Ambisi Startup Agritech ARIA Lahirkan Generasi Baru Petani di Indonesia

Salah satu kendala yang saat ini masih menjadi tantangan bagi pertanian adalah kurangnya minat petani muda untuk terjun ke bidang pertanian. Besarnya lahan yang harus digarap menggunakan cara dan metode lama juga menyulitkan sebagian besar petani untuk mengoptimalkan kinerja mereka.

Belum lagi jika ternyata ada serangan hama yang harus diantisipasi cepat, biasanya membutuhkan jumlah pekerja yang cukup besar untuk melakukan proses tersebut. Hasilnya banyak dari petani yang mengalami gagal panen dan kerugian yang cukup besar karena terlambat untuk diatasi.

Melihat masalah tersebut, ARIA yang merupakan startup agritech hadir dengan solusi untuk meningkatkan efisiensi produktivitas melalui penggunaan drone dan IoT, sekaligus menyediakan pencegahan dan prediksi solusi agrikultur kepada para petani dan perkebunan skala besar. Selain itu, motivasi pengembangan produk ini adalah untuk membantu petani dan pemilik perkebunan bisa mendapatkan hasil pertanian yang baik, sekaligus memancing lebih banyak petani muda untuk masuk ke sektor pertanian.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO ARIA William Sjaichudin mengungkapkan, berawal dari teknologi drone, mereka ingin menjadi platform agritech yang bisa membantu petani mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas dengan proses penanaman yang tepat, sekaligus meminimalisir penggunaan tenaga kerja di lapangan.

“Kebanyakan saat ini platform agritech di Indonesia lebih fokus kepada rantai pasok. Namun banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan masih rendahnya kualitas panen petani. Dengan teknologi dan layanan yang kami miliki, kami ingin mengatasi masalah tersebut dan fokus kepada quality control,” kata William.

Fokus di segmen B2B

Teknologi drone spray milik ARIA

Aria turut didirikan oleh Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Saat ini ada dua vertikal bisnis yang disasar oleh ARIA, yaitu perusahaan B2B seperti perkebunan dan kehutanan. Khusus untuk klien B2B, ARIA memberikan teknologi SaaS yang membantu mereka untuk melakukan proses penanaman memanfaatkan data yang terhubung langsung, sehingga bisa melakukan aktivitas penyemprotan yang akurat.

Sementara untuk petani baik itu yang individu hingga petani yang memiliki perkebunan, harapannya bisa menerapkan best practice yang telah diterapkan kepada perusahaan besar seperti Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, dan lainnya yang merupakan klien dari ARIA saat ini kepada mereka.

“Target kami tahun ini bisa melayani klien B2B sebanyak 60 hingga 70% dan ke petani sebanyak 30%. Kita harapkan melalui program yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan lahan kosong yang ada bisa membantu ARIA,” kata William.

Berangkat dari teknologi, ARIA cukup yakin bisa menciptakan lahan pekerjaan yang menarik perhatian calon petani baru di Indonesia. Sehingga regenerasi petani bisa berjalan dengan baik, menggantikan para petani yang saat ini makin sedikit jumlahnya dan kebanyakan sudah masuk dalam usia tua.

Dilihat dari respons para petani di berbagai daerah yang menyambut baik teknologi pemetaan dan drone spray yang mereka miliki, ARIA melihat ada potensi untuk bisa melahirkan petani muda baru dan drone pilot ke depannya.

“Untuk drone pilot sendiri saat ini kami sudah memiliki sekitar 16 orang dan targetnya bisa bertambah hingga 40 lebih hingga akhir bulan nanti. Drone pilot kita berasal dari masing-masing daerah, menyesuaikan demand dari unit yang dipesan,” kata William

Model bisnis yang diterapkan oleh ARIA adalah sebagai service company. Karena jual beli drone terbilang sulit, cara mereka menjalankan bisnis adalah menghadirkan drone dengan biaya murah yaitu service per hektar. Dengan demikian bisa lebih terjangkau untuk petani. Untuk memberikan layanan yang terpadu, ARIA juga menjalin kolaborasi dengan Bayer dalam hal penyediaan bahan kimia untuk pertanian.

“Ke depan kita maunya bisa bikin drone sendiri. Yang membedakan kami dengan platform lainnya adalah pendekatan langsung dengan memberikan solusi. Kita merupakan end-to-end software dan hardware platform untuk petani,” kata William.

Rencana penggalangan dana tahapan awal

Saat ini ARIA telah mendapatkan pendanaan tahapan pre-seed yang diselenggarakan dan dipimpin oleh GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures serta pemimpin pasar di bidang agrikultur dan logistik seperti Triputra Group, Waresix, dan Sahabat Group yang turut berpartisipasi dalam seri ini.

ARIA akan menggunakan pendanaan  ini untuk mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjangkau 40 miliar hektar pasar potensial ARIA. Pengembangan ini juga diiringi dengan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan untuk memberikan nilai dan dampak perubahan besar untuk pelanggan ARIA.

“Sangat penting untuk ARIA untuk menghadapi regenerasi petani muda Indonesia, yang terkendala dengan keterbatasan lahan dan menderita karena menjalani profesi dengan penghasilan rendah di seluruh Indonesia. Petani di Indonesia perlahan mati. Visi ARIA adalah untuk menumbuhkan generasi petani muda milenial baru yang tech-savvy dan mampu berkompetisi serta berkembang di tingkat global,” kata William.

Untuk mendapatkan mitra strategis yang dapat membantu ARIA membuka peluang lebih banyak lagi, dalam waktu dekat ARIA juga akan merampungkan penggalangan dana tahapan seed. Masih dalam proses finalisasi jika sesuai rencana dana segar tersebut akan diperoleh ARIA akhir bulan Maret ini.

“Keuntungan paling besar di Indonesia sebagai negara agriculture adalah menjadi petani. Namun karena saat ini masih menggunakan metode dan cara-cara yang lama menjadi kecil peluang dan manfaat yang bisa didapatkan oleh petani. Melalui ARIA kita ingin menjadikan profesi petani lebih profitable,” kata William.

wagely Umumkan Pendanaan Pra-Seri A 119 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures

Setelah umumkan pendanaan awal $5,6 juta pada pertengahan tahun lalu, platform Earned Wage Access (EWA) wagely kini mengumumkan putaran pendanaan pra-seri A. Kali ini nilainya mencapai $8,3 juta atau setara 119 miliar Rupiah. East Ventures (Growth Fund) memimpin pendanaan ini dengan partisipasi Central Capital Ventura, Integra Partners, Asian Development Bank, Global Founders Capital, Trihill Capital, Blauwpark Partners, dan 1982 Ventures.

Dari seluruh putaran yang ada, total dana yang berhasil dikumpulkan wagely mencapai $14 juta — dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun.

Seperti diketahui, layanan wagely memungkinkan karyawan perusahaan untuk mencairkan gajinya lebih awal untuk berbagai kepentingan mendesak. Selain di Indonesia, mereka turut melayani pasar Bangladesh.

Sejak 2021, wagely mengklaim mendapatkan pertumbuhan sampai 10x lipat yoy. Pertumbuhan ini didukung kemitraan bersama deretan perusahaan besar di Indonesia termasuk British American Tobacco, Ranch Market, Adaro Energy, dan Medco Energi.

Situasi pandemi yang masih berlangsung memperburuk keadaan ekonomi yang dihadapi oleh para pekerja berpenghasilan rendah dan menengah, sehingga banyak perusahaan membutuhkan solusi untuk membantu mengurangi tekanan finansial dari banyak pekerjanya.

Platform EWA di Indonesia

Berbagai layanan EWA bermunculan akhir-akhir ini, mulai dari startup yang spesifik seperti wagely, Gajiku, GajiGesa, Kini, dan GetPaid; hingga sub layanan dari platform fintech Halogaji (Halofina), KoinGaji (KoinWorks), dan Flex (Mekari).

Semua tujuannya sama, memberikan fleksibilitas kepada pekerja untuk mengakses gajinya lebih dini. Lebih detail tentang cikal-bakal layanan EWA telah kami bahas di artikel ini: Konsep Earned Wage Access Menormalisasi Pembayaran Gaji di Muka.

Produk EWA dari wagely memungkinkan pekerja dari perusahaan yang menjadi mitra wagely untuk mengakses sebagian dari gaji yang mereka peroleh secara real-time yang terhitung dari total jumlah hari mereka telah bekerja. Konsep ini dinilai telah terbukti berhasil di beberapa pasar dunia dan telah diadopsi oleh beberapa organisasi terkemuka di antaranya Walmart, Pizza Hut, dan Visa, untuk mengurangi pergantian karyawan, menambah produktivitas, dan meningkatkan penghematan biaya bisnis.

“Kami bangga telah berhasil beroperasi di dua pasar terbesar di wilayah Asia yang mempekerjakan lebih dari 150 juta pekerja. Akses instan dalam memperoleh gaji kini memainkan peran penting bagi para pengusaha dalam mengurangi pembiayaan, meningkatkan produktivitas, serta memberi kesejahteraan bagi pekerja,” ujar Co-Founder & CEO wagely Tobias Fischer.

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana, mengatakan, “Dengan pertumbuhan pesat dari wagely dalam beberapa kuartal terakhir, kami yakin wagely akan menjadi mitra pilihan bagi banyak perusahaan besar yang berkomitmen untuk mengadakan perubahan dalam kesejahteraan finansial para pekerja di Indonesia dan sekitarnya. Kami sangat antusias dalam mendukung Tobias, Didi, Kevin, dan tim wagely, karena mereka telah memperbaiki kehidupan jutaan pekerja di seluruh wilayah Asia, di mana lebih dari 75% penduduknya hidup dan bergantung dari gaji ke gaji.”

Application Information Will Show Up Here

EV-DCI 2022: Daya Saing Digital Antarprovinsi Makin Merata

Laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2022 menunjukkan tren positif untuk daya saing digital antarprovinsi di Indonesia yang semakin merata. Provinsi di luar Jawa, seperti Bengkulu, Papua Barat, Lampung, Aceh, NTT, dan Kalimantan Tengah, memiliki pertumbuhan skor lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa.

Laporan ini disusun East Ventures, Katadata Insight Center, dan PwC Indonesia. Tim EV-DCI mengukur perbandingan daya saing digital 34 provinsi dan kota/kabupaten di Indonesia dalam bentuk indeks, yang terdiri dari tiga aspek utama atau sub-indeks, yaitu input, output, dan penunjang.

Sub-indeks input dari pilar pembentuk, Sumber Daya Manusia (SDM), penggunaan TIK, dan pengeluaran untuk TIK. Untuk sub-indeks output dibentuk dari pilar perekonomian, kewirausahaan, dan produktivitas dan ketenagakerjaan. Sementara sub-indeks Penunjang dengan pilar infrastruktur, keuangan, serta regulasi dan kapasitas pemerintah daerah.

Hasil kajian tersebut menunjukkan, skor median indeks secara nasional pada 2022 mendapat skor 35,2 dari 32,1 di 2021 (skala 0-100). Angka ini menunjukkan daya saing digital di Indonesia semakin membaik, terlihat dari spread ekor EV-DCI antarprovinsi selama tiga tahun berturut-turut semakin mengecil.

Pada 2020 dan 2021 spread masing-masing 61,9 dan 55,6. Tahun ini hanya 48,3. Nilai spread, atau selisih antara skor provinsi tertinggi, adalah DKI Jakarta 73,2 dan terendah Papua 24,9.

“Semakin kecil nilai spread ini menunjukkan peningkatan daya saing digital dari provinsi-provinsi di urutan menengah dan bawah,” ucap Panel Expert Katadata Insight Center Mulya Amri saat konferensi pers digital, Senin (7/3).

Masih sama halnya dengan tahun lalu, posisi atas daya saing digital antar provinsi di Indonesia masih cenderung didominasi provinsi di Pulau Jawa. Di posisi tengah disusul provinsi yang umumnya berasal dari Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sementara posisi terbawah masih didominasi provinsi yang umumnya berada di kawasan Timur. Kondisi ini masih terlihat konsisten selama tiga tahun berturut-turut.

Peta Sebaran Skor EV-DCI 2022 di 34 Provinsi di Indonesia / EV-DCI 2022

Skor EV-DCI 2022 tertinggi masih dipegang oleh DKI Jakarta dengan skor 73,2. Sementara itu, di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Jawa Barat dan DI Yogyakarta dengan skor 58,5 dan 49,2. Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi di luar Pulau Jawa yang berhasil masuk ke 10 besar di peringkat 7 dengan kenaikan skor 4,5, dengan skor EV-DCI 2022 sebesar 44,0.

Selain Kalimantan Timur, beberapa provinsi di luar Jawa mengalami peningkatan daya saing digital yang cukup baik. Contohnya, Bengkulu yang mengalami peningkatan skor EV-DCI 2022 tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 7,8 poin menjadi 39,1. Kenaikan skor tersebut membuat Bengkulu naik tujuh peringkat, menjadi 12. Papua Barat dan Lampung juga menunjukkan peningkatan daya saing digital yang signifikan; masing-masing naik 11 peringkat ke posisi 19 dan enam peringkat ke posisi 20.

Penurunan signifikan terjadi pada provinsi Jawa Tengah dan Jambi. Jawa Tengah turun enam peringkat ke posisi 14 dengan skor 38,0 dari skor 42,6 di 2021. Sementara Jambi turun 10 peringkat dari posisi 20 ke 30 dengan skor 31,9 walaupun skornya pada 2022 (31.9) lebih tinggi daripada pada 2021 (30.9).

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Jambi mengalami peningkatan skor, namun provinsi lainnya meningkat dengan lebih baik dibandingkan Jambi dan berhasil mendapatkan peringkat yang lebih tinggi. Secara umum, meskipun terjadi penurunan peringkat pada beberapa daerah, namun skor indeks pada sebagian besar daerah terutama kelompok daerah menengah dan bawah mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan perbaikan kondisi ekonomi digital daerah di Indonesia.

Operating Partner East Ventures David F. Audy menambahkan, menurunnya peringkat di provinsi bukan menunjukkan terjadi penurunan. Ambil contoh, satu provinsi pertumbuhan ekonominya 5%, tapi ada provinsi lain yang tumbuh lebih tinggi dari itu dan berada peringkat di atas. Provinsi yang tadinya tertinggal, terus mengejar. Sementara provinsi yang besar semakin besar pertumbuhannya pasti makin melambat angka pertumbuhannya.

“Seperti Papua Barat yang sekarang naik 11 peringkat, tapi skornya masih jauh dari DKI Jakarta. Tapi sekarang mediannya makin sempit. Jadi artinya ini makin bagus karena semakin merata, sekarang tinggal menyelesaikan bagaimana bisa lebih cepat lagi adopsi digitalnya,” ucap David.

Pilar infrastruktur yang menjadi pilar tertinggi di tahun sebelumnya juga masih mengalami peningkatan skor pada EV-DCI 2022. Pada EV-DCI 2022, pilar ini meningkat 10,5 poin menjadi 64,8. Spread pada pilar infrastruktur juga mengecil 8,3 poin atau mencapai 79,0 di tahun ini, dibandingkan tahun sebelumnya spread pilar ini sebesar 87,3.

Penurunan kesenjangan daya saing digital di daerah-daerah ini ditunjukkan juga dengan peningkatan skor pada pilar kewirausahaan dan produktivitas. Pilar ini meningkat 10,1 poin menjadi skor 23,6 pada EV-DCI 2022. Selain itu, Pilar regulasi dan kapasitas pemda juga mengalami peningkatan 19,1 poin menjadi 54,6 tahun ini.

EV-DCI 2022
EV-DCI 2022

Berrybenka Kini Jadi Grow Commerce, Umumkan Pendanaan Awal 100 Miliar Rupiah

Berrybenka mengumumkan perubahan nama (rebranding) menjadi “Grow Commerce” yang berkonsep rollup e-commerce dari sebelumnya perusahaan e-commerce. Pada saat yang bersamaan, perusahaan yang dipimpin oleh Jason Lamuda ini juga mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $7 juta (lebih dari Rp100 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, dan diikuti oleh East Ventures dan IRONGREY.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mendorong rangkaian akuisisi lebih banyak merek dan menciptakan teknologi yang lebih mutakhir untuk mendukung aspek operasional guna mempercepat pertumbuhan mereka.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Grow Commerce Jason Lamuda menuturkan Grow Commerce mengambil posisi sebagai House of Brands dengan pengalaman operasional yang kuat dalam membangun dan mendukung pertumbuhan merek lokal. Salah satu contoh keberhasilan ini dapat dilihat dari aspek distribusi penjualan. Ia dan tim telah mengembangkan platform online sendiri, membangun jaringan toko offline, berekspansi dan berjualan di berbagai pasar online.

“Dalam perjalanan tersebut, kami memahami terdapat banyak titik sulit (pain points) dan kebutuhan menyeluruh yang harus dipenuhi dari sisi pemilik brand. Grow Commerce hadir untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Kami berharap, kami dapat bermitra dengan lebih banyak merek lokal dan para pengusaha di kawasan ini,” ucap Jason, Selasa (15/2).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang e-commerce, Jason dan tim berada dalam posisi yang tepat untuk memasuki fase berikutnya guna membangun Grow Commerce sebagai agregator merek e-commerce terkemuka.

“Dengan putaran pendanaan saat ini, Grow Commerce telah membuat rencana yang kuat untuk mengakuisisi merek yang berkembang pesat, meningkatkan penjualan lini depan, dan memperluas rantai pasokan yang lebih luas. Grow Commerce berada di posisi yang tepat untuk menjalankan rencana ini guna mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan AC Ventures akan menjadi bagian dari perjalanan ini,” kata Li.

Telah miliki 4 portofolio merek

Sebagai rollup e-commerce yang menggunakan model bisnis Thrasio-style, Grow Commerce bekerja dengan cara mengakuisisi merek-merek berbasis digital yang tumbuh cepat. Regional ini dianggap sebagai area yang tepat untuk mengoperasikan model bisnis tersebut, lantaran sebagian besar penduduknya merupakan pengguna internet berbasis mobile. Dengan demikian, terdapat campuran antara DTC dan saluran distribusi penjualan online, dan relevansi berkelanjutan dari ritel offline.

Saat ini, Grow Commerce memiliki empat portofolio yang diklaim memiliki pendapatan tahunan sebesar $20 juta secara gabungan. Merek tersebut adalah Berrybenka, Aleza, Kottonville, dan BBS. Keseluruhannya merupakan merek fesyen.

Setelah memimpin dan mengembangkan Berrybenka, merek fesyen berbasis digital pertama, Jason dan tim sangat memahami tantangan dan aspirasi pemilik merek lokal dan apa yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis semacam itu secara eksponensial. Dengan keahlian tersebut, Grow Commerce memanfaatkan data analitik dan teknologi eksklusif dalam memilih kategori dan merek potensial untuk diakuisisi.

Mereka menawarkan solusi yang fleksibel dan transparan bagi para pemilik merek untuk bergabung dengan Grow Commerce dan mengembangkan bisnis bersama. Setelah menjadi bagian dari perusahaan, portofolio akan dibekali dengan berbagai strategi pertumbuhan omnichannel canggih dan teruji, seperti Berrybenka dan Aleza yang telah memberikan pertumbuhan penjualan QoQ lebih dari dua kali lipat hingga tiga kali lipat.

Sebagai ahli marketplace, tim Grow Commerce terus mencermati operasi rantai pasokan merek dan pengalaman pelanggan untuk memastikan agar pertumbuhan penjualan mereka dapat berkembang pesat, dan mencegah penurunan tingkat kepercayaan pelanggan. Grow Commerce telah meningkatkan jumlah tim mereka sebanyak lebih dari 150 orang, dan optimistis dapat tumbuh secara signifikan selama enam bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan pendapatan mereka.

Tren rollup e-commerce

Grow Commerce meramaikan pasar rollup e-commerce di Indonesia yang sebelumnya telah diisi oleh Hypefast, OpenLabs, Una Brands, dan Tjufoo. Merebaknya konsep Thrasio-style ini didukung oleh semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Menariknya, masing-masing dari startup yang hadir di sini didirikan oleh mantan para petinggi di perusahaan e-commerce. Hypefast didirikan oleh Achmad Alkatiri yang sebelumnya bekerja untuk Lazada Indonesia, OpenLabs oleh Jeffrey Yuwono yang merupakan salah satu pendiri dari Sorabel.

Startup Total perolehan dana Investor
Hypefast $22 juta (debt dan ekuitas) Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Arkblu Capital, dan Amand Ventures
OpenLabs $100 juta Undisclosed
Una Brands $55 juta (debt dan ekuitas) Alpha JWC Ventures, White Star Capital, Global Founders Capital, 500 Startups, dll.
Tjufoo $125 juta Undisclosed
Grow Commerce $7 juta AC Ventures, East Ventures, IRONGREY

Diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.

Grupin Social Commerce Startup Receives 42 Billion Rupiah Funding Led by Surge

The social commerce platform “Grupin” announced seed funding of $3 million or equivalent to 42 billion Rupiah. This round was led by Surge from Sequoia Capital India. Also participated in this round, Skystar Capital and East Ventures. Grupin is part of the sixth cohort of the Surge accelerator program.

Grupin was founded by Kevin Sandjaja and Ricky Christie in January 2021. Kevin himself was previously known as Pegipegi’s CEO.

As other existing social commerce applications, Grupin offers a community-based shopping experience to consumers in collective concept, aiming to get better price offers. They provide daily products, such as basic necessities, kitchen utensils, baby products, and electronics. Currently, this service is only available for the Greater Jakarta and Bandung areas.

“With the rise of e-commerce, especially since the pandemic, consumer wants a different shopping experience that still provides certain offline experience, not only competitive prices, but also social interaction. At Grupin, we offer this shopping experience, which is very attractive to customers in Indonesia, because it is related to the ‘gotong royong’ value, as we working together to achieve a common goal,” Grupin’s Co-Founder, Kevin Sandjaja said.

He continued, “Not only do we provide customers with greater value, but also enable producers, MSMEs, as well as farmers to reach new consumers. Through this funding, we plan to strengthen our team and expand our network of cooperation with producers, both local and global.”

How Groupin works

In order to use the service, user can download the app and signed up to select the items. Then, users will be asked to invite friends to join the group by sharing a special link. Once the group meets the certain number, the product can be purchased and will be sent to each member’s address.

Each offer has different conditions for group members. Grupin also provides offering features based on location, browsing behavior, purchasing preferences and purchasing power.

“In addition, customers can share the best deals and products with their friends and family within the app, providing a unique shopping that has a different social experience compared to some other e-commerce platforms,” he said

Collective buying business model

Grupin is not the first player using the e-commerce business model with the collective buying concept. Previously, other startups had similar features, including Kitabeli. KitaBeli has recently secured a series A funding worth more than $10 million supported by Go-Ventures, East Ventures, and a number of other investors.

This business model is considered to be suitable for the Indonesian market, especially targeting the tier-2 and 3 areas. This collective shopping model can also attract consumers who are yet to be familiar with online shopping. In addition, the strong community network among neighbors in the regions is considered suitable for collective purchases like this – let alone being able to get a more affordable price.

This is one of several business models that can be applied to social commerce. Another model is a partnership, allowing micro entrepreneurs [individuals] to have a selling business without having to gain large capital for stock. Some startups in this segment are Evermos and RateS.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Social Commerce Grupin Dapat Pendanaan 42 Miliar Rupiah Dipimpin Surge

Startup pengembang platform social commerce “Grupin” mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta atau setara 42 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Turut terlibat juga Skystar Capital dan East Ventures. Grupin merupakan bagian dari kohort keenam dari program akselerator Surge.

Grupin didirikan oleh Kevin Sandjaja dan Ricky Christie pada bulan Januari 2021. Kevin sendiri sebelumnya dikenal sebagai CEO Pegipegi.

Layaknya aplikasi social commerce yang sudah ada, Grupin menawarkan pengalaman belanja berbasis komunitas kepada konsumen secara kolektif, tujuannya untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. Barang yang disediakan seputar kebutuhan sehari-hari seperti sembako, perlengkapan dapur, produk bayi, sampai elektronik. Untuk saat ini layanan tersebut baru tersedia untuk area Jabodetabek dan Bandung.

“Dengan menjamurnya e-commerce, terutama sejak awal pandemi, konsumen menginginkan pengalaman berbelanja yang berbeda, namun juga memiliki aspek yang mereka temukan secara offline, yaitu pengalaman yang bukan hanya memberikan produk dengan harga kompetitif, namun juga memiliki interaksi sosial. Di Grupin, kami menawarkan pengalaman belanja tersebut, yang sangat menarik bagi pelanggan di Indonesia, karena memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai gotong royong, yaitu bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama,” ujar Co-Founder Grupin Kevin Sandjaja.

Ia melanjutkan, “Kami tidak hanya memberikan nilai yang lebih besar kepada pelanggan untuk uang mereka, tetapi juga memungkinkan produsen, UMKM, dan juga petani untuk menjangkau konsumen baru. Dengan pendanaan ini, kami berencana untuk memperkuat tim kami dan memperluas jaringan kerja sama dengan produsen baik di dalam maupun di luar Indonesia.”

Cara kerja Grupin

Untuk menggunakan layanan ini, setelah mengunduh aplikasi dan mendaftarkan diri di dalamnya, pengguna dapat memilih barang yang dibutuhkan. Kemudian, pengguna diminta untuk mengajak teman untuk bergabung di grup dengan cara membagikan tautan khusus. Setelah grup tersebut memenuhi syarat minimal jumlah orang, produk tersebut dapat dibeli dan akan dikirim ke alamat rumah masing-masing anggota.

Setiap penawaran barang memiliki ketentuan jumlah anggota grup yang berbeda-beda. Grupin juga menyediakan fitur penawaran yang selalu disesuaikan berdasarkan lokasi, perilaku penelusuran, preferensi pembelian, dan daya beli.

“Selain itu, pelanggan dapat berbagi penawaran dan produk terbaik dengan teman dan keluarga mereka di dalam aplikasi itu sendiri, memberikan pengalaman berbelanja yang unik yang memiliki nuansa aspek sosial yang berbeda dari apa ditawarkan oleh beberapa platform e-commerce lainnya,” imbuhnya.

Model bisnis pembelian kolektif

Grupin bukan yang pertama memainkan model bisnis e-commerce dengan konsep pembelian kolektif. Sebelumnya startup lainnya juga sudah memiliki fitur serupa, sebut saja Kitabeli. Terakhir KitaBeli sudah merampungkan pendanaan seri A senilai lebih dari $10 juta didukung Go-Ventures, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Model bisnis ini diyakini cocok dengan pasar Indonesia, khususnya untuk menyasar pengguna di daerah tier-2 dan 3. Model belanja kolektif ini turut dapat menjaring kalangan konsumen yang belum familiar untuk melakukan belanja secara online. Selain itu, kuatnya jaringan komunitas antartetangga di daerah-daerah dinilai cocok untuk pembelian kolektif seperti ini – apalagi bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau.

Ini adalah satu dari beberapa model bisnis yang dapat diaplikasikan social commerce. Model lain adalah kemitraan, memungkinkan pengusaha mikro [individual] untuk memiliki usaha jualan tanpa harus memiliki modal besar untuk stok barang. Beberapa startup yang bermain di ranah ini adalah Evermos dan RateS.

Application Information Will Show Up Here

Quick Commerce Startup Bananas Is Reportedly Received Seed Funding, Soon to Debut

Another online grocery platform arise. It’s called “Bananas”, this service applies the quick commerce concept with 10 minutes delievery guaranteed. The product categories ranged from meat, vegetables, drinks, and various other daily needs.

Based on the website, in the early stage, Bananas is available for users in the Kelapa Gading, Sudirman, and Senopati areas — soon to be available in Kuningan, Senayan, PIK, and surrounding areas.

Regarding funding, based on our source, the company also secured seed investment from a number of investors, including East Ventures and Arise.

In terms of purchasing, users can download the Bananas app on the Android or iOS platform. The app will confirm whether it is within the coverage area. If it is available, you can continue to order items according to the product SKUs.

After the payment is completed, the order will be shipped within 10 minutes after the packing finished. After the goods are shipped and received, the user has 10 minutes to make sure the order is correct. The delivery is carried out by Bananas trained partners.

Bananas was founded by Mario Gaw and Kristian Frits, they curently also participating in the Y Combinator (W22) program. Mario himself is quite familiar in the digital startup industry, he used to be Tiket.com’s CPO, Co-Founder of Cashbac, CEO of Dimo, General Manager of Rumah123.com and several executive positions in other digital companies.

Online groceries innovation in Indonesia

Previously, Astro came up with the same concept. The company recently announced a series A funding of IDR 387 billion. In Indonesia, the quick commerce concept is still relatively new, however, several overseas markets have already validated the business. For example in India, there is Zepto with a similar service. In Europe there is also Gorilla platform.

Quick commerce is basically one of the existing online grocery models. Previously, the Indonesian market had been introduced to the online grocery platform with Happy Fresh or Sayurbox. Although they do not guarantee fast delivery, they are able to deliver orders on the same day with an in-house logistics fleet.

Another concept is in the form of on-demand services, for example, presented by Titipku. They connect Jatiper (partners who shop for goods) scattered in various traditional markets to buy and deliver orders from consumers. Titipku currently accommodates more than 100 markets with nearly 500 thousand users.

Apart from that, unicorns also offer grocery-related sub-services by utilizing their ecosystem and platform. For example, Gojek with GoMart, Grab with GrabFresh, to Blibli with BlibliMart. Blibli seems serious enough to work on the potential of online grocery, last year they just completed a corporate action to acquire a majority stake in the parent company Ranch Market.

On the other hand, several retail companies have also begun to intensify its digital transformation by providing delivery services through applications. Indomaret did it with the KlikIndomaret application and website.

According our observation, the following are Indonesia’s online grocery platforms with the fastest user growth based on rankings in the Shopping category and the number of downloads:

App Rank Download
Klikindomaret 11 1 million+
Segari 23 100 thousand+
Sayurbox 26 1 million+
Pasarnow 30 100 thousand+
Titipku 40 100 thousand+
KitaBeli 42 100 thousand+
TaniHub 52 500 thousand+
LOTTEmart 92 50 thousand+
MyYOGYA 99 100 thousand+

The existing online grocery business models will ultimately provide flexibility for consumers. Moreover, since the pandemic, many people are considering to purchase their needs online to avoid crowds and physical contact. However, the progress of the retail business is also expected to have an impact on industry players – including MSMEs, market traders, to farmers – by including them in the supply chain.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Dikabarkan Dapat Pendanaan Awal, Startup “Quick Commerce” Bananas Segera Debut [UPDATED]

Satu lagi platform online grocery muncul. Bernama “Bananas”, layanan ini mengusung konsep quick commerce, menjanjikan proses pengiriman pesanan dalam 10 menit. Kategori produk yang disuguhkan mulai dari daging, sayur, minuman, dan berbagai kebutuhan harian lain.

Menurut informasi di situs webnya, di fase awal ini Bananas sudah bisa digunakan untuk pengguna di area Kelapa Gading, Sudirman, dan Senopati — segera menyusul di Kuningan, Senayan, PIK, dan sekitarnya.

Terkait pendanaan, dari data yang kami peroleh, saat ini mereka juga sudah mengamankan investasi awal dari sejumlah pemodal, termasuk East Ventures, SMDV, Arise, dan Y Combinator. Total pendanaan yang didapat adalah $1,5 juta sekitar 21,5 miliar rupiah.

Untuk melakukan pesanan, pengguna dapat mengunduh aplikasi Bananas yang terdapat di platform Android atau iOS. Aplikasi akan memastikan apakah area tempat tinggal sudah diakomodasi atau belum. Jika sudah, dapat melanjutkan membuat pesanan item belanja sesuai SKU produk.

Setelah pembayaran selesai, pesanan akan dikirim dalam waktu 10 menit setelah produk selesai dikemas. Setelah barang dikirim dan diterima, pengguna memiliki waktu 10 menit untuk memastikan pesanan sudah sesuai. Pengiriman barang dilakukan oleh mitra Bananas yang telah diberikan pelatihan.

Bananas didirikan oleh Mario Gaw dan Kristian Frits, saat ini mereka juga tengah mengikuti program Y Combinator (W22). Mario sendiri bukan orang baru di dunia startup digital, sebelumnya ia sempat menjadi CPO Tiket.com, Co-Founder Cashbac, CEO Dimo, General Manager Rumah123.com dan beberapa jabatan eksekutif di perusahaan digital lain.

Inovasi online grocery di Indonesia

Sebelumnya, Astro juga hadir dengan konsep yang sama. Baru-baru ini mereka umumkan pendanaan seri A senilai 387 miliar Rupiah. Di Indonesia konsep quick commerce memang relatif masih baru, namun demikian beberapa pasar di luar negeri telah terlebih dulu memvalidasi bisnis tersebut. Misanya di India, ada Zepto yang mengusung layanan serupa. Di Eropa juga ada Gorilla.

Quick commerce sendiri pada dasarnya satu dari varian model online grocery yang saat ini ada. Sebelumnya, pasar Indonesia sudah terlebih dulu dikenalkan dengan platform online grocery ala Happy Fresh atau Sayurbox. Kendati tidak menjanjikan pengiriman kiat, mereka mampu mengantarkan pesanan di hari yang sama dengan armada logistik yang juga dikelola sendiri.

Konsep lain berupa layanan on-demand, misalnya yang dihadirkan oleh aplikasi Titipku. Mereka menghubungkan Jatiper (mitra membelanjakan barang) yang tersebar di berbagai pasar tradisional untuk membelikan dan mengantar pesanan dari para konsumen. Saat ini Titipku sudah mengakomodasi lebih dari 100 pasar dengan hampir 500 ribu pengguna.

Di luar itu, para unicorn juga memiliki sub-layanan terkait grocery yang ditawarkan memanfaatkan ekosistem dan platform yang dimiliki. Misalnya Gojek dengan GoMart, Grab dengan GrabFresh, sampai Blibli dengan BlibliMart. Blibli sendiri tampak cukup serius untuk menggarap potensi online grocery, tahun lalu mereka baru menyelesaikan aksi korporasi mengakuisisi saham mayoritas perusahaan induk Ranch Market.

Di sisi lain, beberapa perusahaan ritel juga mulai menggencarkan transformasi digital mereka dengan menghadirkan layanan pesan-antar melalui aplikasi. Seperti yang dilakukan Indomaret dengan aplikasi dan situs web KlikIndomaret.

Dari data yang berhasil kami kumpulkan, berikut ini adalah platform online grocery di Indonesia dengan pertumbuhan pengguna paling pesat didasarkan pada peringkat di kategori Belanja dan jumlah unduhannya:

Aplikasi Peringkat Jumlah Unduhan
Klikindomaret 11 1 juta+
Segari 23 100 ribu+
Sayurbox 26 1 juta+
Pasarnow 30 100 ribu+
Titipku 40 100 ribu+
KitaBeli 42 100 ribu+
TaniHub 52 500 ribu+
LOTTEmart 92 50 ribu+
MyYOGYA 99 100 ribu+

Hadirnya berbagai model bisnis online grocery pada akhirnya akan memberikan keleluasaan pada konsumen. Terlebih, dari pandemi kemarin banyak orang yang kini mempertimbangkan pemenuhan kebutuhannya secara online untuk menghindari kerumunan dan kontak fisik. Namun demikian, kemajuan bisnis ritel ini juga diharapkan dapat berdampak kepada pelaku industri – termasuk UMKM, pedagang pasar, hingga petani—dengan mengikutsertakan mereka ke dalam rantai pasoknya.

Update: kami menambahkan nominal pendanaan yang didapat dan data investor. Pendanaan ini sudah dikonfirmasi dengan pengiriman rilis oleh East Ventures.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures Berpartisipasi di Putaran Seri B Startup Logistik Inteluck

Startup e-logistics Inteluck menutup pendanaan seri B senilai $15 juta (lebih dari 215 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Creo Capital, perusahaan investasi asal Hong Kong yang menjadi bagian dari New World Group. East Ventures dan Headline Asia termasuk sejumlah investor yang berpartisipasi.  Favour Capital menjadi penasihat keuangan eksklusif dalam babak pendanaan tersebut.

Inteluck didirikan tahun 2014 oleh Kevin Zhang yang berpengalaman di sektor-sektor logistik, rantai pasok, teknologi, dan bisnis lintas wilayah lain, serta didukung tim inti yang menguasai pengalaman fungsional di beragam perusahaan internasional.

Inteluck menyediakan solusi platform e-logistics yang membantu klien dan mitra pemasok untuk menemukan dan menghasilkan valuasi dalam setiap aspek. Valuasi ini terwujud dengan memaksimalkan efisiensi logistik lewat teknologi, data, dan analisis. Startup ini mendukung beragam layanan platform logistik, termasuk FTL (full truckload) transportasi, manajemen gudang, freight forwarding, dan layanan rantai pasok lain yang dirancang secara khusus.

Selain itu, Inteluck mengintegrasikan dan mengoptimalkan sumber daya berdasarkan pemberdayaan teknologi, serta jaringan mitra pemasok yang telah terbentuk di Asia Tenggara selama dekade terakhir. Dengan demikian, diklaim penggunaan platform tersebut dapat menghemat biaya logistik dan meningkatkan efisiensi operasional.

Di saat bersamaan, Inteluck membantu lebih dari 5.000 mitra pemasok mengatasi tekanan arus kas dengan menambah jumlah pesanan yang diterima. Saat ini perusahaan telah melayani lebih dari 250 perusahaan ternama di sejumlah industri, seperti telekomunikasi, FMCG, manufaktur, e-commerce, pengiriman barang, dan lain sebagainya.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Inteluck Kevin Zhang mengatakan, meski banyak perusahaan terdampak pandemi, bahkan memperoleh pelanggan baru kini menjadi lebih sulit, perusahaan mampu meningkatkan pendapatan sebesar 512% dalam tiga tahun terakhir.

“Pencapaian ini terwujud berkat kerja keras tim kami yang selalu melayani klien dengan layanan bermutu tinggi. Kami juga meningkatkan nilai tambah bagi klien dan vendor dengan memanfaatkan order reconstruction, dispatch optimization, dynamic pricing, dan sederet teknologi lain,” ujarnya, Rabu (26/1).

Inteluck telah memperkuat jangkauannya di segmen 3PL yang bernilai $300 miliar. Berkantor pusat di Singapura, Inteluck telah merambah Filipina, Thailand, dan negara-negara lain. Inteluck kini memperluas jangkauannya di Asia Tenggara, dan menargetkan pertumbuhan luar biasa dalam tiga tahun ke depan.

Managing Partner Creo Capital Christopher Cheng berujar, “Setelah dunia menghadapi ketidakpastian rantai pasok yang tak terduga, dan permintaan pelanggan yang cepat berubah, platform Inteluck yang canggih dan berorientasi data, serta jaringan luasnya menyediakan cara hemat biaya bagi pemasok dan perusahaan.”

Dia melanjutkan, “Hasilnya, kegiatan operasional menjadi lebih optimal, dan inefisiensi pun berkurang. Tim manajemen Inteluck yang piawai, dan produk unggulannya sejalan dengan strategi Creo untuk berinvestasi pada perusahaan transformatif yang dipimpin pengusaha inovatif. Kami optimis, Inteluck berpotensi menjadi penyedia solusi logistik terkemuka di Asia Tenggara pada masa mendatang.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca turut menambahkan, “Kami gembira mendukung Inteluck dan menjadi bagian dari tim Kevin dalam mengatasi kendala logistik. Platform Inteluck yang berorientasi pada teknologi dan data membantu perusahaan logistik dan pengiriman barang mengoptimalkan seluruh rantai pasok secara lebih efisien dan transparan. Kami ingin menyaksikan pencapaian Inteluck yang berikutnya.”

Tren pendanaan startup logistik

Dalam mendukung ekonomi digital, industri logistik masih memiliki banyak friksi di dalam proses bisnisnya. Kesempatan tersebut mendorong pemain startup untuk terjun yang membutuhkan banyak investasi dalam mengembangkan teknologinya.

Sejak awal tahun 2019 hingga Juli 2021, tim riset DailySocial.id mencatat ada sekitar 16 transaksi pendanaan yang diumumkan melibatkan perusahaan logistik berbasis teknologi. Investasi ini berhasil membukukan total nilai dana $586 juta. Setidaknya ada 4 startup logistik yang memiliki valuasi di atas $100 juta, yaitu SiCepat, Waresix, Shipper, dan GudangAda.

Perusahaan Putaran Tahun
ASSA (induk AnterAja) Convertible Bond 2021
Andalin Series A 2021
Deliveree Series A 2017
Finfleet Series A 2019
GudangAda Series A

Series B

2020

2021

Kargo Technologies Seed Funding

Series A

2019

2020

Logisly Series A 2020
Pakde Seed Funding 2018
Ritase Series A 2019
Shipper Seed Funding

Series A

Series B

2019

2020

2021

SiCepat Series B 2021
Triplogic Seed Funding 2019
Waresix Seed Funding

Pre-Series A

Series A

Series A+

Series B

2018

2018

2019

2020

2020

Webtrace Seed Funding 2020

StaffAny Dapat Pendanaan dari East Ventures dan Sejumlah Investor, Segera Ekspansi ke Indonesia

East Ventures ikut terlibat dalam putaran pendanaan seri A yang diperoleh StaffAny sebesar $3,4 juta atau 48,8 miliar Rupiah. StaffAny merupakan startup penyedia solusi untuk workforce management asal Singapura.

Dalam keterangan resminya, StaffAny mengungkap akan memanfaatkan pendanaan ini untuk meningkatkan skala bisnis dan timnya ke regional, khususnya ke pasar Indonesia dan Malaysia.

Adapun, pendanaan ini dipimpin oleh GGV Capital, turut pula berpartisipasi sejumlah investor FreakOut Shinsei Fund, Far East Ventures, Farquhar Venture Capital, serta beberapa angel investor, termasuk eks CFO Slack Allen Shim.

Sebagai informasi, StaffAny menawarkan solusi bagi pekerja blue collar untuk mengoptimalkan layanan operasional secara real-time dan terintegrasi , meningkatkan kinerja, dan memangkas biaya melalui pengembangan sejumlah fitur, seperti penjadwalan waktu kerja, pelacakan kehadiran karyawan, hingga pengajuan cuti.

Co-founder StaffAny Janson Seah mengatakan, kebutuhan terhadap digitalisasi workforce management di kalangan perusahaan terus meningkat yang dipicu oleh penerapan sistem Work From Home (WFH) selama pandemi Covid-19.

“Perusahaan mulai menyadari bahwa segala tools ini membantu mendorong skala [bisnis] secara efisien, serta menghasilkan data yang dapat meningkatkan operasional dan keuntungan,” ujar Janson.

Di 2021, StaffAny telah berhasil menjangkau pasar di tujuh negara,  solusinya telah membantu melacak lebih dari 11 juta jam kerja karyawan dan menghemat lebih dari 350.000 jam kerja.

Fleksibilitas kerja di masa pandemi

Survei Gartner mengungkap bahwa pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap cara dan sistem kerja yang ada selama ini. Pemimpin bisnis di dunia menilai bahwa workforce management menjadi salah satu elemen untuk menuju sukses di masa depan.

Gartner juga melaporkan bahwa pengelolaan tenaga kerja full time secara tradisional atau berbasis di kantor dinilai sudah ketinggalan zaman dan tak lagi relevan untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang cepat berubah.

Sebanyak 32% perusahaan mempertimbangkan untuk mengganti karyawan tetap dengan pekerja kontingen dan gig untuk menghemat biaya. Keduanya menawarkan fleksibilitas terhadap workforce management yang lebih besar.

Tak hanya itu, kombinasi tenaga kerja dengan AI, otomatisasi, dan teknologi canggih lainnya dinilai dapat berdampak besar terhadap pengelolaan pekerjaan yang lebih gesit, scalable, dan ulet. Apalagi dengan semakin berkembangnya sistem kerja dari rumah, karyawan bisa mendapatkan fleksibilitas kerja.

Berdasarkan laporan ReportLinker, pasar solusi workforce management di dunia diestimasi mencapai $3,5 triliun di 2020 dan diproyeksi mencapai $3,86 triliun di 2021. Dengan CAGR 8,68%, nilainya diestimasi naik menjadi $6,38 triliun di 2027.