Metrik Startup Tahap Awal yang Dipertimbangkan Investor

Untuk mengakselerasi bisnis, founder startup tahap awal biasanya melakukan penggalangan dana ke investor, baik kalangan angel ataupun venture capital. Mempelajari pengalaman startup terdahulu, ada beberapa pendekatan yang biasa dilakukan agar sukses mengantongi dana investasi pre-seed atau seed funding. Pertama, mereka bisa “menjual” pengalaman atau visi founder disertai dengan potensi besaran pasar yang akan digarap lewat produk/layanan yang dikembangkan.

Kedua, ini pendekatan yang lebih terukur, yakni menyuguhkan capaian bisnis kepada investor. Tentu konteksnya adalah penerimaan pasar terhadap minimum viable product (MVP) yang telah diluncurkan; untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan sudah mencapai product-market fit. Di sini founder perlu menggunakan metrik yang tepat untuk menggambarkan situasi bisnis di fase early-adoption. Statistik tersebut bisa menjadi bekal bagi investor untuk melihat potensi startup di waktu mendatang saat disuntik modal untuk pertumbuhan.

DailySocial telah berbincang terhadap beberapa perwakilan venture capital untuk menanyakan metrik yang biasa mereka lihat ketika bertemu dengan startup tahap awal yang tengah mencari dana. Pertama, kami berbincang dengan Principal Indogen Capital Kevin Chandra. Ia mengatakan, bahwa metrik akan sangat bergantung pada model bisnis yang diadopsi oleh startup.

“Untuk B2B, di mana siklus penjualan cenderung bergerak jauh lebih lambat, kami cenderung melihat efisiensi penjualan berdasarkan channel di fase awal. Kemudian, untuk model bisnis yang memiliki elemen pendapatan berulang, salah satu metrik utama yang kami evaluasi adalah Net Monthly Recurring Revenue (Net MRR). Jadi tidak ada satu formula yang cocok untuk diterapkan ke semua,” ujarnya.

Net MRR adalah pendapat bersih bulanan yang didapatkan oleh startup. Perhitungannya didasarkan pada uang yang didapat kemudian dikurangi berbagai biaya-biaya yang menyertai. Misalnya di e-commerce, revenue ini baru dihitung dari total hasil penjualan barang dikurangi berbagai biaya seperti potongan untuk diskon atau pengembalian barang karena cacat.

Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi Kevin
Pincipal Indogen Capital Kevin Chandra / Dok. Pribadi

Kevin melanjutkan, spesifik untuk startup tahap awal Indogen selalu melihat dua metrik utama, yakni Vanity dan KPI. Metrik Vanity digunakan untuk membantu memahami posisi startup dalam satu lanskap. Contohnya untuk startup berbasis e-commerce biasanya dengan melihat GMV (Gross Merchandise Value), yakni total nilai penjualan seluruh barang dalam periode tertentu.

“Metrik berbasis KPI dinilai dari pengguna akhir yang mendapatkan value dari produk/layanan yang dijajakan atau dikenal dengan ‘aha moment’. Contohnya, 7 teman dalam 10 hari adalah pengukuran yang dipilih perusahaan seperti Facebook untuk memahami bahwa mereka memiliki tanda awal dari product-market fit. KPI tentu akan berkembang seiring pertumbuhan bisnis. Dan ini menjadi indikator utama (yang jelas) untuk memahami bisnis yang dilakukan pada waktu tertentu,” imbuh Kevin.

Dalam hipotesis investasinya, Indogen Capital sendiri cukup sector agnostic. Mereka berinvestasi di berbagai lanskap bisnis. Beberapa portofolionya meliputi Travelio (proptech), Carsome (car marketplace), Hijup (e-commerce), GoWork (coworking space), Wahyoo (new retail), Ekrut (job marketplace), dll.

Kami juga berbincang dengan Head of OCBC NISP Ventura Darryl Ratulangi, CVC yang baru diresmikan awal tahun ini biasanya mengukur calon portofolio potensial menggunakan tiga penilaian utama. Yakni didasarkan pada customer acquisition cost, customer lifetime value, dan customer cohort.

Customer acquisition cost dipakai untuk mengukur seberapa banyak (biaya) yang mereka keluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru, untuk mengukur (memastikan) tidak terlalu mahal dan diukur bersamaan dengan customer lifetime value,” ujarnya.

Customer lifetime value mengukur pendapatan yang diterima bisnis dari tiap pelanggannya. Jadi mengukur transaksi yang mereka lakukan secara berulang setelah pembelian pertamanya. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin baik bagi bisnis. Sementara customer cohort analysis merupakan metrik analisis yang digunakan untuk mempelajari perilaku pengguna dari waktu ke waktu dan memahami retensi pelanggan.

Kendati di bawah naungan perusahaan induk perbankan, OCBC NISP Ventura memiliki portofolio yang unik. Sejak debutnya, mereka telah berinvestasi di empat startup meliputi AwanTunai (fintech), Sirclo (e-commerce enabler), Dekoruma (e-commerce furnitur), dan Kiddo (marketplace aktivitas anak).

Proyeksi profitabilitas

Pada dasarnya statistik pertumbuhan awal juga menjadi variabel yang digunakan oleh investor untuk memperkirakan potensi ROI (Return of Investment), salah satunya dengan menerawang potensi profitabilitas dari model bisnis yang diaplikasikan. Hal tersebut juga diungkapkan Selina Koharjo selaku Investment Analyst Vertex Ventures. Karena setiap startup yang ia temui unik dan beroperasi di industri berbeda, mereka menggunakan dua metrik utama untuk melihat potensi pertumbuhan ke depan, yakni unit economy dan customer cohort analysis.

Unit economics digunakan untuk melihat pendapatan dan biaya yang terkait dengan satu unit produk atau layanan dan memproyeksikan profitabilitas sebuah startup,” kata Selina.

Kendati demikian, Selina juga mengatakan bahwa pihaknya memahami bahwa di fase awal sebagian besar bisnis akan mengeluarkan banyak biaya operasional — termasuk untuk akuisisi pengguna.

Namun menurutnya, unit economics adalah fondasi yang akan menopang sebuah startup saat mereka tumbuh dan berkembang. “Dengan menganalisis berbagai komponen biaya startup di industri serupa, kami dapat menilai efisiensi setiap startup dengan lebih baik,” imbuhnya.

Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi Selina
Investment Analyst Vertex Ventures Selina Koharjo / Dok. Pribadi

Lebih lanjut ia mencontohkan, analisis unit economics untuk startup direct-to-consumer dapat menyoroti area kekuatan atau peningkatan dalam direct costs, variable costs, outliers, dan fixed expenses. “Dalam industri startup, mungkin akan banyak tergoda mengandalkan asumsi pertumbuhan signifikan tanpa strategi monetisasi. Kenyataannya, terutama seperti yang disoroti selama pandemi ini, ketika unit ekonomi tidak diprioritaskan, kesuksesan startup akan diuji,” jelas Selina.

Sementara itu, untuk cohort analysis menurutnya diperlukan karena startup terus melakukan iterasi dan inovasi. Kelompok pelanggan terbaru idealnya akan meningkatkan retensi. Meskipun perusahaan mungkin tumbuh secara cepat, pertumbuhan ini mungkin tidak berkelanjutan jika bergantung pada pelanggan baru saja. Jadi, membandingkan cohort (kelompok pelanggan) dari setiap startup dapat menyoroti product-market fit.

“Selain itu, memahami unit economics dan cohort analysis akan memungkinkan kami memahami customer lifetime value […] Karena memperoleh pelanggan baru mungkin mahal, startup baru dapat tumbuh secara berkelanjutan jika customer lifetime value lebih besar daripada biaya akuisisi. ” ujarnya.

Vertex Ventures memiliki cakupan investasi di Asia Tenggara dan India, beberapa portofolionya di Indonesia meliputi HappyFresh (online grocery), RateS (social commerce), Aruna (aquatech), Gredu (edtech), Tanihub (agtech), Tjetak (printing marketplace), dan lain-lain.

Menemukan peluang kolaborasi

Di ekosistem startup Indonesia, juga terdapat kalangan investor yang berasal dari korporasi. Disebut Corporate Venture Capital, selain berinvestasi pada pertumbuhan startup mereka juga mencari peluang sinergi atau inovasi. Salah satu pemodal ventura korporasi yang cukup aktif di Indonesia adalah Central Capital Ventura (CCV) dari Bank Central Asia (BCA). Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Investment Analyst CCV Anthony Adiputra Lauw untuk mendiskusikan tentang metrik yang biasa mereka gunakan ketika mempertimbangkan untuk berinvestasi ke calon portofolionya.

Di CCV, Anthony dan tim selalu memeriksa semua peluang investasi secara holistik. “Sebagai lengan inovasi dan investasi BCA, mereka selalu ingin memosisikan dirinya sebagai investor strategis pertama dan utama. Jadi satu-satunya metrik terpenting yang kami fokuskan untuk semua fintech, fintech-enabler, atau embdedded-fintech startup, adalah nilai tambah strategis yang mereka hadirkan [terkait sinergi dengan BCA],” ujarnya.

Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi Anthony
Investment Analyst Central Capital Ventura Anthony Adiputra Lauw / Dok. Pribadi

Sinergi adalah bentuk mutualisme, artinya harus memberikan keuntungan bagi pihak yang terlibat. Demikian pula prinsip di CCV, mereka tidak hanya ingin mendapatkan nilai strategis dari inovasi yang dilahirkan startup, namun juga berharap bisa memberikan nilai lebih untuk perkembangan startup itu sendiri; misalnya dengan menghubungkan mereka dengan jaringan lembaga keuangan di grup BCA di seluruh Indonesia.

“Untuk itu, cakupan investasi CCV telah berkembang di luar fintech, karena kami memiliki tujuan untuk bersinergi dengan rangkaian industri yang lebih luas yang dapat berkolaborasi dengan pertumbuhan perusahaan kami. Saat mencari founder dengan solusi inovatif untuk bermitra dengan BCA dan ekosistemnya, tidak pernah ada metrik tunggal yang cocok diterapkan ke semua [jenis startup],” jelas Anthony.

Lebih lanjut ia mencontohkan, ketika CCV berinvestasi pada startup p2p lending, mereka mengidentifikasi saluran sinergi yang kuat antara mereka dan BCA. “Akseleran dan KlikACC [portofolio CCV] sama-sama berhasil menaklukkan segmen pasar yang mungkin belum dimiliki oleh BCA. Dengan demikian, kami dapat membina kerja sama yang mulus dan saling menguntungkan; bank mendapatkan eksposur yang lebih luas, sementara startup mendapatkan likuiditas dari BCA.”

Selain dua startup yang sudah disebutkan, CCV yang sudah berdiri sejak tahun 2017 tersebut telah berinvestasi ke pemain lain meliputi Wallex (fintech), Element (biometrik), Qoala (insurtech), Pomona (loyalty), Julo (fintech), dll.

Berinvestasi pada pre/post-traction

Seperti yang diungkap pada paragraf pembuka, kadang investor juga berinvestasi pada startup yang sama sekali belum menghasilkan traction. Salah satunya Genesia Ventures, menurut penjelasan Elsha E. Kwee selaku Investment Manager, untuk startup yang masih sangat awal atau baru beberapa bulan diluncurkan tidak banyak data yang bisa didapat atau dianalisis. Sering kali yang dilakukan adalah melihat beberapa cakupan faktor seperti kondisi pasar (market size, competition, customer pipeline, dll), model bisnis, dan founder.

Sementara untuk startup yang sudah memiliki beberapa traction, biasanya Elsha menggunakan metrik berbeda untuk setiap model bisnis. Tapi sebagian besar akan bermuara pada dua hal, yakni recurring revenue dan user engagement.

“Saya percaya bahwa pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberi solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna sehingga ia mau membayar. Sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan,” ujarnya.

Untuk revenue atau pendapatan, ia mengatakan akan sangat bergantung pada apakah layanan/produk adalah sesuatu yang harus memberikan nilai sejak awal atau apakah model bisnis tersebut harus mengumpulkan jumlah pengguna yang besar terlebih dulu sebelum memberikan nilai kepada pengguna. Misalnya online marketplace, sangat bergantung pada efek jaringan dan nilainya meningkat seiring penambahan jumlah pengguna, sehingga pendapatan di awal mungkin belum terlalu penting diperhitungkan.

Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi Elsha
Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee / Dok. Pribadi

Elsha juga memberikan contoh lain. Untuk startup menyediakan SaaS seperti sistem manajemen pembelajaran untuk sekolah, penting untuk mulai menghasilkan pendapatan dari awal daripada membiarkan sekolah menggunakan platform secara gratis. Karena jika sudah diberikan secara gratis, bisanya sulit untuk mengonversinya menjadi pengguna berbayar. Untuk tipe layanan SaaS, memiliki banyak pengguna tanpa pendapatan bukan pertanda baik untuk keberlangsungan bisnis.

“Kemudian terkait keterlibatan pengguna, itu bergantung apakah perusahaan adalah marketplace, SaaS, B2C, B2B, atau lainnya. Contohnya, saya mengharapkan keterlibatan pengguna lebih tinggi (berdasar DAU dan/atau MAU) dari B2C seperti aplikasi sosial atau komunitas ketimbang SaaS untuk layanan perpajakan,” jelas Elsha.

Genesia Ventures berinvestasi pada startup tahap awal di Asia, kendati sector-agnostic mereka memiliki kecenderungan pada startup B2B dan SaaS. Beberapa portofolionya di Indonesia termasuk Bobobox (hospitality), Qoala (insurtech), Finantier (fintech), Logisly (logistic), dan lain-lain.

Partner SeedPlus Tiang Lim Foo turut memberikan pendapatnya. Memang sulit untuk mengeneralisasi metrik untuk semua startup. Namun ia selalu memiliki beberapa variabel dasar untuk analisis, meliputi jumlah pelanggan, tingkat keterlibatan pelanggan dengan produk, dan nilai pendapatan. Hal tersebut, sambungnya, dipengaruhi oleh pengalamannya berinvestasi sebagian besar di startup B2B untuk produk SaaS.

“Jumlah pelanggan memberikan saya indikasi tentang ukuran audiens yang mereka miliki saat ini dan seberapa cepat startup membangun ukuran audiens tersebut. Sementara tingkat keterlibatan memberikan saya gambaran tentang seberapa berguna produk yang dihasilkan, dan secara alami indikator nilai terbaik adalah berapa banyak pelanggan yang membayar layanan tersebut, dan seberapa besar nilainya,” ujar Tiang.

SeedPlus adalah perusahaan modal ventura bermarkas di Singapura. Mereka sudah memiliki tiga portofolio di Indonesia, meliputi Travelstop (SaaS), Qoala (insurtech), dan Logisly (logistic).

Segera Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A, Rata Fokuskan Ekspansi Domestik

Sebagai satu dari sedikit pemain teledentistry di Indonesia, Rata kian serius untuk meraih pasar yang lebih luas. Keinginan tersebut semakin terlihat seiring putaran pendanaan pra-seri A yang tak lama lagi mereka kantongi sebagai bekal pengembangan bisnis.

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata. Teknologi Rata memungkinkan aligner mereka menggerakkan gigi hingga 0,25mm di setiap nomor. Sebelum mengirim aligner, tim Rata akan meminta pasien mengisi kuesioner untuk mengetahui kondisi gigi pasien. Setelah memperoleh data, Rata akan membuat simulasi pergerakan gigi menggunakan sistem AI, dan akhirnya mencetak clear aligner yang akan dikirim ke pasien.

Rata mengklaim, selain faktor biaya, penggunaan aligner untuk memperbaiki bentuk gigi dianggap lebih praktis dalam perawatan dan lebih nyaman secara penampilan dibanding behel.

Co-Founder & CMO Rata Deviana Maria menyebut, pangsa pasar untuk clear aligner di seluruh Asia Tenggara mencapai $47,78 juta (sekitar Rp676 miliar) pada 2018 dan diprediksi akan terus meningkat. Deviana menilai porsi Indonesia dalam pangsa pasar tersebut masih begitu kecil. Namun Deviana sadar keadaan tersebut sekaligus menandakan ada ruang kesempatan yang cukup besar untuk mereka eksplorasi.

Keinginan Rata dituangkan ke dalam ekspansi bisnis ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Deviana menyebut ekspansi pasar di dalam negeri ini menjadi fokus mereka dalam satu tahun ke depan. “Kita akan melakukan ekspansi secara digital serta offline, dan Rata akan fokus di nasional terlebih dahulu pada tahun 2021,” imbuh Deviana.

Segera amankan suntikan modal baru

Rata memperoleh pendanaan awal dengan nominal tak disebutkan pada Agustus 2019. Hanya berselang setahun lebih Deviana Maria (CMO), Edward Makmur (CEO), Danny Limanto (CSO), Jason Wahono (CFO) segera mengamankan kepercayaan investor untuk menyuntikkan modal melalui putaran pendanaan pra-seri A. Rata menolak menyebut nominal pendanaan dan informasi detail lainnya. Namun bisa dipastikan di antara partisipan terdapat sejumlah investor regional.

“Terkait investasi pra-Seri A, kita masih belum bisa umumkan nama-nama investornya. Akan tetapi Alpha JWC Ventures ikut di putaran ini dan bekerja sama dengan investor regional. Untuk detail akan kami infokan nantinya,” jelas Deviana.

Pendanaan tersebut memungkinkan Rata mengebut dan memperbesar cakupan bisnisnya ke level nasional. Di samping itu mereka juga akan memanfaatkan dana segar tadi untuk mengembangkan inovasi terbaru.

Salah satunya adalah aplikasi mobile. Rata yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui situs web, kini sudah bisa dijangkau dengan aplikasi. Namun Deviana menambahkan aplikasi Rata belum bisa diakses terbuka ke semua orang. “Sifatnya masih undangan untuk para konsumen kami.”

Deviana percaya pendanaan baru yang segera mereka kantongi akan mendorong pertumbuhan bisnis lebih cepat. Mengklaim sebagai yang pertama menciptakan clear aligner secara in-house, Deviana mengatakan inovasi-inovasi mereka berikutnya akan berkutat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lebih dari itu, masa pandemi juga membawa berkah tersendiri bagi teledentistry ini. Sebagaimana diketahui luas, wabah Covid-19 memaksa orang-orang mencoba layanan digital untuk menghindari kemungkinan terpapar virus. Tak terkecuali bagi Rata. Deviana mengatakan layanan konsultasi teledentistry meningkat signifikan.

Lalu saat disinggung mengenai peta kompetisi di mana mulai bermunculan layanan teledentistry serupa, Deviana mengaku tak gentar. Menurutnya apa yang ditawarkan oleh pemain-pemain tersebut masih sebatas teledentistry secara umum saja.

“Rata fokus untuk aligner treatment. Diharapkan ke depannya Indonesia akan lebih melek terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk persaingan, kami rasa model bisnis kami cukup berbeda,” pungkas Deviana.

Access Ventures Shares the Big Picture After Closing Its Second Fund

Hong Kong-based venture capital firm Access Ventures has completed a second fundraising campaign in early December worth of $30 million. Next year they plan to continue fundraising targeting around $50 million.

Charles Rim, General & Founding Partner of Access Ventures, told DailySocial, the company expects to launch some additional plans, especially after securing funding from Korea Venture Investment Corp. As the situation may improve and make it possible, it is expected that the plan will be finalized by the next quarter.

“We have invested in two startups in Indonesia this year (one of those is Andalin), and we’re so close to finalizing the ongoing fundraising process,” said Charles.

Aside from Vietnam, Indonesia is one of Southeast Asia’s countries Access Ventures focuses on. It is a venture capital company focusing on early-stage startup funding. Apart from Andalin, they also invested in Akseleran, Kata.ai, RevivalTV, and Volantis.

Pandemic and Indonesia’s startup ecosystem

About the pandemic effect on the growth of Access Ventures’ startup portfolio business, Charles said, many startups are having problems running their business, not only those listed in the Access Ventures portfolio. On the other hand, he sees that this pandemic has created an acceleration in digitization which followed by good investment opportunities.

“Indeed, our portfolios will also benefit from this situation, and we have seen that. Investments in online education, esports, digital logistics, and lending are just a few examples,” said Charles.

As the investor’s most preferred Southeast Asia country, Indonesia has its own advantages. From the investor’s perspective, Charles said the government has put bigger efforts and support by providing clarity of regulations to support the ecosystem. This has certainly had delivered quite a few bigger startups.

“However, the negative fact is that it has created competition and a ring for digital talent, this will result in the lack of talent that is necessary for most startups. It would be wise for the government and the education sector to promote studies in engineering and science,” Charles said.

 


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana Access Ventures di Indonesia Setelah Rampungkan Pendanaan Kedua

Perusahaan modal ventura asal Hong Kong Access Ventures telah merampungkan penggalangan dana kedua awal bulan Desember lalu senilai $30 juta. Tahun depan mereka masih memiliki rencana untuk melanjutkan kegiatan penggalangan dana dengan target bisa mengantongi sekitar $50 juta.

Kepada DailySocial, General & Founding Partner Access Ventures Charles Rim mengungkapkan, ada beberapa rencana tambahan yang ingin dilancarkan perusahaan, terutama setelah mendapatkan pendanaan dari Korea Venture Investment Corp. Jika kondisi membaik dan memungkinkan, diharapkan rencana tersebut bisa segera final di kuartal mendatang.

“Kami telah memberikan investasi kepada dua startup di Indonesia tahun ini (salah satunya Andalin), dan dalam waktu dekat kami akan merampungkan proses penggalangan dana yang saat ini masih dieksekusi,” kata Charles.

Selain Vietnam, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang menjadi fokus dari Access Ventures. Mereka merupakan perusahaan modal ventura yang selama ini fokus kepada pendanaan startup tahap awal. Selain Andalin, mereka juga berinvestasi ke Akseleran, Kata.ai, RevivalTV, dan Volantis.

Pandemi dan ekosistem startup Indonesia

Disinggung seberapa besar pandemi mempengaruhi pertumbuhan bisnis portofolio startup dari Access Ventures, Charles menyebutkan, banyak startup yang mengalami kendala menjalankan bisnis, bukan hanya mereka yang masuk dalam portofolio Access Ventures. Namun di sisi lain dirinya melihat hal tersebut telah menciptakan percepatan digitalisasi yang akan menciptakan peluang investasi yang baik.

“Tentunya perusahaan yang masuk dalam portofolio kami akan mendapatkan manfaat dari kondisi ini, dan kami telah melihat hal tersebut. Investasi dalam pendidikan online, esports, logistik digital, dan peminjaman adalah beberapa contohnya,” kata Charles.

Sebagai negara yang menjadi pilihan kebanyakan investor asing di Asia Tenggara, Indonesia memiliki keuntungan tersendiri. Menurut Charles, dari sisi investor upaya dan dukungan dari pemerintah juga makin besar dengan menyediakan kejelasan peraturan untuk mendukung ekosistem. Hal tersebut tentunya telah melahirkan beberapa startup yang cukup besar jumlahnya.

“Tetapi fakta negatifnya adalah bahwa hal itu telah menciptakan persaingan dan perebutan talenta digital, hal ini akan berimbas kepada masih kurangnya talenta tersebut yang dibutuhkan oleh kebanyakan startup. Akan menjadi bijaksana bagi pemerintah dan sektor pendidikan untuk mempromosikan studi di bidang teknik dan sains,” kata Charles.

Edtech Startup Pendidikan.id to Reach Profitability, Preparing for Series A Round

Edtech startup Pendidikan.id, known for its product Kipin (Smart Kiosks), revealed that it is in the process of raising Series A to launch the company’s expansion plan to schools in rural areas and 3T which have difficulty getting internet access. With the B2B2C model and targeting schools as users, it is claimed that company finances have entered the profitability stage.

Pendidikan.id’s CEO, Santoso Suratso explained to DailySocial that the company started Kipin to answer the needs of students in remote areas who have had difficulty getting internet access.

The position of the company is slightly different from other edtech players, which mostly create web-based solutions or applications, Kipin is in the form of a kiosk resembling an ATM in which there are materials that can be accessed by students without needing an internet network.

“Kipin ATM answers and provides solutions to all of this, in terms of schools, and the village hall is very happy because it really helps them,” he said.

He continued, among the investors at Pendidikan.id there is Garden Impact, a Singapore-based investor focused on investing in commercially sustainable businesses. They entered Pendidikan.id in 2016 for seed investment, then provide additional funding, to be precise in 2018 and 2019.

The funds obtained are used for research and product development. Another investor, there is a local property company The Paradise Group (Indonesian Paradise Property). In the list of Garden Impact portfolio, there is also an edtech company that focuses on finance, DanaDidik.

Sumber: Kipin (Kios Pintar)
Source: Kipin (Kios Pintar)

Kipin updates

The company places Kipin as a learning support infrastructure in the PJJ (Distance Learning) era so that schools have a learning method where students remain in class, even though they are physically absent at school to access the content provided by Kipin. There are more than 2500 school textbooks, videos, practice questions on UNBK-based tryouts, up to 350 comics.

All of this content is already in the machine, so the operation of this machine does not use the internet, only electricity. So, both students and teachers can access and download all of this content to their devices without credit or quota because there is already an ‘eduSPOT’ wifi network on the machine.

Every month Kipin ATM will be updated automatically, so users will always get the latest subject matter. Additional technology contained in ATMs includes backup power, including backup batteries. If the electricity connection is suddenly cut off, then Kipin ATM can still last several hours.

“Kipin is free for all students because the school is buying it (B2B2C), so children who are less fortunate can still use it. Even if the device does not have a SIM card, it can still run because there is eduSPOT technology at Kipin. One kiosk can serve one school with up to 500 students. ”

Santoso continued, “We created this innovation ourselves based on Pak Jokowi’s idea. These are all the results of annual research and development, from seven years ago. ”

In addition to Kipin ATM, the company also has other products, namely Kipin PTO, a learning evaluation system tool and a paperless exam without internet that is in accordance with the Minimum Competency Assessment (AKM). This AI-powered device helps teachers during PJJ because all exam questions are solved by cellphones, tablets, or laptops and don’t need to be connected to the internet.

Equipped with a question upload system with Ms. Word and Ms. Excel, exam results will appear shortly after completion, a time management system is available for starting and ending exams, and supports essay questions with weights determined by the teacher.

“With the AI ​​feature, teachers can save time, have auto-grading, and so on. It’s all digital-based, paperless, therefore, it’s cost-effective. ”

Santoso also said, in this PJJ era, Kipin adoption remains high because teachers who have used Kipin feel happy because there are no differences and already understand how work works.

Currently, the products made by Pendidikan.id have been used by schools in rural areas, including Jambi, Banten, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Lombok, North Kalimantan, East Kalimantan, Gorontalo, Palu, Kupang, as well as in Jabotabek.

Pendidikan.id is said to have a total team of 100 people. The engineering team at the company is divided into three divisions, namely for educational content development, hardware and design development, and software, web, and applications.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Edtech Pendidikan.id Klaim Tembus Profitabilitas, Persiapkan Putaran Seri A

Startup edtech Pendidikan.id, dikenal dengan produknya Kipin (Kios Pintar), mengungkapkan sedang memproses penggalangan seri A untuk melancarkan rencana ekspansi perusahaan ke sekolah di daerah rural dan 3T yang sulit mendapat akses internet. Dengan model B2B2C dan menargetkan sekolah sebagai pengguna, diklaim keuangan perusahaan sudah masuk ke tahap profitabilitas.

Kepada DailySocial, CEO Pendidikan.id Santoso Suratso menerangkan perusahaan merintis Kipin untuk menjawab kebutuhan pelajar di daerah pelosok yang selama ini sulit mendapatkan akses internet.

Posisi perusahaan sedikit berbeda dibandingkan pemain edtech lainnya, kebanyakan membuat solusi berbasis situs atau aplikasi, Kipin berbentuk kios menyerupai ATM yang di dalamnya terdapat materi-materi yang dapat diakses pelajar tanpa memerlukan jaringan internet.

“Kipin ATM menjawab dan memberikan solusi ke semua ini, jadi untuk sekolah, balai desa sangat senang karena sangat menolong mereka,” ujarnya.

Dia melanjutkan, dalam jajaran investor di Pendidikan.id terdapat Garden Impact, pemodal dari Singapura yang fokus pada investasi di bisnis yang berkelanjutan secara komersial. Mereka masuk ke Pendidikan.id pada 2016 untuk investasi tahap awal, lalu melakukan penambahan sebanyak dua kali, tepatnya 2018 dan 2019.

Dana yang didapat dimanfaatkan untuk riset dan pengembangan produk. Investor lainnya, terdapat perusahaan properti lokal The Paradise Group (Indonesian Paradise Property). Dalam portofolio Garden Impact, juga terdapat perusahaan edtech yang fokus pada di finansial yakni DanaDidik.

Sumber: Kipin (Kios Pintar)
Sumber: Kipin (Kios Pintar)

Perkembangan Kipin

Perusahaan menempatkan Kipin sebagai infrastruktur pendukung pembelajaran di era PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) agar sekolah memiliki metode belajar di mana siswa tetap hadir di kelas, meskipun secara fisik tidak hadir di sekolah untuk mengakses konten-konten yang disediakan Kipin. Ada lebih dari 2500 buku pelajaran sekolah, video, latihan soal tryout berbasis UNBK, hingga 350 komik.

Semua konten ini sudah ada di dalam mesin, sehingga operasional mesin ini tidak menggunakan internet, hanya listrik. Sehingga, baik siswa maupun guru dapat mengakses dan mengunduh seluruh konten ini ke perangkat mereka tanpa pulsa atau kuota karena sudah terdapat jaringan wifi ‘eduSPOT’ di dalam mesin.

Tiap bulannya Kipin ATM akan ter-update secara otomatis, sehingga pengguna akan selalu mendapat materi pelajaran terbaru. Teknologi tambahan yang terdapat di ATM terdapat backup power, termasuk baterai cadangan. Apabila koneksi listrik tiba-tiba terputus, maka Kipin ATM masih mampu bertahan beberapa jam.

“Kipin gratis untuk semua siswa karena sekolahnya yang beli (B2B2C), jadi untuk anak yang kurang mampu tetap bisa pakai. Bahkan bila gawainya tidak ada SIM card juga tetap bisa jalan karena ada teknologi eduSPOT di Kipin. Satu kios ini bisa melayani satu sekolah sampai dengan 500 siswa.”

Santoso melanjutkan, “Inovasi ini kami ciptakan sendiri berdasarkan ide Pak Jokowi. Ini semua hasil riset dan development tahunan, sudah dari tujuh tahun lalu.”

Selain Kipin ATM, perusahaan juga memiliki produk lainnya yakni Kipin PTO, perangkat sistem evaluasi belajar dan ujian paperless tanpa internet yang sesuai dengan Asesemen Kompetensi Minimum (AKM). Perangkat bertenaga AI ini membantu guru saat PJJ karena seluruh soal ujian diselesaikan dengan HP, tablet, atau laptop dan tidak perlu terkoneksi internet.

Dilengkapi dengan sistem upload soal dengan Ms.Word dan Ms.Excel, hasil ujian akan muncul sesaat setelah selesai, tersedia sistem manajemen waktu untuk memulai dan mengakhiri ujian, dan mendukung soal esai dengan bobot ditentukan oleh guru.

“Dengan fitur AI, guru bisa hemat waktu, ada auto grading, dan lain-lain. Semua ini berbasis digital, tanpa kertas, sehingga hemat biaya.”

Santoso bahkan mengklaim, di era PJJ seperti ini adopsi Kipin tetap tinggi karena guru-guru yang telah menggunakan Kipin merasa senang karena tidak perbedaan dan sudah paham dengan cara kerja kerja.

Saat ini produk yang dibuat Pendidikan.id telah digunakan oleh sekolah-sekolah di daerah rural seperti di Jambi, Banten, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surabaya, Lombok, Kalimantan Utara, Kaltim, Gorontalo, Palu, Kupang, juga di Jabotabek.

Total tim Pendidikan.id disebutkan mencapai 100 orang. Tim engineer di perusahaan terbagi menjadi tiga divisi, yakni untuk pengembangan konten pendidikan, pengembangan hardware dan desain, dan software, web, dan aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Zi.Care Fokus Kembangkan Solusi Digitalisasi Rumah Sakit

Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong banyak sektor bergerak ke arah digital, termasuk di dunia kesehatan. Dengan latar belakang lebih dari sepuluh tahun di beberapa rumah sakit ternama, Founder dan CEO Zi.Care Indonesia Jessy Abdurrahman melihat sebuah fenomena, dengan kemampuan dokter yang mumpuni serta teknologi yang tak kalah canggih, mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih akses kesehatan di luar negeri?

Hal ini mendorong ia untuk menemukan pain points dalam sistem operasional rumah sakit di Indonesia lalu mengembangkan solusi digital untuk mengatasi masalah tersebut.

Dibangun pada tahun 2017 bersama rekannya Sanjaya I Mayluddin, Zi.Care menawarkan solusi end-to-end untuk digitalisasi rumah sakit. Sebuah platform Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan yang sepenuhnya secara komprehensif menangani seluruh siklus dalam proses dari manajemen sumber daya hingga klaim asuransi.

Solusi yang ditawarkan

Saat ini, Zi.Care membagi bisnisnya dalam tiga macam konsep, yaitu B2B untuk menyediakan dan mengembangkan platform SaaS untuk fasilitas kesehatan; B2C untuk merevolusi utilitas aplikasi seluler perawatan kesehatan dan memasukkan rekam medis elektronik pribadi; serta B2G untuk menyelaraskan dan mendukung regulator dalam menetapkan standar ekosistem perawatan kesehatan digital.

Jodi Susanto, Co-Founder dan Executive Director Zi.Care Indonesia menyampaikan, “Solusi digital yang ingin kami tawarkan adalah end-to-end business process meliputi dokter, pasien, manajemen rumah sakit, perawat, back and front office, hingga purchasing dan procurement. Namun saat ini, kami fokus mengedepankan solusi EMR (Electronic Medical Record).”

Dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS mereka dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, pihaknya akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan pada rumah sakit berikut pemeliharaannya. Saat ini, perusahaan mengaku telah melayani 76 Rumah Sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.

Tekait layanan SaaS yang ditawarkan, Jodi turut menambahkan, “Zi.Care dibangun dengan kompleksitas yang lengkap, namun dalam penerapannya, sifatnya initialization, berdasarkan permintaan.”

Selain fokus pada beberapa fitur unggulan di atas, Zi.Care juga tengah mengembangkan solusi B2C yang disebut health passport, yaitu catatan medis elektronik untuk individual berbasis cloud yang terintegrasi sepenuhnya dengan stakeholder yang berkepentingan. Namun, perusahaan mengaku masih dalam perbincangan dengan beberapa stakeholder mengenai regulasi.

“Kita sudah berkomunikasi intensif dengan tim dari otoritas, seperti KemKes, Mendagri, dan lainnya. Karena dalam penggunaannya sendiri, terdapat juga integrasi antar kementrian dan butuh NIK. Namun, secara produk sudah jadi dan siap di-launching bersamaan dengan distribusi vaksin,” tambah Jodi.

Selain menawarkan solusi dalam hal sistem, Zi.Care juga memiliki modul yang memudahkan pasien BPJS untuk berobat di rumah sakit melalui fitur dana talangan BPJS. Saat ini telah bermintra dengan bank BNI, Mandiri, dan Mandiri Syariah, untuk rumah sakit yang belum bankable, kita juga sudah kerja sama dengan alami dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut.

“Kami menyebut ekosistem ini cloud hospital, di mana setiap layanan kesehatan bisa terjadi di bawah payung rumah sakit. Dengan konsep ini, setiap rumah sakit bisa menjangkau pasien di mana saja. Hal ini otomatis akan meningkatkan daya saing rumah sakit dengan solusi healthtech lainnya,” ujar Jodi.

Dalam perjalanan bisnisnya, Zi.Care telah bekerja sama dengan beberapa pihak terkait inklusi kesehatan. Pada tahun 2019, Zi.Care bersama lima startup kesehatan dan Kemenkes telah meneken MoU yang menyebut bahwa perusahaan akan mendukung aspek pengembangan teknologi dari platform SehatPedia. Aplikasi ini memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter-dokter beragam spesialisasi dari 33 rumah sakit vertikal Kemenkes.

Potensi pasar dan target

Bulan Juni 2020, Zi.Care akhirnya meluncurkan versi beta platformnya. Dalam aplikasi ini, ada beberapa fitur utama seperti Reservasi Online, Telekonsultasi, serta EMR. Perusahaan mengklaim telah mendapatkan 500 pengguna hingga saat ini.

Terkait pendanaan, Zi.Care berhasil meraih seed round dari Lima Ventura, sebuah venture capital milik Garuda Food senilai $600 ribu di tahun 2019. Perusahaan mengklaim valuasi saat itu berada di angka $2,5 juta. Saat ini, perusahaan tengah dalam proses penyelesaian putaran pendanaan seri A senilai $1,5 juta dari venture capital asal Singapura yang fokus pada healthech. Perusahaan juga mengungkap adanya beberapa potensi partisipasi dari grup farmasi lokal. Harapannya adalah untuk bisa close di akhir tahun 2020 ini.

Pada dasarnya, semua healthtech menikmati upside effect dari pandemi, namun ada yang ternyata nasibnya tidak begitu baik, yaitu rumah sakit dan klinik. Ketika pandemi, orang-orang sebisa mungkin untuk menghindari datang langsung ke rumah sakit, di sini Zi.Care ingin lebih dulu membantu pihak rumah sakit dalam melancarkan program internal sebelum akhirnya melakukan kesepakatan eksternal.

“Dalam artian, Rumah Sakit harus lebih dulu menerapkan digitalisasi sebelum bisa mencanangkan konektivitas dan integrasi dengan aplikasi,” tutup Jodi.

Application Information Will Show Up Here

Gambar header: Depositphotos.com

Cooklab Jajakan Bahan Makanan Siap Masak Lewat Aplikasi Digital

Meskipun pertumbuhan plaform penyedia bahan makanan “ready to cook” sempat mengalami penurunan kuantitas selama beberapa tahun terakhir, namun tidak menyurutkan minat penggiat startup untuk menyediakan layanan serupa.

Nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019. Kini adalah startup baru yang coba bermain di sana, namanya adalah Cooklab.

Kepada Dailysocial, Kartika Baswara (co-founder) menerangkan, platform Cooklab yang didirikannya bersama rekannya, Clarence Eldy, memiliki model bisnis yang terletak pada penjualan paket masak melalui kanal e-commerce dan aplikasi. Paket masak yang dijual sudah termasuk bahan sesuai takaran, menu card, dan juga video resep. Ke depannya, mereka ingin mengeksplorasi kesempatan bekerja sama dengan penyedia bahan masak lokal, untuk membuat menu kolaborasi.

“Saya dan partner sudah memulai bisnis di bidang fresh product sejak Oktober 2019. Pada saat itu, kami menyuplai sayur dan buah ke restoran dan kafe di Bali. Semua sourcing-nya kami dapatkan dari petani lokal, dan sampai akhirnya bulan Maret 2020, kami berhasil bekerja sama dengan lebih dari 10 restoran dan 150 petani sebagai mitra,” kata Kartika.

Pandemi dan dampaknya untuk bisnis

Saat pandemi, Cooklab kemudian mulai melancarkan aksi strategis dengan melakukan pivot. Menyadari bahwa tidak bisa meneruskan menyuplai ke restoran seperti biasanya akibat terdampak efek pandemi, mereka kemudian melihat tren masak di rumah yang cukup meningkat selama masa karantina mandiri.

“Kami berpikir bahwa akan sangat memudahkan ya, kalau orang mau masak tapi semua kebutuhan sudah menjadi satu paket. Karena sudah sesuai takaran, jadi tidak ada yang tersisa. Dari sana, kami memulai untuk membuka cabang di Surabaya pada bulan Agustus, dan ekspansi ke Jakarta pada bulan Oktober ini. Cooklab sendiri memiliki kantor pusat di Jakarta,” kata Kartika.

Langkah tersebut ternyata memberikan hasil yang positif. Ia mengklaim saat ini mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat di Surabaya. Salah satu alasannya adalah, karena belum banyak pemain (startup digital F&B) masuk ke pasar Surabaya. Sehingga masyarakat di sana tertarik untuk mencoba.

“Menariknya pada saat itu, DM Instagram kami lumayan banyak dipenuhi oleh orang Jakarta yang juga ingin mencoba. Karena hal tersebut, kami memutuskan untuk buka cabang di Jakarta lebih awal dari rencana semula yaitu bulan Januari 2021,” kata Kartika.

Untuk pelanggan di Surabaya, terdapat sekitar 85 pengguna yang sudah mencoba produk Cooklab untuk 2 bulan terakhir. Sementara untuk untuk di Jakarta, karena belum diluncurkan, masih seputar teman dan keluarga saja pelanggannya. Setiap pengguna Cooklab mencatat, biasanya berjumlah antara 2-3 pesanan. Kisarannya sekitar 220 paket masak yang sudah terjual di Surabaya.

Rencana penggalangan dana

Tim Cooklab
Tim Cooklab

Disinggung apa yang membedakan Cooklab dengan pemain serupa lainnya, Kartika menegaskan, Cooklab menyediakan paket masak yang sudah sesuai takaran sehingga membuat penggunanya bisa masak tanpa ada waste. Cooklab juga memiliki video masak yang didemokan langsung oleh juru masak profesional.

Saat ini mereka masih berupaya fokus kepada “survival mode” atau mengakali agar bisnis bisa bertahan. Selain menyukseskan ekspansi, target selanjutnya adalah memulai kegiatan penggalangan dana di pertengahan bulan November 2020 mendatang.

“Pasti kami merasakan lebih banyak orang yang berhati-hati dalam berinvestasi, dan itu wajar. Namun, kami tetap optimis untuk bisa menutup fundraising di akhir Januari 2021 sebagai seed round kami,” kata Kartika.

Application Information Will Show Up Here

Capaian Positif Saat Pandemi Dorong Social Bella Ekspansi ke Vietnam

Pandemi bukan hanya memberikan dampak kepada pertumbuhan bisnis Social Bella, namun juga telah menciptakan behaviour baru di kalangan masyarakat, khususnya beauty enthusiast di Indonesia. Kepada DailySocial Co-Founder & President Social Bella Christopher Madiam menyebutkan, industri kecantikan dan skincare menjadi salah satu yang memiliki ketahanan cukup baik selama pandemi beberapa bulan terakhir.

“Kami juga melihat adanya pergeseran pola perilaku konsumen dari offline ke online yang cukup signifikan. Hal tersebut terlihat dari adanya peningkatan tren berbelanja kebutuhan produk kecantikan dan perawatan diri secara online,” kata Christopher.

Tercatat produk perawatan diri lebih mendominasi saat ini, karena rata-rata konsumen termotivasi untuk memanfaatkan momen beraktivitas di rumah untuk merawat diri. Disinggung tentang berapa besar market share dari Sociolla saat ini, Christopher enggan untuk menyebutkan lebih jauh.

Namun secara garis besar selama periode pandemi mulai awal Maret sampai dengan September, terdapat sejumlah peningkatan organic traffic secara signifikan terhadap platform selama masa pandemi dan adaptasi baru. Selain itu, terdapat juga peningkatan hampir 50% dalam ukuran keranjang belanja untuk Sociolla selama periode Covid-19 dibandingkan dengan sebelumnya.

“Dengan ekosistem Social Bella yang terintegrasi, didukung oleh teknologi serta pemahaman yang mendalam tentang konsumen di Indonesia, kami mampu melayani konsumen dengan relevan dan tetap kompetitif,” kata Christopher.

Sejak didirikan pada tahun 2015, Sociolla kini memiliki ribuan pilihan produk seperti make-up, skincare, hair care, wewangian, dan alat kecantikan dari ratusan brand terkemuka yang melayani para beauty enthusiast di seluruh Indonesia. Selain platform e-commerce, Sociolla juga memiliki 8 toko offline dengan konsep OmniChannel dan memiliki beberapa unit bisnis yang diperkirakan akan melayani kebutuhan sekitar 30 juta pengguna pada 2020.

“Secara keseluruhan, kami melihat industri kecantikan tetap menyimpan potensi yang menjanjikan. Lewat dukungan teknologi, kami berharap industri ini dapat terus bertumbuh dengan lebih baik,” kata Christopher.

Berkembangnya konsep bisnis direct-to-consumer melalui kanal digital sebenarnya juga membuka kesempatan bagi produsen produk kecantikan untuk bermanuver lebih. Di Indonesia, tren tersebut mulai terlihat, banyak brand produk perawatan “indie” bermunculan, beberapa di antaranya  BaseCallista, dan Neuffa.

Ekspansi ke Vietnam

Konsisten dengan rencana perusahaan usai mengantongi pendanaan senilai $58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) pada bulan Juli lalu, perusahaan mengumumkan ekspansinya ke Vietnam. Ekspansi ke Vietnam ditandai dengan hadirnya platform e-commerce kecantikan dan perawatan pribadi Sociolla di negara tersebut.

Fokus perusahaan ke depannya adalah, berupaya untuk memperkenalkan Sociolla kepada masyarakat Vietnam dan bagaimana mengembangkan bisnis dengan menyediakan produk-produk kecantikan dan perawatan diri berkualitas dan terstandardisasi.

“Kami sangat senang dapat memperluas kehadiran Social Bella di luar Indonesia. Sebagai salah satu pasar kecantikan dan perawatan diri dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara ditambah populasi masyarakat muda yang melek digital, Vietnam memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia. Oleh karena itu, kami yakin Vietnam adalah negara yang tepat untuk rencana ekspansi internasional pertama kami,” kata Christopher.

Ekspansi ini diklaim telah dipersiapkan dengan matang, termasuk dalam pemahaman perilaku konsumen lokal di Vietnam. Dari hasil analisa internal terhadap pasar-pasar potensial untuk bidang kecantikan dan perawatan diri, Vietnam adalah salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat untuk kecantikan dan perawatan pribadi di Asia Tenggara.

“Setelah ekspansi yang dilakukan ke Vietnam di tahun ini, kami fokus untuk meningkatkan kemampuan teknologi kami untuk lebih memahami pelanggan kami, dan terus berinovasi untuk memberikan yang terbaik bagi para pelanggan dan konsumen kami,” kata Christopher.

Application Information Will Show Up Here

Indonesian Startup Funding in Q2 2020, 32 Reported Transactions , Dominated by Early-Stages

In a general note, the Covid-19 pandemic has had a serious impact on the world’s economy, both on a micro and macro scale. Various business sectors have also been affected, including those involved in the digital startup ecosystem.

The current condition has formed a lot of hypothesis. Some observers said that this year it is projected to be quite difficult for startup founders, especially those who are currently fundraising. It turns out that the statistics are still in the favor of the founders, at least based on the data for the first and second quarters of this year.

During the first quarter of 2020 (Q1 2020) we noted, at least 20 startups were announced and/or confirmed to the public. We conclude this number as relatively normal compared to similar periods in 2019. Based on the 2019 Startup Report, there were 27 transactions announced to the public in Q1 2019. The sequence trend is still the same, dominated by the early stage and Series A.

The early hypothesis said that this agreement is a result that was developed from the previous year, therefore, it has yet become a benchmark for a complete picture of the investment climate in 2020.

Tight investment scene

During the second quarter of 2020 (Q2 2020 in April-June) this year, we recorded that there were 32 startup funding transactions announced or confirmed to the public. This acquisition is higher than in the same period last year, which was 24 transactions.

Some funding is the follow-on/closing of a round that has started from a previous time period (marked *). There is also a new round with more involvement in the future (marked **).

The following is a complete list of funding, sorted by time of announcement:

Startup Landscape Stage Investors
InfraDigital Edtech Series A AppWorks
Cinepoint Others Seed Funding Ideosource Entertainment
Jendela360 Proptech Seed Funding Beenext, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Shipper Logistic Series A Prosus Ventures, Lightspeed, Floodgate, Y Combinator, Insignia Ventures, AC Ventures
Fabelio** E-commerce Series C AppWorks, Endeavor Catalyst, MDI Ventures, Aavishkaar Capital
Ula New Retail Seed Funding Sequoia India, Lightspeed India, SMDV, Quona Capital, Saison Capital, Alter Global, angel investor
Wallex Technologies Fintech Series A BAce Capital, SMDV, Skystar Capital
GoPlay Online Media Seed Funding ZWC Partners, Golden Gate Ventures, Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, Redbage Pacific
Gojek Ride-Hailing Series F Facebook, PayPal
Job2GO Job Marketplace Seed Funding BANSEA
Bonza Big Data Seed Funding East Ventures
Delman Big Data Seed Funding Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, Qlue
Bobobox OTA Series A Horizons Ventures, Alpha JWC Ventures, Kakao Investments, Sequoia Surge, Mallorca Investment
KoinWorks Fintech Debt Funding Lendable
Pintek* Fintech Pre-Series A Accion Venture Lab,  Global Founders Capital
Dekoruma E-commerce Pre-Series C InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, Skystar Ventures
Tokocrypto Others Seed Funding Binance
Kopi Kenangan New Retail Series B Sequoia India, B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, Sofina, Alpha JWC Ventures
KlikDaily New Retail Series A Global Founders Capital
GudangAda Logistic Series A Sequoia India, Alpha JWC Ventures, Wavemaker Partners
BukuKas SaaS Seed Funding Sequoia Surge, 500 Startups, Credit Saison, angel investor
Bahasa.ai* SaaS Pre-Series A East Ventures, DIVA, SMDV, Plug and Play Indonesia
Modalku Fintech Series C BRI Ventures dan sejumlah undisclosed investors
Eduka Edtech Seed Funding Init-6
Qoala Fintech Series A Centauri Fund,  Sequoia India, Flourish Ventures, Kookmin Bank Investments, Mirae Asset Venture Investment, Mirae Asset Sekuritas
KoinWorks Fintech Debt Funding Quona Capital, EV Growth, Saison Capital
Kargo Technologies Logistic Series A Tenaya Capital, Sequoia India, Intudo Ventures, Amatil X, Agaeti Convergence Ventures, Alter Global, Mirae Asset Venture Investment
Investree** Fintech Series C Mitsubishi UFJ Financial Group, BRI Ventures, SBI Holdings, 9F Fintech Holdings Group
Webtrace SaaS Seed Funding Prasetia Dwidharma, Astra Ventures
BukuWarung SaaS Seed Funding East Ventures
ProSpark Edtech Pre-Seed Agaeti Ventures, Prasetia Dwidharma, angel investor
TaniHub* Agritech Series A Openspace Ventures, Intudo Ventures, UOB Venture Management, Vertex Ventures, BRI Ventures, Tenaya Capital, Golden Gate Ventures

Based on the table, in terms of the investment stage, most of the secured funds are in the early-stages (12) and the Series A stage (9). While in terms of the business landscape, the scope is quite diverse, mostly for fintech startups.

Pendanaan Startup Indonesia Q2-2020 / DSResearch
Indonesian startup funding Q2-2020 / DSResearch

Startup ecosystem development

According to the Global Startup Ecosystem Report (GSER) published by Startup Genome, Jakarta ranks second out of 100 cities worldwide on the list of emerging startup ecosystems. The data used for the assessment is based on four main factors, such as performance, funding, market reach, and talents of each city.

Mumbai, which is ranked the first place, scored 10 in each of these factors. Jakarta scored almost the same number, only the talent metric got a score of 9.

Startup Genome also divides the ranking of each city based on the total value of the ecosystem and early-stage funding. Jakarta placed in the top position with an ecosystem value of $ 26.3 billion, followed by Guangzhou ($19.2 billion), and Kuala Lumpur ($15.3 billion).

Unfortunately, startup development is still centered in metropolitan cities like Jakarta. When the assessment is conducted nationally and averaging the performance of all cities, the ranking drops dramatically. For example, validated by StartupBlink in a report entitled The StartupBlink 2020 Global Ecosystem Report.

In 2020, Indonesia ranked 54th, down 13 levels compared to the previous year. In Southeast Asia, this position is only superior to Vietnam. Singapore is in the top position, which is ranked 16th.

This report highlights the contribution of several cities towards ecosystem development. In sequence, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Medan, and Semarang are cities wih the most significant growth in the startup ecosystem.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian