Dyota Marsudi: Ekosistem “Offline” Jadi Kunci Rangkul Segmen “Unbanked” dan “Underbanked”

Dalam wawancara perdana DailySocial, Presiden Direktur PT Bank Aladin Syariah Tbk (IDX: BANK) Dyota Marsudi bercerita gagasan dan strateginya menjangkau masyarakat unbanked dan underbanked di Indonesia dengan pendekatan sederhana, yakni menyentuh aspek yang lekat dengan keseharian mereka.

Sebagai langkah awal, Bank Aladin bersinergi dengan salah satu raksasa modern retail PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (IDX: AMRT). Jaringan luas Alfamart menjadi strategi kunci Bank Aladin untuk men-deliver layanannya dengan cara yang efisien dan accessible. Sinergi ini semakin solid kala Alfamart resmi menggenggam sekitar 2,2% saham Bank Aladin.

Bank Aladin sebelumnya bernama Bank Net Indonesia Syariah. Perusahaan resmi berganti identitas pada Juni 2021. Selain Alfamart, perusahaan insurtech asal Tiongkok ZA Tech Global juga masuk menjadi investor Bank Aladin pada April 2022.

Berikut petikan wawancara kami untuk memahami lebih lanjut strategi omnichannel Bank Aladin dalam memperkuat posisinya di industri bank digital.

Ceritakan proses transformasi awal menjadi Bank Aladin?

Jawab: That was a very difficult thing to do. Sebetulnya, kami sudah punya lisensi syariah meski target pasar yang diincar sekarang berbeda. Untuk membangun perusahaan dengan pemilik dan manajemen baru, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, menjalankan dua bisnis secara paralel. Bisnis legacy tetap berjalan, but don’t put too much effort. Wind down secara bertahap, dalam 2-5 tahun akan mengecil.

Kedua, membangun dari nol. Bagi bank, membangun hal baru cukup sulit. Kalau harus menjalankan dua bank sekaligus, baik legacy maupun bank digital, tentu sulit karena bisnis, sistem, dan timnya berbeda. Nah, kami punya tim baru dengan tim yang menjalankan bisnis dan teknologi sebelumnya.

What we did adalah putuskan semuanya dengan cepat. Istilahnya rip the bandage off. Ini terjadi sebelum saya masuk. Saat itu, pemegang saham pengendali (PSP) dan tim mengambil sejumlah tindakan, yakni mencari buyer untuk take over aset, melihat kembali liabilitas, dan hentikan renew sistem. Ada beberapa orang di-let go, tetapi kami minta mereka reapply lagi supaya kami bisa assess.

Apa hipotesis Anda mengenai target pasar dan strategi Bank Aladin?

J: Sedikit kilas balik, sebelum berganti nama, Bank Net Syariah bermain di segmen korporasi, syndicated loan, yang di-drive oleh Maybank Malaysia. Saat itu mereka ingin mengembalikan license [syariah], tetapi OJK memberi kesempatan bagi mereka yang ingin berinvestasi di sini.

Pemegang saham pengendali (PSP) membuat tesis—nah, saat itu saya belum bergabung—yang kebetulan sama dengan yang saya pelajari saat bekerja di Vertex Ventures. Membangun tech company berarti ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni (1) membuat existing market lebih efisien dan (2) membuka market baru.

Kami melihat segmen corporate atau ultra high network sudah overserved di sektor perbankan, khususnya layanan keuangan. Sudah ada aplikasi dan produk khusus. Banyak wholesale yang memberikan loan. Jadi segmen ini sudah afluent dan relatif nyaman.

Justru segmen terbesar yang perlu menjadi perhatian adalah middle income dan below. Kami sebut sebagai unbanked dan underbanked yang populasinya mencapai 77%. Ada yang punya rekening, tapi belum dipakai sepenuhnya. Ada juga yang akunnya dormant. Mereka tidak punya akses ke layanan keuangan resmi atau formal.

Alasan mereka tidak punya akses ke layanan keuangan adalah mereka butuh simple product, bukan sophisticated atau produk yang strukturnya rumit. Kemudian, soal akses. Sebelum bank digital ada, buka rekening harus ke bank di mana tidak semua lokasi ada dan tidak buka seharian. Terakhir, dalam sebuah survei, syariah menjadi faktor kedua terpenting saat nasabah menentukan bank. Ini tiga hal utama yang menjadi landasan membangun Aladin.

Simple product dan akses tercermin dari produk. Turunannya adalah partner kami. Saat kami bangun Bank Aladin, partner yang kami ajak kerja sama harus punya kontribusi signifikan terhadap tesis tersebut. Nah, Alfamart paling cocok dengan segmen yang kami incar. Setiap bulan puluhan juta orang datang ke Alfamart. Mereka bertransaksi dalam volume kecil. Selain itu, Alfamart punya 17.000 lokasi gerai di Indonesia. Mereka sudah punya trust terhadap Alfamart dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat. Bagi segmen yang kami incar, interaksi itu penting. Mereka bisa berinteraksi nyaman.

Akses, trust, dan simple product sudah kami dapatkan. Yang kami lakukan selanjutnya adalah amplify those things. We try and make product as simple and accessible sehingga kami bisa menarik 77% ini, termasuk UMKM, yang belum punya akses ke layanan keuangan dan pinjaman.

Bagaimana transformasi teknologi dan pengembangan produk Bank Aladin?

J: Di awal 2021, tim kami baru 30 orang. Lalu, jumlahnya mencapai 200 orang di akhir 2021. Sekitar 50%-60% dari total headcount kami adalah product engineer. Kalau benchmarking bank secara umum, porsi product engineer bisa sepuluh kali lipat. Namun, kami adalah bank. Everything we do harus di-assess dengan baik. Kami harus compy dengan regulasi.

We run a very nimble company. We start simple. We build things as we go. Bukan [menggunakan model] waterfall di mana harus lengkap dulu baru launch. Kami start pengembangan fitur dari kebutuhan yang paling core, seperti aplikasi untuk onboarding dan fitur transfer. Lalu, kami launch [aplikasi] di awal 2022 setelah mendapat lisensi dari OJK dan BI. Artinya, kami membangun bank digital in less than six months. Everything we build is from scratch, with no legacy issues.

Kami bangun semua teknologi sendiri, kecuali core. Dulu kami pakai Silverlake untuk core banking system. Lalu, kami ganti ke Mambu, which is a cloud-based core banking systemWe are culturally more similar to tech company daripada bank, tetapi operationally we are bank. Kami bukan fintech, P2P, atau multifinance.

Bagaimana penerimaan pasar terhadap aplikasi Bank Aladin?

J: Jumlah nasabah kami yang sudah melewati KYC di Dukcapil dan dijamin LPSini akun aktif, bukan download, phone number, atau emailhampir 700 ribu. Dengan catatan, kami belum push marketing kencang, baru di semester II ini.

Produk funding sudah setengah triliun Rupiah, ini liabilities ya. Sementara, produk financing kami baru mulai. Sudah [salurkan] beberapa ratus miliar, tetapi belum optimal. Primarily, produk financing kami untuk supplier Alfamart, sedangkan funding untuk pengguna retail. Sebagian besar nasabah kami adalah retail.

Kami dapat masukan dari nasabah kami. Ternyata, masih ada yang mengira kami pinjol, which is not good for us. When we go down to tier 2 or 3 cities di mana ada cakupan Alfamart, awareness Aladin belum terserap dengan sempurna. That’s why we’re going to push marketing in second half and establish Bank Aladin‘s name even better. We plan a lot of products, hopefully we get it right. Semoga brand awareness kami lebih kuat dan tidak diasosiasikan dengan pinjol. Siapa tahu, 700 ribu nasabah kami dapat berkembang menjadi tujuh juta.

Apakah Bank Aladin akan go cardless?

J: Kami akan tetap pakai kartu. Kami berikan masyarakat opsi untuk memiliki kartu atau tidak saat registrasi.

Kita bisa merasa optimistis dengan teknologi. Perkembangannya cepat sekali. Lihat saja sekarang banyak tech company besar, bahkan ada yang sudah IPO.  Namun, will everything be cardless or cashless in the next 5 or 10 years? Mungkin in unpopular opinion, menurutku ini belum diketahui. Lalu, what do we need to do? We need to be able to serve the customer today. Kita tidak bisa tunggu 5-10 tahun supaya [adopsi teknologi] mereka siap. Ini mengapa kami approach dengan model omnichannel.

Jaringan omnichannel yang kami miliki, with all due respect, at least from the offline side should be the strongest dari [yang dimiliki] bank digital saat ini. Kami bermitra dengan Alfamart untuk tarik-setor tunai. We have access to over 17,000 location. Ekosistem Alfamart besar dan primarly offline. Digitalisasi online ada di Bank Aladin.

Apakah kami tidak berkolaborasi dengan online platform, seperti e-commerce, ride-hailing, atau travelThe answer is yes, but we believe the offline element is more important now considering the target market is unbanked and underbanked. Saat [ekosistem] offline sudah terbentuk, kami bisa mulai fokus ke online. Kami bisa saja full online, nothing stopping us. Namun, the reason we go offline adalah we know our target segment. We know their behavior. We know what they need. Jadi ini adalah go-to market strategy, bukan capabilities issue.

Apakah ada sinergi pembukaan rekening di gerai Alfamart?

J: Pembuatan rekening butuh KYC. Ini sangat regulated karena ada risk assessment. We don’t plan to do onboarding nasabah di gerai Alfamart karena itu akan menjadi cabang, less-efficient, proses ribet, dan investasi tinggi.

Yang kami lakukan lewat sinergi ini adalah kasir di Alfamart dapat membantu mengarahkan calon nasabah untuk mengunduh aplikasi Bank Aladin dan go through e-KYC process sendiri. Artinya, kami ingin membuat calon nasabah merasa nyaman dengan menggunakan pendekatan Alfamart. Kami membangun aset sendiri yang dapat menjadi complimentary bagi aset yang dimiliki partner.

Apa saja fokus Bank Aladin di tahun ini?

J: Fitur yang kami push sejak awal adalah tarik-setor tunai di gerai Alfamart. Kalau hanya opsi transfer saja, bagaimana tariknya? Sementara, segmen unbanked dan underbanked rata-rata belum punya rekening.

Kami coba buka akses yang simple dan tidak ribet, yakni Alfamart. Nasabah bisa menabung atau tarik tunai di kasir apabila tidak ada ATM. Tech integration is done sehingga kami bisa scale dengan cepat. Kasarnya, tinggal dinyalakan saja. Jadi nasabah bisa lakukan di semua Alfamart di Indonesia. Kami juga akan dorong promosi di Alfamart untuk meningkatkan transaksi dan memahami behavior mereka.

Kami juga ingin fokus untuk financing, to make sure our liabilities is productive. In the next semester, we’ll build financing product untuk UMKM karena we can assess UMKM better than retail. Kami adalah bank, bukan P2P atau multifinance. NPL kami betul-betul diawasi investor.

Mengapa bersinergi dengan ZA Tech? Apa saja produk kolaborasinya?

J: Belum banyak yang tahu bahwa perusahaan insurtech ZA Tech Global punya bank digital dan number one di Hong Kong. They have actually built a winning bank. Belajar dari mereka sangat excitingFor us, insurance seems to be a logical next step. Insurance adalah core product mereka dan kami ada pipeline ke sana, baik itu micro insurance, loan insurance, apapun itu.

Saat ini, kami belum bisa diclose dari sinergi ini. Perlu diketahui, semua produk yang kami bangun hanya untuk segmen kita saja, yakni unbanked, underbanked, dan SME. Kami harus disiplin, apakah [yang dibangun] sesuai dengan kacamata unbanked dan underbanked. Jadi, kami tidak akan bikin [produk] yang kompleks. We always try to make decisions based on data we collect.

Partnership tidak mudah karena chemistry, strategi, dan aspek lain harus cocok. Kita sudah align semua dan hanya masalah timeline saja. Jadi, when we find a good partner, we’ll pull the trigger. 

Application Information Will Show Up Here

Bank Neo Commerce: Babak Dua Transformasi Merekatkan “User Stickiness” 18 Juta Nasabah

Di tahun pertamanya beroperasi sebagai bank digital, PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) telah mencatatkan milestone yang signifikan. Hingga semester I 2022, aplikasi BNC telah diunduh sebanyak 26 juta kali, nasabahnya menembus 18,5 juta dengan Monthly Active User (MAU) sekitar 3 juta.

Pencapaian ini tak lepas–salah satunya–dari strategi gamification di dalam aplikasi untuk memberikan daya tarik dan engagement lebih terhadap konsep ber-digital banking di Indonesia.

Jika tahun lalu Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan bicara top of mind, kali ini ia mengungkap sejumlah poin penting terkait upaya memperkuat fundamental bisnis, pengembangan fitur dan produk secara seamless, dan strateginya meningkatkan user stickiness.

Ceritakan kilas balik transformasi BNC dalam dua tahun terakhir?

Jawab: Pertama kali bergabung pada Maret 2020, saya dihadapkan pada tantangan combo. Covid-19 datang ke Indonesia. Memang pandemi mendorong akselerasi digital. Namun, di awal pandemi, banyak orang menarik dana dari bank kecil karena ingin mencari aman saat krisis terjadi. Sementara, saat itu Bank Yudha Bhakti (BYB) masih bank BUKU I. Kami sempat keliyengan karena likuiditas terbatas.

Namun, tanpa itu, sebetulnya tantangan saya sudah cukup berat. Founder Akulaku William Li meminta saya untuk mentransformasikan Bank Yudha Bhakti (BYB) menjadi bank digital terbesar di Asia dalam tiga tahun. Saat baru berpikir strateginya, datang lagi tantangan kedua, yakni OJK terbitkan aturan terkait modal inti minimum.

Apa yang kami lakukan dalam dua tahun terakhir? Kami fokus pada rencana, kami eksekusi dan deliver. Bagi saya, ideas is important, but what much more important is the execution. Saya turun ke lapangan, terlibat dalam detail, dan make sure eksekusi terjadi. Bagi neobanker (karyawan BNC), they haven’t seen what I see. Sebagai leader, saya harus bawa mereka menuju visi kami.

BYB sebelumnya adalah bank pensiunan. Transformasi kami bukan sekadar lompat, tapi quantum leap. Banyak step, tapi harus cepat. Jadi, mindset penting untuk deliver ke pasar. Perlu juga satu hal yang mengikat agar visi bisa berjalan, yakni culture. Kami ubah culture dari sebelumnnya gaya kerja BYB yang birokratif dan manual. Kami tanamkan nilai-nilai pada Neo Culture.

Selain itu, bagaimana mencari talent tepat di posisi tepat. Terkadang saya menemukan talent bagus, tapi belum ada posisinya. Kami masukkan, buat posisinya, karena ini untuk masa depan.

BNC mencatat milestone signifikan dalam dua tahun. Bagi bank, apakah pencapaian ini terlalu cepat?

J: Tergantung, apakah bank sudah mempersiapkan diri atau belum? Umpamanya begini, ada dua orang bertani di tempat yang jarang turun hujan. Keduanya sama-sama berdoa meminta hujan. Bedanya, petani A menyiapkan tanah, petani B tidak. Di saat hujan turun, siapa yang lebih siap? Nah, kami tidak hanya berharap, kami mempersiapkan diri sejak 2020. Pertumbuhan cepat akan berbahaya apabila tidak dibarengi dengan persiapan selanjutnya.

Tahun lalu, saya pimpin leaders meeting. Saya sampaikan saat itu, “we’ve been blessed with more than 14 million users. Sepertinya mindset kita harus balik ke titik zero. Don’t celebrate victory too early. It’s not there yet!“. Di 2022, we need something new. What are we gonna do? Saya dorong untuk switch ke mindset awal, seolah-olah kami belum punya pengguna. Work hard lagi, jadi tidak terlena. 18 juta pengguna BNC saat ini menjadi fuel kami.

Saya pikir 75% dari visi-misi kami sudah tereksekusi. Tidak terelakkan pasti ada evaluasi, tapi kami perbaiki terus. Nah, 25% ini mencakup apa saja? Saya sempat mendapat pertanyaan dari analis di perusahaan sekuritas terkemuka. Kapan BNC bisa untung? Saya tanya balik, apakah bank bertransformasi [hanya] mengejar profitabilitas?

Misi suci kami adalah menjangkau unbanked dan underserved. That’s why we become digital. Terbukti selama puluhan tahun di sektor bricks and mortar, bank yang mengandalkan kantor cabang tidak berhasil menjangkau unbanked dan underserved. Statistik berbicara. Indonesia negara kepulauan sehingga menggunakan gaya konvensional tidak efektif. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah smendorong pengembangan infrastruktur teknologi.

Kami bukan simply menjadi bank profitable saja. Kalau hanya kejar itu, kami tidak perlu bertransformasi. Lihat laporan keuangan di 2020, kami sudah profit. Mengejar profitabilitas tentu, tapi itu bukan nomor satu.

Apa hipotesis utama BNC mengadopsi model gamified banking?

J: Kami lakukan analisis, sebanyak 86% dari total pengguna kami adalah kaum milenial. Apa yang menarik bagi mereka? Mereka suka something fun, not boring. Dari sini, kami coba coba masuk dengan model gamification. Kalau kami jelaskan produk deposito dengan bunga 8%, respons mereka mungkin sebatas tertarik saja. Tapi ya sudah berhenti sampai di situ.

Kami pakai gamification untuk memperkenalkan produk-produk kami. Kami arahkan mereka menjajal fitur dengan melakukan sejumlah task. Misalnya, undang teman dapat koin. Jadi, lebih fun tanpa harus menggurui mereka. Alhasil, produk kami mulai dikenal, jumlah pengguna kami tumbuh, layanan deposito maupun saving naik. Kami juga create Neo World dan Neo Business di mana pengguna BNC bisa saling berinteraksi dan mempromosikan bisnis mereka. Kami coba connecting people.

Mengenai benchmark, kami terinspirasi dengan model gamification [bank] di Tiongkok. Banyak pengalaman atau user experience yang kami adopsi dan kemas sesuai dengan kultur Indonesia. Misal, Neo Angpau yang dikemas agar cocok dengan nuansa Lebaran.

Apa strategi Anda selanjutnya dengan milestone ini?

J: Seiring dengan bertumbuhnya pasar, bank digital atau bank yang punya digital arm dan digital channel akan menjadi pilihan. Kami memilih fokus pada milestone karena kami harus memberikan sesuatu yang fundamental, kembali pada basis pengguna kami.

Sejauh ini kami sudah meluncurkan produk Neo Loan, Neo Emas, dan Remittance. Untuk menghadirkan layanan remitansi, bank harus menjadi bank devisa. Kami pikir bagaimana close gap mengingat persyaratan menjadi bank devisa butuh waktu paling tidak 1,5 tahun-2 tahun. Kami pun bekerja sama dengan DigiAsia.

Kemudian, kami sedang menyiapkan fitur cash withdrawal tanpa kartu atau cardless. Kalau pakai kartu, kurang pas dengan spirit digitalisasi. Pengguna bisa tarik tunai di convenience store, seperti Indomaret atau Alfamart, dan ATM. Kami coba menyederhanakan caranya sehingga pengguna bisa tarik uang di mana dan kapan saja. Sekarang masih tahap pengembangan dan menunggu approval.

Kami akan terus menciptakan seamless experience. BNC termasuk bank digital yang sudah sepenuhnya e-KYC dan menggunakan biometric. Pembukaan rekening kami tidak pakai video call. Kami juga akan perluas kolaborasi menjadi open ecosystem. Mungkin ada bank digital yang hanya fokus pada ekosistem yang dimiliki grup. Kami terbuka dengan ekosistem lain. Kami percaya bahwa kunci digitalisasi untuk maju adalah kolaborasi, bukan berkompetisi.

Bagaimana Anda meningkatkan user stickiness pengguna dan MAU?

J: Kami memetakan user kami ke dalam empat kluster antara lain (1) kluster pengguna yang hobi mengumpulkan koin referral, (2) kluster pengguna produk tabungan dan deposito, (3) kluster pengguna transaksional, suka top up dan lakukan pembayaran, (4) kluster pengguna lending, dan (5) kluster investasi.

Demi meningkatkan user stickiness, kami meyakini kluster 3, 4, dan 5 akan menjadi motor penggerak BNC. Untuk kluster 3, kami sedang menyiapkan fitur QRIS yang akan meluncur sebentar lagi. Kluster ini akan menaikkan utilisasi pengguna sehingga semakin engage dengan aplikasi BNC. Pada kluster 4, kami akan menambah opsi investasi lain, seperti reksa dana, yang ditarget meluncur pada kuartal III 2022.

Saat ini, Neo Loan baru untuk segmen retail. Namun, kami berencana masuk ke UMKM juga. Di luar Neo Loan, kami sebetulnya sudah masuk ke UMKM lewat skema channeling dan approach langsung. Ini alasan kami menampilkan Neo Business untuk menghubungkan pengguna dengan pelaku usaha. Ekosistem kami masih clean, kami punya data untuk approach user yang tepat.

Sebetulnya teknologi kami sudah siap, tapi harus tunggu approval OJK untuk beberapa produk. Dengan strategi ini, kami targetkan jumlah pengguna BNC dapat mencapai 28-30 juta tahun ini.

Ada rencana penambahan modal tahun ini?

J: Saya harus luruskan terkait pemberitaan di media yang menyebut kami mencari investor baru. Lebih tepatnya, banyak investor approach yang tertarik dengan performance kami, baik investor dalam maupun luar negeri. Namun, ini masih undisclosed.

Begini, Indonesia merupakan pangsa pasar menarik dengan pertumbuhan digital paling pesat di Asia Tenggara. Ketika pandemi, tanpa sadar [perilaku] kita menjadi lebih digital. Ini yang membuat investor tertarik. Makanya jangan kaget apabila ada yang beli bank atau berinvestasi di bank.

Saya percaya dengan fundamental. Berinvestasi untuk jangka panjang apabila percaya dengan fundamental bisnis. Ini yang saya tawarkan ke investor. Kami showcase kinerja kami. Per Desember 2021, kami sudah salurkan kredit Rp4 triliun dan Net Interest Margin (NIM) mencapai 5,15%. Di semester I 2022, penyaluran pinjaman naik menjadi Rp7 triliun dan NIM mencapai 10,16%.

Memang kinerja kuartal I kurang bagus. Kami rugi Rp416 miliar. Biar adil saja, rugi kami turun 54% menjadi Rp194 miliar di kuartal II. Pendapatan kami naik, expense turun. Namun, kami harap bisa profitable dari month by month.

Akulaku sebagai controlling shareholder betul-betul work hand-in-hand dengan kami agar BNC menjadi bank terdepan di Indonesia dan diperhitungkan di Asia. Belum lama ini Akulaku juga menjadi unicorn dan ini membuka jalan kami lebih lebar.

Bank Raya: Kami Ingin Dorong Pekerja “Gig Economy” Naik Kelas

Dalam wawancara eksklusif DailySocial, Direktur Utama Kaspar Situmorang cukup banyak menyoroti manajemen aset dan liabilitas sebagai manifestasi untuk bertransformasi melayani pekerja gig economy atau pekerja informal. Ia punya misi jangka panjang, yakni menaikkelaskan pelaku gig economy, baik itu pemilik warung makan, pedagang, atau pekerja salon.

Kaspar, yang sebelumnya menjabat EVP Digital Banking BRI, berupaya memanfaatkan kekuatan ekosistem milik induk usaha untuk mencapai misi tersebut.

Bagaimana strategi dan pengembangan produk usai berganti identitas menjadi Bank Raya?

Bagaimana proses transformasi Bank Agro ke Bank Raya?

Jawab: Transformasi ini berawal dari buah pikiran Sunarso, Direktur Utama BRI, untuk melakukan transformasi digital BRIvolution. Goal-nya adalah go smaller, go faster, go shorter, dan go cheaper. Melayani sebanyak mungkin dengan biaya sekecil mungkin.

Ada dua objek transformasi [BRI Agro], yakni digital dan work culture. Kedua hal ini telah dirancang Pak Sunarso sejak 2017, di mana saat itu eksekusinya dilakukan bersama Pak Indra Utoyo sebagai Direktur Operasi dan Teknologi Informasi dan Digital Center of Excellence (DCE). Kami siapkan SDM, teknologi, dan data. Pak Sunarso tanya apakah kita sudah siap, karena saat itu kompetitor sudah mulai jalan. Karena Pak Indra Utoyo bilang sudah siap, keputusan diambil pada April 2021 untuk pivot Agro menjadi bank digital BRI.

Identitas Agro berganti menjadi Raya pada April 2021. Fokusnya menjadi digital attacker Grup BRI agar dapat mengamplifikasi layanan perbankan digital secara maksimal. Pembukaan [rekening], pinjaman dilakukan secara digital. Tidak ada manusia di tengah-tengah.

Bagaimana transisi leadership Anda dari BRI ke Bank Raya?

J: Saya banyak belajar kepemimpinan dari Pak Sunarso dan Pak Indra Utoyo. Mereka mengajarkan leadership itu harus by example, memiliki framework, dan kerangka berpikir. Jadi tidak mengarang. Kepemimpinan harus memiliki kompetensi pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Tanpa ketiganya tidak bisa. Jadi, kita harus bisa fit karakter dan model kepemimpinan sesuai perusahaan dan ekosistemnya. Saya merasa fit dengan ekosistem karena belajar dari mereka.

Pak Sunarso juga menciptakan ruang kepemimpinan bagi generasi muda yang bekerja di Grup BRI di anak-anak usaha, baik itu Raya, Pegadaian, atau PNM. Mereka ditempatkan di sana untuk mengasah problem solving, strategic thinking, maupun eksekusi.

Bagaimana framework transformasi Raya?

J: BRI punya framework transformasi digital yang fokus pada pilar eksploitasi dan eksplorasi. Di sisi eksplorasi, bank digital adalah outcome sebagai potensi bisnis dan revenue stream baru bagi Grup BRI. Dengan begitu kami tidak didisrupsi. BRI juga mengirimkan beberapa puluh orang dari divisi Digital Center of Excellence (DCE) ke Raya, termasuk saya, untuk membangun produk, IT, basis data, dan keamanan lebih cepat.

Setelah Bank Raya berdiri, kami menyederhanakan framework ke dalam tiga pilar; digital, digitize, dan revamp. Pilar digital fokus pada pengembangan produk keuangan, tabungan atau pinjaman, secara end-to-end. Pilar digitize fokus pada business process karena sebelumnya masih terbilang toxic. Kami perbaiki semua agar model bisnis digital ini dapat berjalan lancar. Banyak proses di perbankan yang harus didigitasi agar bisa align dengan pilar pertama.

Pilar revamp adalah menata kembali business legacy. Bank Raya bukan barang baru yang [setelah transformasi] lalu siap lari. Sebelumnya Agro bermain di sektor sawit. Kemudian, kami hentikan kredit korporasi dan tata ulang. Ada beberapa cabang ditutup, ada juga yang dialihfungsikan supaya biaya lebih optimal. Utamanya, supaya [transformasi] pada aspek people dan work culture bisa maksimal.

Aspek keuangan itu adalah outcome, tapi di bawahnya ada customer, business process, dan people. Kalau sudah di-retrain, rescale, mereka bisa melayani customer, karena ini adalah bisnis jasa.

Mengapa mengincar pasar gig economy?

J: Visi-misi Raya adalah menjadi house of fintech dan home for gig economy. Mengapa? Dengan memiliki manajemen aset dan liabilitas yang lebih baik, gig economy akan semakin bertumbuh. Data BPS di 2020 menunjukkan bahwa ada sekitar 46 juta pekerja informal tanpa slip gaji. Proyeksinya bertambah menjadi 74 juta pada 2024. Ini menjadi hipotesis kami melayani pekerja gig economy.

Untuk memahami perbankan, kita harus belajar pohon ilmunya, yakni manajemen aset dan liabilitas. Apapun banknya, baik itu bank digital, bank hybrid, atau bank syariah, semua akan fokus pada kedua hal itu.

Dulu Agro memiliki dana dan simpanan dalam jangka pendek, tetapi kreditnya jangka panjang. Kredit korporasi punya tenor 5-10 tahun. Namun, sumber pendanaan berjangka pendek semua, 3 bulan. Ini sulit. Makanya, kami transformasi Raya dengan mengubah manajemen aset dan liabilitasnya. Pinjaman jangka panjang diubah menjadi harian dengan sumber pendanaan bulanan.

Kami survei untuk validasi masalah. Pekerja ini butuh kasbon dengan kredit pendek-pendek. Pembayaran dipotong ketika gajian. Jadi, [kebutuhan] kredit harian dan sumber dana bulanan match dengan pasar pekerja gig economy yang kami bidik melalui produk tabungan dan pinjaman digital kami. Ini hal menarik yang terjadi di era kita. Tanpa validasi pasar, kebutuhan, dan user experience, mengembangkan sesuatu tidak akan ada fokusnya.

Lalu, mengapa house of fintech? Sewaktu menjadi EVP di BRI, kami mendapat amanah untuk membangun BRI Ventures dengan modal awal Rp1,5 triliun. Kami mulai investasi di startup tahap awal hingga unicorn karena kami lihat disrupsi akan datang dari non-bank. Jadi kami harus menyelami cara berpikir.

Dari sini kami melihat bagaimana Raya bermetamorfosis menjadi platform. Apapun layanan di Raya, itu harus bisa bermetamorfosis menjadi platform yang kami sebut Raya API. Kami percaya melalui open API, kami dapat mengintegrasikan ekosistem. Raya bekerja sama dengan BRI, itulah cara kami merajut ekosistem.

Bagaimana memanfaatkan ekosistem milik BRI?

J: Kami belajar dari WeBank dan KakaoBank, yang sudah profit, bahwa ekosistem merupakan kunci keberhasilan. Tanpa itu, tidak mungkin main di bank digital. Kalau menjadi bank hybrid, cost of acquisition tinggi dan customer lifetime tidak lama. Jadi, ekosistem adalah harga mati. Makanya, BRI mengamanahkan ekosistem BRILink agar dapat dikelola Raya, baik dari sisi manajemen aset maupun liabilitas.

Selain itu, bank, khususnya bank digital, jika ingin survive harus memiliki strategi yang spesifik pada manajemen aset dan liabilitas. Dari sudut pandang bankir, bank tanpa kedua hal ini pasti gagal. Prinsip ini kami terapkan di internal untuk menciptakan keunggulan produk. Saya melihat banyak bank di Indonesia yang [menawarkan] pinjaman dengan tenor tahunan, tetapi sumber pendanaan jangka pendek. Belum ada yang harian seperti kami.

Kami diberi amanah oleh BRI untuk menyelesaikan isu likuiditas yang dialami agen BRILink melalui pinjaman PINANG. Mereka punya uang kas banyak, tetapi saldo BRILink sedikit. Jadi, sulit untuk bertransaksi karena tidak ada saldo. Ketika mau setor uang, bank sudah keburu tutup. Makanya, dana talangan ini dapat dipakai untuk kebutuhan cepat. Kira-kira ada sekitar setengah juta agen BRILink di Indonesia.

Bank Raya sudah menyalurkan hampir setengah triliun disbursement ke 12.000 agen BRILink. Target kami dapat mengakuisisi 50.000 agen BRILink. Integrasinya sudah seamless sehingga agen BRILink tidak perlu ganti aplikasi karena PINANG sudah embed di dalam aplikasinya. Model transformasi manajemen aset dan liabilitas ini diterjemahkan ke dalam bentuk API dan web view dengan BRILink sebagai salah satu mitra kami.

Bagaimana profil pengguna Bank Raya? Fitur apa saja yang akan disiapkan?

J: Kami melihat profil pengguna tabungan Raya sudah melek digital. Pada 2020 ada banyak lay off pekerja karena pandemi. Menurut data BPS, mereka yang terkena lay off memanfaatkan banyak aplikasi di smartphone untuk mencari penghasilan. Misalnya, ojek online atau berjualan online. Artinya, pekerja gig economy ini adalah pekerja produktif yang memanfaatkan smartphone.

Gig economy sangat luas sekali. Kami membagi target pasar kami ke dalam tiga kategori, yakni F&B, retail, dan jasa. Dari ketiga sektor ini, kami coba garap fitur sesuai kebutuhan mereka. Semoga bisa kami rilis tahun ini. Kami belum bisa share banyak, tetapi fitur ini berkaitan dengan payroll. Kami ingin bantu pekerja gig supaya naik kelas. Sayang kalau mereka tidak bisa ajukan kredit motor atau KPR hanya karena tidak ada slip gaji. Ini yang bakal mentransformasikan pasar gig economy di Indonesia.

Raya juga bersinergi dengan aplikasi BRImo untuk pembukaan rekening. Kami mendapat izin yang memampukan pengguna memiliki simpanan yang di-embed di aplikasi BRImo. Jadi, customer tidak perlu keluar dari ekosistem BRI. Inilah mengapa kami diminta menjadi digital attacker BRI sehingga dapat leverage kekuatan sendiri.

Kami juga sinergi untuk tarik/setor tunai di seluruh ATM milik BRI tanpa kartu yang [meluncur] Agustus nanti. Transaksinya hanya menggunakan aplikasi dan memakai token. Raya akan kami arahkan untuk cardless dan cashless dengan pembayaran menggunakan QRIS. Selain itu, kami berencana masuk ke produk pinjaman dengan BRI secara cardless. Kami tidak mengajukan izin sebagai issuer sehingga kami pakai [lisensi] BRI sebagai issuer.

Semua ini menjadi pintu masuk ke BRI. Apabila basis pengguna tabungan Raya sudah terbentuk, mereka bisa naik kelas ke pinjaman di atas Rp1 miliar misalnya. Ini akan kami refer ke BRI.

Bagaimana Anda melihat kompetisi bank digital saat ini?

J: Setiap bank memiliki keunggulan dan ekosistem masing-masing. PR kami adalah bagaimana mentransformasi manajamen aset dan liabilitas dengan disipilin pada eksekusinya. Kata kunci keberhasilannya adalah mereka yang paling disiplin, paling cepat, dan paling konsisten dalam menciptakan keunggulan yang berkesinambungan. Dalam perbankan ini artinya cost of acquisition paling rendah dengan customer lifetime value paling tinggi.

Termasuk juga bagaimana media dapat mengedukasi pasar bahwa bank digital tidak hanya bicara soal valuasi, tetapi menciptakan nilai tambah dari ekosistem yang diamanahkan kepada kami.

Application Information Will Show Up Here

Astra dan WeLab Pertajam Komitmen Membawa Bank Jasa Jakarta Bertransformasi Digital

PT Astra International Tbk (IDX: ASII) mengumumkan akuisisinya terhadap PT Bank Jasa Jakarta (BJJ). Dalam penandatanganan Shares Subscription Agreement (SSA), Astra melalui PT Sedaya Multi Investama mencaplok 1,138 juta lembar saham atau sekitar 49,56% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Astra menggelontorkan sebesar Rp3,87 miliar pada transaksi ini. Adapun, kesepakatan ini telah diteken pada 1 Juli 2022.

Corporate Secretary Gita Tiffani Boer mengatakan transaksi tersebut bertujuan sebagai pengembangan usaha dan investasi Sedaya Multi Investama.

Selain itu, perusahaan juga mengumumkan bahwa Welab Sky Limited (WeLab) selaku salah satu pemegang saham Bank Jasa, juga akan menambah kepemilikan sahamnya di sana. Usai penyelesaian transaksi, WeLab akan mengantongi 49,56% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor di Bank Jasa Jakarta.

Pada Desember 2021, WeLab diketahui sudah menggenggam 24% saham Bank Jasa Jakarta. Aksi korporasi ini memperkuat komitmen mereka dalam membangun dan mengoperasikan bank digital. Mengingat potensinya masih besar, termasuk untuk menjangkau kalangan unbankable.

Dalam laporan yang dipublikasi oleh DSInnovate bertajuk “The Rise of Digital Banking in Indonesia“, disebutkan bahwa ukuran pasar bank digital, secara global nilainya diperkirakan sudah mencapai $12,1 miliar pada 2020 dan akan bertumbuh hingga $30,1 miliar di 2026 dengan CAGR 15.7%.

Menurut OJK, indeks inklusi keuangan di Indonesia mencapai 76,19% pada 2019. Selain itu, adopsi produk perbankan terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga 2020, tercatat 351,7 juta rekening terdaftar di 110 bank (96 bank konvensional, 14 bank syariah). Sementara di Indonesia saat ini sudah ada 12 aplikasi bank digital yang bisa digunakan masyarakat.

Daftar bank digital dan calon bank digital di Indonesia. Sumber: Laporan DSInnovate

Relasi bisnis Astra dan WeLab

Relasi bisnis Astra dengan Welab telah terjalin sejak tahun 2018 ketika kedua perusahaan membentuk usaha patungan (joint venture) yang bergerak di bidang fintech lending, Astra WeLab Digital Arta. Dalam kesempatan yang sama, perusahaan juga merilis aplikasi Maucash, menawarkan dua produk pinjaman, Maucepat dan Mauringan.

WeLab merupakan startup p2p lending yang beroperasi di tiga negara melalui tujuh merek produk keuangan, di antaranya WeLend dan WeLab Bank di Hong Kong; WeLab Digital, Taoxinji, Wallet Gugu, dan Tianmian Tech di Tiongkok; serta Maucash di Indonesia.

WeLab Bank tercatat telah memiliki 50 juta pengguna dan menyalurkan pinjaman lebih dari $10 miliar. Sementara, WeLab mengantongi 150 ribu pengguna digital banking di Hong Kong.

Sementara, Bank Jasa Jakarta merupakan bank ritel yang menawarkan produk simpanan, pinjaman, dan layanan perbankan. BJJ memiliki 11 kantor cabang pembantu dan tiga kantor kas dengan jaringan ATM tergabung dalam jaringan Prima di seluruh kota besar Indonesia.

Perkuat ekosistem produk digital Astra

Grup Astra mulai melakukan transformasi digital sejak beberapa tahun lalu. Transformasi ini menggunakan tiga strategi utama, yakni memodernisasi core business, menciptakan sumber pendapatan baru yang inovatif, dan berinvestasi pada produk di ekosistem digital. Beberapa produk digital yang sudah masuk dalam ekosistem produk digital Astra termasuk CariParkir, Sejalan, Movic, SEVA dan mo88i .

Di sepanjang 2021, Astra semakin gencar memperkuat ekosistem produk digitalnya. Pada kuartal pertama 2021, anak usaha Astra Financial meluncurkan aplikasi Moxa alias Mobile Experience by Astra Financial. Perusahaan juga telah meluncurkan AstraPay yang sudah dapat digunakan di ekosistem Grup Astra. Berikut rincian produk digital yang sudah masuk dalam ekosistem Astra.

Produk Kategori Grup
AstraPay Fintech Astra Financial
Moxa Fintech Astra Financial
Maucash Fintech Astra Welab Digital Arta
mo88i Marketplace (mobil bekas) Serasi Autoraya (Mobil88)
CariParkir Transportation (navigation) Astra Digital
Seva.id Marketplace (mobil baru dan bekas) Astra Digital
Movic Transportation (car rental) Astra Digital
Sejalan Transportation (ride-sharing) Astra Digital

Bank Raya Luncurkan Pembukaan Rekening Online Melalui Aplikasi BRImo

PT Bank Raya Indonesia Tbk (IDX: AGRO) mengumumkan sinergi dengan induk usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (IDX: BBRI) untuk mengintegrasikan layanan digital saving. Melalui sinergi ini, calon nasabah Raya dapat membuka rekening baru pada aplikasi BRImo.

Dalam acara peresmiannya, Direktur Bisnis Kecil dan Menengah BRI Amam Sukriyanto mengungkap bahwa ini menjadi langkah tahap awal dari transformasi digital di lingkup BRI Group yang mengacu pada cetak biru BRIVolution 2.0. “Kami terus berupaya menghadirkan layanan keuangan holistik bagi nasabah,” tutur Amam.

Sementara, Direktur Utama Bank Raya Kaspar Situmorang mengatakan bahwa sinergi ini memampukan Bank Raya untuk menuju posisinya sebagai end-to-end digital provider dan mengakselerasi pertumbuhan jumlah nasabahnya dengan cepat.

“Sejak hari pertama Bank Raya berdiri, transformasi aset dan liabilitas yang dilakukan BRI juga kami terapkan di sini. Maka itu, produk yang kami kembangkan disesuaikan dengan pasar yang kami serve, yakni pekerja gig economy,” ungkap Kaspar.

Aplikasi Raya meluncur sejak Februari 2022 dan mengantongi sebanyak 713 ribu pengguna per Juni 2022. Perusahaan membidik satu juta pengguna aplikasi Raya pada tahun ini. Sementara itu, BRImo telah dipakai 18,3 juta pengguna, di mana sinergi ini diharapkan dapat menggeser 2 juta pengguna ke aplikasi Raya.

Fitur digital saving Raya telah tersedia pada aplikasi BRimo sejak 31 Mei 2022 dan diklaim telah menghasilkan 1.008 rekening baru. Pembukaan rekening Raya juga sudah menggunakan teknologi e-KYC, bebas biaya administrasi, dan tidak ada minimal saldo.

Sebelum ini, induk usahanya BRI juga menggandeng sejumlah platform digital untuk mengintegrasikan pembukaan rekening online. BRI tercatat sudah menggaet aplikasi yang memiliki ekosistem dan basis pengguna besar, seperti Grab dan Tokopedia (BRI Ceria). Namun, strategi frond-end channel ini juga sudah banyak dilakukan oleh sejumlah bank, seperti CIMB Niaga, Mandiri, dan Permata Bank.

Pekerja informal

Sebagai informasi, Bank Raya sebelumnya bernama Bank Agro yang rebranding sejak September 2021. Berbeda dengan induk usaha yang bermain pada segmen mikro dan ultra mikro, Bank Raya membidik segmen pekerja informal atau gig worker.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pelaku gig economy pada 2020 mencapai 46,4 juta orang. Sementara, survei internal BRI Agro memproyeksikan gig worker mencapai 74,8 juta pekerja dalam lima tahun ke depan dengan memperhitungkan akselerasi digital di Indonesia.

Menurut survei, proyeksi pertumbuhan ini dipicu oleh pandemi Covid-19 (27% YoY) dan penurunan jumlah karyawan full time (8,84% YoY). Adapun, Bank Raya mengincar 10% atau 6-7 juta pekerja informal dari total proyeksi tersebut.

Bank Raya telah mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp10,15 triliun pada kuartal I 2022 dengan Rasio CASA 45,20% terhadap DPK. Transformasinya menjadi bank digital diharapkan dapat mendongkrak porsi CASA secara bertahap.

Indra Utoyo: Proses Belajar yang Tak Pernah Berhenti untuk Ciptakan “Value-Driven Innovation” (Bagian I)

Kecintaan Indra Utoyo terhadap teknologi, digital, dan inovasi tak pernah padam sekalipun ia berpindah haluan dari telekomunikasi hingga berlabuh ke perbankan. Alih-alih mencapai posisi kemapanan, ia justru mengaku ingin terus belajar dan menemukan hal-hal baru.

Belasan tahun ia habiskan untuk memperkuat pondasi Telkom sebagai penyedia konektivitas terbesar di Tanah Air sampai akhirnya ia dipercaya untuk memimpin transformasi digital bank BUMN BRI .

Pada gelaran program gagasannya Indigo enam tahun lalu, ia sempat mengatakan bahwa peran entreprenuer muda sangat penting dalam memecahkan masalah dengan cara baru di era digital yang laju perkembangannya sudah tak terbendung lagi.

Ia berharap legacy yang ia tinggalkan dapat terus dibagikan sehingga dapat melahirkan generasi-generasi entreprenuer bertalenta. Kini ia menikmati babak barunya untuk memupuk talenta serta mengorkestrasi layanan dan inovasi di Allo Bank.

Bagaimana Anda melihat perjalanan karier Anda dari sektor telekomunikasi sampai ke perbankan?

Jawab: Sebetulnya berkarier [di perbankan] tidak saya rencanakan. Saya bekerja di Telkom selama hampir 17 tahun, di mana 10 tahun terakhir menjadi direksi. Di Telkom, saya mengeksplorasi hal baru, baik itu inovasi, IT, hingga digital. Di situlah [perjalanan di dunia digital] saya dimulai. Saya juga mendirikan program inkubator dan akselerator Indigo.

Kemudian, saya pindah ke BRI yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Saat itu saya diminta untuk membenahi sistem IT dan memimpin transformasi digital supaya BRI bisa beradaptasi dan tetap relevan bagi nasabah di era digital. Saya melakukan inovasi, mengembangkan produk digital banking — ada PINANG dan CERIA — dan melakukan massive collaboration dengan pemain digital.

Alhadumdulillah, BRI kini sudah punya pondasi yang baik. Saya membangun digital BRI dengan future-ready IT dan arsitektur di masa depan. Saya siapkan agar dapat mengakomodasi volume yang besar. Itu legacy yang saya tinggalkan [di Telkom dan BRI]. Namun, yang terpenting adalah meninggalkan talent dan culture yang terus membaik.

Apakah kemampuan dan kapabilitas Anda selama ini di telekomunikasi menjadi lebih tereskalasi begitu masuk ke perbankan?

J: Ini pertanyaan bagus. Memang saya merasakannya ketika berkarier di perbankan. Yang membuat saya tertarik adalah bagaimana bank konvensional memadukan layanan banking dengan teknologi karena bisa emerge dengan sektor lain. Kita merasa tumbuh karena proses belajar terus berjalan.

Bank bicara segmen B2C, B2B, atau SME. Bank mendorong inisiatif bisnis untuk tumbuh. Apalagi ada mata rantai di belakangnya. Pemilik bisnis dibantu dengan layanan keuangan. Makanya bank agak berbeda karena lekat dengan semua sektor. Apapun bisnisnya pasti butuh layanan keuangan. Untuk simpan uang atau pembiayaan misalnya. Bank memahami business process. Itulah peran bank.

Ini yang membedakan telekomunikasi dengan perbankan karena sifatnya horizontal bukan vertikal. Sektor telekomunikasi fokus pada platform dan punya basis data kuat. Sebagai penyedia konektivitas dan penyimpanan data, perannya bagus. Selain itu juga mengakomodasi kebutuhan harian konsumen, misalnya pulsa atau paket data. Namun, telekomunikasi kurang dalam hal konteks [bisnis] sebuah sektor, kurang menguasai business process dari konsumen.

Di Telkom, ada misi [membangun] ekosistem digital. Saat itu saya mengembangkan [solusi digital], seperti health dan logistic. Namun, sebetulnya model bisnis Telkom adalah platform, infrastruktur. Sementara business process di sektor terkait bukan ranah Telkom. Artinya, butuh partner di sektor itu agar Telkom bisa engage dengan konsumennya.

Bagaimana Anda bertransisi dari BRI yang notabene fokus ke UMKM ke Allo Bank yang didukung mega ekosistem CT Corp?

J: Ini menarik. Saya menyadari bahwa kita perlu terampil berkolaborasi. Leadership akan berbeda, bukan lagi memimpin satu perusahaan, melainkan menyelaraskan dengan ekosistem. Kita mengorkestrasi ekosistem yang didukung frekuensi, kecepatan, dan pola pikir yang sama.

Misalnya, ada pertukaran value antara Allo Bank dengan Transmart. Belanja di Transmart cukup bahwa ponsel. Mungkin mereka akan merasa kolaborasi ini dapat menghasilkan data, jadi tahu apa yang disukai konsumen. Kita bisa lebih engage untuk memberikan hal baru. Konsumen bisa sering bertransaksi karena layanan lebih personalized. Jadi ke depan bisa semakin relevan. Ini semua menjadi value-driven. 

Di awal, mungkin masih banyak PR. Pemahaman di ekosistem masih baru, produk perlu banyak di-improve. Perlu waktu untuk menguasai produk sampai di tahap ‘oh pakai Allo Bank bisa lebih tumbuh’, itu seninya. Tantangannya bagaimana bermain sebagai ekosistem dan melakukannya bersama dengan tim. Pada dasarnya, semua akan bicara value.

Dari BUMN kini ke perusahaan swasta, apakah Anda kini merasa lebih nyaman untuk deliver sebuah inovasi?

J: Mestinya lebih mudah karena [sebelumnya] sistemnya lebih rigid dengan tata kelola sedemikian panjang. Sementara, di sini kita lebih punya speed yang diseimbangkan dengan kualitas. Speed bisa lebih dominan. Namun, saya tidak suka kemapanan dan senang terhadap hal-hal baru. Sejak di Telkom, saya memang begitu. Kalau kamu tanya apa INDIGO punya KPI? Ya tidak ada. Itu saya bikin sendiri sehingga jadi lah sesuatu. Maka itu, kita harus memadukan entrepreneurship dan strategic management.

Untuk menghadapi hal-hal yang tidak pasti, butuh keberanian mencoba. Ini saya terapkan ketika di Telkom maupun BRI. Sementara CT Corp berawal dari entrepreneurial sehingga lebih mudah pada aspek kecepatan. Yang penting, arahnya jelas dan punya pondasi kuat untuk memanuver gerakan kita ke depan. Ini sedang saya bangun di Allo Bank, tentu didukung Pak CT dan grup. Bagaimana Allo Bank bisa siap ke depan, tak hanya kecepatan, tapi fokus untuk menciptakan value.

Sebagai seseorang yang passion terhadap teknologi dan digital, apakah ada yang ingin Anda eksplorasi maupun belum tercapai saat ini?

J: Perjalanan saya masih jauh dan masih tahap awal, tetapi saya punya aspirasi yang jelas, yakni bagaimana menghadirkan kehidupan dalam satu genggaman, all in one.

Ke depan arahnya ada AI, crypto, hingga blockchain. Sekarang kita bicara Web3, tapi Jack Dorsey (Co-founder Twitter) sudah bicara Web5. Artinya, kita harus adaptasi terus agar dapat memberikan value baru dengan model bisnis yang saya rasa akan terus berkembang dengan Web3.

Kita juga akan berhadapan dengan kompetitor yang membawa pendekatan baru. Ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan berhenti untuk beradaptasi dan bertransformasi supaya [implementasi] bisa semakin luas.

Akulaku Ingin Tambah Kepemilikan di Bank Neo Commerce Hingga 40%

Akulaku berencana ingin meningkatkan kepemilikan saham di Bank Neo Commerce (BBYB) menjadi sekitar 40% atau lebih dari kepemilikannya saat ini sebesar 25,66%.

Mengutip dari DealStreetAsia, Founder dan CEO Akulaku William Li mengatakan, rencana tersebut terjadi karena Akulaku sedang mengumpulkan dana menjelang penawaran umum perdana (IPO) dan ingin mengonsolidasikan manajemen kekayaan dan bisnis asuransi sebelum pemisahan terpisah di Bursa Efek Indonesia.

Sementara itu, Bank Neo Commerce sendiri diperkirakan akan melakukan kembali rights issue pada kuartal III 2022 senilai Rp5 triliun untuk memenuhi persyaratan modal minimum yang ditentukan oleh OJK.

Sebelumnya, pada awal tahun ini, manajemen Bank Neo Commerce menjelaskan perseroan termasuk dalam kriteria yang diwajibkan untuk memenuhi modal inti Rp3 triliun paling lambat sampai tahun ini. Per tahun lalu, modal inti minimum Bank Neo Commerce telah memenuhi paling sedikit Rp2 triliun dengan melakukan dua kali aksi rights issue.

“Kami pasti ingin meningkatkan kepemilikan saham kami (di bank) dan kami akan berpartisipasi dalam rights issue berikutnya. Harganya saat ini bergejolak. Kami harus melihat harganya dan jika peraturan mengizinkan, kami ingin meningkatkan minat kami untuk lebih dari 40%,” kata Li.

Dalam dua kali rights issue di Bank Neo Commerce, Akulaku selalu berpartisipasi hingga kini menjadi pemegang saham pengendali yang menguasai 2,41 miliar lembar atau setara 25,66 per 24 Mei 2022.

Sejak masuk kedua entitas saling terintegrasi dari segi layanannya, salah satunya Bank Neo Commerce turut menjadi lender institusi di Akulaku. Lewat situ, Bank Neo Commerce mencatat telah menyalurkan pinjaman digital sebesar Rp2,2 triliun dengan tingkat outstanding Rp1,2 triliun.

Anak usaha di bawah Akulaku Group

Akulaku sendiri kini memperbesar cakupan bisnisnya di bidang finansial. Selain Bank Neo Commerce, awal bulan ini Akulaku melalui PT Pintar Belanja Indonesia (PBI) resmi menjadi pengendali baru di PT Inovasi Kredit Indonesia (iTruzz). Dalam pengumuman iTruzz seperti dikutip dari Bisnis.com, PBI telah mengambil alih saham sebanyak 60%.

Akulaku mencaplok iTruzz melalui dua mekanisme. Pertama, melakukan pembelian saham pemilik awal, kemudian melakukan injeksi modal melalui skema rights issue.

iTruzz merupakan startup pengembang solusi e-KYC untuk industri keuangan, sediakan teknologi pengenalan ID OCR, deteksi liveness, perbandingan wajah dan kemampuan lainnya, dan pengembalian hasil verifikasi penipuan identitas secara real-time. Kemampuan tersebut akan membantu perusahaan mengidentifikasi berbagai risiko kecurangan seperti simulator, kecurangan, multi-opening, dan rooting.

Akulaku Group juga membangun anak usaha baru yang bergerak di bidang wealthtech bernama OneAset (PT Pintar Platform Digital). OneAset merupakan superapp produk investasi, edukasi keuangan, dan komunitas.

Sejauh ini, OneAset membagi fiturnya menjadi dua jenis, yakni pembayaran tagihan dan produk finansial. Untuk produk finansial, menyajikan investasi reksa dana, SBN, dan emas. Besar kemungkinan, Asetku, anak usaha dari Akulaku Group, akan masuk ke OneAset untuk menambah misi OneAset sebagai platform satu pintu.

Menurut pemberitaan dari Bisnis.com, OneAset mengumumkan rencana akuisisi perusahaan manajer investasi PT Invesnow Principal Optima (Invesnow). Invesnow merupakan perusahaan manajer investasi yang memasarkan produk reksa dana dan memiliki izin terdaftar sejak Desember 2017.

Nama perusahaan Bidang usaha Skema
PT Akulaku Silvrr Indonesia E-commerce
PT Akulaku Finance Indonesia (Akulaku Paylater) Finansial Akuisisi dari PT Maxima Auto Finance
PT Pintar Inovasi Digital (Asetku) P2P lending
PT Bank Neo Commerce Perbankan Rights issue
PT Inovasi Kredit Indonesia (iTruzz) E-KYC Rights issue oleh PT Pintar Belanja Indonesia
PT Pintar Platform Digital (OneAset) Super-app investasi
PT Invesnow Principal Optima (Invesnow) Agen penjual reksa dana Rights issue oleh PT Pintar Platform Digital (OneAset)
Application Information Will Show Up Here

UpBanx Mulai Debut, Manfaatkan Lisensi “P2P Lending” Modal Rakyat

Platform fintech UpBanx mulai membuka diri ke publik, setelah melewati stealth mode selama hampir setahun beroperasi. Perusahaan memanfaatkan lisensi p2p lending milik Modal Rakyat untuk mengembangkan platform perbankan digital buat kreator dan brand.

Kepada DailySocial.id, CEO UpBanx Wafa Taftazani menjelaskan rencana memanfaatkan lisensi Modal Rakyat ini tentunya ada nilai lebih dan kurangnya. Nilai lebih yang ditawarkan adalah saat penyaluran dana ke peminjam sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan OJK. Dari segi risiko pun, sudah lebih minim dikarenakan mitra P2P di Modal Rakyat punya kualifikasi yang sangat baik saat melakukan analisa kelayakan peminjam.

“Minusnya, karena UpBanx tidak menyalurkan pembiayaan langsung, maka approval juga tidak ada di kami meskipun menurut tim kami itu potential leads. UpBanx harus tetap ikuti approval dari P2P,” ujarnya.

Hal lainnya yang turut menjadi perhatian dari kekurangan memanfaatkan lisensi P2P lending ini adalah nominal pinjaman dana yang ditentukan maksimal Rp2 miliar, menurut ketentuan OJK. Kendati begitu, menurut Wafa, UpBanx akan selalu berusaha mencari cara, misalnya dengan menjalin kerja sama dengan P2P lainnya agar peminjam yang membutuhkan dana lebih dari itu tetap bisa terakomodasi.

Sebelumnya, sempat tersiar kabar bahwa UpBanx akan memanfaatkan lisensi BPR Sentral Mandiri dan didukung ekosistem fintech milik Fazz Financial. Wafa pun menampik bahwa rencana menggunakan lisensi Modal Rakyat sudah ada dari awal. “Tidak ada pergeseran fokus, rencana kerja sama dengan Modal Rakyat sudah ada dari awal.”

UpBanx sendiri terlahir dari diskusi Wafa bersama Hendra Kwik (CEO Fazz Financial) yang menyarankan dirinya untuk menggabungkan seluruh pengalaman dalam mengelola brand [dari Shopee], kreator [dari YouTube], dan fintech [dari Modal Rakyat] menjadi satu.

UpBanx diluncurkan dengan harapan dapat menyelesaikan pain point terkait financing yang kerap dihadapi para kreator. Selain itu, ingin memberikan wadah kepada ekosistem ini sudah bisa saling berkolaborasi, sampai dengan mengoptimalkan aset kripto dan NFT untuk monetisasinya. UpBanx bergabung dalam Y Combinator batch Winter 2022.

“Awalnya tidak ada niat serius-serius banget di sini. Iseng daftar YC [Y Combinator], ternyata masuk. Begitu masuk sudah tidak bisa main-main lain karena diwajibkan menandatangani sejumlah dokumen legal, termasuk salah satunya harus resign dari kantor lama untuk full time di startup baru ini. Bersyukur banget banyak atensi dari investor hingga akhirnya menutup pendanaan yang kemarin,” imbuh Wafa secara terpisah dalam wawancara bersama DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Diterangkan lebih jauh, pengalaman pengguna baik brand dan kreator akan sepenuhnya dipenuhi dalam satu aplikasi. Mereka akan dipertemukan dengan pihak lainnya, seperti transaksi jual beli ataupun dalam hal financing. Ketika pengguna registrasi dan melakukan pengajuan pembiayaan, tim UpBanx akan segera menindaklanjuti dengan menggali kebutuhan dari brand/kreator itu sendiri agar solusi UpBanx berikan dapat lebih tepat sasaran.

“Jadi brand dan kreator seperti punya advisor sendiri, terkait kebutuhan pembiayaan dan produk lain yang ada di UpBanx. Harapannya akan lebih tepat untuk mendapatkan solusi pembiayaan dan creator side. Lalu kami sempat dapat info dari beberapa calon debitur yang kesulitan mengajukan langsung ke P2P kemudian tidak ter-follow up.”

Selain menyediakan solusi keuangan, UpBanx juga akan memfasilitasi kolaborasi yang lancar antara kreator dan brand. Dalam waktu dekat, perusahaan akan bertindak sebagai platform peluncuran Web3 untuk kreator dan brand, untuk meningkatkan interaksi dengan penggemar lewat cara baru yang inovatif.

Dalam pengembangannya, UpBanx telah didukung oleh jajaran investor dan angel investor. Nama-namanya adalah Y Combinator, Alpha JWC Ventures, Alto Partners Multi-Family Office, Number Capital, UBI Capital, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, jaringan kreator Collab Asia dan DRM (Digital Rantai Maya), dan sejumlah angel investor ternama. Termasuk di jajaran angel investor ini adalah Melvin Hade (Partner GFC), Hendra Kwik (CEO Fazz Financial), Hendoko Kwik (CEO Modal Rakyat), Budi Handoko (CEO Shipper), dan Arya Setiadharma (CEO Prasetia Dwidharma).

Saat ini aplikasi UpBanx dapat diunduh di Play Store dan sedang tahap testing untuk App Store. Daftar tunggu untuk pengguna sudah dibuka sebelum akhirnya resmi diluncurkan untuk publik.

Application Information Will Show Up Here

Dirut Bank Neo Commerce: Kami Tetap Bank, Tapi Menawarkan Cara Baru

Hampir dua tahun sudah PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) meramaikan industri bank digital Indonesia. Dalam perjalanan singkat ini, Bank Neo Commerce (BNC) menyebut telah mencatat pencapaian yang cukup signifikan.

Salah satunya adalah pertumbuhan pengguna. Di awal peluncurannya pada Maret 2021, aplikasi banking Neobank meraup satu juta unduhan. Kini penggunanya melesat menjadi 17,4 juta pengguna.

Menyegarkan ingatan kembali, Bank Neo Commerce merupakan hasil rebranding dari PT Bank Yudha Bhakti Tbk usai dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang kini menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%.

Selengkapnya, DailySocial.id merangkum beberapa catatan menarik dari Direktur Utama Tjandra Gunawan saat mengisi sesi Fortune Indonesia Summit 2022 dengan topik “How to Become a Game Changer”.

Pencapaian BNC

Selain basis pengguna, Tjandra juga menyebut pencapaian lain dari pertumbuhan produk keuangan. Bekerja sama dengan Akulaku per Desember 2021, BNC juga mencatat telah menyalurkan pinjaman digital sebesar Rp2,2 triliun, dengan outstanding Rp1,2 triliun.

Kemudian, dana pihak ketiga yang dikelola BNC telah mencapai lebih dari Rp10 triliun, sedangkan aset BNC melenting menjadi Rp14,5 triliun dari Rp4 triliun di 2020.

Menurut Tjandra, pencapaian ini tak serta merta membuat posisi BNC kian besar. Apalagi, sebanyak 70% pengguna Neobank masih terpusat di Pulau Jawa dan sekitarnya. Menurutnya, ini masih menjadi PR besar untuk menjangkau inklusi keuangan di seluruh Indonesia.

“Kami melihat 40%-50% masyarakat Indonesia masih masuk kategori unbanked dan underserved. Mereka adalah golongan orang yang tidak memiliki akses keuangan, dan punya rekening bank, tetapi hanya dipakai untuk menabung. Setelah kami pelajari [pasar], bukan salah konsumen [kalau tidak punya rekening bank], tapi mekanisme perbankan yang tanpa sadar meng-exclude mereka,” paparnya.

Di samping itu, ujarnya, lebih dulu meluncur ke pasar tidak serta-merta akan membuat pemain bank digital memenangkan pasar. Ia menekankan pada pemanfaatan momentum sebagai aspek penting menghadirkan layanan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, pandemi Covid-19 memberikan dorongan besar bagi BNC untuk mendigitalisasi layanan perbankan, tetapi dengan konsep berbeda.

Gamifikasi pada banking

Untuk menjadi game changer, Tjandra meyakini harus datang dengan konsep berbeda dari kebanyakan bank digital di Indonesia. Dalam wawancara terdahulu dengan DailySocial.id, ia juga mengungkap hal yang sama di mana layanannya harus dapat relevan dengan keseharian masyarakat.

Ada dua hal yang ia soroti. Pertama, umumnya orang mengakses aplikasi banking hanya saat ingin bertransaksi atau mengecek uang masuk, tidak ada aktivitas lagi di luar itu. Untuk melekatkan aplikasinya dengan keseharian pengguna, Neobank menyematkan fitur gamifikasi. Kedua, mereka punya fitur chat untuk memudahkan interaksi antarpengguna.

“Lewat gamifikasi ini, pengguna bisa menghasilkan koin dan dapat ditukar dengan tambahan suku bunga, uang cash, cashback top up. Dengan begitu, fitur-fitur kami tak cuma sekadar finansial saja. Kami tetap sebuah bank tetapi kami menawarkan cara baru,” tuturnya.

Dengan konsep gamifikasi ini, Neobank berhasil mengantongi sebanyak 20 juta unduhan aplikasi, dengan 17,4 juta di antaranya merupakan pengguna aktif.

Keuntungan bank digital

BNC diklaim sebagai bank yang berani menawarkan bunga deposit tertinggi di Indonesia dengan kisaran 8% per tahun. Apa alasan BNC di balik langkah berani ini?

Menurut Tjandra, menjadi bank digital memungkinkan perusahaan untuk menghemat dan meningkatkan efisiensi biaya pada komponen tertentu. Berhubung Neobank meluncur ketika pandemi Covid-19, perusahaan dapat mengurangi sarana fisik (physical presence) karena fungsi kantor cabang menjadi kurang berguna. Alhasil, ada penghematan pada biaya operasional.

“Karena kami transformasi dari fisik menjadi digital, biaya [operasional] pun turun. Saat itu kami punya dua pilihan; apakah [penghematan biaya] ini kami kantongi saja sehingga kami bisa profitable, atau [biaya] ini dikembalikan ke customer? Kami ambil opsi kedua.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

CT Tunjuk Indra Utoyo untuk Memimpin Allo Bank

Konglomerat sekaligus pemilik CT Corp Chairul Tanjung resmi mengumumkan Indra Utoyo sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Tbk (IDX: BBHI). Indra Utoyo dipercaya untuk membawa Allo Bank bersaing di industri bank digital Indonesia.

Penunjukan Indra Utoyo disampaikan CT dalam konferensi pers, dan baru disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang juga diselenggarakan pada hari yang sama, Kamis (19/5).

Seperti diketahui, Indra Utoyo bukanlah sosok asing lagi industri telekomunikasi dan perbankan. Ia merupakan tokoh penting dan telah meninggalkan legacy signifikan pada transformasi digital dua perusahaan besar milik BUMN, yakni Telkom dan BRI.

Di Telkom, Indra berkarier selama 17 tahun dengan posisi terakhirnya sebagai Chief Innovation and Strategy Officer (CSO). Ia juga pelopor program Indigo Incubator yang meluncur pada 2016. Sementara di BRI, Indra menjabat sebagai Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi.

Melalui Allo Bank, Indra memiliki misi untuk membangun kapabilitas dan talent digital serta teknologi data sehingga dapat menghadirkan customer experience yang lebih personalized dan lekat dengan pengguna.

“Begitu juga dengan visi seperti disampaikan Pak CT, Allo Bank ingin dapat berkembang melalui ekosistem dan berkolaborasi dengan cepat dan aman. Secara bertahap, kami akan menghubungkan Allo Bank dengan ekosistem di bawah CT Corp nantinya, baru berkolaborasi dengan partner lain,” tutur Indra usai konferensi pers.

Sebagai informasi, CT mencaplok Allo Bank (sebelumnya bernama Bank Harda Internasional) dengan mengambil alih sahamnya sebesar 73,71% pada akhir 2020. Kemudian, Allo Bank melakukan right issue yang melibatkan perusahaan digital seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka.

Target Allo Bank

Lebih lanjut, CT mengatakan aplikasi Allo Bank akan resmi mengudara pada Jumat (20/5). Ia menargetkan dapat mengantongi satu juta pengguna dalam satu minggu dan sepuluh juta dalam tahun pertamanya.

Untuk mencapai target tersebut, CT bilang akan memanfaatkan kekuatan ekosistem yang dimilikinya. Saat ini, CT Corp punya tiga unit bisnis besar yang terdiri dari Mega Corp (keuangan), Trans Media (media), dan Trans Corp (fashion, ritel, F&B, hospitality, dll).

Ini pun belum termasuk dengan ekosistem dari mitra strategisnya, seperti Bukalapak, Carro, dan Traveloka. Namun, integrasi dan kolaborasi dengan mitra strategis akan dilakukan secara bertahap.

“Kami percaya [dengan strategi] O plus O atau Offline plus Online–bukan O2O ya–sebagai sebuah keniscayaan. Semakin ke sini pasar tak cuma ingin jumlah customer saja, tetapi juga [startupnya] bisa profitable. Maka itu, kami terbuka terhadap kolaborasi untuk memperkuat ekosistem. Kami ingin menjadi layanan yang inklusif,” ujarnya.

Adapun, CT menyebut layanan pinjaman sebagai salah satu strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan Allo Bank. Pengguna nantinya dapat mengajukan pinjaman di aplikasi Allo Bank, yakni Paylater dan Instant Cash dengan limit hingga Rp100 juta.

“Saat ini kami belum fokus di fee based karena masih menggratiskan [biaya], tidak ada iuran bulanan. Tentu kami pikirkan strategi untuk dapat fee based dari sumber lain. Misal, Paylater tidak ada bunga, tapi ada fee based berupa biaya administrasi. Semua ada hitungannya. Jadi kami incar pertumbuhan signifikan dari produk pinjaman,” tuturnya.

Bank digital

Fenomena bank digital di Indonesia masih terus bergulir. Setelah Bank Jago, BNC, Seabank, dan BCA Digital, pasar akan menantikan beberapa pemain dengan identitas/wajah baru yang diyakini akan masuk ke bank digital maupun neobank.

Dalam catatan kami, BNI tengah merampungkan akuisisinya terhadap Bank Mayora. BNI menggandeng Sea Group, induk Shopee, sebagai mitra untuk menyusun model bisnis dan merancang infrastruktur IT.

Tak hanya bank besar, akuisisi bank kecil ini juga dilakukan oleh startup fintech. baru-baru ini, Investree juga mengumumkan akuisisi saham minoritas di Amar Bank sebesar 18,84% beberapa waktu lalu. Aksi korporasi juga dilakukan Grup Modalku bersama Carro untuk berinvestasi saham (co-investment) di Bank Index.

Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa aksi akuisisi bank kecil memungkinkan upaya rebranding dengan lebih mudah karena bank kecil tidak memiliki infrastruktur, kantor cabang, dan nasabah yang besar.

Dari sudut pandang pelaku fintech, akuisisi bank mini memungkinkan mereka untuk menawarkan plafon pinjaman yang lebih tinggi kepada nasabah dari batasan pinjaman fintech lending dengan maksimum sebesar Rp2 miliar.

Application Information Will Show Up Here