Konsep ISA Bakal Jadi Fokus Hacktiv8 Setelah Pendanaan

Hacktiv8, startup yang dikenal sebagai penyelenggara bootcamp untuk pemrograman, mengantongi pendanaan Pra-Seri A senilai $3 juta (sekitar 41 miliar Rupiah dengan kurs hari ini) yang dipimpin East Ventures. Turut terlibat di dalamnya Sovereign’s Capital, SMDV, Skystar Capital, Convegerence Ventures, RMKB Ventures, Prasetia, dan Everhaus.

Co-founder dan CEO Hacktiv8 Ronald Ishak kepada DailySocial menjelaskan bahwa fokus besar pendanaan kali ini ada pada ISA (Income Share Agreement). Sebuah konsep yang mulai banyak digunakan untuk pendanaan pendidikan.

“Dengan memperbanyak demand murid melalui ISA kita juga bisa memperbanyak jumlah sekolah kita. Sekarang ini kita sedang membangun beberapa sekolah baru yang akan dibuka secara bertahap tahun 2020 ini,” terang Ronald.

Konsep ISA sudah mulai diberlakukan di Hacktiv8. Konsep ini berbentuk kontrak bagi hasil antara murid dan Hacktiv8 yang memungkinkan para murid untuk menunda pembayaran biaya sekolah di awal, dengan ketentuan dibayar selanjutnya dengan membagi gaji bulanan yang diterima setelah bekerja.

Besaran pembagian gaji bulanan ini akan disesuaikan dengan pendapatan yang didapatkan. Siswa yang terdaftar di ISA mulai membayar setelah pendapatan mereka melebihi jumlah tertentu, sedangkan mereka yang bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi tidak akan membayar lebih dari batasan tertentu.

“Jika lulusan kami mendapat gaji yang kompetitif, kami akan mendapat pengembalian investasi yang bagus,” imbuh Ronald.

Salah satu hal yang ingin diubah Ronald adalah konsep di mana banyak institusi berbayar yang tidak menjamin lulusan meudah mendapatkan pekerjaan. Dengan konsep ISA ini institusi atau sekolah bertanggung jawab pada keberhasilan murid pasalnya setelah murid berhasil sekolah baru menerima pembayarannya.

Untuk saat ini Hacktiv8 mengklaim memiliki lebih dari 250 perusahaan mitra atau hiring partner yang siap merekrut para alumni. Selain itu perusahaan mitra juga turut berpartisipasi dalam perancangan kurikulum dalam rangka memastikan materi yang dipelajari up to date dan tetap relevan dengan industri.

Termasuk dalam mitra Hacktiv8 adalah Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Payfazz, Xendit, KoinWorks, dan beberapa perusahaan lainnya.

Infografis soal ISA

Pertahankan konsistensi untuk cetak programmer handal

Hacktiv8 dikembangkan Roland bersama dengan Riza Fahmi sejak tahun 2018. Dalam kurikulumnya Hacktiv8 mengajarkan beberapa teknologi terkini seeprti JavaScript, Node.js, Vue.js, dan React. Bootcamp yang diselenggarakan pun mendorong peserta untuk secara konsisten berlatih, menghabiskan 10-12 jam setiap hari dalam 5-6 hari selama 12-18 minggu.

“Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah engineer yang rendah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh jumlah populasi yang besar, melainkan juga karena Indonesia hanya memiliki sedikit lulusan program studi STEM (science, technology, engineering, and math),” jelas Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Ronald menambahkan, untuk saat ini demografi peserta bootcamp Hacktiv8 kebanyakan adalah mereka yang ingin pindah atau masuk ke dalam dunia bisnis teknologi atau startup dengan background bermacam-macam, mulai dari finance, design, marketing, dan lain-lain yang mencoba menjadi programmer. Mereka juga tengah fokus untuk mengembangkan platform ISA.

“Sekarang ini hanya Hacktiv8 institusi yang kita jalankan dengan ISA, cuma kita sedang mengembangkan ISA platform untuk membantu semua sekolah lain di luar Hacktiv8 untuk bisa menerima ISA (ke depannya),” imbuh Ronald.

Selain bootcamp salah satu pelebaran sayap Hacktiv8 dalam upaya mencetak programmer berkualitas di Indonesia adalah dengan menghadirkan Kode.id. Platform belajar pemrogaman ini diklaim sudah memiliki 160 kelas belajar dengan total 200 jam.

Komunal Amankan Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures dan Skystar Capital

Startup p2p lending Komunal mengumumkan telah mengamankan pendanaan tahap awal dari East Ventures. Tidak disebutkan berapa nominal yang diterima startup asal Surabaya ini. Skystar Capital juga turut serta dalam putaran kali ini.

Dana yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk mempercepat misinya dalam menjembatani gap pendanaan yang dibutuhkan oleh para pemilik UKM di Indonesia yang belum bisa dilayani oleh bank.

Ide awal Komunal muncul ketika para pendirinya menyadari besarnya jumlah pendanaan yang dialami Indonesia sejak awal tahun 2018. Gap pendanaan bagi para pemilik UKM di Indonesia disebut bisa mencapai angka Rp1.000 triliun per tahun.

Co-founder Komunal Hendry Lieviant menjelaskan, UKM saat ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia karena memberikan kontribusi lebih dari 60% untuk Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan mampu menyerap tenaga kerja. Sayangnya mereka kesulitan mendapatkan pendanaan karena kurangnya riwayat pinjaman dan biaya operasional yang besar.

“Lewat Komunal, kami ingin membantu UKM yang potensial untuk terus berkembang dan turut memperbaiki ekonomi Indonesia secara substansial, serta mengurangi kesenjangan,” imbuh Hendry.

Sementara itu Co-founder Komunal Rico Tedyono menambahkan bahwa model bisnis p2p lending terbukti mampu membantu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, melalui inklusi keuangan yang lebih baik.

“Komunal tidak hanya menyediakan kesempatan bagi masyarakat umum untuk menjadi pemberi pinjaman dengan bunga yang menarik, namun kami juga membuka akses pendanaan baru bagi para peminjam yang tidak bisa dilayani oleh bank. Lewat platform kami, para pemilik UKM kini bisa mendapatkan pinjaman yang mereka butuhkan untuk tumbuh,” terang Rico.

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan bahwa Komunal memiliki misi yang sama dengan East Ventures, yakni mendorong inklusi keuangan di Indonesia. Tim Komunal juga disebut telah membuktikan kemampuan mereka dalam mengeksekusi dengan cepat dan tepat.

“Kami senang bisa turut bergandengan tangan dengan mereka dalam membuka kesempatan yang lebih baik bagi para UMKM di Indonesia,” jelas Willson.

Dalam waktu 8 bulan Komunal telah menyalurkan pinjaman dengan total nilai mencapai Rp50 miliar untuk para UKM di wilayah Jawa Timur. Komunal juga tengah menyiapkan diri untuk hadir di lebih banyak kota di Jawa Timur dan provinsi lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.

Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.

Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.

Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.

Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?

Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.

Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas – sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.

Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.

Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.

Mengapa Anda pindah ke Singapura?

Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.

Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.

Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop – #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.

wilson cuaca 1

Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?

Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.

Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.

Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.

Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.

Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?

Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.

Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha.
1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya?
2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana?
3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.

East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.

Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?

Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah “hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat”.

Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.

masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri
masa awal di East Ventures, mengatur semua portfolio sendiri

Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?

Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.

Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?

Ada tiga hipotesis tentang individu;
1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat,
2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri,
3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif.
Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.

Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.

Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?

Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.

Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?

Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.

Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.

Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.

Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?

Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.

Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.

Setelah meraih berbagai pencapaian “nomor satu” dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.

Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi – atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.

Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi
Tahun ini menjadi tahun ke 10 East Venture beroperasi

Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?

Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.

Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.


Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

A Singapore Based Startup Eatsy to Arrive in Jakarta, Promoting a Queue Booking App in Restaurants

Eatsy, a Singapore based startup stated itself as a “dining mobile app” announced to arrive soon in Jakarta. The firm was getting seed round from East Venture in January 2019 worth of $550 thousand.

The Eatsy app is to help users in booking queues and food in the restaurant. Therefore, when customers arrived, they don’t have to wait longer to queue for seating and ordering food.

“Using Eatsy, not only saving time but customers can also order their food peacefully. The restaurant, particularly those with small space but high demand, can cut the queue service and manage the order well,” Eatsy‘s Founder & CEO, Shaun Heng said.

To date, their team has reached hundreds of restaurants in Indonesia to join their system. They also have partnered up with Ovo for the payment system.

Meanwhile, to indulge restaurant merchants with the best experience, Eatsy also take Moka (also one of East Venture’s portfolio) for the point of sales service. The collaboration allows all orders to be integrated into a system. Meanwhile, Moka’s merchants will automatically be registered into the Eatsy app, including their menus.

In Singapore, Eatsy currently has partnered up with 400 merchants, the solution is said to increase sales by 1.5 times up.

“We’re glad to deliver Eatsy in Jakarta, furthermore, we aim to expand to the other first-tier cities in Southeast Asia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Asal Singapura Eatsy Siap Hadir di Jakarta, Tawarkan Aplikasi Pemesanan Antrean di Restoran

Eatsy, startup asal Singapura yang memosisikan diri sebagai “dining mobile app” mengumumkan kesiapan untuk segera beroperasi di Jakarta. Startup ini sebelumnya didukung East Ventures dalam seed round pada Januari 2019 lalu, dengan nilai $550 ribu.

Aplikasi Eatsy membantu pengguna untuk memesan antrean dan makanan di restoran. Sehingga saat sampai, tidak perlu lagi menunggu lama untuk antre tempat duduk dan memesan hidangan.

“Dengan Eatsy, pelanggan tidak hanya menghemat waktu, mereka juga bebas memilih makanan dengan tenang. Restoran, terutama yang hanya memiliki tempat kecil dan yang sedang diminati, dapat mengurangi antrean dan mengatur alur pemesanan dengan baik,” terang Founder & CEO Eatsy Shaun Heng.

Pihak Eatsy sejauh ini sudah menjaring ratusan restoran di Indonesia untuk bergabung dalam sistem mereka. Mereka juga menjajaki kerja sama dengan Ovo untuk sistem pembayarannya.

Sementara untuk memanjakan para merchant restoran dengan pengalaman terbaik, Eatsy juga menggandeng Moka (yang juga merupakan portofolio East Ventures) untuk layanan point of sales. Kolaborasi tersebut juga memungkinkan seluruh pesanan terintegrasi ke dalam sistem. Sementara itu merchant Moka juga akan otomatis terdaftar dalam aplikasi Eatsy, lengkap dengan informasi menu yang mereka miliki.

Saat ini di Singapura Eatsy sudah memiliki 400 rekanan merchant, solusi yang ditawarkan diklaim berhasil mendongkrak penjualan hingga 1,5 kali lipat.

“Kami sangat senang dapat menghadirkan Eatsy di Jakarta, dan ke depannya kami berharap Eatsy juga dapat hadir di kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara,” tutup Shaun.

Application Information Will Show Up Here

StickEarn Announces Series A Worth of 77.6 Billion Rupiah

StickEarn startup known with its advertising solution on the vehicle, today (10/15) announced series A funding closed at $5.5 million or around 77.6 billion Rupiah. This round led by East Ventures and SMDV, followed by Grab, Ovo, and Agaeti Ventures.

The fresh money is to be used to explore new opportunities and services. It also to improve data analytics for a better advertising business. StickEarn offers various out-of-home advertising platforms, such as StickMob (car), StickMotor (motorcycle), StickBus (bus), StickAngkot (Angkot), StickPlane (plane), dan StickMart (retail in-car).

Since 2017, there are more than 300 brands are helped by StickEarn service. Mostly has income growth up to 300% of the awareness. The company has been operating in 31 cities in Indonesia.

“We have this commitment to developing ads platform which brings significant impact, easy access, and smart product for our clients. Through this round, we tried to recruit the best talents in the industry to improve our service in order to meet the client’s demand, to develop new products, and tighten up our partnership among agencies,” StickEarn’s Co-Founder, Archie Carlson said.

Last month, StickEarn has introduced StickTron, a new model of advertising using moving LED on trucks. This is still on trial around Jakarta. They’re targeting 10 units of LED trucks by early 2020.

“We’ll keep developing various ad services to support campaigns in the integrated and multi-platform. This is to allow StickEarn clients to experience the whole advertising to integrate offline marketing strategy online. We’ll provide more data-based campaign report ad tech updates, therefore, to help clients make better decisions,” StickEarn’s Co-Founder, Garry Limanata said.

StickEarn first received seed funding in 2007 from East Ventures. Along the journey, they’ve made some strategic partnerships, such as GrabAds with Grab.

“As StickEarn’s early investor, East Venture has seen how the pioneers prove their point to develop this kind-of-new business model, in vertical or horizontal. Within only two years, their solution keeps making positive impact either for advertisers or brands. The investment is our commitment to StickEarn can work on its vision to make industrial revolution of out-of-home (OOH) advertising in Indonesia,” East Ventures’ Managing Partner, Willson Cuaca said.

In addition to StickEarn, Indonesia also has StiCar, Ubiklan, Adroady, and some other players that provide similar services. Promogo, a startup that offers advertisement on vehicles, has acquired by Gojek.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

 

StickEarn Umumkan Perolehan Pendanaan Seri A Senilai 77,6 Miliar Rupiah

StickEarn startup yang dikenal dengan solusi periklanan di kendaraan, hari ini (15/10) mengumumkan penutupan pendanaan seri A dengan nilai mencapai $5,5 juta atau setara 77,6 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh East Ventures dan SMDV, turut berpartisipasi di dalamnya Grab, Ovo, dan Agaeti Ventures.

Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengeksplorasi peluang dan layanan baru. Termasuk meningkatkan kemampuan analisis data untuk mendukung bisnis periklanan yang dijalankan. StickEarn menawarkan beragam pilihan platform beriklan luar ruangan seperti StickMob (mobil), StickMotor (sepeda motor), StickBus (bus), StickAngkot (angkutan perkotaan), StickPlane (pesawat), dan StickMart (ritel di dalam mobil).

Sejak debut pada tahun 2017, saat ini sudah lebih dari 300 brand dibantu dengan layanan iklan StickEarn. Rata-rata mengalami peningkatan pendapatan hingga 300% dari awareness yang dihasilkan. Perusahaan juga sudah  beroperasi di 31 kota di Indonesia.

“Kami berkomitmen untuk terus mengembangkan platform iklan yang membawa dampak besar, mudah diakses, dan cerdas untuk klien kami. Melalui putaran pendanaan ini, kami berupaya untuk merekrut talenta terbaik di industri guna meningkatkan layanan kami dalam memenuhi kebutuhan klien, mengembangkan produk-produk terbaru, serta memperkuat kemitraan antara agensi dan StickEarn lebih,” ujar Co-founder StickEarn Archie Carlson.

Awal bulan lalu StickEarn baru memperkenalkan StickTron, yakni model layanan beriklan melalui layar LED bergerak yang ditempelkan pada kendaraan truk. Saat ini masih diuji coba di kawasan Jakarta. Targetnya akan ada 10 unit LED Truck di awal 2020 mendatang.

“Kami akan terus mengembangkan berbagai layanan beriklan yang dapat mendukung kampanye di multi-platform dan terintegrasi. Hal ini agar memungkinkan klien StickEarn dapat merasakan pengalaman beriklan yang lebih menyeluruh dan mengintegrasikan strategi pemasaran offline ke online. Kami juga akan menyediakan lebih banyak laporan kampanye berbasis data, serta pembaharuan teknologi, sehingga dapat membantu klien membuat keputusan yang lebih baik,” lanjut Co-founder StickEarn Garry Limanata.

StickEarn mendapatkan pendanaan awal pada tahun 2017 dari East Ventures. Dalam perjalanannya, mereka juga menggandeng berbagai mitra strategis, salah satunya Grab untuk inisiatif GrabAds.

“Sebagai pendukung pertama StickEarn, East Ventures melihat bagaimana para pengagas membuktikan kemampuan mereka untuk mengembangkan model bisnis baru ini, baik secara horizontal maupun vertikal. Hanya dalam dua setengah tahun, solusi mereka terus memberikan dampak positif baik bagi pengiklan dan brand. Investasi ini adalah bukti kepercayaan kami bahwa StickEarn akan dapat memenuhi visinya dalam merevolusi industri periklanan luar ruang (OOH) di Indonesia,” sambut Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Selain StickEarn, di Indonesia juga ada StiCar, Ubiklan, Adroady, dan beberapa pemain lainnya yang menyajikan layanan serupa. Promogo juga memiliki layanan periklanan di kendaraan serupa, saat ini sudah diakuisisi oleh Gojek.

Application Information Will Show Up Here

The Importance of Mental Health Through the Lens of Gojek and East Venture

Working in a tech-startup demands creativity and innovations, in a fast-paced environment, and think of sustainable business at a time. When it comes to burnout, incapable of balancing work and life, it may lead to harm for oneself, family, also the company.

Mental health issues are often avoided and considered as taboo in the startup community. DailySocial has brought this issue once by interviewing some startup workers and talks on how important to keep the work-life balance in the industry.

Today, we bring up the issue with a different perspective, from the founders of unicorn and investors. Somehow, there’s no conference ever talked about this topic.

At least, this is the fact that Gojek‘s President, Andre Soelistyo confirmed as a speaker at East Venture’s 10th-year-anniversary event with East Ventures’ Managing Partner, Willson Cuaca as a moderator.

“The mental health issue on founders in the leadership has never been brought at any conference. In fact, we are all, investors and founders should really start thinking about this,” Andre said, Mon (10/7).

He didn’t specifically mention how to solve this problem. However, he admits the thing can damage the founder’s mind if not taken seriously.

As he quoted a statistic, founders have two times bigger possibility to get depressed, three times for substance abuse disorder, and other statistics following them.

The worst scenario, he thought, is very likely to happen as founders are required to be creative. Which is, a creative person tends to feel lonely. In a difficult time, they always keep it to themselves instead of sharing with people, especially the employees.

“I really want to encourage the startup community to change because it all started from the community. The closest person to the founder is investor, therefore, it’s important how investors handle this issue.”

Willson agreed that the investor is the closest person to founders. Honestly, investor’s job after investing money is to absorb them whining and complaining. He spent a lot of time on this.

“We do have a founder almost committing suicide. This is crucial because when investing in the early-stage in the digital economy, investors aren’t focused on the economy or the technology, but the people.”

“Our philosophy is to maintain the people [founder] because we invest in people,” Cuaca added.

Communication among Gojek’s officials

Another topic arises, on how to communicate with each founder under Gojek’s business verticals.

For your information, Gojek has 20 business verticals and subsidiaries by acquisition. Each founder comes from different kinds of startups, gathered in one company, must have various kinds of leadership.

However, the relationship among founders should be called a partnership-driven organization, not a dynasty consists of people in a high position.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, and 20 other strong leaders have their own leadership style and good quality on execution. They have the same perspective so that when focusing on Gojek’s goals and mission, many objectives will appear and synergy will be made with each other.”

For example, one of the synergies is Gojek’s product with the lowest user acquisition cost, Go-Ride. When they’re linked to Go-Food product, the potential is there to make them as loyal consumers.

Furthermore, for consumers to make easier transactions, a payment system provided as Gopay. “Everything is connected for consumers to get more sticky with Gojek services and have more transactions in our platform. And that’s the goal.”

For the record, Gojek is not listed as East Ventures’ portfolio. As Soelistyo asked the reason, Cuaca said in 2011, he already met Nadiem in Bali for an event participated by US’ former diplomat, Hillary Clinton.

However, he decided not to invest in Gojek because when it was started, Nadiem was not full-time. He was still working at Zalora as Managing Director.

“Our hypotheses since the beginning is to invest in the founder who works full-time. That’s it.”

After all, Cuaca didn’t regret the decision that costs him a unicorn potential, which is finally become one in 2017. He said investors must be discipline on the first hypotheses. Otherwise, they’ll lose by not having the competence to see unicorn potential.

“It’s okay to miss one or two, as long as we’re disciplined with the hypotheses. There’s a term, no one can invest in all unicorns. Therefore, we need to build hypotheses and discipline to it, then you’ll get many or missed a little [possibility to capture the unicorn potential],” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengungkit Pentingnya Kesehatan Mental Menurut Kacamata Gojek dan East Ventures

Bekerja di startup teknologi dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, bekerja dengan cepat, dan di saat yang bersamaan harus memikirkan bagaimana bisnis bisa tetap bertahan. Bila burnout, tidak bisa menyeimbangkan antara hidup dan kerja, lambat laun membahayakan bagi diri sendiri, keluarga, maupun perusahaan.

Gangguan kesehatan mental seringkali menjadi topik yang dihindari dan dianggap tabu untuk dibicarakan di kalangan penggiat startup. DailySocial pernah mengangkat topik ini dan mewawancarai sejumlah pekerja startup dan bagaimana work life balance itu harus selalu dijunjung tinggi.

Kali ini mengangkat kembali dengan perspektif dari founder dari startup unicorn dan investor. Pasalnya, di konferensi manapun, tidak ada ada yang mengangkat topik ini.

Setidaknya fakta inilah yang diakui oleh President Gojek Andre Soelistyo, saat menjadi pembicara di perayaan hari jadi East Ventures ke-10 yang dimoderatori oleh Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Isu mental health buat founder dalam kepemimpinannya di perusahaan ini tidak pernah ada yang di bahas di konferensi manapun. Padahal kita semua, investor, dan founder harus mulai memikirkan ini,” kata Andre, Senin (7/10).

Dia tidak menceritakan secara spesifik bagaimana dirinya mengatasi permasalahan ini. Namun dia mengaku hal demikian bisa menganggu kejiwaan founder bila tidak ditangani dengan serius.

Dari statistik yang ia kutip, founder itu punya kemungkinan dua kali lebih besar menderita depresi, tiga kali lebih besar untuk substance abuse disorder atau penyalahgunaan zat, dan statistik-statistik lainnya yang menghantui founder.

Kemungkinan buruk ini, menurutnya, sangat wajar terjadi karena founder itu dituntut untuk kreatif. Yang mana, orang kreatif itu punya tendensi sering kesepian. Ketika ada masalah, mereka selalu membebani pikiran tersebut ke diri sendiri ketimbang berbagi cerita ke orang lain, terlebih karyawannya.

“Ingin sekali mendorong bagaimana komunitas startup ini bisa berubah karena hal ini bisa dimulai dari komunitas. Orang terdekat founder itu adalah investor, sehingga perlu dilihat bagaimana investor menangani hal ini.”

Willson setuju, bahwa investor adalah orang terdekat bagi founder. Sejujurnya pekerjaan investor setelah menanamkan dana ke startup, adalah menerima keluh kesah para founder. Dia mengaku dirinya menghabiskan banyak waktu untuk hal yang satu ini.

“Bahkan ada founder kami yang berpikir untuk mau bunuh diri. Ini isu serius karena ketika investasi ke early stage di ekonomi digital, investor itu sebenarnya gak lihat ke ekonominya itu sendiri atau ke teknologi yang dipakai, justru ke orangnya.”

“Jadi filosofi kita adalah merawat orangnya [founder] karena kita berinvestasi ke people,” tambah Willson.

Bentuk komunikasi antar petinggi di Gojek

Selain membahas kesehatan mental, topik lainnya yang turut dibahas adalah bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing founder yang membawahi vertikal unit bisnis dari Gojek.

Perlu diketahui, Gojek punya 20 vertikal bisnis dan anak-anak usaha yang sudah diakusisi. Masing-masing founder yang berasal dari startup berbeda dan dikumpulkan dalam satu perusahaan, pasti memiliki gaya kepemimpinan yang beragam.

Akan tetapi, hubungan antara masing-masing founder ini lebih pas disebut sebagai partnership-driven organization, bukan dinasti dengan menempatkan orang dengan posisi tertinggi.

“Aldi [Go-Pay], Ryu [Midtrans], Catherine, dan 20 strong leaders lainnya punya gaya kepemimpinan masing dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusi. Mereka semua punya perspektif yang sama, jadi ketika kita fokus ke tujuan dan misi Gojek itu sendiri, ada banyak objektif yang muncul dan akhirnya menghasilkan sinergi satu sama lain.”

Dia mencontohkan, salah satu bentuk sinerginya adalah produk dari Gojek yang memiliki ongkos akuisisi konsumen terendah dari Go-Ride. Ketika mereka dikaitkan dengan produk Go-Food, ada potensi menjadikan mereka sebagai konsumen loyal.

Berikutnya, agar konsumen semakin mudah bertransaksi, disediakan sistem pembayaran dari Gopay. “Semuanya saling berhubungan sehingga konsumen jadi lebih sticky dengan layanan Gojek dan akhirnya banyak bertransaksi di tempat kita. Kira-kira seperti ini tujuannya.”

Sebagai catatan, Gojek tidak termasuk ke dalam portofolio di East Ventures. Ketika ditanya alasannya oleh Andre, Willson menjelaskan bahwa di 2011, dia sempat bertemu dengan Nadiem di Bali untuk menghadiri acara yang dihadiri oleh eks Menlu AS Hillary Clinton.

Namun Willson memutuskan untuk tidak berinvestasi di Gojek karena Gojek sudah dirintis, tapi Nadiem belum bekerja full time. Waktu itu Nadiem masih bekerja di Zalora sebagai Managing Director.

“Hipotesis kita sejak awal itu jelas hanya mau berinvestasi di founder yang bekerja full time. Itu saja alasannya.”

Kendati begitu, Willson mengaku tidak menyesal kehilangan calon unicorn, yang pada akhirnya memang menjadi unicorn di 2017. Menurut dia, investor harus tetap disiplin dengan hipotesis yang sudah dibuat dari awal. Bila tidak disiplin, justru investor akan rugi karena tidak bisa jeli menangkap potensi unicorn.

Missed one or two unicorn tidak apa, asal disiplin dengan hipotesis. Ada istilah tidak ada seorangpun yang bisa berinvestasi ke semua unicorn. Untuk itu, perlu bangun hipotesis dan disiplin menerapkannya, maka akhirnya kamu bisa mendapat banyak atau missed sedikit [kemungkinan menangkap calon unicorn],” pungkas dia.

Willson Cuaca to Invest a Lot More than Just Money in People Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

As one of the most active investors in the VC industry, Willson Cuaca has invested a lot more than just money in the people business. He is the early believer of Indonesia and Southeast Asia digital economy.

Many people only associate him with the VC industry, while he’s expert at much larger field. Cuaca was born to be in the tech industry, he started young in the computer field and achieved many firsts during his early career. Who knows that he is a person with guts that can make it into the industry through a different approach.

Was founded in 2009, East Ventures managed to have 160 startup portfolios in hand and some are getting profitable. This year marked their 10th anniversary and more stories to come. He believes in the power of this nation and its population.

He talks about beliefs and the core value to run a business. DailySocial has translated the conversation into paragraphs below.

You are best known as one of the most active investors in the VC industry. When did you start?

Many people might think I only about VC industry, meanwhile, my early days was full of computer stuff and network thingy.

I began my academic year at Binus University in 1996, this was also the year when it becomes a university – from previously named STMIK. My school year is filled with other activities besides study. I became a course instructor at BNTRC before renamed into Binus Center. Amidst the tight schedule, I still find time to have fun playing games.

I always tried to be the first to learn everything. In my college years, I learned all about the local area network and find out about Linux which was actually the core to Android and iOS systems. Slackware was my favorite distribution. I tried to fathom the knowledge and become one of the first people to learn about Cisco equipment. I was the first Cisco Certified instructor in Indonesia to trained Cisco’s engineer to be CCNA certified and the founding team of Cisco Networking Academy in Indonesia.

In 2000, I graduate university then hired as the Head of Infrastructure in an agriculture company. My job requires me to manage national wide intra-network connectivity.

Why did you move to Singapore?

Actually, I get bored easily, I need to find something new to do. It was 2001 when I observed the trend in internet security and learned enough to be a specialist, supporting firms in Singapore.

Around 2006, web-app was getting hype and I was encouraged to create my own app named Foyage. It was before iPhone launched and Blackberry widely used. I was also part of the first iPhone developer in Singapore and a few first Blackberry developers in the region.

After Foyage, I also created Apps Foundry with the aim to develop technologies and applications. Our first breakthrough is Scoop – #1 digital magazine reader in Indonesia- which was later acquired by Kompas.

Tell me about the early days of East Ventures? How did you meet the partners?

My relation with Batara is all the way to 1993 when we’re still in high school. When I went to Jakarta, he left for college in Japan. While I struggle with Foyage, he also exited his own company named Mixi. The website debuted on the stock market in 2006 and valued billions dollar, it was before the term unicorn coined. We then re-group again to create East Ventures in 2009 with 2 other partners. Taiga Matsuyama, the other partner, was the first investor of Batara’s Mixi.

Foyage raised first money from Singapore government investment scheme in 2008. Not until then, I realized that Indonesia also has a huge opportunity in this industry. In 2009, we decided to form East Ventures.

We started Jakarta Ventures Night, inviting few investors from Japan and some local startups. In 2010, DailySocial’s Rama Mamuaya also presented in the event and William Tanuwijaya from Tokopedia, the first in our portfolio. Later on, we invest in Disdus and made our very first exit. We’re actually the first VC to have a complete cycle and that instantly boosted our confidence. It helped creating the flywheels effect.

To date, East Ventures has invested in 160 companies, mostly are the early-stage startups focuses on consumer internet, mobile, SaaS, media, retail education and much more. Recently, some are getting profitable as Indonesia’s digital economy hit the inflection point.

With so many portfolios in hand, how could you manage?

The key is to invest in people. Once you meet the right one and clicked, you trust them enough to run independently and to bring out the best result through this deal.

We need 3 point of alignment with entrepreneur.
1. vision, what kind of problems to solve, what’s the goal?
2. strategy, it’s how to work things out, how to get it done?
3. tactical, this is more like the execution.

East Ventures and the founding team must have a same vision. In fact, I don’t believe that investors could change their portfolios. We might advise strategy but it’s the people (founders) who know what’s best for their company.

You’ve created your own app, built your own VC, run the business. During your journey, have you faced any stumbling block?

Of course, there are ups and downs, but one thing I always believe is “things that don’t kill you make you stronger”.

I was so desperate that I couldn’t raise funds for Foyage, but I’m not the kind of person who stops and stares while the industry’s rapidly growing. We founded East Ventures in 2009, it was really hard to gain trust from people that time. We went some places, but no one believes except some Japanese innvestors, it was due to Batara’s credential. However, I think it’s the power of not giving up until it gets to the point where all the pieces put down together.

Early days of East Ventures, managing the whole portfolios alone

 

If no one believes in Indonesia’s digital industry, why would you?

Emotionally, It’s because I’m Indonesian. If not us, who else?

In terms of business, there are 30 million internet users in Indonesia. A huge size market, why wouldn’t anyone make a move? At that time, there’s only one problem. If we start now, when will we make it? This is where the leap of faith is necessary.

The thing is, Indonesia is capable of making something impossible happened. Instead of talking about American Dreams, why can’t we create the Indonesian Dream. We are too focused on the story of some people who create big things somewhere, why don’t we work things out and have people look at us. This kind of inferiority complex should have vanished from our mindset. We are a great nation with lots of people.

What makes you decide to invest in one?

There are three hypotheses on people;
1. integrity, a moral standard, you do the right thing when no one sees,
2. self-awareness, to know yourself and what you’re capable of,
3. paradox, having contradictive traits, which means adaptive.
These things cannot be learned instantly or faked.

Once I met these criteria in people, no need to think or waste time. That is why most of our good deals were closed within 28 hours after the first meeting. These consistently happened overtime with Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai and many more. Also, we tried to create a healthy ecosystem in this VC. Therefore, I wouldn’t invest in competing businesses. We back our founders wholeheartedly.

In terms of academic background, how do you see people with the overseas title have an impact in the industry?

Casually, people who study overseas will have the privilege to gain insight from the global knowledge.  However, I don’t believe people who study overseas will always be more successful. In fact, I believe people should have global knowledge to know and what’s best for local execution.It is not always by studying abroad.

You survived many years in this industry. Do you have any specific support system?

Family is indeed the fundamental support that shapes your current self. I also believe that character was developed, not learned. That is why I find it hard to believe in the accelerator or mentoring concept that aims to turn someone into an entrepreneur.

The accelerator program, they might have done a very curated process to find talents, but in my concept, once a jewel, although it’s covered in dirt, is still a jewel. The potential was there from the very beginning and developed through times.

I believe in serendipity, that is why I put my focus on people. A Chronos and Chairos concept, everybody has their own timeline, and the moment we met, the decision was made, whether to involve or not at each other’s life.

If you really believe in Indonesia’s digital industry, why won’t you live in Indonesia?

In Singapore, we always get the best scenario, in terms of regulation and many more. While in Indonesia, everything is in the worst case, unexpected things often arose. I’d like to maintain my consciousness by having the contrast. The yin and yang, so to say. Therefore, My life could be more contrast and I have a clearer mind to identify the problem statement.

Also, Singapore is currently the hub in Southeast Asia.

After achieving many firsts in the computer and technology industry, also with East Ventures, what’s next?

This is also the question I always ask myself every day, What should I do next? How can I transfer my knowledge to my team, for they can do their own things, in their own style, and have their own investees.

I can’t have this role forever, that is why I have partners. I want to build East Ventures and make it institutional, raise the next generation team, and make sure it stays true to its mission, to be an Entrepreneurship Platform. Then, I will have time and space to think of something new again – or maybe I will do this forever. Let’s wait for the stars to align.

This year marked as East Venture's 10th year anniversary
This year marked as East Venture’s 10th year anniversary

If you have something to say about the industry, what would you say?

The industry currently has a much larger pie. Indonesia, with so many issues in the country, offers quite many opportunities. Thus, I think the VC industry will stay long here.

To me, the VC industry is all about people business, the technology is just a tool.