Super App Terkini: Masih Soal Gojek vs Grab

Super app kini jadi terminologi yang makin akrab didengar. Dua pesohornya, Gojek dan Grab, terus kampanyekan jadi aplikasi yang paling super. Keduanya memang bersaing keras (secara langsung) di hampir semua lini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di cakupan regional. Dengan status valuasi yang sama-sama “decacorn”, tak ayal pangsa pasar yang ditargetkan cukup ambisius.

Berikut ini cakupan bisnis terkini dari kedua layanan:

Cakupan Layanan Grab dan Gojek di Asia Tenggara

Grab memang cenderung lebih unggul terkait luasan cakupan. Mereka mulai ekspansi sudah sejak tahun 2014 – termasuk ke Indonesia. Sementara Gojek sendiri baru memulai ekspansi regional mereka di pertengahan tahun 2018. Ditinjau dari jenis layanan, yang terlengkap memang di pasar Indonesia. Kelengkapan layanan tersebut yang mendorong julukan super app tadi dibubuhkan.

Menurut data App Annie, per Juni 2020 aplikasi Grab sudah diunduh 187 juta pengguna, sementara Gojek 170 juta pengguna. Basis pengguna terbesarnya masih di Indonesia. Untuk Grab di kisaran 66%, sementara Gojek 90%.

Sebelumnya Gojek juga meluncurkan aplikasi terpisah untuk ekspansinya di luar Indonesia. Mulai bulan ini mereka mulai menyatukan aplikasi dan brand menjadi Gojek – sudah dimulai untuk layanan di Vietnam dengan mengubah Go-Viet menjadi Gojek. GET di Thailand juga akan menyusul dalam waktu dekat.

Laporan terbaru yang dirilis investment bank China Renaissance merangkum sejumlah capaian dan strategi bisnis Gojek dan Grab. Salah satunya terkait dengan data monthly active users. Data MAU Gojek saat ini sudah mencapai 36 juta pengguna di empat negara, sementara Grab tidak membeberkan datanya. Riset tersebut juga mengalkulasi total addressable market untuk layanan ride-hailing tahun ini akan mencapai $25 miliar.

Perbandingan Bisnis Gojek dan Grab

Strategi menuju profitabilitas

Pandemi Covid-19 jelas memberikan dampak signifikan terhadap bisnis rid hailing. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan DailySocial, tim internasional mereka mengonfirmasi hal tersebut. Pun demikian untuk Grab. Untuk efisiensi operasional bisnis, kedua perusahaan sempat melakukan layoff pada bulan Juni lalu. Grab merumahkan 5% pegawainya, setara 360 orang. Sementara Gojek merumahkan 9% dari total pegawainya setara 430 orang.

Meskipun demikian platform super app ini masih terus bertahan, karena area bisnis lainnya cenderung berpotensi terus meningkat, termasuk saat pandemi. Merujuk pada data-data bisnis yang ada, China Renaissance optimis mengatakan bahwa layanan food delivery dan e-wallet berkemungkinan besar menopang strategi keberlanjutan super app. Monetisasi dengan jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada dua fitur tersebut.

Pertama soal food delivery. Menurut pengukuran pasar, bisnis ini berpotensi menghadirkan hingga $20 miliar tiap tahunnya. Dengan asumsi masing-masing super app mampu menguasai 5% dari pasar, minimal mereka bisa membukukan pendapatan $1 miliar tiap tahunnya dari bisnis ini. Grab pernah membeberkan revenue untuk di lini pesan antar makanan. Tahun 2017 mereka sudah membukukan $2 miliar dan bertumbuh menjadi $5 miliar di tahun 2019.

TAM Food Delivery in SEA

Di awal tahun ini, Gojek pun sudah sesumbar mengenai strategi membawa GoFood ke arah profit. Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value, dan sekarang revenue.

Melihat bisnis makanan yang berpotensi hasilkan banyak cuan, berbagai inisiatif pun digencarkan. Salah satunya dengan pengembangan cloud kitchen untuk membantu para mitra dapat secara efisien memproduksi dan menyuguhkan produk. Baik Grab dan Gojek terus memperluas cloud kitchen sebagai “dapur bersama” yang dapat diakses mitra UKM penjual makanan. Di dalamnya terdapat kedai-kedai yang hanya melayani pembelian via pemesanan di GrabFood atau GoFood.

Dompet digital jadi sumber profit berikutnya

Perjalanan super app dilalui dengan beberapa fase: akuisisi pengguna, akuisisi mitra, dan perluasan produk. Fase pertama telah dilalui dengan sukses. Jutaan mitra pengemudi yang tersebar di berbagai kota menjadi modal meyakinkan pengguna terkait keandalan dan ketersediaan layanan. Fase kedua mencatatkan capaian yang sama. Pandemi turut mendorong secara signifikan adopsi layanan pesan antar makanan dan grocery.

Lantas fase ketiga tengah dimaksimalkan masing-masing pemain. Di Indonesia, GoPay menjadi platform pembayaran yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, bersaing ketat dengan Ovo yang kini diaplikasikan Grab (juga Tokopedia dan beberapa layanan lainnya). Jelas keberadaannya memberikan dampak besar bagi bisnis masing-masing perusahaan. Sistem pembayaran menjadi penghubung antar pelaku di dalam ekosistem aplikasi: konsumen, mitra pengemudi, dan merchant.

Superapp development phase

Kondisi ini sekaligus membuka peluang para mitra dan merchant untuk mendapatkan akses finansial yang lebih layak. Platform fintech seperti dompet digital diyakini dapat menjembatani celah yang ada, termasuk menghubungkan mereka dengan berbagai produk finansial (transfer, pinjaman, investasi).

Beberapa indikasi mengarah ke sana, termasuk keseriusan Grab melalui unit GrabFinancial. GoPay sendiri disebut sudah mencapai valuasi unicorn.

Fase berikutnya: integrasi

Prinsip super app seperti “harus menjadi yang paling lengkap” membuat Gojek dan Grab berlomba-lomba menyuguhkan berbagai layanan yang relevan. Menambahkan layanan tidak berarti harus mengembangkan semuanya sendiri. Untuk layanan telemedicine, Gojek menggandeng Halodoc, sementara Grab bersama Ping An Good Doctor. Pun untuk layanan lain, seperti insurtech, lending, hingga OTA yang terintegrasi dengan platform pihak ketiga.

Dibutuhkan unit-unit bisnis yang memungkinkan perusahaan terhubung dengan pemain terkait. Strateginya pun serupa, mulai dari mengembangkan unit ventura, program akselerasi, hingga akuisisi.

Persaingan ketat seperti ini sejauh ini dianggap bagus untuk pembentukan pasar dan seringkali menguntungkan konsumen. Sempat tersiar bahwa kedua super app ini akan melakukan merger, namun tampaknya masih menjadi wacana.

Daftar Integrasi Gojek dan Grab

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Potensi Startup “Unicorn” Menelurkan Anak Perusahaan dengan Valuasi Tinggi

GoPay dikabarkan telah menyandang gelar “unicorn”. Hal ini didorong filing baru perusahaan yang pertama kali dirilis DealStreetAsia yang menyebutkan valuasi pre-money setidaknya mencapai $4 miliar. Sumber kami memastikan bahwa ada porsi pendanaan Seri F Gojek (termasuk dari Facebook dan PayPal) yang masuk secara langsung ke GoPay.

Menurut filing tersebut Gojek dikabarkan masih memiliki sekitar 70-an% saham GoPay, sementara sisanya sudah dimiliki pihak eksternal. Pihak GoPay sendiri kepada DailySocial menyatakan tidak mengomentari rumor di pasar.

Sebelumnya, platform video on-demand GoPlay, anak perusahaan Gojek yang lain, juga telah mendapatkan pendanaan secara independen.

Tak hanya Gojek

Startup unicorn lokal lain juga mengelola anak perusahaan untuk memperluas ekosistem bisnisnya. Traveloka gesit menggarap bisnis finansial sejak awal tahun 2019 lalu. Pesatnya pertumbuhan produk paylater mendorong perusahaan merencanakan berbagai skema baru, termasuk mengoperasikan perusahaan multifinance sendiri sebagai mitra lender, yakni PT Caturnusa Sejahtera Finance.

Caturnusa adalah rebranding dari PT Malacca Trust Finance, perusahaan finansial besutan PT Batavia Prosperindo Finance Tbk yang dijual ke PT Hermes Global Ventures. Hermes Global diketahui memiliki afiliasi dengan Traveloka.

Strategi tersebut memang terbukti sukses sebelum pandemi melanda. Berbekal statistik transaksi yang ada, Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan percaya diri untuk membawa unit finansial perusahaan menjadi unicorn di tahun 2020. Sayangnya Covid-19 memberikan tekanan bisnis yang sangat besar di segmen travel, sehingga banyak penyesuaian yang harus dilakukan perusahaan di sektor ini, termasuk Traveloka.

Startup unicorn lain, Shopee (kendati tidak sepenuhnya berbasis di Indonesia), juga menempuh metode serupa. Demi mempermudah konsumen bertransaksi, Shopee mengembangkan produk ShopeePay dan ShopeePayLater.

Unit finansial jadi kunci

Jika melihat ulasan di atas, bisa ditarik benang merah bahwa unit finansial menjadi perhatian penting masing-masing perusahaan. Unit tersebut menopang transaksi ke layanan utama dengan nominal yang sangat besar. Para perusahaan cenderung mulai memilih pengelolaan arus kas dilakukan sendiri – melalui anak usahanya, alih-alih membiarkan transaksi terlalu banyak melewati platform di luar ekosistem.

Keberhasilan Ovo menjadi startup unicorn melegitimasi bahwa bisnis pembayaran digital memiliki peluang besar di Indonesia – Ovo sendiri dipilih untuk mendukung transaksi di Grab dan Tokopedia (dan sejumlah aplikasi lain).

Menurut Fintech Report 2019, empat besat platform pembayaran digital terpopuler diduduki oleh Ovo, GoPay, Dana, dan LinkAja. Sementara paylater banyak digunakan di Ovo, Gojek, Traveloka, dan Shopee.

Facebook and PayPal Invest in Gojek

Gojek, today (03/6) announces Facebook and PayPal as the new investors in the latest round with undisclosed nominal. Google and Tencent also pour their investment; previously they had joined the previous round in 2018.

Previously noted, Gojek’s latest round was a Series F. Various investors, especially global corporations, had taken part. This fund is focused on expanding activities and tightening the company’s competitive value.

In their official statement, the two investors want to support Gojek’s mission, through GoPay, in driving digital economic growth in Southeast Asia, with a focus on payment and financial services. It is considering most of SMEs in this region rely on cash in their transactions.

More SMEs are targeted towards digitalization. It starts from small and medium-sized businesses that operate in roadside shops, also large-scale businesses with objectives to build up their digital payment infrastructure.

The four investors, which in fact are global technology companies, will synergize all of their resources, therefore, the mission can be launched immediately..

Gojek’s Co-CEO Andre Soelistyo said Facebook, PayPal, Google, and Tencent are some kind of acknowledgment as the most innovative technology companies in the world saw Gojek’s positive impact on Indonesia and Southeast Asia.

“With this collaboration, we have the opportunity to achieve something truly unique in line with our efforts to support more digitalization in the business world and ensure millions of customers benefit from the digital economy,” he said, Wednesday (3/6).

The statement also made by the Facebook representative. WhatsApp’s COO Matt Idema said; Gojek, WhatsApp and Facebook are important services in Indonesia. “Through collaboration, we can help millions of SMEs and their customers to join the largest digital economic community in Southeast Asia,” he said.

As a highlight, Gojek was the first Indonesian company to receive investment from Facebook. The company wants to create business opportunities in Indonesia, including through the widely used instant messaging service, WhatsApp.

Meanwhile, PayPal will have a collaboration with Gojek. PayPal will open its network which has reached 25 million merchants worldwide.

Head of Corporate Development and Ventures for APAC PayPal, Farhad Maleki added, “Southeast Asia is at a very crucial point in the process of digital adoption which can create new opportunities to provide financial services to unbanked or underbanked consumers and service providers.”

“We are very excited about having a strategic connection with Gojek to expand access and provide new experiences for us in this very dynamic market and throughout the world,” he continued.

Since the establishment in 2015, Gojek claims to have successfully helped hundreds of thousands of merchants to digitize and give them access to more than 170 million Gojek users throughout Southeast Asia. GoPay alone has facilitated billions of transactions every year and has become one of the largest digital wallet services in Indonesia.

The achievement majorly came from the GoFood food delivery service line and the expansion of GoPay coverage in other sectors, both inside and outside the Gojek ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Facebook dan PayPal Bergabung sebagai Investor Baru Gojek

Hari ini (03/6) Gojek mengumumkan Facebook dan PayPal menjadi investor terbaru dalam penggalangan dana di putaran terkini dengan nominal dirahasiakan. Google dan Tencent juga turut menambah investasinya; sebelumnya mereka sudah tergabung dalam putaran sebelumnya di tahun 2018.

Diketahui sebelumnya, putaran terakhir yang sedang digalakkan Gojek adalah pendanaan seri F. Berbagai investor, khususnya dari kalangan korporasi global, telah bergabung. Dana ini difokuskan untuk kegiatan ekspansi dan penguatan nilai kompetitif perusahaan.

Dalam keterangan resminya, kedua investor ini ingin mendukung misi Gojek, melalui GoPay, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara, dengan fokus pada layanan pembayaran dan keuangan. Mengingat, mayoritas UKM di wilayah ini masih mengandalkan uang tunai dalam bertransaksi.

Ditargetkan lebih banyak UKM menuju digitalisasi. Mulai dari usaha kecil dan menengah yang beroperasi di toko-toko pinggir jalan, hingga bisnis berskala besar yang ingin memperkuat infrastruktur pembayaran digital mereka.

Empat investor tersebut, yang notabenenya adalah perusahaan teknologi global, akan mensinergikan seluruh sumber dayanya agar misi tersebut dapat segera terealisasi.

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo mengatakan Facebook, PayPal, Google, dan Tencent merupakan pengakuan di mana perusahaan teknologi paling inovatif di dunia melihat dampak positif Gojek terhadap Indonesia dan Asia Tenggara.

“Dengan bekerja sama, kami memiliki kesempatan untuk mencapai sesuatu yang betul-betul unik seiring dengan upaya kami mendukung lebih banyak digitalisasi di dunia usaha dan memastikan jutaan pelanggan mendapat manfaat dari ekonomi digital,” ujarnya, Rabu (3/6).

Pernyataan juga datang dari perwakilan Facebook. COO WhatsApp Matt Idema mengatakan; Gojek, WhatsApp, dan Facebook adalah layanan penting di Indonesia. “Melalui kerja sama, kita bisa bantu jutaan UMKM dan pelanggannya untuk bergabung di komunitas ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara,” ucapnya.

Ditekankan pula, bahwa Gojek ada perusahaan Indonesia pertama yang menerima investasi dari Facebook. Perusahaan ini ingin menciptakan peluang bisnis di Indonesia, termasuk melalui layanan instant messaging yang sudah digunakan secara luas yakni WhatsApp.

Sementara itu, PayPal akan berkolaborasi dengan Gojek. PayPal akan membuka jaringannya yang sudah mencapai 25 juta merchant di seluruh dunia.

Head of Corporate Development and Ventures for APAC PayPal Farhad Maleki menambahkan, “Asia Tenggara berada dalam di titik yang sangat krusial dalam proses adopsi digital yang dapat menciptakan kesempatan baru untuk memberikan layanan finansial kepada konsumen maupun penyedia layanan yang selama ini belum terhubung ke layanan perbankan.”

“Kami sangat bersemangat dalam memasuki sebuah hubungan strategis dengan Gojek untuk memperluas akses dan memberikan pengalaman baru bagi kami di pasar yang sangat dinamis ini dan di seluruh dunia,” sambungnya.

Sejak dirilis pada 2015, Gojek mengklaim telah berhasil membantu ratusan ribu merchant untuk melakukan digitalisasi dan memberikan mereka akses kepada lebih dari 170 juta pengguna Gojek di seluruh Asia Tenggara. GoPay sendiri telah memfasilitasi miliaran transaksi setiap tahun dan menjadi salah satu layanan dompet digital terbesar di Indonesia.

Sebagian besar pencapaian ini datang dari lini layanan pesan antar makanan GoFood dan perluasan cakupan GoPay di sektor lain, baik di dalam maupun di luar ekosistem Gojek.

Application Information Will Show Up Here

Haryati Lawidjaja: LinkAja to Focus on Daily Essential Demand

Based on the Shareholder Decree dated April 29, 2020, Haryati Lawidjaja is officially appointed as LinkAja’s President Director (CEO). Since her involvement in June 2019, she previously served as COO and Acting Officer. The current CEO replaces Danu Wicaksono who has sailed to Good Doctor Indonesia.

The task is certainly not easy amid the fierce competition in the digital e-money platform in Indonesia. In her interview with DailySocial, Haryati conveyed his vision and strategy for the company.

“I, along with the best talents of LinkAja, are to focus on encouraging financial and economic inclusion through the development of a digital financial ecosystem that serves the needs of the community & SMEs in Indonesia […] We are optimistic that in 2024 LinkAja as one of the catalysts of the Non-Cash National Movement can help the government achieved 90 percent national financial inclusion,” she said.

Tighten Collaboration

The strategy she brought to strengthen LinkAja’s position is through strategic collaboration with various parties, both banking and non-banking institutions while continuing to pursue product innovation. The collaboration involves various aspects of the national economic chain, including the government.

“We collaborate with local governments through various programs, including digitalization of 451 traditional markets throughout Indonesia, retribution in 34 cities, more than 200 thousand local merchants (UKM) development, and simple payment in 94 local transportation,” Haryati added.

She added, since the launch, the service focused on providing digital financial services for the middle class/aspirants and SMEs. This is what is claimed to distinguish LinkAja with similar platforms.

“LinkAja focuses on meeting people’s essential needs, from e-commerce, communication, travel, health, insurance, investment, donations, entertainment, fuel purchases, bill payments, to various government programs such as social rock distribution and ultra micro credit; to traditional markets,” Haryati explained.

Haryati Lawidjaja to focus on collaboration and education as business strategy / LinkAja
Haryati Lawidjaja: Collaboration and education as the main strategy / LinkAja

Business growth

Public education regarding digital financial platforms is still the homework of every fintech player in Indonesia. LinkAja is quite aware. The existence of cross-sector cooperation is expected to have a significant impact to help companies educate users.

Succesful user education, according to Haryati, has a direct impact on increasing business traction, “This has proven by a 5-fold increase in the number of transactions from operation in February 2019 to the end of 2019. As many as 83% of LinkAja users are spread outside Jakarta, with 40 % of users are outside of Java, such as cities in Sumatra and Sulawesi. ”

“To date, we have more than 45 million users spread all over Indonesia, with a predominance of ages 25-35 years (as of Q1 2020),” Haryati explained.

Previously, in December 2019, LinkAja appointed Ikhsan Ramdan as CFO. One of its focus is to raise Series B in 2020. When we tried to confirm the plan, Haryati was reluctant to comment.

Related to the cooperation plan with Facebook to bring Facebook Pay in Indonesia, he also could not convey the details. As previously known, Facebook Pay is to have maneuver in Indonesia by launching the funds transfer feature through Facebook, Messenger, and WhatsApp platforms. Facebook is said to be in the middle of negotiating with regulators, while GoPay, LinkAja, and Ovo are said to be engaged as strategic partners.

Expansion plan

This year, LinkAja is still focused on the domestic market by continuing to open opportunities for strategic cooperation with regional and global players to expand its products.

“One of the obstacles in the electronic money platform, including LinkAja, is the limited access to financial services, especially for people in remote areas. Therefore, we are currently focused on continuing to educate continuously and provide easy access to electronic payments, especially for the ultra micro-segment and mass market in remote areas. ”

On a regional scale, he continued, LinkAja is the only electronic money in Indonesia that serves remittances from Indonesian Migrant Workers (PMI) in Singapore who want to send money to families in the country.

Recently, the Sharia feature was launched and is expected to be able to acquire 1 million users. The thing that distinguishes this sharia feature from conventional services is the fund deposit institution (floating fund) using sharia bank services.

 

LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja
LinkAja sharia is launched in app: in collaboration with sharia financial institution / LinkAja

Future trends

After this pandemic, Haryati was confident that digital services would be well impacted on user increase. The new normal resulted in changes in people’s behavior which in turn accelerated digitalization in various industrial sectors. Thus, this will expand and accelerate the need for digital financial education and access to digital finance in the community.

“For example the digitalization of traditional markets, which is a challenge for LinkAja to continue to innovate products, as well as education as soon as possible so that they can adapt and provide meaningful solutions to these new normal conditions.”

Haryati also said that people will be increasingly accustomed to digital transactions. With the inclusion level and also the increasing public financial literacy, the need for various transactions will increase. “We are optimistic that LinkAja, which is majorly-owned by SOEs, is operated by the best national workforce, and infrastructure located in Indonesia will soon become a national champion in the field of digital financial services.”

“By delivering the best talents in the digital industry, we will continue to improve the quality of services, innovate to build and develop services and ecosystems that are relevant to the Indonesian people. Increasing the relevance of LinkAja, especially the middle class/aspirants, mass and ultra micro,” she concluded.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Haryati Lawidjaja: LinkAja Fokus pada Pemenuhan Kebutuhan Esensial

Berdasarkan Surat Keputusan Pemegang Saham tertanggal 29 April 2020, Haryati Lawidjaja resmi ditunjuk sebagai Direktur Utama (CEO) LinkAja. Bergabung sejak Juni 2019, ia sebelumnya menjabat sebagai COO dan Plt. CEO menggantikan Danu Wicaksono yang kini berlabuh di Good Doctor Indonesia.

Tugas ini tentu tidak mudah di tengah persaingan ketat platform digital e-money di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Haryati menyampaikan visi dan strateginya untuk perusahaan.

“Saya bersama talenta terbaik LinkAja fokus untuk mendorong inklusi keuangan dan ekonomi melalui pembangunan ekosistem keuangan digital yang melayani kebutuhan masyarakat & UKM di Indonesia […] Kami optimistis di tahun 2024 LinkAja sebagai salah satu katalis Gerakan Nasional Non-Tunai dapat turut serta membantu pemerintah mencapai inklusi keuangan nasional sebesar 90 persen,” ujarnya.

Kuatkan kolaborasi

Strategi yang digalakkannya untuk memperkuat posisi adalah melalui kerja sama strategis dengan berbagai pihak, baik dengan lembaga perbankan maupun non-perbankan, dengan tetap terus mengupayakan inovasi produk. Kerja sama yang dijalin melibatkan berbagai aspek dalam roda perekonomian nasional, termasuk pemerintahan.

“Kami berkolaborasi dengan pemerintah daerah melalui berbagai program, di antaranya digitalisasi 451 pasar tradisional di seluruh Indonesia, layanan retribusi di 34 kota, pengembangan lebih dari 200 ribu merchant lokal (UKM), hingga kemudahan pembayaran di 94 transportasi lokal,” imbuh Haryati.

Ia menambahkan, sejak awal diluncurkan layanannya fokus pada penyediaan layanan keuangan digital untuk kelas menengah/aspiran dan para pelaku UKM. Inilah yang diklaim membedakan LinkAja dengan platform sejenis.

“LinkAja fokus pada pemenuhan kebutuhan esensial masyarakat, mulai e-commerce, komunikasi, perjalanan, kesehatan, asuransi, investasi, donasi, hiburan, pembelian BBM, pembayaran tagihan, hingga berbagai program pemerintah seperti penyaluran batuan sosial dan kredit ultra mikro; hingga pasar tradisional,” terang Haryati.

Haryati Lawidjaja masih fokuskan kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi bisnisnya / LinkAja
Haryati Lawidjaja: kolaborasi dan edukasi pengguna jadi strategi utama / LinkAja

Perkembangan bisnis

Edukasi masyarakat terkait platform keuangan digital masih menjadi pekerjaan rumah setiap pemain fintech di Indonesia. Hal yang sama dirasakan LinkAja. Adanya kerja sama lintas sektor diharapkan dapat memberikan dampak signifikan untuk membantu perusahaan dalam mengedukasi pengguna.

Keberhasilan edukasi pengguna ini, menurut Haryati, berdampak langsung pada peningkatan traksi bisnis, “Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah transaksi sebanyak 5 kali lipat sejak beroperasi pada bulan Februari 2019 hingga akhir tahun 2019. Sebanyak 83% pengguna LinkAja tersebar di luar Jakarta, dengan 40% pengguna di antaranya berada di luar pulau Jawa seperti kota-kota di Sumatra dan Sulawesi.”

“Saat ini, kami telah memiliki lebih dari 45 juta pengguna yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan dominasi usia berusia 25 – 35 tahun (per Q1 2020),” terang Haryati.

Sebelumnya, pada Desember 2019 lalu, LinkAja menunjuk Ikhsan Ramdan sebagai CFO. Salah satu fokusnya untuk melakukan fundraising Seri B di tahun 2020. Ketika kami menanyakan perkembangan rencana tersebut, Haryati enggan memberikan komentar.

Kemudian terkait rencana kerja samanya dengan Facebook untuk membawa Facebook Pay di Indonesia, ia juga belum bisa menyampaikan detail. Seperti diketahui sebelumnya, Facebook Pay ingin bermanuver di Indonesia dengan menghadirkan fitur kirim dana melalui platform Facebook, Messenger, hingga WhatsApp. Pihak Facebook disebut tengah bernegosiasi dengan regulator, sedangkan GoPay, LinkAja, dan Ovo disebut digandeng jadi mitra strategis.

Rencana ekspansi

Untuk tahun ini, LinkAja masih fokus pada pasar domestik dengan tetap membuka kesempatan kerja sama strategis dengan pemain regional dan global untuk mengekspansikan produknya.

“Salah satu kendala platform uang elektronik, termasuk LinkAja, adalah akses terhadap layanan keuangan yang masih terbatas, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah dan pelosok. Untuk itu, saat ini kami fokus untuk terus melakukan edukasi berkesinambungan dan menyediakan kemudahan akses terhadap pembayaran elektronik, terutama untuk segmen ultra mikro dan mass market di pelosok.”

Di skala regional, sambungnya, LinkAja merupakan satu-satunya uang elektronik di Indonesia yang melayani remitansi dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Singapura yang ingin mengirimkan uang ke keluarga di tanah air.

Belum lama ini, fitur Syariah juga diresmikan perusahaan dan diharapkan bisa merangkul 1 juta pengguna.Hal yang membedakan fitur syariah ini dengan layanan konvensional adalah institusi penyimpanan dana (floating fund) memakai jasa bank syariah.

LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja
LinkAja syariah sudah digulirkan di aplikasi; jalin kerja sama dengan institusi keuangan syariah / LinkAja

Tren ke depan

Pasca pandemi ini, Haryati cukup percaya diri bahwa layanan digital akan terdampak baik pada peningkatan penggunaan layanan. Kondisi new normal mengakibatkan perubahan perilaku masyarakat yang pada akhirnya mempercepat digitalisasi di berbagai sektor industri. Dengan demikian, hal ini akan memperluas dan mempercepat kebutuhan edukasi keuangan digital dan akses keuangan digital di tengah masyarakat.

“Contohnya digitalisasi pasar tradisional, yang menjadi tantangan bagi LinkAja untuk terus melakukan inovasi produk, maupun edukasi secepat mungkin agar bisa beradaptasi dan memberi solusi berarti pada kondisi new normal ini.”

Haryati juga menyampaikan, masyarakat akan semakin terbiasa dengan transaksi digital. Dengan tingkat inklusi dan juga literasi keuangan masyarakat yang makin meningkat, kebutuhan terhadap beragam transaksi akan meningkat. “Kami optimistis bahwa LinkAja, yang dimiliki secara mayoritas oleh BUMN, dioperasikan oleh tenaga kerja nasional terbaik, serta infrastruktur yang berlokasi di Indonesia akan segera menjadi national champion di bidang layanan keuangan digital.”

“Dengan melahirkan talenta-talenta terbaik di industri digital, kami akan terus meningkatkan  kualitas pelayanan, berinovasi untuk membangun dan mengembangkan layanan dan ekosistem yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Meningkatkan relevansi LinkAja terhadap masyarakat Indonesia terutama kalangan menengah/aspirant, massal dan ultra mikro,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Dana Introduces Home Shopping Feature, Adjusting to the Pandemic Situation

Dana digital payment platform has introduced a home shopping service that allows users to shop for goods, food and beverages from merchants through the application. Furthermore, the order will be delivered directly to the designated address. This service is one of the initiatives in response to physical distancing and PSBB policies that directly impact sellers or merchants.

“One of the most impacted by the pandemic is the food and beverage industry which experienced a very significant decrease in income in almost all locations in Indonesia. Affected parties are include the public as consumers, as well as business people ranging from micro-scale to large scale retail entrepreneurs,” Dana‘s Co-Founder & CEO, Vincent Iswara said.

This feature is designed to connect sellers or merchants with users through WhatsApp instant messaging services. Furthermore, consumers can directly order goods or food from merchants and continue payment transactions using the QRIS Fund.

Some available merchants in the system include Martha Tilaar Shop, Senopati Pharmacy, Bengawan Solo Coffee, Burgreens, Le Viet, Dailybox, Genki Sushi, Momoiro, Bariuma Ramen, Steak 21, Roti O, and several others. DANA also promises to continue improving the list of merchant partners available on this feature.

DANA Home Shopping
Dna Home Shopping

Adjusting to the pandemic situation

What Dana did was a form of business adjustment amid the pandemic. The home shopping feature will not only have an impact on users and merchants, but also the overall Dana service ecosystem.

In Singapore, Google Pay does the same thing. The “Menu Discovery” feature, which is present exclusively in Singapore’s Google Pay, offering a list of merchants selling food stalls available for orders to users.

The strategy of digital payment developers is said to be a realistic strategy. As one of the large-scale e-money users in Indonesia, DANA has not been integrated with the delivery service, while the other two players, Ovo and Gopay have been integrated with GrabFood and GoFood.

Ovo and Cashbac have launched similar innovation amid this pandemic. They offer options for users to do shoping from home. In fact, they didn’t launch exclusive features, only connect users with merchants through digital channels, both communication and payment.

Pandemic will have an impact on many things, including conditions that are often referred to as the new normal. Business reactions or innovations such as DANA may be one of many other forms of adjustment, the objective is to maintain the stability of the current business ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dana Luncurkan Fitur “Home Shopping”, Upaya Penyesuaian di Tengah Pandemi

Platform pembayaran digital Dana meluncurkan layanan home shopping, memungkinkan pengguna berbelanja barang, makanan dan minuman dari merchant melalui aplikasi. Selanjutnya pesanan akan diantarkan langsung ke alamat tujuan. Layanan ini merupakan salah satu inisiatif menanggapi kebijakan physical distancing dan PSBB yang berdampak langsung bagi para penjual atau merchant.

“Salah satu yang paling terdampak oleh pandemi adalah industri makanan dan minuman yang mengalami penurunan pendapatan sangat signifikan hampir di seluruh lokasi di Indonesia. Mereka yang terdampak adalah masyarakat sebagai konsumen, serta para pelaku usaha mulai dari skala mikro hingga pengusaha ritel berskala besar,” terang Co-Founder & CEO Dana Vincent Iswara.

Fitur ini didesain untuk bisa menghubungkan para penjual atau merchant dengan pengguna melalui layanan pesan instan WhatsApp. Selanjutnya konsumen dapat langsung memesan barang atau makanan dari merchant dan melanjutkan transaksi pembayaran menggunakan Dana QRIS.

Adapun beberapa merchant yang sudah tersedia dalam sistem antara lain Martha Tilaar Shop, Apotek Senopati, Bengawan Solo Coffee, Burgreens, Le Viet, Dailybox, Genki Sushi, Momoiro, Bariuma Ramen, Steak 21, Roti O, dan beberapa lainnya. Pihak DANA juga menjanjikan akan terus menambah daftar mitra merchant yang ada pada fitur ini.

DANA Home Shopping
DANA Home Shopping

Menyesuaikan diri menghadapi pandemi

Apa yang dilakukan Dana adalah salah satu bentuk penyesuaian bisnis di tengah pandemi. Kehadiran home shopping ini nantinya tidak hanya akan berdampak pada pengguna dan merchant, tetapi juga ekosistem layanan Dana secara keseluruhan.

Di Singapura, Google Pay melakukan hal yang serupa. Fitur “Menu Discovery” yang hadir eksklusif di Google Pay Singapura tersebut menghadirkan daftar merchant yang menjajakan warung makanan yang juga bisa dipilih atau dipesan penggunanya.

Strategi para pengembang pembayaran digital bisa dibilang jadi strategi yang realistis. Sebagai salah satu e-money yang cukup besar penggunanya di Indonesia sebelumnya hanya DANA yang belum terintegrasi dengan layanan pesan antar, sementara dua pemain lainnya, Ovo dan Gopay sudah terintegrasi dengan GrabFood dan GoFood.

Inovasi di tengah pandemi yang serupa juga dilakukan oleh Ovo dan Cashbac. Mereka menghadirkan pilihan bagi pengguna untuk berbelanja dari rumah. Bedanya keduanya tidak menghadirkan fitur eksklusif tetapi hanya menghubungkan pengguna dengan merchant melalui kanal digital, baik komunikasi maupun pembayaran.

Pandemi akan berdampak pada banyak hal, termasuk kondisi yang banyak disebut sebagai new normal. Reaksi atau inovasi bisnis seperti yang Dana ini mungkin adalah satu dari banyak bentuk penyesuaian lainnya, tujuannya tentu untuk tetap menjaga stabilitas ekosistem bisnis yang sudah dibangun selama ini.

Application Information Will Show Up Here

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.

XL Axiata to Shut Down XL Tunai E-Money Service

XL Axiata (XL) cellular operator is to shut down XL Tunai e-money service after eight years of operation. This decision was taken as the difficulty to grow amid intense competition with other digital wallet players.

Regarding the shutdown, XL has conducted socialization with its customers via SMS. The written statement: “Dear Customer, your XL Tunai service will be terminated on 28/02/2020 due to your balance at Rp 0”.

Furthermore, another SMS stated: “Dear Customer, we are to re-inform you that XL Tunai-in balance / cash-in has been closed as of 12/02/2020. Your balance can still be used for transactions through *808#”.

A familiar source told DailySocial, XL Axiata’s CEO Dian Siswarini said that the service termination referred to the termination for balance top-up or cash in.

“Termination balance top-up is to stop money circulation. We really plan to shut down XL Tunai, but it can’t just be, because we have to get approval from Bank Indonesia (BI) as the issuer,” Dian said.

There are no further details regarding this shutdown. Dian said that she was still discussing with BI regarding the mechanism of closing its services.

XL Tunai was launched in 2012 and currently has 2 million users. Just like other e-money services, XL Tunai can be used to send and receive funds, pay bills, and buy tickets.

Challenging not to be agnostic

One of the biggest challenges for operators in the e-money business today was to shift banking domination. It’s getting harder when GoPay, OVO, and solutions from digital services increasingly exist.

Operators are considered to have failed to boost the users’ growth and e-money transactions due to a lack of merchant inclusiveness and ecosystem. The market share is limited to only customers.

Of the total 56 million XL customers, only 2 million are using XL Tunai. Telkomsel, with the largest customer base of 167 million, only acquired 20 million users – only half of them are active in transactions.

It’s a strategic step when T-cash decided to become an agnostic e-money platform at the end of 2018. It’s intended to become a platform that is free to use by anyone, without having to be a Telkomsel customer. T-cash and server-based e-money services run by state-owned banks have now merged into LinkAja.

Based on the 2019 Fintech Report, GoPay is currently the most used digital wallet of 83.3 percent, followed by OVO (81.4%), DANA (68.2%), and LinkAja (53%).

The fall of cellular operator’s digital business

Since 2018, XL Tunai operations have been transferred to its parent company, Axiata Digital Services. According to the latest news, the transfer was made so that XL could focus on its main business as telecommunications provider.

This is actually a strategy to remain efficient as a group, especially after XL failed to build Elevenia as an e-commerce joint venture with SK Planet. In the end, all of the blue operators’ digital businesses were left entirely to Axiata Group.

“We do not plan to substitute XL Tunai with a similar new service. The new plan [digital business] is actually there, but now it is handled in groups by the holding company,” he explained.

XL is not the only one failed to build a digital business. Indosat Ooredoo experienced the same failure. The company launched Dompetku to be merged into PayPro in the midst of 2017, also closed the Cipika marketplace because it did not want to keep burning money.

Reflecting on the issue above, telecommunications operators actually have a great opportunity to create new revenue from digital business. Operators have a large customer base and extensive network infrastructure. Its position as a telecommunications operator is advantageous because it must stay ahead of technological developments.

On the other hand, operators should move quickly in the face of competition with Over-The-Top (OTT) players. The growth of the telecommunications industry continues to fall and the cellular business is no longer expected. In other words, they must maintain profitability while continuing to build networks.

Although starting to refocus on the cellular as its core business, telecommunications operators still need to prepare themselves for the next 5-10 years to face the digitalization era.

What should be sought together is how the telecommunications industry finds the right business models and strategies in running digital businesses in the future, including finding capable talents to develop digital businesses.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian