Traveloka is Reportedly Secured Fresh Funding, Valuation Drops at $2,75 Billion

Traveloka is reportedly secured fresh funding. As quoted from Bloomberg, the company is in the final negotiation with some investors, including Siam Commercial Bank and FWD Group – also the previous investors, GIC and East Ventures.

The agreement is subject to change and secured funding is around $250 million (3.6 trillion Rupiah). DealStreetAsia mentioned a bigger number at $100 million (around 1.4 trillion Rupiah).

Along the process, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round was taken due to the Covid-19 pandemic’s impact on the company’s business.

Last year, some sources reported Traveloka’s valuation to reach $4.5 billion (nearly 65 trillion Rupiah). Still, they targeted to raise new funds worth of $500 million (7.2 trillion Rupiah).

All businesses in the OTA landscape experienced a great storm due to the pandemic. In addition, Expedia (a Traveloka investor), in Q1 2020 experienced a decrease in total orders of up to 39%. Traveloka’s affiliated company in the budget hotel sector, Airy, closed its business due to unbearable business operations.

Traveloka alone has performed layoffs for its employees, although the number is not clearly stated.

Aside from Traveloka, some Indonesian unicorn startups are looking for fresh funding. Gojek is finalizing its Series F funding, while Tokopedia is reportedly in the middle of discussing a follow-on round with Temasek and Google.

Traveloka was founded in 2012 by Ferry Unardi, Albert Zhang, and Derianto Kusuma. The latest one has “exited” since November 2018 and drop the CTO position. Traveloka services are already available in several countries in Southeast Asia and Australia.

Adapting Business

Investors’ only hope is the recovery of the post-pandemic travel business. In fact, new normal is indeed being pursued in many areas, but the fear of the new wave of Covid-19 has caused many people to discourage travel – in addition to various destinations, they are yet to open due to restrictions.

The company alone does not remain silent. They try to clean up. With its assets, Traveloka launches online activity through Xperience. They also try to optimize fintech services through several products, including Paylater, which is managed by its own financial company.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Dikabarkan Finalisasi Pendanaan Baru, Valuasi Turun di Angka $2,75 Miliar

Traveloka dikabarkan kembali mendapatkan pendanaan baru. Menurut sumber yang dikutip Bloomberg, perusahaan dalam negosiasi tahap akhir dengan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank dan FWD Group — juga investor terdahulu, seperti GIC dan East Ventures.

Kendati kesepakatan masih bisa berubah, dana yang akan diamankan berada di kisaran $250 juta (3,6 triliun Rupiah). Lebih besar yang dikabarkan DealStreetAsia, yakni $100 juta (sekitar 1,4 triliun Rupiah).

Untuk mendapatkan dana itu, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19.

Tahun lalu, beberapa sumber laporan mengestimasi valuasi Traveloka menyentuh angka $4,5 miliar (hampir 65 triliun Rupiah). Tahun lalu juga mereka menargetkan mendapatkan dana baru di angka $500 juta (7,2 triliun Rupiah).

Semua bisnis di lanskap OTA mengalami gangguan besar akibat pandemi. Selain Traveloka, Expedia (salah satu investor Traveloka), di Q1 2020 mengalami penurunan total pesanan hingga 39%. Perusahaan afiliasi Traveloka di sektor hotel budget, Airy, bahkan menutup bisnisnya karena tidak sanggup lagi menanggung operasional bisnis.

Traveloka sendiri sudah santer melakukan layoff terhadap pegawainya, meskipun tidak diumumkan secara pasti berapa banyak pegawai yang terdampak.

Selain Traveloka, sejumlah startup unicorn Indonesia memang terus mencari pendanaan baru. Gojek sedang menggenapkan pendanaan Seri F-nya, sedangkan Tokopedia dikabarkan tengah membicarakan investasi lanjutan dengan Temasek dan Google.

Traveloka didirikan pada tahun 2012 oleh Ferry Unardi, Albert Zhang, dan Derianto Kusuma. Yang terakhir, sudah “exit” sejak November 2018 dan melepas jabatannya sebagai CTO. Layanan Traveloka sudah tersedia di beberapa negara di Asia Tenggara dan Australia.

Adaptasi bisnis

Satu-satunya pengharapan investor adalah pulihnya kembali bisnis travel pasca pandemi. Nyatanya new normal memang sedang diupayakan di banyak wilayah, namun kekhawatiran hadirnya gelombang baru Covid-19 membuat banyak masyarakat mengurungkan niat bepergian – di samping berbagai destinasi juga belum membuka diri akibat pembatasan.

Perusahaan sendiri tidak tinggal diam. Mereka mencoba berbenah. Dengan aset yang dimiliki, Traveloka  meluncurkan opsi aktivitas online melalui Xperience. Mereka juga mencoba mengoptimasi layanan fintech melalui beberapa produk, termasuk Paylater yang dikelola perusahaan finansialnya sendiri.

Application Information Will Show Up Here

Seputar Pemanfaatan Teknologi pada Layanan Kesehatan Gigi

Selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, layanan kesehatan berbasis online merupakan salah satu dari sejumlah layanan yang banyak diburu masyarakat di Indonesia. Layanan ini dinilai dapat membantu mengurangi penyebaran Covid-19 tanpa perlu bertatap muka.

Sebetulnya, sebelum penyebaran wabah Covid-19, startup di bidang kesehatan berbasis teknologi (healthtech) memang digadang bakal bersinar pada tahun ini.  Healthtech memampukan setiap stakeholder di dalamnya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih mudah, cepat, dan terjangkau bagi pasien.

Pemanfaatan teknologi di bidang ini dianggap sangat dinantikan oleh banyak pihak, terutama bagi pasar yang memiliki keterbatasan akses pada layanan kesehatan.

Bicara healthtech, Chief Marketing Officer Rata Deviana Maria berbagi informasi menarik seputar pemanfaatan Artificial Technology (AI) pada jenis layanan ini. Simak selengkapnya pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Pemanfaatan AI untuk decision-making

Rata merupakan contoh startup di bidang kesehatan yang memanfaatkan teknologi untuk menyediakan solusi permasalahan estetika gigi. Startup ini memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk menciptakan sebuah solusi terprediksi bagi pasiennya.

Pada kasus ini, AI dapat dimanfaatkan untuk mengolah dental record dan memperoleh sebuah hasil dari photo scan gigi pasien tentang bagaimana perawatan pasien selanjutnya.

“Teknologi yang kami gunakan bisa menghasilkan sebuah prediksi, misalnya berapa lama gigi pasien bisa rata kembali. Kami kan juga punya video pergerakan gigi pasien. Nah, teknologi ini dapat memudahkan dokter dan pasien untuk mengambil keputusan,” papar Deviana.

AI bantu untuk memilah kasus

Deviana mengakui bahwa implementasi AI di Indonesia belum secanggih di Tiongkok yang sudah diterapkan ke berbagai use case. Pada kesehatan gigi, pemanfaatan AI di Tiongkok sudah bisa digunakan untuk menghasilkan bentuk gigi yang sesuai dengan wajah pasien.

Bagi Deviana, adopsi AI di Indonesia memang masih sangat mendasar. Tak hanya menghasilkan prediksi, AI dinilai sangat membantu para dokter untuk memilah kasus.

Pada contoh berikut, AI dapat memudahkan dokter untuk menentukan apakah kasus pasien terkait dapat ditangani atau tidak. Pada kasus perataan gigi, AI dapat membantu untuk melihat bagaimana prosesnya untuk mencapai bentuk ideal.

“Misalnya, dokter ingin ingin menggerakkan gigi ke posisi ideal. AI akan mengolah data dan menghasilkan output apakah bisa atau tidak. Teknologi AI kan terus belajar dan semua hasilnya pasti memiliki batasan. Sebagai dokter, kami harus mencari cara lain,” tuturnya.

Peluang bisnis healthtech 

Secara umum, Deviana menilai bahwa layanan healthtech di Indonesia saat ini kebanyakan diisi oleh kesehatan umum (general health) yang sangat kuat pada layanan konsultasi online dan pemesanan obat. Misalnya, Halodoc dan Alodokter. Belum banyak yang mengarah yang pada layanan estetika gigi.

Menurutnya, selama lima tahun terakhir melakukan R&D, masyarakat Indonesia belum melek terhadap kesehatan gigi. Terlebih, selama ini masyarakat lebih banyak menggunakan perawatan saat sakit (sick care), bukan perawatan untuk menghindari penyakit (healthcare).

Maka itu, layanan ini dinilai dapat mendorong masyarakat untuk aware terhadap kesehatan karena lebih accessible berkat dukungan teknologi. “Apalagi pada situasi pandemi saat ini. Orang menjadi lebih sadar terhadap kesehatan. Health is something to invest on,” ungkapnya.

Peluang kolaborasi dengan pelaku healthtech lain

Sama halnya dengan startup lain, kolaborasi antar-pelaku bisnis healthtech juga sangat memungkinkan. Terutama bagi startup yang memiliki layanan niche, seperti Rata. Kolaborasi ini dapat saling mengisi dan memperkuat ekosistem layanan.

Layanan kesehatan umum dan pemesanan obat yang didominasi oleh Halodoc dan Alodokter memungkinkan terjadinya kolaborasi dengan layanan estetika gigi maupun wajah.

“Sejak awal introduce ke investor, kami memang tidak memosisikan diri sebagai penyedia layanan health care, tetapi direct-to-customer product untuk lifestyle and beauty. Dengan tren layanan gaya hidup dan kecantikan, tentu peluangnya juga semakin besar,” ujar Deviana.

Cerita HepiCar Berusaha Bertahan di Tengah Pandemi

HepiCar, layanan on-demand untuk bengkel dan cuci mobil asal Yogyakarta menceritakan bagaimana mereka menyikapi pandemi. Kendati melakukan beberapa penyesuaian, baik secara operasional dan organisasi, mereka mantap berekspansi ke area Solo dan Semarang.

CEO HepiCar Nurhadiyanto kepada DailySocial menceritakan, di tengah pandemi mereka tetap beroperasi dengan menyediakan lebih dari 30 layanan perbaikan dan perawatan mobil dan motor bagi penggunanya, berkolaborasi dengan lebih dari 450 mitra.

“Keputusan untuk tetap melakukan ekspnasi ini bukan sekedar hanya mengejar jadwal. HepiCar telah mengkaji lima kondisi: kesiapan pasar setelah dilakukan riset 6 bulan, telah tervalidasinya sistem layanan on-demand service, tervalidasinya model bisnis dan revenue stream, telah siapnya sistem dan strategi ekspansi, dan telah siapnya tim ekspansi,” ujar Nur.

HepiCar mengklaim faktor banyaknya jenis layanan yang mereka miliki berpengaruh terhadap ketahanan bisnis mereka di masa pandemi. Seperti layanan tambal ban panggilan, ganti battery mobil, ganti oli, cek mesin dan perbaikan AC mobil yang masih cukup banyak menarik peminat untuk menggunakan layanan HepiCar.

Penyesuaian yang dilakukan

Nur mengaku, meski masih bertahan dan melakukan ekspansi HepiCar tetap merasakan dampak dari pandemi. Untuk itu mereka melakukan beberapa penyesuaian, baik dari segi organisasi maupun operasional.

“Secara organisasi, manajemen HepiCar melakukan pemangkasan sumber daya. Dua pertiga dari jumlah personilnya dilepas. Sehingga tersisa tim kecil yang diharapkan bisa lincah bergerak. Keputusan yang sangat berat memang. Namun langkah organisasional ini dipandang mutlak perlu dilakukan. Untuk memastikan tetap tercapainya target-target pokoknya bisnisnya, meski berada dalam atmosfer krisis,” jelas Nur.

Ia juga menambahkan, karyawan yang terdampak memahami langkah yang ditempuh perusahaan karena termasuk dalam skenario penyelamatan bisnis. Sementara itu dari segi operasional, mereka mengadopsi kebijakan WFH. Hanya bagian administrasi yang bekerja dengan datang ke kantor.

“Terhadap mitra operator layanan diberlakukan protokol layanan yang ketat, seperti wajib menggunakan masker dan sarung tangan ketika bekerja, selalu menjaga jarak aman, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah selesai mengerjakan layanan, dan aktif berkomunikasi dengan konsumen terkait pembatasan masuk wilayah-wilayah tertentu,” lanjut Nur.

HepiCar
Mitra spesialis HepiCar / HepiCar

Fokus dan target

Dengan dimulainya petualangan HepiCar di kota baru, mereka saat ini tengah fokus pada menyempurnakan layanan di Solo dan Semarang. Terutama untuk jaringan mitra spesialis yang luas dan berada di seluruh area. Selain itu, mereka juga memastikan untuk bisa diterima masyarakat di ara baru ini. Termasuk dalam hal edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat.

“Target dari ini semua adalah HepiCar dapat melalui masa pandemi ini dengan baik. Tak hanya bertahan dan selamat, namun juga bertumbuh dengan pasti. Apa yang dikerjakan selama masa pandemi ini menjadi pola acuan yang penting untuk melakukan perluasan operasi di kota-kota lain. Pola yang telah tervalidasi dengan baik,” jelas Nur.

Industri jasa dan on-demand saat ini tidak luput dari dampak pandemi. Gojek, sebagai startup “raksasa” pun terpaksa merampingkan bisnisnya dengan menutup layanan GoLife mereka.

Application Information Will Show Up Here

Pentingnya Diversifikasi dan Inovasi di Tengah Pandemi

Pada akhirnya, agar bisnis bisa bertahan, cara terbaik adalah beradaptasi terhadap perubahan. Ketika pandemi berlangsung berkepanjangan dan mengganggu jalannya bisnis, ada baiknya startup melakukan penyesuaian dan diversifikasi.

Dengan semakin sulitnya menggalang dana, startup dituntut menghasilkan peluang bisnis baru, yang tidak hanya membantu meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjadi added value agar bisa bertahan selama pandemi.

Di sebuah tulisan, perusahaan modal ventura terkemuka Sequoia menyebutkan, kondisi saat ini merupakan black swan. Saat kondisi sedang mengalami penurunan, pendapatan dan uang tunai menjadi fokus utama ketimbang pengeluaran.

“Seperti yang dirangkum Darwin, mereka yang selamat bukan yang terkuat atau paling cerdas, tetapi paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”

Menerapkan survival mode

DailySocial mencatat, perlahan tapi pasti, berbagai startup menambah jenis layanan yang dirasa relevan saat ini.

  • Titipku, startup asal Yogyakarta yang awalnya fokus pada pemberdayaan UMKM, kini memperkenalkan fitur layanan berbasis lokasi. Layanan ini dikembangkan untuk memudahkan pengguna mencari pedagang untuk berbelanja.
  • Startup logistik Deliveree meluncurkan platform belanja sembako online yang langsung bisa diakses di aplikasi. Fitur ini dilengkapi live chat atau panggilan untuk bisa langsung terhubung dengan toko.
  • Platform periklanan bergerak Ubiklan yang menjajaki bisnis baru bernama UbiFresh. Mereka menawarkan belanja grocery secara online melalui aplikasi.
  • Platform property management Travelio menghadirkan beberapa inovasi baru, termasuk meluncurkan TravelioMart sebagai platform penjualan bahan pangan segar, seperti sayur, buah, berbagai variasi daging, dan produk kebutuhan dasar rumah tangga lainnya untuk tenant perusahaan.
  • Platform fotografer on-demand SweetEscape menawarkan solusi baru yang diharapkan menjadi tren, yaitu Virtual Photoshoot dan Terrace Photoshoot.
  • Halodoc juga menambah fitur baru yang bertujuan membantu pengguna berkonsultasi seputar kesehatan mental dan jiwa mereka. Melalui fitur Konsultasi Jiwa, Halodoc mencoba untuk membantu mereka yang membutuhkan.
  • Zalora, yang selama ini fokus ke layanan fashion commerce, menghadirkan kategori baru, yaitu produk kesehatan dan rumah tangga, untuk memudahkan keluarga melengkapi berbagai kebutuhan. Langkah strategis ini diambil menyesuaikan kebutuhan masyarakat saat pandemi.

Inovasi menarik investasi

Ketika pandemi Covid-19 menjadi gangguan, perusahaan modal ventura memperketat penilaian investasi dan mengidentifikasi prioritas. Untuk perusahaan tahap awal, rencana melanjutkan pendanaan ke tahapan lanjutan menjadi lebih sulit.

Di sisi lain, pandemi ini telah memberikan akselerasi positif bagi adopsi beberapa sektor teknologi. Sektor-sektor seperti e-commerce, healthtech, edtech, dan logistik secara umum justru mengalami peningkatan.

“Kami juga melihat tingginya jumlah transaksi e-commerce di masa Idul Fitri, terlepas dari adanya pandemi. Masyarakat kini juga lebih terbuka dengan tele-konsultasi medis via Zoom [..] Dengan interaksi fisik yang terbatas, solusi yang diberikan perusahaan teknologi menjadi sebuah kebutuhan agar pola hidup masyarakat bisa kembali berjalan normal,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Adopsi teknologi membantu mempercepat digitalisasi di industri tradisional. Ke depannya perubahan ini akan terus menyebar ke industri lain, termasuk FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, dan hiburan.

Pandemi telah menciptakan peluang bagi konsumen yang lebih konservatif untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan kemudahan. Meskipun demikian, seberapa lama momentum ini akan berlanjut sangat tergantung pada kemampuan pelaku bisnis menciptakan ketergantungan atas produk atau layanan mereka.

Menurut Partner Kolibra Capital Teezar Firmansyah, startup bisa memberikan respons positif saat pandemi berlangsung dan bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Kolibra melihat saat ini menjadi saat yang krusial bagi startup menunjukkan jati diri mereka. Apakah mereka bisa bersaing dan menawarkan inovasi baru kepada pelanggan.

“Pandemi Covid-19 saat ini memang cukup mengubah lanskap dari bisnis startup. [..] Ini merupakan ujian survival of the fittest, di mana startup yang bisa beradaptasi dengan changing trend dari pasar akan bisa bertahan,” kata Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital Indonesia.

PouchNATION Luncurkan Gelang Pendeteksi Suhu Tubuh, Mulai Pasarkan Produk dan Layanan di Indonesia

PouchNATION, pengembang platform teknologi untuk manajemen acara, baru-baru ini meluncurkan produk baru bernama PouchPASS. Yakni gelang yang dilengkapi sistem monitor suhu tubuh. Memanfaatkan bluetooth yang terhubung ke ponsel pintar pengguna, perangkat tersebut akan merekam suhu dan mengirimkan data ke dasbor secara berkesinambungan.

Penggunaannya bisa secara personal ataupun kolektif. Sehingga bisa diskenariokan untuk memudahkan panitia acara melakukan pelacakan dan deteksi dini untuk mengurangi persebaran Covid-19.

PouchPASS sebenarnya tidak hanya dipasarkan untuk penyelenggaraan acara saja, namun juga untuk penggunaan di rumah, di tempat belanja, bandara, dan berbagai kebutuhan lainnya. Biasanya ketika di suatu tempat dalam kondisi “new normal”, setiap kali masuk orang harus diukur suhu tubuhnya oleh petugas secara manual. Dengan memakai gelang ini, proses tersebut tidak perlu lagi. Petugas cukup memantau melalui dasbor di aplikasi atau situs web.

Tampilan dasbor pengelola untuk penggunaan PouchPASS secara kolektif / PouchNATION
Tampilan dasbor pengelola untuk penggunaan PouchPASS secara kolektif / PouchNATION

Sudah tersedia di Indonesia

Seperti diketahui sebelumnya, salah satu produk PouchNATION adalah gelang berbasis NFC sebagai tiket masuk ke sebuah ekshibisi. Berbeda dengan tiket tradisional yang menggunakan kertas atau sejenisnya, pendekatan teknologi disematkan untuk menghasilkan data komprehensif seputar keikutsertaan peserta terhadap acara — termasuk merekam keluar-masuknya peserta ke dalam acara.

Kepada DailySocial, CEO PouchNATION Ilya Kravtsov mengatakan bahwa seluruh varian produk dan layanan mereka sudah bisa digunakan di Indonesia. Perusahaan juga sudah memiliki kantor perwakilan berbasis di Indonesia. Ekspansi ke Indonesia PouchNATION didukung sejumlah perusahaan lokal, di antaranya Traveloka dan TIX ID yang turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan seri B tahun lalu.

Lebih lanjut Kravtsov bercerita, mereka sudah mengudara sekitar 5 tahun, mengelola ratusan acara setiap tahun di Asia Tenggara. Ketika Covid-19 datang, ini menjadi salah satu peristiwa besar yang sangat baru dan bertampak pada bisnis mereka. Maka tidak ada pilihan selain harus beradaptasi dengan kondisi. Melihat situasi yang ada, tercetuslah inovasi PouchPASS dari tim internal, yang dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat.

Sebagai bagian dari perlindungan privasi, pengguna juga bisa memilih untuk mengaktifkan layanan lokasi di ponsel mereka untuk memberikan izin pelacakan. Saat menghubungkan perangkat gelang PouchPASS pengguna akan diminta melakukan sinkronisasi ke ponselnya.

Gelang PouchPASS atau yang disebut dengan PouchBAND tersedia dalam tiga ukuran kecil (11-16cm), sedang (15-20cm), dan besar (18- 23cm). Mereka juga melayani kebutuhan rebranding (misalnya pemasangan logo) untuk pemesanan kolektif. Gelang ini juga diklaim tahan terhadap debut dan air, sehingga penyelenggara acara dapat menggunakan secara berulang dan mencucinya. PouchBAND dibekali dengan baterai koin lithium CR2032, yang bisa diganti ketika dayanya habis.

Inovasi penyelenggara acara

Beberapa startup terus mengupayakan inovasi untuk sambut normal baru, termasuk untuk kebutuhan seperti penyelenggaraan acara dan aktivitas di ruang publik. Belum lama ini, startup manajemen acara lokal LOKET juga lakukan hal serupa. Mereka meluncurkan pembaruan aplikasi yang memungkinkan penyelenggara lakukan beberapa hal. Pertama untuk sistem registrasi praktis dan pengaturan jumlah peserta; sistem manajemen pengendali kapasitas massa; hingga pelacak kapasitas massa.

Qlue juga hadirkan produk baru, di antaranya sistem pengecekan suhu tubuh dengan sensor thermal, pengecekan penggunaan masker, pengecekan jarak kerumunan, hingga pengecekan trafik berbasis CCTV.

Application Information Will Show Up Here

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here

Tren Teknologi yang Diadopsi Berbagai Industri Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Beradaptasi dengan kondisi baru ini bukanlah pekerjaan mudah, dan itu dirasakan oleh hampir seluruh industri di dunia. Di saat yang sama, pandemi juga memicu pengadopsian berbagai tren teknologi di sejumlah bidang industri.

Beberapa dari perubahan ini bahkan bisa bersifat permanen dan akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir. Twitter contohnya, yang belum lama ini membuat kebijakan bahwa karyawan-karyawannya boleh lanjut bekerja dari kediaman masing-masing sampai seterusnya.

Sebagian besar dari perubahan yang diterapkan mengacu pada tren digitalisasi. Digitalisasi bukanlah hal baru dan sebenarnya sudah digagaskan sejak lama di sejumlah industri. Kendati demikian, adopsinya terbilang lambat, namun pandemi pada akhirnya memaksa industri-industri untuk mengadopsinya sesegera mungkin.

CB Insights baru-baru ini merilis laporan ekstensif terkait tren-tren teknologi yang diadopsi oleh beragam industri di dunia. Secara umum, sejumlah trennya sebenarnya sudah eksis sejak sebelum pandemi, seperti misalnya tren industrial automation di bidang manufaktur. Namun sekali lagi, pandemi secara otomatis mempercepat pengadopsiannya.

Dalam beberapa kasus, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi suatu teknologi yang tadinya cuma dipandang sebelah mata. Contoh yang paling gampang adalah teknologi 3D printing, yang selama pandemi ini memegang peran penting dalam hal produksi APD (alat pelindung diri) untuk tenaga medis.

Tren di bidang pelayanan kesehatan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Kita mulai dari bidang yang berkaitan langsung dengan pandemi itu sendiri, yakni pelayanan kesehatan alias healthcare. Sebelum pandemi, konsultasi dengan dokter via telepon atau panggilan video mungkin terbilang jarang dilakukan, tapi sekarang mau tidak mau kita harus menerapkannya.

Studi yang pernah dilakukan American Medical Association menunjukkan bahwa sekitar 75% dari sesi kunjungan ke dokter maupun IGD semestinya bisa ditangani secara efektif lewat telepon atau video call. Sebelum pandemi, mungkin banyak pihak yang mengesampingkan hal ini, namun sekarang sebagian besar akhirnya menyadari bahwa hal itu benar. Sebelum pandemi, kita mungkin tidak pernah tahu akan eksistensi layanan telemedicine.

Pandemi secara tidak langsung juga menumbuhkan mindset bahwa kita harus rutin memonitor kesehatan masing-masing, dan cara termudah untuk melakukannya adalah dengan menggunakan smartwatch atau fitness tracker. Inilah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa penjualan smartwatch justru naik selama pandemi, setidaknya di Amerika Serikat.

Pandemi juga memicu pertumbuhan pengadopsian teknologi virtual reality (VR) di bidang kesehatan. Salah satu fungsinya adalah untuk memfasilitasi program pelatihan yang aman, semisal untuk tenaga-tenaga medis baru yang ditugaskan buat menangani pasien COVID-19. Ketimbang mengekspos mereka langsung ke lapangan, ada baiknya mereka dipersiapkan dulu melalui program pelatihan VR.

Singkat cerita, pandemi pada dasarnya membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan VR untuk mendemonstrasikan potensinya di ranah medis dan enterprise.

Tren di bidang pekerjaan secara umum

Seperti yang kita tahu, nyaris semua kantor mendadak kosong selagi masing-masing karyawannya bekerja dari rumah. Kalau bukan karena kemudahan mengakses layanan video conference, mungkin sebagian besar perusahaan bakal keteteran menugaskan karyawan-karyawannya.

Penyedia layanan video conference sendiri juga banyak berbenah seiring demand atasnya naik drastis selama pandemi. Google contohnya, yang belum lama ini memutuskan untuk menggratiskan layanan Google Meet, membuka aksesnya ke lebih banyak lagi pengguna.

Pandemi tak cuma memicu pertumbuhan pengguna sebuah layanan video conference, tapi juga mempercepat penyempurnaan teknologinya. Google Meet lagi-lagi saya pakai sebagai contoh, sebab mereka belum lama ini merilis fitur noise cancelling demi semakin memudahkan rutinitas para penggunanya. Padahal, sebelum pandemi mungkin fitur semacam ini tidak dianggap krusial.

Tren di bidang pendidikan

Pengadopsian teknologi di ranah pendidikan sebenarnya sudah cukup pesat sebelum pandemi melanda, akan tetapi COVID-19 memaksa pengadopsiannya agar lebih ngebut lagi. Anak saya yang baru menginjak usia 4 tahun harus merasakan pengalaman sekolah pertamanya secara online tidak lama lagi.

Hal ini sulit terwujud apabila tidak ada campur tangan dari para pelaku teknologi. Saya bisa bilang begitu karena platform tatap muka virtual yang digunakan oleh sekolah anak saya nantinya adalah Google Meet, dan seperti yang sudah saya singgung tadi, Meet sendiri baru digratiskan aksesnya secara menyeluruh pasca pandemi melanda.

Di sisi lain, platform penyedia online course juga melihat peningkatan konsumen yang cukup pesat. Kalau saya boleh menjawab, ini dikarenakan banyak dari kita yang memiliki banyak waktu luang, tapi tidak bisa hura-hura di luar rumah seperti biasanya. Ketimbang sia-sia, kenapa waktu luangnya tidak dialokasikan ke belajar saja (tidak harus akademik, tapi bisa juga bakat-bakat praktis), dan di situlah platform online couse menyediakan solusi.

Tren di bidang manufaktur

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Pandemi sejatinya menghadapkan industri manufaktur pada dua kondisi yang berbeda, tapi dua-duanya merugikan: menutup pabrik dan menyetop jalannya produksi, atau tetap membuka pabrik tapi dengan risiko membahayakan para karyawannya.

Di saat yang sama, pandemi pada dasarnya menciptakan alasan baru bagi pelaku industri manufaktur untuk menerapkan teknologi di bidang automation. Kalau alasan-alasan penerapan automation sebelumnya cuma perkara efisiensi atau penghematan ongkos, sekarang ada alasan kesehatan juga; berkat automation, pabrik bisa tetap buka tanpa sepenuhnya mengekspos seluruh karyawan.

Seperti yang tadi sempat saya singgung di awal, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi lebih luas dari 3D printing. Dulunya sempat digadang-gadang bakal merevolusi industri, sampai tahun lalu pun 3D printing pada kenyataannya masih masuk kategori yang sangat niche dan terbilang menarik hanya untuk kalangan hobbyist.

Kalau sebelumnya saya ditanya apa kegunaan terbesar 3D printing, mungkin saya akan menjawab untuk mempercepat proses prototyping. Namun sekarang, 3D printing terbukti berjasa besar dalam membantu mempercepat proses produksi APD. Fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memenuhi demand yang tinggi adalah kunci mengapa 3D printing bisa berhasil di kondisi seperti ini.

Tren di bidang retail

Jauh sebelum pandemi melanda, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat familier dengan yang namanya belanja online. Meski begitu, kemungkinan besar yang masuk daftar belanja bukanlah kebutuhan sehari-hari seperti sayur, daging, telur, dan lain sebagainya.

Hal itu berubah semenjak pandemi COVID-19. Layanan online grocery kini jadi semakin banyak digunakan; mereka yang tadinya enggan, mau tidak mau akhirnya mencoba layanan online grocery karena mereka tidak berani mengambil risiko harus berbelanja sendiri di pasar atau supermarket.

Saya tidak tahu Anda bagaimana, tapi yang pasti saya sendiri melihat daftar transaksi online saya bertambah banyak dalam beberapa bulan terakhir. Saking seringnya saya belanja online, kurir ekspedisi yang biasa datang mengantar barang sampai hafal dengan saya – barang diantarkan bukan ke rumah saya, tapi ke saya langsung yang sedang jalan-jalan sore di komplek rumah.

Selain online grocery, adopsi AR dan VR di platform e-commerce juga meningkat selama pandemi. Pemicunya apa lagi kalau bukan kebutuhan akan cara untuk melihat atau mencoba produk yang hendak dibeli secara online. Gambar dan deskripsi saja tidak cukup, terkadang kita perlu mendapat gambaran terkait dimensi fisiknya secara langsung, dan itu mudah sekali disajikan lewat AR.

Produsen produk-produk kecantikan seperti L’Oreal atau Sephora juga memanfaatkan AR guna membantu para konsumennya menjajal produk secara virtual. Melihat warna lipstick yang hendak dibeli langsung terpampang di atas bibir tentu jauh lebih meyakinkan ketimbang melihat warnanya saja pada gambar produk yang tertera.

Tren di bidang layanan konsumen

Menyambung perkara transaksi online yang bertambah tadi, beberapa perusahaan juga melihat semakin pentingnya peran chatbot atau virtual assistant. Hype akan chatbot sendiri sempat redup, terbukti dari dihilangkannya fitur Discover pada Facebook Messenger, dan Discover sebelumnya adalah gerbang menuju ribuan chatbot yang ada.

Pandemi bahkan juga menempatkan chatbot di ranah medis. Beberapa organisasi kesehatan di Amerika Serikat memanfaatkan chatbot untuk memandu publik melakukan identifikasi gejala-gejala COVID-19 sendiri di rumahnya masing-masing, sehingga mereka bisa memutuskan untuk mengarantina diri sendiri tanpa perlu menyempatkan (dan mengekspos) dirinya ke rumah sakit.

Tren di bidang keuangan

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Saya yakin tidak sedikit dari kita yang memanfaatkan layanan pembayaran elektronik seperti GoPay atau Ovo hanya untuk menikmati beragam promosi menarik yang disediakan penjual makanan dan minuman. Namun semenjak pandemi, metode elektronik akhirnya kita jadikan pilihan utama atas alasan kesehatan.

Daripada harus berkontak fisik (lewat pertukaran uang), kenapa kita tidak membayar menggunakan smartphone saja? Dari situ pada akhirnya kita juga bisa menyimpulkan soal pentingnya NFC di ponsel. Yang tadinya sebatas fitur pemanis, sekarang terkesan esensial karena pandemi.

Pandemi juga membuka peluang bagi tren digital banking untuk merebut sebagian pangsa pasar industri perbankan tradisional. Berhubung banyak cabang bank yang terpaksa mengurangi jam pelayanan, calon nasabah yang hendak mendaftarkan rekening baru tentu bakal kesulitan. Lain ceritanya kalau mereka hendak mendaftar rekening bank digital, sebab semuanya bisa langsung dijalankan lewat aplikasi.

Tren di bidang keamanan

Saya yakin sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih agak menyepelekan soal privasi dan cybersecurity. Namun semenjak pandemi, publik akhirnya mulai menyadari akan pentingnya topik tersebut.

Salah satu pemicunya adalah sederet kasus seputar celah privasi yang melanda Zoom, dan Zoom sendiri sempat menduduki puncak daftar aplikasi gratis terpopuler di Android selama beberapa waktu. Ketika sesuatu yang sangat populer diberitakan secara negatif, tentu saja nyaris semua orang mengetahui atau paling tidak mendengarnya, bukan?

Tren di bidang hiburan

Di sektor hiburan, pandemi merupakan momok buat industri olahraga, sebab semua event bergengsi terpaksa harus dibatalkan. Bukan cuma olahraga tradisional saja, ekosistem esport pun juga terganggu karena dibatalkannya banyak turnamen.

Lucunya, ketika kompetisi olahraga dan turnamen esport sama-sama dibatalkan, beberapa pihak penyelenggara olahraga justru memakai platform esport sebagai alternatif untuk menjangkau para penggemarnya. Contoh terbarunya adalah seri balapan Le Mans yang digantikan oleh balapan virtual di game rFactor 2. Bahkan balap kuda pun juga diganti dengan versi virtual yang dibuat menggunakan kombinasi CGI dan algoritma.

Di luar gaming, aktivitas streaming Netflix dan kawan-kawannya tentu juga meningkat drastis selama pandemi.

Tren di bidang layanan makanan

Tanpa harus terkejut, pandemi beserta larangan untuk makan dan minum di tempat memicu kenaikan demand atas layanan food delivery. Ini secara langsung juga berdampak pada meningkatnya tren cloud kitchen, yang sejatinya merupakan kumpulan penjual makanan dan minuman yang tidak melayani dine-in.

Di Amerika Serikat, tidak sedikit restoran yang harus memecat karyawannya pasca pandemi melanda. Namun sebaliknya, cloud kitchen justru dikabarkan bersiap untuk berekspansi lebih luas. Di Indonesia sendiri, ada Gojek yang bermitra dengan startup India untuk mewujudkan rencananya membuka 100 cloud kitchen sampai akhir tahun depan.

Sumber: CB Insights. Gambar header: Pixabay.

On Pandemic Impact: Payfazz Confirms Business Efficiency

Companies are starting to adapt as the pandemic continues. It applies to the Payfazz fintech startup. This startup reduces expenses both from the number of employees, IT costs, and others in order to continue operation and be more profitable.

In an official statement, Payfazz CEO, Hendra Kwik said the company was not spared of the downturn impact in the world economy, which eventually demanded companies to adapt, including efficiency. The company has performed some strategies following the current condition, but he said it is not enough to maintain the company’s performance to remain sustainable.

Therefore, companies decided to allocate funds and resources in a sustainable sector, and relate to the company’s vision that focuses on small business, financial services, and digital banking.

“This has been a very difficult senior management decision during Payfazz’ operation since 2016. This tough decision must be taken to be able to maintain the sustainability of the company in the future,” he said, Thursday (6/18).

DailySocial team asked Hendra further on a separate occasion, he then explained that the increase in company’s revenue achieved by optimizing sales by adjusting service prices and service costs, as well as operational cost-efficiency.

“As a result, the company’s gross profit shows positive numbers and continues to rise as time goes by,” he said.

Regarding the 10% layoff, Hendra said that the company decided to restructure and refocus, therefore, layoff is quite necessary for the company can remain a sustainable business. Before making some efficiency, Payfazz employees have reached 600 people.

However, he did not specify which part of the team was affected by efficiency. He said the layoff is targeted for non-core businesses and businesses with a lot of physical contact with users, it makes it impossible to maintain physical distance.

“We do our best to continue to support our employees affected by the reduction by providing their rights in accordance with the current government regulations.”

In terms of benefit, a full salary for June 2020; severance package, award package according to tenure, leave entitlement package, and health insurance until October 2020. In addition, the company provides assistance for career services for affected employees.

Hendra hopes that this is going to be the last pandemic-effect tough decision. He did not want this to happen in the future. Currently, the company focused on increasing revenue, therefore, the company’s profit remains stable even in the midst of a crisis. The company is expected to continue in the long run.

“In the future, Payfazz will improve the company’s governance and continue to run sustainably,” he concluded.

In its journey, Payfazz has made various business expansions to form a business group called Fazz Financial. Under this group, there are Post, Sellfazz POS, Fazzcard, Billfazz, and Canfazz. All of these products target a variety of consumer segments.

One of them is Fazzcard, which is an application for filing credit to finance daily needs, pulses, data packages, basic needs, petrol, without having to have a bank account. In addition, consumers get cashback while shopping at Fazzcard e-commerce partners.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Terdampak Pandemi, Payfazz Lakukan Efisiensi Bisnis

Satu per satu perusahaan harus melakukan adaptasi seiring masih berlangsungnya pandemi. Kali ini terjadi di startup fintech Payfazz. Startup ini mengurangi pengeluaran baik dari jumlah tenaga kerja, biaya IT, dan lainnya agar terus beroperasi dan tetap cetak keuntungan.

Dalam keterangan resmi, CEO Payfazz Hendra Kwik mengatakan perusahaan tak luput dari dampak penurunan ekonomi dunia, yang akhirnya menuntut perusahaan untuk beradaptasi, di antaranya dengan efisiensi. Berbagai cara telah dilakukan perusahaan dalam kondisi saat ini, namun menurutnya hal tersebut belum cukup menopang kinerja perusahaan untuk tetap berkesinambungan.

Oleh karena itu perusahaan harus mengambil pilihan terakhir untuk mengalokasikan alokasi dana dan sumber daya di sektor yang sustainable, serta berhubungan dengan visi perusahaan yang berfokus pada small business, financial services, dan digital banking.

“Hal ini menjadi keputusan senior manajemen yang sulit selama Payfazz berdiri sejak 2016. Keputusan berat ini harus diambil untuk bisa mempertahankan keberlangsungan perusahaan di masa yang akan datang,” katanya, Kamis (18/6).

Secara terpisah, saat ditanyakan lebih dalam oleh DailySocial, Hendra menerangkan peningkatan pendapatan perusahaan dilakukan dengan cara mengoptimalkan penjualan dengan penyesuaian harga layanan dan biaya layanan, serta efisiensi biaya perusahaan.

“Sebagai dampaknya, terlihat gross profit perusahaan menunjukkan angka positif dan terus naik dari waktu ke waktu,” ucap dia.

Terkait pengurangan 10% tenaga kerja, Hendra menyebut perusahaan mengambil keputusan untuk penataan dan pemfokusan ulang sehingga perlu adanya pengurangan tenaga kerja profesional agar perusahaan tetap menjadi bisnis yang berkelanjutan. Sebelum efisiensi, jumlah tenaga kerja di Payfazz mencapai 600 orang.

Akan tetapi ia tidak merinci tim bagian apa saja yang terkena efisiensi. Ia menyebut pengurangan dilakukan untuk bisnis non-inti dan bisnis yang banyak kontak fisik dengan pengguna, sehingga tidak memungkinkan untuk jaga jarak fisik.

“Kami berusaha sebaik mungkin untuk tetap mendukung karyawan kami yang terkena pengurangan dengan memberikan haknya sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku.”

Bentuk benefit yang diberikan, antara lain gaji penuh untuk bulan Juni 2020; paket pesangon, paket penghargaan sesuai masa kerja, paket penggantian hak cuti, dan asuransi kesehatan hingga Oktober 2020. Selain itu, perusahaan memberikan bantuan untuk layanan karier bagi karyawan yang terdampak.

Hendra berharap pengambilan keputusan berat ini menjadi terakhir. Ia tidak menginginkan hal ini terjadi di masa depan. Saat ini perusahaan tetap fokus meningkatkan pendapatan, sehingga profit perusahaan tetap stabil walaupun di tengah krisis sekalipun. Harapannya perusahaan dapat terus berkelanjutan dalam jangka panjang.

“Ke depan Payfazz akan melakukan proses perbaikan tata Kelola dan perusahaan bisa tetap berjalan secara berkesinambungan,” pungkasnya.

Dalam perjalanannya, Payfazz melakukan berbagai ekspansi bisnis sehingga membentuk grup usaha bernama Fazz Financial. Di bawahnya ada Post, Sellfazz POS, Fazzcard, Billfazz, dan Canfazz. Seluruh produk tersebut menyasar beragam segmen konsumen.

Salah satunya adalah Fazzcard yang merupakan aplikasi untuk pengajuan kasbon membiayai kebutuhan sehari-hari, pulsa, paket data, sembako, bensin, tanpa harus punya rekening bank. Di samping itu, konsumen mendapat cashback apabila belanja melalui rekanan e-commerce Fazzcard.

Application Information Will Show Up Here