Startup Pembayaran Durianpay Kantongi Dana 28 Miliar Rupiah Dipimpin Surge

Startup solusi pembayaran Durianpay mengumumkan pendanaan sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Turut andil dalam putaran tersebut AC Ventures, Kenangan Fund, serta angel investor terkemuka lainnya. Jajaran angel investor tersebut, di antaranya Ankiti Bose (Zilingo), Ankit Jain, Harshet Lunani (Qoala), Joe Wadakethalakal (ex-Brilio), Reynold Wijaya (Modalku), Sai Srinivas (MPL), dan Tanay Tayal (Moonfrog).

Dana segar akan dimanfaatkan Durianpay untuk mengembangkan lebih banyak solusi dan perdalam penetrasi bisnisnya agar diterima lebih banyak pengguna.

Durianpay adalah penyedia pembayaran menyeluruh yang memungkinkan berbagai usaha untuk tumbuh dan berkembang melalui solusi satu atap untuk proses checkout tanpa kendala, API, dan dasbor modern yang mudah terintegrasi. Startup ini didirikan oleh Antara Sara Mathai, Kumar Puspesh, dan Natasha Ardiani pada September 2020 di Jakarta.

Latar belakang ketiganya sudah lama berkecimpung di industri fintech. Mathai pernah memimpin tim produk di Citrus Pay dan OnlinePajak. Sementara Puspesh sebelumnya adalah pendiri Moonfrog, salah satu perusahaan pengembang game dari India. Serta, Natasha yang pernah memimpin ShopeePay, Shopee PayLater, dan bisnis pinjaman dan penagihan di OVO.

“Durianpay menawarkan solusi satu atap bagi beragam jenis usaha di kawasan untuk mengelola proses pembayaran mereka secara lebih baik. Kami membangun produk dan solusi pembayaran kami dengan mempertimbangkan aspek bisnis dan pengembang, dengan visi untuk memodernisasi pembayaran dengan menyediakan pengalaman produk generasi terbaru yang aman dan mudah disesuaikan,” terang Co-Founder Durianpay Natasha Ardiani dalam keterangan resmi, Kamis (12/8).

Ditengarai peningkatan transaksi e-commerce

Layanan tersebut juga hadir karena di regional Asia Tenggara telah terjadi peningkatan volume transaksi e-commerce yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak dibarengi dengan perkembangan solusi pembayaran khususnya di Indonesia yang masih terfragmentasi, manual, dan belum optimal.

Hal inilah yang menyebabkan tingkat drop off yang tinggi pada saat checkout pembayaran, proses verifikasi dan rekonsiliasi bagi merchant yang masih manual, rawannya kesalahan, serta penipuan.

Para founder melihat peluang yang signifikan untuk semua usaha dari berbagai skala mendapatkan keuntungan dari sistem pembayaran yang mudah dioperasikan, utuh, dan terintegrasi secara penuh. Durianpay sebagai agregator pembayaran bekerja sama dengan beberapa payment gateway dan penyelenggara transfer dana untuk membangun solusi-solusi yang dibutuhkan beragam jenis usaha.

Misalnya, fitur rekonsiliasi otomatis, link pembayaran instan, promo, dan fitur lainnya yang bertujuan untuk mengoptimalkan transaksi antara penjual dan pembeli. Melalui integrasi tunggal, Durianpay menawarkan bisnis dan developers akses ke pilihan pembayaran yang lebih luas, interface tanpa kode sehingga bisnis dapat membuat alur kerja yang menempatkan infrastruktur pembayaran secara otomatis.

Checkout dan pembayaran kini sepenuhnya dapat disesuaikan secara langsung oleh merchant. Dengan solusi ini, berbagai bisnis memiliki kemampuan untuk mengubah infrastruktur pembayaran mereka tanpa memerlukan intervensi dari pihak eksternal. Hal ini mencakup kemampuan untuk menghubungkan solusi pihak ketiga untuk pendeteksian penipuan, KYC, CRM, business intelligence secara langsung ke dalam sistem tanpa menimbulkan beban tambahan pada tim produk, keuangan, atau teknologi.

Sejak diluncurkan, Durianpay telah diadopsi oleh lebih dari 15 usaha di Indonesia dengan memanfaatkan inovasi seperti pembayaran terpisah dan penyelesaian multi-cabang. Kopi Kenangan, Alta School, dan Chilibeli adalah sejumlah pengguna solusi Durianpay.

Durianpay termasuk bagian dari kohort kelima Surge, yang terdiri dari 23 perusahaan yang telah mengembangkan solusi digital terkini yang membantu perusahaan dan individu di kawasan Asia Tenggara. Perusahaan memiliki kantor pusat di Singapura dan Indonesia.

Dalam kohort tersebut, selain Durianpay, terdapat dua perusahaan lokal lainnya yang lolos sebagai peserta. Mereka adalah Rara Delivery (pengiriman instan revolusioner untuk brand e-commerce) dan Bukugaji/Vara (platform manajemen staf yang mudah untuk UMKM di Asia Tenggara).

Potensi pembayaran digital

Salah satu faktor yang memaksa bisnis harus mengadopsi sistem serupa Durianpay karena tingginya adopsi layanan pembayaran digital di masyarakat. Khususnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saat ini tak sedikit masyarakat terutama di perkotaan yang lebih memanfaatkan dompet digital melalui ponsel pintarnya.

Menurut data, adopsi aplikasi yang elektronik di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun — baik dari sisi pengadopsi maupun nilai transaksi yang dihasilkan.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Melihat potensi ini, platform fintech pembayaran juga terus menajamkan produk-produknya. Selain Durianpay, di Indonesia juga sudah terlebih dulu hadir platform penyedia pembayaran lainnya. Mulai dari Midtrans yang sudah menjadi keluarga grup finansial Gojek, kemudian ada Xendit, Doku, Xfers (Fazz Financial Group), Faspay, dan lain-lain.

Midtrans juga belum lama ini menghadirkan produk Payment Link untuk memudahkan pelaku social commerce memproses pembayaran digital dengan membagikan tautan khusus. Tidak seperti model sebelumnya yang harus mengintegrasikan API, pengguna cukup membuat sebuah tautan unik untuk mengakomodasi setiap pembayaran.

AwanTunai Kantongi Pendanaan Lanjutan 161 Miliar Rupiah

AwanTunai membukukan pendanaan pra-seri B senilai $11,2 juta atau sekitar 161,2 miliar Rupiah. Adapun investor yang terlibat termasuk Atlas Pacific, BRI Ventures, OCBC NISP Ventura, Insignia Venture Partners, dan beberapa lainnya. Data investasi putaran ini telah dimasukkan ke sistem regulator. Sejumlah pihak yang terlibat juga memberikan konfirmasi kepada DailySocial.id.

Bank OCBC NISP sendiri juga merupakan salah satu institutional lender untuk AwanTunai. Kerja sama mereka telah diresmikan sejak September 2020 lalu, fokus pada penyaluran fasilitas pembiayaan penerusan (channeling).

Terakhir kali AwanTunai mengumumkan pendanaan ekuitas pada tahun 2018 lalu untuk putaran seri A senilai $4,3 juta dipimpin Insignia Venture Partners dan AMTD Group. Di tahun 2020 mereka juga turut mendapatkan pendanaan debt dari Accial Capital senilai $20 juta.

Posisi AwanTunai di industri fintech lending cukup unik, mereka fokus menghadirkan akses pendanaan ke pengusaha ritel kecil seperti warung. Produk utamanya AwanGrosir untuk supplier financing, membantu pemilik toko untuk bisa melakukan pembayaran ke distributor secara tepat waktu. Di sistem ini, AwanTunai juga memberikan fasilitas point of sales untuk membantu pemilik usaha mengelola transaksi.

Ada juga produk AwanToko, fokusnya membantu pemilik warung yang terkendala modal dalam menambah stok barang. Fasilitas pinjaman tersebut difasilitasi melalui AwanTempo — seluruh pembiayaannya dalam bentuk barang. Adapun belanja dapat dilakukan melalui Toko Agen Grosir, di dalamnya berisi jaringan distributor mitra yang cukup lengkap.

Segera rambah ke pembiayaan lainnya

AwanTunai didirikan sejak 2017 oleh tiga orang founder, meliputi Dino Setiawan, Rama Notowidigdo, dan Windy Natriavi. Misinya adalah meningkatkan kesejahteraan UMKM melalui akses kepada pembiayaan yang terjangkau. Kendati sampai saat ini fokus utamanya masih ke pembiayaan supply chain di bisnis ritel, namun perusahaan juga sudah merencanakan perluasan ke depan.

Hal ini disampaikan langsung oleh Dino selaku CEO dalam kesempatan wawancara tahun 2020 lalu. Perusahaan sedang mempersiapkan produk baru untuk pembiayaan hasil bumi untuk petani kecil. Sudah bermitra dengan LSM asing dan mitra aggregator hasil bumi untuk menyalurkan pembiayaan dari AwanTunai ke petani. Konsepnya pembiayaannya mirip dengan AwanTempo. Para aggregator harus kenal para petaninya untuk meminimalisir risiko gagal bayar.

Salah satu realisasinya melalui kerja sama dengan Sayurbox yang diresmikan Agustus 2020 lalu untuk pembiayaan ke petani. AwanTunai dan Sayurbox adalah “sister company”, dirintis oleh co-founder yang sama yakni Rama Notowidigdo

Pembiayaan produktif jadi primadona

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Profil peminjam yang banyak memanfaatkan layanan pinjaman produktif / DSInnovate – AFPI

Rata-rata pinjaman yang diajukan adalah 2,5 juta Rupiah s/d 25 juta Rupiah. Kendati beberapa platform menawarkan pinjaman fantastis ratusan hingga miliaran rupiah. Sebarannya lebih dari 90% masih di seputar Jabodetabek dan Jawa, kendati beleid baru akan mendorong para pemain fintech untuk turut memprioritaskan akses pinjaman ke daerah-daerah lainnya juga.

Application Information Will Show Up Here

Mengharapkan “Unicorn” dari Startup Budidaya Indonesia

Sempat dipandang sebelah mata, sektor pertanian dalam ekosistem startup digital kini mulai tunjukkan potensi luar biasa. Bahkan saat pandemi, beberapa layanan terkait bisnis budidaya mendapati traksi yang luar biasa.

Menurut laporan bertajuk “Driving the Growth of Agritech Ecosystem in Indonesia” yang disusun DSInnovate bersama Crowde, diungkapkan sejumlah potensi dan tantangan dalam industri pertanian di Indonesia. Pertama dari sisi hulu, yakni sistem produksi oleh petani, per tahun 2018 tercatat ada sekitar 33,4 juta petani di seluruh Indonesia. Kedua, dari total tersebut 4,5 juta di antaranya telah memiliki akses ke internet.

Temuan ini menjadi menarik, artinya dengan pengembangan infrastruktur pita lebar yang terus dikebut oleh pemerintah dan aksesibilitas ke perangkat akses internet yang semakin terjangkau, dapat menjadi medium yang baik bagi sektor produksi ke sisi hulu untuk terhubung ke pasar. Startup agritech pun dapat berperan penting dalam memberikan edukasi  — beberapa telah melakukan, dengan implikasi dibukanya kanal distribusi produk pertanian yang lebih efisien.

Masih dari laporan yang sama, terungkap beberapa permasalahan mendasar yang dialami oleh industri pertanian tanah air. Meliputi peningkatan produktivitas, akses ke permodalan, regenerasi, dan akses pasar. Soal produktivitas termasuk distribusi pupuk dan langkah preventif yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi lahan didasarkan kondisi cuaca.

Berjalan di arah yang sama

Dimulai dari akar permasalahan tersebut, founder mencoba menghadirkan solusi yang efisien untuk memberikan efisiensi pada proses bisnis pertanian. Dari model bisnis yang sudah ada sejauh ini, kami mencoba memetakan ke dalam peta solusi di bawah ini.

Gambaran proses bisnis hulu ke hilir startup budidaya di Indonesia / DailySocial

Ada alasan yang cukup masuk akan kenapa pada akhirnya para startup memilih untuk melakukan pendekatan dari ujung ke ujung. Yakni menghadirkan efisiensi dari proses keseluruhan – termasuk di sisi variabel biaya, waktu, hingga kualitas produk. Langkah pertama yang harus dilakukan tentu pemilik platform perlu melakukan edukasi dan meyakinkan mereka bahwa dengan demokratisasi teknologi banyak potensi yang bisa didapat. Caranya beraneka ragam, dan yang akan diterima dengan baik adalah pendekatan solutif.

Dalam kesempatan wawancara dengan Co-Founder Tanihub Ivan Arie Sustiawan satu tahun setelah bisnisnya meluncur, ia menjelaskan perannya sebagai perantara jual-beli. Setiap transaksi pembelian akan dibayarkan terlebih dulu oleh Tanihub ke penjual berdasarkan tagihan atas penyerahan produk pangan ke pembeli, dan pembeli akan membayar tagihan ke TaniHub sesuai syarat dan ketentuan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Kebanyakan klien yang membeli lewat marketplace Tanihub adalah pemilik usaha yang biasanya membeli bahan pokok dengan jumlah besar. Proses pengadaan kadang membutuhkan waktu panjang untuk pencairan dana kepada petani. Di titik ini para petani bimbang, jika menjual cepat ke tengkulak mereka mendapati harga yang lebih murah; sementara menjual ke bisnis aksesnya sulit dan butuh waktu yang lama. Di situlah Tanihub masuk.

Seiring dengan penerimaan proses bisnis, eskalasi produk pun dilakukan. Dengan kepastian produknya diserap oleh platform, startup menawarkan pendanaan (modal) untuk membantu perluasan produksi, bahkan hingga pengemasan dan logistik (warehouse) untuk menangani proses distribusi.

Sektor perikanan relatif sama

Menyasar segmen pembudidaya yang sudah akrab dengan ponsel pintar dan internet, eFishery menghadirkan solusi pakan ternak otomatis berbasis IoT dengan jaminan lebih terukur dan hemat – berdampak pada nilai ekonomi. Proses edukasi dilakukan dengan cara bersama-sama mendampingi petani ikan untuk meningkatkan produksi mereka.

Penerimaan tersebut disambut baik oleh mereka dengan menambahkan layanan yang lebih menyeluruh, mulai layanan permodalan untuk pengadaan alat (eFisheryFund) hingga kanal distribusi produk (eFisheryFresh) menggandeng berbagai aplikasi online grocery.

Salah satu eFisheryPoint di kawasan pesisir Pantai Jatimalang, Purworejo / DailySocial

Langkah awalnya selalu dimulai dengan proses manual. Untuk memperkuat edukasi, kedua startup tersebut bahkan mendirikan unit di banyak titik untuk menangani proses transaksi dan produksi – seperti diketahui bahwa kalangan petani/pembudidaya termasuk penyumbang statistik unbankable, transaksi langsung menjadi prioritas.

Dukungan investor

Tahun 2021 seperti menjadi berkah tersendiri bagi startup yang bersinggungan dengan para petani/pembudidaya ikan. Pendanaan tahap lanjut diberikan untuk membantu ekspansi bisnis dan produk – beberapa juga untuk memvalidasi dan penetrasi layanan. Bahkan hingga tahun ini sudah ada beberapa startup yang mencapai valuasi ratusan juta dolar dari segmen ini.

Alih-alih terhambat, pandemi justru menjadi ajang pembuktian bagi para startup budidaya. Transaksi moncer tentu menjadi salah satu pertimbangan mengapa investor mau mempercayakan dananya kepada para founder tersebut.

Statistik DailySocial mencatat, sepanjang 3 tahun terakhir pendanaan ke startup budidaya sangat minim secara kuantitas.

Perusahaan Pendanaan Terakhir Tahun Est. Valuasi*
Tanihub Seri B 2021 $218 juta
Aruna Seri A 2021 $103 juta
eFishery Seri B 2021 $88 juta
Sayurbox Seri B 2021 $45 juta
Chilibeli Seri A 2020 $31 juta
Eden Farm Pra-Seri A 2021 tidak diketahui
Segari Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Dropezy Pendanaan Awal 2021 tidak diketahui
Kedai Sayur Pendanaan Awal 2019 tidak diketahui
Etanee tidak diketahui tidak diketahui tidak diketahui

*berdasarkan data yang diinput ke regulator

Jajaran investor yang mendukung pendanaan pun juga cukup meyakinkan, karena melibatkan pemodal ventura lokal dan global dalam porsi signifikan dalam putaran-putaran pendanaan tertentu.

Investor lokal:

  • MDI Ventures
  • Intudo Ventures
  • AC Ventures
  • East Ventures
  • Northstar
  • BRI Ventures, dan lain-lain.

Investor global:

  • Openspace Ventures
  • Vertex Ventures
  • Prosus Ventures
  • 500 Startups
  • Wavemaker Partners
  • Sequoia Capital, dan lain-lain.

Mungkin sektor budidaya saat ini belum menghasilkan GMV yang signifikan dari transaksi yang ditorehkan. Namun lambat laun, dengan penetrasi layanan yang menyeluruh dan pasar yang semakin teredukasi, tidak mustahil bahwa aplikasi pertanian (khususnya B2C) akan menjadi the new e-commerce untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok. Sebuah hipotesis yang diyakini para investor terhadap vertikal ini.

Head of Southeast Asia Investments Prosus Ventures Sachin Bhanot, saat berinvestasi ke Aruna, mengungkapkan, “Setelah membangun rantai pasokan dan infrastruktur teknologi yang kuat dengan pengetahuan dan keahlian industri yang mendalam, kami percaya Aruna memiliki posisi unik dalam melayani permintaan global yang terus meningkat terhadap produk perikanan berkelanjutan, seraya mendukung mata pencaharian nelayan lokal.”

Dengan kepercayaan investor dan pasar yang semakin baik, bukan tidak mungkin jika beberapa tahun mendatang kita akan menyambut unicorn baru di vertikal agritech dan aquatech.


Gambar Header: Depositphotos.com

Pintu Bags 503 Billion Rupiah Funding led by Lightspeed Venture Partners

After reportedly receiving $6 million series A funding last May, crypto asset marketplace Pintu just announced the series A+ funding of $35 million or equivalent to 503 billion Rupiah. The round was led by Lightspeed Venture Partners, and supported by Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures and Pantera Capital.

Through this funding, Pintu is committed to strengthen market leadership as Indonesia’s top mobile-first crypto investing app. This fresh fund will be used to aggressively hire new talent across all major functions, roll out new products and features, and fuel future expansion.

Lightspeed partner Hemant Mohapatra believes that crypto is at a transition point to become the most important asset class in the world and will give birth to many companies that will become regional leaders.

“Pintu has created the strongest market brand, best user experience, and hands down one of the strongest teams we’ve ever come across in this market. We are excited to back them on their way in becoming the leading brand in crypto—not just in Indonesia but throughout the Southeast Asia region in the coming years,” he said.

Founded in April 2020, Pintu is designed to to meet the needs of Indonesians from all walks of life. With its mobile-driven interface and suite of smart features geared for beginner level traders, Pintu provides more comprehensive and open access for both novice and experienced traders to be able to mitigate risks towards market volatility and various other speculative measures.

Pintu offers a low barrier entry point starting from IDR 11,000 for both novice and experienced investors. There are currently 16 different dynamic cryptocurrencies on the platform and will soon be adding new coins, including NFT tokens and other highly sought-after crypto projects.

Co-founder & CEO of Pintu Jeth Soetoyo said, “We built Pintu with the belief that crypto is not just a technology, but also an asset class and community that will help overcome barriers to financial inclusion in Indonesia. [..] With the support of Pintu investors, we are committed to facilitating financial inclusion for all Indonesians.”

Crypto platform trend in Indonesia

Aside from Pintu, another new player, Coinomo has recently received fresh funds. The company born after the merge of Turn Capital acquired Dapp Pocket (a crypto wallet player from Taiwan) and Cappuu (a yield aggregator service) has released a beta version of its product in May 2021.

Previously, there are also several players has been exploring the crypto asset industry market, such as TokoCrypto and Nobi who focused on maximizing the potential for “passive income” for crypto investors. Tokocrypto alone has developed a hybrid CeDeFi (TKO) token which is claimed to be the first in Indonesia on top of Binance Smart Chain, as the early stage investor.

As one of the assets that is predicted to have great potential, various investment application developers also offer crypto as one of the products on their platform. For example, Pluang, which has managed to secure a pre-series B funding in March worth of around 288.8 billion Rupiah, led by OpenSpace Ventures.

Market potential

Globally, according to a report compiled by Research and Market, the market size for cryptocurrencies has reached $1,812 million in 2020, is projected to increase by $2,150 million this year, and soar to $5,158 million in 2026 with a CAGR of 19.04%.

Meanwhile in Indonesia, based on the Ministry of Trade (Kemendag) data, crypto asset investors as of May 2021 have reached 6.5 million people with a transaction value of IDR 370 trillion. This number is quite fantastic, considering there were 4.8 million people in the previous month with a transaction value of around Rp237.3 trillion (January-April 2021).

With high price volatility, the profile of crypto investors is usually the ones who are willing to take risks. It is important for the public to understand that crypto assets are not the same as each other. CoFTRA has published a list of 229 crypto assets that can be traded in Indonesia.

Reporting from Coinmarketcap.com, the global crypto market capitalization currently stands at $1.76 trillion, accounting for a decline of around 2.82%.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Pintu Raih Pendanaan 503 Miliar Rupiah Dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners

Setelah dikabarkan menerima pendanaan seri A sebesar $6 juta pada bulan Mei lalu, aplikasi marketplace aset kripto Pintu kini mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ sebesar $35 juta atau setara 503 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners, serta didukung oleh Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures, dan Pantera Capital.

Melalui pendanaan ini, Pintu berkomitmen untuk memperkuat posisi sebagai aplikasi mobile kripto terdepan di Indonesia. Rencananya, dana segar ini akan digunakan untuk merekrut talenta baru secara masif di seluruh fungsi perusahaan, peluncuran produk dan fitur baru, serta mendorong ekspansi perusahaan di masa depan.

Partner Lightspeed Hemant Mohapatra meyakini bahwa kripto sedang berada di titik peralihan untuk menjadi kelas aset terpenting di dunia dan akan memunculkan banyak perusahaan-perusahaan yang akan menjadi pemimpin regional.

“Pintu telah menciptakan merek dagang terkuat, pengalaman pengguna terbaik, dan tim terkuat yang pernah kami temui selama bergelut di bidang ini. Kami tidak sabar untuk membantu mereka menjadi brand terdepan di dunia kripto — bukan hanya Indonesia, namun dalam beberapa tahun ke depan, juga bisa menjangkau seluruh Asia Tenggara,” ujarnya.

Didirikan pada bulan April 2020, Pintu dirancang untuk memenuhi kebutuhan semua kalangan masyarakat. Dengan berfokus pada tampilan mobile dan fitur pintar sebagai penunjang bagi trader pemula, Pintu memberikan akses yang lebih menyeluruh dan terbuka bagi trader awam maupun berpengalaman untuk bisa melakukan mitigasi risiko terhadap volatilitas pasar dan berbagai langkah spekulatif lain.

Pintu menawarkan nilai minimum transaksi yang sangat rendah mulai dari Rp11.000 bagi investor pemula maupun berpengalaman. Saat ini telah tersedia 16 aset kripto yang bisa diperdagangkan dalam platform dan akan segera menambahkan opsi baru, termasuk token NFT dan proyek kripto lainnya yang banyak dicari orang-orang.

Co-founder & CEO Pintu Jeth Soetoyo mengungkapkan, “Kami membangun Pintu dengan kepercayaan bahwa kripto bukanlah hanya sekedar teknologi semata, namun juga termasuk kelas aset dan komunitas yang akan membantu mengatasi penghalang inklusi finansial di Indonesia. [..] Dengan dukungan dari investor-investor Pintu, kami berkomitmen untuk memfasilitasi inklusi finansial ke semua kalangan masyarakat Indonesia.”

Tren platform kripto di Indonesia

Selain Pintu, terdapat pemain baru yang belum lama ini juga mendapat dana segar yaitu Coinomo. Perusahaan yang lahir setelah Turn Capital mengakuisisi Dapp Pocket (pemain dompet kripto asal Taiwan) dan Cappuu (layanan yield aggregator) ini telah merilis versi beta produknya pada bulan Mei 2021.

Sebelumnya, telah ada beberapa pemain yang lebih dulu menjajaki pasar industri aset kripto, seperti TokoCrypto dan Nobi yang fokus maksimalkan potensi “passive income bagi para investor kripto. Tokocrypto sendiri telah mengembangkan token CeDeFi (TKO) hibrida yang diklaim pertama di Indonesia di atas Binance Smart Chain, yang merupakan investor tahap awal mereka.

Sebagai salah satu aset yang digadang-gadang memiliki potensi besar, berbagai pengembang aplikasi investasi juga turut menawarkan kripto sebagai salah satu produk dalam platformnya. Sebut saja Pluang yang pada bulan Maret lalu berhasil mengantongi pendanaan pra-seri B berkisar 288,8 miliar Rupiah yang dipimpin oleh OpenSpace Ventures.

Potensi pasar

Di kancah global, menurut laporan yang dihimpun Research and Market, ukuran pasar untuk cryptocurrency telah mencapai $1.812 juta per tahun 2020, diproyeksikan meningkat $2.150 juta di tahun ini, dan melambung di angka $5.158 juta tahun 2026 mendatang dengan CAGR 19,04%.

Sementara di Indonesia, menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), investor aset kripto hingga Mei 2021 sudah tembus ke angka 6,5 juta orang dengan nilai transaksi Rp370 triliun. Kenaikan ini cukup fantastis, mengingat pada sebulan sebelumnya tercatat 4,8 juta orang dengan nilai transaksi sekitar Rp237,3 triliun (Januari-April 2021).

Dengan volatilitas harga yang tinggi, profil investor kripto biasanya merupakan orang yang berani mengambil risiko. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa aset kripto satu dengan yang lainnya tidak sama. Bappebti sendiri sudah menerbitkan daftar 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.

Dilansir dari Coinmarketcap.com, kapitalisasi pasar kripto global saat ini mencapai $1,76 triliun, terhitung mengalami penurunan sekitar 2,82%.

Application Information Will Show Up Here

DOKU Secures 458 Billion Rupiah Funding from Apis Growth Fund II

DOKU announces $32 million (over 458 billion Rupiah) funding round from Apis Growth Fund II, a private equity fund managed by Apis Partners LLP, a UK-based asset manager that supports growing financial services and fintech businesses. DOKU is Apis Partners’ first portfolio in Indonesia.

DOKU is a subsidiary of PT Elang Andalan Nusantara (EAN), a joint venture owned by Emtek and Alibaba. Based on Emtek’s financial report, PT Kreatif Media Karya (KMK) holds a 55% stake in EAN’s second-tier subsidiary. Furthermore, it is sold to a third party.

The transaction resulted in KMK to lose control in EAN and subsequently stopped consolidating EAN’s financial statements to the Group’s consolidated financial statements.

DOKU will use the fresh funds to accelerate the development of some new offerings for businesses and consumers, as well as to expand the company’s geographical reach in providing access to digital payments for the Indonesian people.

“[..] We believe by supporting such company as DOKU, we will benefit from its proven experience. This collaboration with Apis Partners is a new chapter for DOKU and we are very excited to continue this partnership,” DOKU’s Co-Founder and COO, Nabilah Alsagoff said during a virtual press conference, Thursday (5/8).

In an official statement, Apis Partners Managing Partner and Co-Founder Matteo Stefanel said, “We are delighted to partner with DOKU in Apis Partners’ first investment in Indonesia, which reflects our trust in this country as an investment field. We are delighted to be working with a team that has built a market-leading organization [..],” he said.

In global realm, Apis Partners has several payment gateway startup portfolios, such as EPS (India), DPO (Africa), GHL (Malaysia), Adumo (South Africa), and Codapay (Singapore).

DOKU’s growth

DOKU was founded in 2007 as the sole digital payment player in Indonesia with the most complete payment license from fund transfer, e-wallet, and e-money to customers. The company also has a remittance license, collaborated with partners in neighboring countries to facilitate transfers between countries.

Last year alone, DOKU processed 47 million transactions with a total processed value of $2.9 billion. One of the reasons of the increase transactions was the game vouchers purchase as many people had to stay at home. Furthermore, it also comes from online transportation payments, the result of DOKU’s collaboration with Maxim.

“Game purchasing recorded an increasing number, one of which was due to stay at home policy. Moreover, we are intensifying partnerships with game publishers, such as Unipin, also Google Play, soon to live with TikTok, and Facebook for advertising purchase,” DOKU’s CMO, Himelda Renuat said.

One fascinating data is the surge in newly registered QRIS merchants with 1583% YOY and an increase of more than 30% for the retail, game, and digital content merchant categories.

DOKU’s core business is payment gateway, which contributes as much as 70% to the total service. Apart from that, DOKU’s other businesses are Collaborative Commerce (DOKU Wallet) and Transfer Service (remittance and disbursement).

Last April, the company announced a rebrand for its payment gateway business to “Jokul” with objective to create more familiar approach to users from all business circles, corporations, startups, MSMEs, to individual sellers. Jokul is a slang word in the 90s that means “to sell”. It is said that more than 5 thousand businesses have registered as organic merchants.

The large market of payment gateway

According to research by Mordor Intelligence, the global payment gateway service market has reached $17.2 billion in 2020. It is projected to grow at $42.9 billion by 2026.

In Indonesia, there are several players who provide related services, helping digital businesses to accommodate payments. Among those are Midtrans, Faspay, Xendit, and others.

The potential is there and wide, considering that consumers in Indonesia have varied options for their online payment system. According to a survey by iPrice and Jakpat last year, bank transfer still dominates, followed by e-wallet and other payments.

The role of payment gateway service is to provide simplification for developers. Instead of having to do manual integration for each payment system, they can use a ready-made service by plugging the payment gateway API into the application backend.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Fuse Insurtech Announces the Closing of Series B Funding

Fuse insurtech today (09/8) announced the closing of its series B funding with an undisclosed amount. The round was led by GGV Capital with the participation of previous investors, including East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, and some undisclosed investors.

The fresh funds will be focused on developing its digital platform and continuing the expansion to other countries in Southeast Asia, outside of Indonesia and Vietnam. Previously, Fuse has secured series A funding in late 2019, led by EV Growth.

This insurtech platform was founded in 2017 by Andy Yeung and Ivan Sunandar. The company claimed to be a pioneer application that focuses on the agent-base model. This is considered relevant to Indonesia, as 97% of the population is still underinsured due to lack of confidence in the current insurance system.

Using the approach, the company is said to record Gross Written Premium (GWP) exceeding $50 million or equivalent to Rp720 billion in 2020 and is confident enough to claim as the largest insurtech platform in Indonesia [by transaction].

Fuse has partnered with 30 insurance companies, offering more than 300 products, including through employee benefit programs and integrated e-commerce sites.

“We always focused on product innovation and will continue to invest in developing platforms that make insurance accessible and affordable to everyone in Southeast Asia. A total of 7 insurance companies have chosen Fuse to be their strategic insurtech partner in Indonesia,” the CEO, Andy Yeung said.

Market competition

Discovering the current insurtech landscape in Indonesia, Fuse’s two closest competitors, in terms of business size, are PasarPolis and Qoala. With different metrics, PasarPolis confirmed, as of August 2020 they had issued 70 million new policies every month. The total successful policies released in 2019 reached 650 million in its operational countries, Indonesia, Thailand and Vietnam.

Earlier this year, PasarPolis secured IDR 70 billion funding from IFC, following the IDR 796 billion Series B round which was announced in September 2020. The startup is backed by several investors, including LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, etc.

Another insurtech startup is Qoala. Last April 2020 the firm announced 209 billion Rupiah series A funding led by MDI Ventures through the Centauri Fund. Also participated several investors including Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital Ventura, SeedPlus, etc.

Since March 2020, the company claims to have proceed more than 2 million policies per month, the number increased from the previous one 7,000 policies per month in March 2019.

Market potential

According to DSInnovate data in the “Insurtech Report 2021“, the GWP recorded by the insurance industry in Indonesia has reached $20.8 billion in 2020. The number is dominated by Life insurance with 73.8%.

Although the pandemic has affected its emerging penetration in Indonesia, this sector was relatively able to recover quickly as viewed from the Gross Premium Income.

The insurtech potential to democratize the insurance business in Indonesia is wider than ever, including in the context of capturing new users and educating the market. Further from the report, there are several important factors to encourage insurance adoption in Indonesia in relation to digital services.

First, in terms of the claim process, convenience is the key (48% of respondents). Moreover, the service provider brand must be convincing (39%). Furthermore, proceed with costs (37%) and benefits provided (11%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech Fuse Umumkan Perolehan Pendanaan Seri B

Startup insurtech Fuse hari ini (09/8) mengumumkan penutupan pendanaan seri B. Tidak disampaikan nominal investasi yang didapat. Adapun putaran ini dipimpin oleh GGV Capital dengan keterlibatan investor sebelumnya, termasuk East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, dan sejumlah investor yang tidak disebut identitasnya.

Dana segar yang didapat akan difokuskan untuk pengembangan platform digital mereka dan melanjutkan ekspansi ke negara lain di Asia Tenggara, di luar Indonesia dan Vietnam. Sebelumnya Fuse mendapatkan pendanaan seri A pada akhir 2019, dipimpin oleh EV Growth.

Platform insurtech ini didirikan sejak 2017 oleh Andy Yeung dan Ivan Sunandar. Mereka mengklaim sebagai aplikasi pionir yang berfokus pada model keagenan. Hal ini dinilai relevan dengan kondisi di Indonesia, sebanyak 97% dari populasi masih berstatus underinsured dikarenakan kurang percaya dengan sistem perasuransian yang ada saat ini.

Dengan pendekatan tersebut, perusahaan juga mengatakan telah mampu membukukan Gross Written Premium (GWP) melebihi $50 juta atau setara Rp720 miliar pada 2020 dan cukup percaya diri untuk mengklaim jadi platform insurtech terbesar di Indonesia [secara transaksi].

Fuse juga telah bermitra dengan 30 perusahaan asuransi, menyajikan lebih dari 300 produk, termasuk melalui program employee benefit dan terintegrasi di situs e-commerce.

“Kami selalu fokus pada inovasi produk dan akan terus berinvestasi dalam mengembangkan platform yang membuat asuransi dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang di Asia Tenggara. Sebanyak 7 perusahaan asuransi telah memilih Fuse untuk menjadi mitra strategis insurtech mereka di Indonesia,” kata CEO Andy Yeung.

Kompetisi pasar

Melihat lanskap insurtech di Indonesia saat ini dua pesaing terdekat Fuse, jika dilihat dari sisi ukuran bisnis, adalah PasarPolis dan Qoala. Dengan metrik yang berbeda, PasarPolis menyebut, per Agustus 2020 mereka telah menerbitkan 70 juta polis baru setiap bulan. Adapun total polis yang berhasil dirilis pada tahun 2019 mencapai 650 juta polis di negara mereka beroperasi, yakni Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

PasarPolis awal tahun ini mendapatkan pendanaan 70 miliar Rupiah dari IFC, melanjutkan perolehan pendanaan 796 miliar Rupiah untuk putaran seri B yang diumumkan pada September 2020 lalu. Startup ini didukung beberapa investor, termasuk LeapFrog Investments, SBI Investment, Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, dll.

Adapun startup insurtech lainnya ada Qoala. April 2020 lalu mereka membukukan pendanaan seri A senilai 209 miliar Rupiah yang dipimpin MDI Ventures melalui Centauri Fund. Turut mendukung beberapa investor termasuk Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas, Central Capital VEntura, SeedPlus, dll.

Sejak Maret 2020, perusahaan mengklaim telah mampu memroses lebih dari 2 juta polis per bulan, naik dari sebelumnya sebanyak 7.000 polis per bulan pada Maret 2019.

Potensi pasar

Menurut data yang diolah DSInnovate dalam “Insurtech Report 2021“, GWP yang telah dibukukan industri perasuransian di Indonesia telah mencapai $20,8 miliar pada tahun 2020. Asuransi jiwa mendominasi angka dengan persentase 73,8%.

Kendati sempat terdampak pandemi di awal kemunculannya di Indonesia, namun sektor ini relatif bisa cepat pulih jika dilihat dari Gross Premium Income yang didapat.

Potensi insurtech untuk mendemokratisasi bisnis asuransi di Indonesia masih terbuka sangat lebar, termasuk dalam rangka menjaring pengguna baru dan mengedukasi pasar. Masih dari laporan di atas, dari survei yang dikutip terdapat beberapa faktor penting yang dapat mendorong adopsi asuransi di Indonesia, dalam kaitannya dengan layanan digital.

Pertama dari sisi proses klaim yang harus memudahkan (48% responden). Kemudian yang kedua terkait brand penyedia layanan yang harus meyakinkan (39%). Lalu dilanjutkan biaya (37%) dan manfaat yang diberikan (11%).

Application Information Will Show Up Here

DOKU Tutup Pendanaan 458 Miliar Rupiah dari Apis Growth Fund II

DOKU mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $32 juta (lebih dari 458 miliar Rupiah) dari Apis Growth Fund II, dana ekuitas swasta yang dikelola oleh Apis Partners LLP, manajer aset berbasis Inggris yang mendukung bisnis layanan finansial dan fintech dalam tahap pertumbuhan. DOKU menjadi portofolio pertama Apis Partners di Indonesia.

DOKU merupakan salah satu anak usaha dari PT Elang Andalan Nusantara (EAN). EAN adalah perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki Emtek dan Alibaba. Berdasarkan laporan keuangan Emtek, PT Kreatif Media Karya (KMK) memegang 55% saham atas cucu usaha EAN. Kemudian dijual ke pihak ketiga.

Transaksi tersebut menyebabkan KMK kehilangan pengendalian di EAN dan selanjutnya KMK berhenti mengkonsolidasikan laporan keuangan EAN ke laporan keuangan konsolidasian Kelompok Usaha.

Dana segar akan dimanfaatkan DOKU untuk mempercepat pengembangan sejumlah penawaran baru untuk bisnis dan konsumen, serta memperluas jangkauan geografis perusahaan dalam menyediakan akses pembayaran digital bagi masyarakat Indonesia.

“[..] Kami percaya dengan mendukung perusahaan seperti DOKU, kami akan mendapatkan manfaat dari pengalaman mereka yang telah terbukti. Kami melihat kolaborasi dengan Apis Partners sebagai babak baru bagi DOKU dan kami sangat antusias untuk melanjutkan kemitraan ini,” ucap Co-Founder dan COO DOKU Nabilah Alsagoff saat konferensi pers virtual, Kamis (5/8).

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Managing Partner dan Co-Founder Apis Partners Matteo Stefanel mengatakan, “Kami senang dapat bermitra dengan DOKU dalam investasi pertama Apis Partners di Indonesia, yang mencerminkan kepercayaan kami terhadap negara ini sebagai lokasi investasi. Kami senang dapat bekerja sama dengan tim yang telah membangun organisasi terdepan di pasar [..],” ucapnya.

Secara global, Apis Partners memiliki sejumlah portofolio startup payment gateway, seperti EPS (India), DPO (Afrika), GHL (Malaysia), adumo (Afrika Selatan), dan Codapay (Singapura).

Kinerja DOKU

DOKU didirikan pada 2007 sebagai satu-satunya pemain pembayaran digital di Indonesia dengan lisensi pembayaran terlengkap, mulai dari transfer dana, e-wallet, dan e-money kepada pelanggan. Perusahaan juga memiliki izin remitansi, telah bekerja sama dengan mitra di negara tetangga untuk memfasilitas transfer antar negara.

Pada tahun lalu saja, DOKU telah memroses 47 juta transaksi dengan total nilai yang diproses sebesar $2,9 miliar. Kenaikan transaksi ini salah satunya disumbangkan dari pembelian voucher game karena banyak orang harus berada di rumah saja. Selanjutnya juga datang dari pembayaran transportasi online, hasil kerja sama DOKU dengan Maxim.

“Belanja game mencatatkan kenaikan yang menarik, salah satunya karena harus di rumah saja. Untuk itu kami gencarkan kemitraan dengan game publisher, seperti Unipin, ada Google Play, TikTok akan segera live, dan Facebook untuk belanja iklan,” tambah CMO DOKU Himelda Renuat.

Data menarik lainnya adalah lonjakan pada pedagang QRIS yang baru terdaftar sebesar 1583% secara YOY dan kenaikan lebih dari 30% untuk kategori pedagang ritel, game, dan konten digital.

Bisnis utama DOKU adalah payment gateway yang berkontribusi sebanyak 70% terhadap total keseluruhan layanan. Di luar itu, bisnis lainnya dari DOKU adalah Collaborative Commerce (DOKU Wallet) dan Transfer Service (remitansi dan disbursement).

Pada April kemarin, perusahaan mengumumkan rebrand untuk bisnis payment gateway-nya menjadi “Jokul” agar makin dikenal pengguna dari semua kalangan bisnis, baik itu korporasi, startup, UMKM, hingga penjual individu. Jokul adalah kata slang pada tahun 90-an yang memiliki arti “jualan”. Disebutkan ada lebih dari 5 ribu bisnis telah terdaftar sebagai merchant secara organik.

Pasar besar layanan payment gateway

Menurut riset yang dilakukan Mordor Intelligence, ukuran pasar layanan payment gateway secara global telah menyentuh angka $17,2 miliar pada tahun 2020. Diproyeksikan akan bertumbuh menjadi $42,9 miliar pada tahun 2026 mendatang.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa pemain yang menyajikan layanan terkait, membantu bisnis digital untuk mengakomodasi pembayaran. Di antaranya Midtrans, Faspay, Xendit, dan lain-lain.

Potensinya masih sangat besar, mengingat konsumen di Indonesia memiliki pilihan yang bervariasi untuk sistem pembayaran online-nya. Menurut servei yang dilakukan iPrice dan Jakpat tahun lalu, metode transfer bank masih mendominasi, dilanjutkan e-wallet, dan pembayaran lainnya.

Peran layanan payment gateway adalah memberikan simplifikasi bagi pengembang. Alih-alih harus melakukan integrasi manual satu per satu untuk setiap sistem pembayaran, mereka bisa menggunakan layanan siap pakai dengan menyambungkan API payment gateway ke dalam backend aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Berinvestasi ke Startup Fintech Filipina Dragonpay

Startup fintech asal Filipina, Dragonpay, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan strategis dari Xendit. Aksi ini menyusul ekspansi yang dilakukan oleh Xendit ke pasar Filipina sejak tahun lalu; ini menjadi basis operasi kedua mereka setelah di Indonesia.

Didirikan sejak tahun 2010, Dragonpay menyediakan solusi pembayaran mirip seperti yang disediakan oleh Xendit, termasuk di dalamnya kapabilitas payment gateway. Di pasar Filipina sendiri, Covid-19 tengah mempercepat adopsi sistem pembayaran online, karena sebelumnya transaksi tunai masih mendominasi.

Investasi ini melanjutkan pendanaan seri B yang diterima Dragonpay tahun 2020 lalu. Diharapkan dukungan Xendit dapat mempercepat inovasi produk dan ekspansi layanan sehingga dapat merangkul lebih banyak pedagang [online] mengadopsi layanan pembayaran digital.

Startup Indonesia di Filipina

Gojek, JavaMifi, Kredivo, Passpod Dana Cita, Investree, dan Kredit Pintar adalah daftar startup lokal yang saat ini sudah mulai menjajakan layanannya di Filipina.

Dalam sebuah kesempatan, Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan bahwa pasar UMKM untuk bisnis fintech di sana masih sangat besar potensinya. Perbankan belum memberikan pelayanan secara menyeluruh, padahal sektor ini menyumbang 35% terhadap PDB negara, mempekerjakan lebih dari 60% tenaga kerja lokal.

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, ekonomi internet di Filipina telah membukukan GMV hingga $7,5 miliar di tahun 2020. Diproyeksikan bertumbuh hingga $28 miliar pada tahun 2025 mendatang. Dengan lebih dari 108 juta populasi [terbesar kedua di SEA setelah Indonesia], pasar ini akan menjadi signifikan. Meskipun saat ini secara nilai masih berada di peringkat ke-6 setelah Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.

Investasi ke startup Filipina

Salah satu pemodal ventura yang sudah mulai menjajaki ekosistem startup di Filipina adalah Venturra Discovery. Awal tahun ini mereka berinvestasi ke Podcast Network Asia (PNA), startup podcast di sana.

Kepada DailySocial, Partner Venturra Discovery Raditya Pramana menyampaikan bahwa Filipina memiliki banyak keunikannya. Tidak sekadar populasinya yang besar, tetapi secara demografi penduduknya relatif muda, buying power juga semakin meningkat.

Terkait hipotesisnya untuk berinvestasi di startup podcast di sana ia menyampaikan, secara kultur Filipina banyak dipengaruhi dengan budaya Amerika. Konten podcast yang sudah banyak dan berkualitas di Amerika menjadi populer di Filipina dan itulah yang membuat industri podcast di sana bisa berkembang lebih dulu dibanding negara Asia Tenggara lainnya.