iPrice: Pemain E-Commerce Niche Berbenah, Alami Pertumbuhan Pengguna

iPrice kembali mengeluarkan rangkuman mengenai peta persaingan e-commerce di Asia Tenggara. Para pemain besar seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak masih mendominasi trafik, jumlah unduhan, dan pengguna aktif bulanan di daerah Asia Tenggara. Yang cukup menarik melihat pertumbuhan Sorabel, Zilingo, Bhinneka, dan Blanja.

Zilingo dan Sorabel di kuartal kedua 2019 masuk peringkat 10 besar pengguna aktif bulanan di Indonesia, masing-masing menempati posisi sembilan dan sepuluh. Untuk jumlah unduhan, Zilingo dan Sorabel kembali berurutan dalam sepuluh besar. Masing-masing menempati posisi kelima dan keenam. Mengungguli jumlah unduhan Blibli, JD.id, dan Zalora.

Selepas mendapatkan pendanaan Seri D senilai 3 triliun Rupiah, Zilingo gencar menjalankan beberapa starategi untuk menggenjot pertumbuhan. Salah satunya fokus pada segmen B2B melalui ZAM (Zilingo Asia Mall).

Sementara itu Sorabel (dulu Sale Stock) terlihat “aktif” melakukan strategi untuk mendongkrak pertumbuhan, terlibih setelah pendanaan yang didapat. Sorabel juga mulai bereksperimen untuk ekspansi ke regional Asia Tenggara.

Monthly active

Rangkuman iPrice kali ini juga mengungkapkan beberapa data-data menarik, seperti rata-rata kunjungan web bulanan Bhinneka mengalami lonjakan 123% jika dibanding dengan kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan kunjungan web juga didapatkan Blanja. Platform e-commerce “plat merah” ini total kunjungan di kuartal tahun ini atau meningkat 71% dari kuartal sebelumnya. Di periode ini juga pertama kalinya Blanja masuk 10 besar kunjungan terbanyak di Indonesia setelah terakhir kali masuk pemeringkatan yang sama pada kuartal keempat 2017.

Bukalapak Konfirmasi “Perampingan” Jumlah Pegawai

Marketplace bervaluasi di atas $1 miliar Bukalapak mengonfirmasi bahwa memang terjadi perampingan bisnis, yang berdampak pada pengurangan pegawai, untuk mendukung  yang berkelanjutan. Hal tersebut menjawab informasi yang berseliweran di media saat ini, termasuk dari sumber kami yang dikonfirmasi secara terpisah. Meskipun demikian, perusahaan tidak memberikan informasi detail tentang berapa jumlah pegawai yang terdampak dan bagian apa saja yang terkena perampingan.

Kepada DailySocial, Head of Corporate Communications Bukalapak Intan Wibisono mengatakan, “Bukalapak sudah tumbuh sebesar dan secepat ini dalam kurun waktu singkat. Di skala perusahaan seperti ini tentunya kami perlu menata diri dan mulai beroperasi layaknya perusahaan yang sudah dewasa, atau bisa kami sebut sebagai a grown up company, terutama untuk menjamin visi kami untuk terus tumbuh sebagai sustainable e-commerce dalam jangka panjang.

“Tentunya sudah lazim untuk perusahaan manapun melakukan penataan internal secara strategis untuk mendukung implementasi strategi bisnisnya. Demikian pula dengan Bukalapak,” lanjutnya.

Menurut beberapa sumber media, ada ratusan pegawai yang terkena dampak perampingan ini, termasuk kabar penutupan pusat R&D di Medan dan Surabaya. Bukalapak saat ini memiliki sekitar 2000-an pegawai dengan 1100 di antaranya, per Juli 2019, adalah engineer.

Konsep perampingan atau fokus ulang bisnis bukanlah barang baru bagi startup Indonesia. Gojek sebelumnya pernah menutup pusat R&D di Yogyakarta, sementara Sorabel (dulu bernama Sale Stock) dan Berrybenka di tahun 2016 pernah melakukan langkah yang sama. Sampai sekarang perusahaan-perusahaan tersebut tampak baik-baik saja, bahkan mendapatkan pendanaan baru sebagai bukti kepercayaan investor.

Bukalapak tahun ini memprediksi memperoleh annualized GMV hingga $5 miliar (sekitar 70 triliun Rupiah) dan mengklaim laba kotor bulanan naik dua kali lipat ketimbang perolehan bulan Desember 2018.

Kepemilikan terbesar Bukalapak saat ini disebut dipegang oleh Emtek, Ant Financial, dan GIC Singapura.

“Menjadi suatu perusahaan e-commerce berkelanjutan adalah hal penting bagi kami, karena meskipun pertumbuhan GMV adalah metrik penting di sektor e-commerce, perusahaan kami telah melangkah ke tahap selanjutnya dan telah sukses memperoleh peningkatan pendapatan menuju profitabilitas, yang sudah sesuai harapan dan bahkan lebih cepat dibanding ekspektasi kami,” klaim Intan.

Application Information Will Show Up Here

Base Terima Pendanaan Tahap Awal, Kembangkan Platform Digital untuk Produk Kecantikan dan Wellness

Base, startup produk kecantikan dan wellness direct-to-consumer (DTC) mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan. Investasi dipimpin oleh East Ventures dan Skystar Capital. Dana akan digunakan untuk mengejar pertumbuhan konsumen dan merekrut lebih banyak talenta.

Base adalah situs e-commerce kecantikan yang memberikan rekomendasi produk berdasarkan kondisi kulit pengguna. Rekomendasi akan muncul setelah konsumen mengisi seluruh pertanyaan yang ditanyakan. Seluruh produk kecantikan Base dibuat sendiri dengan harga mulai dari Rp98 ribu.

Startup ini baru berusia enam bulan, dipimpin oleh eks Head of Marketing Gojek Yaumi Fauziah Sugiharta yang kini menjabat sebagai Co-Founder dan CEO Base. Awalnya Base berupa blog perawatan kulit sejak 2017, Yaumi aktif menjalin hubungan dengan komunitas lewat akun media sosialnya.

Sejak saat itu, dia menerima banyak pertanyaan dari perempuan Indonesia tentang cara memilih produk perawatan kulit yang tepat untuk mereka. Lantas, ia melihat ada tantangan yang nyata di bisnis tersebut. Bersama CPO Base Ratih Pertama, sebelumnya bekerja sebagai Product Manager DBS Singapura, Yaumi bertekad untuk menyeriusi Base.

“Base lahir untuk menghilangkan kesulitan dalam memilih produk, dengan cara menyederhanakan proses penemuan produk dan mendapatkan produk terpersonalisasi dengan menggunakan teknologi. Konsumen kami bisa mendapat sebuah produk kecantikan dan wellness dengan formula kualitas tinggi, vegan, langsung dari situs Base,” terang Yaumi dalam keterangan resmi.

Ratih menambahkan, dengan basis data yang kuat, Base akan menganalisis bagaimana lingkungan dan gaya hidup bisa mempengaruhi kondisi kulit. Perusahaan bekerja sama dengan laboratorium penelitian dan pengembangan (R&D) di London dan Seoul untuk bangun pengembangan produk dan memproduksinya secara lokal di Jakarta.

Masing-masing perwakilan dari investor turut memberikan tanggapan. Partner dari East Ventures Melisa Irene mengatakan, Base tengah membangun sebuah inovasi penting di industri kecantikan Indonesia dengan memastikan produk-produk perawatan kulit agar tetap relevan dengan konsumen lokal.

Mengutip dari hasil riset, potensi industri kecantikan Indonesia sendiri mencapai $3 milar (sekitar 42 triliun Rupiah) dengan kategori perawatan kulit tumbuh positif di angka 9% pada tahun lalu. Angka ini melebih kategori lain seperti kosmetik.

Hanya saja, faktanya mayoritas pemain penting di pasar lokal dikuasai oleh brand global yang belum bisa memenuhi kebutuhan perawatan kulit perempuan Indonesia yang beragam.

Saat ini Base baru bisa diakses melalui situs desktop/mobile, aplikasi belum tersedia.

Hampir Setahun Kantongi Izin, ShopeePay Masih Belum Jadi Anak Emas di Shopee

Hampir setahun usai mendapatkan lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia, posisi ShopeePay sebagai platform pembayaran di Shopee Indonesia masih belum menjadi anak emas. Saldo ShopeePay tidak menjadi fokus yang ditampilkan di halaman muka, seperti halnya Ovo di Tokopedia atau Dana di Bukalapak, padahal ShopeePay sudah bisa digunakan untuk berbagai pembayaran di ekosistem layanan yang dimiliki oleh Sea Ltd ini.

Head of Government Relations Shopee Indonesia Radityo Triatmojo yang dihubungi DailySocial mengungkapkan, saat ini ShopeePay masih dikembangkan  pihak internal agar menjadi pilihan yang menarik bagi konsumennya.

“Berkesesuaian dengan komitmen kami dengan menghadirkan ShopeePay untuk dijadikan sebagai platform pembayaran berbasis teknologi ke depannya. Kami sedang dalam tahap mengembangkan fitur tersebut untuk dapat dipublikasikan secara sempurna secepatnya.”

Radityo sendiri enggan membeberkan pencapaian dan angka yang dihasilkan ShopeePay saat ini. Secara umum, konsumen marketplace di Indonesia paling banyak masih menggunakan fungsi transfer bank dalam bertransaksi secara online.

“Untuk angka atau persentase dari pengguna ShopeePay dengan demografi yang kami tuju masih berkesesuaian dengan jumlah dari pengguna Shopee yang aktif bertransaksi di seluruh Indonesia,” kata Radityo.

Di bulan Agustus lalu sempet tersiar kabar gangguan penggunaan ShopeePay, baik isi ulang oleh konsumen maupun pencairan oleh merchant. Pihak Shopee mengakui saat itu sempat terjadi gangguan.

“Sampai saat ini ShopeePay telah menjadi salah satu pilihan dalam metode pembayaran para pengguna Shopee di seluruh Indonesia. [..] Nantinya [ShopeePay] akan dikembangkan ke ranah publik sebagai platform pembayaran berbasis teknologi,” ujarnya.

Application Information Will Show Up Here

Mengoptimalkan Aplikasi Belanja untuk Tingkatkan Pembelian

Sebagai media pemasaran, aplikasi belanja mobile dapat dimanfaatkan oleh brand untuk memudahkan pelanggan melihat-lihat produk hingga melakukan pembelian langsung lewat aplikasi. Tujuan dari pengguna saat menginstal aplikasi berbeda-beda. Mulai dari sekadar melihat-lihat, mencari diskon, hingga melakukan pembelian. Sebagai pemilik brand, ada beberapa cara memaksimalkan penggunaan aplikasi belanja mobile untuk meningkatkan konversi pembelian, antara lain sebagai berikut:

1. Berikan tampilan antarmuka yang mendukung

Pastikan tampilan antarmuka dalam aplikasi Anda mudah dipahami oleh pengguna. Hal tersebut bisa dilakukan dengan memberikan tampilan yang simpel dan fungsional. Ciptakan juga layanan interaksi yang baik bagi pengguna yang memiliki pertanyaan. Fitur yang lengkap atau bahkan lebih banyak dari platform lain juga bisa menjadi pertimbangan pengguna untuk menggunakan aplikasi Anda, serta melakukan pembelian dalam aplikasi tersebut.

2. Adakan promosi khusus aplikasi

Hadirkan promosi khusus yang hanya dapat digunakan di aplikasi. Promosi seperti ini tidak hanya mengundang pelanggan baru untuk menjadi pengguna aplikasi, tetapi juga dapat membuat mereka lebih memilih aplikasi sebagai metode pembeliannya. Promosi ini dapat ditampilkan saat pengguna baru menginstal aplikasinya, sehingga pembelian dapat terjadi lebih cepat. Anda juga dapat memanfaatkan saluran lain seperti media sosial, email, atau website untuk mengkampanyekan promosi khusus aplikasi ini tersebut.

3. Buat kampanye promosi pada momen tertentu

Anda juga dapat memberikan kampanye promosi khusus untuk merayakan hari tertentu. Kampanye tersebut juga dapat dibuat lebih personal dengan mengaitkan promosinya dengan kategori katalog tertentu yang dimiliki oleh brand. Promosi tersebut berupa diskon tertentu dengan memanfaatkan loyalitas pelanggan lama atau diskon untuk pengguna yang baru saja menginstal aplikasi. Selain itu, memberikan katalog tertentu lewat aplikasi juga dapat memberi gambaran penggunaan produk brand dan dengan mengaitkannya langsung ke bagian pembelian dapat mendorong pembelian langsung melalui aplikasi.

4. Beri notifikasi penawaran di hari-hari pertama

Setelah melakukan penginstalan, pengguna mungkin baru sekadar melihat-lihat dan tidak langsung melakukan pembelian. Menurut Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 yang diterbitkan oleh Liftoff bekerja sama dengan Adjust, pengguna aplikasi belanja mobile di Indonesia memiliki periode waktu selama 1 hari, 19 jam, dan 31 menit sejak awal instalasi hingga melakukan suatu tindakan. Tindakan tersebut pun belum tentu merupakan pembelian, bisa jadi hanya sekadar memfavoritkan barang atau menaruhnya dalam keranjang.

Anda bisa memanfaatkan hal tersebut untuk menggoda pengguna untuk melakukan pembelian secepatnya dengan memberikan notifikasi tertentu untuk membuat pengguna segera melakukan tindakan di hari-hari awal penginstalan aplikasi. Pemilihan waktu dan isi pesan yang tepat juga dapat mempengaruhi efektivitas notifikasi tersebut dalam menghasilkan konversi.

5. Tanyakan kabar pengguna di minggu pertama

Menanyakan kabar pengguna juga dapat memberikan sentuhan personal tersendiri bagi mereka. Tanyakan kabar pengguna Anda melalui notifikasi apabila belum melakukan pembelian barang, terutama bagi mereka yang telah menaruh barang di keranjang. Berikan pula penawaran berdasarkan barang-barang sesuai dengan kategori yang sering mereka lihat sebelumnya.

Pengguna biasanya menggunakan aplikasi belanja mobile dengan intensitas yang tinggi di awal dan mulai berangsur-angsur berkurang dari waktu ke waktu. Menurut Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019, tingkat retensi pengguna aplikasi belanja mobile di Indonesia terus turun menjadi 4% pada Hari Ke-7. Untuk itu, periode minggu pertama ini harus dimanfaatkan dengan maksimal melalui kampanye yang menarik dan pesan yang relevan.

Pengguna cenderung memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam menginstal aplikasi belanja, meskipun pada umumnya aplikasi tersebut diminati untuk melihat-lihat produk terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian. Untuk itu pemilik brand harus dapat memikirkan strategi yang lebih jeli agar pengguna sampai melakukan pembelian melalui aplikasinya.

Dengan melakukan beberapa hal tersebut, brand dapat lebih memaksimalkan aplikasinya untuk mendorong pengguna melakukan pembelian. Anda juga dapat mempelajari perilaku penggunaan dan pembelian melalui aplikasi belanja seluler di Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 dari Liftoff bekerja sama dengan Adjust yang dapat diunduh lewat tautan ini.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Adjust.

Memaksimalkan Aktivitas Belanja Online Lewat Berbagai Aplikasi

Saat ini, banyak orang sudah mulai beralih ke belanja online untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini juga didukung semakin banyaknya pilihan yang disediakan oleh tiap brand untuk berlomba-lomba memenuhi kebutuhan pelanggannya secara online.

Sebagai pengguna, kita juga harus memanfaatkan kondisi tersebut untuk memaksimalkan aktivitas belanja online sehari-hari dan menikmati banyak keuntungan. Caranya adalah dengan meng-install berbagai aplikasi belanja dan tidak hanya bergantung pada satu platform saja. Secara umum, aplikasi belanja seluler terbagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.

1. Brand Commerce

Brand Commerce adalah aplikasi yang disediakan oleh perusahan yang ingin menjual produk merknya sendiri langsung melalui aplikasinya. Contoh dari kategori ini adalah aplikasi dari H&M, Zara, IKEA, Adidas, Watsons, dan sebagainya. Dengan menginstal aplikasi kategori ini, pelanggan bisa menikmati katalog dan promo khusus yang disediakan oleh brand.

Aplikasi brand commerce saat ini masih kurang populer jika dibandingkan dengan kategori aplikasi belanja lainnya. Menurut Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 yang dirilis oleh Liftoff bekerja sama dengan Adjust, presentasi tingkat instal-hingga-beli pada kategori aplikasi brand commerce ini hanya sebesar 4,7%. Hal ini dapat disebabkan oleh permasalahan di dalam aplikasi dan kampanye promosi yang tidak dipersonalisasi dengan baik oleh pemilik brand. Meski begitu, tak ada salahnya sebagai pengguna untuk menginstal aplikasi kategori ini. Seba, tidak jarang pemilik brand memberikan diskon khusus yang hanya dapat digunakan lewat aplikasinya.

2. Marketplace

Pada kategori aplikasi marketplace, pengguna dapat melihat-lihat, memilih, hingga membeli produk dari berbagai brand dalam satu aplikasi. Contoh dari aplikasi ini adalah Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Lazada, dan sebagainya. Keunggulan aplikasi ini adalah kemampuan untuk membandingkan harga antara barang yang sama dengan penjual yang berbeda. Sehingga sebelum membeli, Anda dapat memilih produk dengan penawaran terbaik.

Selain membandingkan kualitas dan harga di dalam satu aplikasi, memiliki beberapa aplikasi di kategori ini cukup menguntungkan. Sebab, kita juga dapat membandingkan harga untuk produk yang sama pada marketplace yang berbeda. Tak jarang pula penyedia platform marketplace memberikan diskon dan penawaran khusus yang dapat digunakan untuk membeli barang apa pun di aplikasi mereka.

Menurut Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019, aplikasi belanja dalam kategori marketplace merupakan yang paling diminati, dengan tingkat instal-hingga-beli yang sebesar 11,8%. Sebab, marketplace menawarkan varian produk yang lebih luas, harga dan penawaran menarik, serta pengalaman pengguna yang lebih baik dalam melakukan pembelian.

3. Value Add

Kategori aplikasi yang terakhir adalah aplikasi Value-add. Aplikasi pada kategori ini memberikan kita keuntungan tambahan dalam melakukan transaksi online. Di sisi lain, promosi yang dilakukan oleh aplikasi Value-add juga mendorong pengguna untuk melakukan pembelian yang dianggap menguntungkan. Contoh dari aplikasi ini adalah Shopback untuk mendapatkan cashback pada transaksi online atau Akulaku untuk membantu pembayaran secara kredit. Dengan menggunakan aplikasi pada kategori ini, kegiatan belanja dapat lebih menguntungkan. Sebab kita memiliki banyak opsi tambahan dalam mendapatkan bonus, serta memudahkan transaksi yang dilakukan.

Dengan memiliki berbagai aplikasi tersebut, pengguna dapat memaksimalkan pengalaman belanjanya melalui platform online dan meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan penawaran terbaik. Selain itu, brand perlu memanfaatkan tiga kategori aplikasi tersebut untuk mendorong pembelian. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai kecenderungan pengguna dalam menggunakan ketiga kategori aplikasi belanja di atas, Anda dapat mengunduh Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 dari Liftoff bekerja sama dengan Adjust lewat tautan ini.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Adjust.

Strategi Monotaro dalam Menggarap B2B Commerce

Gaung pemain e-commerce B2B memang tidak sekencang B2C karena perbedaan cara pemasarannya dan berbagai strategi lainnya. Akan tetapi, potensi bisnis yang bisa digarap dari ranah B2B bukan main besarnya. Salah satu pemain e-commerce yang main di ranah ini adalah Monotaro, berasal dari Jepang.

Sebetulnya, Monotaro masuk ke Indonesia dengan mengambil mayoritas saham Sukamart (PT Sumisho E-Commerce Indonesia) sekitar tiga tahun lalu. Dari aksi ini, mereka mengubah badan hukum dan branding baru jadi Monotaro. Sukamart sendiri sudah beroperasi sejak 2012, merupakan anak usaha dari Grup Sumitomo.

Sejak saat itu, perusahaan mengklaim terjadi peningkatan bisnis yang signifikan secara keseluruhan. Kepada DailySocial, Presiden Direktur Monotaro.id Daisuke Maeda menjelaskan bahwa kategori produk di situs kini kian beragam, dari sekitar 10 ribu item produk di 2016 kini menjadi lebih dari 800 ribu produk.

Keseluruhan produk ini berasal dari kemitraan dengan lebih dari 3 ribu brand yang tersebar ke 12 kategori barang. Mulai dari MRO (maintenance, repair, and operation) untuk pabrik dan perakitan, alat keselamatan, perkakas tangan dan elektrik, alat laboratorium, konstruksi, otomotif, logistik, hingga ATK.

Perusahaan juga menyediakan lebih dari 20 ribu produk dari private label asal Jepang yang dianggap cukup unik dan punya kualitas baik untuk konsumen Indonesia.

Daisuke menjelaskan, posisi Monotaro dibandingkan pemain B2B commerce lainnya cukup berbeda. Pihaknya menempatkan diri sebagai online retailer, yang mana punya berbagai produk dari berbagai penyuplai yang sudah terkurasi.

“Semua produk dan seleksi kategori ini berasal dari data yang kita kumpulkan sejak era Sukamart dan dari preferensi, serta kebiasaan konsumen kami. Kita memiliki ribuan konsumen baru tiap bulannya, mereka puas dengan platform Monotaro dan menjadi pelanggan loyal,” terangnya.

Meski tidak merinci, dia mengklaim bisnis Monotaro tumbuh 300% per tahunnya, begitu pun untuk bulanannya. Pertumbuhan ini diprediksi akan tumbuh lebih besar, mengingat potensi bisnis B2B commerce di Indonesia yang belum tergarap secara maksimal.

Kondisi ini, menurutnya mirip dengan apa yang terjadi di Jepang pada 10 tahun lalu dan sama halnya apa yang dialami e-commerce B2C beberapa tahun lalu di Indonesia.

“Kami yakin kami masih berada di tahap paling awal di Indonesia. Tapi kami sangat percaya e-commerce B2B akan booming dalam waktu dekat mengikuti tren adopsi teknologi di Indonesia.”

Adapun konsumen Monotaro mayoritas datang dari pelaku manufaktur dan industri perakitan. Lainnya adalah industri konstruksi, perkebunan, otomotif, pertambangan, properti, keuangan, pendidikan, hingga industri kecil dari seluruh Indonesia.

Rencana pengembangan teknologi

Daisuke melanjutkan, perusahaan berencana untuk mengembangkan beberapa inisiasi baru di sisi teknologi agar tetap terdepan. Di antaranya fitur pencarian cerdas yang senantiasa harus selalu dikembangkan.

Pasalnya, fitur tersebut penting dalam merekam perilaku dan preferensi pelanggan yang telah terekam di Monotaro Jepang. Alhasil perusahaan dapat memberikan rekomendasi barang yang tepat.

“Fokus kami adalah menyediakan platform yang paling nyaman bagi pelanggan untuk melakukan pembelian yang mendukung operasi industri dan bisnis mereka. Oleh karena itu, kuncinya adalah membuat produk dapat dicari se-seamless mungkin.”

Teknologi lainnya yang disiapkan adalah optimasi manajemen pesanan oleh kecerdasan buatan (AI). Misalnya, untuk daerah mana, metode apa yang pas, dan kapan barang harus dikirim pelanggan. Terakhir pengembangan gudang pintar untuk pengiriman yang lebih cepat, namun juga efisien dari segi biaya.

“Misi kami adalah menyediakan platform pembelian yang paling nyaman dan efisien untuk konsumen bisnis dan visi kami adalah berinovasi dalam jaringan pengadaan untuk semua jenis pengguna bisnis di Indonesia,” pungkasnya.

Secara perusahaan, Daisuke menegaskan Monotaro didanai sepenuhnya oleh pemegang saham yang ada, serta didukung dengan teknologi dan jaringan rantai pasokan yang telah tersedia.

Keuntungan Membuat Aplikasi Belanja Bagi Bisnis Retail

Smartphone saat ini menjadi perangkat yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hampir segala kegiatan dapat dilakukan lewat smartphone, termasuk di antaranya berbelanja secara online. Mulai dari melihat informasi mengenai produk, memilih barang, hingga memesan dan bertransaksi dapat dilakukan secara langsung hanya dalam genggaman tangan.

Aktivitas berbelanja online semakin dimudahkan dengan hadirnya aplikasi belanja seluler. Penggunaan aplikasi menawarkan pengalaman yang berbeda apabila dibandingkan dengan mengakses website lewat browser. Mulai dari kecepatan dan kemudahan akses, tampilan, hingga fitur dapat lebih optimal jika menggunakan aplikasi belanja seluler. Sebab, berbagai pengembangan dapat dilakukan tanpa perlu mempertimbangkan bandwith atau kesesuaian dengan browser.

Selain itu, masih ada keuntungan lainnya membuat aplikasi belanja bagi pelaku bisnis retail, di antaranya sebagai berikut.

1. Pengembangan Fitur Lebih Baik

Sebuah aplikasi dapat disukai apabila menawarkan fitur yang baik, bermanfaat, serta mudah digunakan. Fitur-fitur ini dapat dikembangkan lebih baik apabila aplikasi dapat memiliki akses ke perangkat keras, seperti kamera, mikrofon, gps, dan sebagainya. Hal ini belum dapat dilakukan apabila hanya mengandalkan website yang bisa diakses lewat browser.

2. Kecepatan Akses Lebih Tinggi

Mengakses website lewat browser selalu membutuhkan koneksi internet yang cukup baik. Namun di aplikasi, kita dapat membuat berbagai fitur yang dapat diakses secara offline. Hal ini tentu akan mempermudah pengguna untuk tetap mengakses aplikasi belanja kita apabila sedang tidak tersedia koneksi internet di sekitarnya. Meskipun mungkin bukan untuk bertransaksi, tetapi untuk mengakses fitur lain seperti melihat deskripsi produk,

3. Tampilan Antarmuka dan Grafis Lebih Menarik

Selain fitur dan akses yang baik, tampilan grafis dan antarmuka pada aplikasi juga dapat dioptimalkan secara maksimal. Sebab data dan aset tampilan aplikasi tersimpan pada memori smartphone, sehingga dapat diakses secara langsung. Tidak seperti website yang harus melewati proses loading terlebih dahulu. Antarmuka aplikasi juga dapat dibuat lebih intuitif sehingga dapat memberikan kenyamanan lebih bagi pengguna.

4. Cocok Bagi Pengguna di Indonesia

Menurut data dari Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 yang diterbitkan oleh Liftoff bekerja sama dengan Adjust, Indonesia telah dinobatkan sebagai “pasar paling dinamis” di Asia Tenggara, serta negara yang sangat menarik untuk akuisisi pengguna dan tindakan. Biaya per instal di Indonesia adalah sekitar US$ 1.65 (Rp 23,431), cukup murah jika dibandingkan dengan pasar AS, Jepang, Jerman, dan Inggris. Biaya akuisisi untuk pembelian pertama juga tergolong murah, yaitu US$ 16.69 (Rp 237,011). Didukung pula dengan tingkat konversi yang sangat baik, dengan tingkat instal-hingga-beli di Indonesia mencapai 9,9%.

Data-data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi belanja seluler di Indonesia berada di tingkat yang cukup menjanjikan. Mulai dari biaya akuisisi yang murah, hingga tingkat konversi kepada pembelian yang tinggi sudah cukup mengisyaratkan bahwa cukup banyak masyarakat yang menyukai penggunaan aplikasi belanja seluler, sehingga langkah untuk mengembangkan aplikasi perlu menjadi pertimbangan bagi para pelaku bisnis, khususnya di bidang retail.

Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 juga menyajikan berbagai data lainnya, mulai dari biaya akuisisi dan tingkat konversi, peluang dari tren musiman, hingga tingkat retensi pengguna. Dokumen lengkap Laporan Aplikasi Belanja Seluler 2019 dari Liftoff bekerja sama dengan Adjust dapat diunduh lewat tautan ini.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Adjust.

Sociolla Receives 567 Billion Rupiah Series D Funding Led by EV Growth and Temasek

Social Bella (Sociolla brand) announced series D funding worth of $40 million (over 567 billion Rupiah) led by EV Growth and Temasek. Newcomers in this round are EDBI, Pavilion Capital, and Jungle Ventures.

Funding is to fully focused on recruiting new talents and developing technology, particularly in So.Co.  The offline store‘s expansion will continue although the company confirmed no plans to enter the global market.

“Funding was closed last week. There are four new investors and the single investor, EV Growth, was there from the seed and now the co-lead in the series D,” Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid said on Monday (9/2).

Social Bella’s Co-Founder and President, Christopher Madiam added, “Through the strategic partnership with our investors, we are to build a growing beauty-tech ecosystem.”

Last Year, the company announced series C funding worth of $12 million (around 169 billion Rupiah) led by EV Growth, Japan-based beauty platform,, Istyle Inc., and UOB Ventures.

Focus on So.Co development

Social Bella owns three business units,  Sociolla (e-commerce), So.Co and Beauty Journal (media), and brand development. Sociolla is the earliest one and the biggest contributor in Social Bella. Nevertheless, they didn’t mention an exact number.

“The whole business runs in parallel, we didn’t put a single fighter. Despite all units, the e-commerce has been established for four years and become our biggest contributor,” he added.

“Therefore, GMV is not our company’s achievement matrix since e-commerce is not our only business line, but we also provide media. It involves different matrix, GMV alone will not make our business unique,” Madiam said.

So.Co becomes the database bank for customers and now the company focused on its development. So.Co stores various kinds of customer’s data, from the profile, transactions, and others to be utilized for a better experience.

The concept might be different because it combines Sociolla and Beauty Journal. It’s not only for consumers who want to shop online at Sociolla but also those interested in reviews and other activities.

Madiam said there will be an additional feature soon to improve customer experience on So.Co. Users will not be limited to end-user, but also brands.

Customers can log in via So.Co before visiting Sociolla offline to help them decide what products to buy based on their skin condition. It’s for their efficiency when shopping at an offline store.

In order to create an ecosystem, the company builds all technologies, including POS machine integrated with So.Co at the offline stores.

“Our warehouse has integrated with technology in order to create an integrated ecosystem.”

He also guaranteed the data collected will not be used for monetization. It will be managed accordingly to improve user experience, therefore, the company will keep all the private data secure.

Based on the monthly unique visitor, John said there are 5 to 7 million and 1,2 million of them are all registered customers. In accumulation, there are 20.2 million visitors joined Social Bella platform since 2018, via Sociolla, So.Co. or Beauty Journal.

Despite all strategies, they expect to increase unique visitors to 100 million by 2021.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Peroleh Pendanaan Seri D 567 Miliar Rupiah Dipimpin EV Growth dan Temasek

Social Bella (pemilik brand Sociolla) mengumumkan perolehan pendanaan Seri D sebesar $40 juta (lebih dari 567 miliar Rupiah) yang dipimpin EV Growth dan Temasek. Jajaran investor baru yang masuk dalam putaran ini adalah EDBI, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures.

Pendanaan ini sepenuhnya akan diarahkan untuk merekrut lebih banyak talenta baru dan mengembangkan teknologi khususnya di So.Co. Penambahan lokasi gerai offline Sociolla juga akan terus dilakukan ke depannya, meski perusahaan menegaskan belum ada rencana untuk ekspansi ke luar negeri.

Funding ini baru close minggu lalu. Ada empat investor baru yang masuk dan satu investor EV Growth sudah ikut dari funding tahap awal dan menjadi co-lead investor untuk Seri D ini,” terang Co-Founder dan CEO Social Bella John Rasyid, Senin (2/9).

Co-Founder dan Presiden Social Bella Christopher Madiam menambahkan, “Melalui kerja sama strategis yang kami miliki dengan para investor, kami dapat terus membangun ekosistem beauty-tech yang terus berkembang pesat.”

Tahun lalu, perusahaan mengumumkan pendanan Seri C sebesar $12 juta (sekitar 169 miliar Rupiah) yang dipimpin EV Growth, platform kecantikan Jepang Istyle Inc., dan UOB Ventures.

Fokus kembangkan So.Co

Social Bella memiliki tiga unit bisnis, yakni di bidang commerce (Sociolla), media (So.Co dan Beauty Journal), dan brand development. Sociolla itu sendiri adalah bisnis unit tertua karena sudaha ada sejak perusahaan berdiri, sekaligus kontributor terbesar di Social Bella. Kendati, angka detailnya tidak disebutkan secara detail.

“Seluruh bisnis berjalan secara parelel, tidak ada yang kami unggulkan. Tapi memang bisnis commerce itu sudah berjalan sejak empat tahun, itu yang menjadi kontributor utama kami,” ucap Christopher.

“Oleh karenanya, GMV itu bukan jadi metriks pencapaian perusahaan karena kami bukan hanya punya e-commerce saja, tapi juga ada medianya. Yang mana untuk metriks di media itu berbeda, bukan GMV. Ini yang menjadikan bisnis kami menjadi unik,” tambahnya.

So.Co menjadi bank database konsumen yang kini menjadi salah satu fokus perusahaan untuk di kembangkan. So.Co menyimpan berbagai data konsumen, baik dari profil mereka, transaksi, dan lainnya yang dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memberikan pengalaman lebih baik.

Konsep aplikasi So.Co makanya cukup berbeda karena gabungan dari Sociolla dan Beauty Journal. Sehingga tidak hanya diperuntukkan buat konsumen yang ingin beli barang online di Sociolla saja, tapi juga buat orang-orang yang ingin membaca ulasan, dan kegiatan lainnya.

Christopher memastikan ke depannya akan ada tambahan fitur yang bisa meningkatkan pengalaman konsumen jadi lebih baik di dalam So.Co. Pengguna So.Co tidak hanya end user saja tapi juga brand.

So.Co juga hadir sebagai alat login konsumen sebelum masuk ke gerai offline Sociolla untuk bantu mereka menentukan produk mana yang mereka butuhkan sesuai kondisi kulit masing-masing. Harapannya ketika masuk toko, konsumen tidak lagi harus meraba-raba, produk apa yang cocok untuk mereka.

Karena ingin menjadi sebuah ekosistem, makanya semua teknologi dibangun sendiri oleh perusahaan, termasuk untuk mesin POS di dalam gerai karena sudah terintegrasi dengan So.Co.

“Bahkan gudang kami sudah terintegrasi dengan teknologi karena kami ingin semuanya menjadi satu ekosistem yang saling terhubung.”

Christopher memastikan seluruh data yang dikumpulkan So.Co, tidak akan dimanfaatkan perusahaan untuk dimonetisasi demi menarik penjualan. Justru dimanfaatkan untuk diolah kembali agar ada peningkatan dari sisi user experience, sehingga pihaknya menjamin privasi konsumen akan tetap terjaga.

Bila melihat dari monthly unique visitor, John menyebut ada sekitar 5 juta-7 juta kunjungan dan pengguna teregistrasinya sekitar 1,2 juta orang. Secara kumulatif ada lebih dari 20,2 juta pengunjung yang telah bergabung dengan platform Social Bella sejak 2018, baik melalui situs Sociolla, So.Co, maupun Beauty Journal.

Dari seluruh strategi di atas, diharapkan dapat mendongkrak jumlah unique visitors menjadi 100 juta pengguna pada 2021 mendatang.

Application Information Will Show Up Here