Pintek Dapatkan Pendanaan Lanjutan dari Accion Venture Lab

Pintek selaku startup p2p lending yang fokuskan pada penyediaan pinjaman pendidikan baru-baru ini mendapatkan tambahan pendanaan di tahap pra-seri A. Accion Venture Lab berpartisipasi sebagai investor baru, dengan nilai yang tidak disebutkan. Sebelumnya putaran ini telah dimulai pada akhir tahun 2019 lalu, melibatkan Global Founders Capital.

Kepada DailySocial, Co-Founder Pintek Tommy Yuwono mengatakan bahwa tambahan dana ini akan difokuskan untuk mengembangkan sistem teknologi, dengan misi mendukung industri pendidikan di Indonesia yang terdampak Covid-19.

“Ada kebutuhan yang jelas untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia; keunikan Pintek, kepemimpinan yang kuat, dan potensi pertumbuhan menjadikan mereka mitra ideal untuk memenuhi kebutuhan itu. Kami sangat terkesan dengan respons mereka yang cepat terhadap pandemi, menemukan cara baru untuk membantu pelanggan selama masa sulit ini. Kami senang menambahkannya ke portofolio Venture Lab,” sambut Managing Director Accion Venture Lab, Vikas Raj dalam rilis resminya.

Di tengah pandemi ini, Pintek sempat melakukan survei terhadap keluarga dan sekolah untuk mengeksplorasi dampak yang mereka rasakan. Lantas ditemukan adanya kebutuhan untuk melakukan transisi ke pendidikan jarak jauh. Dari sana Pintek bekerja sama dengan startup edtech untuk memberi sekolah pembiayaan dan akses ke platform yang mendukung kegiatan tersebut. Juga membantu para guru yang memiliki isu finansial di tengah musibah ini.

Seperti diketahui sebelumnya, sejak dimulai tahun 2018 Pintek menyediakan pinjaman pendidikan dengan jangka waktu pinjaman maksimal 12 bulan dan bunga flat 1,5% per bulan. Sampai saat ini, perusahaan sudah mengumpulkan total akumulasi pinjaman senilai 54,9 miliar Rupiah dengan jumlah peminjam capai 2506 orang.

Di lanskap bisnis ini, Pintek tidak sendiri. Sudah ada beberapa fintech yang juga menyasar sektor pendidikan, di antaranya Dana Cita, DANAdidik, EiduPay, dan KoinWorks.

Gandeng GogoKids, Kiddo Hadirkan Beragam Pilihan Kelas Online untuk Anak

Bertujuan untuk memberikan pilihan kelas online kepada anak, platform ticketing dan konten aktivitas Kiddo menjalin kemitraan strategis dengan GogoKids dari Malaysia. Melalui kerja sama ini, pengguna dapat mengikuti kelas online yang berasal dari kedua negara. Penyedia layanan aktivitas anak asal Indonesia juga dapat memasarkan kelasnya lebih luas ke pelanggan Malaysia.

Dengan bertambahnya pilihan aktivitas online dari negara tetangga ini, harapannya mampu mendorong orang tua untuk terus menggali potensi anak selama lakukan karantina di rumah. Kategori aktivitas beragam mulai dari bahasa, seni tari, seni lukis, pemrograman, komunikasi, dan lain-lain.

Kepada DailySocial Co-Founder & CEO Kiddo Analia Tan mengungkapkan, kolaborasi Kiddo dengan GogoKids diharapkan bisa memberikan warna baru dalam aktivitas belajar anak dan di masing-masing negara. Sebelumnya, berbagai pilihan aktivitas anak dan keluarga telah tersedia di Kiddo. Di masa PSBB ini Kiddo menghadirkan pilihan aktivitas berkualitas bagi anak Indonesia. Kelas yang biasa diikuti oleh anak tetap bisa dilaksanakan secara virtual dan dipesan melalui platform.

“Kami ingin memberikan lebih banyak pilihan untuk orang tua di Indonesia dalam memilih aktivitas yang sesuai dengan kebutuhan anaknya, sehingga si kecil dapat terus mengembangkan potensi dirinya meskipun harus #dirumahaja. Di sisi lain, kami juga ingin membantu para penyedia aktivitas anak di Indonesia untuk melebarkan sayap bisnisnya ke pasar Malaysia lewat kerja sama ini,” kata Analia.

Fitur baru

Kiddo juga telah merilis fitur baru bernama Kelas Online By Kiddo, memungkinkan aktivitas anak dapat diakses kapan saja selama masa berlangganan karena dikemas dalam bentuk seri video pembelajaran. Inovasi ini memudahkan orang tua dan anak dalam mengakses materi kelas karena dapat menyesuaikan jadwal masing-masing.

“Biasanya ada orang tua yang kesulitan mengatur waktu dan mood anak untuk belajar atau bermain bersama. Dengan fitur Kelas Online dari Kiddo, orang tua bisa lebih bebas mengatur waktu belajar anak,” kata Analia.

Menargetkan pasar B2B dan B2C, Kiddo mengklaim untuk demand yang paling banyak berasal dari B2C. Namun demikian untuk memperkuat segmen B2B, Kiddo juga bekerja sama dengan brand untuk membantu mereka dalam menjalankan brand activation.

Saat ini fitur pilihan pengguna di antaranya adalah, fitur registrasi aktivitas, info & tips, dan kerja sama komunitas. Kiddo juga telah memiliki ribuan pendaftar dan tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, namun terkonsentrasi di Pulau Jawa.

“Tahun ini, target kami adalah meluncurkan fitur baru yang saat ini masih dalam pengembangan. Nantinya fitur tersebut akan memudahkan orang tua dalam membantu anaknya mengembangkan diri sesuai potensi mereka,” kata Analia.

“Home Learning” Jadi Era Pembelajaran Platform Edukasi Online di Indonesia

Keputusan pemerintah menutup seluruh sekolah dan universitas di Indonesia memaksa kita mengadopsi solusi education technology (edtech) sebagai opsi alternatif kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang selama ini biasa dilakukan secara offline.

Sayangnya, urgensi untuk memanfaatkan edtech justru terjadi di situasi yang tidak menyenangkan. Bagi stakeholder terkait, tentu ini adalah “pekerjaan rumah” yang berat mengingat belum ada konsep yang ideal untuk mengukur efektivitas KBM secara online.

Apalagi, membayangkan lemahnya akses internet di Indonesia menjadi salah satu penanda bahwa KBM di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk bertransisi ke online.

Bagi Kristin Lynn Sainani, seorang profesor epidemiologi dan kesehatan populasi di Universitas Stanford yang telah menerapkan belajar online sejak 2013, transisi ini tidak bakal berjalan dengan mulus kalau tujuan utamanya hanya sekadar ingin menyelesaikan kelas dengan cepat.

Lalu, bagaimana startup edtech di Indonesia merespons transisi KBM ini dengan solusi teknologi?

Lonjakan trafik dan pengguna secara signifikan

Sebulan pasca-pemberlakuan home learning, platform edtech di Tanah Air mengalami lonjakan trafik layanan dan jumlah pengguna secara drastis. Hal ini masuk akal mengingat di situasi saat ini, platform edtech menjadi salah satu solusi satu-satunya untuk mengakomodasi KBM para siswa.

Data yang dihimpun DailySocial mencatat platform Kelase mengalami kenaikan trafik signifikan kurang dari seminggu dengan peak sampai sepuluh kali lipat, dan jumlah pengguna mencuat hingga 33 persen. Sementara Quipper mencatat kenaikan trafik hingga 30 kali lipat selama seminggu terakhir pasca pemberlakuan home learning di 16 Maret. Sebanyak 128 ribu tugas diberikan oleh 10.000 guru aktif di 10.000 sekolah, serta lebih dari 121 ribu siswa aktif telah menjawab pertanyaan dari 69 juta pertanyaan di platfom Quipper.

Data lain yang diterbitkan Telkomsel mencatat kenaikan trafik broadband sebesar 16 persen. Kenaikan ini didominasi peningkatan pengguna platform e-learning seperti Ruangguru, aplikasi yang tergabung dalam Paket Ilmupedia, situs e-learning Kampus, dan Google Classroom, yang meroket hingga 5404 persen.

Operator Tri Indonesia juga mengungkap aplikasi e-learning menjadi salah satu layanan digital paling diminati dalam sepekan terakhir. Dibandingkan pekan-pekan sebelumnya, trafik layanan Zenius di jaringan Tri naik 73 persen, diikuti Ruangguru (78%), Quipper (196%), dan Edmodo (841%).

Data di atas menandakan tingginya traction dan antusiasme masyarakat Indonesia terhadap pembelajaran online. Tinggal selanjutnya penyedia platform perlu memastikan ketersediaan kapasitas yang cukup untuk memastikan kestabilan layanan dan kenyamanan belajar.

Founder dan Direktur Kelase Winastwan Gora mengungkap pihaknya berupaya mengoptimalkan kapasitas layanannya. Malahan, pihaknya mendapat dukungan dari penyedia cloud dari Amazon Web Service (AWS) untuk mengoptimasi arsitektur dan meningkatkan kapasitas server.

“AWS memberikan kredit tambahan untuk server sampai akhir tahun dikarenakan situasi COVID-19 ini,” paparnya kepada DailySocial.

Sementara CEO Zenius Rohan Monga menyebutkan saat ini akan tetap fokus untuk memberikan kemudahan belajar mandiri di rumah. Ia mengungkap telah menyiapkan tim khusus yang berperan untuk menjaga kestabilan layanan di masa pandemi ini.

“IT team kami selalu bekerja keras sepanjang hari demi memastikan agar peningkatan trafik ini tidak membebani kinerja platform kami,” ungkap Monga kepada DailySocial.

Pandemi picu pengembangan fitur baru

Di awal pemberlakuan home-learning, sejumlah platform edtech berlomba-lomba memunculkan inisiatif baru, mulai dari berkolaborasi dengan operator seluler, menyediakan paket layanan gratis, hingga mengembangkan fitur baru untuk memperkuat kualitas layanannya.

Pada dasarnya, pengembangan fitur baru ini semata didorong karena adanya urgensi terhadap pemberlakuan home-learning. Dengan semangat agile, para platform edtech berupaya untuk membantu siswa, guru, dan orang tua menyesuaikan diri dengan cepat.

Ruangguru memulai inisiatif ini melalui kolaborasinya dengan Telkomsel untuk menggratiskan layanan selama 30 hari dengan kuota 30GB. Kelase juga membuat program serupa, baik kelas online gratis di blajar.kelase.id dan versi pro gratis selama tiga bulan bagi lembaga yang memerlukan.

Berikutnya platform Zenius menggandeng beberapa operator untuk menghadirkan paket data gratis untuk mengakses ke sebanyak 80.000 konten pembelajaran. “Bahkan, layanan Zenius juga kini dapat diakses menggunakan aplikasi Gojek,” tambah Rohan.

Dari informasi yang dihimpun, platform Zenius, Kelase, dan Quipper mengembangkan fitur baru yang digarap untuk mengantisipasi kelanjutan home learning dalam beberapa bulan ke depan.

Platform Zenius meluncurkan fitur Live Class, tiga hari setelah pemberlakuan home learning. Fitur ini memungkinkan siswa untuk mengikuti sesi belajar secara secara live melalui aplikasi, website, dan akun YouTube Zenius dengan topik tertentu yang disediakan tutor Zenius. Para siswa juga dapat berinteraksi dengan memberikan pertanyaan melalui live chat. 

Selain Live Class, Zenius juga menyediakan fitur rencana belajar harian (Daily Study Plan) sebagai panduan bagi guru dan orang tua siswa untuk membimbing siswa yang melaksanakan belajar mandiri di rumah.

Senada dengan Zenius, platform Kelase juga meluncurkan fitur baru versi Beta untuk mengakomodasi komunikasi dua arah. Misalnya, peserta tak hanya mendengar dan melihat presenter tetapi juga melakukan presentasi dan tanya jawab dengan audio video. Fitur Kelase Live Lecture dijanjikan meluncur secara penuh dalam beberapa hari ke depan.

“Kami masih terus berbenah didampingi tim solution architect AWS untuk mengantisipasi lonjakan trafik tinggi dengan kehadiran fitur baru ini,” ungkap pria yang karib disapa Gora ini.

Untuk memberikan kemudahan penggunaan, Quipper mengembangkan fitur pengindeks transkripsi suara yang dapat mempermudah siswa untuk melakukan pencarian berdasarkan kata kunci, topik, atau materi tertentu yang muncul atau disebutkan di dalam video.

Business Development Manager Quipper Ruth Ayu Hapsari menjelaskan bahwa fitur ini juga mampu mendeteksi kata kunci berdasarkan kata-kata yang diucapkan oleh guru dalam video dan history belajar siswa di akun Quipper.

“Kami juga menghadirkan layanan Masterclass yang dapat membantu siswa untuk berdiskusi langsung dengan pengajar terkait mata pelajaran, PR, termasuk berkonsultasi mengenai rencana belajar,” tuturnya.

Tantangan transisi pembelajaran online

Sebetulnya, keputusan pemerintah untuk menjalankan home learning ibarat tugas dadakan yang perlu dikebut dalam semalam. Tentu keputusan hal ini akan menimbulkan tantangan beruntut bagi orangtua, siswa, dan guru. Pasalnya, selama ini sistem pendidikan Indonesia belum melihat pembelajaran online sebagai opsi setara dengan pembelajaran tatap muka.

Transisi akan semakin sulit manakala literasi terhadap digital di Indonesia masih rendah. Belum tentu kalangan orangtua, siswa, dan guru paham betul bagaimana menggunakannya. Namun, sisi positifnya, kondisi ini akan memaksa mereka untuk belajar menggunakan aplikasi dan layanan digital lain.

Selain itu, akses internet di Indonesia belum tersebar secara merata, terutama di daerah pedalaman. Kuota internet masih menjadi barang mahal bagi sekian banyak orang. Jadi, jangan harap bicara kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan seamless.

Bagi Kelase dan Quipper, keterbatasan internet menjadi salah satu tantangan besar untuk memuluskan transisi ini. Menurutnya, keterbatasan kuota menghambat siswa pengguna untuk dapat mengikuti layanan yang butuh bandwith besar, seperti sesi perkuliahan live.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah sebagian besar guru yang menggunakan Kelase dan Quipper masih kesulitan dalam merancang Learning Management System (LMS). Hal ini membuat sejumlah fitur dalam kelas online belum dapat dimanfaatkan dengan baik.

Tantangan tersebut pada akhirnya dapat menjadi pembelajaran penting yang mendorong startup untuk mengembangkan solusi. Untuk menjawab kesulitan kuota internet, Kelase mengembangkan layanan Live Lecture yang dinilai hemat bandwidth.

Pihaknya juga menyediakan panduan singkat dan melakukan sesi pendampingan khusus terhadap guru dan orangtua secara online untuk mengoptimalkan penggunaan Kelase selama pemberlakuan home learning. “Karena hal ini juga, kami sedang mengejar timeline untuk pengembangan fitur baru lainnya, yakni Dual Presenter di Kelase Live Lecture,” ungkap Gora.

Senada dengan di atas, Ruth mengungkap bahwa pihaknya terus melakukan edukasi dan pelatihan untuk membantu guru-guru di sejumlah wilayah di Indonesia beradaptasi dalam menggunakan aplikasi belajar online.

Tak hanya melalui pengembangan fitur dan edukasi, pihaknya juga melakukan kolaborasi dengan operator telekomunikasi untuk memberikan kuota internet gratis. Kolaborasi ini dilakukan untuk menjawab keluhan orang tua terhadap semakin meningkatnya kebutuhan akses internet dari yang biasanya.

“Tentu kami juga berharap pemerintah untuk memaksimalkan sarana dan prasarana terhadap koneksi jaringan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), khususnya untuk sektor pendidikan,” ujar Ruth.

Jika melihat kondisi di atas, tampaknya butuh waktu panjang bagi ekosistem pendidikan di Indonesia untuk beradaptasi. Sebagaimana pernah disebutkan, situasi pandemi ini bakal menjadi test case dan ajang pembuktian startup edtech, apakah layanan edukasi online siap menjadi platform primer di Indonesia.

Aplikasi Uang Elektronik EiduPay dan Solusinya Khusus Dunia Pendidikan

Dominasi GoPay, Ovo, Dana, dan LinkAja sebagai pemain uang elektronik tersohor di Indonesia, masih menyiratkan peluang di segmen tertentu yang belum digarap secara maksimal mereka, yakni dunia pendidikan. Kesempatan tersebut ingin digarap oleh pemain baru asal Yogyakarta, yakni EiduPay.

Sejatinya, EiduPay berdiri di bawah payung bimbingan belajar Prime Generation yang mengklaim sebagai integratif bimbel online dan offline. Salah satu produknya adalah Eduprime (Prime Mobile) sebagai edutech berbasis aplikasi. Perusahaan ini fokus pada bimbel untuk pelajar mulai dari tingkat kelas 4 SD sampai kelas 12 SMA.

Kepada DailySocial, Founder dan President EiduPay Dewi Yuniati Asih menjelaskan EiduPay didirikan untuk membangun inklusi keuangan, sekaligus mewujudkan ekosistem yang efisien di dunia pendidikan. “Secara teknis, EiduPay baru beroperasi pada Maret 2020,” ucapnya.

Dengan semangat itulah, EiduPay memilih untuk bersaing langsung dengan pemimpin industri, melainkan perkuat bisnis utamanya di bidang pendidikan, bermitra dengan pemain di ekosistem yang sama. “Fitur khas EiduPay adalah kemudahan mendapatkan konten terkait pendidikan. Meski secara umum, kami juga punya fitur transfer dana dan pembayaran untuk apa saja.”

Selain Dewi, dalam jajaran manajemen EiduPay ada Ahmad Nursodik sebagai Chairman dan Sweet Luvianto sebagai Operation.

Dia memastikan ke depannya perusahaan akan terus berinovasi agar fitur-fitur yang dihadirkan dapat menjawab solusi yang ada di lapangan. Perusahaan mengincar kemitraan dengan 1500 sekolah yang tersebar di Indonesia. Menurutnya di sana ada 800 ribu siswa, guru, dan orang tua yang ditotal mencapai 2 juta orang.

“Ini merupakan sinergi dengan Eduprime, platform belajar mengajar yang menjadi salah satu pemegang saham EiduPay.”

Di dalam aplikasi EiduPay itu sendiri, dilengkapi dengan fitur-fitur umum yang sudah ada di pemain aplikasi e-money lainnya. Seperti, pembayaran tagihan listrik, BPJS, beli pulsa, bayar tagihan telepon, PDAM, dan donasi. Untuk fitur edukasi, baru tersedia pembelian paket belajar Eduprime.

Perusahaan juga sudah mengantongi lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia untuk operasionalnya.

Solusi bidang pendidikan

Apa yang ditawarkan EiduPay sebenarnya sudah dilakukan oleh pemain uang elektronik. Misalnya, GoPay kini bisa dipakai saldonya untuk membayar tagihan SPP sekolah dan biaya pendidikan lainnya melalui GoBills yang ada di dalam aplikasi Gojek.

Sejak diumumkan pada Februari 2020, kini terhubung dengan berbagai institusi pendidikan d tak hanya di kota-kota besar saja, tapi sudah masuk ke Nganjuk, Surakarta, Batam, Palangkaraya, hingga Solok.

Inovasi ini hadir berkat kemitraan antara Gojek dengan Infra Digital Nusantara (IDN), startup bidang keuangan dan pembayaran untuk institusi pendidikan. Diklaim ada lebih dari 180 unit institusi pendidikan dengan total 180 ribu siswa dari 14 provinsi masuk ke jaringan IDN.

Selain GoPay, ada LinkAja yang sudah memasukkan fitur pendidikan di dalam aplikasinya. LinkAja menyediakan pembayaran mulai dari tingkat kursus, perguruan tinggi, pesantren, hingga sekolah dari berbagai lokasi di Indonesia.

Di luar aplikasi uang elektronik, ranah ini juga digarap oleh Tokopedia. Perusahaan yang dipimpin William Tanuwijaya ini menyediakan pilihan pembayaran edukasi online dan institusi pendidikan dari kursus, perguruan tinggi, dan sekolah.

Application Information Will Show Up Here

GoKampus Comes with Educational Support Services for Students

The education technology industry (edtech) in Indonesia has encouraged various kinds of services. Another one rises with new innovation called GoKampus. The service founded by Nathanael Santoso and Jeganathan Sethu is developing an education ecosystem that facilitates students with university inquiries.

GoKampus’ CEO, Santoso told DailySocial that they have full commitment to provide services to facilitate students in more effective way, particularly for non-academic activities.

Was founded in December 2018, GoKampus has made it possible to register for lectures online, looking for scholarships, applying for college funding, managing campus events, and also a system that connects with companies for internships.

To date, GoKampus claims to have collaborated with 150 universities, 10 of which are abroad universities. In terms of users or students, there are a total of 145 thousand registered users.

“We collaborate with universities, students, and various related parties such as foundations, corporations, fintechs, and individuals to create a sustainable and mutual edtech ecosystem. It is by connecting related players in one place in order to present educational solutions,” Susanto said.

At the current stage, GoKampus is supported by several investors, including Sovereign’s Capital, EverHaus, Azure Ventures, and several angel investors.

Partnerships for better services

GoKampus has the ambition to be a complete platform instead of limited to features but also collaboration. In terms of educational funding, they have collaborated with some players in the education loan services sector such as KoinWorks, DanaCita, and Pintek. They are also actively exploring partnerships with other related parties, such as banking. In terms of features, instant registration becomes the leading one.

“The latest feature has launched since February 2020, we present an Instant Approval program for students to be able to get instant access to selected well-known campuses. Through this program, students only have to upload report cards and later get a letter of university acceptance instantly whether they meet the minimum criteria. (maximum 1 hour),” he continued.

The Covid-19 pandemic which limits the mobility of many people seems to be used properly by GoKampus to convince users that their services can be trusted to register for college.

“We started holding virtual counseling for students to get services around lectures or careers. We also work together to present Campus Webinars with various parties to educate students amid the study from home situations. Together with GoKampus, campus life can be easier, more productive, and enjoyable,” Susanto said.

In terms of the business model, Susanto said they take fees for the B2B service. This year, they are targeting to work with 300 to 400 campuses with 300 thousand registered users.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

GoKampus Tawarkan Bergam Layanan Penunjang Belajar bagi Mahasiswa

Industri edutech atau teknologi pendidikan di Indonesia mulai kedatangan berbagai macam bentuk layanan. Salah satu yang membuat terobosan adalah GoKampus. Layanan yang kembangkan Nathanael Santoso dan Jeganathan Sethu ini mencoba mengembangkan ekosistem pendidikan yang memudahkan mahasiswa menjalani masa perkuliahannya.

Nathanael yang memegang peran sebagai CEO kepada DailySocial menjelaskan bahwa mereka memegang teguh komitmen untuk menghadirkan layanan yang bisa membuat kehidupan mahasiswa lebih efektif, terutama untuk kegiatan di luar pembelajaran.

Sejak diluncurkan pada Desember 2018 silam, GoKampus sudah bisa dimanfaatkan untuk mendaftar perkuliahan secara online, mencari beasiswa, mengajukan pendanaan kuliah, mengelola event kampus, dan juga sistem yang menghubungkan dengan perusahaan untuk keperluan magang.

Sampai saat ini GoKampus mengklaim sudah bekerja sama dengan 150 universitas, 10 di antaranya merupakan universitas dari luar negeri. Dari segi pengguna atau mahasiswa, total sudah ada 145 ribu pengguna terdaftar.

“Kami bekerja sama dengan universitas, mahasiswa, dan berbagai pihak terkait seperti yayasan, korporasi, fintech, hingga individu untuk membentuk sebuah ekosistem edtech yang berkesinambungan dan mutual. Dengan menghubungkan berbagai pemain dalam satu wadah yang kami kelola untuk menghadirkan solusi perkuliahan,” terang Nathanael.

Di tahap ini GoKampus didukung oleh beberapa investor, di antaranya adalah Soveregin’s Capital, EverHaus, Azure Ventures, dan beberapa angel investor.

Kerja sama perkuat layanan

Ambisi GoKampus menjadi aplikasi yang lengkap tidak hanya sebatas fitur tetapi juga kolaborasi. Pada fitur pendanaan kuliah misalnya, mereka telah menjalin kerja sama dengan beberapa pemain di sektor layanan pinjaman dana pendidikan seperti KoinWorks, DanaCita, dan Pintek. Mereka saat ini juga tengah aktif menjajaki kerja sama dengan pihak-pihak terkait lainnya, seperti perbankan. Dari segi fitur, pendaftaran instan menjadi salah satu yang diunggulkan.

“Fitur terbaru launch sejak Februari 2020, kami menyajikan program Instant Approval bagi siswa untuk bisa mendapatkan akses instan ke beberapa kampus ternama pilihan. Jadi melalui program ini, siswa hanya tinggal mengunggah nilai rapor dan jika memenuhi kriteria minimum siswa bisa mendapat surat penerimaan universitas secara instan (maksimal 1 jam),” lanjut Nathanael.

Pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas banyak orang tampaknya dimanfaatkan betul oleh GoKampus untuk meyakinkan pengguna bahwa layanannya bisa dipercaya untuk mendaftar kuliah.

“Kami mulai mengadakan virtual counselling bagi siswa untuk mendapatkan layanan seputar perkuliahan ataupun karier. Kami juga bekerja sama menghadirkan Campus Webinar dengan berbagai pihak untuk mengedukasi siswa di tengah situasi study from home ini. Bersama GoKampus, kehidupan kampus bisa lebih mudah, produktif, dan menyenangkan,” imbuh Nathanael.

Untuk model bisnis, Nathanael menjelaskan bahwa mereka mengambil fee untuk B2B service yang mereka jalankan. Di tahun ini mereka menargetkan bisa bekerja sama dengan 300 sampai 400 kampus dengan 300 ribu pengguna terdaftar.

Application Information Will Show Up Here

Achmad Zaky’s New Investment Firm Init-6, Debuts with Seed Funding for Eduka

Bukalapak’s Co-founder and Founding Partner Init-6, Achmad Zaky announced the new investment firm focused on investment to early-stage startups. Bukalapak’s Co-founder, Nugroho Herucahyono also participated as Partner after resigned as the CTO. Init-6 debuts with its first investment to the edtech platform Eduka.

Zaky, after officially steps down as Bukalapak’s CEO earlier this year said the Covid-19 pandemic has initiated the new managed fund. Init-6 is a UNIX command that means reboot or reset. According to Zaky, Covid-19 requires humans to live in a new kind of lifestyle  (or known as “new normal”). They believe that we need to reboot or reset our way of life.

Prior to this, after no longer active in Bukalapak, Zaky is said to focus on foundations engaged in science and education, entrepreneurship, impact investment, and research.

To date, Zaky said the managed funds came from General Partners, none of them were from Limited Partners. Even so, he did not want to elaborate on this matter further, including how much funds under management at this time.

Init-6 will focus on investing in early-stage startups without specific sector preferences. “[The thing is] As long as it is tech-driven and backed with great founders,” Zaky said.

Investment on Eduka

Eduka is Init-6’s first startup investment. This educational technology platform was initiated by students and alumni of the Bandung Institute of Technology (ITB). Eduka was built as a practice platform (try out) for students to UTBK and USM at various universities. This platform claims to have 800 thousand registered users and 180 thousand active students every month.

Zaky said Eduka reminded him of his experience 10 years ago when building Bukalapak. The company has now become one of the unicorns in Indonesia.

He said, “When we first met the Eduka founders, we were very impressed with their achievements. They built [this platform] from scratch, without capital. […] We hope they can graduate quickly this year and develop Eduka even faster. Education is a big pie [opportunity] and we believe Eduka can have a better impact on the Indonesian education system. ”

“We built the Eduka System because we believe students in Indonesia have good academic potential if trained properly. Unfortunately, we know that there are many students who only focus on memorizing a theory without understanding its application. This makes it limited to the ability to solve complex problems. We want to unlock their potential by providing High Order Thinking Skills (HOTS) exercises that are easy to apply and connect with everyday life so that they are accustomed to facing complex problems. With the help of technology, we believe we can improve [quality] education in Indonesia,” Eduka’s CEO [who still pursuing his degree], Faiz said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Achmad Zaky Dirikan Perusahaan Investasi Init-6, Beri Pendanaan Awal untuk Platform Edtech Eduka

Co-Founder Bukalapak dan Founding Partner Init-6 Achmad Zaky mengumumkan pendirian perusahaan investasi Init-6 yang fokus berinvestasi ke startup tahap awal. Co-Founder Bukalapak Nugroho Herucahyono juga bergabung menjadi Partner perusahaan setelah melepaskan posisi CTO Bukalapak. Init-6 memberikan investasi perdananya ke platform edtech Eduka.

Kepada DailySocial, Zaky yang resmi lengser dari posisi CEO Bukalapak awal tahun ini menyebut kehadiran pandemi Covid-19 sebagai hal yang mendorong berdirinya dana investasi ini. Init-6 adalah perintah UNIX yang berarti reboot atau mengatur ulang. Menurut Zaky, Covid-19 mewajibkan manusia hidup dengan gaya baru (atau dikenal dengan istilah “new normal“). Mereka percaya bahwa kita perlu me-reboot atau mengatur ulang cara hidup kita.

Sebelumnya Zaky menyebut pasca tidak lagi aktif di Bukalapak, dirinya akan fokus di yayasan yang bergerak di bidang sains dan edukasi, kewirausahaan, impact investment, dan penelitian.

Sejauh ini Zaky menyebut dana kelolaan masih berasal dari General Partner, belum ada yang dari Limited Partner. Meskipun demikian, ia tidak mau merinci soal ini lebih jauh, termasuk berapa dana kelolaannya saat ini.

Init-6 akan fokus berinvestasi di startup tahap awal tanpa ada preferensi sektor tertentu. “[Yang penting] Selama tech driven dan didukung great founders,” kata Zaky.

Berinvestasi ke Eduka

Eduka menjadi startup pertama yang diinvestasi Init-6. Platform teknologi pendidikan ini diinisiasi oleh mahasiswa dan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB). Eduka dibangun sebagai platform berlatih (try out) siswa menghadapi UTBK dan USM di berbagai universitas. Platform ini mengklaim telah memiliki 800 ribu pengguna terdaftar dan 180 ribu siswa aktif setiap bulannya.

Zaky menilai Eduka mengingatkannya atas pengalaman 10 tahun lalu membangun Bukalapak. Kini perusahaan ini telah menjadi salah satu startup unicorn di Indonesia.

Ia mengungkapkan, “Saat pertama kali bertemu para pendiri Eduka, kami sangat terkesan dengan pencapaian mereka. Mereka membangun [platform ini] dari nol, tanpa modal. [..] Kami harap mereka dapat cepat lulus tahun ini dan mengembangkan Eduka lebih cepat lagi. Edukasi adalah ruang [peluang] yang besar dan kami percaya Eduka dapat memberikan dampak lebih baik bagi sistem edukasi Indonesia.”

“Kami membangun Eduka System karena kami percaya siswa di Indonesia memiliki potensi akademis yang bagus jika dilatih dengan baik. Sayangnya, kita tahu bahwa ada banya siswa yang hanya fokus menghafalkan teori tanpa memahami penerapannya. Hal ini membuat kemampuannya terbatas untuk menyelesaikan permasalahan kompleks. Kami ingin membuka potensi mereka dengan memberikan latihan High Order Thinking Skills (HOTS) yang mudah diaplikasikan dan terhubung dengan kehidupan sehari-hari sehingga mereka terbiasa menghadapi permasalahan kompleks. Dengan bantuan teknologi, kami percaya kami dapat meningkatkan [kualitas] pendidikan di Indonesia,” ujar Faiz, CEO Eduka yang masih berkuliah ini.

Cerita Startup Edutech MauBelajarApa Saat Ditunjuk sebagai Mitra Program Kartu Prakerja

Program kartu prakerja menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kualitas konten dan harga yang ditentukan. Keduanya dinilai tidak relevan, bahkan tidak sedikit yang menyamakan dengan konten gratis yang ada di YouTube.

Kami berbincang dengan Jourdan Kamal selaku founder MauBelajarApa, salah satu platform yang menjadi mitra resmi program kartu prakerja; untuk mengetahui bagaimana proses yang terjadi di belakang penunjukan dan tentunya soal kualitas konten dan harga pelatihan yang ditawarkan.

Jourdan menjelaskan, dari awal pihaknya dikontak oleh Kantor Staff Presiden. Mereka menjelaskan sedang mencari platform untuk menyediakan training. Singkat cerita pada bulan Desember 2019 silam MauBelajarApa diminta untuk menjadi mitra.

Sebagai informasi, MauBelajarApa adalah sebuah platform yang mengkurasi berbagai macam bentuk workshop atau pelatihan secara offline atau tatap muka. Tapi karena permintaan dari pemerintah, mereka sedikit berinovasi dengan membuka kelas berbasis online memanfaatkan platform video conference seperti Zoom, Hangout, dan lainnya.

“Jadi sebenarnya prakerja ini pas kita di-approach mereka (pemerintah) mau fokusnya offline. Tetapi gara-gara pandemi Covid-19 ini dan mereka pikir daripada diundur lagi kartu prakerjanya akhirnya diubah ke online untuk sementara. Karena pengen banget orang bisa segera belajar dan dapat insentif, untuk membantu penerima kartu prakerja juga kan. Kalau nanti delay insentifnya juga delay,” jelas Jourdan.

Mengenai mengapa pelaksanaan pelatihan dilakukan secara online juga sudah dikonfirmasi oleh pemerintah melalui publikasi di situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, bahwasanya pelatihan online ini hanya sementara. Ketika pandemi berakhir pelatihan offline juga akan dijalankan.

Platform, harga, dan kualitas konten

MauBelajarApa sudah lebih dari tiga tahun menjadi platform yang mengkurasi workshop atau pelatihan. Ketika diminta sebagai mitra kartu prakerja mereka menyebutkan tetap membawa pakem mereka, bahwa pelatihan harus sesuai dengan standar yang ada atau yang selama ini dijalankan.

Jourdan bercerita, kurasi yang diterapkan ada dua lapis. Pertama kurasi internal oleh mereka sendiri dan yang kedua dari tim kartu prakerja. Kurasi ini tidak hanya membicarakan tentang konten, tetapi juga harga. Karena pemerintah menghimbau harga tidak terlalu tinggi untuk pelatihan yang ditawarkan untuk pemegang kartu prakerja.

“Saya sering banget ngobrol dengan vendor terkait dengan harga, karena ini juga membantu pemerintah kan. Tapi memang ada beberapa vendor yang tidak bisa menurunkan harganya, ada yang bisa tapi tidak yang murah banget (di bawah 100 ribu Rupiah) karena memang mereka sudah profesional dan harga kelas mereka di luar (MauBelajarApa) atau di kelas korporasi juga tinggi,” papar Jourdan.

Jourdan menambahkan, MauBelajarApa itu berbeda dengan platform pembelajaran lain. Karena pada dasarnya platform ini menjembatani pelatihan offline, jadi inti pembelajaran tidak hanya video materi saja, tetapi juga mentoring dan sharing pengalaman dari sang mentor/guru/atau pengisi workshop. Bahkan koneksi dengan guru atau mentor bisa dilanjutkan selepas kelas. Sesuatu yang membedakan MauBelajarApa dengan platform belajar lainnya.

Ia juga mengklaim bahwa perusahaannya tidak pernah bermain-main soal kualitas. Ia sendiri memastikan setiap kelas yang ada di platformnya merupakan kelas yang dibuat oleh profesional dan orang yang sudah berpengalaman di bidangnya.

“Misalnya kelas masak, katakanlah ayam keju. Nanti peserta tidak hanya akan mendapatkan tutorial cara memasaknya. Tetapi juga pengalaman dari chef-nya mengenai cara menjadi chef yang benar, di mana mendapat bahan-bahan yang diperlukan, teknik masak, dan pengetahuan lain,” lanjut Jourdan.

Polemik harga dan kualitas konten platform mitra prakerja pun sudah sampai di telinga Jourdan. Menurutnya itu menjadi pilihan. Jadi jika terlalu mahal atau terlalu gampang yang tidak usah diambil kelasnya. Ia juga terbuka pada semua penilaian yang ada. Kendati demikian, ia dan tim berkomitmen menghadirkan kelas yang berkualitas, itu mengapa ia hanya membuka kelas dengan slot terbatas.

“Kita ada limit, misal 20 orang. Jadi 20 orang ini dipersilahkan memberikan rating. Jadi misal ada kualitas yang kurang bisa di-review. Jika review bagus makan slot akan ditambah, tetapi tetap pada batasan kemampuan mentor atau guru menghandel kelas tersebut,” lanjut Jourdan.

Ia juga menambahkan, bahwa ia tak hanya fokus pada pelatihan hard skill, tetapi juga mindset dan pengalaman dari profesional. Itu mengapa ia selalu mencari mentor yang sudah berpengalaman atau dari profesional yang benar-benar sudah terjun ke industri.

Sorotan tajam masyarakat, momen tepat evaluasi

Media sosial seminggu terakhir memang riuh dengan berbagai macam tanggapan masyarakat mengenai kartu prakerja. Tak hanya MauBelajarApa, platform lain juga disoroti. Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, ini adalah momen yang tepat untuk evaluasi. Baik soal konsep pembelajaran online itu sendiri dan kesiapan pasar Indonesia.

Ini bisa jadi momentum yang pas untuk merumuskan seperti apa seharusnya pembelajaran online itu terjadi. Mengingat fokus program kartu prakerja ini adalah keterampilan, jadi jika sukses di program ini nantinya bisa diimplementasikan juga untuk masyarakat umum.

Keriuhan kemarin adalah gelombang pertama penerimaan kartu prakerja. Evaluasi sudah jadi kewajiban, baik untuk penyelenggara maupun pesertanya. Seperti halnya mulai lebih ketat lagi dalam proses seleksi dan kurasi, dan bagi para pesertanya, harus benar-benar sendiri sebelum memilih lembaga dan judul pelatihan.

KooBits Edtech Startup Finally Expands, Starting to Develop Content in Bahasa Indonesia

The Singapore based edtech startup, KooBits just announced two new products, Home-Based Learning and Live Tutoring. Both services are to help parents monitoring their children’s growth. It is now available for users in the neighbor countries, including Indonesia.

In Indonesia, KooBits has started since 2018. It was targeting international and bilingual schools. However, they’re now provide content in Bahasa Indonesia in order to reach more students.

“Yes, we localize content to Bahasa Indonesia, also adjusting to the Indonesia’s math curriculum. Indonesian students an have unlimited access to our math content, with Singapore Curriculum, Cambridge Curriculum, and IB Curriculum in English, and National Curriculum in Bahasa Indonesia,” KooBits’ CEO, Stanley Han said.

In addition, KooBits also serious to penetrate the Indonesian market. Aside from localize their content, they also open branch office and build a team. Particularly, in terms of marketing, also product and business development.

“We already plant technology team in Batam, and on progress to build a branch office in Jakarta for marketing, also product and business development. We also have 3 local partners acting as a distributor for KooBits products to schools,” he added.

Produk KooBits

In Indonesia, online learning platforms or educational technology services have surfaced since last year. It becomes widely known and some have been announced continuous innovations. The huge potential of edutech market has captured some global startups like SnapAsk and Progate to start penetration in the Indonesian market.

Despite having different segments, the wave of innovation and expansion of foreign players to Indonesia more or less prove that the positive direction of the development of Indonesia’s edutech ecosystem.

“First of all, I think the market is big and there is enough space for many innovations to occur simultaneously, to make the edtech space as attractive as the consumer market. Therefore, competition is not what really matters, I see more opportunities to collaborate and to raise awareness together, to make the change from traditional brick-and-mortar education to digital online education,” Han revealed.

The new KooBits Home-Based Learning and Live Tutoring products are claimed to be equipped with AI technology. The sophistication of artificial intelligence will be used to personalize it for each user. Meanwhile, they also implemented big data to produce deeper insights for teachers and parents.

In addition to Math, which has been the main focus of KooBits, they have plan to launch Science and English learning this year.

The latest news said, KooBits has received seed funding at the end of 2018, with participation of Golden Gate Ventures and Access Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian