Mengamati Kolaborasi Evo & Co dengan Rumput Laut Demi Kurangi Sampah Plastik

Polusi plastik adalah masalah global. Menurut riset yang banyak dikutip berbagai artikel, diperkirakan pada 2025 ada sebanyak 100 juta hingga 250 juta metrik ton sampah plastik dapat masuk ke laut setiap tahunnya. Studi lain memproyeksikan, jika tanpa perubahan pada praktik saat ini, mungkin ada lebih banyak plastik menurut beratnya daripada ikan di lautan pada 2050.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, tantangan dalam mengelola krisis ini cukup besar. Sekitar 160 juta orang Indonesia masih belum memiliki akses ke pengumpulan sampah reguler di rumah. Indonesia National Plastic Action Partnership memperkirakan negara ini menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik setiap tahun – sebagian besar tidak diolah dan tidak dikelola, berakhir di saluran air dan lautan.

Negara ini menjadi pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok, sekaligus ditantang untuk mencari solusi memerangi konsumsi plastik sekali pakai yang terus meningkat. Polemik klasik ini justru menjadi potensi bisnis yang menjanjikan bagi Evoware, startup yang menawarkan alternatif plastik untuk produk kemasan dengan bahan dasar alami.

Kepulangan David Christian ke tanah air setelah menyelesaikan kuliah di Kanada, menyisakan keprihatinan yang mendalam mengenai polusi dan sampah yang belum bisa terkelola dengan baik. Kondisinya begitu kontras dengan Kanada. Berawal dari situ, ia pun menyadari masalahnya selalu ada di sana, tapi tidak terlintas di benaknya.

“Itu adalah masalah. Saya menyadari bahwa saya ingin membuat sesuatu yang unik dan belum pernah ada agar dapat perhatian dari orang. Produknya harus bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” ucap David saat dihubungi DailySocial.id.

Inovasi produk Evo & Co

Setelah melakukan beberapa penelitian dimulai di 2015, ia terinspirasi untuk menciptakan gelas yang dapat dimakan untuk menggantikan gelas plastik sekali pakai. Edwin Tan turut menunjukkan ketertarikannya dengan isu tersebut dan bergabung dengan David untuk merintis Evoware. Edwin menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bisnis, keuangan, investasi, dan dampak sosial.

Produk pertama dari Evoware adalah “Ello Jello” pada bulan April 2016. Ello Jello adalah gelas yang bisa dimakan karena bahan dasar laut, teksturnya mirip dengan bentuk jeli yang lebih padat, terbuat dari rumput laut dan tanpa pengawet, pemanis buatan, gluten, atau gelatin. Bahan dasar ini ia dapatkan langsung dari petani rumput laut lokal.

Ello Jello / Evoware

Gelas ini tersedia dalam beberapa rasa yang berbeda, termasuk oranye, leci, teh hijau dan peppermint, dan dapat bertahan hingga tujuh hari ketika disimpan di lemari es. Tidak hanya gelas, ada pula packaging yang biasanya digunakan untuk kopi sachet hingga biskuit satuan. Menariknya, packaging ini dapat larut dalam air hangat.

Packaging ini bisa bertahan hingga dua tahun, dapat dimakan atau diubah menjadi pupuk karena dapat terurai dari satu hingga dua bulan. Rumput laut dipilih karena merupakan zat hemat energi dan ekonomis untuk tumbuh, tidak diperlukan pembebasan lahan atau deforestasi. Rumput laut juga bertindak sebagai salah satu penyerapan karbon alami, secara permanen mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer.

Indonesia sendiri merupakan eksportir terkemuka untuk komoditas rumput laut. Diperkirakan tiap tahun lebih dari 10 juta ton rumput laut diekspor.

Sejak itu, perusahaan telah memperluas produk dan Evoware sekarang menjadi salah satu merek di bawah Evo & Co, bersama dengan Evoworld. Evoworld menyediakan varian produk kantong plastik berbagai ukuran, berbahan dasar singkong yang dapat diurai dan dapat dikompos. Produk turunan dari bahan dasar tersebut, berupa plastik roll yang biasa digunakan untuk membungkus sayuran, styrofoam (gabus) untuk membungkus makanan. Ada juga produk yang terbuat dari tebu berwarna putih dan daun pinang berwarna cokelat.

Selanjutnya, membuat sedotan bahan kertas yang dapat hancur dalam waktu dua jam setelah dipakai dan sedotan berbahan beras yang dapat dimakan atau disimpan kembali. Evoworld juga memproduksi alat makan makan, seperti sendok garpu, pisau, sedotan yang terbuat dari bambu yang bisa dipakai lagi.

“Setelah produk pertama launch di 2016, setahun berikutnya kami launch produk kedua yang terbuat dari rumput laut seperti packaging sachet pengganti plastik. Kemudian di 2019, kami buat diferensiasi produk pengganti plastik dari bahan lainnya, seperti singkong, beras, ampas tebu, dan lainnya. Di tahun itu pula kami fokus ke bisnis, mengembangkan produk, serta mulai kampanye Rethink.”

Rethink menjalankan kampanye di seluruh dunia yang bekerja dengan pemerintah dan bisnis untuk mempromosikan kehidupan berkelanjutan.

Model bisnis

Seluruh produk yang dirilis perusahaan, kecuali Ello Jello, merupakan hasil trading (jual-beli) dengan produsen yang digaet perusahaan. “Jadi Evo & Co sediakan produk-produk pengganti plastik, orang lain yang produksi, kita yang jualkan.”

Kendati begitu, saat ini perusahaan mulai mengembangkan pusat riset dan inovasi sendiri agar lebih masif dalam berinovasi produk-produk ramah lingkungan. David sayangnya masih menutup rapat-rapat terkait hal ini.

Kontributor bisnis perusahaan terbesar datang dari penjualan produk ke luar negeri. Mayoritas skema bisnis dilakukan secara B2B dengan klien kebanyakan datang dari industri horeca. Evo & Co menyediakan opsi kostumisasi untuk klien B2B, misalnya melekatkan merek mereka ke kantong plastik atau sebagainya. Kanal B2C juga tersedia, namun sejauh ini hanya mengandalkan platform marketplace.

Diklaim, perbandingan bisnis dari dalam dan luar negeri cukup imbang 50:50. Bila dijumlah, ada Evo & Co telah mendistribusikan produknya ke lebih dari 50 negara. Adapun, negara terbesar yang banyak membeli produk Evo & Co adalah Malaysia, Australia, dan Jepang. Di ketiga negara tersebut, ada distributor besar yang siap menyuplai kebutuhan industri horeca dengan produk ramah lingkungan buatan Evo & Co.

David menyebut, pada tahun ini pihaknya akan memperluas ekspansi lebih jauh ke kawasan Eropa. “Bisnis ke luar ini baru dimulai tahun ini. Secara intensitas belum besar, tapi secara kuantitas sekali kirim jumlahnya besar. Tapi sebaliknya di Indonesia. Kami mau genjot bisnis ke Eropa karena market-nya besar, enggak cuma di Indonesia saja.”

Tidak hanya menyasar klien besar, baru-baru ini perusahaan mulai menyasar UKM untuk ikut beralih ke produk ramah lingkungan. Saat ini masih dalam tahap uji coba, ada 10 warung makan di Jakarta yang bergabung. David menceritakan, dalam mengedukasi pemilik warung makan harus melakukan banyak penyesuaian.

Salah satu yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan pengurangan sedotan plastik. Jika konsumen tidak meminta sedotan, sebaiknya tidak diberikan. Tapi jika minta, maka diberikan sedotan dari Evo & Co yang bisa dimakan. Selanjutnya, diadakan pembinaan sampah yang dapat dipilah dan dijual untuk mendapat uang tambahan.

“Uang tambahan ini bisa digunakan untuk membeli sedotan yang harganya sudah kami subsidi semurah mungkin. Ini adalah bagian dari movement kami karena biasanya produk ramah lingkungan itu dipakai oleh usaha kelas menengah ke atas yang ada di mal-mal.”

Diklaim, sejak dua tahun belakangan, perusahaan telah berhasil mengurangi 3,96 juta sampah, 32.260 limbah sachet, 11.417 limbah cangkir, 109.843 limbah sendok garpu, dan sebagainya.

Dari seluruh inisiatifnya, Evoware juga sempat menyabet berbagai penghargaan. Di antaranya memenangkan kategori “Redesigning Sachet” di Circular Design Challenge di Malta pada 2017 –kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh The New Plastics Economy (dipimpin oleh Ellen MacArthur Foundation.) Kompetisi ini berfokus pada barang-barang plastik seperti sachet dan tutup, yang seringkali terlalu kecil atau rumit untuk didaur ulang.

Evo & Co memperoleh dana hibah sebesar $1 juta, satu-satunya perusahaan dari Asia yang berhasil menduduki posisi enam besar bersama dengan perusahaan lainnya. Selanjutnya, pada Agustus 2021, memperoleh pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasikan dari ANGO Ventures, VC tahap awal yang dipimpin oleh salah satu klien ANGIN, yakni Mariko Asmara.

David menyebut, untuk mendukung seluruh rencana perusahaan dalam memerangi sampah plastik, saat ini sedang melakukan penggalangan putaran dana terbaru. Tim Evo & Co saat ini berjumlah 12 orang dan berkantor pusat di Jakarta.

Getstok Dikabarkan Mendapat Pendanaan 154 Miliar Rupiah, Masih Mode “Stealth” Garap Platform B2B Commerce

Ukuran pasar B2B commerce di Indonesia telah mencapai $6,99 miliar pada tahun 2018. Dan diproyeksikan akan terus bertumbuh hingga $21,33 miliar tahun 2023 dengan CAGR 25%, demikian hasil riset Reogma. Menariknya di pasar ini kebutuhan platform digital untuk pemenuhan kebutuhan bisnis memang berkembang pesat, bahkan sampai di level UMKM.

Salah satu proposisi nilai yang ditawarkan adalah proses pengadaan yang mengikuti kebijakan perusahaan melalui e-procurement. Di beberapa model bisnis, mereka juga berhasil menyajikan proses rantai-pasok yang lebih efisien, sehingga membuat harga lebih terjangkau. Bahkan sebagian platform B2B commerce memotong proses, dengan menghubungkan langsung prinsipal dan/atau pemilik brand dengan mitra pedagang.

Melihat potensi tersebut, Getstok bersemangat hadir sebagai platform B2B commerce dengan misi mendigitalkan mitra bisnis lewat inovasi digital. Belum banyak info yang bisa dikulik termasuk segmen pasar yang disasar, pasalnya startup yang didirikan oleh Arnold Pramudita ini tengah dalam mode “Stealth”.

Arnold sendiri sebelumnya bekerja selama 7 tahun di Traveloka, terakhir menjabat VP of Product Traveloka. Ia juga sempat bekerja di perusahaan ritel P&G.

Kendati belum meluncur ke publik, Getstok dikabarkan telah mendapatkan pendanaan seri A hingga $10,7 juta atau setara 154 miliar Rupiah, dengan East Ventures dan Traveloka sebagai investor utama. Dikatakan juga valuasi ditaksirkan telah mencapai $30 juta. Hal ini didasarkan data yang telah diinput ke regulator.

Unicorn OTA tersebut masuk ke pendanaan ini melalui Jet Tech Innovation Ventures, unit modal ventura yang dimiliki Traveloka dan berbasis di Singapura. Melalui Jet Tech, Traveloka sebelumnya juga berinvestasi ke sejumlah startup, di antaranya Member.id dan PouchNATION.

Cakupan layanan B2B commerce

Satu hal yang membuat B2B commerce unik adalah layanan e-procurement, memungkinkan bisnis merencanakan dan melakukan pengadaan sesuai dengan kebijakan yang dimiliki. Hal ini termasuk dalam pengelolaan termin pembayaran, faktur pajak, dan sebagainya. Konsep seperti ini biasanya diaplikasikan untuk menjangkau klien korporasi dan pemerintahan (B2G). Sejumlah pemain di segmen ini seperti Bhinneka dan Mbiz.

Sementara itu, untuk model pengadaan yang lebih kecil seperti bagi UMKM, prosesnya jauh lebih sederhana. Pemain seperti Ula atau Warung Pintar memanfaatkan mobile app untuk menghadirkan sebuah marketplace yang memudahkan pemilik warung untuk mendapatkan stok barang. Sistem logistik dan gudang menjadi kunci untuk distribusi yang cepat.

Application Information Will Show Up Here

NOICE Umumkan Pendanaan Seri A 316 Miliar Rupiah Dipimpin Northstar

Hari ini (22/4), NOICE mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $22 juta atau setara 316 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Northstar dan diikuti oleh para investor sebelumnya, yaitu Alpha JWC, Go-Ventures, dan Kinesys. Capaian ini akan mendukung ambisi perusahaan menjadi platform audio terbesar di Indonesia melalui percepatan akuisisi konten serta pengembangan platform teknologi audio kreator.

Sebelumnya NOICE telah menutup putaran pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh Alpha JWC Ventures dan Go-Ventures pada 2021 lalu. Belum lama ini, perusahaan juga mendapat dukungan investasi strategis dari RANS Entertainment milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.

Menurut dari total perolehan yang ada, diperkirakan valuasi NOICE telah mencapai setingkat Centaur (di atas $100 juta).

Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand. NOICE berdiri di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital pada 2018 yang merupakan perusahaan patungan milik PT Mahaka Radio Integra Tbk (IDX: MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Adapun Quatro adalah hasil konsorsium perusahaan rekaman di Indonesia, antara lain Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Dalam persaingan dengan pemain lokal dan global di industri platform audio streaming, NOICE mengedepankan strategi hyperlocal sebagai bagian dari hipotesis perusahaan yang ingin menjadi rumah konten audio di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan juga telah mengenalkan NOICE Live, fitur social networking dalam format audio yang memungkinkan interaksi real-time antara kreator, pendengar, musisi, fans, hingga expert.

“Investasi ini akan kami gunakan untuk mengembangkan komunitas kreator, platform teknologi, dan memperluas cakupan konten audio series untuk menghadirkan cerita-cerita terbaik Indonesia dari komunitas penulis lokal dan mengadaptasinya ke dalam format audio. Kami telah menguji coba format baru ini dan melihat hasil interaksi dan retensi yang sangat menjanjikan. Ini benar-benar ruang baru yang menarik untuk dijelajahi dan memiliki banyak sekali potensi,” ujar CEO NOICE Rado Ardian.

Meluncurkan Noicemaker Studio

Prospek industri konten di Indonesia kian populer dengan semakin menjamurnya kreator yang menciptakan ragam karya melalui berbagai platform. Di tengah pandemi Covid-19, saat banyak sektor usaha turun, ekonomi kreatif melalui kreator konten justru menjadi peluang bagi generasi muda untuk terus berkarya.

Hal ini dilihat sebagai peluang oleh NOICE, perusahaan rintisan teknologi asal Indonesia yang berfokus untuk menghadirkan platform konten audio terlengkap. Dirancang semula sebagai platform radio streaming, NOICE mulai memperlebar segmen layanannya dengan merambah pada konten audio on-demand.

NOICE resmi menghadirkan “Noicemaker Studio”, sebuah ruang digital tanpa batas bagi para kreator untuk dapat mengoptimalkan karya mereka di industri konten audio tanah air. Melalui kanal ini, semua konten kreator dari seluruh daerah di Indonesia dapat menghadirkan karya mereka, khususnya podcast, ke dalam aplikasi NOICE dan menjangkau audiens secara lebih luas melalui jaringan ekosistem perusahaan.

Rado menjelaskan bahwa Noicemaker Studio memungkinkan para konten kreator (Noicemaker) memasukkan konten podcast mereka ke aplikasi NOICE dengan mudah, serta memiliki akses langsung ke dasbor akun kreator NOICE untuk melihat performa karya mereka secara detail. Hal ini secara langsung akan memudahkan mereka untuk mendapatkan berbagai insight menarik yang tentunya akan mendorong kualitas karya mereka ke depan.”

Platform Noicemaker Studio dapat diakses oleh semua kreator tanpa terkecuali. Akan dilakukan screening berkala setiap minggunya untuk memonitor kualitas konten podcast. Selain itu, untuk melindungi sekaligus memastikan kualitas konten tetap terjaga, NOICE juga menghadirkan fitur report bagi pengguna untuk melaporkan jika ada konten yang dirasa vulgar atau tidak layak tayang.

Untuk mulai menggunakan platform ini, kreator dapat mengakses Noicemaker Studio melalui halaman website dan mendapatkan akses untuk menghadirkan konten mereka di NOICE dengan cara memasukkan tautan RSS podcast mereka ke halaman website tersebut. Selain para kreator baru, Noicemaker Studio juga dapat dimanfaatkan oleh para kreator terdaftar untuk melihat performa dari berbagai konten yang mereka hadirkan.

Co-founder & CBO NOICE Niken Sasmaya mengungkapkan “Noicemaker Studio merupakan langkah awal yang kami hadirkan untuk mengembangkan potensi konten kreator yang bergabung dan tumbuh di dalam ekosistem NOICE. Noicemaker Studio sendiri merupakan bagian dari Noicemaker Club Program (NCP), sebuah program terintegrasi yang dihadirkan NOICE untuk mendukung para konten kreator untuk tumbuh dan berkembang seiring dengan kesuksesan performa konten mereka.”

Program ini diharapkan bisa melampaui segala batasan bagi para kreator untuk memperkenalkan dan mempopulerkan karya mereka ke masyarakat secara luas. “Siapapun bisa jadi konten kreator dan podcaster. Dengan hampir 2 juta pendengar NOICE yang terus bertumbuh, kami yakin hal ini akan sangat membantu dalam mewujudkan komitmen NOICE untuk memajukan industri konten audio di tanah air, sejalan dengan posisi kami saat ini sebagai produsen IP (intellectual property) konten audio terbesar di Indonesia ,” ungkap Niken.

Application Information Will Show Up Here

Qlue Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B1 dari ICMG

Startup pengembang platform smart city “Qlue” mengumumkan tambahan pendanaan seri B1 dari Intellectual Capital Management Group (ICMG) Pte Ltd (Singapura) dengan nominal yang dirahasiakan.

Sebagai informasi, ICMG merupakan perusahaan yang berfokus pada co-create bisnis di vertikal smart city & smart villages, MaaS & logistic, healthcare & life science, energy & water, digital, dan sustainability (SDG).

“ICMG merupakan investor strategis bagi Qlue untuk scale up solusi kami di berbagai kota di Jepang,” ujar Founder & CEO Qlue RaMa Raditya dalam laman LinkedIn pribadinya.

Sebelumnya pada Juni 2021, Qlue menerima pendanaan seri B1 dari perusahaan telekomunikasi Jepang KDDI, Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dan startup pengembang layanan biometrik ASLI RI. Diketahui pendanaan ini akan dipakai untuk menggenjot ekspansi agresif Qlue ke pasar Asia melalui pengembangan solusi smart city terintegrasi. Target pasar utamanya adalah Jepang, Malaysia, dan Filipina.

Kerja sama strategis juga dilakukan dengan para investor. Salah satunya adalah sinergi dengan KDDI, keduanya akan mengintegrasikan berbagai platform yang dikembangkan Qlue ke lini bisnis KDDI di Asia Tenggara.

Ekspansi Qlue

Dalam keterangan terpisah, perwakilan ICMG mengungkap investasi ini penting dalam menghadirkan smart city yang aman dan terjamin, baik di Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Pengembangan solusi ini dapat mendukung akuisisi pelanggan dan ekspansi Qlue lebih lanjut.

Di samping itu, ekspansi ini juga sejalan dengan peningkatan urbanisasi di seluruh dunia, di mana 70 persen penduduk dunia diproyeksi tinggal di wilayah perkotaan di 2050. Situasi ini tentu akan memunculkan persoalan baru, terkait masalah keamanan hingga peningkatan kualitas hidup dan ekonomi.

“Maka itu, kami berencana untuk memperluas solusi pemantauan AI perusahaan ke berbagai kota tier 1 dan tier 2 di Indonesia. Kami juga berencana memperluas ekspansi ke wilayah lain di Asia, dengan Vietnam, Filipina, Thailand, Jepang, sebagai tujuan utama,” tambahnya.

ICMG juga menyebut akan mendukung rencana ekspansi Qlue ke Jepang dengan memanfaatkan jaringannya ke perusahaan skala besar di Jepang. Selain itu, ICMG juga akan mendukung sinergi anak usaha dan afiliasi dari perusahaan Jepang yang akan ekspansi ke Indonesia.

Ke depan, Qlue akan memperkuat posisinya sebagai pengembang solusi pemantauan berbasis teknologi AI di Indonesia melalui kemitraan dengan segmen pemerintahan maupun korporasi.

Qlue mengembangkan solusi terintegrasi yang dapat mengotomatisasi aktivitas pemantauan dan meningkatkan produktivitas pekerja lewat solusi berbasis AI. Solusi-solusi ini dapat diimplementasikan di sektor pemerintah maupun bisnis untuk mendorong sejumlah efisiensi, seperti pengurangan biaya, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan peningkatan keamanan.

Solusi Qlue saat ini terdiri dari QlueApp (aplikasi pelaporan warga), QlueVision (analisis video CCTV berbasis kecerdasan buatan), QlueWork (mobile workforce management), QlueDashboard (platform visualisasi data), QlueSense (solusi produk berbasis IoT), dan QlueThermal (solusi pemindai suhu tubuh dan penggunaan masker otomatis).

Per Juni 2021, sekitar 120 kota/kabupaten telah memanfaatkan solusi Qlue. Beberapa solusi Qlue juga telah diimplementasi di sejumlah negara, termasuk Singapura, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, Rusia, Australia, dua negara di benua Eropa, dan empat negara di benua Amerika.

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Leads 24 Billion Rupiah Funding for Alt-Protein Startup “Off Foods”

The Off Foods food-tech startup has announced a $1.7 million seed funding (approximately 24.3 billion Rupiah) led by Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) and other strategic investors, including Creative Gorilla Capital, Lemonilo, and United Family Capital (UFC) are participated in this round.

The company will use the fresh funds to develop research related to the Off Meat variety, from alternative processed chicken meat products, such as nuggets. Also, entering other cities by implementing a direct-to-consumers strategy, in order to reach more consumers.

Off Foods is a local startup founded by Dominik Laurus and Jhameson Ko last year. This startup has ambitions to become a leading alternative protein (alt-protein) producer from Indonesia. It is said by providing an opportunity for more people to consume animal meat, without killing real animals for sustainability, and without sacrificing taste.

Off Foods Co-founder & CEO Dominik Laurus said, “We are doing more than just selling food, introducing new ideas for lifestyle changes in Indonesia that are expected to produce a healthier society and a more sustainable earth.

“Off Meat and the Indonesian [market] are just our starting points. We are excited to receive such enthusiasm from new and existing investors, including established experts in the F&B industry, and we are excited to move forward with our product innovations, imminent national expansion, and finally regional expansion in 2024,” Dominik said in an official statement, Tuesday (19/4).

The company launched Off Meat’s flagship product, a protein similar to chicken meat, in August 2021. Using the B2B model, Off Foods supplies its products to various restaurants, such as Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, and Fitco Eats disributed across seven cities (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar and Bali).

It is claimed, the company’s business growth has soared up to 10 times through this B2B concept. The partnerships number goes up, some of which are already in process, including Mangkokku, Zenbu, and Byurger which already have outlets throughout Indonesia.

“Off Meat is a solution for foodservice businesses in supplying plant-based meat fillets to the horeca market (hotels, restaurants, cafes). Our products are affordable and customizable for chefs to create meatless dishes on their menus with their own special recipes and techniques. Customers will be able to enjoy the familiar tastes of restaurants in the form of meatless dishes and be part of the future of sustainability,” Jhameson Ko, Co-founder & CPO of Off Foods said.

The company recently opened a new branch in Bali which is one of the most important plant-based food markets in Indonesia. Off Foods will see more adoption and partnerships in the near future as meats have high applicability in the kitchen, for example from fried ‘chicken’ menus to nuggets to traditional chicken sambal matah, offering horeca markets in emerging markets a more localized taste and texture than with alt-products available in the market today.

Non-meat food potential

According to a recent report from BIS Research, the plant-based food sector as a whole is expected to reach $480 billion globally by 2024. The plant protein industry is also expected to continue to grow in Indonesia with a CAGR of 27.5% from 2021 to 2027, representing an increase of about sixfold by 2027, as quoted by Research and Markets.

Historically, plant-based adoption has an obstacle through the premium price point it is often associated with. The challenge for competition in this industry is not only the right taste and texture, but also includes improving know-how and manufacturing efficiencies to approach price parity.

“Off Meat tries to solve this long-overdue issue by coming up with an affordable alternative, providing a plant-based protein substitute at at least half the price point of its competitors.”

Alpha JWC Ventures’ Partner Eko Kurniadi also agreed, he said that alt-proteins need time to be adopted in developing countries because of the premium costs. However, consumers have realized the health value and environmental benefits that alt-food products bring.

“Now the revolution is sweeping almost the whole emerging markets like Indonesia, and it is the right time for Off Foods. With the great products, strong go-to-market strategy and best-in-class cost structure suited to growing markets, we believe they are in a strong position to bring the alt-protein movement mainstream to Indonesian households,” Eko said.

Previously, a similar startup, Green Rebels has recently received funding to increase its penetration in serving alt protein-based foods.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Shox Is Reportedly Secures 79 Billion Rupiah Funding, Introducing Social Commerce Platform for Household

The Shox platform developer is reported to have received $5.5 million funding or equivalent to 79 billion Rupiah in the series A round. Also participated in this round Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, and a number of investors.

The data has been submitted to the regulator. DailySocial.id has tried to confirm the news regarding this investment from related parties, however,  there had been no response until this article was published.

This startup was founded by Sonat Yalcinkaya (Kaya) and Vyani. Kaya himsel previously had experience in handling e-commerce businesses for big brands such as Philips and Midea. Meanwhile, Vyani is known as the co-founder of the logistics startup Pakde, which acquired by Shipper in 2020.

In fact, Shox has been operating since 2019 and currently has tens of thousands of application users. Shox’s service focuses on users in rural areas, targeting the unbanked population.

Shox Rumahan is currently being transformed as an application to fulfill household demands– from kitchen utensils, electronic equipment, and so on. With a social commerce concept, this platform allows its users to earn additional income by entrepreneurship through the partnership/community program with the social gathering feature in the application.

Evolution from Soyaka AI

Previously, Kaya was also known as the founder of Soyaka AI – a developer of artificial intelligence-based social commerce platforms. The Soyaka site and team are currently rerouted to fully work on Shox Rumahan. Even though in terms of backend, Shox also utilizes the engine from the Soyaka platform.

Saoyaka’s AI capabilities allow Shox to offer excellent features, such as using scanned photos or images to find products; then come up with product ideas and inspiration according to existing trends.

Shox Rumahan is growing quite rapidly, to the day this article was published, they already have around 150 employees stated on LinkedIn. Some of the team is headquartered in Yogyakarta.

From an article published by Kaya in 2021, Shox is said to have gathered users in more than 5000 villages in various regions. By analyzing existing purchasing trends, their team has helped build a credit scoring system, which will then be used as capital to create a comprehensive digital banking and payments ecosystem.

It is also said with the current business model, the cost for customer acquisition is much cheaper than the general e-commerce concept. “Our CAC (customer acquisition cost) in this rural community is 10 times cheaper than existing players. And these customers stay because they see true value,” he wrote.

In terms of logistics efficiency, Shox is more focused on serving bulk purchases (usually on a per RT scale). Ordering in large quantities makes it easier for them to reduce logistics costs, around 5-10x cheaper. Although it must be taken to a location far enough from the city center. “Our current average order value (AOV) exceeds $200, which is 5 to 10 times that of other social commerce players,” Kaya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Alpha JWC Ventures Pimpin Pendanaan 24 Miliar Rupiah Startup Alt-Protein “Off Foods”

Startup food-tech Off Foods mengumumkan perolehan pendanaan awal sebesar $1,7 juta (sekitar 24,3 miliar Rupiah) dipimpin Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) dan investor strategis lainnya, termasuk Creative Gorilla Capital, Lemonilo, dan United Family Capital (UFC) berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk  pengembangan penelitian terkait variasi Off Meat, dimulai dengan produk olahan alternatif daging ayam, seperti nugget. Juga masuk ke kota-kota lain dengan menerapkan strategi direct-to-consumers agar semakin banyak konsumen yang dapat dijangkau.

Off Foods merupakan startup lokal yang didirikan pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif terkemuka (alt-protein) dari Indonesia. Caranya dengan menyediakan kesempatan bagi lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Co-founder & CEO Off Foods Dominik Laurus menuturkan, pihaknya melakukan lebih dari sekadar menjual makanan, memperkenalkan ide baru perubahan gaya hidup di Indonesia yang diharapkan bisa menghasilkan masyarakat yang lebih sehat dan bumi yang lebih berkelanjutan.

“Off Meat dan [pasar] Indonesia hanyalah poin awal kami. Kami sangat senang menerima antusiasme seperti investor baru dan yang sudah ada, termasuk para ahli mapan di industri F&B, dan kami senang untuk bergerak maju dengan inovasi produk kami, ekspansi nasional segera, dan akhirnya ekspansi regional pada 2024,” kata Dominik dalam keterangan resmi, Selasa (19/4).

Perusahaan meluncurkan produk flagship Off Meat, protein serupa daging ayam, pada Agustus 2021. Dengan menggunakan model B2B, Off Foods menyuplai produknya ke berbagai restoran, seperti Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, dan Fitco Eats yang tersebar di tujuh kota (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar, dan Bali).

Diklaim, pertumbuhan bisnis perusahaan melonjak hingga 10 kali lipat lewat B2B ini. Jumlah kemitraan akan terus digenjot, beberapa yang sudah dalam proses, yakni Mangkokku, Zenbu, dan Byurger yang memiliki outlet tersebar di seluruh Indonesia.

“Off Meat menjadi solusi untuk bisnis jasa makanan dalam memasok fillet daging berbasis tanaman ke pasar horeca (hotel, restoran, cafe). Produk kami terjangkau dan dapat disesuaikan untuk koki untuk membuat hidangan tanpa daging pada menu mereka dengan resep dan teknik khusus mereka sendiri. Pelanggan akan dapat menikmati selera akrab dari restoran dalam bentuk hidangan tanpa daging dan menjadi bagian dari keberlanjutan masa depan,” tambah Co-founder & CPO Off Foods Jhameson Ko.

Perusahaan ini baru-baru ini membuka cabang baru di Bali yang merupakan salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia. Off Foods akan melihat lebih banyak adopsi dan kemitraan dalam waktu dekat karena daging memiliki penerapan tinggi di dapur, misalnya dari menu ‘ayam’ goreng ke nugget ke ayam sambal matah tradisional, menawarkan pasar horeca di pasar negara berkembang dengan rasa yang lebih terlokalisasi dan tekstur dibandingkan dengan alt-produk yang tersedia di pasaran saat ini.

Potensi makanan nondaging

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah dihambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengan. Tantangan untuk kompetisi di industri ini tidak hanya soal rasa dan tekstur yang benar, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan dan efisiensi manufaktur untuk mendekati paritas harga.

“Off Meat mencoba untuk menyelesaikan masalah lama ini, karena datang dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein berbasis tanaman dengan setidaknya setengah dari titik harga para pesaingnya.”

Turut menambahkan pandangannya Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi, menurutnya alt-protein membutuhkan waktu untuk diadopsi di negara berkembang karena biayanya yang premium. Namun, konsumen telah menyadari nilai kesehatan dan manfaat lingkungan yang dibawa produk alt-food.

“Sekarang revolusi hampir menyapu pasar berkembang, seperti Indonesia dan itu adalah waktu yang tepat untuk Off Foods. Dengan produk-produknya yang hebat, strategi go-to-market yang kuat, dan struktur biaya terbaik di kelasnya yang cocok untuk mengembangkan pasar, kami percaya mereka berada dalam posisi yang kuat untuk membawa gerakan alt-protein arus utama ke rumah tangga Indonesia, “kata Eko.

Sebelumnya, startup serupa Green Rebels juga baru mendapatkan pendanaan untuk meningkatkan penetrasinya dalam menyajikan makanan berbasis alt protein.

Shox Dikabarkan Terima Pendanaan 79 Miliar Rupiah, Hadirkan Platform Social Commerce Kebutuhan Rumahan

Pengembang platform Shox dikabarkan telah mendapatkan pendanaan senilai $5,5 juta atau setara 79 miliar Rupiah di putaran seri A. Ephesus United, AC Ventures, Teja Ventures, SGInnovate, Partech, dan sejumlah investor berpartisipasi dalam investasi ini.

Data pendanaan telah diinputkan ke regulator. DailySocial.id juga telah mencoba meminta keterangan seputar kabar investasi tersebut ke pihak terkait, namun sampai artikel ini terbit belum mendapatkan respons.

Startup ini didirikan oleh Sonat Yalcinkaya (Kaya) dan Vyani. Kaya sendiri sebelumnya berpengalaman memegang bisnis e-commerce untuk brand besar seperti Philips dan Midea. Sementara Vyani dikenal sebagai co-founder dari startup logistik Pakde yang telah diakuisisi Shipper tahun 2020 lalu.

Sejatinya Shox sudah beroperasi sejak tahun 2019  dan saat ini sudah memiliki puluhan ribu pengguna aplikasi. Fokus layanan Shox adalah pengguna di area rural, menargetkan populasi unbankable.

Shox Rumahan saat ini menjelma sebagai aplikasi untuk pemenuhan kebutuhan rumah — mulai dari perlengkapan dapur, alat elektronik, dan sebagainya. Berkonsep social commerce, platform ini juga memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan pundi-pundi penghasilan dengan berwirausaha melalui program kemitraan/komunitas yang ada di dalamnya dengan fitur arisan yang ada di aplikasi.

Evolusi dari Soyaka AI

Sebelumnya Kaya juga diketahui sebagai founder dari startup Soyaka AI — pengembang platform social commerce berbasis kecerdasan buatan. Situs dan tim Soyaka saat ini dialihkan untuk sepenuhnya menggarap Shox Rumahan. Kendati secara backend, Shox juga memanfaatkan engine dari platform Soyaka.

Kapabilitas AI yang dimiliki Sayoka memungkinkan Shox untuk memiliki beberapa fitur unggulan, misalnya menggunakan pindaian foto atau gambar untuk menemukan produk; kemudian memunculkan ide dan inspirasi produk sesuai tren yang ada.

Shox Rumahan berkembang cukup pesat, hingga tulisan ini diterbitkan di LinkedIn mereka telah memiliki sekitar 150 pegawai. Sebagian dari tim berkantor pusat di Yogyakarta.

Dari tulisan yang diterbitkan Kaya tahun 2021 lalu, Shox dikatakan telah merangkul pengguna di lebih dari 5000 desa di berbagai daerah. Dengan menganalisis tren pembelian yang ada, tim mereka juga turut membangun sebuah sistem skoring kredit, untuk selanjutnya digunakan sebagai modal untuk menciptakan ekosistem perbankan dan pembayaran  digital yang komprehensif.

Turut dikatakan dengan model bisnis yang ada saat ini, biaya untuk akuisisi pelanggan jauh lebih murah dibandingkan dengan konsep e-commerce pada umumnya. “CAC (customer acquisition cost) kami di komunitas pedesaan ini 10 kali lebih murah daripada pemain yang ada. Dan pelanggan ini bertahan karena mereka melihat nilai yang sebenarnya,” tulisnya.

Untuk efisiensi logistik, Shox juga lebih fokus untuk melayani pembelian borongan (biasanya dengan skala per RT). Pemesanan dalam jumlah banyak ini memudahkan mereka dalam menurunkan biaya logistik 5-10x lebih murah. Kendati harus dibawa ke lokasi yang cukup jauh dari pusat kota. “Nilai pesanan rata-rata (AOV) kami saat ini melebihi $200, yaitu 5 hingga 10 kali lipat dari pemain social commerce lainnya,” ungkap Kaya.

Application Information Will Show Up Here

Hangry Umumkan Pendanaan 316 Miliar Rupiah, Amunisi Lanjutkan Ekspansi

Startup kuliner multi-brand sekaligus brand aggregator Hangry mengonfirmasi perolehan pendanaan segar sebesar $22 juta (sekitar 316 miliar Rupiah). Journey Capital Partners memimpin putaran yang terdiri dari pendanaan ekuitas dan pinjaman ini, bersama dengan Orzon Ventures, dan Sassoon Investment Corporation (SassCorp). Alpha JWC Ventures, Genesis Alternative Ventures, dan Innoven Capital, yang merupakan investor lama Hangry turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Diklaim putaran ini membuat Hangry berhasil mengumpulkan dana sebesar $35 juta jika digabungkan dengan putaran seri A pada tahun lalu. Angka yang dikonfirmasi ini lebih besar dari yang diberitakan sebelumnya oleh DailySocial.id pada 1 April 2022 kemarin. Diprediksi valuasi perusahaan saat ini mendekati $150 juta, mengokohkan pada status “centaur”.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (18/4), Hangry akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk memperluas dan menambah lebih banyak outlet secara nasional, mengakuisisi brand-brand kuliner unggulan lainnya, dan membangun brand in-house untuk menjangkau berbagai target pelanggan. Perusahaan pun menyatakan rencananya untuk memulai ekspansi regional mulai 2024 mendatang.

“Kami selalu bercita-cita untuk membangun brand dengan hidangan berkualitas yang dapat dinikmati di seluruh dunia. Berasal dari Indonesia, Hangry tidak hanya akan membangun brand sendiri, tetapi juga mengakuisisi brand F&B terdepan lainnya [..] sehingga Hangry dapat memiliki beberapa merek pemenang, dan dapat dengan lebih cepat mencapai visi serta untuk memenuhi selera dan minat pelanggan yang berbeda-beda,” ucap Co-founder dan CEO Hangry Abraham Viktor.

Pencapaian perusahaan

Outlet Hangry / Hangry

Hangry mengawali kehadirannya dengan menerapkan konsep cloud kitchen dan multi-brand pada November 2019. Startup ini dipimpin oleh Abraham Viktor, Robin Tan, Andreas Resha, Sari Lauda, Arlene Sutjiamidjaja, dan Wenyou Tan.

Saat ini, Hangry meluncurkan beberapa brand unggulan dengan jenis menu bervariasi, seperti Moon Chicken by Hangry (ayam goreng ala Korea), San Gyu by Hangry (masakan asli Jepang), dan Ayam Koplo by Hangry (inovasi baru pada berbagai hidangan ayam tradisional)–semuanya dengan harga yang relatif terjangkau mulai dari Rp15.000 – Rp70.000 per porsi dan memiliki peringkat rata-rata 4,7 dari skala 5 di berbagai platform pengiriman.

Adapun jumlah outlet Hangry mencapai lebih dari 70 dengan pendapatan tumbuh lebih dari 23 kali lipat dan lebih dari 10 juta porsi makanan dan minuman terjual sepanjang 2019-2021. Diklaim, saat ini Hangry mampu menjual lebih dari satu juta porsi produk per bulan dari empat brand-nya. Angka ini akan terus meningkat seiring bergabungnya Accha, brand kuliner India, ke keluarga Hangry.

Menurut Abraham, menambahkan brand baru selalu menjadi bagian dari rencana perusahaan karena konsep Hangry adalah perusahaan multi-brand dan multi-channel. “Baik itu membangun brand baru atau mengakuisisi brand lain, kami akan mengelola brand-brand yang dapat menjadi juara dalam kategorinya dan siap secara global,” jelas Abraham.

Dukungan dari para investor dengan keahlian masing-masing dipercaya dapat menjadi amunisi tambahan dalam mewujudkan ambisi perusahaan. Dia mencontohkan, misalnya Journey Capital Partners dengan keunggulan dalam strategi bisnis dan aspek operasional; Orzon Ventures dengan pengalaman kuat mereka pada bisnis F&B di kawasan ASEAN melalui restoran populer mereka di Thailand.

Kemudian, Sassoon Investment Corporation (SassCorp) dengan jaringan F&B yang luas, yaitu kedai kopi terkemuka di Singapura yang semuanya akan berperan penting dalam tiap perkembangan Hangry ke depannya. “Kemudian, Hangry juga tetap melanjutkan dan memperkuat kerja sama dengan Alpha JWC Ventures yang sudah mendukung Hangry sejak awal. Karena bagaimanapun juga, mencapai tujuan yang besar perlu kerja sama tim yang baik.”

“Sebagai investasi perdana kami ke dalam ekosistem teknologi Asia Tenggara, kami sangat yakin bahwa Hangry memiliki semua komponen yang tepat untuk menjadi yang terdepan di Indonesia maupun di kawasan regional. Hangry memosisikan perusahaannya dengan tepat untuk mengikuti tren layanan pesan antar yang masif. Hangry juga telah sukses berkembang melalui brand dan outlet yang dimiliki. Melalui investasi ini, kami berharap dapat mendukung Hangry secara strategis dalam operasionalnya menuju tujuan ekspansi nasional dan regional mereka,” kata Managing Partner Journey Capital Partners Choo Weng Kin.

“Hangry terbukti selangkah lebih maju dari bisnis kuliner lainnya. Akuisisi brand eksternal yang baru-baru mereka lakukan yang tidak hanya inovatif untuk bisnis kuliner, tetapi juga meningkatkan kualitas model bisnis Hangry sebagai perusahaan multi-brand. Kami menantikan pertumbuhan pesat dari Hangry serta brand-brand-nya,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Application Information Will Show Up Here

Komisaris Utama GoTo Jadi Investor AnterAja, Kuasai 10% Saham

Konglomerat Garibaldi “Boy” Thohir menambah portofolio investasi. Yang teranyar, Boy masuk menjadi investor di perusahaan logistik AnterAja. Boy Thohir sendiri adalah Komisaris Utama GoTo bersama Wishutama Kusubandio.

Menurut keterbukaan di Bursa Efek Indonesia, PT Tri Adi Bersama (AnterAja), anak usaha PT Adi Sarana Armada (ASSA) menerbitkan saham baru sejumlah 490.413 saham atau setara Rp70,55 miliar. Seluruh saham tersebut dibeli oleh pihak ketiga, yakni Boy Thohir.

“Seluruh pemegang saham TAB yang sudah ada sebelumnya, akan mengesampingkan hak pre-emptive yang dimiliki untuk mengambil bagian saham atas penerbitan saham baru tersebut,” tulis manajemen ASSA, Rabu (13/4).

Dengan dilakukannya transaksi tersebut, maka kepemilikan saham ASSA dan pemegang saham lainnya terdilusi.

Sebelum transaksi, struktur pemegang saham AnterAja adalah ASSA sebanyak 55%, PT Roda Bangun Selaras 25%, dan Time Prestige Investments Limited 20%. Setelah transaksi, kepemilikan saham menjadi ASSA 49,5%, PT Roda Bangun Selaras 22,5%, Time Prestige Investments Limited 18%, dan Garibaldi Thohir 10%.

Direksi ASSA menegaskan meskipun kepemilikan ASSA terdilusi, pihaknya tetap menjadi pengendali di TAB. “ASSA tetap menjadi pengendali di TAB karena ASSA merupakan pemegang saham terbesar di TAB.”

Sebagai catatan, Tokopedia melalui PT Semangat Bambu Runcing (SBR) awalnya pemegang saham awal di AnterAja sebesar 25%. Namun pada awal tahun lalu, dialihkan ke PT Roda Bangun Selaras (RBS). Adapun SBR ini merupakan afiliasi dari GOTO. Dalam prospektus GOTO, disampaikan bahwa SBR melakukan sejumlah investasi, salah satunya ke PT Wahana Teknologi Indonesia (WTI).

Kemudian, WTI juga melakukan berbagai investasi, salah satunya ke Roda Bambu Runcing (RBS). Selain AnterAja, RBS juga turut berinvestasi ke PT Adi Sarana Logistik (Titipaja) dengan kepemilikan 40% saham.

Kinerja AnterAja

AnterAja merupakan salah satu lini bisnis di ASSA yang memberikan kontribusi bisnis yang cukup signifikan. Dalam laporan keuangan ASSA pada tahun lalu, mencatatkan pendapatan Rp5,1 triliun naik 68% dibandingkan tahun 2020 sebesar Rp3 triliun.

Kenaikan tersebut didorong oleh pertumbuhan signifikan dari bisnis delivery express AnterAja yang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan 248% dan telah memberikan kontribusi laba untuk ASSA. Kenaikan pertumbuhan ini membuat AnterAja berkontribusi terhadap 54% atau senilai Rp2,8 triliun dari total pendapatan ASSA.

“Sejak awal berdiri, tren pendapatan ASSA selalu didominasi oleh bisnis rental yang diikuti oleh penjualan kendaraan bekas hingga kuartal I-2021. Kemudian, sejak kuartal II-2021, pendapatan dari lini bisnis logistik yang terdiri dari ASSA Jasa Logistik dan Anteraja berhasil meningkat melebihi kontribusi pendapatan dari lini bisnis yang lain,” ungkap Presiden Direktur ASSA Prodjo Sunarjanto sebagaimana dilansir dari Investor.id.

Application Information Will Show Up Here