Desty Bags 46 Billion Rupiah Pre-Series A Led by 5Y Capital

Desty micro site provider startup announced a pre-series A funding round worth of $3.2 million or around 46 billion rupiah. The new funding was led by 5Y Capital. Some investors also participated, including Fosun RZ Capital, January Capital, IN Capital, and East Ventures.

For further information, 5Y Capital is a China-based VC (formerly Morningside Venture Capital) that focuses on early-stage funding. 5Y Capital has invested in Xiaomi and Kuaishou. Currently, Desty is 5Y Capital’s first investment portfolio in Indonesia.

Desty is a digital platform that helps content creators, influencers and sellers on social media to market and sell their products. Users can create a mini site placed on a social media bio link or online store for free in just a few minutes. The concept is similar to Linktree with broader features.

Desty was founded in October 2020 by Mulyono Xu (CEO) and Bill Wang (COO). Both have experience and expertise in building e-commerce for 17 years under the Alibaba Group. The startup has previously secured an undisclosed amount of seed funding from East Ventures.

Through this additional investment, the company is still focused on increasing the number of teams and its user base. Xu said, Desty team is currently backed by talents with working experience in giant technology companies, from Alibaba, Facebook, Google, and Bukalapak.

In addition, he said, Desty also continues to ensure that sellers who have joined its ecosystem can develop their business efficiently. The platform is said to have been used by hundreds of thousands of users. Especially in the Covid-19 pandemic situation, sellers or merchants should be able to adapt to manage their business digitally.

“We’ve seen Desty’s exponential growth at the right time due to the rapid growth of e-commerce in Indonesia during the pandemic. Therefore, we believe merchants need various options for where to shop for consumers, either through marketplaces, independent websites, or social media,” Xu said.

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca agreed on this. He said, the pandemic has had a positive impact in accelerating digital adoption to the wider community. Desty is considered to have paved the way for merchants, influencers, and creators to start digitizing product sales digitally.

Based on data compiled by Desty from several sources, the number of e-commerce transactions jumped 18.1% to 98.3 million with an additional 12 million new users throughout 2020. Indonesian people has three main destinations to shop, marketplaces (97%) ), independent business domain/website (91%), and social media (82%).

5Y Capital’s VP of Investment, Hanson Hu added that links are very important key in the internet ecosystem as they can bring people together, online with offline, and demand with supply.

“In terms of e-commerce, links open up great opportunities in connecting social and content with e-commerce transactions as we have seen this trend in China. We believe Desty can become the infrastructure for links in Southeast Asia’s e-commerce industry. Therefore, its presence can contribute to creating a closer content, social and e-commerce ecosystem,” he added.

Currently, Desty offers two main products, Desty Page and Desty Store. Desty Page is a landing page service to optimize the link feature on social media accounts, especially Instagram. Meanwhile, Desty Store is a complement to the marketplace channel that provides a platform to help users easily open online stores.

As a supporting product, Desty also developed Desty Academy as an information and training center for users who want to develop their business.

Desty Peroleh Pendanaan Pra-Seri A 46 Miliar Rupiah Dipimpin 5Y Capital

Startup penyedia situs mikro Desty kembali mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A senilai $3,2 juta atau sekitar 46 miliar rupiah. Pendanaan baru ini dipimpin oleh 5Y Capital. Sejumlah investor juga turut berpartisipasi di antaranya Fosun RZ Capital, January Capital, IN Capital, dan East Ventures.

Sekadar informasi, 5Y Capital merupakan VC asal Tiongkok (sebelumnya bernama Morningside Venture Capital) yang fokus pada pendanaan tahap awal. 5Y Capital pernah berinvestasi di Xiaomi dan Kuaishou. Saat ini, Desty menjadi portofolio investasi pertama 5Y Capital di Indonesia.

Desty adalah platform digital yang membantu kreator konten, influencer, dan penjual di media sosial untuk memasarkan dan menjual produk mereka. Pengguna dapat membuat situs mini yang diletakkan pada tautan bio media sosial atau toko online secara gratis hanya dalam beberapa menit. Konsepnya mirip dengan Linktree dengan fitur yang lebih luas.

Desty didirikan pada Oktober 2020 oleh Mulyono Xu (CEO) dan Bill Wang (COO). Keduanya memiliki pengalaman dan keahlian membangun e-commece selama 17 tahun di bawah naungan Alibaba Group. Startup ini sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari East Ventures.

Melalui tambahan investasi ini, perusahaan masih fokus untuk menambah jumlah tim dan meningkatkan basis penggunanya. Menurut Mulyono, saat ini tim Desty diperkuat oleh talenta-talenta yang telah berpengalaman bekerja di perusahaan teknologi raksasa, mulai dari Alibaba, Facebook, Google, Bukalapak.

Di samping itu, ungkapnya, Desty juga terus berupaya memastikan penjual yang telah tergabung di ekosistem Desty dapat mengembangkan bisnisnya secara efisien. Platform Desty diklaim telah digunakan ratusan ribu pengguna. Terlebih di situasi pandemi Covid-19, penjual atau merchant harus bisa beradaptasi mengelola bisnis mereka secara digital.

“Kami melihat pertumbuhan eksponensial Desty tercapai di saat yang tepat dikarenakan pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia selama pandemi. Maka itu, kami percaya para merchant membutuhkan berbagai opsi tempat berbelanja kepada konsumen, baik lewat marketplace, website milik sendiri, atau media sosial,” papar Mulyono.

Hal ini juga diamini oleh Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca. Menurutnya, pandemi telah memberikan dampak positif dalam mengakselerasi adopsi digital ke masyarakat luas. Desty dinilai telah membuka jalan bagi merchant, influencer, dan kreator untuk mulai mendigitalisasi penjualan produk secara digital.

Berdasarkan data yang dihimpun Desty dari sejumlah sumber, jumlah transaksi e-commerce melonjak 18,1% menjadi 98,3 juta dengan tambahan 12 juta pengguna baru di sepanjang 2020. Ada tiga destinasi utama yang dipilih masyarakat Indonesia untuk berbelanja, yaitu marketplace (97%), domain/situs web bisnis sendiri (91%), dan media sosial (82%).

VP of Investment 5Y Capital Hanson Hu menambahkan bahwa tautan menjadi kunci penting dalam ekosistem internet karena dapat mempertemukan orang dengan orang, online dengan offline, hingga permintaan dengan suplai.

“Dalam konteks e-commerce, tautan membuka peluang besar dalam menghubungkan sosial dan konten dengan transaksi e-commerce sebagaimana tren ini kami lihat di Tiongkok. Kami yakin Desty dapat menjadi infrastruktur bagi tautan di industri e-commerce Asia Tenggara. Dengan begitu, kehadirannya dapat berkontribusi menciptakan ekosistem konten, sosial, dan e-commerce yang lebih erat,” tambahnya.

Saat ini, Desty menawarkan dua produk utama, yakni Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan landing page untuk mengoptimalkan fitur tautan pada akun media sosial, khususnya Instagram. Sementara, Desty Store merupakan pelengkap kanal marketplace yang menghadirkan platform untuk membantu pengguna membuka toko online dengan mudah.

Sebagai produk pendukung, Desty juga membuka Desty Academy sebagai pusat informasi dan pelatihan bagi pengguna yang ingin mengembangkan bisnis.

GetCraft Memperkuat Posisi Sebagai “Creative Hub” Asia Tenggara

Beberapa waktu lalu, VC global SOSV Chinaccelerator mengumumkan secara resmi pendanaan tahap awal dengan nominal yang dirahasiakan kepada platform marketing GetCraft. Menurut perwakilan SOSV, GetCraft menjadi satu-satunya portofolio investasi asal Indonesia pada angkatan ini.

Kepada DailySocial, Partner & Managing Director Chinaccelerator Oscar Ramos mengatakan, pihaknya melihat potensi ekonomi kreatif lokal semakin berkembang di Indonesia dan mulai memperkuat posisinya di pasar Asia Tenggara. “GetCraft didirikan di Indonesia tetapi telah memiliki posisi kuat sebagai creative space di kawasan ini,” ungkap Ramos.

Dengan tambahan pendanaan dari SOSV Chinaccelerator pada Desember 2020, GetCraft kini tercatat telah memperoleh empat kali putaran pendanaan. Sebelumnya, platform yang bermarkas di Jakarta ini telah menerima investasi dari Convergence Ventures dan 500 Startups.

GetCraft didirikan pada 2014 oleh Patrick Searle dan Anthony Reza. Berdasarkan data perusahaan, pihaknya telah membukukan pendapatan sebesar lebih dari $8 juta di 2020 dan telah mengorganisir produk kreatif dan pemasaran oleh lebih dari 1.500 brand dan agensi.

Pada 2018, GetCraft meluncurkan platform marketplace yang menghubungkan para pelaku bisnis kreatif dengan marketer dalam kegiatan pemasaran. Marketplace ini memungkinkan marketer untuk dapat mengestimasi biaya dan potensi audiens berdasarkan kreator konten atau mitra konten bersponsor yang mereka pilih. Kapabilitas tersebut mempermudah marketer untuk merencanakan kampanye pemasaran kontennya.

Ekspansi dan memperkuat posisi di Asia Tenggara

Dihubungi DailySocial secara terpisah, pihak GetCraft masih enggan mengungkap rencana dan strategi GetCraft di Indonesia karena tengah fokus menutup putaran pendanaan baru.

Namun, GetCraft memiliki peluang untuk memperluas skala bisnisnya. Terlebih di masa pandemi Covid-19 di mana marketer mulai mengalihkan kampanye pemasaran seiring dengan perubahan perilaku konsumen. Saat ini, GetCraft beroperasi di Indonesia, Filipina, Kuala Lumpur, dan Singapura. Pandemi bisa saja membuka pintu untuk ekspansi ke pasar lain.

Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, ekonomi kreatif berkontribusi sebesar Rp1.100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di sepanjang 2020. Ini menjadi bukti kuat sektor ini dapat bertahan di masa pandemi.

Di samping itu, kebutuhan konten digital marketing, influencer, hingga native ads juga masih cukup tinggi. Hal ini turut diperkuat dengan semakin bertambahnya jumlah pengguna internet dan media sosial aktif di Indonesia. Data We Are Social per Januari 2021 mencatat pengguna mobile dan internet di Indonesia masing-masing mencapai 345,3 juta dan 202,6 juta.

Sementara, jumlah pengguna media sosial aktif mencapai sebesar 170 juta. Sejumlah media sosial yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia antara lain, Youtube (93,8%), WhatsApp (87,7%), Instagram (86,6%), Facebok (85,5%), dan Twitter (63,6%).

Dari sisi persaingan, GetCraft sudah memiliki posisi kuat di pasar regional sebagaimana disebutkan Ramos. Untuk pasar Indonesia saja, GetCraft tampaknya masih lebih unggul dibandingkan platform sejenis yang jumlahnya mungkin tidak bayak dan jasa yang ditawarkan terbatas pada kategori tertentu.

Sementara, GetCraft masuk lewat sekop jasa konten pemasaran kreatif yang lebih luas, tak hanya penulisan, tetapi juga video, animasi, hingga ilustrasi. Di luar marketplace, GetCraft bahkan masuk ke segmen komunitas melalui layanan berbayar Crafters dan MarketingCraft.

Crafters merupakan layanan premium yang menyediakan beragam konten untuk mengasah kemampuan kreator, seperti tips melakukan pitching, membuat konten hiburan, dan monetisasi bisnis. Bedanya dengan MarketingCraft, konten ini ditujukan untuk mempertajam kemampuan para marketer.

Oy! Raises 653 Billion Rupiah Funding, Soon to be Centaur

Afintech platform providing transfer service, Oy! reportedly raises series A funding worth of $45 million or equivalent to 653.4 billion Rupiah. Softbank Ventures Asia and MDI Ventures led the round with some investors including Pavilion Capital, AC Ventures, Alfamart, Central Capital Ventura, Wavemaker Partners.

Apart from already registered with the regulator, parties that involves in this agreement confirmed the new round. The total funding is said to take the company’s valuation to $108 million. AC Ventures entrance also brought one of its founding partners, Pandu Sjahrir, to the ranks of Oy!’s board members.

Oy!’s seed round has been raised from 2017 to 2020, several investors involved including MDI Ventures, Wavemaker Partners, Pavilion Capital, and Central Capital Ventures.

Oy! Indonesia offers several services, both for consumers and business. On the B2C sector, they have the Oy! Indonesia app to accommodate fund transfer between banks. Its capabilities also include remittances, enabling transfers between countries.

In terms of business, they provide API services to facilitate transactions, both for sending and receiving funds. Based on our observation, with the development of existing features, Oy! Indonesia seems more serious in working on the B2B segment. The open finance service potential is really impressive as business are transforming and trying to provide efficiency in the financial transaction process on its platform.

In the interbank transfer feature for consumers, Oy! is in close competition with the Flip app. We have specifically conducted an analysis of the two platforms. The market share is quite large for this service, based on BI data throughout 2019, the volume of domestic transactions was recorded at more than 218.89 million with a nominal value of Rp84.47 trillion. The remittance business alone recorded 37.7 million transactions with a value of Rp90.67 trillion.

This service is also available to resolve the interbank transfer fees issue.  Alfamart entrance as a strategic partner shows interesting indication, regarding the potential of Oy! to enter the online-to-offline (O2O) model in selling its services. This is in line with one of fintech’s visions to serve the underbanked, which still a big number in Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

CVC Milik BCA Berpartisipasi dalam Pendanaan Startup “Open Banking” Railsbank

Central Capital Ventura (CCV), perusahaan investasi (corporate venture capital — CVC) dari Bank Central Asia (BCA) terlibat dalam pendanaan $70 juta platform fintech API asal London, Railsbank. Dalam putaran seri B tersebut sejumlah investor turut terlibat termasuk Anthos Capital (memimpin), Outrun Ventures, dan angel investor.

Railsbank menghadirkan layanan open banking menyeluruh, termasuk di dalamnya banking as a service, cards as a service, dan credit as a service. Memungkinkan penyedia platform digital menyediakan layanan pembuatan kartu kredit [Visa dan Mastercard], pembayaran berlangganan untuk SaaS, dan hal-hal lain terkait transaksi finansial.

Dana segar juga akan digunakan oleh perusahaan untuk menggencarkan ekspansi, termasuk menjelajahi pasar di Asia Pasifik. Menyasar perusahaan fintech, telekomunikasi, hingga ritel untuk mengelola transaksi finansial mereka secara lebih solid.

“CCV percaya pada pendiri Railsbank. Mereka telah berhasil membuktikan model mereka di Eropa dan sekarang berekspansi ke SEA dan Amerika Serikat. BaaS relatif baru di pasar Indonesia dan Asia Tenggara, dan kami yakin Railsbank akan membawa model bisnis mereka yang sukses ke kawasan ini. Di CCV, kami juga percaya bahwa open banking masih dalam tahap awal dan potensi pertumbuhannya sangat besar,” ujar Anthony Adiputra, salah satu tim investasi di CCV.

Ia juga mengatakan, bahwa CCV percaya koneksi berbasis API akan memiliki masa depan cerah karena memungkinkan sebuah platform melakukan integrasi secara sederhana dengan pihak ketiga. Pihaknya juga melihat dorongan dari regulator bagi institusi finansial untuk menciptakan inisiatif perbankan yang lebih terbuka.

Layanan open finance [open banking adalah salah satu turunan layanan dari open finance] berbasis API memang tengah menjadi sorotan menarik di ekosistem fintech, baik di kancah global maupun nasional. Berdasarkan laporan Bain Capital, nilai pasar platform tersebut diproyeksikan mencapai $7,2 triliun pada 2030 mendatang.

Selain di Railsbank, CCV juga telah berinvestasi ke layanan fintech API lainnya, termasuk Oy! Indonesia, Bambu, dan Wallex. Bagi para startup, CCV dapat menjadi mitra strategis mengingat mereka di bawah naungan salah satu perbankan terbesar di Asia Tenggara.

Di sisi lain, regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI), juga tengah mematangkan beleid terkait standar Open API. Salah satu misinya untuk mendorong kolaborasi antara perbankan dan perusahaan teknologi finansial demi terciptanya ekosistem layanan yang inklusif.

Dengan spesialisasinya masing-masing, peta pemain open finance di Indonesia mulai ramai terisi. Daftar pemainnya meliputi Brankas, Brick, Finatier, Ayoconnect, Xendit/Instamoney, Oy!, dan lain-lain. Di antara beberapa pemain tersebut, Bricks yang lebih mendekati Railsbank — untuk memaksimalkan layanannya saat ini Brankas telah bekerja sama dengan 14 bank lokal, termasuk BCA.

East Ventures Dikabarkan Kembali Pimpin Pendanaan Greenly

Greenly, startup new retail yang fokus pada makanan dan minuman sehat, dikabarkan mengantongi pendanaan baru sebesar $800 ribu (lebih dari Rp11 miliar) yang dipimpin East Ventures. Menurut informasi yang DailySocial dapatkan, putaran lanjutan ini juga diikuti oleh Sage Capital.

Belum ada konfirmasi yang diberikan pihak East Ventures dan Greenly sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal Greenly dengan nilai dirahasiakan pada Februari 2020. Dana segar ini digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi, serta memperluas jaringannya di Surabaya dan kota-kota lainnya.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto menyampaikan, semangat perusahaannya adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji.

Menurutnya, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di berbagai titik agar mudah dijangkau konsumen.

Tak hanya makanan, kini Greenly membentuk sub-brand baru khusus untuk minuman sehat (plant based) dengan ragam menu kekinian bernama Freshful.

Semua proses bisnis Greenly dilakukan dengan pendekatan O2O, mengadopsi penjualan multikanal melalui gerai fisik dan pesan-antar. Perusahaan kini mengoperasikan tiga outlet flagship di Surabaya, dan cabang lainnya untuk pemesanan online yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Bali dengan total sembilan outlet.

Konsep Greenly diyakini diterima masyarakat Indonesia. Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

Oy! Kumpulkan Pendanaan 653 Miliar Rupiah, Jadi Centaur Selanjutnya

Platform fintech penyedia layanan transfer dana Oy! dikabarkan berhasil mengumpulkan pendanaan seri A dengan total hingga $45 juta atau setara 653,4 miliar Rupiah. Softbank Ventures Asia dan MDI Ventures memimpin putaran ini didukung sejumlah investor termasuk Pavilion Capital, AC Ventures, Alfamart, Central Capital Ventura, Wavemaker Partners.

Selain sudah tercatat di regulator, beberapa pihak yang dekat dengan kesepakatan ini mengonfirmasi adanya putaran baru tersebut. Akumulasi dari total pendanaan ditaksirkan membawa valuasi perusahaan di angka $108 juta. Masuknya AC Ventures juga membawa salah satu founding partner mereka Pandu Sjahrir di jajaran board member Oy!.

Sebelumnya putaran seed Oy! digalang sejak taun 2017 s/d 2020, beberapa investor yang terlibat termasuk MDI Ventures, Wavemaker Partners, Pavilion Capital, dan Central Capital Ventura.

Oy! Indonesia memiliki beberapa layanan, baik untuk konsumer maupun pebisnis. Di kancah B2C, mereka memiliki aplikasi Oy! Indonesia untuk membantu pengguna melakukan transfer dana antarbank. Kapabilitas mereka juga sudah mencakup remitansi, memungkinkan dilakukannya transfer antarnegara.

Kemudian untuk bisnis, mereka menyediakan layanan API untuk memudahkan transaksi, baik untuk pengiriman maupun penerimaan dana. Dari pengamatan kami, dengan melihat laju pengembangan fitur yang ada, Oy! Indonesia tampak lebih serius untuk menggarap segmen B2B ini. Potensinya layanan open finance memang begitu mengesankan di saat para pebisnis melakukan transformasi dan berusaha memberikan efisiensi proses transaksi finansial di platformnya.

Di fitur transfer antarbank untuk konsumen, Oy! berhadapan langsung dengan aplikasi Flip. Secara spesifik kami pernah melakukan analisis terkait kedua platform tersebut. Pangsa pasarnya cukup besar untuk layanan tersebut, menurut data BI sepanjang tahun 2019 volume transaksi domestik tercatat ada lebih dari 218,89 juta dengan nominal Rp84,47 triliun. Bisnis remitansi sendiri mencatat 37,7 juta transaksi dengan nilai Rp90,67 triliun.

Layanan tersebut juga hadir untuk menyelesaikan isu biaya transfer antarbank. Masuknya Alfamart sebagai mitra strategis juga menjadi indikasi menarik, khususnya terkait potensi Oy! masuk ke model online-to-offline (O2O) dalam menjajakan layanannya. Hal ini sejalan dengan salah satu visi fintech untuk melayani kalangan underbanked yang jumlahnya masih banyak di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Memulai Langkah Menjadi “Angel Investor”

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial, setidaknya ada tujuh deal di Indonesia yang mengumumkan menerima pendanaan dari angel investor di tahun 2020.

Dalam percakapan dengan DailySocial beberapa waktu lalu, Edward Tirtanata pernah menyinggung tentang kondisi angel investor di Indonesia. Menurutnya, ekosistem angel investor di sini masih belum terlalu berkembang. Padahal, tak sedikit pelaku startup yang mencari akses pendanaan tahap awal lewat jalur ini.

Indonesia saat ini sudah memiliki jaringan investasi angel melalui ANGIN (Angel Investment Network Indonesia), namun jika mengacu informasi dari sejumlah founder startup, akses untuk terhubung dengan angel investor dirasa belum banyak. Eksistensi angel investor di Indonesia sebetulnya bukannya tidak ada, hanya saja mereka cenderung tak ingin terekspos namanya.

Selain akses, ada isu lain yang cukup menarik dan banyak diperbincangkan, yakni besaran nilai investasi untuk menjadi angel investor. Apakah seseorang yang mungkin tidak kaya raya, bisa menjadi angel investor? Jika jawabannya ya, sebetulnya berapa nilai ideal yang dapat dipenuhi untuk menjadi angel investor?

Definisi angel investor

Dalam sebuah blog yang ditulis jurnalis sekaligus pemerhati investasi Chris Muller, ada beberapa tips yang dapat dicontek siapapun yang ingin menjajal peruntungan sebagai angel investor, meskipun mungkin tidak kaya raya.

Sebelum ke sana, mari kita perjelas kembali apa itu angel investor. Muller mendefinisikannya sebagai seseorang yang punya cukup uang untuk diinvestasikan ke bisnis tahap awal atau bisnis existing yang sudah berkembang. Seperti investor pada umumnya, angel investor mendambakan balik modal yang biasanya berbentuk ekuitas di perusahaan atau bagi hasil (revenue sharing).

Sementara mengutip Entrepreneur, motivasi mereka berinvestasi tak semata-mata mencari keuntungan, tetapi berdasarkan pada keinginan untuk membantu para pelaku bisnis baru. Angel investor bisa berasal dari berbagai macam profesi, seperti dokter, pengacara, pemasok, atau rekan bisnis. Berbeda dengan VC yang berdiri sebagai institusi untuk menginvestasikan uang orang lain.

Apabila mengacu regulasi di Amerika Serikat (AS), siapapun bisa menjadi angel investor selama mereka memenuhi persyaratan sebagai “investor terakreditasi” oleh Komisi Bursa Efek dari Securities and Exchange Commission (SEC), yaitu memiliki kekayaan bersih $1 juta atau lebih (tidak termasuk tempat tinggal utama) dan menghasilkan $200.000 per tahun.

Berapa modal yang dibutuhkan?

Kembali pada pertanyaan di awal, apakah bisa berinvestasi dalam jumlah uang yang kecil? Berapa jumlah yang dibutuhkan untuk menjadi angel investor? Muller mengungkap, jika mengacu rekomendasi dari yang berpengalaman, investor mengalokasikan hingga 10% dari portofolio untuk angel investment.

Memang ini tidak menjawab berapa banyak yang dibutuhkan. Jawaban termudah yang bisa diberikan adalah tergantung pada tipe dan ukuran investasi yang diincar. Jika menyontek referensi acara televisi Shark Tank, Anda bisa memulainya dengan investasi ratusan ribu dolar AS.

Sebetulnya Anda bisa saja berinvestasi dalam skala yang lebih kecil, misalnya $10.000. Meskipun demikian, Muller menggarisbawahi bahwa semakin kecil investasi, akan semakin kecil pula saham yang dimiliki (dan tentunya keuntungan). Besaran ini juga dapat menjadi faktor yang memengaruhi keterlibatan investor dalam mengambil keputusan bisnis.

Ia mencontohkan, apabila keseluruhan investasi pada portofolio sebesar $100.0000, ini akan memenuhi porsi 10% seperti disebutkan di awal. Tapi, jika ingin menginvestasikan bisnis startup yang baik, ia merekomendasikan setidaknya punya $50.000artinya portofolio keseluruhan sudah bisa mendekati $500.000.

Sementara, mengutip dalam blog Pluang, data Angel Capital Association mencatat investor dengan latar belakang kewirausahaan rata-rata menaruh sebesar $39.000. Ada juga yang berinvestasi dengan rata-rata $28.000. Tidak ada jumlah spesifik, semua bergantung pada investor dan bisnis yang diincar.

Secara kolektif, angel investor global menyiapkan dana hingga $24 miliar untuk diinvestasikan ke 64.000 startup setiap tahunnya.

Plus dan minus menjadi angel investor

Pada dasarnya berinvestasi tidak semata cara untuk menikmati keuntungan. Investasi berisiko dan Anda dapat kehilangan uang yang mungkin semuanya–inipun jika perusahaan berkinerja buruk atau bangkrut. Data lain Angel Capital Association menunjukkan setidaknya 50% dari angel investor kehilangan separuh dananya.

Lagi-lagi kita juga perlu menggarisbawahi bahwa ini adalah investasi, bukan pinjaman. Salah satu alasan mengapa pelaku bisnis menyukai angel investment adalah karena ini tidak tercatat sebagai pinjaman dalam neraca keuangan mereka. Angel investor membeli sebagian dari perusahaan. Artinya, ada jalan lain apabila bisnis gagal dan Anda kehilangan uang daripada repot mengambil tindakan jika itu pinjaman yang tak mampu dibayarkan.

Sebaliknya, angel investment juga dapat berpotensi menghasilkan return yang sangat tinggi. Muller mencontohkan, investasi Peter Thiel di Facebook menjadi salah satu angel investment terpopuler. Thiel menyuntik sebesar $500.000 ke Facebook pada 2004 silam sebelum platform besutan Mark Zuckerberg tersebut go public. Andai saja Thiel tidak menjual 80% sahamnya hingga sekarang, saham Thiel bisa bernilai sebesar $10 miliar saat ini.

Nilai plus lainnya adalah Anda dapat membangun perusahaan seperti yang diinginkan. Angel investment memungkinkan untuk memperoleh kepemilikan perusahaan, yang otomatis memampukan Anda untuk terlibat dalam membuat keputusan. Namun, ini semua dengan catatan mengacu pada ukuran investasi dan kesepakatan yang Anda buat bersama pemilik bisnis.

Tak kalah penting adalah diversifikasi investasi. Menurut Muller, angel investing memberikan pilihan kepada investor untuk memperluas portofolio investasi, seperti saham, obligasi, dan exchange traded fund (ETF). Investor dapat menjadi pemilik sebagian dari perusahaan dan dapat mengantongi imbal hasil dalam bentuk laba perusahaan.

Apakah angel investment menguntungkan?

Masih mengacu pada blog Pluang, sejumlah angel investor melaporkan pengembalian lebih tinggi sepuluh kali lipat dari investasi awal usai menjual saham mereka di perusahaan.

Menurut sejumlah riset, hanya 5-10% dari angel investment yang tercatat meraup keuntungan. Rata-rata sebanyak 11% dari perusahaan yang didanai menghasilkan exit yang positif. Itupun memiliki hasil exit yang bervariasi.

Bisa disimpulkan tidak semua exit menguntungkan bagi angel investor. Semua ini kembali lagi pada riset yang dilakukan investor terkait perusahaan dan kategori bisnis yang akan didanai. Pahami dulu bisnis yang ingin didanai sebelum memutuskan melakukan investasi.

New Energy Nexus Beri Pendanaan ke 4 Startup Energi Terbarukan Indonesia

Lembaga nonprofit global New Energy Nexus Indonesia mengumumkan telah menyalurkan pendanaan kepada empat startup sepanjang semester pertama 2021 melalui Indonesia 1 Fund. Fund khusus yang diluncurkan pada tahun lalu ini diarahkan untuk mendukung startup energi terbarukan yang masih berada di tahap awal, dari tahap seed hingga seri A.

Setiap pendanaannya, Indonesia 1 Fund melakukan co-invest dengan berbagai pihak agar lebih banyak dana untuk mendukung startup energi terbarukan. Di antaranya bersama Nexus for Development untuk pendanaan bernama Sumba Sustainable Solutions (3S); bersama Schneider Electric Energy Access Asia dan Crevisse Partners Co. Ltd. untuk Xurya. Dua startup lainnya yang mendapat pendanaan dari Indonesia 1 Fund adalah SolarKita dan Right People Renewable Energy (RPRE).

Sebelumnya disebutkan, dalam putaran fund ini, Nexus akan berinvestasi ke 10-15 startup. Ada 10 fokus area yang disasar, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage. BLUE menjadi startup pertama yang memperoleh investasi dari fund ini pada Oktober 2020.

Dalam keterangan resmi, Presiden Schneider Electric Energy Access Gilles Vermot Desroches menyampaikan rasa senangnya karena ikut dilibatkan dalam upaya mendukung Xurya mempercepat proses adopsi komersial energi surya lewat investasi yang mereka berikan. “Dengan berkolaborasi dengan New Energy Nexus dan Crevisse Partners dalam mendukung pertumbuhan startup melalui ko-investasi, kami juga turut berkontribusi dalam SDG7,” ucapnya, Senin (12/7).

CFO New Energy Nexus Christina Borsum menambahkan, kolaborasi dengan ko-invesor diharapkan dapat memantik sinyal ke investor lainnya bahwa energi terbarukan merupakan masa depan Indonesia. “Kami harap kami dapat menyalurkan lebih banyak lagi ke startup-startup energi terbarukan tahun ini, termasuk yang bergerak di bidang kendaraan listrik, pengelolaan energi, teknologi efisiensi energi, dan inovasi model bisnis.”

Ia melanjutkan, “Kami telah menyalurkan investasi ke 5 startup sejak akhir tahun lalu. Investasi yang kami salurkan melengkapi satu sama lain, setiap startup yang kami dukung melayani segmentasi pasar yang berbeda, sehingga secara kolektif, pertumbuhan mereka memancarkan peluang pasar yang masih berkembang di Indonesia.”

New Energy Nexus Indonesia telah mendukung lebih dari 45 startup di bidang energi terbarukan melalui program Inkubasi dan Akselerasi Smart Energi yang menitik beratkan pada: Renewable Energy, Smart Grid, Energy Efficiency, Energy Management, Customer Experience, E-Mobility, Business Model Innovation, IOT & Digitization, Energy Access, dan Energy Storage.

Sampai hari ini, setidaknya 11 startup energi terbarukan telah menerima pendanaan dalam bentuk investasi dan dana hibah.

Sebagai bagian dari New Energy Nexus Global, New Energy Nexus Indonesia membuka pintunya ke startup energi terbarukan di Indonesia sejak tahun 2018. Mereka membuat program inkubasi dan akselerasi memberikan pelatihan, mentoring, dan dukungan-dukungan bisnis lainnya untuk membantu startup dalam mempertajam serta memvalidasi rencana dan model bisnisnya.

Startup yang tergabung dalam program New Energy Nexus, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, berkesempatan untuk mengakses dua tipe pendanaan: dana hibah inkubasi dan pendanaan investasi melalui Indonesia 1 Fund. Pendaftaran ke program inkubasi dan akselerasi New Energy Nexus dibuka setiap saat bagi startup di bidang energi terbarukan di Indonesia.

Startup Pengembang Aplikasi Bukugaji Raih Pendanaan 69,5 Miliar Rupiah

Vara selaku pengembang SaaS untuk pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di UMKM hari ini (13/7) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai $4,8 juta atau setara 69,5 miliar Rupiah. Investasi diperoleh dari sejumlah pemodal ventura, meliputi Go-Ventures, RTP Global, Alpha JWC Ventures, Surge dari Sequoia Capital India, FEBE Ventures, dan Taurus Ventures.

Bukugaji adalah aplikasi awal yang mereka kembangkan untuk pasar Indonesia. Di dalamnya meliputi layanan digital untuk daftar kehadiran hingga sistem penggajian. Solusi ini dilatar belakangi proses pengelolaan personalia di kalangan UMKM yang sebagian besar masih manual. Perangkat lunak SDM umumnya juga berharga yang relatif mahal bagi UMKM dan juga memiliki kompleksitas yang tinggi.

Kesulitan yang muncul dari pengelolaan SDM yang sporadis dan analog ini tak jarang mempengaruhi karyawan yang umumnya tidak pernah memiliki akses untuk mendapatkan riwayat pekerjaan formal. Salah satu masalah yang sering muncul adalah sulitnya akses bagi karyawan ini mendapatkan layanan finansial dari lembaga keuangan tradisional seperti bank.

Startup ini didirikan oleh Vidush Mahansaria dan Abhinav Karale sejak November 2020. Mereka juga sempat mengikuti program akselerasi Surge kohort kelima. Selanjutnya dana yang diperoleh akan difokuskan untuk mengembangkan produk dan meningkatkan kapabilitas fitur yang dimiliki Bukugaji. Sejauh ini aplikasi tersebut diklaim sudah digunakan untuk mengelola sekitar 100 ribu staf.

Untuk berbagai skala bisnis, sejauh ini ada berbagai startup yang menggarap layanan SaaS untuk pengelolaan SDM. Di antaranya Pegaw.ai, Catapa, Synergo, KaryaOne, Mekari, dan lain sebagainya.

Masuknya Bukugaji menambah panjang pemain digital di ekosistem yang menggarap segmen UMKM. Sebelumnya cukup ramai kehadiran pengembang aplikasi pencatatan arus kas bagi pelaku bisnis kecil oleh startup seperti BukuKas, BukuWarung, dan beberapa pemain lokal lainnya.

Application Information Will Show Up Here