Galaxy Buds Pro Adalah TWS Paling Premium yang Samsung Punya Saat Ini

Bersamaan dengan peluncuran Galaxy S21 Series, Samsung turut mengumumkan TWS baru bernama Galaxy Buds Pro. Didesain sebagai TWS yang paling premium dari semua penawaran Samsung, Buds Pro mengunggulkan kelebihan dari segi desain, kualitas suara, serta fitur active noise cancellation (ANC) yang efektif.

Kita mulai dari desainnya terlebih dulu. Secara umum, bentuknya lebih mirip Galaxy Buds Plus ketimbang Galaxy Buds Live yang menyerupai kacang. Buds Pro juga mengadopsi desain in-ear seperti biasanya ketimbang desain yang terbuka, akan tetapi Samsung telah menyempurnakan desainnya dengan cara mengurangi area kontak antara telinga dan perangkat, sehingga bisa meminimalkan rasa seperti kuping yang terbuntu.

Di saat yang sama, Buds Pro masih tetap mempertahankan sejumlah elemen desain milik Buds Live, utamanya finish bergaya metalik dan charging case yang menyerupai kotak perhiasan. Buds Pro juga hadir membawa sertifikasi ketahanan air IPX7, paling tinggi di seluruh lini Galaxy Buds.

Masing-masing earpiece-nya dihuni oleh woofer 11 mm dan tweeter 6,5 mm, dengan fokus pada penyajian kualitas suara yang berimbang antara low, mid, dan high. Kalau menurut Samsung sendiri, TWS ini cocok dipakai untuk menikmati musik hip-hop maupun musik klasik.

Samsung juga tidak lupa menyematkan teknologi Dolby Head Tracking ke Buds Pro demi mewujudkan pengalaman menonton yang lebih immersive. Cara kerjanya kurang lebih sama seperti teknologi spatial audio yang Apple terapkan pada AirPods Pro. Juga menarik adalah bagaimana pengguna Galaxy S21 dapat menggunakan Buds Pro sebagai mikrofon eksternal ketika sedang merekam video.

Bicara soal mikrofon, tiap-tiap earpiece Buds Pro dibekali tiga buah mikrofon (dua di luar, satu di dalam), lengkap beserta sebuah Voice Pickup Unit dan teknologi Wind Shield guna memastikan suara pengguna bisa ditangkap sejernih mungkin. Mic ini tentu juga dipakai untuk mewujudkan fitur ANC, dan Samsung mengklaim fitur ANC milik Buds Pro dapat mengeliminasi suara di sekitar hingga 99 persen.

Seperti kebanyakan TWS lain yang dibekali fitur ANC, Buds Pro turut dilengkapi mode ambient untuk membiarkan suara di sekitar jadi terdengar oleh pengguna. Menariknya, suara di sekitar ini juga dapat diamplifikasi hingga 20 desibel seandainya diperlukan. Lalu di saat pengguna berbicara, Buds Pro secara otomatis bakal mematikan fitur ANC dan mengaktifkan mode ambient, mirip seperti fitur yang ditawarkan oleh headphone Sony WH-1000XM4.

Dalam sekali pengisian, baterai Buds Pro diperkirakan mampu bertahan sampai 5 jam penggunaan, atau sampai 8 jam kalau fitur ANC-nya dimatikan. Charging case-nya di sisi lain sanggup menyuplai hingga 13 jam daya baterai ekstra, atau hingga 20 jam tanpa ANC. Selain menggunakan kabel, charging case juga dapat diisi ulang secara nirkabel.

Di Indonesia, Galaxy Buds Pro saat ini sudah bisa dibeli dengan harga Rp2.749.000, atau sebagai bonus pre-order apabila Anda membeli Galaxy S21 Ultra selama periode 14 – 27 Januari 2021. Pilihan warna yang tersedia ada tiga, yakni hitam, silver, dan ungu.

Sumber: Samsung.

Trio Samsung Galaxy S21 Resmi Diluncurkan, Kini dengan Desain Baru yang Lebih Segar

2021 baru berjalan selama dua pekan, akan tetapi Samsung sudah tancap gas dengan meluncurkan lini smartphone flagship terbarunya, yakni Galaxy S21 Series. Melanjutkan tradisi tahun lalu, Samsung menghadirkan tiga model sekaligus: Galaxy S21, Galaxy S21+, dan Galaxy S21 Ultra.

Dibandingkan generasi sebelumnya, trio Galaxy S21 ini mengusung desain baru yang lebih segar. Perubahan yang paling kentara, sekaligus yang kelihatan paling manis, terletak pada bagian kamera belakangnya. Tonjolan kameranya kini dibuat menyatu dengan frame perangkat, dan finish glossy-nya tampak kontras dengan permukaan belakang perangkat yang memiliki finish matte.

Khusus pada Galaxy S21 Ultra, tonjolan kameranya lebih besar karena spesifikasinya memang berbeda cukup drastis. Supaya lebih jelas, mari kita bahas satu per satu.

Galaxy S21 dan Galaxy S21+

Sepintas, kedua ponsel ini memang kelihatan sangat identik, namun sebenarnya masih ada perbedaan fisik yang tidak tampak secara kasat mata. Perbedaan ini baru ketahuan saat kita menggenggamnya; Galaxy S21 memiliki panel belakang yang terbuat dari bahan polikarbonat, sedangkan Galaxy S21+ menggunakan material kaca. Alhasil, selisih bobot di antara keduanya pun cukup signifikan, 30 gram persisnya.

Tentu saja perbedaan bobot ini juga dipengaruhi faktor ukuran. Galaxy S21 hadir mengusung layar 6,2 inci, sedangkan Galaxy S21+ mengemas layar 6,7 inci. Spesifikasi layarnya sendiri sama persis; sama-sama AMOLED beresolusi 1080p, dengan refresh rate maksimum 120 Hz. 1080p? Ya, berbeda dari pendahulunya, Galaxy S21 dan Galaxy S21+ tidak punya opsi resolusi 1440p 60 Hz.

Kesamaannya terus berlanjut sampai ke bagian dapur pacu dan kamera. Menjadi otak keduanya adalah chipset baru Exynos 2100 yang dibuat menggunakan proses pabrikasi 5 nanometer, menjanjikan peningkatan performa sekaligus konsumsi daya yang lebih efisien ketimbang sebelumnya. Prosesor tersebut ditemani oleh RAM LPDDR5 8 GB dan pilihan storage internal 128 atau 256 GB, tapi sayangnya sudah tidak ada lagi slot kartu microSD.

Untuk kameranya, spesifikasinya adalah sebagai berikut: kamera utama 12 megapixel f/1.8 dengan dukungan teknologi OIS dan Dual Pixel AF, kamera ultra-wide 12 megapixel f/2.2, dan kamera telephoto 64 megapixel f/2.0 dengan dukungan 3x optical zoom. Di bagian depan, ada kamera selfie 10 megapixel f/2.2 yang juga dilengkapi teknologi Dual Pixel AF.

Berhubung dimensinya berbeda, otomatis kapasitas baterai yang tertanam pun juga berbeda: 4.000 mAh pada Galaxy S21, 4.800 mAh pada Galaxy S21+. Keduanya sama-sama mendukung wireless charging 15 W dan fast charging 25 W. Namun kabar buruknya, Anda harus menyiapkan sendiri charger-nya, sebab paket penjualan Galaxy S21 Series (termasuk Galaxy S21 Ultra) tidak mencakup satu pun adaptor USB-C (dan juga earphone).

Galaxy S21 Ultra

Beralih ke Galaxy S21 Ultra, konsumen bakal langsung disambut oleh layar yang paling besar sekaligus paling superior: AMOLED 6,8 inci, dengan resolusi 1440p, refresh rate 120 Hz, dan tingkat kecerahan maksimum 1.500 nit. Sisi kiri dan kanan layarnya juga sedikit melengkung mengikuti kontur bodi perangkat, tidak seperti milik Galaxy S21 dan Galaxy S21+ yang datar.

Untuk spesifikasinya, Samsung tetap menggunakan chipset Exynos 2100 pada Galaxy S21 Ultra, akan tetapi ada perbedaan di kapasitas RAM dan penyimpanan internalnya. Konsumen Galaxy S21 Ultra pada dasarnya punya tiga opsi RAM dan storage: 12 GB/128 GB, 12 GB/256 GB, dan 16 GB/512 GB. Sebagai yang paling bongsor, Galaxy S21 Ultra juga punya baterai berkapasitas paling besar di angka 5.000 mAh.

Lalu tibalah kita pada bagian yang paling menjual dari Galaxy S21 Ultra, yakni kamera. Tonjolan besar di belakangnya itu menampung sensor laser autofocus dan empat kamera dengan rincian sebagai berikut: kamera utama 108 megapixel f/1.8, kamera ultra-wide 12 megapixel f/2.2, kamera periskop 10 megapixel dengan 10x optical zoom, dan kamera telephoto 10 megapixel dengan 3x optical zoom.

Yang istimewa, tiga kamera di samping kamera utamanya itu sama-sama dibekali teknologi Dual Pixel AF, dan pengguna kini juga dapat merekam video 4K 60 fps menggunakan keempat kamera yang tersedia. Juga berbeda dari kedua adiknya, Galaxy S21 Ultra punya kamera depan 40 megapixel f/2.2.

Terakhir, Galaxy S21 Ultra juga berbeda sendiri berkat kemampuannya mengenali stylus S Pen milik seri Galaxy Note. Kendati demikian, fitur-fitur yang didukung tidak selengkap di seri Galaxy Note, dan Galaxy S21 Ultra juga tidak punya ruang khusus untuk menyimpan S Pen kecuali Anda membeli casing yang spesifik.

Harga dan ketersediaan

Semua varian warna yang tersedia untuk Galaxy S21 Series / Samsung
Semua varian warna yang tersedia untuk Galaxy S21 Series / Samsung

Tanpa perlu menunggu lama, trio Samsung Galaxy S21 ini sudah langsung tersedia di Indonesia. Untuk Galaxy S21, harganya dipatok mulai Rp12.999.000, sedangkan Galaxy S21+ mulai Rp15.999.000. Galaxy S21 Ultra di sisi lain ditawarkan dengan banderol mulai Rp18.999.000.

Program pre-order untuk ketiga smartphone ini sudah dimulai dari tanggal 14 Januari hingga 27 Januari 2021. Konsumen yang melakukan pemesanan Galaxy S21 atau Galaxy S21+ dalam periode tersebut berhak mendapatkan bonus TWS Galaxy Buds Live, tracker Galaxy SmartTag, langganan gratis Samsung Care+ selama satu tahun, dan cashback hingga sebesar Rp1.000.000. Khusus Galaxy S21 Ultra, bonusnya hampir sama, akan tetapi TWS-nya adalah TWS anyar Galaxy Buds Pro.

Khusus untuk yang melakukan pre-order pada tanggal 14 hingga 17 Januari, mereka punya kesempatan untuk mendapatkan free upgrade pembelian Galaxy S21+ 128 GB ke Galaxy S21+ 256 GB. Galaxy S21 Ultra pun juga demikian; ada bonus free upgrade pembelian dari 128 GB ke 256 GB, dan dari 256 GB ke 512 GB selama melakukan pemesanan sebelum 17 Januari 2021.

Lenovo ThinkBook Plus Gen 2 Hadir Membawa Layar E Ink yang Lebih Besar Sekaligus Lebih Tajam

Ajang CES tahun lalu menjadi saksi atas lahirnya laptop unik dari Lenovo yang bernama ThinkBook Plus. Unik karena laptop tersebut mempunyai dua layar; satu di tempat biasanya, satu lagi layar sentuh E Ink pada cover penutupnya.

Di CES 2021, Lenovo sudah menyiapkan penerusnya, yakni ThinkBook Plus Gen 2. Dibandingkan pendahulunya, ThinkBook Plus Gen 2 punya layar E Ink yang lebih besar; dari 10,8 inci menjadi 12 inci, sehingga cuma menyisakan secuil ruang untuk label “ThinkBook” di bagian ujung. Selain lebih besar, layar E Ink-nya juga lebih tajam dengan resolusi 2560 x 1600 pixel.

Bukan cuma itu, Lenovo rupanya juga telah meningkatkan refresh rate layar E Ink-nya, sekaligus menyempurnakan tampilan antarmukanya. Untuk layar utamanya, ukurannya masih tetap 13,3 inci dan masih menggunakan panel IPS, akan tetapi aspect ratio-nya telah diubah menjadi 16:10, dan resolusinya juga telah ditingkatkan menjadi 2560 x 1600 pixel.

Upgrade lain yang tidak kalah menarik adalah adanya slot khusus untuk menyimpan stylus di sisi kanan laptop. Selebihnya, ThinkBook Plus Gen 2 tentu sudah dibekali spesifikasi yang lebih mumpuni, yang melibatkan prosesor Intel Core i7 generasi ke-11, RAM LPDDR4X 16 GB, dan SSD PCIe Gen 4 berkapasitas 1 TB pada konfigurasi termahalnya.

Secara keseluruhan, ThinkBook Plus Gen 2 punya desain yang lebih sleek ketimbang generasi pertamanya. Dimensinya pun juga lebih ringkas, dengan tebal hanya 13,9 mm dan bobot 1,3 kg. Kendati demikian, Lenovo masih bisa menjejalkan baterai berkapasitas 53 Wh, yang diyakini sanggup bertahan hingga 15 jam pemakaian, atau sampai 24 jam kalau hanya menggunakan layar E Ink-nya saja.

Sayangnya semua penyempurnaan tersebut pada akhirnya berujung pada harga jual yang lebih mahal. Di Amerika Serikat, Lenovo ThinkBook Plus Gen 2 bakal dipasarkan dengan banderol mulai $1.549 pada kuartal pertama tahun ini. Selisihnya cukup lumayan jika dibandingkan dengan ThinkBook Plus generasi pertama yang dihargai mulai $1.199 (Rp23.900.000 di Indonesia).

Sumber: The Verge dan Lenovo.

Razer Pamerkan Konsep Kursi Gaming Futuristis, Project Brooklyn

Razer meluncurkan kursi gaming pertamanya pada bulan Oktober 2020. Baru beberapa bulan berselang, mereka rupanya sudah punya gambaran ke mana kategori produk ini bakal mengarah ke depannya. Gambaran itu mereka tuangkan dalam wujud konsep kursi gaming canggih bernama Project Brooklyn.

Dalam posisi normal, Project Brooklyn tampak seperti kursi gaming standar yang dibekali aksen pencahayaan RGB. Namun senjata rahasianya tersembunyi pada bagian yang menopang punggung pengguna, yakni sebuah layar OLED fleksibel berukuran 60 inci yang bisa diposisikan persis di depan pengguna, menyuguhkan visual yang lebih immersive dari monitor gaming tradisional.

Bukan hanya itu, di dalam sandaran tangannya juga tersembunyi meja lipat untuk menaruh keyboard dan mouse. Lalu supaya pengalaman bermain yang dirasakan jadi kian immersive, Razer turut menyematkan teknologi haptic feedback HyperSense ke sandaran punggung kursi berangka serat karbon ini.

Secara keseluruhan, premisnya cukup mirip seperti yang ditawarkan oleh Predator Thronos, kursi gaming seharga Rp200 juta yang Acer perkenalkan dua tahun silam. Bedanya, Acer memanfaatkan teknologi yang sudah ada, sedangkan Project Brooklyn masih berstatus konsep karena memang layar yang sefleksibel itu belum eksis sampai saat ini.

Kapan konsep ini bisa direalisasikan menurut saya sepenuhnya bergantung pada perkembangan teknologi display. Seandainya produsen panel OLED macam Samsung atau LG sudah siap memproduksi layar secanggih itu secara massal, saya kira sah-sah saja Razer menawarkan produk semacam ini ke publik.

Untuk sekarang, yang mungkin sudah bisa diterapkan adalah inovasi-inovasi macam meja lipat dan sistem haptic feedback itu tadi. Pencahayaan RGB pun tentu juga sangat memungkinkan, dan saya tidak akan terkejut seandainya kursi gaming kedua Razer hadir mengusung elemen dekorasi warna-warni tersebut.

Rencananya, Razer akan terus mengembangkan konsep kursi gaming futuristis ini, mengujinya bersama atlet-atlet esport kenamaan dan kalangan influencer guna mendapatkan tolok ukur performa, kenyamanan, dan kelayakannya. Harapannya tentu adalah supaya masukan-masukan yang ditampung bisa Razer terapkan ke portofolio kursi gaming-nya dalam waktu dekat.

Sumber: PC Gamer dan Razer.

Asus Luncurkan Laptop Gaming 2-in-1, ROG Flow X13

CES 2021 kebanjiran seabrek laptop baru. Hal ini cukup wajar mengingat AMD memang baru meluncurkan lini prosesor Ryzen 5000 Series untuk laptop, dan Nvidia juga telah mengumumkan keluarga GPU RTX 30 Series buat laptop.

Dari sekian banyak laptop anyar yang dipamerkan, satu yang cukup mencuri perhatian datang dari Asus. Dinamai ROG Flow X13, ia merupakan laptop gaming 2-in-1 dengan dimensi yang sangat ringkas. Tebalnya tercatat cuma 15,8 mm, dan bobotnya pun tidak lebih dari 1,3 kg.

Di balik sasisnya, tertanam prosesor terbaru AMD, dengan konfigurasi termahal yang melibatkan Ryzen 9 5980HS, plus GPU Nvidia GeForce GTX 1650. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM LPDDR4X-4266 berkapasitas 32 GB, SSD 1 TB, dan baterai 62 Wh.

Berhubung perangkat ini masuk kategori 2-in-1, otomatis layarnya dilengkapi engsel 360 derajat sehingga perangkat bisa digunakan dalam beberapa mode. Menariknya, ketika Flow X13 diposisikan seperti sebuah tenda, sistem pendinginnya diklaim dapat bekerja secara lebih optimal dikarenakan tidak ada bagian yang tertutup oleh permukaan.

Layarnya sendiri ditawarkan dalam dua versi: FHD 120 Hz, atau 4K 60 Hz. Semuanya merupakan panel sentuh seluas 13 inci, dengan aspect ratio 16:10 untuk menampilkan lebih banyak konten secara vertikal, serta validasi dari Pantone yang menjamin keakuratan warna yang dihasilkannya.

Namun wujud yang convertible bukan satu-satunya faktor yang mencuri perhatian dari Flow X13. Ia juga datang bersama tandem opsional berupa sebuah external GPU (eGPU) yang berukuran sangat ringkas. Persisnya, eGPU bernama ROG XG Mobile ini punya dimensi 155 x 208 x 29 mm, dengan bobot yang berkisar hanya 1 kg.

Terlepas dari wujudnya yang imut-imut, XG Mobile menyimpan tenaga yang luar biasa berkat GPU RTX 3080 yang tertanam. Lebih lanjut, Asus juga telah membekalinya dengan interface PCIe 3.0 x8 khusus yang lebih kencang ketimbang Thunderbolt 4. Itu artinya perangkat ini butuh konektor spesial untuk bisa disambungkan ke laptop, dan sejauh ini cuma Flow X13 saja yang punya.

Suplai dayanya sendiri berasal dari adaptor 280 W yang akan menenagai XG Mobile dan Flow X13 secara bersamaan. Secara keseluruhan, Asus merancang paket lengkap laptop dan eGPU ini agar mudah dibawa bepergian.

Kalau boleh menyimpulkan, Flow X13 pada dasarnya merupakan jawaban Asus terhadap Razer Blade Stealth 13. Namun yang dilakukan Asus bukan sebatas menyematkan komponen yang lebih bertenaga saja, melainkan juga merancang desain yang fleksibel yang sangat berguna untuk keperluan kreasi konten, serta menyediakan eGPU opsional yang tidak menyita terlalu banyak ruang di dalam tas.

Di Amerika Serikat, bundel Flow X13 dan XG Mobile ini sekarang sudah dipasarkan dengan harga $3.000. Memang jauh dari kata murah, apalagi mengingat banderol tersebut bukan untuk konfigurasi yang paling tinggi.

Sumber: Asus.

Nvidia Perkenalkan RTX 3060 dan RTX 30 Series untuk Laptop

Nvidia belum selesai melengkapi keluarga kartu grafis berarsitektur Ampere besutannya. Di CES 2021, mereka secara resmi memperkenalkan RTX 3060, model yang paling terjangkau di seluruh lini RTX 30 Series, dengan banderol harga yang dimulai di angka $329.

Banderol tersebut menempatkan 3060 lebih murah lagi ketimbang 3060 Ti yang dipatok seharga $399. Pertanyaannya, apa saja yang dipangkas di 3060? Yang pertama adalah jumlah CUDA core; 3060 dibekali 3.584 CUDA core, sedangkan 3060 Ti dibekali 4.864 CUDA core. Memory bus width-nya juga lebih kecil, 192-bit dibanding 256-bit pada 3060 Ti.

Menariknya, 3060 justru punya VRAM yang lebih besar, persisnya 12 GB tipe GDDR6. Ini penting mengingat Nvidia baru saja mengumumkan teknologi Resizable BAR, yang memungkinkan prosesor untuk mengakses memory milik GPU secara keseluruhan demi semakin mendongkrak performa, dengan catatan motherboard-nya mendukung teknologi tersebut.

Resizable BAR pada dasarnya adalah jawaban Nvidia terhadap fitur Smart Access Memory yang dihadirkan oleh AMD Radeon RX 6000 Series. Yang istimewa, Nvidia merancang Resizable BAR supaya kompatibel dengan prosesor bikinan Intel maupun AMD.

Masih soal spesifikasi, 3060 memiliki base clock 1,32 GHz dan boost clock 1,78 GHz. Di atas kertas, 3060 semestinya bakal menyuguhkan sekitar tiga perempat dari performa 3060 Ti kalau hanya memperhatikan selisih jumlah CUDA core-nya tadi. Itu artinya performanya mungkin belum bisa menyaingi 2080 Super secara ketat seperti 3060 Ti.

Pada kenyataannya, Nvidia justru menyiapkan 3060 sebagai opsi upgrade yang rasional bagi mereka yang masih menggunakan GTX 1060. Berdasarkan survei Steam, 1060 masih merupakan GPU yang paling banyak digunakan, tapi belakangan usianya sudah mulai kelihatan ketika dipakai untuk menjalankan deretan game terbaru.

Nvidia sendiri mencontohkan bagaimana 1060 mampu menjalankan Watch Dogs 2 (game tahun 2016) di 60 fps menggunakan setting high, tapi hanya kuat menjalankan Watch Dogs: Legion di 24 fps. Menggunakan 3060, performa yang dihasilkan diperkirakan mencapai dua kali lipat performa 1060, dan itu belum termasuk fakta bahwa 3060 mendukung fitur-fitur seperti ray tracing dan DLSS – dua fitur yang sepenuhnya absen di GTX 1060.

Berbeda dari kakak-kakaknya, 3060 tidak akan hadir dalam versi Founders Edition. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai akhir Februari, meski mungkin stoknya juga bakal cukup langka seperti sederet GPU baru lainnya. $329 sendiri merupakan banderol yang sangat menarik, sebab RTX 2060 dihargai $349 pada awal peluncurannya dua tahun silam.

RTX 30 Series untuk laptop

GeForce RTX 30 Series laptops

Di samping memperkenalkan RTX 3060, Nvidia juga mengumumkan ketersediaan GPU RTX 30 Series untuk laptop. Sejauh ini Nvidia bilang sudah ada lebih dari 70 model laptop dari beragam merek yang hadir mengusung GPU RTX 30 Series, dan lebih dari separuhnya dilengkapi dengan layar yang memiliki refresh rate 240 Hz atau lebih.

Dukungan refresh rate setinggi itu mengindikasikan performa bengis RTX 30 Series versi laptop. Kalau dijabarkan, Nvidia menawarkan tiga model sebagai berikut:

RTX 3060, dengan kemampuan menjalankan game di 90 fps menggunakan setting ultra pada resolusi 1080p. Laptop yang dibekali RTX 3060 dimulai di harga $999, istimewa mengingat performanya diklaim lebih kencang daripada laptoplaptop yang dibekali RTX 2080 Super yang biasanya dihargai $2.500 atau lebih. Kalau dibandingkan dengan PS5, Nvidia optimis performa yang dihasilkan RTX 3060 di laptop bisa 1,3 kali lebih cepat.

RTX 3070, yang sanggup menyajikan 90 fps pada resolusi 1440p dengan setting ultra. Harga jual laptop yang menggunakan RTX 3070 dimulai di angka $1.299, dan kinerjanya dipastikan 50% lebih gegas daripada laptop yang ditenagai RTX 2070.

RTX 3080, dengan memory GDDR6 16 GB untuk memenuhi kebutuhan gamer sekaligus kreator yang paling menuntut. Game dengan setting ultra pada resolusi 1440p dapat dijalankan dengan sangat mulus di lebih dari 100 fps, atau di kisaran 240 fps untuk gamegame esport macam Overwatch atau Valorant. Harga laptop yang mengusung RTX 3080 kabarnya dimulai di angka $1.999.

Sumber: Nvidia 1, 2.

V-MODA Luncurkan Headphone Noise-Cancelling Pertamanya, M-200 ANC

V-MODA, produsen headphone asal Amerika Serikat yang diakuisisi oleh Roland di tahun 2016, punya logo baru guna menyambut tahun 2021 ini. Bersamaan dengan itu, mereka turut menyingkap headphone wireless anyar yang cukup memikat, yakni V-MODA M-200 ANC.

Ya, dari namanya saja sudah bisa langsung ditebak bahwa headphone ini mengunggulkan fitur active noise cancellation (ANC) untuk mengeliminasi suara-suara di sekitar penggunanya. Di saat pabrikan lain seperti Bose dan Sony sudah mematangkan teknologi ANC-nya selama beberapa tahun, V-MODA justru baru merambah kategori ini sekarang. Namun seperti biasa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Intensitas ANC di headphone ini bisa diatur dalam 10 tingkatan yang berbeda menggunakan aplikasi pendampingnya di smartphone. V-MODA pun tidak lupa menyematkan mode ambient yang akan mengecilkan volume secara otomatis sekaligus menonaktifkan fitur ANC setiap kali pengguna menutupi earcup sebelah kiri menggunakan tangannya.

Untuk urusan estetika, M-200 ANC rupanya masih mempertahankan gaya desain yang sudah V-MODA terapkan sejak sepuluh tahun lalu, dengan konstruksi serba logam dan earcup berbentuk segi enam yang sudah sangat khas. Juga sudah menjadi tradisi V-MODA selama ini adalah lapisan penutup earcup-nya yang dapat dilepas-pasang dan dikustomisasi sesuka hati.

Saat sedang tidak digunakan, kedua earcup-nya dapat dilipat ke dalam sehingga menempel dengan headband dan mudah disimpan di dalam hard case. Satu sentuhan desain manis pada M-200 ANC adalah bantalan telinga yang dapat dilepas dan dipasang secara magnetis, sangat memudahkan ketika perlu dibersihkan atau diganti dengan yang baru.

Dalam sekali pengisian, baterai M-200 ANC disebut dapat bertahan selama 20 jam nonstop meski fitur ANC-nya menyala terus. Charging-nya sudah mengandalkan kabel USB-C, dan pengisian selama 10 menit saja sudah bisa menyuplai daya yang cukup untuk sekitar 1,5 jam pemakaian. Lalu kalau memang dibutuhkan, M-200 ANC juga masih bisa digunakan dengan kabel audio 3,5 mm standar.

Yang cukup mengejutkan dari V-MODA M-200 ANC adalah harganya: $500. Kalau soal kualitas suara, V-MODA sebenarnya sudah tidak perlu diragukan, terutama bagi konsumen yang menyukai karakter suara yang warm dengan bass yang empuk. Yang masih perlu pembuktian adalah kinerja fitur ANC-nya, dan di sinilah headphone ini harus mampu bersaing dengan dua raja di kategori ini, yaitu Sony WH-1000XM4 dan Bose Noise Cancelling Headphones 700, yang keduanya sama-sama dibanderol lebih terjangkau.

Sumber: Engadget.

JLab JBuds Frames Adalah Sepasang Speaker Mini yang Dapat Dikaitkan ke Kacamata

Di antara sekian banyak TWS yang ada di pasaran, Samsung Galaxy Buds Live mungkin adalah salah satu yang paling unik berkat desain terbukanya. Untuk tahun 2021 ini, sepertinya tren di kategori TWS bakal mengarah ke sana, dan sejauh ini kita sudah melihat Bose beserta Earin yang meluncurkan perangkat berdesain serupa.

Lain halnya dengan yang dilakukan oleh JLab. Produsen perangkat audio asal Amerika Serikat tersebut justru menghadirkan wujud alternatif TWS yang sangat menarik, terutama bagi konsumen yang berkacamata. Dijuluki JBuds Frames, ia sebenarnya merupakan sepasang speaker mini yang dapat dikaitkan ke tangkai kacamata.

JLab JBuds Frames

Kacamatanya bisa kacamata hitam, bisa juga kacamata biasa. Konsepnya kurang lebih sama seperti yang ditawarkan oleh Bose Frames, hanya saja di sini kita sendiri yang menyediakan kacamatanya masing-masing. Berhubung tidak ada satu pun bagian yang menutupi telinga, suara dari sekitar pengguna pun bisa didengar dengan cukup jelas.

Tentu saja hal ini bisa jadi kelebihan sekaligus kekurangan, tergantung kebutuhan masing-masing pengguna. Di dalam kabin pesawat atau di angkutan umum, perangkat semacam ini jelas tidak cocok. Namun saat berada di kantor dan jika sering diinterupsi oleh koleganya, TWS berdesain terbuka ataupun JBuds Frames ini bisa dibilang merupakan alternatif yang lebih praktis.

Masing-masing unit JBuds Frames ditenagai oleh driver berdiameter 16,2 mm, dan JLab bilang suara yang dihasilkannya cukup keras untuk dapat didengar secara jelas oleh penggunanya, tapi tidak sampai kedengaran oleh orang-orang di sekitarnya. Pengguna bebas mengenakan kedua earpiece-nya secara bersamaan, atau bisa juga secara terpisah (kiri saja atau kanan saja).

JLab JBuds Frames

JBuds Frames diklaim tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4, yang berarti ia masih bisa beroperasi seperti biasa di tengah guyuran hujan. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini mampu bertahan hingga 8 jam pemakaian. Charging-nya sendiri membutuhkan waktu sekitar 2 jam menggunakan kabel USB khusus yang disertai konektor magnetis untuk masing-masing earpiece.

Kabarnya, JLab JBuds Frames bakal mulai dipasarkan pada musim semi 2021 seharga $50. Harganya ini jelas jauh lebih terjangkau ketimbang Bose Frames yang memang satu paket bersama kacamatanya.

Sumber: SlashGear dan GlobeNewswire.

LG Kembangkan TV Gaming Unik dengan Layar yang Bendable

Dari tahun ke tahun, ajang Consumer Electronics Show (CES) selalu menjadi panggung demonstrasi teknologi display terkini dari pabrikan-pabrikan seperti Samsung, LG maupun Sony. Tahun ini pun tidak luput dari tren tersebut, terlepas dari fakta bahwa CES 2021 harus dihelat secara online.

Melalui sebuah siaran pers, LG mengumumkan bahwa mereka bakal segera memamerkan sebuah prototipe TV istimewa yang mereka juluki dengan istilah Bendable Cinematic Sound OLED (CSO). Kuncinya terletak pada kata “bendable“, yang mengindikasikan bahwa layar milik TV ini dapat dibengkokkan sekaligus dapat kembali ke bentuk semula.

Mengapa Anda perlu membengkokkan layar TV, dan mengapa ini harus kita bahas di Hybrid? Idenya adalah, dalam posisi datar, TV seukuran 48 inci ini bisa dipakai untuk menonton berbagai tayangan secara nyaman. Lalu ketika pengguna hendak bermain game, layarnya dapat dibuat jadi melengkung sehingga pengalaman yang didapat bisa lebih immersive.

Perangkat ini pada dasarnya merupakan jawaban terhadap konsumen yang mengeluhkan bahwa layar melengkung lebih cocok dipakai untuk gaming ketimbang menonton. Satu perangkat untuk dua keperluan, kira-kira begitu premis utamanya. Sayang hingga kini mekanisme untuk membengkokkan dan meluruskan layarnya masih misteri, apakah menggunakan tombol atau bagaimana.

Secara teknis, layar TV ini memiliki kurvatur maksimum sebesar 1000R, setara dengan yang ditawarkan monitor gaming flagship Samsung, Odyssey G9. Pemilihan nominal kurvaturnya bukanlah suatu kebetulan, sebab 1000R disebut adalah yang kelengkungannya paling mendekati kontur bola mata manusia.

LG tidak menyebutkan resolusinya, tapi saya menebak 4K kalau melihat ukurannya yang cukup besar. Melengkapi spesifikasinya adalah waktu respon 0,1 milidetik dan refresh rate maksimum sebesar 120 Hz, sudah sangat cukup untuk keperluan leisure gaming.

Namun layar yang bendable bukanlah satu-satunya kejutan dari perangkat ini. LG turut melengkapinya dengan sistem audio yang inovatif, di mana layarnya akan bergetar untuk menghasilkan suara. Teknologi ini bukanlah barang baru, akan tetapi LG sudah menyempurnakannya sehingga komponen yang diperlukan jauh lebih tipis daripada versi sebelumnya, krusial demi mencegah sasis TV yang kelewat tebal.

Untuk keperluan menonton, sistem audio semacam ini mungkin bisa dikatakan cukup, meski kemungkinan besar kualitas suaranya jauh di bawah soundbar. Kalau untuk keperluan gaming, sepertinya gamer akan lebih memilih menggunakan headset. Terlepas dari itu, setidaknya TV ini dapat langsung digunakan begitu dikeluarkan dari boksnya.

Lebih lengkapnya mengenai TV gaming yang bendable ini baru akan dibeberkan pada acara CES 2021 nanti, yang dijadwalkan berlangsung mulai 11-14 Januari.

Sumber: The Verge.

Gaming Mouse Asus ROG Chakram Dilengkapi Stik Analog Layaknya Sebuah Gamepad

Asus merilis sederet perangkat gaming di CES 2020, namun satu yang menurut saya paling mencuri perhatian adalah ROG Chakram, sebuah mouse serba bisa yang dilengkapi satu inovasi langka, yakni sebuah stik analog kecil di sisi kirinya.

Fungsinya tidak lain dari menggantikan joystick yang biasa terdapat pada gamepad. Kendati demikian, pengguna juga dapat memanfaatkannya sebagai tombol input empat arah yang semua fungsinya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Andai benar-benar tidak dibutuhkan, stik analog itu juga dapat dilepas dan diganti dengan cover penutup. Asus benar-benar memperhatikan aspek kustomisasinya; stik analognya hadir dalam dua ukuran yang berbeda demi menyesuaikan dengan ukuran ibu jari konsumen yang bervariasi.

Asus ROG Chakram

Juga menarik dari ROG Chakram adalah aspek modularnya. Tidak seperti mouse konvensional, kedua tombol utama ROG Chakram terpasang secara magnetis, sehingga pengguna dapat melepasnya dengan mudah. Usai dilepas, mereka juga bisa mengganti switch Omron yang terpasang dengan switch lain yang sejenis.

Lanjut ke bagian telapak tangan, cover penutupnya rupanya juga turut mengandalkan magnet. Lepas cover-nya, maka konsumen akan mendapati dongle USB yang tersimpan dengan rapi di baliknya. Andai latency bukan masalah, pengguna juga bisa menyambungkan ROG Chakram via Bluetooth.

Asus ROG Chakram

Dalam satu kali pengisian, baterai ROG Chakram bisa bertahan selama 48 jam pemakaian (79 jam kalau lampu RGB-nya dimatikan). Dalam mode Bluetooth, daya tahan baterainya mencapai angka 53 jam (100 jam tanpa lampu RGB). Selain menggunakan kabel USB, ROG Chakram juga dapat di-charge di atas Qi wireless charging pad.

Perihal performa, Asus ROG Chakram mengandalkan sensor optik dengan sensitivitas maksimum 16.000 DPI dan akurasi 400 IPS. Bobotnya yang berada di kisaran 122 gram juga dinilai optimal; tidak terlalu berat, tapi juga tidak kelewat ringan. Perangkat ini rencananya akan segera dijual seharga $150.

Sumber: Asus.