Saturdays Umumkan Pendanaan Seri A, Dipimpin oleh Altara Ventures

Startup direct-to-consumer (DTC) Saturdays mengumumkan pendanaan seri A dengan nilai investasi yang dirahasiakan. Pendanaan ini dipimpin oleh Altara Ventures dengan sejumlah partisipasi dari DSG Consumer Partners dan afiliasi lainnya.

Terakhir kali Saturdays menutup pendanaan tahap awal (seed) dari Alpha JWC Ventures, Kinesys Group, dan Alto Partners pada 2020, tetapi baru diumumkan pada Februari 2021.

Co-Founder Saturdays Andrew Kandolha mengatakan, pendanaan tersebut akan mempercepat ekspansinya ke seluruh Indonesia dan memperkuat pengalaman omnichannel berbasis teknologi.

“Dengan posisinya sebagai merek DTC, penting untuk memberikan kepuasan pelanggan pada pertemuan pertama. Maka itu, pendekatan omnichannel berbasis teknologi yang kami miliki punya peran penting untuk memudahkan pelanggan berbelanja dengan pengalaman lebih menyenangkan, baik lewat website, aplikasi, SMS, layanan uji coba di rumah, hingga di toko fisik,” ujar Andrew.

Partner dan CMO Altara Ventures Huiting Koh menambahkan, solusi hibrida dengan menggabungkan jaringan toko fisik dan layanan uji coba di rumah menjadi daya tarik Saturdays dalam memperluas jangkauan dengan konsep lifestyle.

Sebagai informasi, Saturdays didirikan oleh Rama Suparta dan Andrew Kandolha di 2016. Saturdays menawarkan produk lifestyle dengan eyewear sebagai bisnis utamanya. Saturdays memproduksi sendiri material lensa dan frame, mulai dari desain, manufaktur, hingga pengiriman langsung ke konsumen.

Layanan omnichannel Saturdays

Saturdays berupaya menjawab salah satu isu penting terkait penanganan gangguan penglihatan di Indonesia. Perusahaan mencatat, hanya sepertiga dari penduduk di Indonesia yang mampu mengakses atau membeli kacamata dengan resep maupun layanan perawatan penglihatan.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang memilih membeli produk kacamata bermerek yang dirancang untuk western face, atau sekadar membeli kacamata tiruan dengan kualitas kurang baik.

World Health Organization (WHO) mengungkap bahwa kacamata dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30% dan pendapatan keseluruhan sebesar 20% di berbagai negara berkembang.

Untuk menghadirkan pengalaman omnichannel, Saturdays mengadopsi model online-to-offline (O2O) melalui website dan toko retail. Toko flagship pertamanya berada di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, yang terintegrasi dengan gerai kopi untuk memberi sentuhan lifestyle. Total toko Saturdays saat ini telah mencapai 15 gerai.

Saturdays juga merilis aplikasi “Saturdays Lifestyle” pada awal 2021 sebagai strategi untuk membentuk perilaku baru dalam berbelanja kacamata melalui platform digital. Aplikasi ini memungkinkan konsumen untuk melakukan uji coba produk langsung dari rumah (Home Try-On).

Saturdays mengklaim sebagai pelopor layanan ini karena ditangani oleh ahli optik berlisensi dengan menghadirkan lebih dari 100 frame bersama dengan peralatan pengujian mata yang nyaman untuk dilakukan di rumah.

“Kami ingin menghadirkan visi baru lewat pendekatan omnichannel sehingga dapat memberikan solusi bagi siapa pun dengan menyediakan kacamata bagi jutaan masyarakat,” tambah Co-founder Saturdays Rama Suparta.

D2C di Asia Tenggara

Dalam tulisannya, eks Venture Analyst Intern di Plug and Play APAC Kartik Jain mengungkap sejumlah faktor penting untuk melihat kesiapan pasar Asia Tenggara menyambut D2C. Memang pasar D2C berkembang signifikan, utamanya dipicu oleh pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku D2C  harus dapat mengendalikan rantai pasokan secara penuh baik dari aspek desain, manufaktur, pemasaran hingga distribusi.

Namun, sebelum itu, pelaku D2C juga perlu memerhatikan faktor-faktor makro lain yang dapat memberikan peran signifikan terhadap kesuksesan D2C, seperti penetrasi internet dan pembayaran berbasis elektronik dan digital.

Jain juga menyoroti tentang metrik Customer Lifetime Value (CLV) dan Customer Acquisition Cost (CAC) yang sama-sama punya posisi penting pada model D2C. Menurutnya, model D2C harus memiliki retensi yang tinggi untuk membuat nilai ekonomi lebih layak. Hanya saja, untuk mencapainya, pelaku D2C perlu mengeluarkan biaya lebih banyak pada pemasaran yang pada akhirnya harus menaikkan CAC.

Dalam konteks pasar Indonesia, e-Conomy SEA Report mencatat ada sebanyak 21 juta pengguna digital baru sejak awal pandemi hingga pertengahan 2021, di mana 72% di antaranya berasal dari kota non-metropolitan. Adapun, GMV e-commerce Indonesia diperkirakan tumbuh 52% mencapai $53 miliar di 2021 dan diproyeksi sebesar $104 miliar di 2025.

Application Information Will Show Up Here

Brand Aggregator “Tjufoo” Ingin Naik Kelaskan Pengembang Merek D2C Lokal

Makin meningkatnya model bisnis rollup e-commerce atau brand aggregator di Indonesia dimanfaatkan oleh berbagai startup untuk memberikan wadah bagi entrepreneur D2C memperkuat bisnis mereka. Salah satu platform yang mencoba untuk memberikan layanan tersebut adalah Tjufoo.

Baru meluncur awal tahun 2022, startup yang didirikan oleh mantan pegawai Grab, TJ Tham, ingin menjadi brand aggregator dengan konsep “House of Brands”. Yakni membantu brand lokal untuk meningkatkan performa melalui rangkaian teknologi digital, platform data, kecerdasan buatan, dan tim yang berpengalaman.

Kepada DailySocial.id, TJ Tham menegaskan, berbeda dengan platform lainnya yang menawarkan layanan serupa, Tjufoo secara khusus ingin fokus kepada pasar Indonesia secara menyeluruh. Dengan demikian bisa membantu pemilik brand di berbagai daerah memaksimalkan bisnis mereka lebih besar lagi.

Terkait dengan kategori brand pun, TJ Tham enggan untuk menyasar satu kategori secara spesifik. Kompleksnya jenis brand D2C di Indonesia, menjadikan Tjufoo lebih memilih untuk agnostic dan menerima semua brand yang relevan.

“Masih terlalu dini bagi kami untuk menentukan brand secara spesifik yang ingin kami targetkan. Dari pengalaman saya bertanya kepada investor hingga konsultan yang ternama, mereka masih belum bisa menemukan konsep brand yang ideal untuk bisnis D2C di Indonesia. Untuk itu kami memilih agnostic,” kata TJ Tham.

Di Indonesia saat ini platform brand aggregator yang sudah hadir di antaranya adalah Una Brands, Hypefast dan OpenLabs.

Ingin menjadi mitra strategis

Dari sisi kurasi brand, tim Tjufoo tetap memiliki ticket size investasi yang disesuaikan. Dan cara mereka melihat brand untuk bisa diinvestasikan: Apakah mereka sudah siap untuk menjalin kerja sama strategis dengan Tjufoo?

Jika memang belum siap, Tjufoo menawarkan kepada pemilik brand untuk mengikuti program inkubator Sarinah Pandu. Sarinah Pandu menjadi salah satu bentuk PT SARINAH membina pelaku UMKM melalui serangkaian pelatihan dengan silabus yang sistematis serta berkolaborasi dengan para stakeholder.

Dalam kerja sama ini, Tjufoo juga memberikan dukungan berupa pendanaan bisnis, mentoring, dan ekosistem guna pengembangan digitalisasi UMKM rujukan Sarinah.

Tjufoo berkomitmen untuk mempercepat pertumbuhan UMKM dengan mengakuisisi brand lokal pada kategori D2C atau berjualan tanpa perantara. Di tahun ini, Tjufoo berencana untuk mempercepat pertumbuhan bisnis UMKM di Indonesia dengan mengakuisisi brand lokal potensial. Permodalan masih menjadi masalah kompleks yang selalu dihadapi oleh para pengusaha UMKM di Indonesia.

“Untuk itu, kami berkomitmen untuk mengembangkan UMKM dan brand lokal dari berbagai kategori dan level dengan berinvestasi pada modal pengembangan usaha dengan nilai akuisisi sebesar Rp1,8 triliun yang akan segera kami jalankan sebagai rencana jangka pendek. Dengan dukungan permodalan ini, kami berharap Indonesia mampu menelurkan ratusan brand lokal yang dapat bersaing di pasar global,” kata TJ Tham.

Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Tjufoo, di antaranya adalah membangun fondasi yang kuat bagi ekosistem D2C dan terus merekrut brand dengan jumlah yang tidak terbatas, selama ada kecocokan di antara mereka.

Tjufoo juga ingin menjadi mitra bagi brand, yang bukan hanya memberikan investasi saja sekitar 51%, namun juga ingin menjadi mitra yang membantu brand mengelola bisnis hingga membantu mereka merekrut talenta digital yang terbaik. Untuk bisa bertumbuh secara berkelanjutan sesuai dengan perkembangan zaman, Tjufoo juga senantiasa memberikan mentoring dari indvidu-individu unggul perusahaan lintas sektor besar seperti Apple, Grab, Amazon, SAP, dan JP Morgan.

“Kebanyakan brand aggregator memilih cara exit yaitu membeli brand tersebut secara penuh. Namun di Tjufoo selain menawarkan cara tersebut, kami juga ingin bersama membangun brand lebih baik lagi dan bertindak sebagai mitra strategis,” kata TJ Tham.

Rencana penggalangan dana seri A

Saat ini Tjufoo telah merampungkan pendanaan pra-seri A. Tercatat sudah ada dua venture capital yang memberikan pendanaan kepada mereka, di antaranya adalah TNB AURA dan Venturra Discovery. Tahun ini Tjufoo memiliki rencana untuk melanjutkan kegiatan penggalangan dana untuk tahapan seri A.

Kepada DailySocial.id, Partner Ventura Discovery Raditya Permana mengungkapkan, melihat besarnya potensi bagi platform seperti Tjufoo untuk tumbuh di Indonesia sebagai brand aggregator, menjadi alasan utama mengapa Venturra tertarik untuk memberikan investasi kepada Tjufoo.

Alasan lain mengapa Venturra Discovery tertarik untuk menjadi investor adalah, pengalaman TJ Tham sebagai CEO yang sebelumnya turut membangun Grab tumbuh di Indonesia. Dilihat dari pengalaman, skill dan empati yang dimiliki TJ Tham, menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk membantu Tjufoo tumbuh menjadi brand aggregator unggulan di Indonesia.

“Kami juga melihat fokus Tjufoo yang hanya di Indonesia menjadi pilihan terbaik. Berbeda dengan brand aggregator lainnya yang lebih memilih untuk memasarkan ke pasar global, pemilihan Tjufoo untuk fokus di Indonesia menjadi ideal, karena lanskap commerce di Indonesia yang terbilang kompleks. Channel yang dipilih kebanyakan oleh pemilik brand kelas mikro bukan hanya channel e-commerce saja namun juga chat commerce, media sosial, dan lainnya,” kata Raditya.

Lummo Umumkan Keterlibatan VC Jeff Bezos dalam Putaran Pendanaan Seri C

Setelah sebelumnya telah mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $80 juta (lebih dari 1,1 triliun Rupiah), startup penyedia solusi layanan perangkat lunak penghubung bisnis Lummo mengumumkan keikutsertaan Jeff Bezos dalam putaran pendanaan yang sama.

Jeff Bezos melalui kantor pengelolaan aset pribadinya, Bezos Expedition, mengikuti putaran investasi yang dipimpin oleh Tiger Global dan Sequoia Capital India tersebut. Keikutsertaan Bezos dalam seri pendanaan ini bertujuan memperkuat ambisi Lummo untuk mempercepat pertumbuhan bisnis pengusaha dan pemilik brand di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara.

Ini menjadi investasi kedua Bezos Expedition di startup Indonesia, setelah sebelumnya masuk ke putaran pendanaan Ula.

“Investasi ini semakin memperkuat upaya Lummo untuk mengembangkan solusi D2C demi memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada para pemilik usaha di Indonesia, mempercepat pertumbuhan bisnis mereka, serta memaksimalkan efisiensi operasional dengan memanfaatkan solusi SaaS Lummo,” kata CEO Lummo Krishnan Menon.

Kepada DailySocial.id, COO Lummo Lorenzo Peracchione menuturkan dana segar tersebut akan difokuskan untuk memperluas penawaran produk agar dapat melayani lebih banyak pengusaha UMKM dan brand. Dengan masuknya Jeff Bezos sebagai bagian dari investor mereka, diharapkan bisa memberikan manfaat lebih kepada Lummo, dilihat dari prestasi Jeff Bezos sebelumnya membangun Amazon menjadi layanan e-commerce unggulan global.

“Kita senang dengan kehadiran Jeff Bezos dalam tim dan menjadi kebanggaan bagi kami mendapatkan sosok yang piawai dalam digital e-commerce. Investasi ini juga menjadi validasi atas pekerjaan yang telah kami lakukan. Yang menjadi penting adalah investasi ini menjadi signal yang kuat akan kepercayaan investor secara global, dan juga merubah persepsi investor asing tentang potensi dan pertumbuhan indonesia saat ini,” kata Lorenzo.

Mengedepankan konsep D2C

Pendekatan D2C yang diklaim sebagai keunggulan kompetitif Lummo telah memberikan dampak berkelanjutan bagi pengembangan bisnis mereka. Selain itu, solusi D2C juga membuka lebih banyak potensi bisnis bagi usaha kecil dan menengah di tengah persaingan bisnis online yang menantang. Berbekal pengalaman mendalam tentang market di Indonesia, Lummo optimis dapat menciptakan solusi teknologi yang mampu memecahkan tantangan bisnis yang dihadapi para pengusaha.

Awal tahun 2020 lalu Lummo yang sebelumnya bernama BukuKas telah melakukan rebranding TOKKO yang berada di bawah BukuKas, juga ikut di-rebranding menjadi LummoSHOP.

Secara khusus LummoSHOP, membantu para pelaku usaha dan pemilik brand yang ingin meningkatkan pertumbuhan bisnis mereka secara optimal dengan membantu mereka membangun relasi dan menjual langsung ke pelanggan (D2C), demi memaksimalkan efisiensi operasional di berbagai saluran dan membangun merek mereka sendiri secara online.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Berrybenka Kini Jadi Grow Commerce, Umumkan Pendanaan Awal 100 Miliar Rupiah

Berrybenka mengumumkan perubahan nama (rebranding) menjadi “Grow Commerce” yang berkonsep rollup e-commerce dari sebelumnya perusahaan e-commerce. Pada saat yang bersamaan, perusahaan yang dipimpin oleh Jason Lamuda ini juga mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $7 juta (lebih dari Rp100 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, dan diikuti oleh East Ventures dan IRONGREY.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mendorong rangkaian akuisisi lebih banyak merek dan menciptakan teknologi yang lebih mutakhir untuk mendukung aspek operasional guna mempercepat pertumbuhan mereka.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Grow Commerce Jason Lamuda menuturkan Grow Commerce mengambil posisi sebagai House of Brands dengan pengalaman operasional yang kuat dalam membangun dan mendukung pertumbuhan merek lokal. Salah satu contoh keberhasilan ini dapat dilihat dari aspek distribusi penjualan. Ia dan tim telah mengembangkan platform online sendiri, membangun jaringan toko offline, berekspansi dan berjualan di berbagai pasar online.

“Dalam perjalanan tersebut, kami memahami terdapat banyak titik sulit (pain points) dan kebutuhan menyeluruh yang harus dipenuhi dari sisi pemilik brand. Grow Commerce hadir untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Kami berharap, kami dapat bermitra dengan lebih banyak merek lokal dan para pengusaha di kawasan ini,” ucap Jason, Selasa (15/2).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang e-commerce, Jason dan tim berada dalam posisi yang tepat untuk memasuki fase berikutnya guna membangun Grow Commerce sebagai agregator merek e-commerce terkemuka.

“Dengan putaran pendanaan saat ini, Grow Commerce telah membuat rencana yang kuat untuk mengakuisisi merek yang berkembang pesat, meningkatkan penjualan lini depan, dan memperluas rantai pasokan yang lebih luas. Grow Commerce berada di posisi yang tepat untuk menjalankan rencana ini guna mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan AC Ventures akan menjadi bagian dari perjalanan ini,” kata Li.

Telah miliki 4 portofolio merek

Sebagai rollup e-commerce yang menggunakan model bisnis Thrasio-style, Grow Commerce bekerja dengan cara mengakuisisi merek-merek berbasis digital yang tumbuh cepat. Regional ini dianggap sebagai area yang tepat untuk mengoperasikan model bisnis tersebut, lantaran sebagian besar penduduknya merupakan pengguna internet berbasis mobile. Dengan demikian, terdapat campuran antara DTC dan saluran distribusi penjualan online, dan relevansi berkelanjutan dari ritel offline.

Saat ini, Grow Commerce memiliki empat portofolio yang diklaim memiliki pendapatan tahunan sebesar $20 juta secara gabungan. Merek tersebut adalah Berrybenka, Aleza, Kottonville, dan BBS. Keseluruhannya merupakan merek fesyen.

Setelah memimpin dan mengembangkan Berrybenka, merek fesyen berbasis digital pertama, Jason dan tim sangat memahami tantangan dan aspirasi pemilik merek lokal dan apa yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis semacam itu secara eksponensial. Dengan keahlian tersebut, Grow Commerce memanfaatkan data analitik dan teknologi eksklusif dalam memilih kategori dan merek potensial untuk diakuisisi.

Mereka menawarkan solusi yang fleksibel dan transparan bagi para pemilik merek untuk bergabung dengan Grow Commerce dan mengembangkan bisnis bersama. Setelah menjadi bagian dari perusahaan, portofolio akan dibekali dengan berbagai strategi pertumbuhan omnichannel canggih dan teruji, seperti Berrybenka dan Aleza yang telah memberikan pertumbuhan penjualan QoQ lebih dari dua kali lipat hingga tiga kali lipat.

Sebagai ahli marketplace, tim Grow Commerce terus mencermati operasi rantai pasokan merek dan pengalaman pelanggan untuk memastikan agar pertumbuhan penjualan mereka dapat berkembang pesat, dan mencegah penurunan tingkat kepercayaan pelanggan. Grow Commerce telah meningkatkan jumlah tim mereka sebanyak lebih dari 150 orang, dan optimistis dapat tumbuh secara signifikan selama enam bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan pendapatan mereka.

Tren rollup e-commerce

Grow Commerce meramaikan pasar rollup e-commerce di Indonesia yang sebelumnya telah diisi oleh Hypefast, OpenLabs, Una Brands, dan Tjufoo. Merebaknya konsep Thrasio-style ini didukung oleh semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Menariknya, masing-masing dari startup yang hadir di sini didirikan oleh mantan para petinggi di perusahaan e-commerce. Hypefast didirikan oleh Achmad Alkatiri yang sebelumnya bekerja untuk Lazada Indonesia, OpenLabs oleh Jeffrey Yuwono yang merupakan salah satu pendiri dari Sorabel.

Startup Total perolehan dana Investor
Hypefast $22 juta (debt dan ekuitas) Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Arkblu Capital, dan Amand Ventures
OpenLabs $100 juta Undisclosed
Una Brands $55 juta (debt dan ekuitas) Alpha JWC Ventures, White Star Capital, Global Founders Capital, 500 Startups, dll.
Tjufoo $125 juta Undisclosed
Grow Commerce $7 juta AC Ventures, East Ventures, IRONGREY

Diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Mengedepankan Konsep D2C, Filmore Tawarkan Produk Femcare Menstrual Cup

Menurut riset, rata-rata perempuan akan menghabiskan sekitar hampir Rp80 juta sepanjang hidupnya untuk membeli produk kewanitaan saat menstruasi. Selain mahal, limbah yang dihasilkan dari penggunaan pembalut pun cukup tinggi dan merusak lingkungan. Filmore yang merupakan brand Feminine Care lokal, mencoba menawarkan produk femcare berupa menstrual cup yang relevan dan ideal untuk perempuan Indonesia.

Resmi meluncur akhir bulan Januari 2022, Filmore didirikan oleh Andrea Gunawan, aktivis kesehatan seksual; Grace Tahir, Direktur RS Mayapada dan juga yang dikenal sebagai angel investor; bersama dengan Atola Group, perusahaan yang didirikan oleh Gitta Amelia, pengusaha dan juga investor. Filmore sekaligus ingin menjadi gerakan sosial dengan misi edukasi tentang pemberdayaan perempuan serta penerapan gerakan ramah lingkungan.

“Filmore adalah sebuah social movement dengan misi memberdayakan perempuan melalui healthcare product yang bersih, sehat, nyaman dan juga eco-friendly dan sustanianble. Yang dilakukan oleh Filmore adalah untuk dan oleh komunitas yang juga dikenal dengan sebutan Filmore rebels,” kata Co-founder Filmore Gitta Amelia.

Filmore mencatat kebanyakan produk menstrual cup yang ditawarkan di Indonesia saat ini berasal dari negara seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hanya sedikit dari brand tersebut yang bisa memberikan produk yang ideal untuk perempuan Indonesia dengan harga terjangkau. Menjadikan penggunaan menstrual cup tidak terlalu populer di kalangan perempuan Indonesia. Selain itu di Indonesia saat ini masih ada stigma atau mitos tentang bahaya penggunaan menstrual cup untuk perempuan.

“Saya berharap Filmore akan menjadi market leader dalam produk kebersihan dan kesehatan perempuan di Asia Tenggara dan mengubah kebiasaan masyarakat untuk menjadi lebih ramah lingkungan, sehat, serta hemat,” kata Gitta.

Produk unggulan Filmore

Filmore menghadirkan dua opsi produk kebutuhan menstruasi yang lebih ramah lingkungan yaitu Girlfriend Menstrual Cup dan Boyfriend Wet Wipes. Mengedepankan konsep Direct to Consumer (D2C), selain memanfaatkan website sendiri untuk channel penjualan, Filmore juga memanfaatkan platform e-commerce Shopee untuk kanal penjualan online. Ke depannya Filmore juga memiliki rencana untuk memasarkan produk mereka secara offline untuk melayani konsumen lebih luas lagi.

“Kami bekerja sama dengan berbagai mitra untuk memproduksi barang-barang kami, dengan hati-hati memilihnya untuk kualitas dan konsistensi dengan nilai brand. Kami tersedia secara online dan memiliki pengiriman ke seluruh dunia melalui situs web kami. Kami tersedia secara nasional melalui Shopee. Segera kami akan berada di toko kesehatan dan kecantikan offline terpilih,” kata Grace.

Ditambahkan olehnya, melawan produk mainstream yang saat ini sangat popular di kalangan perempuan muda Indonesia, Filmore hadir menawarkan solusi baru yang lebih higienis namun juga aman. Di harapkan bisa menjadi pilihan baru untuk perempuan muda saat ini, yang mencari pilihan yang lebih bersih, lebih berkelanjutan, dan lebih nyaman.

“Kami akan terus mendobrak tabu dan stigma, dan mendidik dengan integritas untuk mendapatkan kepercayaan perempuan di Indonesia,” kata Grace.

Memanfaatkan media sosial, saat ini Filmore telah mendapatkan dukungan dari banyak perempuan Indonesia melalui wadah Instagram dan Discord. Mengubah persepsi mengenai bagaimana perempuan memandang tubuhnya melalui sesi diskusi, kini Filmore memiliki lebih dari 1000 member di Discord. Proses yang telah dilakukan empat bulan sebelum Filmore diluncurkan, mendapat respon yang cukup positif dari target pengguna mereka yaitu perempuan muda Indonesia.

“Dengan adanya produk menstrual cup ini, para perempuan tidak perlu lagi membeli pembalut atau tampon lagi setiap bulannya. Menstrual cup dari Filmore yang dibuat khusus untuk perempuan Asia, tahan hingga 10 tahun dengan 8 jam waktu pemakaian,” ucap Andrea Gunawan, salah satu pendiri Filmore.

Konsep D2C saat ini memang banyak menawarkan produk beauty hingga femcare dan menyasar kebanyakan perempuan. Memanfaatkan channel seperti layanan e-commerce dan website sendiri, konsep ini dinilai cukup efektif untuk mendapatkan revenue secara langsung. Platform beauty dan health care product yang menawarkan konsep D2C di Indonesia saat ini di antaranya adalah Dr Soap dan SYCA Official.

Azure Ventures Suntik Startup D2C Fine Counsel, Perkuat Teknologi dan Analitik

Startup fesyen D2C Fine Counsel mengumumkan pendanaan segar yang dipimpin oleh Azure Ventures dengan nominal dirahasiakan. Perusahaan akan menggunakan dana segar tersebut untuk berinvestasi dalam pengembangan brand, inovasi produk, perluasan distribusi omni-channel, serta mengembangkan teknologi dan analitik untuk memberikan pengalaman pelanggan yang lebih seamless.

Fine Counsel didirikan pada 2018 oleh Kaleb Lucman dengan visi menciptakan produk gaya hidup kelas premium yang setara dengan kualitas internasional. Variasi produk-produk sepatunya menyeimbangkan penampilan classy dengan casual, juga mengedepankan kenyamanan dan fungsi utama dari produknya. Sejak diluncurkan, perusahaan telah berkolaborasi dengan banyak mitra, seperti Mini Cooper, Big Bear and Bird, dan atlet bulu tangkis Greysia Polii. Dengan kemitraan tersebut, mampu mendongkrak pendapatan hingga sepuluh kali lipat.

Kaleb mengungkapkan adanya kemungkinan untuk mengakuisisi brand yang memiliki kesamaan visi dan nilai untuk melengkapi ekosistem Fine Counsel. “Kami selalu ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi hasil karya yang berkualitas tinggi dan desain yang berkelas,” ucap Kaleb dalam keterangan resmi.

Pemegang saham dan brand ambassador Fine Counsel Greysia Polii menambahkan, “Kami berusaha untuk menjadikan Fine Counsel sebagai brand lifestyle terkemuka di Indonesia yang identik dengan desain dan kualitas yang baik. Perusahaan ini memiliki fundamental yang dapat merebut hati para penggemar fashion di Indonesia dan seterusnya.”

Mengomentari terkait investasi yang dikucurkan, Managing Partner Azure Ventures Felix Setyomulyono mengatakan, Fine Counsel adalah salah satu merek D2C dengan rekam jejak inovasi produk yang kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan pelanggannya. “Kami bangga dan bersemangat untuk bermitra dengan tim Fine Counsel dalam fase pertumbuhan berikutnya dalam mengintegrasikan teknologi ke pasar, mengembangkan merek mereka lebih cepat dan mencapai pertumbuhan yang stabil,” tutur dia.

Tren D2C

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Salah satu studi kasus yang banyak diceritakan adalah kesuksesan Perfect Diary, sebuah brand kosmetik asal Tiongkok. Didirikan sejak tahun 2016, startup tersebut mencapai pertumbuhan yang mengesankan sepanjang 2 tahun bisnis berjalan. Bahkan di 2019, mereka menjadi salah satu dari tiga brand dengan penjualan terbanyak. Hingga akhirnya pada tahun 2020 memutuskan IPO dengan valuasi $7 miliar. Strategi utama mereka tidak lain dengan D2C.

Ada tiga pilar utama yang idealnya didapat pemilik brand dalam strategi D2C mereka. Pertama, memungkinkan mereka menemukan diferensiasi produk, nilai unik tersebut dinilai akan mengundang lebih banyak pelanggan. Kedua, kemampuan memberdayakan data pelanggan untuk lebih memahami kebutuhan dan karakteristiknya. Dan ketiga, mendorong kepemimpinan brand dengan tingkat ketangkasan lebih secara menyeluruh, termasuk di sisi operasional.

Melihat peluang yang sama, beberapa pemain lokal mencoba keberuntungan di sektor tersebut. East Ventures sendiri turut berinvestasi ke startup D2C lainnya di bidang perawatan kulit bernama Base dan minuman nabati bernama Mohjo. Ada juga Hypefast yang hadir membantu pemilik brand untuk menajamkan strategi D2C mereka — termasuk dengan memberikan dukungan permodalan, jaringan, akses, dan operasional.

Di sisi investor, selain East Ventures beberapa pemodal ventura lokal lainnya juga mulai masuk ke sana. Mulai Alpha JWC Ventures, AC Ventures, hingga BRI Ventures melalui Sembrani. Terbaru ada Kinesys yang menjalin kerja sama dengan The-Wolfpack khusus untuk memperkuat ekosistem D2C di portofolionya.

Untuk bisnis fesyen sendiri, hingga saat ini masih mendominasi penjualan di online shopping secara global. Inovasi diperlukan untuk menjaga pertumbuhan tersebut, seiring dengan perubahan tren yang terjadi di kalangan konsumen.

Kategori produk paling populer di online shopping global sepanjang 2021 / Statista

Una Brands Ramaikan Bisnis “Rollup E-commerce” di Indonesia

Una Brands, startup agregator e-commerce asal Singapura, mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah mengantongi pendanaan seri A senilai $15 juta yang dipimpin salah satunya oleh Alpha JWC Ventures. Ditargetkan 12 hingga 15 merek lokal dapat diakuisisi pada tahun depan.

Una menaruh komitmen mengalokasikan investasi senilai $35 juta (lebih dari Rp500 miliar) untuk mendukung merek lokal di Indonesia berkembang menjadi usaha berkelas internasional melalui program akuisisi, pemberian modal kerja, dukungan operasional, hingga ekspansi bisnis internasional. Selain itu, juga berencana untuk mengembangkan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk memperluas basis rantai pasok untuk portofolio Una Brands lainnya.

“Indonesia merupakan salah satu prioritas utama Una Brands. Kami tidak hanya melihat peluang untuk mengakuisisi merek lokal terbaik tetapi juga membantu mereka untuk ekspansi di Indonesia dan global, serta menjadikan Indonesia sebagai strategic sourcing hub untuk portofolio kami lainnya di luar sourcing hub yang saat ini berada di Tiongkok,” ucap Founder & CEO Una Brands Kiren Tanna dalam keterangan resmi.

Perusahaan sendiri telah hadir di sembilan pasar dengan fokus pasar Asia Pasifik, dengan kantor pusat di Singapura, kemudian Malaysia, Australia, Tiongkok, India, Taiwan, Korea, dan Jepang dengan lebih dari 100 karyawan . Indonesia adalah negara kesembilan yang dimasuki oleh perusahaan yang baru beroperasi pada tahun ini.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial.id, Tanna menuturkan tim Una Brands di Indonesia sejatinya telah beroperasi sejak Oktober 2021 dan memiliki lima orang karyawan. Sudah ada satu brand yang sudah diakuisisi secara final oleh perusahaan, dan sembilan brand lainnya dalam tahap final due diligence. “Sedangkan untuk Una Brands secara global, kami telah berhasil mengakuisisi lebih dari 20 brand sejak Januari 2021.”

Dengan komitmen investasi yang telah diumumkan, Una Brands akan mengakuisisi merek lokal potensial yang memiliki proyeksi omzet bulanan minimal Rp400 juta, berjualan melalui jalur e-commerce populer seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, dan Shopify. Menurutnya, tidak ada batasan ticket size yang akan dikucurkan untuk satu brand selama brand tersebut selama masuk ke dalam kriteria investasi di Una Brands.

“Kami hadir membawa pilihan baru di mana akuisisi oleh Una Brands tak hanya memberikan full exit secara tunai serta bagi hasil keuntungan bagi pengusaha, tapi juga melindungi legacy yang sudah tercipta selama ini, bahkan mengangkat legacy tersebut ke level selanjutnya melalui ekosistem Una Brands.”

Setelah proses akuisisi, Una Brands melalui teknologinya akan mengoptimalkan kinerja merek, termasuk branding, pemasaran, rantai pasok, hingga pengadaan. Serta, memperluas target distribusi secara domestik maupun internasional dalam lingkup Asia Pasifik, Amerika, dan Eropa dengan target pertumbuhan 10 kali lipat di nilai penjualan dan keuntungan.

“Sektor bisnis yang dibidik adalah kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan rumah dan tempat tinggal, kecantikan dan perawatan tubuh, kebutuhan bayi, anak, dan hewan peliharaan, olahraga, serta kegiatan luar ruangan. Namun, Una Brands juga tetap terbuka untuk mengakuisisi bisnis di luar kategori tersebut.”

Didukung geliat pertumbuhan e-commerce

Una Brands bukanlah pemain pertama yang merambah segmen “rollup e-commerce” di Indonesia, sudah ada Hypefast dan OpenLabs. Sebagai perbandingan, di pasar global, konsep yang dianut ketiganya mengacu pada template yang dibuat Thrasio, pemain sejenisnya dari Amerika Serikat. Tak hanya Indonesia, template ini juga ramai-ramai diadopsi di masing-masing pemain di negara lainnya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep bisnis ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Di Indonesia sendiri, diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Mengenal Konsep “Rollup E-Commerce” yang diusung Hypefast

Umumnya di satu titik sebuah bisnis online sering terhambat untuk bertumbuh. Isunya cukup beragam, ada yang kesulitan mencari talenta yang tepat, tambahan modal, meningkatnya operasional, dan sebagainya, sehingga dibutuhkan mitra yang tepat agar mereka dapat eskalasi bisnisnya dengan baik. Kebutuhan tersebut disadari Achmad Alkatiri saat bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya merintis Hypefast pada Januari 2020.

Konsep yang dianut Hypefast disebut sebagai rollup e-commerce. Kurang lebih serupa apa yang dikembangkan Thrasio, sebuah startup unicorn Amerika Serikat. Thrasio bekerja dengan mengakuisisi merek penjual di Amazon yang sukses, memberi founder-nya jalur exit yang menguntungkan, lalu meningkatkan skala produknya dengan ekosistem yang telah mereka bangun.

Mengapa rollup e-commerce hadir

Template Thrasio cukup sukses diterapkan berbagai startup di sejumlah negara. Thrasio, yang memasuki usianya ketiga, kini menjadi unicorn bervaluasi $6 miliar yang berhasil mengelola portofolio global 100 merek. Mereka menghasilkan pendapatan $500 juta dan laba $100 juta sepanjang tahun lalu.

Startup sejenis adalah Perch, Branded Group, dan Elevate Brands. Di India, kondisinya lebih riuh. Ada Mensa Brands, GlobalBees, 10Club, Upscalio, Evenflow, Powerhouse91, dan GOAT Brands Lab.

Di skala Asia Tenggara ada Una Brands dari Singapura yang juga telah memiliki tim di Indonesia. Di Indonesia, selain Hypefast, terdapat OpenLabs yang baru mengumumkan kehadirannya.

Menurut Co-Founder dan CEO 10Club Bhavna Suresh, salah satu pemain rollup e-commerce India, merebaknya konsep rollup e-commerce ini lantaran didukung semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Format ini sangat berbeda dari operasi perusahaan modal ventura tradisional. VC berinvestasi di semua jenis startup (baik online maupun offline) dan memberikan panduan strategis, tetapi founder tetap yang menjalankannya. Sebaliknya, perusahaan rollup e-commerce memperoleh prospek online, memberikan bantuan infrastruktur, dan tim ahli untuk membawa bisnis ke ketinggian baru.

Sumber: Pixabay

Tak mengherankan, rollup e-commerce mendapat popularitas karena memberikan peluang unik bagi bisnis yang mencari jalan exit lebih awal tanpa kerumitan penggalangan dana dan penilaian. Startup yang didukung VC sering menunggu lama untuk mendapatkan harga terbaik atau pengembalian yang baik bagi investor.

Banyak penjual online dan merek D2C kecil-menengah menghadapi kendala karena mereka tidak memiliki strategi pertumbuhan yang kohesif meskipun menjual produk yang bagus. Semua bisnis ini dapat dengan mudah mendapatkan keuntungan dari model rollup e-commerce.

Suresh melanjutkan, merintis bisnis adalah proses berkelanjutan yang melewati beberapa fase. Dari menyiapkan operasi hingga menemukan produk-pasar yang cocok untuk meningkatkan dan berkembang, setiap fase adalah bagian dari evolusi yang mencakup tiga pilar mendasar —orang, proses, dan produk.

Ketiga pilar ini berfungsi dalam mengembangkan bisnis. Misalnya, ketika sebuah perusahaan dimulai, bagian “orang” pada dasarnya melibatkan tim founder. Pada tahap ini, individu menangani banyak peran dan tujuannya untuk menemukan product-market fit.

Ketika bisnis berkembang dan operasi menjadi lebih terspesialisasi, setiap unit akan membutuhkan profil yang tepat untuk melaksanakan tugas-tugas ini. Menurut Suresh, sebuah bisnis akan mandek dan gagal mencapai potensi sebenarnya jika tidak mampu membuat keputusan perekrutan yang efektif.

Pilar kedua adalah “proses”. Untuk merek D2C, ini biasanya mencakup manufaktur, pemasaran, logistik, keuangan, dan dukungan teknis. Tetapi, ketika bisnis meningkat dan tumbuh, penting untuk menyiapkan proses baru dan mengoptimalkan yang sudah ada. Kegagalan untuk menempatkan semua proses yang diperlukan pada tempatnya akan membuat pekerjaan menjadi sulit.

Akhirnya, datanglah “produk”, pilar pertumbuhan ketiga. Suresh menyoroti perlunya “perubahan” untuk menjelajahi area/pasar baru dan tetap relevan dari waktu ke waktu.

Mengawasi dengan tajam tren baru atau bahkan tidak aktif sangat penting untuk bisnis karena perlu beradaptasi dengan cepat untuk mempertahankan basis pelanggannya. Menggunakan pandangan ke depan yang strategis untuk mengidentifikasi peluang bisnis juga penting bagi merek D2C yang beroperasi di pasar konsumen yang cepat berubah dan sangat kompetitif.

Memelihara ketiga pilar pertumbuhan ini adalah kunci untuk mengoptimalkan bisnis seseorang, tetapi pertumbuhan akan sulit dicapai tanpa akses ke pendanaan yang sesuai. Sekali lagi, investasi modal dalam bisnis telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu.

Pada awalnya, ada kekayaan individu untuk mengembangkan usaha seseorang. Berikutnya datang segala macam pinjaman institusional, terutama pembiayaan utang, diikuti oleh pendanaan VC, rute yang lebih mudah untuk modal. Pembayaran terjadi melalui ekuitas.

“Hari ini datang pilar keempat untuk pertumbuhan — model rollup. Tapi itu hanya datang ketika ada ekosistem yang berkembang. Dan ini adalah bukti meningkatnya ekosistem D2C di India yang memungkinkan pemain seperti kami untuk masuk,” kata Suresh.

Perkembangan Hypefast

Mad, sapaan akrab dari Achmad, menjelaskan lebih sederhana bagaimana Hypefast bekerja. Dia sendiri lebih lebih suka menggunakan istilah house of ecommerce brand atau e-commerce brand aggregator.

Di industri ritel terdapat P&G dan Unilever yang membuat merek di bawahnya dari nol, lalu ada MAP yang melisensi merek global untuk dikelola di bawah MAP untuk beroperasi di pasar lokal. Hypefast bekerja seperti demikian, mengakuisisi merek potensial untuk dikembangkan lebih jauh dengan ekosistem yang sudah dibangun.

“Saat kita raise pre-seed round di Q4 2019, banyak investor tanya siapa benchmark Hypefast di luar negeri, ya saya jawab setau saya enggak ada karena saat itu Thrasio masih stealth mode. Tapi kita tetap go with that, sampai akhirnya Thrasio muncul dan menjadi unicorn, ini menjadi validasi yang kuat dan good timing for us untuk tumbuh lebih kencang,” ucap Mad saat dihubungi DailySocial.

Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri / Hypefast

Meskipun beroperasi dengan cara mengakuisisi merek, perusahaan tetap mempertahankan para pendiri merek dalam jajaran manajemen untuk mempertahankan relevansi yang kuat dengan pasar lokal. Sedari awal, Hypefast didesain sebagai startup yang pengeluarannya selalu memerhatikan skalabilitas dan profitabilitas bisnis. Diklaim perusahaan telah mencapai titik profitabilitas.

Meski tidak dirinci, Mad menyebut pembagian hasil antara Hypefast dengan merek telah dibuat seadil mungkin.

Sesudah mengakuisisi suatu merek, mereka akan masuk ke dalam ekosistem Hypefast untuk ditingkatkan pendapatannya dengan cara yang paling rasional, bukan dengan meningkakan anggaran marketing dan bakar uang dengan memberikan subsidi.

Playbook kami adalah selalu menumbuhkan growth by the book, menumbuhkan revenue dengan cara yang sustainable. Ini bentuk kedisiplinan kami untuk selalu menjaga P&L dan revenue positif karena tujuan utama kami bukan hanya bangun scalable bisnis, tapi juga profitable.”

Daripada menyebut Hypefast sebagai salah satu rollup e-commerce/growth builder/venture builder, Mad lebih sepakat untuk memberi identitas Hypefast sebagai growth partner untuk e-commerce native brands.

Saat mengincar merek baru, tim Hypefast akan melihat merek mana yang sudah mencapai product-market fit dan memiliki potensial yang tinggi untuk dijual di luar negeri. Syarat berikutnya, merek tersebut memiliki pendapatan bulanan minimal Rp500 juta perbulan dan sudat peroleh laba, minimal margin 15% dari pendapatan dan mayoritas omzet datang dari channel online.

Cakupan merek yang diincar ini tak hanya dari Indonesia, namun juga sudah merambah ke Malaysia, Singapura, dan Thailand, mengingat Hypefast sudah memiliki tim lokal di sana. Nantinya, tim lokal tersebut akan bertanggung jawab untuk seluruh transaksi yang terjadi di dalam portofolio Hypefast, yang memanfaatkan platform digital populer yang dipakai konsumen di negara tersebut.

“Untuk membuktikan bahwa merek tersebut sudah kuat, kita juga melihat apakah pendapatannya mereka mulai stabil minimal dalam 12 bulan terakhir. Tak hanya itu, fokus mencari founder yang punya level ambisius untuk tumbuh bersama-sama karena kami ini cari partnership untuk grow the growth.”

Ticket size yang diberikan Hypefast untuk masing-masing portofolionya hingga $10 juta. Tak hanya dana segar, founder juga akan terhubung dengan ekosistem ritel Hypefast secara end-to-end. Proses operasionalnya akan tersentralisasi dengan gudang, pengadaan, cross border facility, hingga pemasaran, dan mendapat tim terdedikasi Hypefast untuk memastikan bisnis dapat berjalan secara lebih efisien.

Cross border facility ini kita siapkan untuk brand agar dapat dipakai bersama-sama. Kita jadi satu karena semua operasional dilakukan bareng-bareng. Warehouse mereka akan dipindahkan ke Hypefast agar lebih efisien karena kapasitas kami lebih besar. Semua ini kami lakukan karena saat invest ke brand, kami ini upgrading their business fundamental.”

Menurut Mad, kehadiran fasilitas cross border ini membuat pengalaman belanja online tetap terlokalisasi untuk konsumen di masing-masing merek tetap sama. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat, tanpa harus menunggu dikirim dari negara asal merek tersebut.

Rencana berikutnya

Merek lokal D2C ke depannya akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasi e-commerce terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

“Kita lihat semakin banyak brand baru yang mulai bermunculan, enggak hanya dari angka jumlah pemainnya yang meningkat, tapi jumlah konsumennya juga ikut naik. Hal ini terjadi karena mereka itu membawa sesuatu yang dicari-cari konsumen dan tentunya ini bedampak positif.”

Bisnis yang diincar Hypefast untuk diakuisisi saat ini bergerak di kategori gaya hidup, seperti fesyen, kesehatan dan kecantikan, personal care, dan aksesori. Sejauh ini mayoritas portofolionya bergerak di industri fesyen, jumlahnya ada lebih dari 25 merek.

Beberapa nama di antaranya adalah Noore, Bonnels, Motiviga, Monomom, Nona, dan Nona Nara. Baru-baru ini perusahaan mengumumkan kemitraan dengan Cosmax Indonesia, menandai masuknya perusahaan ke industri kecantikan dan kesehatan.

Cosmax Indonesia memiliki kekuatan di bidang inovasi dan riset kecantikan, didukung dengan tim riset dan pengembangan produk, kapasitas produksi yang menjangkau hingga 110 juta unit, dan fasilitas manufaktur seluas 13.890 meter persegi. Mereka bekerja sama dengan merek kecantikan lokal dan perusahaan multinasional dengan jaringan terintegrasi, kemampuan infrastruktur yang memberikan solusi responsif dan ribuan formulasi inovatif.

“Untuk brand di luar Indonesia, masih dalam tahap diskusi final. Ada beberapa yang sudah tahap signing, masih banyak juga yang masih dalam diskusi. Semuanya ini adalah kategori lifestyle sebagai core kami.”

Perusahaan untuk berinvestasi setidaknya ke 15 merek lokal kesehatan dan kecantikan pada tahun depan, dengan target pendanaan hingga Rp50 miliar per merek.

Dalam mendukung target perusahaan, Hypefast akan menambah jumlah talentanya hingga 1.000 orang sampai satu sampai dua tahun mendatang. Saat ini talenta perusahaan berjumlah 250 orang tersebar di empat negara.

“Talenta itu adalah faktor penting dalam pertumbuhan kami. Hypefast mencari individu yang passionate di e-commerce brand, terutama di Indonesia. Banyak hal yang akan kita kerjakan bersama-sama,” tutup Mad.

Hingga kini, Hypefast telah memperoleh pendanaan ekuitas sebesar $22 juta serta tambahan pendanaan debt dengan jumlah yang tidak disebutkan dari kalangan investor terkemuka di Asia Tenggara dan dunia. Investor-investor yang mendukung Hypefast termasuk Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, dan Strive.

BRI Ventures to Launch a New Fund “Sembrani Kiqani”, Targeting D2C Sector

After launching the Sembrani Nusantara Venture Fund last year which focuses on early-stage startups funding, BRI Ventures (BVI) is to launch another investment vehicle named “Sembrani Kiqani”.It is still targeting the early-stage startups, but rather focuses on consumer brands targeting the direct-to-consumer (D2C) sector.

BVI’s CEO, Nicko Widjaja, in his opening remarks at the BRI Ventures Networking Day (23/11) mentioned the potential of the D2C sector growth in Indonesia for the fashion, F&B, and beauty segment. He said, this sector is capable to drive the current industry, especially amidst the economic recovery from the Covid-19 pandemic.

Marcel Lukman, owner of one of the well-known retail groups 707company, also one of the Partners at Sembrani Kiqani said that apart from D2C, this managed fund is also targeting the blockchain industry and its derivatives related to cryptocurrencies. BVI alone is planning to strengthen its investment to develop the crypto ecosystem in the country.

Previously, through Sembrani Nusantara, BVI has invested in the beverage brand developer Haus!, which is also its first non fintech portfolio. They disbursed around 30 billion Rupiah in the debut fund for startup. In addition, the local shoe product developer Brodo also received funding through its series A round.

Indonesian D2C industry

Retail is one of the industries that highly contributes to the national economy. However, the Covid-19 pandemic that shaken this industry’s resilience had caused many businesses to change strategies or even give up on the situation. The one strategy being used is currently to directly target the consumers or direct-to-consumer (D2C).

According to data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, it is considered a must for brand owners to have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

In Indonesia alone, there are already several startups have adopted the D2C concept, including Brodo and Saturdays (fashion), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), as well as the retail group startup Hypefast which focuses more on being a venture builder. VCs such as East Ventures are also targeting this sector, proven by its two newest portfolios, mohjo and Kasual.

Blockchain invesment

In early 2010, perhaps not many people understood the concept of blockchain and its utility in the technology industry. Today, discussions regarding crypto assets that run on blockchain platforms are heard everywhere both in the real world and on social media. However, the crypto ecosystem in Indonesia is quite premature and still requires in-depth education.

In an effort to develop the crypto ecosystem in Indonesia, BRI Ventures in collaboration with Tokocrypto, is planning a new initiative called the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). The first blockchain project is targeted to be launched in 2022.

In addition to crypto assets, a product that is currently captured the market, especially among tech enthusiasts, is NFT. As one of the unique digital assets, all types of media can be printed or tokenized and converted into NFT. This product has been available in various industries from digital art, virtual real estate, also collectibles, games, and many more.

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

There are several NFT marketplace platforms available in Indonesia, including TokoMall, Kolektibel, and Paras Digital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Segera Luncurkan Dana Kelolaan “Sembrani Kiqani” untuk Startup D2C

Setelah tahun lalu meluncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara yang fokus mendanai startup tahap awal, BRI Ventures (BVI) kembali akan menghadirkan kendaraan investasi mereka yang diberi nama “Sembrani Kiqani”. Masih dengan misi untuk mendanai startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C).

Dalam kata sambutannya di acara BRI Ventures Networking Day (23/11), CEO BVI Nicko Widjaja juga menyinggung tentang potensi pertumbuhan sektor D2C di Indonesia yang kian meningkat baik di bidang fesyen, F&B, dan kecantikan. Menurutnya, sektor ini mampu menjadi penggerak industri terutama di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Marcel Lukman, pemilik salah satu grup ritel ternama 707company, juga salah satu Partner Sembrani Kiqani turut menyampaikan, selain D2C dana kelolaan ini juga ditargetkan untuk menyasar industri blockchain serta turunannya yang terkait dengan cyptocurrency. BVI sendiri tengah berencana memperkuat investasi untuk mengembangkan ekosistem kripto di tanah air.

Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus!, yang juga menjadi portofolio pertama mereka di luar fintech. Dana yang dikucurkan mencapai 30 miliar Rupiah untuk debut ke startup. Selain itu, pengembang produk sepatu lokal Brodo juga mendapat suntikan dana dalam putaran seri A mereka.

Industri D2C di Indonesia

Ritel merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang daya tahan industri ini menyebabkan banyak usaha harus mengubah strategi bahkan menyerah dengan situasi. Salah satu strategi yang sedang ramai digunakan adalah dengan langsung menyasar konsumen atau direct-to-consumer (D2C).

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang mengadopsi konsep D2C ini termasuk Brodo dan Saturdays (fesyen), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), juga startup grup ritel Hypefast yang fokusnya lebih menjadi venture builder. VC seperti East Ventures juga semakin gencar menyasar sektor ini, termasuk dua portfolio terbaru mereka mohjo dan Kasual.

Investasi di industri blockchain

Di awal tahun 2010, mungkin belum banyak orang yang mengerti konsep blockchain serta utilitasnya dalam industri teknologi. Dewasa ini, pembahasan terkait aset kripto yang dijalankan di atas platform blockchain semakin marak terdengar baik di dunia nyata maupun media sosial. Meskipun begitu, ekosistem kripto di Indonesia masih terbilang prematur dan membutuhkan edukasi mendalam.

Dalam upaya mengembangkan ekosistem kripto di Indonesia, BRI Ventures bekerja sama dengan Tokocrypto, sedang merencanakan inisiatif baru yang dinamakan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Proyek blockchain pertama ini ditargetkan untuk bisa segera meluncur di tahun 2022.

Selain aset kripto, produk yang juga tengah digandrungi masyarakat, terutama di kalangan penggiat teknologi, adalah NFT. Sebagai salah satu aset digital yang terbilang unik, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT. Produk ini sendiri telah hadir di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi.

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Beberapa platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia termasuk TokoMall, Kolektibel, dan Paras Digital.