Bagaimana DigiAsia Bios Manfaatkan Embedded Finance untuk Keuangan yang Inklusif

Indonesia memiliki populasi unbanked dan underbanked tertinggi (81%) di Asia Tenggara, menurut laporan e-Conomy 2022 yang disusun Google bersama Temasek, dan Bain & Co.. Kondisi tersebut menempatkan negara ini sebagai tertinggi pertama di ASEAN, yang kemudian disusul oleh Filipina (75%) dan Vietnam (54%).

Bila terjemahkan, angka ini memperlihatkan masih sulitnya masyarakat Indonesia dalam memperoleh akses keuangan. Makanya pekerjaan rumah saat ini bagi seluruh pelaku industri adalah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Dalam konteks fintech, solusi embedded finance bisa menjadi salah satu cara menuju inklusivitas akses keuangan, seperti yang saat ini dilakukan oleh DigiAsia Bios (Digiasia).

Grup perusahaan fintech ini memiliki empat produk keuangan yang sudah berlisensi, ialah uang elektronik (KasPro), p2p lending (KreditPro), remitansi (RemitPro), dan layanan keuangan digital (Digibos). Seluruh layanan tersebut disajikan untuk memenuhi kebutuhan bisnis alias B2B, maka jadi hal yang wajar karena merek-merek di atas tidak familiar di telinga konsumen B2C.

“Kami bukan untuk B2C, melainkan enabler untuk B2B [dengan empat lisensi]. Sementara ini kami melayani enterprise yang sudah punya audiens tapi ada kebutuhan produk keuangan untuk melayani konsumen mereka,” terang Chief of Digital Ecosystem Integration DigiAsia Bios Joseph Lumban Gaol saat ditemui DailySocial.id.

Menurutnya, potensi korporat yang membutuhkan solusi keuangan jauh lebih besar dan tak kalah pentingnya dalam rangka meningkatkan keuangan yang inklusif. Hanya saja bagi korporat tersebut untuk memiliki solusi keuangan, uang elektronik misalnya, harus mengajukan lisensi ke Bank Indonesia dan memenuhi berbagai persyaratan. Tak hanya makan waktu, tapi juga investasi yang dikeluarkan tak kalah besar.

Seluruh solusi ini sudah berbasis API, dapat dihubungkan dengan sistem API di enterprise sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Perusahaan lebih suka menyebut solusinya tersebut sebagai EFaaS (embedded-finance-as-a-service), sebenarnya tidak berbeda dengan istilah embedded finance yang lebih familiar di industri fintech.

Diklaim perusahaan telah bermitra dengan 97 korporasi besar lintas industri sejak beroperasi di 2017. Mereka datang dari jasa keuangan, teknologi, ritel, telekomunikasi, transportasi, dan F&B.

Dicontohkan, salah satu pengguna KasPro, yakni PT KAI membutuhkan kehadiran solusi dompet digital di aplikasi KAI Access. Memanfaatkan lisensi yang dimiliki KasPro, kini hadir KAIPay sebagai alternatif pembayaran untuk pemesanan tiket, pesanan makanan di kereta api, dan jasa lainnya di aplikasi KAI Access.

Contoh lainnya, Kredivo yang membutuhkan kemudahan transfer dana ke rekening debitur untuk setiap pengajuan pinjaman yang telah disetujui perusahaan. “Jadi solusi yang dibutuhkan para enterprise ini tailored untuk mengatasi masalah masing-masing. Karena Indonesia itu banyak yang unbanked, jadi masalahnya sangat beragam,” tambahnya.

Secara konsep embedded finance, apa yang ditawarkan DigiAsia serupa dengan pemain seperti AyoConnect, Brick, dan Brankas. Namun Joe, panggilan akrab dari Joseph, menuturkan keunggulan dari DigiAsia adalah keempat lisensi yang sudah dikantonginya tersebut.

Walau demikian, pihaknya mengaku tetap menjalin kemitraan dengan pemain sejenis apabila ada teknologi yang dirasa lebih unggul daripada yang dimiliki perusahaan. Menurutnya, di era sekarang kolaborasi lebih baik daripada memonopoli pasar, apalagi pasar Indonesia dinilai too specialized (sangat terspesialisasi).

Turut hadir dalam kesempatan tersebut Chief of Exchange and Gaming DigiAsia Bios Jimmy Tjandra. Ia menambahkan, Stripe adalah tolak ukur terbaik sebagai penyedia solusi embedded finance dalam skala global. Perusahaan banyak memperhatikan geliat perusahaan tersebut dan inovasi-inovasi yang dihadirkan.

Hanya saja, karena pasar Indonesia terlalu terspesialisasi, solusi yang begitu canggih dari perusahaan skala global seringkali tidak tepat sasaran. Alhasil tetap dibutuhkan lokalisasi agar diterima masyarakat. “Karena Indonesia itu populasi unbanked-nya masih tinggi, sehingga solusi yang terlalu canggih itu seringkali belum tentu tepat,” ujarnya.

Sumber: DigiAsia Bios

Pengembangan teknologi

Chief of Technology & Operations Officer DigiAsia Bios Hardi Tanuwijaya menambahkan, dari berbagai contoh kasus lintas industri yang sudah ditangani perusahaan, terkumpullah API-API yang dapat langsung di-plug-and-play sesuai kebutuhan yang dicari. Semuanya tersimpan di dalam komputasi awan yang membuat semua prosesnya efisien, hemat, dan cepat.

Proses kerja tim teknologi di DigiAsia menggunakan microservices architecture. Ini adalah framework yang dipakai sebagai model dalam pembuatan aplikasi komputasi awan yang modern. Di dalam microservices, setiap aplikasi dibangun sebagai sekumpulan services dan setiap layanan berjalanan dalam prosesnya sendiri.

Masing-masing dari aplikasi tersebut saling berkomunikasi melalui API. Alhasil, setiap ada perubahan pada program yang dilakukan oleh developer, tidak akan mengganggu keseluruhan aplikasi. “Dengan microservices architecture kita jadi lebih fleksibel, semua berjalan secara modular menggabungkan empat lisensi yang kita punya tanpa terganggu jika kita bangun program baru di dalam cloud.”

Dampak dari pola kerja demikian membuat struktur karyawan di DigiAsia terbilang ramping, dengan total karyawan sekitar 100 orang dan mayoritas terdiri dari tim teknologi.

Kemudian dari sisi korporasi yang ingin “menjahitkan” API dari DigiAsia ke API internal juga lebih ramah. Tapi itu tergantung kesiapan teknologi masing-masing. Hardi memperkirakan, apabila perusahaan sudah matang dengan teknologi mereka, biasanya proses penjaitan API hanya memakan waktu tiga minggu. Akan tetapi, apabila perusahaan tersebut masih memiliki banyak aspirasi pembangunan teknologi, maksimal proses penjaitannya kurang dari tiga bulan.

“Karena sudah banyak use case sejak 2017 dan sudah API-based, makanya proses penjaitan API dapat berjalan lebih cepat.”

Rencana bisnis

Dalam rangka melanjutkan visi ingin meningkatkan keuangan yang inklusif di Indonesia, perusahaan segera meluncurkan solusi baru berbentuk marketplace berbasis Open API untuk menyasar berbagai skala bisnis mulai dari UKM hingga enterprise.

Joe menjelaskan, solusi tersebut diperuntukkan buat para developer yang membutuhkan solusi keuangan sesuai yang dicari, berdasarkan API-API dengan berbagai use case yang sudah tersedia di platform tersebut. Kemudian, mereka dapat langsung menjaitnya dan mencoba apakah berjalan sukses atau tidak di platform masing-masing.

“Rencananya produk ini akan hadir bulan Juni, platform-nya kami buka khusus untuk para engineer yang ada di seluruh Indonesia. Dengan demikian, keuangan digital semakin inklusif karena masuk ke berbagai aspek hidup masyarakat karena masih banyak industri yang membutuhkan solusi keuangan yang tidak mungkin bila kita sendiri yang terjun langsung ke sana.”

Rencana lainnya, seiring mengikuti perkembangan teknologi adalah mulai mempelajari penerapan teknologi blockchain. Di Indonesia, teknologi ini masih dalam tahap adaptasi dan belum banyak contoh kasus yang bisa dikatakan sukses.

Namun secara tren global, teknologi blockchain telah menunjukkan nilai lebihnya dalam berbagai kasus penggunaan perusahaan, seperti pelacakan sumber, logistik, dan pembayaran lintas batas. Solusi blockchain lebih efisien dan hemat biaya, sekaligus menghemat waktu dan tenaga bagi perusahaan.

“Walaupun begitu, kami terus mengamati tren karena kami tetap ingin menyeimbangkan antara bisnis dan perkembangan teknologi blockchain apabila diterapkan di Indonesia.”

Mengenai rencana perusahaan bersama Mastercard dan Bank Index, Joe menuturkan bahwa saat ini sedang mengajukan izin dari Bank Indonesia untuk menerbitkan kartu debit fisik yang ditenagai Mastercard dan Bank Index sebagai bank penerbit kartu. DigiAsia nantinya sebagai penyedia fitur-fitur yang memberikan nilai tambah bagi pengguna.

Apabila tidak ada aral lintang, kartu debit tersebut nantinya akan dihadirkan untuk masyarakat unbanked namun sudah memanfaatkan berbagai platform digital yang mereka pakai sehari-hari. Ambil contoh, Maxim, yang juga sudah bermitra dengan DigiAsia, dapat membuka kesempatan bagi para pengemudinya -dengan memanfaatkan account linkage– untuk memiliki kartu debit dengan berbagai kemudahan, seperti account management dan transaksi luar negeri.

Sebagai catatan, DigiAsia kini menjadi salah satu pemegang saham (sebesar 3,67%) di Bank Index sejak awal tahun ini. Adapun, startup fintech lainnya Modalku sudah resmi masuk ke bank tersebut sejak April 2022 dengan mencaplok 10% saham. Sementara, Mastercard adalah salah satu pemegang saham di DigiAsia sejak putaran Seri B yang berlangsung pada Maret 2020.

Sebelumnya, Mastercard dan DigiAsia sudah berkolaborasi dengan Bank Rakyat Indonesia untuk menerbitkan kartu kredit virtual dan fisik Merchant on Record (MOR). Kegunaannya untuk memudahkan pengusaha distributor untuk melakukan pembayaran kepada prinsipal dengan cepat tanpa mendisrupsi model bisnis yang telah berjalan. Salah satu pengguna kartu tersebut adalah startup GrosirOne.

“Rencananya kartu debit fisik bersama Bank Index ini akan segera hadir dalam tahun ini, sekarang sedang dalam tahap compliance di Bank Indonesia.”

Rencana IPO

Mengenai perkembangan IPO via SPAC di bursa saham Amerika Serikat, diterangkan lebih jauh bahwa sejauh ini masih sesuai dengan rencana perusahaan. Bila proses lancar, diperkirakan akan resmi melantai sekitar kuartal III/IV tahun ini. “Sekarang prosesnya masih berjalan sesuai pipeline, namun saat ini belum ada sesuatu yang pasti sehingga apapun bisa terjadi,” kata Joe.

Sebelumnya, perusahaan merger dengan perusahaan cangkang StoneBridge Acquisition Corporation (StoneBridge). Transaksi tersebut membawa valuasi pra-IPO (pre-money equity) DigiAsia sebesar $500 juta. Sebelum menandatangani perjanjian merger, DigiAsia menutup investasi $14,5 juta dengan valuasi post-money sebesar $450 juta yang dipimpin Reliance Capital Management (RCM).

Bicara mengenai perkembangan bisnis DigiAsia, disebutkan gross merchandise value (GMV) tahunan yang diproses mencapai $3 juta pada tahun lalu, dengan pertumbuhan CAGR lebih dari 200% secara year-on-year. Adapun berdasarkan gross transaction value (GTV) kontributornya terbesar datang dari solusi BaaS (48%), kemudan B2B2M (46%), dan sisanya dari bisnis lainnya.

Joe menuturkan, tahun ini perusahaan menargetkan dapat cetak laba agar dapat tumbuh berkelanjutan ke depannya. “Struktur bisnis kami sudah efisien dan biaya nurture di B2B ini lebih murah dari B2C, makanya kami yakin tahun ini bisa sudah bisa profit,” tutupnya.

Unicorn Bukan Fokus Utama, Startup Perlu Lebih Perhatikan Fundamental

Menurut APJII, penetrasi internet di Indonesia di tahun 2023 telah mencapai 78,19% atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Angka ini meningkat hampir 200% dari satu dekade lalu sebesar 71,9 juta, sekitar 34,9% dari total populasi saat itu.

Sejalan dengan itu, pertumbuhan perusahaan teknologi juga semakin pesat. Hingga saat ini terdapat setidaknya 14 unicorn atau startup bervaluasi lebih dari $1 miliar di Indonesia. Angka ini meningkat pesat dibanding periode 2016-2020 yang mencetak 5 perusahaan unicorn.

Melihat potensi perkembangan industri teknologi Indonesia, bank OCBC NISP menggelar “OCBC NISP Business Forum 2023” dengan salah satu tema utamanya bertajuk “Finding the Next Unicorn”. OCBC NISP sendiri turut mendukung pertumbuhan industri teknologi melalui perpanjangan tangan dalam bentuk investasi OCBC NISP Ventura.

Beberapa figur kenamaan di ekosistem investasi Indonesia hadir sebagai panelis, termasuk Willson Cuaca (East Ventures), Alexander Rusli (Digiasia), serta Darryl Ratulangi (OCBC NISP Ventura). Ketiganya berbagi pandangan tentang unicorn dalam industri teknologi, serta rekomendasi dan strategi perusahaan rintisan di tengah isu tech winter dan resesi.

Utamakan fundamental

Adalah mutlak bagi sebuah perusahaan rintisan untuk menciptakan solusi bagi permasalahan yang ada di pasar. Membangun produk yang baik membutuhkan proposisi nilai yang dapat dipertahankan. Untuk mencapai hal ini, startup perlu menetapkan posisi produk yang kuat, menemukan kecocokan pasar produk, dan memanfaatkan teknologi untuk mendobrak model bisnis tradisional.

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menegaskan, “Kami berinvestasi berdasarkan keyakinan, alih-alih mencari valuasi atau unicorn. Kami tidak pernah mencari unicorn, karena unicorn adalah produk sampingan saat Anda mampu menciptakan nilai. Apa yang kami cari adalah problem statement yang ingin diselesaikan, yang akan menentukan apakah solusinya adalah ‘penghilang rasa sakit’ atau hanya ‘vitamin’,”

Co-Founder & Co-CEO Digiasia Alexander Rusli mengamini hal ini. Menurutnya, perusahaan tidak seharusnya fokus pada misi untuk mencapai unicorn, melainkan mencurahkan pikiran sepenuhnya pada usaha untuk membangun bisnis yang baik. “Jika memang berjalan, valuasi akan mengikuti,” tegasnya.

Alex menilai bahwa banyak para pendiri yang memiliki mindset bahwa valuasi adalah segalanya dan berangkat dengan mimpi menjadi unicorn. Pandemi dan tech winter ini disebut sebagai pengingat serta proses pembentukan mental para pendiri. “Kita butuh orang-orang yang mengerti cara berjuang dan tidak menyerah ketika dihadapkan pada tantangan,” ujarnya.

Di samping itu, Darryl Ratulangi selaku Direktur OCBC NISP Ventura juga mengungkapkan pengaruh sentimen pasar terhadap keberlangsungan sebuah industri. “Perusahaan teknologi dengan fundamental yang baik tetapi memiliki sentimen buruk di masyarakat akan mengakibatkan valuasi tertekan,” ujarnya.

Maka dari itu dibutuhkan kerja sama dari seluruh ekosistem untuk bisa menciptakan pasar yang memiliki sentimen baik, sehingga ke depannya juga bisa membangun kepercayaan investor untuk bisa menanamkan modal di perusahaan.

Kejar profitabilitas

Dalam industri digital, atribut dari startup digital yang baik adalah disrupsi, menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, yang membutuhkan waktu dan sumber daya. Jadi, tujuan utama sebuah startup pada awalnya bukanlah untuk menghasilkan uang, tetapi untuk membangun produk yang kuat.

“Melihat ke belakang, tidak ada yang mengira bahwa ride-hailing atau OTA (online travel agent)menjadi solusi yang tepat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terminologi ‘burning money’ dapat diartikan sebagai upaya membeli waktu dan membangun kepercayaan. Proses masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, lalu mulai menggunakan, hingga semakin bergantung pada layanan-layanan tersebut,” papar Darryl.

Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat, ada beberapa model bisnis yang tidak bisa scale up sehingga pertumbuhannya akan mandek di satu titik. Dalam ranah aplikasi, sering disebut skalabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk terus tumbuh menyesuaikan dengan volume data. “Di sinilah teknologi berperan dalam mengakselerasi sebuah bisnis dan meningkatkan skalabilitasnya,”ujar Alex.

Ketika sudah sampai pada tahap ini, Willson mengungkapkan, “Kami tidak mendorong startup kami untuk ‘membakar uang’ untuk mendapatkan pelanggan, sebaliknya perusahaan perlu fokus untuk mencapai profitabilitasnya; karena akuisisi pelanggan lebih murah, dan pelanggan lebih cenderung mempertahankan produk.”

Terkait profitabilitas, Alex turut menambahkan,”Saya percaya setiap transaksi, unit economics-nya harus positif, hingga sampai pada skala tertentu di mana angka tersebut bisa menutupi biaya produksi, sehingga pada akhirnya menciptakan profit.”

Pasar yang potensial

Tahun 2022 sendiri menjadi tahun yang cukup berat bagi industri teknologi maupun investasi. Mulai dari tantangan yang ditimbulkan oleh resesi global, tech winter yang terjadi di industri teknologi, dan runtuhnya Silicon Valley Bank di Amerika Serikat, semua telah memengaruhi penilaian terhadap startup.

Meskipun begitu, East Ventures mengaku tetap berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia – pasar terbesar di Asia Tenggara. Di tahun 2022, East Ventures telah mencatat total 105 kesepakatan, 85 di antaranya merupakan portofolio baru, dengan total dana sekitar US$211 juta yang disalurkan kepada startup di tahap awal dan lanjut.

Sementara itu OCBC NISP Ventura sebagai modal ventura yang didukung oleh bank akan tetap fokus berinvestasi di sektor yang berkaitan dengan perbankan. Namun, melihat perkembangan teknologi di industri perbangkan serta banyaknya inovasi digital yang bermunculan, Darryl memiliki keyakinan bahwa “Semua perusahaan rintisan pada akhirnya akan menjadi perusahaan fintech!”

Sebagai seorang investor dan juga pemimpin perusahaan fintech as a service pertama di Indonesia, Alex percaya bahwa investasi mengalir ketika kepercayaan sudah terbentuk. Hal ini juga berlaku pada East Ventures yang dinakhodai Willson Cuaca.

“Di East Ventures, kami biasa menilai dengan rumus “3P” – People, Product, and Potential Market. Namun, produk bagus dibangun oleh orang baik yang menangani pasar besar. Jadi yang kami fokuskan sekarang adalah “2P”: People and Potential Market. Kami tidak menganggap diri kami sebagai investor digital, melainkan investor biasa yang berinvestasi pada pendiri yang memanfaatkan teknologi digital untuk mendisrupsi industri tradisional,” ungkap Willson.

DigiAsia Bios Segera IPO di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC

Startup fintech DigiAsia Bios segera melantai di bursa saham Amerika Serikat melalui mekanisme SPAC (special purpose acquisition company). Perusahaan telah menandatangani kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Ticker yang diperdagangan di pasar saham Nasdaq nantinya adalah ‘FAAS’.

Menurut keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari jajaran direksi DigiAsia dan Stonebridge, ditargetkan akan selesai pada kuartal kedua tahun ini.

“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan sedang mencari ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara. Peningkatan modal melalui IPO dan eksekusi selanjutnya akan membantu menjadikan Digi sebagai pemimpin yang jelas dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal Banking-as-a-Service di kawasan ini,” ucap Co-CEO DigiAsia Alexander Rusli.

CEO Stonedridge Bhargav Marpally menambahkan, Stonebridge didirikan sebagai jembatan bagi perusahaan-perusahaan yang siap IPO di kawasan Asia Pasifik untuk mengakses pasar publik Amerika Serikat. Fokus DigiAsia di Indonesia dan kemampuannya untuk menskalakan bisnis dengan cepat, tim dengan rekam jejak yang terbukti, menjadikannya sangat cocok dengan Stonebridge.

Lebih lanjut, transaksi penggabungan kedua perusahaan ini membawa penilaian pra-ekuitas sebesar $500 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah) dan pemegang saham DigiAsia, yakni Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) akan menggulirkan 100% dari ekuitas mereka menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi. DigiAsia juga telah menjalin kemitraan dengan Bank DBS pada 31 Oktober 2022 untuk menyalurkan pinjaman melalui bisnis lending Digiasia, KreditPro.

Dengan asumsi tidak ada penebusan oleh pemegang saham publik Stonebridge, setelah kesepakatan ditutup, entitas operasi gabungan dapat memiliki akses ke kas bersih sebanyak $200 juta (setelah membayar biaya transaksi) dari rekening perwalian Stonebridge. Hasil akhir akan bergantung pada tingkat penebusan pemegang saham Stonebridge saat ini pada penyelesaian transaksi yang diusulkan.

Sebelum menandatangani perjanjian penggabungan, DigiAsia telah menutup investasi sebesar $14,5 juta (lebih dari 225 miliar Rupiah) dengan post-money valuation sebesar $450 juta yang dipimpin oleh Reliance Capital Management. Investasi tersebut akan memperkuat relasi bisnis kedua perusahaan di bidang asuransi, aset manajemen, yang dikuasai oleh RCM. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan DigiAsia dapat menjadi solusi keuangan tertanam B2B full-stack pertama di Indonesia.

Sebagai catatan, DigiAsia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Startup ini memosisikan diri sebagai fintech-as-a-service (FaaS) yang berambisi ingin mempercepat inklusi keuangan melalui lisensi dan kumpulan teknologinya dengan menyediakan solusi embedded finance untuk B2B2C dan B2B2M. Di antaranya mobile wallet, penerbitan kartu, pembayaran tagihan, cash management, pembayaran supply chain, pinjaman, dan lain-lain. Perusahaan memiliki sejumlah lisensi bisnis, yakni dompet dan pembayaran digital, Banking-as-a-Service, remitansi, dan layanan keuangan digital lainnya.

Co-CEO DigiAsia Prashant Gokarn menyampaikan visi DigiAsia adalah menjadi bagian aktif dari revolusi digital Indonesia yang memungkinkan layanan keuangan, mulai dari pinjaman, pembayaran, pengiriman uang, dan perbankan murah, untuk semua individu dan bisnis, terlepas dari ukuran atau status sosial ekonomi mereka.

“Kami juga sangat bangga dapat bekerja sama dengan Mastercard untuk mengembangkan penawaran kami yang sudah ada guna meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Gokarn.

Langkah SPAC

Hingga berita ini diturunkan, DailySocial.id belum mendapat tambahan komentar dari Alexander Rusli mengenai alasan pihaknya memilih mekanisme SPAC untuk masuk ke pasar saham Amerika Serikat. Seperti diketahui, mekanisme ini sebelumnya juga tengah dipertimbangkan oleh sejumlah startup lokal, seperti Traveloka dan Kredivo, namun batal karena berbagai alasan strategis.

Kredivo misalnya, awalnya merencanakan untuk merger dengan perusahaan cangkang bernama VPC Impact Acquisition Holdings yang diumumkan pada Agustus 2021. VPC itu sendiri adalah mitra lama Kredivo yang pernah mengguyurkan dana hingga mencapai $200 juta.

Namun rencana tersebut kandas, dikutip dari keterbukaan informasi dari laman US Securities and Exchange Commission (SEC), yang diunggah pada 14 Maret 2022, gagalnya aksi korporasi ini merupakan dampak kondisi pasar yang bergejolak dan adanya beberapa masalah di luar kendali yang mengancam penundaan transaksi.

Salah satu aksi IPO via SPAC yang ramai di Indonesia adalah Grab dengan memanfaatkan perusahaan cangkang Altimeter Growth Corp. Diklaim kesepakatan tersebut terbesar di antara perusahaan akuisisi tujuan khusus.

Sebelumnya SPAC sempat populer di Amerika Serikat karena menjadi cara tercepat untuk memperoleh dana publik. Menurut data yang dikutip dari South China Morning Post, pada 2021 mencapai 613 IPO melalui SPAC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 248 IPO.

Akan tetapi regulator A.S SEC membuat perubahan peraturan yang dinilai menghambat aksi korporasi ini sejak akhir 2021. Salah satunya, SPAC memiliki waktu terbatas untuk menemukan perusahaan yang beroperasi untuk digabungkan (biasanya 24-36 bulan); jika SPAC gagal menyelesaikan merger dalam jangka waktu yang ditentukan, SPAC harus berhenti berdiri dan mengembalikan semua modal kepada pemegang sahamnya.

Aturan tersebut dibuat lantaran regulator khawatir mekanisme ini dimanfaatkan sebagai penyebar informasi yang menyesatkan, penipuan, dan konflik kepentingan dalam transaksi de-SPAC tertentu. Oleh karena itu, SEC mengusulkan aturan baru untuk menghilangkan asimetris informasi di antara investor, melindungi dari informasi yang menyesatkan dan penipuan dengan mengatur praktik pasar, dan mengurangi konflik kepentingan dengan lebih menyelaraskan insentif antara penjaga gerbang.

Hasilnya dilaporkan bahwa proses SPAC lebih lama dan lebih sulit dari sebelumnya, dengan tinjauan peraturan yang lebih ekstensif atas pernyataan proksi dan pendaftaran. Namun begitu, sejumlah kalangan masih tetap optimistis dengan potensi SPAC untuk jangka panjangnya. Mereka bilang, kebijakan baru ini berdampak bagi perusahaan dapat lebih jelas mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.

Strategi B2B2C Jadi Pendekatan Digiasia Bios Bersaing di Industri Fintech

Digiasia Bios merupakan grup perusahaan fintech yang memiliki empat perizinan untuk melayani peluang di Indonesia, ialah uang digital (KasPro), p2p lending (KreditPro), remitansi (RemitPro), dan layanan keuangan digital (Digibos). Perusahaan ini didirikan pada Desember 2017 oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli dan Prashant Gokarn.

Cakupan bisnis yang luas ini membuat Digiasia leluasa dalam melakukan berbagai inisiatif dalam rangka memperdalam inklusi keuangan. Menurut laporan e-Conomy SEA 2019 masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terjamah layanan keuangan, sebanyak 92 juta jiwa masuk populasi unbanked dan 47 juta jiwa populasi underbanked.

Kendati begitu, tidak banyak informasi yang rutin diberikan perusahaan terkait pencapaiannya dan seperti apa posisinya di industri. Untuk menjawab itu, DailySocial.id mencoba untuk menggali lebih lanjut lewat wawancara bersama manajemen. CEO Digiasia Hermansjah Haryono menjelaskan empat lini yang dioperasikan Digiasia merepresentasikan solusi fintech yang dibutuhkan industri.

Digiasia adalah satu-satunya one stop solution untuk segala jenis challenges yang berhubungan dengan topik finansial. Kami adalah satu-satunya partner yang dapat memberikan solusi lengkap mulai dari sistem pembayaran digital, melalui lisensi KasPro, solusi pendanaan cepat melalui platform KreditPro, dan terakhir berbagai fitur transfer domestik maupun international melalui lisensi dan platform RemitRro,” kata Hermasjah.

Perusahaan tidak menargetkan langsung ke individu, melainkan B2B2C. Tidak dijelaskan dibalik perubahan strategi tersebut. Padahal, sejak kehadiran Digibios, misalnya saat kehadiran PayPro, perusahaan bermain langsung menyasar konsumen individu dengan berbagai fitur yang dihadirkan bersama mitra pendukung ekosistem.

Perubahan strategi ini bisa menjadi pertanda bahwa perusahaan tidak mampu bersaing dengan GoPay, OVO, ShopeePay, DANA, dan LinkAja dalam mengakuisisi pengguna baru dengan cepat. Kelima pemain ini disokong dengan kapital besar dan jajaran investor mumpuni untuk melakukan strategi bakar duit.

KasPro memosisikan diri sebagai solusi pembayaran terintegrasi untuk berbagai mitra dalam rangka melayani penggunanya masing-masing. Mitra yang sudah bekerja sama tersebut datang dari industri ritel F&B, transportasi publik, P2P lending dan multifinance, hingga ekosistem UMKM yang mengedepankan kemudahan, percepatan, keamanan, dan inklusi keuangan.

Secara terpisah, dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Hermansjah menjelaskan salah satu contoh use case KasPro adalah kemitraannya bersama perusahaan F&B global untuk closed loop ecosystem. KasPro menyediakan layanan wallet konsumen, bank switching, dan manajemen kartu.

Dari situ, mitra mendapat pengalaman, di antaranya konsumen mereka dapat mengisi saldo wallet di toko atau mentransfer dari bank lokal mana pun, pelanggan yang memiliki kartu fisik unik dapat ditautkan ke aplikasi untuk digunakan di toko. Wallet konsumen (aplikasi/kartu) ini hanya dapat digunakan di toko.

Berikutnya untuk contoh use case lainnya di KreditPro, layanan yang disediakan adalah aplikasi wallet konsumen dan jaringan merchant QRIS. Pengalaman yang didapat mitra adalah saat konsumennya meminjam melalui aplikasi mitra, saldo akan disuntikkan ke dompet dengan cepat dari dana setoran mitra. Saldo tersebut dapat digunakan konsumen di semua outlet berjumlah lebih 10 juta merchant QRIS di seluruh Indonesia.

“Kami dalam ikatan non disclosure agreement, maka tidak dapat menyebutkan brand partner. Dari pengalaman kami banyak yang terbantu dengan solusi dari kami, baik dari vertikal F&B, ekosistem pembiayaan, dan lainnya. Dan bisa kami katakan bahwa semua memiliki fase-fase untuk pengembangan berikutnya karena transformasi digital itu belum/tidak ada batasnya pada saat sekarang ini,” ujar Hermansjah.

Dijelaskan lebih jauh, KreditPro bersama dengan layanan Digiasia lainnya bekerja sama dengan berbagai ekosistem produktif seperti jaringan supply chain FMCG, distribusi digital goods, dan lainnya, untuk memberikan solusi tepat guna di berbagai lapisannya. “Hingga kini KreditPro sudah menyalurkan jumlah yang signifikan dan revolving setiap cycle-nya, dengan performa portfolio yang terjaga baik,” tambah CMO KasPro Rully Hariwinata.

Lewat strategi B2B2C ini, perusahaan mampu meningkatkan nilai transaksi bruto atau gross transaction value (GTV) tembus lebih dari $40 juta pada 2020 menjadi lebih dari $120 juta di kuartal III 2021. Hermansjah menargetkan pada tahun ini GTV perusahaan dapat tumbuh tiga kali lipat jelang tutup tahun ini.

Ia juga menolak untuk merinci lini bisnis mana yang memberikan kontribusi bisnis terbesar. Dia mengklaim seluruh bisnis memberikan kontribusi yang sama besarnya.

Sumber: Digiasia Bios
Sumber: Digiasia Bios

Bisnis RemitPro

CEO RemitPro Arman Bhariadi menjelaskan, mulai tahun ini perusahaan mulai menggarap segmen B2B, khususnya UMKM untuk layanan transfer dana domestik maupun ke luar negeri. Segmen ini dianggap memiliki potensi yang besar, mengingat masih sangat terfragmentasi dan dikuasai oleh perbankan.

Sebelumnya, dari awal RemitPro berdiri, fokus pada segmen individu yang spesifik menargetkan pada keluarga TKI yang ingin mengambil kiriman uang di jaringan lokasi fisik TPT (Tempat Penguangan Tunai). Lokasi ini sudah tersebar di Jawab, Madura, Bali, dan Lombok.

Dirinci lebih jauh, RemitPro diklaim selalu tumbuh jauh melebihi pertumbuhan industri menurut data Bank Indonesia. Bahkan saat pandemi, industri pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia mengalami penurunan dalam dua tahun berturut-turut, RemitPro tetap dapat tumbuh double digit. “Pertumbuhan outbound internasional bahkan secara persentase mencapai triple digit,” kata Arman.

Secara wilayah, pengiriman dana dari Timur Tengah dari masih menguasai kontribusi pertumbuhan. Secara spesifik, Saudi Arabia adalah negara dengan kontribusi terbesar terhadap kiriman ke Indonesia yang difasilitasi oleh RemitPro.

Pertumbuhan bisnis ini turut didukung oleh berbagai kemitraan yang berhasil dilakukan RemitPro. Mereka adalah WesternUnion, MoneyGram, Transfast, yang merupakan 10 besar perusahaan remitansi global berdasarkan volume transaksi. Kemudian, Merchantrade, BNI, BRI, BSI, Xfers, Instamoney, Digital Solusi Pramata, dan Ebays.

Menurut Arman, bersama Merchantrade yang merupakan salah satu pemain remitansi terbesar di Malaysia, melakukan pengembangan inovasi untuk memanjakan para pengguna. Di antaranya, menyediakan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan untuk para TKI. Malaysia akan menjadi pilot project, kemudian disambung ke negara lainnya, seperti Hong Kong, Taiwan, dan Saudi Arabia.

Selanjutnya, menghadirkan konsep send now pay later. Nantinya, melalui aplikasi Merchantrade, pengguna dapat mengajukan pencairan gaji lebih awal, kemudian mengirim ke keluarganya di Indonesia. Berikutnya ketika hari gajian tiba, saldonya akan langsung terpotong secara sistem dan dibayarkan langsung ke RemitPro. “Ini ekosistem yang saling kait mengait.”

Dalam tahun depan, perusahaan sudah menyiapkan rencana kerja sama berikutnya untuk mendongkrak bisnis. Perusahaan tersebut adalah Ria Money Transfer, Terrapay, EMQ, BRDGX, Paygo, dan Lifepay.

Untuk mengakomodasi transfer inbound dan outbound, RemitPro telah bekerja sama dengan 147 bank dengan saldo transfer maksimal Rp50 juta dan tujuh e-wallet. Sebanyak 30 negara kini telah terhubung dengan RemitPro untuk transfer outbound, sementara untuk B2B baru tersedia 11 negara. Negara-negara tersebut adalah Tiongkok, Hong Kong, UK, AS, Taiwan, Jepang, dan sejumlah negara di Asia Tenggara.

Arman menyebut, pihaknya sedang menyiapkan fitur baru yang memungkinkan para pengguna di luar negeri dapat membayarkan tagihan-tagihan keluarganya di Indonesia melalui aplikasi dan situs RemitPro. “Kami melihat ada kebutuhan pembayaran tagihan yang tinggi di antara para pengguna RemitPro. Fitur ini rencananya akan tersedia pada kuartal pertama 2022 mendatang,” tutup Arman.

Digiasia Bukukan “Debt Funding” 711 Miliar Rupiah, Perkuat Unit P2P Lending

Setelah mengantongi pendanaan Seri B awal tahun 2020 lalu, perusahaan fintech Digiasia Bios kembali merampungkan pendanaan melalui jalur debt funding senilai $50 juta atau setara 711,8 miliar Rupiah. Tidak diinfokan lebih detail mengenai institusi mana saja yang terlibat meminjamkan/menyalurkan dana tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Alexander Rusli mengungkapkan, dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat kanal bisnis p2p lending.

“Saat ini channel tersebut sudah berjalan sejak 1,5 tahun terakhir, dengan pendanaan ini akan ramp up rencana kita. Kita telah memberikan pinjaman kepada sekitar 11 ribu warung,” kata Alex.

Modal tambahan tersebut juga akan dimanfaatkan untuk berinvestasi kepada mitra strategis. Untuk rencana ini Alex menegaskan masih dalam tahap pengembangan dan baru saja dirilis. Pihaknya masih dalam tahap monitoring dan pengamatan terlebih dulu.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Sejumlah kemitraan Digiasia

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro (unit usaha Digiasia) dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro (unit usaha Digiasia).

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Alex Rusli in the Ecosystem: Startup Founder and Angel Investor

Alex Rusli is very familiar in ecosystem circles. One of the peaks of his career was when he served as CEO of Indosat Ooredoo (Indosat), one of the largest telecommunications services in Indonesia.

Now Alex Rusli is busy with his business and investments. DailySocial tries to find out what he is currently busy with as an entrepreneur, a commissioner in three companies, and an angel investor.

Enthusiasm for innovation

Alex first joined Indosat in January 2010 as an Independent Commissioner. Then he was appointed President Director and CEO two years later. Several digital products launched by Indosat under his leadership are Cipika, Cipika Play, Cipika Books, and Dompetku.

“Before serving as CEO at Indosat Ooredoo, my career at Indosat was quite long. Previously I also had experience working in government and other companies,” said Alex.

After leaving Indosat in 2017, Alex has been involved in various positions which are claimed to have spent more time working than when he was at Indosat.

“For me, activities as an entrepreneur, and especially starting a startup, provide its own adrenaline which is very interesting to follow. The structure of an irregular startup makes this process full of challenges but full of disruption,” said Alex.

Together with his former colleague at Indosat, Prashant Gokarn (former Chief Digital & Service Officer), Alex founded Digiasia Bios (Digiasia). The company, which targets fintech services, is the holding company for the e-wallet service KasPro, the P2P lending platform KreditPro, and remittance services with digital channels and the RemitPro offline network.

“Right now Digisasia is the biggest investment that I have made. Together with Prashant, we are starting to acquire several companies and their licenses and then we will refresh it into a new story,” said Alex.

All of his professional experiences are used by Alex to further understand fintech services, including regulatory compliance, in Indonesia.

Angel investor journey

Currently Alex has invested in around 11 companies. He does not hesitate to help develop the company’s business, provide consultation, and help them find the right solution for the company’s interests.

Alex claims to enjoy this new activity. Of the several investments made, only one, according to Alex, should be closed. The reason is because of the stubborn attitude and position of the startup founder.

“I have experienced several conditions when startup founders are very stubborn and reluctant to accept input or feedback from investors. As an angel investor, this is quite crucial and certainly disturbs the creation of a good relationship with the startup founder. angel investors, “said Alex.

In the future, Alex sees the dynamics and ecosystem of angel investors will increase in number. According to him, there are already many angel investors that exist in Indonesia, although their movements are not very visible. The concept of long-term investment is one of the attractions to become an angel investor.

“I who like things that are not standard and full of challenges are ideal [conditions] to enter the world of startups and entrepreneurship. But for those who like things that are organized and structured, it’s good to avoid getting into the world of startups,” said Alex.

The dynamics in operator business

Alex himself said that he did not close the opportunity to invest in the telecommunications sector which he has controlled for the last 7 years. However, at this time, he wanted to try to go outside and enter into new sectors and different innovations.

Regarding the challenges faced by telecommunication operators during the pandemic, even though it was a traffic harvest, Alex said, “I see this condition is quite difficult, because during the pandemic telecommunication operator companies could not raise prices. So even though traffic has increased, it is not accompanied by an increase in prices to customers. , “said Alex.

In fact, the telecommunication industry experienced an increase in revenue in the February-March period. However, income growth since March has continued to decline during the pandemic. The need for greater internet bandwidth makes their expectations quite high.

“I see that although fixed broadband services have experienced an increase in the number of new subscribers, from the connection side, there are still many who say that telecommunication operator connections are sometimes better than fixed broadband connections. This means that from the service side, it is still good for telecommunication operators,” said Alex.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kiprah Alex Rusli di Ekosistem: Pendiri Startup dan “Angel Investor”

Sosok Alex Rusli sangat familiar di kalangan ekosistem. Salah satu puncak kariernya adalah saat menjabat sebagai CEO Indosat Ooredoo (Indosat), salah satu layanan telekomunikasi terbesar di Indonesia.

Kini Alex Rusli sibuk dengan bisnis dan investasinya. DailySocial mencoba mencari tahu kesibukan dirinya saat ini sebagai seorang pengusaha, komisaris di tiga perusahaan, dan seorang angel investor.

Antusias dengan inovasi

Alex pertama kali bergabung dengan Indosat pada Januari 2010 sebagai Komisaris Independen. Lalu ia ditunjuk menjadi Direktur Utama dan CEO dua tahun kemudian. Beberapa produk digital yang diluncurkan Indosat di bawah kepemimpinannya adalah Cipika, Cipika Play, Cipika Books, dan Dompetku.

“Sebelum menjabat sebagai CEO di Indosat Ooredoo, karier saya di Indosat sudah cukup panjang. Sebelumnya saya juga telah memiliki pengalaman bekerja di pemerintahan dan perusahaan lainnya,” kata Alex.

Pasca meninggalkan Indosat tahun 2017, Alex terjun di berbagai posisi yang diklaim menghabiskan waktu bekerja lebih banyak dibandingkan saat dirinya masih di Indosat.

“Buat saya, kegiatan sebagai seorang entrepreneur, dan khususnya mendirikan startup, memberikan adrenalin tersendiri yang sangat menarik untuk diikuti. Struktur startup yang tidak teratur menjadikan proses ini penuh tantangan namun sarat dengan disruption,” kata Alex.

Bersama dengan rekan kerja saat di Indosat dulu, Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer), Alex mendirikan Digiasia Bios (Digiasia). Perusahaan yang menyasar layanan fintech ini menjadi holding company layanan e-wallet KasPro, platform P2P lending KreditPro, dan layanan remitansi dengan channel digital dan jaringan offline RemitPro.

“Saat ini Digisasia merupakan investasi terbesar yang saya berikan. Bersama dengan Prashant, kita mulai melakukan akuisisi beberapa perusahaan dan lisensi mereka untuk kemudian kami segarkan kembali menjadi cerita yang baru,” kata Alex.

Semua pengalaman profesionalnya dimanfaatkan Alex untuk memahami lebih jauh layanan fintech, termasuk soal ketaatan regulasi, di Indonesia.

Suka duka menjadi angel investor

Saat ini Alex telah berinvestasi ke sekitar 11 perusahaan. Dirinya tidak segan membantu mengembangkan bisnis perusahaan, memberikan konsultasi, dan membantu mereka mencari solusi yang tepat untuk kepentingan perusahaan.

Kesibukan barunya ini diklaim dinikmati Alex. Dari beberapa investasi yang diberikan, hanya satu yang menurut Alex harus tutup. Alasannya karena sikap dan posisi pendiri startup yang keras kepala.

“Saya telah mengalami beberapa kondisi saat pendiri startup sangat keras kepala dan enggan untuk menerima masukan atau feedback dari investor. Sebagai angel investor, hal ini cukup krusial dan tentunya mengganggu terciptanya hubungan yang baik dengan pendiri startup tersebut. Hal tersebut menurut saya yang menjadi duka seorang angel investor,” kata Alex.

Ke depannya, Alex melihat dinamika dan ekosistem angel investor akan meningkat jumlahnya. Menurutnya, sudah banyak angel investor yang eksis di Indonesia, meskipun tidak terlalu tampak pergerakannya. Konsep investasi jangka panjang menjadi salah satu daya tarik untuk terjun menjadi angel investor.

“Saya yang menyukai hal-hal yang tidak baku dan penuh tantangan menjadi [kondisi] ideal untuk terjun ke dunia startup dan enterperneurship. Namun bagi mereka yang menyukai semua serba teratur dan terstruktur, ada baiknya untuk menghindari terjun ke dunia startup,” kata Alex.

Dinamika bisnis operator

Alex sendiri menyebut dirinya tidak menutup peluang untuk berinvestasi ke sektor telekomunikasi yang telah dikuasainya selama 7 tahun terakhir. Namun saat ini, dirinya ingin mencoba keluar dan terjun ke sektor baru dan inovasi yang berbeda.

Tentang tantangan yang dialami perusahaan operator telekomunikasi saat pandemi, meskipun sedang panen traffic, Alex mengatakan, “Saya melihat kondisi ini cukup sulit, karena saat pandemi perusahaan operator telekomunikasi tidak bisa menaikkan harga. Sehingga meskipun traffic mengalami peningkatan namun tidak dibarengi dengan peningkatan harga kepada pelanggan,” kata Alex.

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan di periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun selama pandemi. Kebutuhan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

“Saya melihat meskipun layanan fixed broadband mengalami peningkatan jumlah pelanggan baru, namun dari sisi koneksi masih banyak yang menyebutkan koneksi operator telekomunikasi terkadang lebih baik dari koneksi fixed broadband. Artinya dari sisi layanan memang masih baik untuk operator telekomunikasi,” kata Alex.

[Where Are They Now] Apa Kabar Lima Penggiat Startup Ini

Dalam waktu lima tahun terakhir banyak perubahan yang terjadi di dunia startup Indonesia. Merger dan akuisisi, pivot bisnis, pergantian posisi pimpinan, dan tutupnya startup mewarnai dinamika ini.

Beberapa orang yang menjadi pimpinan di suatu tempat kemudian memutuskan untuk mundur dan mendirikan startup baru. Berikut ini rangkuman informasi terkini beberapa penggiat startup yang tetap aktif di ekosistem ini.

Razi Thalib

Berada di bawah bendera PT Cinta Sukses Makmur, Setipe didirikan oleh Razi Thalib akhir tahun 2013. Di tahun 2017 Setipe mengumumkan pihaknya telah bergabung dengan Lunch Actually Group Singapura. Setipe menjadi unit bisnis di bawah kelolaan Lunch Actually Group dan Razi memimpin operasional Lunch Actually Group di Indonesia.

Setelah beberapa waktu mengelola Lunch Actually, Razi kemudian bergabung mendirikan RevoU. RevoU adalah platform pendidikan online yang mendorong individu mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk meluncurkan karier yang sukses di bidang teknologi.

I have always been passionate about education. Dulu pernah terlibat bantu kembangkan Indonesia Mengajar. Setelah exit dari Setipe/Lunch Actually di awal tahun lalu, saat melakukan consulting sekaligus mencari next thing I wanted to focus on, kebetulan diajak ketemuan sama Matteo [rekan eks Zalora] dan ngobrol-ngobrol tentang ide RevoU. The rest is history,” kata Razi kepada DailySocial.

Razi menambahkan, saat bekerja di Zalora dulu dirinya melihat kesulitan untuk menemukan talenta di bidang teknologi. Khususnya di bidang yang dikuasai Razi secara personal, yaitu Product dan Marketing, startup kebanyakan harus merekrut anak muda yang cerdas untuk kemudian diberikan pelatihan.

“Setelah saya cek perkembangan mereka yang dulu gabung di tim saya, senang banget melihat mereka sudah menjadi some of the leading digital marketing professionals in the region. That experience inspires how we teach at RevoU and also our expectations of graduates when they get into the workforce,” kata Razi.

Daniel Tumiwa

Sosok yang satu ini sudah lama malah melintang di industri startup. Selain di startup e-commerce, Daniel Tumiwa juga aktif di Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) sebagai Chairman pertamanya. Tahun 2017 Daniel mengumumkan pengunduran dirinya sebagai CEO OLX Indonesia.

Setelah meninggalkan OLX, Daniel disibukkan dengan startup adtech yang bernama Adsvokat. Daniel mendapatkan inspirasi mengembangkan memberdayakan medium tradisional dengan memanfaatkan teknologi. Setelah berjalan selama 11 bulan, startup ini tak lagi dilanjutkan.

Saat ini Daniel mengurusi platform e-learning Udemy for Government. Marketplace edtech asal Amerika Serikat Udemy meresmikan kehadirannya di Indonesia awal tahun 2019 lalu. Udemy berisi konten edukasi yang mengarah ke pengembangan karier profesional dan pengayaan pribadi.

Alex Rusli

Nama Alex Rusli dikenal saat dirinya menjabat sebagai Direktur Utama dan CEO Indosat Ooredoo. Banyak inovasi teknologi yang dilahirkan saat dirinya memimpin Indosat, namun akhirnya kebanyakan layanan ini ditutup dan Indosat kembali fokus sebagai operator.

Tahun 2017 Alex mundur dari jabatannya. Dirinya kemudian disibukkan dengan kegiatan baru, termasuk Chairman iflix Indonesia dan Co-founder dan Direktur Digiasia Bios, sebuah holding startup yang didirikannya. Alex juga terlibat sebagai komisaris di tiga perusahaan (Hermina, Linknet, Unilever) dan menjadi angel investor di beberapa perusahaan.

Dayu Dara Permata

Dayu Dara Permata kita kenal ketika menggawangi kelahiran GoLife. Layanan ini sempat mewarnai diversifikasi produk Gojek, namun sayangnya harus ditutup tahun ini seiring dengan meredupnya efektivitas bisnis sejak akhir tahun lalu.

Lepas dari Gojek, Dayu mengembangkan startup baru yang menyasar sektor properti (proptech). Bersama Ahmed Aljunied, Pinhome didirikan untuk memfasilitasi transaksi properti agar lebih mudah, cepat, dan transparan dengan bantuan teknologi. Kepada DailySocial Dayu mengklaim Pinhome bukanlah sebuah property house atau marketplace.

“Pinhome sangat berbeda. Kami adalah sebuah platform online yang memfasilitasi interaksi antara pemilik, pembeli, dan agen properti. Sebagai pemilik properti akan sangat dimudahkan karena ke depannya kami akan memiliki akses ke ratusan ribu agen yang siap membantu memasarkan propertinya.”

Brata Rafly

Brata Rafly sudah cukup lama berkecimpung di dunia teknologi Indonesia, termasuk bekerja di Microsoft, Yahoo dan Intel. Tahun 2015 Brata resmi menjabat sebagai CEO Dimo. Dimo bergerak di layanan sistem pembayaran berbasis kode QR dengan jargonnya Pay by QR.

Lepas dari Dimo, Brata kemudian menjabat sebagai CEO Finfleet. Finfleet adalah bentuk pivot dari Etobee, sebuah startup marketplace logistik.

Finfleet menempatkan diri sebagai startup yang bergerak di logistik dengan layanan khusus jasa keuangan, dengan model bisnis B2B2C. Jenis layanannya mulai dari verifikasi konsumen, pengiriman produk keuangan seperti kartu debit dan kredit, pembayaran dan pick up (dokumen, COD, mobile ATM) dan akuisisi konsumen (jual produk keuangan).

Kantongi Dana Baru, Digiasia Bios Berusaha Perkuat Posisi Perusahaan

Perusahaan fintech Indonesia, Digiasia Bios (Digiasia), mengumumkan perolehan pendanaan Seri B yang dipimpin Mastercard yang tidak disebutkan nilainya. Pendanaan baru ini berupa modal dan dukungan strategis untuk memperkuat posisi perusahaan.

“Dengan masuknya Mastercard, kami mendapat dukungan dari salah satu expert di bidang digital commerce. Kami menantikan kerja sama selanjutnya untuk memperluas jangkauan kami di Indonesia dan mengembangkan layanan keuangan yang kuat untuk segala macam kalangan,” tutur Co-Founder dan CEO Alexander Rusli dalam keterangan resminya.

Tak hanya modal dan akses strategis yang disediakan Mastercard, disebutkan juga bahwa Digiasia mendapatkan akses memperkuat layanannya dengan me-leverage jaringan bisnis dan perbankan, serta teknologi keamanan siber milik Mastercard.

Digiasia didirikan oleh mantan petinggi Indosat Ooredoo, yakni Alexander Rusli (mantan CEO) dan Prashant Gokarn (mantan Chief Digital & Service Officer) pada 2018 lalu.

Perusahaan merupakan holding company dari layanan e-wallet KasPro, platform P2P lending KreditPro, dan layanan remitansi dengan channel digital dan jaringan offline RemitPro. Ketiganya berada di bawah naungan PT Solusi Pasti Indonesia, PT Tri Digi Fin, dan PT Reyhan Putra Mandiri.

Sebelumnya, anak usahanya PT Solusi Pasti Indonesia sempat mengambil alih layanan dompet digital Dompetku milik Indosat Ooredoo. Layanan ini kemudian dilebur menjadi PayPro di 2017. Tidak jelas bagaimana kelanjutan nasib bisnis PayPro hingga saat ini.

Dari sisi partnership, Digiasia telah bermitra dengan sejumlah perusahaan transportasi untuk menyediakan kemudahaan bertransaksi, seperti kerja sama KasPro dengan Damri untuk rute tertentu di Bandung. Di sisi lain, penjualan produk B2B dari Metrodata difasilitasi KreditPro.

Peta persaingan dan peluang pasar fintech

Digiasia sebetulnya saat ini memiliki portfolio yang cukup untuk memperkuat ekosistem produk ke depan. Perusahaan menggunakan pendekatan B2B2C dengan mengembangkan layanan di bidang digital payment, P2P lending, dan remitansi.

Meskipun demikian, belum banyak yang dapat terbaca dari pergerakan strategi Digiasia dengan sinergi strategis ini.

Dengan dukungan Mastercard, Digiasia memiliki peluang mendongkrak pangsa pasar KasPro, KreditPro, dan RemitPro di Indonesia dan luar negeri. Ditambah dukungan 25.000 jaringan institusi keuangan di dunia yang dimiliki Mastercard akan mempermudah Digiasia untuk memperluas merchant dan menambah jumlah penggunanya.

Head of Corporate Communications Digiasia Bios Andy Muhammad Salidin  mengonfirmasi kemungkinan tersebut. “Betul untuk ketiga produk ini dan ada beberapa project [baru] lain yang belum bisa kami sebutkan,” paparnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Menurut data Google, Temasek, dan Bain & Company 2019, sebanyak 92 juta masyarakat di Indonesia belum terpapar layanan keuangan (unbankable). Maka itu, kehadiran layanan fintech dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengakselerasi layanan keuangan.

Di Indonesia, awareness terhadap produk fintech dan ekosistemnya di Indonesia sudah mulai terbangun. Berdasarkan Fintech Report 2019, awareness tertinggi berasal dari layanan Digital Wallet (82,7%), diikuti Investment (62,4%), PayLater (56,7%), Online Multifinance (40%), Insurtech (39,1%), P2P Business Lending (21,5%), Crowdfunding (17,3%), dan Remittance (6,9%).

Sementara pemakaian (usage) layanan fintech tertinggi berasal dari Digital Wallet (79,9%), diikuti Investment (31,5%), PayLater (30,9%), Online Multifinance (12%), Insurtech (11,8%), Crowdfunding (8,2%), P2P Business Lending (6,2%), dan Remittance (2,4%).

Ini menandakan ekosistem layanan pembayaran digital di Indonesia mulai terbentuk dan adopsinya jauh lebih cepat dibandingkan produk lainnya. Situasi ini bisa juga menjadi tantangan bagi Digiasia yang bermain di digital payment mengingat ketatnya persaingan yang mengarah pada adu kuat strategi bakar uang demi mengejar traction lebih besar–tapi belum tentu profitable.

Peluang di P2P lending juga masih terbuka lebar di Indonesia terutama dari sektor produktif. Masih ada 52 juta pelaku usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) di Indonesia sebagai target potensial. Tak hanya itu, pertumbuhan P2P lending di Indonesia juga tak lepas dengan mulai masuknya investor institusi/korporasi yang dapat memberikan jangkauan pinjaman lebih luas.

Pertumbuhan baru dari layanan remitansi online

Salah satu portofolio menarik dari Digiasia adalah layanan remitansi online. Sinergi strategis dengan Mastercard dapat menjadi penguatan layanan RemitPro atau chapter baru untuk menjadikan satu ekosistem dari seluruh produk existing Digiasia.

Menurut perusahaan, RemitPro sudah tersedia di 60 negara dengan dukungan 200 agen pembayaran. RemitPro juga bekerja sama dengan PT Eka Bakti Amerta Yoga sebagai mitra penyelenggara transfer dana remitansi, yang memungkinkan pencairan dana di 4.800 kantor pos dan 10.000 cabang BRI di Indonesia.

Secara umum, industri fintech di Indonesia memang didorong untuk tidak hanya tumbuh dari beberapa jenis layanan saja, seperti digital payment, investment, dan P2P lending. Maka itu, layanan remitansi online cukup dilirik karena memiliki peluang yang besar.

Mengutip CNN Indonesia, Bank Indonesia (BI) mencatat nilai pengiriman uang antar-negara dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri pada 2018 mencapai $10,8 miliar atau sekitar Rp151 triliun. Saat ini jumlah TKI di luar negeri mencapai 3,65 juta orang.

Aplikasi “Ride Sharing” Tron Siap Sasar Pengemudi Bajaj di Jakarta

Aplikasi “ride sharing” Tron akan segera hadir untuk pengemudi bajaj di Jakarta. Sebelumnya, aplikasi ini pertama kali pilot di Bekasi dengan menyasar pengemudi angkutan kota (angkot) trayek K-11A dan K-11B.

CEO Tron David Santoso menjelaskan, bajaj sama seperti kendaraan umum lainnya, belum tersentuh dengan dunia digital. Kehadiran Tron, diharapkan memberikan jumlah kenaikan penumpang sehingga dapat meningkatkan perekonomian para pengemudi bajaj.

Tron bajaj sendiri akan hadir di Jakarta, khususnya di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, kedua lokasi tersebut dianggap memiliki sirkulasi penggunaan bajaj yang cukup vital.

“Sistem untuk Tron Bajaj yaitu ride sharing dan maksimum penumpang untuk Bajaj roda tiga adalah 2 penumpang dan untuk Bajaj roda empat adalah 4 penumpang”, terang David dalam keterangan resmi, Selasa (21/5).

Tron pertama kali hadir untuk angkot Bekasi sejak 10 April 2019. Tanpa disertai data, David mengklaim peningkatan penggunaan cukup signifikan. Atas pertimbangan itulah yang membuat perusahaan percaya diri untuk membawanya ke Jakarta.

“Kami harapkan dalam waktu dekat kami sudah bisa menambah trayek sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi para pengguna kami.”

Dalam dua pekan mendatang, perusahaan juga akan meluncurkan fitur chat. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk mengirimkan percakapan ke pengemudi angkutan umum yang akan menjemput di titik penjemputan.

“Kami juga telah memberikan pelatihan kepada para pengendara agar tetap mematuhi peraturan lalu lintas yang ada dalam menggunakan fitur chat ini”, tutupnya.

Tron merupakan produk PT Teknologi Olah Rancang Nusantara, perusahaan afiliasi Digiasia Bios. David sendiri sebelumnya adalah CFO PayPro. Untuk implementasinya, Tron menggandeng Via, perusahaan teknologi Amerika Serikat. Tidak ada saham Via yang ditempatkan ke perusahaan.

Ditargetkan sampai akhir tahun ini Tron dapat mendigitalkan tujuh ribu unit angkutan umum di pinggiran Jakarta, seperti angkutan kota, bajaj, bus, mikrolet, dan lainnya yang belum tersentuh implementasi digital.

Application Information Will Show Up Here