Amartha Bags 450 Billion Rupiah Funding Led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures

The p2p lending startup Amartha officially secured funding of $28 million or around 450 billion Rupiah. The funding was led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures, also the two previous investors, Mandiri Capital Indonesia and YOB Venture Management.

Amartha’s Founder & CEO, Andi Taufan Garuda Putra said the new investment will be used to strengthen the business, accelerate product innovation development, and introduce additional services for borrowers and lenders. Some of them include shop loans, crowdfunding, and direct funding to borrowers.

So far, the company has developed solutions for three user segments, namely disbursing funding through the p2p lending platform (Amartha for Lenders), a field team to process business capital loans as a whole (Amartha for Business Partners), and other financial services in addition to distributing business capital ( Amartha for Partners)

Amartha is WWB’s first portfolio in Southeast Asia. It is known, WWB Capital Partners II is a gender lens investment founded by WWB, a global non-profit organization that focuses on women’s financial inclusion for the last 40 years.

WWB’s representative, Yrenilsa Lopez said the investment aims to close the gender gap by entering into financial service providers that focus on serving the low-income segment of women. That way, Amartha can expand the gender diversity in their management and take advantage of innovative solutions to reach more markets.

Previously, Amartha obtained debt funding of $50 million or equivalent to 704.4 billion Rupiah in February from Lendable. Currently, Amartha has channeled IDR3.55 trillion loan to more than 661,369 ultra-micro women entrepreneurs in more than 18,900 villages in Java, Sumatra and Sulawesi.

In addition, Amartha has improved the quality of credit scoring with the ratio of non-performing loans (NPL) at 0.07% for all funding in the period after June 2020.

Synergy with Telkom

Furthermore, MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja added that this investment will create opportunities to work together with the Telkom Group. This synergy is none other than to digitize and increase financial inclusion in rural areas in Indonesia.

“We see promising potential to increase financial inclusiveness. We hope this investment can continue Amartha’s business transformation to serve the lower pyramid communities in Indonesia,” he said.

Previously, Donald had mentioned that MDI Ventures received a new mandate with a new managed fund of $500 million from Telkom. It is to expand collaboration or synergy, not only with the Telkom Group but with all SOEs.

Donald said, this new assignment was given after MDI’s success in managing $100 million in funds since 2015. MDI succeeded in multiplying the fund, not only on paper valuations, but also in the form of liquidity in several exits, private and IPOs. He said, MDI had provided IDR 1.6 trillion synergy/revenue to the Telkom Group.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Amartha Kantongi Pendanaan 450 Miliar Rupiah Dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures

Startup p2p lending Amartha resmi memperoleh pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia dan YOB Venture Management.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, investasi baru ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis, mengakselerasi pengembangan inovasi produk, dan memperkenalkan layanan tambahan bagi peminjam dan pendana. Beberapa di antaranya adalah pinjaman warung, crowdfunding, hingga penyaluran pendanaan langsung ke peminjam.

Sejauh ini, perusahaan telah mengembangkan solusi untuk tiga segmen pengguna, yaitu penyaluran pendanaan lewat platform p2p lending (Amartha untuk Pendana), tim lapangan untuk memproses pinjaman modal usaha secara menyeluruh (Amartha untuk Business Partner), dan layanan keuangan lain selain penyaluran modal usaha (Amartha untuk Mitra)

Amartha merupakan portofolio pertama WWB di Asia Tenggara. Diketahui, WWB Capital Partners II adalah investasi lensa gender yang didirikan WWB, organisasi nirlaba global yang fokus terhadap inklusi keuangan wanita selama 40 tahun terakhir.

Representatif WWB Yrenilsa Lopez mengatakan, investasi ini bertujuan untuk menutup kesenjangan gender dengan masuk pada penyedia layanan keuangan yang fokus melayani segmen perempuan berpenghasilan rendah. Dengan begitu, Amartha dapat memperluas keragaman gender dalam manajemen mereka dan memanfaatkan solusi inovatif untuk menjangkau lebih banyak pasar.

Sebelumnya, Amartha memperoleh pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah pada Februari lalu dari Lendable. Saat ini, Amartha mencatat telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp3,55 triliun ke lebih dari 661.369 pengusaha ultra mikro perempuan di lebih dari 18.900 desa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Selain itu, Amartha juga telah meningkatkan kualitas credit scoring dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di 0,07% untuk seluruh pendanaan di periode setelah Juni 2020.

Bersinergi dengan Telkom

Lebih lanjut, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa masuknya investasi ini akan membuka peluang bersinergi dengan Telkom Group. Sinergi ini tak lain untuk mendigitalisasi dan meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan yang belum terlayani perbankan di Indonesia.

“Kami melihat ada potensi menjanjikan untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Kami harap investasi ini dapat melanjutkan transformasi bisnis Amartha untuk melayani masyarakat piramida bawah di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya, Donald sempat menyebutkan bahwa MDI Ventures mendapat mandat baru dengan dana kelolaan baru sebesar $500 juta dari Telkom. Mandat tersebut tak lain adalah memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN.

Menurut Donald, tugas baru ini diberikan usai keberhasilan MDI mengelola dana $100 juta sejak 2015. MDI berhasil melipatgandakan fund tersebut, tak hanya valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuiditas di beberapa exit, private maupun IPO. Ia menyebut, MDI telah memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSInnovate: Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan “Fintech P2P Lending”

Kehadiran teknologi finansial (fintech) di Indonesia memberikan berbagai manfaat, terlebih saat kalangan undeserved dan unbankable masih banyak tersebar di berbagai wilayah. Tak terkecuali bagi pelaku UMKM, layanan fintech seperti peer-to-peer lending (p2p lending) memberikan opsi yang lebih mudah bagi mereka untuk mendapatkan akses pendanaan bantuan modal. Terlebih saat berbicara usaha berskala mikro, masih banyak yang belum tersentuh akses lembaga keuangan konvensional.

Fokus fintech untuk pemberdayaan UMKM menjadi penting, lantaran besarnya kontribusi terhadap perekonomian nasional. Data teranyar menyatakan sumbangsih UMKM mencapai 60% untuk PBD dan 97% untuk pembukaan lapangan kerja. Banyak gap yang coba dijembatani oleh fintech p2p lending, mulai dari akses yang lebih terjangkau lewat teknologi, sampai proses penilaian kelayakan kredit yang lebih bisa disesuaikan dengan kondisi pelaku UMKM.

Pandemi yang mulai terjadi di tahun 2020 juga memberikan turbulensi untuk pelaku bisnis di Indonesia secara umum, dan yang cukup terdampak signifikan adalah UMKM. Di situasi yang serba sulit tersebut, fintech p2p lending tetap memberikan banyak peran, salah satunya, menurut data AFPI per tahun 2020 ada total dana 74 triliun Rupiah yang disalurkan kepada pelaku UMKM, naik 27% dari tahun sebelumnya.

Untuk melihat lebih dalam tentang sejauh mana layanan fintech p2p lending memberikan dampak ekonomi dan sosial terhadap sektor UMKM, Modalku dan DSInnovate berkolaborasi melakukan riset bertajuk “Dampak Ekonomi dan Sosial Pembiayaan UMKM Menggunakan Fintech Peer-to-Peer Lending”. Terdapat lima bahasan utama yang dirangkum, meliputi:

  1. Gambaran umum pembiayaan UMKM
  2. Eksistensi Modalku dalam pembiayaan UMKM
  3. Profil demografi UMKM di Indonesia
  4. Pengalaman pembiayaan dari layanan konvensional atau sumber lainnya
  5. Rencana pembiayaan UMKM di masa depan

Ada banyak temuan menarik yang diungkap dalam laporan, salah satunya dari total responden yang mengikuti survei sebagian besar 50,29% menggunakan dana pinjaman untuk pembelian bahan baku usaha, selanjutnya untuk biaya operasional (19,14%). Selanjutnya kebanyakan pelaku usaha tersebut mendapatkan manfaat kelancaran arus kas, baik untuk pendanaan modal (25,1%) maupun tambahan stok barang (24,9%).

Unduh laporannya melalui tautan berikut: klik di sini.


Disclosure: DSInnovate bekerja sama dengan Modalku dalam pembuatan dan peluncuran laporan ini. Modalku merupakan salah satu platform fintech p2p lending yang fokus memberikan pembiayaan produktif untuk UMKM di Indonesia

Crowdo Announces Bank Neo Commerce as Its Digital Bank Prime Partner

Fintech startup Crowdo announced a partnership with Bank Neo Commerce (BNC) to increase SME financing. This is Crowdo’s first-ever partnership since declaring itself a neobank service.

In an interview with DailySocial, Crowdo’s Group CEO, Reona Shimada explained, they offer comprehensive digital technology and infrastructure for digital banks in this partnership, and it will take a long time if it’s to be built independently.

BNC has access to technology such as an AI-powered credit scoring engine that Crowdo engine has built and trained for three years. It is said that Crowdo’s portfolio performed up to 70% better with this tool than traditional bank loans for SMEs during the pandemic.

In addition, access to the whole digital onboarding process and end-to-end underwriting, and supporting the digitization mission for digital banks. “By combining these two DNAs, it makes digital banks more efficient in their business processes. They can immediately experience the impact of the business as they get an acquisition channel,” Shimada said.

Technically, the onboarding process for SMEs in obtaining loans is done through the Crowdo platform. If the results of the assessment match the criteria targeted by BNC, then they will make the loan. Shimada explained that this approach is different from loan channeling, as is done by banks with p2p lending companies in general.

“Crowdo is more focused on digital solutions for SMEs, not just financing. SMEs can digitize their operations and get financial products. ”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Crowdo and BNC agreement signing / Crowdo

In terms of monetization, Shimada was reluctant to reveal further detail. However, he said an example, in general cooperation between companies as this one usually uses commission share (share fee).

The company is expected to announced two other digital banks sooner this year. Previously disclosed, Crowdo targets to help SMEs digitize supply chain transactions worth more than Rp14 trillion and access loans and other financial products.

Through the Digitalization Platform service, it allows SMEs to open bank accounts in a simple and fast way, manage all invoices and purchase orders digitally, and request/receive payments.

Meanwhile, for financial products, there are three products, paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) and working capital loans. Early Payment or in the industry better known as invoice financing, this loan is intended for prepayments based on bills issued and purchase orders. Meanwhile, Micro Pay Later for small bills and unexpected payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Crowdo Umumkan Bank Neo Commerce sebagai Mitra Perdana Bank Digital

Startup fintech Crowdo mengumumkan kemitraan dengan Bank Neo Commerce (BNC) untuk peningkatan pembiayaan UKM. Ini adalah kemitraan perdana bagi Crowdo sejak mendeklarasikan diri sebagai layanan neobank.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, dalam kemitraan ini mereka menawarkan teknologi dan infrastruktur digital secara menyeluruh buat bank digital, yang mana bila dibangun sendiri akan memakan waktu yang lama.

BNC mendapat akses teknologi seperti mesin skoring kredit bertenaga AI yang sudah dibangun dan dilatih engine Crowdo selama tiga tahun. Diklaim dengan alat ini, kinerja portofolio Crowdo lebih baik hingga 70% daripada pinjaman tradisional bank untuk UKM selama pandemi.

Selain itu, akses proses onboarding digital secara keseluruhan dan underwriting dari ujung ke ujung, sehingga mendukung misi digitalitasi buat bank digital. “Dengan mengawinkan dua DNA ini membuat bank digital jadi lebih efisien proses bisnisnya, merekapun dapat segera merasakan dampak bisnis karena mendapat channel akuisisi,” kata Shimada.

Secara teknis, proses onboarding UKM dalam mendapatkan pinjaman dilakukan melalui platform Crowdo. Apabila hasil penilaiannya sesuai dengan kriteria yang diincar BNC, maka merekalah yang akan melakukan pinjaman. Shimada menjelaskan, pendekatan ini berbeda dengan loan channeling, seperti yang dilakukan perbankan dengan perusahaan p2p lending pada umumnya.

“Crowdo lebih fokus pada solusi digital untuk UKM, tidak hanya sekadar pembiayaan saja. UKM bisa melakukan digitalisasi operasional dan mendapat produk keuangan.”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo

Untuk monetisasinya, Shimada enggan menjelaskan lebih detail. Namun ia memberi contoh, pada umumnya kerja sama antar perusahaan seperti ini menggunakan pembagian komisi (share fee).

Dua bank digital lainnya diharapkan dapat segera diumumkan perusahaan sepanjang tahun ini. Sebelumnya diungkapkan, Crowdo menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan UKM membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

Investree Thailand Obtains License, Optimizing SME’s Market Growth in Southeast Asia

The p2p lending startup Investree announced its expansion to Thailand after successfully obtaining a license from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC) as of February 23, 2021. Investree Thailand will focus on providing more SMEs (underserved) with institutional financing access by connecting them with investors through the marketplace platform.

Investree Thailand’s Co-Founder Worakorn Sirijinda said, “We are very grateful for the approval and support from the SEC. This is the first step for Investree to provide innovative financing and service solutions for Thai SMEs that we hope will be able to contribute to the country’s economic recovery in a challenging situation like today.”

In Thailand and the Philippines, regulation is a bigger challenge due to distance constraints and limited knowledge and relations with the current regulators. In addition to the presence of a pandemic that has slowed down movement around the world, the crowdfunding permit process has been delayed for a while.

In addition, different situations and cultures in each country are quite a challenge in introducing new ideas of crowdfunding to the public. Therefore, to accelerate knowledge about the market and ecosystem, Investree focuses on collaborating with local partners.

Several well-known companies have collaborated, including Pantavanij, Thailand’s leading e-procurement platform, and B2B marketplace, 2C2P payment gateway provider, and FlowAccount, a provider of online billing and accounting solution software for small businesses, entrepreneurs, and freelancers.

Through this collaboration, Investree Thailand created several innovations. Together with Pantavanij, Investree provides supply chain financing to sellers and suppliers registered in the e-procurement system. Together with 2C2P, Investree utilizes technology and data to provide working capital financing facilities for 2C2P merchants. Still in line, Investree is also collaborating with FlowAccount to provide financing solutions for MSMEs on its platform.

Investree Thailand presents 2 (two) products, Bullet Payment Security and Installment Payment Security which have similarities with Invoice Financing and Working Capital Term Loan (WCTL) offered in Indonesia and the Philippines. For these two financing products, Investree offers various benefits for SMEs: interest rates based on a modern credit scoring model, fast funding, and transparent terms and fees.

“In our opinion, this partnership really helps Investree in channeling loans that focus more with measurable risks, therefore, they can maintain the stability of the Investree lending and borrowing business while exploring more collaboration opportunities with actors in other ecosystems,” Adrian said.

SME Market in Southeast Asia

Based on a study by the Asian Development Bank entitled “Asia Small and Medium-Sized Enterprise Monitor 2020”, MSMEs account for an average of 97% of all types/scales of enterprises, 69% of the total workforce, and 41% of the country’s gross domestic product (GDP) during 2010-2019. The Covid-19 pandemic in 2020 exacerbates the increasing global trade tension and economic uncertainty in the region. In many ways, MSMEs are the key to economic recovery in developing Asian countries.

Indonesia is a country in Southeast Asia with the largest number of MSMEs in the region with 64 million, followed by Thailand with 3.5 million and the Philippines with 1.2 million MSME units.

MSMEs are a major and important force to drive the Southeast Asian economy. This is 97 percent of the business world and absorbs 97 percent of the national workforce in the 2010 to 2019 period. MSMEs also contributed an average of 41 percent of the GDP of each country in the same period.

However, there are many business players still having difficulty with financial access. Many of them are deemed ineligible to borrow from a bank and do not have a credit history.

Fintech can make it easier for MSMEs to optimize the effectiveness and efficiency of business operations, also for MSMEs without sufficient requirements to access bank financing for working capital financing. Some of the players that offer similar solutions include KoinWorks, Modalku, and Amartha.

Previously, in 2019, Investree is available in Vietnam under the name eLoan, after which it continued to expand to the Philippines by partnering with the conglomerate company Filinvest Development Corporation (FDC) earlier this year. To date, Investree has successfully obtained a license to operate in 4 countries including Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Thailand Peroleh Izin Regulator, Maksimalkan Momentum Pertumbuhan UMKM di Asia Tenggara

Startup p2p lending Investree mengumumkan peresmian ekspansi ke Thailand setelah berhasil mengantongi lisensi dari Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand (SEC) per tanggal 23 Februari 2021. Investree Thailand akan fokus melayani lebih banyak UKM yang tidak terjangkau akses pembiayaan lembaga konvensional (underserved) dengan menghubungkan mereka dengan para investor melalui platform marketplace.

Co-Founder Investree Thailand Worakorn Sirijinda mengungkapkan, “Kami sangat bersyukur atas persetujuan dan dukungan dari SEC. Ini adalah langkah pertama bagi Investree untuk menyediakan solusi pembiayaan dan layanan yang inovatif bagi UKM Thailand yang kami harapkan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi Negara di situasi penuh tantangan seperti sekarang ini.”

Di Thailand dan Filipina, regulasi menjadi tantangan yang lebih besar akibat terhambat jarak dan keterbatasan akan pengetahuan serta relasi dengan regulator di sana. Ditambah lagi kehadiran pandemi yang memperlambat pergerakan di seluruh dunia, proses perizinan crowdfunding pun tertunda untuk beberapa saat.

Selain itu, perbedaan situasi dan budaya di setiap negara juga merupakan tantangan tersendiri untuk mengenalkan ide baru crowdfunding kepada masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi pengetahuan tentang pasar dan ekosistem di sana, Investree fokus melangsungkan kolaborasi dengan rekanan lokal.

Beberapa perusahaan ternama yang sudah bekerja sama seperti Pantavanij, platform e-procurement dan B2B marketplace terdepan di Thailand, 2C2P penyedia payment gateway, dan FlowAccount penyedia software solusi penagihan dan akuntansi online untuk bisnis kecil, wirausaha, dan pekerja lepas.

Melalui kolaborasi tersebut, Investree Thailand menciptakan beberapa inovasi. Bersama Pantavanij, Investree menyediakan pembiayaan rantai pasokan kepada penjual dan pemasok yang terdaftar di sistem e-procurement. Bersama 2C2P, Investree mamanfaatkan teknologi dan data untuk menyediakan fasilitas pembiayaan modal kerja (working capital financing) untuk para merchant 2C2P. Masih sejalan, Investree juga berkolaborasi dengan FlowAccount untuk menyediakan solusi pembiayaan bagi UMKM yang ada di platformnya.

Investree Thailand menghadirkan 2 (dua) produk yaitu Bullet Payment Security dan Installment Payment Security yang memiliki kesamaan dengan Invoice Financing dan Working Capital Term Loan (WCTL) yang ditawarkan di Indonesia dan Filipina. Untuk kedua produk pembiayaan ini, Investree menawarkan berbagai manfaat untuk UKM: suku bunga berdasarkan model credit scoring yang modern, pendanaan cepat, serta ketentuan dan biaya yang transparan.

“Menurut kami, kemitraan ini sangat membantu Investree dalam menyalurkan pinjaman secara lebih tepat sasaran dengan risiko yang terukur sehingga dapat menjaga kestabilan bisnis pinjam meminjam Investree seraya mengeksplorasi lebih banyak peluang kolaborasi dengan pelaku di ekosistem lainnya,” ujar Adrian.

Pasar UMKM di Asia Tenggara

Berdasarkan studi oleh Asian Development Bank bertajuk “Asia Small and Medium Sized Enterprise Monitor 2020”, UMKM menyumbang rata-rata 97% dari semua jenis/skala perusahaan, 69% dari total tenaga kerja, dan 41% dari produk domestik bruto (PDB) negara selama 2010-2019. Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 memperburuk tensi perdagangan global yang sudah meningkat dan ketidakpastian ekonomi di wilayah regional. Dalam banyak hal, UMKM memegang kunci pemulihan ekonomi di negara berkembang Asia.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah UMKM terbesar di kawasan sebanyak 64 juta disusul oleh Thailand dengan 3,5 juta dan Filipina dengan 1,2 juta unit UMKM.

UMKM merupakan kekuatan utama dan penting untuk mendorong perekonomian Asia Tenggara. Jumlahnya 97 persen dari dunia usaha dan menyerap 97 persen angkatan kerja nasional dalam periode 2010 hingga 2019.UMKM juga menyumbang rata-rata 41 persen dari PDB tiap negara dalam periode yang sama.

Namun, masih ada banyak pelaku usaha yang belum memiliki akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka dianggap tidak memenuhi syarat meminjam di bank dan tidak memiliki histori kredit.

Fintech dapat memudahkan UMKM untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi operasional usaha, serta memudahkan UMKM yang tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengakses pembiayaan perbankan, dalam mengakses pembiayaan modal kerja. Beberapa pemain yang juga menawarkan solusi serupa termasuk KoinWorksModalku, dan Amartha.

Sebelumnya, di tahun 2019, Investree telah hadir di Vietnam dengan nama eLoan, setelah itu melanjutkan ekspansi ke Filipina dengan menggandeng perusahaan konglomerat Filinvest Development Corporation (FDC) di awal tahun ini. Hingga saat ini, Investree berhasil mendapat lisensi untuk beroperasi di 4 negara termasuk Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Crowdo Kini Menjadi Neobank, Perluas Solusi Digital untuk UKM

Di balik besarnya potensi digitalisasi UKM Indonesia, masih menyimpan banyak isu yang ternyata tak cukup dengan kehadiran solusi p2p lending saja. Alasan tersebut yang menginisiasi Crowdo untuk perluas layanannya dan menobatkan diri menjadi neobank dari awalnya penyedia pinjaman p2p.

Menjadi neobank, bukan berarti Crowdo memegang lisensi bank digital. Perusahaan telah mengantongi izin penuh dari OJK sejak akhir tahun lalu sebagai p2p lending. Dalam menyediakan solusi yang ada, perusahaan bermitra dengan lembaga keuangan lainnya.

Neobank dan bank digital punya perbedaan konsep. Neobank adalah lembaga keuangan digital yang produk-produknya adalah hasil kemitraan dengan lembaga keuangan lainnya, salah satunya perbankan. Sementara, bank digital secara teorinya adalah bank-bank yang sudah ada mendigitalkan layanannya. Mereka biasanya memiliki lisensi untuk melakukan kegiatan pengambilan simpanan.

Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, perusahaan selalu berambisi menjadi institusi finansial, lending adalah salah satu produknya. Dari sisi konsumen UKM, masih banyak solusi yang mereka butuhkan. “Jika melihat dari tren fintech di global, neobank itu sangat consumer-centric. Produknya simpel dan seamless consumer journey-nya,” terangnya dalam wawancara terbatas bersama sejumlah media, kemarin (24/2).

Ditegaskan kembali oleh COO Crowdo Indonesia Nur Vitriani, dengan menjadi neobank artinya Crowdo menjadi katalis buat industri keuangan digital karena membawa inovasi baru dengan proses yang lebih simpel. Perusahaan tengah berdiskusi dengan tiga bank digital hadir di platform Crowdo.

Hanya saja, identitas dari ketiga bank ini masih dirahasiakan. “Kita sedang proses dengan tiga bank digital untuk onboarding di Crowdo. Bagi mereka, karena kami sudah punya teknologi AI tentu akan sangat membantu mereka daripada harus bangun sendiri,” terangnya saat dihubungi DailySocial, Kamis (24/2).

Sebagai neobank, Crowdo menyediakan solusi keuangan digital UKM dengan mengintegrasikan digitalisasi operasional dengan solusi pinjaman dan perbankan yang dibantu mesin penilaian kredit bertenaga AI. Serta, produk dan layanan yang didorong prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang positif.

Produk Crowdo saat ini

Ada dua solusi utama yang ditawarkan, yakni digitalisasi operasional dan produk keuangan, baik itu pinjaman dan fitur perbankan. Keduanya adalah masalah yang paling mendesak yang dihadapi UKM.

Saat ini, sebagian besar UKM di Indonesia mengelola data dan transaksinya secara offline dan manual. Hal ini mengakibatkan produktivitas yang buruk karena pemilik bisnis haru menghabiskan banyak waktu untuk masalah nonkomersial. Crowdo menawarkan solusi digital sederhana yang memungkinkan UKMK dengan mudah mengelola transaksi supply chain secara online dan mengakses produk keuangan lebih mudah.

Perusahaan menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

“Pinjaman Modal Kerja untuk mendukung proyek yang lebih besar dan persyaratan modal kerja bisa bantu UKM mengembangkan bisnisnya,” tambah Vitri.

Ke depannya, perusahaan akan menambah layanan digital lebih jauh untuk UKM. Misalnya manajemen biaya operasional, pengaturan tagihan, dan penggajian karyawan.

Adapun saat ini perusahaan telah memiliki 76 ribu pengguna per Desember tahun lalu dengan total penyaluran di kisaran Rp600 miliar. Pada tahun ini, perusahaan memiliki target ingin mendigitalkan $1 miliar dalam transaksi supply chain yang difasilitasi melalui komunitas UKM dan melipatgandakan penyaluran pinjaman hingga dua kali lipat menjadi Rp1,2 triliun.

Untuk lender Crowdo, saat ini sepenuhnya adalah lender institusi, yang datang dari perbankan atau multifinance. “Mereka melihat teknologi AI yang kami tawarkan untuk credit scoring engine yang mana ini sangat berguna terutama saat pandemi untuk mengurangi risiko NPL. Kami berhasil menahan laju NPL di bawah rata-rata perbankan,” kata Shimada.

Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo
Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo

Tahan ekspansi

Secara grup, Crowdo telah beroperasi di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Shimada menerangkan, ketiga negara ini saling berkontribusi satu sama lain dalam menginspirasi setiap inovasi perusahaan. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia punya kemiripan dari sisi regulatornya yang progresif untuk mendorong inovasi di industri fintech.

Sementara Singapura, lebih terbatas dalam ukuran pasar, tapi memiliki sumber daya yang langkap seperti data scientis. “Berada di tiga pasar ini, Crowdo sangat diuntungkan, Crowdo Indonesia melayani pasar terbesar di ASEAN sambil mengakses kemampuan yang kuat dari pasar kami yang lain.”

Terkait rencana ekspansi ke negara baru, belum menjadi suatu agenda yang diharuskan oleh perusahaan mengingat pandemi yang masih berlangsung. Namun, ia melihat permintaan yang kuat untuk solusi neobanking di pasar seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand dan ia secara proaktif melihat peluang masuk ke sana. “Indonesia akan tetap menjadi fokus utama kami.”

Dalam mendorong target perusahaan, diungkapkan bahwa saat ini Crowdo sedang memroses penggalangan Seri B. “Yang penting bagi kami adalah kami memiliki sekelompok investor yang bersemangat dengan misi kami untuk bergabung dalam putaran penggalangan dana,” tutup dia.

Akseleran Kembangkan Produk Pinjaman Baru; Diversifikasi Dana Lewat Lender Institusi

Di awal tahun 2021, perusahaan teknologi p2p lending Akseleran mengumumkan pencapaiannya dalam menyalurkan pinjaman senilai Rp960 miliar sepanjang tahun lalu. Kinerja itu berhasil disalurkan meskipun Indonesia mengalami krisis seiring pandemi Covid-19.

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pinjaman di tahun 2020 mengalami peningkatan 91,3% year on year (yoy) di angka Rp155,9 triliun dibandingkan tahun 2019 sebanyak Rp81,49 triliun. Sementara itu, jumlah pinjaman yang disalurkan p2p lending tumbuh 16,43% yoy dari Rp13,14 triliun menjadi Rp15,31 triliun di 2020.

Co-Founder & CFO Akseleran Mikhail Tambunan dalam keterangan resmi menyampaikan, “Secara kumulatif, Akseleran sudah menyalurkan total pinjaman usaha sebesar Rp1,9 trililun lebih kepada 2500 peminjam dan juga didukung oleh 150 ribu lebih pemberi pinjaman (lender) ritel atau perorangan yang tersebar merata dari Aceh hingga Papua.”

Ia turut menambahkan, terjadi peningkatan tren penyaluran pinjaman usaha Akseleran tiap bulannya dengan rata-rata mencapai sebesar Rp80-90 miliar. Di bulan Januari 2021, Akseleran berhasil menyalurkan total pinjaman usaha sebesar Rp105 miliar atau berada di atas rata-rata penyaluran pinjaman.

Pengembangan produk

Dalam wawancara terpisah, Ivan Tambunan selaku Co-Founder & CEO Akseleran menyampaikan, pandemi yang terjadi di 2020 telah membuat perusahaan melakukan de-risking, yaitu pengurangan risiko yang menyebabkan perubahan peresentase dua produk andalan mereka, meliputi invoice financing (60%) dan pre-invoice financing (40%). Hal ini disebabkan oleh sifat dasar pre-invoice financing yang cenderung lebih berisiko.

Meskipun demikian, perusahaan mengakui tetap menerapkan penilaian kredit yang prudent dengan fokus kepada cashflow calon borrower sebagai bagian dari mitigasi risiko. Langkah tersebut disinyalir berhasil menurunkan pencapaian total NPL Akseleran secara kumulatif di angka 0,13%.

Selain itu, Ivan juga menyampaikan bahwa perusahaan tengah mengembangkan solusi API-based loan origination system (LOS). Produk ini disebut seamless supply chain financing facilities. Konsepnya sama seperti pembiayaan modal kerja kepada mata rantai bisnis dalam rangka penyediaan pasokan barang/jasa dari pihak supplier, dalam hal ini adalah corporate anchor kepada pihak buyer.

Bersama solusi API ini, akan hadir juga produk baru yang disebut instant B2B digital commerce financing. Akseleran menargetkan kerja sama dengan platform digital B2B commerce , payment gateway, atau saluran pembayaran lainnya untuk mempermudah transaksi menggunakan fasilitas yang disediakan Akseleran. Sistemnya seperti paylater, namun spesifik untuk B2B.

Diversifikasi sumber dana

Pada hari ini (11/2) Akseleran baru saja mengumumkan PT Bank Jago Tbk sebagi salah satu institutional lenders dalam platformnya. Melalui kolaborasi sinergis ini, Bank Jago berkomitmen untuk menyalurkan pembiayaan produktif kepada para pelaku UMKM (borrower) melalui platform Akseleran sebesar Rp50 miliar yang akan dimulai pada Februari 2021.

Sebelumnya, sudah ada beberapa nama yang lebih dulu menjadi partner institui di Akseleran. Dari industri perbankan sudah ada Bank Mandiri, BCA, JTRUST, dan bank regional BPR SUPRA. Selain itu, ada juga Pegadaian, Mandiri Tunas Finance, KreditPlus, Ciptadana,dan beberapa multifinance yang ikut menjadi institutional lender.

Sampai saat ini, presentase jumlah penyaluran dana di Akseleran masih didominasi oleh ritel (70%); sisanya insititutional lender (30%). Bekerja sama dengan lebih dari 10 institutional lender, perusahaan berhasil menyalurkan dana sekitar $70m atau Rp979 miliar.

Pihaknya melihat kedepannya ada kemungkinan untuk komposisi ini bisa berubah menjadi 50:50 antara ritel dan institusi. Melihat pasar di luar, misalnya di Amerika Serikat atau Tiongkok, pada akhirnya yang mendominasi adalah institutional funding. Namun, menurut Ivan, pasar Indonesia sedikit berbeda. Investasi retail di luar sudah sangat banyak, sementara di Indonesia belum. Platform ini sendiri bertujuan untuk membuka akses bagi masyarakat bisa mengembangkan dananya. Hal ini yang dirasa Ivan menjadi unique market.

“Menurut saya, retail market akan tetap ada, mungkin ke depannya bisa lebih sedikit tetapi kita akan tetap maintain marketplace konsep kita. Ketika pandemi melanda, institutional lender mulai menarik diri, apa jadinya kalau tidak ada retail? Hal ini menunjukkan pentingnya diversifikasi sumber dana,” jelas Ivan.

Saat ini Akseleran disebut sedang terlibat penggalangan dana putaran seri B yang ditargetkan bisa selesai di Q1 2021. Tidak disebutkan siapa saja yang terlibat, namun pihaknya menyatakan dukungan dari investor sebelumnya tetap kuat.

“Targetnya, kita ingin bisa scale-up 10x lipat dari volume kita saat ini dalam waktu 2-3 tahun. Harapannya, di akhir tahun 2021, kita sudah bisa sustainable dengan cashflow positif,” tutup Ivan.

Application Information Will Show Up Here

Benedicto Haryono: “Super Financial Apps” adalah Upaya KoinWorks Perluas Segmen Pasar

Didirikan sejak tahun 2015 sebagai platform p2p lending, KoinWorks kini telah menjelma menjadi apa yang mereka sebut sebagai “super financial apps”. Di dalamnya juga mengakomodasi berbagai kebutuhan, mulai dari investasi emas, reksa dana, obligasi, pembiayaan gaji, sampai payroll financing. Untuk mendalami tentang visi jangka panjang mereka, DailySocial berkesempatan mewawancara Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono.

Mengawali perbincangan Benedicto menceritakan, pengembangan super financial apps merupakan upaya KoinWorks untuk menjalankan visi. Ia ingin agar layanan finansial yang dibawa bisa menjangkau ke kalangan masyarakat yang lebih luas, di berbagai segmen industri. Seperti diketahui, saat ini salah satu pangsa pasar terbesar yang dijaring melalui fitur lending-nya adalah UMKM.

“Kita ingin melebarkan reach kita, dulu waktu kita mulai niche kita ke e-commerce saja. Tapi kan industri e-commerce ya hanya satu industri saja, secara persentase GDP juga masih belum sampai 10%. Yang menjadi pegangan adalah visi kami, ingin bisa merangkul semua orang,” ujarnya.

Benedicto menambahkan, di sisi lain mereka ingin memberikan opsi yang lebih luas kepada pendana agar mencapai tujuan finansial mereka — dalam hal ini terkait diversifikasi instrumen investasi. Tingkat persetujuan pendanaan di KoinWorks masih berkisar 10% dari total trafik yang masuk, artinya memang ada minat yang sangat tinggi dari masyarakat dan belum sepenuhnya terakomodasi.

Sejauh ini porsi untuk pendana ritel (dari masyarakat) persentasenya masih mendominasi, yakni berkisar 80%. Sementara sisanya datang dari lender institusi, baik dari lembaga keuangan lokal seperti BTN, CIMB Niaga, dan BRI Agro; atau lembaga keuangan luar seperti Lendable dan Triodos Bank.

Kompetisi pasar

KoinWorks - UKM- New

Sampai 22 Januari 2021, OJK telah menaungi 148 pemain fintech lending, baik yang statusnya masih terdaftar dan/atau sudah berizin. Menanggapi kondisi pasar yang ada, Benedicto meyakini bahwa para pemain masih memiliki ruang gerak yang cukup lebar. “Kalau kita komparasi dengan perbankan buku 1 sampai 4, jumlah pemain lebih besar lebih dari p2p lending, belum termasuk  BPR. Tapi ratusan bank yang ada juga belum sepenuhnya meng-address semua kebutuhan UMKM ataupun masyarakat umum. Secara opportunity, saya rasa belum overcrowded,” ujarnya.

Ia juga menyinggung soal model bisnis p2p lending. Kebanyakan pemain adalah VC-backed business, kendati beberapa ada yang didukung penuh kalangan korporasi, sepeti platform besutan Mayapada atau Sinarmas. Banyaknya bisnis yang didukung oleh pemodal ventura akan bermuara pada kemungkinan adanya konsolidasi, terlebih jika sudah masuk ke tahap akhir (secara pendanaan). Hal tersebut disebabkan karena masih terbatasnya jumlah investor yang bisa berpartisipasi di putaran tersebut.

“Dulu perbankan berjalan tanpa ada backing-an venture capital, cara mereka menumbuhkan bisnis dan asetnya berbeda. Tapi kalau melihat bisnis yang dibantu venture capital, lama-lama ada konsolidasi. Kemungkinan di industri p2p lending juga akan ada konsolidasi, karena likuiditas venture community di Indonesia belum sebanyak atau sevariatif di US atau China, jadi number of investor-nya itu-itu saja apalagi kalau sudah masuk ke later stage (seri C ke atas),” imbuhnya.

Ia melanjutkan, “Pemain yang didukung konglomerasi juga tidak akan berkompetisi dengan kita, mereka tidak akan compete for funding, karena punya stable source of funding. Dan mereka punya niche market yang pemain lain belum lakukan, baik secara geografis ataupun industri yang berbeda.”

Regulasi juga dilihat sudah mengarahkan ekosistem untuk bisa membangun bisnis secara solid. Misalnya pengetatan yang dilakukan OJK dengan meningkatkan capital requirement-nya agar menghasilkan bisnis yang lebih bagus dan sehat. “Aturan baru tersebut (yang sedang disiapkan dan disosialisasikan) saya melihatnya sebagai upaya OJK untuk membuat bisnis yang lebih aman, lebih terproteksi. Namun tentunya sebagai startup founder, kita tidak terlalu suka kalau regulasi terlalu cepat. Menurut saya langkah ini diambil lebih untuk mengamankan industri.”

Dampak pandemi

Seperti kebanyakan bisnis lain di Indonesia, Covid-19 juga menggoncangkan bisnis KoinWorks. Satu yang paling signifikan, perusahaan harus menyusun ulang rencana-rencana mereka. Hal ini disebabkan karena kebiasaan konsumen yang berubah, yang mau tak mau memaksa bisnis untuk menyesuaikan model bisnis. Karena UMKM yang mereka layani juga secara langsung banyak yang terdampak – beberapa dari mereka harus gulung tikar, tapi tidak sedikit juga yang bisa memanfaatkan momentum dan bangkit.

“KoinWorks cukup tertekan di awal pandemi untuk mengelola risiko dan melakukan restrukturisasi terhadap customer yang membutuhkan. Pada Q2 2020 kami disibukkan dengan itu. Tapi sekitar Q3-Q4 bisnis mulai tumbuh lagi, sampai akhirnya Desember sudah balik lagi ke level yang sama sebelum Covid. Secara profitability malah lebih sehat, operational cashflow lebih positif,” kata Benedicto.

Rencana tahun 2021

Menjadi super financial apps tentu membutuhkan upaya yang besar untuk bisa menghadirkan berbagai lini produk dan layanan. Melihat tren yang ada, perusahaan digital yang arahnya sama  strateginya dengan melakukan konsolidasi – alih-alih mengembangkan tiap untuk layanan dari nol. Tapi KoinWorks punya pandangan berbeda, sampai saat ini belum ada rencana untuk melakukan akuisisi pemain lain. Menurut Benedicto karena saat ini pasar masih sangat terbuka lebar dan game plan perusahaan pun masih cukup jelas.

KoinWorks juga masih akan terus fokus ke pasar Indonesia. Tahun ini bakal banyak layanan baru yang akan diluncurkan untuk merangkul segmen pasar yang lebih luas. KoinGaji juga akan menjadi salah satu fitur yang bakal digenjot tahun ini, pasalnya setelah 4 bulan melakukan pilot project di akhir tahun lalu, perusahaan mendapati traksi yang cukup mengesankan.

“Kami cukup percaya diri dengan layanan KoinGaji, tahun ini pemasarannya akan cukup agresif agar dapat melayani pangsa pasar yang lebih luas. Kita percaya layanan ini cukup unik, karena bukan hanya payroll financing tapi juga memberikan servis tambahan ke human resources perusahaan,” jelas Benedicto.

Optimasi KoinGaji akan difokuskan pada paruh pertama tahun ini, sembari perusahaan akan menguatkan strategi profit mereka. Targetnya di kuartal kedua 2021, perusahaan sudah membukukan profit dengan pertumbuhan organik. Selanjutnya di paruh kedua, mereka akan fokus pada produk-produk baru yang akan diluncurkan. “Tahun ini akan banyak melakukan cashflow improvement untuk membangun landasan seri C yang sehat dengan profitability plan yang jelas, growth yang lebih baik, risiko yang terkontrol, dan game plan post-series C yang lebih terukur,” imbuhnya.

Platform baru yang akan diluncurkan tahun ini ditujukan untuk UMKM. Alat tersebut dinilai bisa membuat bisnis lebih mudah dilakukan, tidak hanya produk pinjaman tapi fitur untuk mengelola keuangan dan manajemen risiko.

“Dengan semua unicorn mulai masuk ke fintech, maka kita harus bisa membangun niche dan spesialisasi kita, apakah bisa melengkapi yang mereka bangun […] Karena mereka kalau bangun fintech pasti ke captive market dulu. Dari landasan tersebut KoinWorks akan membangun fitur-fitur yang unik yang tidak mudah direplikasi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here