less Store

Future business plans

Armed with the knowledge following the Gojek Xcelerate accelerator program, GetGo is more determined to get these two products mature. Erdian said that his team currently in the process of an agreement with two e-commerce platforms. Also, an additional AI’s ability to detect furniture products.

“Later, for the monetization model, we will charge per month to e-commerce. Meanwhile, Mini Cashier-less products use advertisements in each store. ”

Erdian believes that these two products will be widely accepted in the future and feel the impact of everyday transactions. Moreover, this product is built by local people, so there is more value offered, apart from pricing that is much cheaper.

“The technology is a commodity that cannot actually be used by certain countries. In the US and China, AI has become a part of life, they used to shop offline without cashiers. We have value, from the price is much cheaper and the approach is done locally. ”

Towards a new normal, he expects GetGo to be more expansive in developing business, including seeking funding. So far the company is still using its own funds, aka bootstrapping. The total GetGo team currently consists of six people and mostly are engineers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian