Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.

Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Program AGI Bersama Pemerintah untuk Kembangkan Industri Game Lokal

Nilai industri game di Indonesia pada 2018 mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,7 triliun), menurut data dari Newzoo. Dengan begitu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pasar game terbesar di Asia Tenggara. Mengetahui besarnya nilai industri game Indonesia, pemerintah tertarik untuk mendukung para pelaku industri game lokal, termasuk developer game lokal.

Kolaborasi Pemerintah dengan AGI

Belakangan, ada beberapa menteri yang menunjukkan ketertarikan akan industri game dan esports. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dia  mengatakan, pemerintah ingin agar gamers di Indonesia juga memainkan game-game buatan developer lokal. Tak hanya Luhut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekfraf) Sandiaga Uno juga pernah angkat bicara. Dia menyebut esports sebagai “pandemic winner. Alasannya, karena industri competitive gaming tetap bisa tumbuh di tengah pandemi virus corona.

Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mendukung para pelaku industri game. Pertanyaannya, apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk mendukung pelaku industri game lokal? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menghubungi Program Manager, Asosiasi Game Indonesia (AGI), Febrianto Nur Anwari. Ketika ditanya tentang kapan pemerintah mulai menunjukkan ketertarikan dengan industri game, pria yang akrab dengan panggilan Febri ini menyebutkan, pemerintah sebenarnya sudah mulai peduli dengan industri game sejak lama.

“Dulu sejak zaman Menteri Pariwisatanya Bu Mari Eika Pangestu,” kata Febri ketika dihubungi melalui pesan singkat. Untuk informasi, Mari Eika Pangestu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011-2014, ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Lebih lanjut, Febri mengungkap, “Dukungan pemerintah semakin besar sejak ada Bekraf.”

GamePrime adalah salah satu acara dari Bekraf. | Sumber: Antara

Didirikan pada 2015, Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang ada di bawah tanggung jawab presiden. Pada 2019, Bekraf dilebur kembali ke Kemenparekraf. Meskipun begitu, pemerintah tetap menunjukkan keseriusan mereka untuk mengembangkan industri game di Indonesia.

Febri bercerita, saat ini, ada banyak rencana yang hendak AGI realisasikan bersama dengan Kemenkominfo dan Kemenparekraf. Salah satunya, AGI bersama Kemenparekraf membantu developer lokal untuk bisa ikut di eksibisi game yang diadakan di luar negeri, seperti DevCom di Jerman dan Tokyo Games Show di Jepang. Selain itu, bersama dengan Kominfo, AGI juga akan menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IGDX). Febri mengungkap, IGDX akan punya empat fokus, yaitu Akademi, Bisnis, Konferensi, dan Karir.

“IGDX 2021 merupakan upaya meningkatkan kapasitas pelaku industri game dalam negeri dan mendorong industri game lokal untuk go global. Sehingga industri game Indonesia semakin hari semakin meningkat, baik dari sisi produsen maupun penggunanya,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dikutip dari situs resmi Kominfo.

AGI gelar IGDX bersama Kemenkominfo. | Sumber: IGDX

“Saat ini, kita juga sedang diskusi intens dengan beberapa kementerian untuk merancang roadmap industri game sampai 2024,” ujar Febri. Dia lalu menjelaskan tentang alur kerja sama antara AGI dan pemerintah. “Biasanya, pemerintah akan reach out ke AGI, kira-kira apa sih yang dibutuhkan industri game Indonesia untuk berkembang,” jelasnya. “AGI lalu membuat proposal dan menyodorkannya ke pemerintah; kebutuhan dan juga program apa yang bisa dilakukan. Dari sini, AGI dan pemerintah terus berdialog untuk mewujudkan program tersebut.”

Febri mengungkap, waktu yang diperlukan untuk merealisasikan program AGI — dari diskusi sampai program berjalan — membutuhkan waktu yang beragam, tergantung pada skala program itu sendiri. “Kalau program besar seperti IGDX, kita biasanya membuat rencana satu tahun sebelumnya,” katanya. “Tapi, kalau yang kecil-kecil, ya sekitar 2-4 bulan. Kalau program yang berulang setiap tahun, biasanya persiapannya hanya perlu 1-2 bulan.”

Masalah SDM di Industri Game

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa industri game Indonesia belum semaju Jepang atau Amerika Serikat adalah karena industri game kita memang masih jauh lebih muda. Dia juga menyebutkan, kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman merupakan salah satu masalah yang harus diatasi. Terkait hal ini, Febri menyebutkan, AGI sudah punya program untuk meningkatkan kualitas SDM di industri game.

“Untuk saat ini, kita coba untuk level up SDM yang sudah ada melalui IGDX Academy,” kata Febri. “Program itu adalah program mentoring selama 13 minggu yang menghadirkan banyak mentor, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk pencetakan talenta baru, kami juga punya beberapa program seperti aliansi dengan kampus lewat Game Talent ID. Dan kini, AGI dengan dukungan Kominfo sedang merancang Standar Kompetisi Kerja Nasional (SKKNI) di bidang game development. Seharusnya, dalam waktu dekat, program itu masuk ke fase konvensi, sebelum disahkan.”

Game Talent ID jadi salah satu program AGI untuk cetak developer baru. | Sumber: Esportsnesia

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Luhut mengatakan bahwa impor game di Indonesia mencapai 97%. Ketika itu, dia mengimplikasikan harapannya agar gamers Indonesia juga memainkan game-game lokal. Meskipun begitu, ARPU gamers Indonesia relatif lebih kecil dari negara-negara lain yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih tinggi. Hal itu berarti, developer bisa mendapatkan pemasukan lebih besar dengan menyasar pasar game global. Namun, tentu saja, pasar global juga lebih menantang.

Tentang target pasar, Febri mengatakan, AGI tidak pernah mengarahkan developer lokal untuk menyasar pasar game lokal ataupun global. “Tergantung game dan developer-nya ya,” ujarnya. Sementara ketika ditanya soal target pemerintah tentang berapa besar pangsa pasar yang dikuasai developer lokal, dia menjawab, “Idealnya, kita bisa setidaknya impas, baik itu dari pasar sendiri ataupun melalui ekspor.”

Sony Bakal Luncurkan Lebih Banyak Game di PC, Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Minggu lalu, Sony mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game untuk PC. Karena itu, mereka mengubah nama dari publishing label mereka, menjadi PlayStation PC LLC. Sementara itu, Ubisoft mengumumkan laporan keuangan mereka. Mereka mengungkap, Assassin’s Creed: Valhalla sekarang merupakan game mereka yang paling menguntungkan kedua. Pada minggu lalu, developer World of Warcraft juga mengumumkan studio barunya, Notorious Studios.

Krafton Akuisisi Developer Subnautica

Pemilik PUBG Studios, Krafton, mengakuisisi Unknown Worlds, studio di balik game Subnautica. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut.  Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Unknown Worlds setelah akuisisi. Mereka tetap mempertahankan struktur perusahaan mereka dan mempekerkajan semua pegawai mereka. Tak hanya itu, mereka juga tetap akan beroperasi sebagai studio mandiri. Ke depan, Unknown Worlds juga akan tetap merilis update untuk Subnautica. Selain itu, mereka juga akan mengembangkan proyek baru yang akan tersedia dalma early access pada 2022.

Developer Subnautica akan tetap beroperasi mandiri.

“Unknown Worlds adalah developer yang tidak hanya mumpuni, tapi juga penuh dengan semangat. Mereka berhasil menunjukkan kreativitas mereka dan membuat game dengan dunia yang fokus pada pemain,” kata CEO Krafton, CH Kim, dikutip dari GamesIndustry. “Krafton akan memberikan semua yang kami bisa untuk mendukung mereka. Selain meningkatkan kemampuan kami dalam membuat game, Unknown Worlds juga punya tujuan yang sama dengan kami, yaitu menciptakan game yang unik semua gamers di dunia.”

Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Assassin’s Creed: Valhalla diluncurkan pada November 2020. Dan sekarang, game tersebut telah menjadi game dengan pemasukan terbesar kedua untuk Ubisoft. Informasi itu diungkap oleh Ubisoft ketika mereka mengumumkan laporan keuangan untuk semester pertama dari tahun fiskal ini. Dalam periode Maret-September 2021, Ubisoft mengungkap bahwa total pemasukan mereka turun 1% dari tahun lalu, menjadi EUR751 juta. Namun, pemasukan perusahaan pada kuartal dua naik 21%, menjadi EUR399 juta.

“Kami punya performa yang memuaskan pada Q2, dengan pemasukan melebihi perkiraan kami,” ujar CEO Ubisoft, Frédérick Duguet, menurut laporan GamesIndustry. “Pemasukan kami naik berkat kualitas dari Intellectual Property (IP) kami, termasuk Assassin’s Creed Valhalla yang sangat sukses.”

Sony Ganti Nama Publishing Label untuk Game PC Jadi PlayStation PC LLC

Sony baru saja mengubah nama publishing label untuk game PC mereka. Sekarang, game yang Sony luncurkan di Steam akan ada di bawah label PlayStation PC LLC. Keputusan Sony ini merupakan cerminan dari keinginan Sony untuk meluncurkan lebih banyak game di PC. Belum lama ini, PlayStation mengumumkan bahwa God of War — yang tadinya eksklusif untuk konsol PlayStation — bakal diluncurkan untuk PC pada Januari 2022.

Tak hanya itu, Uncharted: Legacy of Thieves Collection — berupa dua game Nathan Drake — juga bakal diluncurkan di PC pada awal 2022. Keputusan Sony untuk lebih serius di industri game PC tidak aneh. Pasalnya, selama ini, para eksekutif PlayStation memang telah menyebutkan bahwa mereka berencana untuk meluncurkan lebih banyak game untuk PC, lapor VentureBeat.

God of War bakal diluncurkan untuk PC.

Kepada GO, PlayStation Head, Jim Ryan berkata, “Kami punya kesempatan untuk memberikan akses dari game kami ke lebih banyak gamers dan meringankan beban ekonomi pengembangan game, yang tidak selalu sesederhana yang dikira banyak orang. Biaya untuk membuat game terus naik, seiring dengan meningkatnya kualitas IP. Selain itu, sekarang, kami juga bisa meluncurkan game untuk non-konsol gamers dengan lebih mudah.”

Mantan Developer World of Warcraft Buat Studio Baru

Mantan game designer dari World of Warcraft, Chris Kaleiki mengumumkan bahwa dia telah membuka studionya sendiri, yang dinamai Notorious Studios. Dia mengumumkan hal tersebut melalui Twitter pada minggu lalu. Dia juga menyebutkan, melalui studio barunya, dia akan fokus untuk membuat game RPG.

“Memutuskan untuk meninggalkan Blizzard adalah salah satu keputusan tersulit dalam hidup saya,” kata Kaleiki, menurut laporan NME. “Saat mempertimbangkan langkah saya berikutnya, saya tahu bahwa saya ingin membuat sesuatu dengan tim yang lebih kecil, tapi punya prinsip yang sama dengan Blizzard. Contonya, prinsip untuk mengutamakan pengalaman para pemain. Saya tahu, hal ini bukan hal yang mudah.”

Pasang Surut Dominasi Perusahaan Jepang di Industri Game

Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?

Era Kejayaan Jepang di Industri Game

Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.

Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.

Sega Rally arcade. | Sumber: Wikipedia

Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.

Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.

“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.

Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.

“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”

Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.

Runtuhnya Dominasi Jepang

Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.

Peluncuran Xbox oleh Microsoft jadi salah satu faktor dari lunturnya dominasi Jepang di industri game. | Sumber: Digital Trends

Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizer game Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.

“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”

Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.

Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.

“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.

Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok

Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol  buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.

Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”

PS5 terjual habis di Tiongkok. | Sumber: SCMP

Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.

Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.

“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”

Industri Game Jepang di Masa Depan

Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.

Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.

Pokemon Go dibuat oleh Niantic, yang berasal dari AS.

Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.

“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”

Sumber header: Tech Radar

Developer Stardew Valley Punya Game Baru, Garena Tanamkan Modal di Kazoo Games

Pada minggu lalu, ConcernedApe, developer Stardew Valley, merilis video singkat dari game terbarunya: Haunted Chocolatier. Sementara itu, Kazoo Mobile mendapatkan investasi Seri A. Pendanaan itu yang dipimpin oleh Garena, developer Free Fire. Minggu lalu, CD Projekt juga mengungkap bahwa mereka telah mengakuisisi studio indie, The Molasses Flood.

CD Projekt Akuisisi The Molasses Flood

CD Projekt, developer dari Cyberpunk 2077 dan The Witcher, mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi studio game indie, The Molasses Flood. Kepada investor, CD Projekt mengungkap bahwa mereka telah membeli 60% saham dari The Molasses Flood dan mereka akan membeli 40% saham sisanya di masa depan. Dengan ini, The Molasses Flood akan menjadi bagian dari CD Projekt. Namun, studio itu tetap punya otonomi penuh akan proyek yang mereka kerjakan.

Dengan akuisisi ini, The Molasses Flood akan membuat game baru yang didasarkan pada salah satu intellectual property (IP) milik CD Projekt. Hal itu berarti, game yang dibuat oleh studio indie itu akan mengambil setting dunia berdasarkan The Witcher atau Cyberpunk, menurut laporan IGN.

ByteDance Dikabarkan Pecat Puluhan Karyawan di Ohayoo

ByteDance, perusahaan induk TikTok, dikabarkan telah merumahkan puluhan orang di Ohayoo, divisi yang bertanggung jawab untuk membuat game-game kasual. Menurut laporan South China Morning Post, kebanyakan pegawai yang dirumahkan ada di level junior. Sayangnya, tidak diketahui berapa banyak orang yang dirumahkan oleh ByteDance. Narasumber SCMP mengungkap bahwa ByteDance memecat “hampir 100 orang”, sementara laporan dari situs Tiongkok Leiphone.com menyebutkan bahwa jumlah karyawan yang dirumahkan mencapai 79 orang.

Tampaknya, keputusan ByteDance untuk merumahkan puluhan karyawan Ohayoo dipengaruhi oleh keputusan pemerintah Tiongkok untuk memperketat regulasi di industri game. Di Agustus 2021, pemerintah membatasi durasi waktu main untuk pemain di bawah umur. Tak hanya itu, pemerintah Tiongkok juga dikabarkan memperlambat proses persetujuan untuk peluncuran game baru, lapor GamesIndustry.

Blizzard Ubah Nama Jesse McCree Jadi Cole Cassidy

Jesse McCree, karakter di Overwatch, sekarang punya nama baru: Cole Cassidy. Blizzard Entertainment mengumumkan hal ini melalui Twitter. Nama Cole Cassidy akan mulai digunakan pada 26 Oktober 2021. Alasan Blizzard mengganti nama karakter bounty hounter tersebut adalah karena McCree merupakan nama dari salah satu mantan karyawan mereka, yang kini terlibat dalam skandal diskriminasi dan pelecehan seksual.

Pada Juli 2021, Activision Blizzard dituntut oleh pemerintah California karena dianggap membiarkan budaya seksis berkembang di dalam perusahaan. Sejak saat itu, Activision Blizzard berjanji akan mengganti semua nama karyawan atau mantan pegawai yang terlibat skandal yang pernah digunakan dalam World of Warcraft atau Overwatch, lapor Polygon.

Kazoo Games Dapat Investasi Seri A Senilai US$12 Juta, Dipimpin oleh Garena

Mobile startup, Kazoo Games, baru saja mendapatkan kucuran dana sebesar US$12 juta. Pendanaan Seri A tersebut dipimpin oleh Garena, publisher asal Singapura. Kazoo Games akan menggunaan dana ini untuk mengembangkan game kasual dan midcore. Selain itu, mereka juga akan memanfaatkan dana itu untuk merekrut karyawan baru serta sebagai persiapan untuk meluncurkan game-game baru di iOS dan Android.

Saat ini, jumlah karyawan di Kazoo Games mencapai 15 orang. Dengan investasi Seri A itu, mereka bisa menggandakan jumlah pegawai mereka, menjadi 30 orang. Kazoo Games, yang bermarkas di California, Amerika Serikat, dipimpin oleh CEO David Schulman dan Chief Creative Officer, Sean Ro. Keduanya punya pengalaman untuk membuat mobile game, termasuk di Jam City dan Disney, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry.

Developer Stardew Valley Punya Game Baru, Berjudul Haunted Chocolate

Eric “ConcernedApe” Barone, developer dari farming simulator RPG, Stardew Valley, baru saja mengumumkan game barunya: ConcernedApe’s Haunted Chocolatier. Meskipun punya visual yang mirip dengan Stardew Valley, Haunted Chocolatier memiliki fokus yang berbeda. Jika di Stardew Valley pemain diharuskan untuk mengurus ladang peninggalan sang kakek, fokus dari Haunted Chocolatier adalah untuk membuat cokelat. Demi membuat cokelat, pemain harus mengumpulkan bahan yang bisa didapat dengan melawan berbagai binatang dan burung liar, lapor Kotaku.

Dalam sebuah blog, ConcernedApe menjelaskan mengapa dia membuat Haunted Chocolatier. Dia mengungkap, dia ingin membuat game dengan elemen fantasi yang lebih kental, khususnya tentang hal-hal supernatural. Meskipun begitu, ConcernedApe merasa bahwa game yang dia buat itu bukanlah game yang negatif. Sebaliknya, dia menyebutkan bahwa Haunted Chocolatier merupakan game yang positif dan memberikan semangat.

Apakah yang Sebenarnya Bisa Dilakukan Pemerintah untuk Industri Game Indonesia?

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa nilai industri game di Indonesia mencapai Rp24,4 triliun. Melihat besarnya potensi pasar game di Indonesia, tidak heran jika pemerintah menunjukkan ketertarikan untuk mendorong pertumbuhan industri tersebut. Apalagi karena game development terbukti sebagai salah satu industri yang tetap bisa bertahan di tengah pandemi sekalipun.

Setiap negara punya kebijakan yang berbeda-beda terkait industri game. Belum lama ini, Tiongkok memperketat peraturan terkait waktu main game untuk anak dan remaja di bawah umur. Sebaliknya, pemerintah Korea Selatan justru menghapus pembatasan waktu main untuk anak di bawah umur 16 tahun. Kebijakan yang dibuat pemerintah tentunya akan memberikan dampak besar pada perusahaan game. Karena itu, kali ini, saya akan mencoba membahas tentang kebijakan yang pemerintah Korea Selatan dan Polandia ambil untuk mengembangkan industri game.

Program Pemerintah Korea Selatan untuk Memajukan Industri Game

Korea Selatan adalah pasar game terbesar ke-4 setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan rata-rata dari industri game di Korea Selatan memang mencapai 9,8% per tahun. Tak hanya itu, game juga sukses menjadi komoditas ekspor. Buktinya, nilai ekspor dari game buatan perusahaan Korea Selatan mencapai US$6,4 miliar per tahun. Semua hal ini membuat pemerintah Korea Selatan berkomitmen untuk mendukung industri game.

Dengan sokongan pemerintah — khususnya Kementerian Kebudayaan — industri game diharapkan akan menciptakan 102 ribu lowongan pekerjaan baru. Selain itu, pemerintah juga berharap, industri game akan bisa mendapatkan pemasukan sebesar KRW19,9 triliun (sekitar Rp240 triliun) pada 2024. Sebanyak KRW11,5 triliun atau sekitar Rp139 triliun diharapkan akan datang dari ekspor

“Menurut perhitungan kami, perusahaan kecil dan menengah akan menjadi kunci untuk mendorong industri game dalam mencapai tujuan yang telah kami tetapkan,” ujar Kim Hyun-hwan, Director General of Content Policy Bureau, yang ada di bawah Kementerian Kebudayaan, seperti dikutip dari The Korea Herald.

Menteri Kebudayaan Korea Selatan, Park Yang-woo. | Sumber; The Korea Herald

Untuk mendorong pertumbuhan industri game, salah satu program yang pemerintah Korea Selatan adakan adalah membuka jasa konsultasi. Selain itu, melalui Kementerian Kebudyaan, pemerintah juga akan membuat sistem informasi tentang pasar game global. Keberadaan sistem informasi itu diharapkan akan memudahkan perusahaan game kecil dan menengah untuk melebarkan sayap mereka ke pasar di luar Korea Selatan. Terakhir, pemerintah juga akan mengembangkan Global Game Hub Center.

Didirikan pada 2009, Global Game Hub Center berfungsi sebagai incubator dari perusahaan game. Mereka juga punya tanggung jawab untuk melatih calon pekerja di industri game. Selain itu, fungsi dari Global Game Hub Center adalah untuk mendukung perusahaan game agar mereka bisa menciptakan produk yang berkualitas. Alasan pemerintah Korea Selatan mendirikan Global Game Hub Center pada 2009 adalah karena mereka ingin mendorong perusahaan game lokal untuk melakukan ekspansi ke pasar global. Pasalnya, ketika itu, pasar game di Korea Selatan dikhawatirkan telah mulai jenuh, menurut laporan Korea IT Times.

Tak hanya mendukung industri game, pemerintah Korea Selatan juga akan menyokong industri esports. Salah satu bentuk dukungan yang pemerintah berikan adalah menetapkan sejumlah PC bang alias warung internet sebagai fasilitas pusat esports. PC bang yang telah ditetapkan tersebut kemudian akan menjadi tempat penyelenggaraan berbagai game events. Semua hal itu diharapkan akan membantu tim dan pemain esports amatir.

Sementara itu, untuk pemain profesional, pemerintah berencana untuk membuat standarisasi kontrak. Tujuannya adalah untuk melindungi para pemain profesional. Di tahun ini, pemerintah juga berencana untuk membuat sistem registrasi pemain. Pada November 2021, pemerintah Korea Selatan juga akan berkolaborasi dengan Jepang dan Tiongkok untuk mengadakan kompetisi esports.

Pendekatan Pemerintah Polandia untuk Industri Game

Polandia memang tidak masuk dalam daftar 10 negara dengan pasar game terbesar. Namun, nilai industri game di Polandia hampir mencapai EUR500 juta (sekitar Rp8,3 triliun). Selain itu, Polandia juga menjadi rumah dari CD Projekt Red, salah satu perusahaan game terbesar di Uni Eropa. Selain CD Projekt, Polandia juga punya beberapa perusahaan game sukses, seperti Ten Square Games, PlayWay, dan 11 bit Studios.

Industri game di Polandia cukup matang. Secara total, ada lebih dari 400 studio game di Polandia. Sementara jumlah pekerja di bidang game mencapai 9,7 ribu orang, menurut laporan The Game Industry of Poland. Berdasarkan data dari Game Industry Conference, sebanyak 39% perusahaan game Polandia mempekerjakan lima atau kurang orang. Sementara 40% perusahaan game memiliki 6-16 pekerja, 10% memiliki lebih dari 40 pegawai, dan 10 perusahaan mempekerjakan lebih dari 200 orang.

Menurut Michał Król, analis di PolskiGamedev.pl, setiap tahun, perusahaan-perusahaan game asal Polandia meluncurkan 200 game untuk PC dan konsol, serta 35 game VR. Dari segi pemasukan, dalam beberapa tahun belakangan, industri game Polandia juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada periode 2016-2019, tingkat pertumbuhan industri game di Polandia selalu hampir mencapai 30%, bahkan tanpa menghitung kontribusi dari CD Projekt.

Pemasukan industri game di Polandia pada 2016-2019. | Sumber: The Game Industry of Poland

Pendidikan jadi salah satu alasan mengapa industri game Polandia bisa tumbuh pesat. Saat ini, universitas-universitas di Polandia menawarkan 60 jurusan terkait pembuatan game. Dari 60 jurusan itu, sekitar 26 jurusan ditujukan untuk programmer, 17 jurusan untuk para artists, 9 jurusan ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi game designer, dan sisanya merupakan jurusan bagi musisi, sound engineers, narrative designers, atau studi akan game.

Salah satu alasan mengapa pemerintah Polandia ingin mendukung industri game adalah karena faktor ekonomi. Alasan lainnya adalah karena game kini menjadi bagian penting dari diplomasi budaya. Memang, pada 2020, jumlah gamers mencapai 2,7 miliar, menurut laporan dari Newzoo. Sementara di Polandia, jumlah gamers mencapai 16 juta orang, hampir 50% dari total populasi negara tersebut.

Untuk mendukung industri game, pemerintah Polandia melalui Kementerian Budaya dan Warisan Nasional meluncurkan program Creative Industries Development. Sementara itu, National Research and Development Centre memulai inisiatif GameINN, yang menawarkan subsidi tahunan untuk biaya riset dan pengembangan. Terakhir, Polish Agency for Enterprise Development (PARP) menawarkan dukungan finansial untuk mempromosikan produk Polandia ke pasar luar negeri.

Pasar game dan esports di Polandia.

Pasar game global memang jadi incaran perusahaan-perusahaan game Polandia. Faktanya, 96% game Polandia diekspor ke luar negeri. Target ekspor utama dari perusahaan game Polandia adalah Amerika Serikat, yang merupakan pasar game terbesar ke-2 setelah Tiongkok dengan nilai US$42,1 miliar. Dan berbeda dengan Beijing, pemerintah AS tidak menetapkan peraturan yang terlalu ketat terkait game-game asing yang hendak diluncurkan di AS. Selain AS, developer Polandia juga menargetkan pasar Uni Eropa. Sementara Asia bukan prioritas utama developer Polandia. Pasalnya, hanya 10% game Polandia yang diekspor ke Asia.

Tingkat ekspor perusahaan game Polandia begitu tinggi sehingga sejumlah perusahaan mendapatkan pemasukan sepenuhnya dengan mengekspor game mereka, setidaknya dalam satu periode. Ada dua alasan mengapa beberapa perusahaan game Polandia sepenuhnya fokus untuk mengekspor game mereka. Pertama, mereka memang bekerja sama dengan rekan di luar Polandia. Kedua, mereka menganggap, pasar Polandia tidak cukup penting untuk game mereka.

Besarnya volume ekspor dari game-game Polandia menjadi salah satu alasan mengapa industri game dari negara itu bisa hampir mencapai EUR500 juta. Padahal, populasi Polandia hanya mencapai 38 juta orang. Menyasar pasar global memungkinkan developer game Polandia untuk mendapatkan audiens yang lebih luas. Jika dibandingkan dengan Polandia, industri game Indonesia jauh berbeda. Indonesia punya populasi yang jauh lebih banyak, mencapai sekitar 273,5 juta orang. Sayangnya, Average Revenue per User (ARPU) dari gamers di Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun.

Total belanja gamers biasanya berbanding lurus dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita. Artinya, semakin besar PDB per kapita sebuah negara, biasanya, semakin besar pula besar spending yang gamer habiskan. Menurut Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, ARPU gamer di Indonesia adalah US$4-6 untuk game PC dan US$5-8 untuk mobile game. Sebagai perbandingan, ARPU dari gamers di Malaysia dan Singapura mencapai US$15-20 untuk game PC dan US$25-60 untuk mobile game.

Masalah di Industri Game Lokal: Dana

Dana merupakan salah satu masalah utama bagi developer game di Indonesia. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2020, sebanyak 67,8% developer lokal menggunakan dana pribadi untuk mengembangkan game yang mereka buat. Sementara developer yang mendapatkan dana dari angel investor hanya 10%, dari VC 4,8%, dan dari incubator atau accelerator 3,6%.

Kabar baiknya, pemerintah sudah menyadari masalah ini dan berusaha untuk mengatasinya. Salah satu program yang pemerintah adakan untuk mendanai developer game adalah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Dana tersebut bersifat hibah. Artinya, developer tidak perlu mengembalikan dana tersebut. Hanya saja, developer yang menerika BIP wajib untuk memberikan laporan pertanggungjawaban sesuai dengan proposal mereka di awal.

Pemerintah meluncurkan BIP pada 2017. Ketika itu, jumlah maksimal dana yang bisa didapatkan adalah Rp100 juta. Sekarang, dana maksimal yang pemerintah bisa kucurkan mencapai 2 kali lipat, yaitu Rp200 juta. Satu hal yang harus diingat, BIP sebenarnya ditujukan untuk para pelaku industri kreatif. Artinya, developer game bukan satu-satunya pihak yang bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana BIP. Pelaku industri kreatif lain juga punya kesempatan yang sama. Industri kreatif yang dicakup oleh BIP antara lain pariwisata, fashion, kriya, kuliner, film dan animasi, serta aplikasi. Jika tertarik, Anda bisa tahu informasi lebih lanjut tentang BIP di sini.

Dalam sebuah sharing session, Mojiken Studio dan GameChanger Studio — yang menerima BIP pada 2019 — mengungkap bahwa sebagian besar dana yang mereka dapatkan dari BIP digunakan untuk membayar pekerja selama proses pengembangan game. Selain memberikan dana secara langsung pada developer untuk membuat game, pemerintah juga bisa membantu publisher mempromosikan game buatan developer lokal, baik melalui media ataupun influencer di dunia game. Pemerintah juga bisa mencoba untuk mengubah persepsi masyarakat, khususnya orang tua, akan game. Pasalnya, masih banyak orang tua yang menganggap game sebagai sesuatu yang buruk.

Soal masalah dana, developer game kini juga bisa mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber lain, selain pemerintah. Pada Juni 2021, Toge Productions memperkenalkan Toge Game Fund Initiative, dengan maksimal pendanaan mencapai US$10 ribu atau sekitar Rp142 juta. Sementara pada September 2021, Agate meluncurkan Skylab Fund, yang menawarkan kucuran dana hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,2 miliar. Telkom juga bekerja sama dengan Melon Indonesia dan Agate untuk mengadakan Indigo Game Startup Indonesia. Batas maksimal dana yang ditawarkan dari program itu adalah Rp2 miliar. Selain dana, program itu juga menawarkan mentor serta lisensi untuk penggunaan software dan co-working space.

SDM, Internet, dan Penyensoran

Selain masalah dana, masalah lain di industri game Indonesia adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Dalam wawancara eksklusif, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa di Indonesia, tidak banyak orang yang sudah bekerja lama di industri game. Alasannya, industri game Indonesia memang relatif lebih muda dari industri game di Jepang atau negara-negara lain yang industri game-nya sudah matang. Untungnya, saat ini, sudah ada universitas dan institusi pendidikan lain yang menawarkan program pendidikan untuk membuat game.

Masalahnya, matematika masih sering dianggap sebagai momok untuk para siswa di Indonesia. Padahal, matematika dan segala ilmu turunannya — seperti vektor, node, dan lain sebagainya — banyak digunakan dalam proses pembuatan game, seperti yang dibahas dalam artikel The Use of Mathematics in Computer Games dari University of Cambridge. Misalnya, untuk membuat agar karakter musuh bisa mengejar karakter pemain menggunakan jarak tersingkat, developer harus menggunakan node, edge, dan graphs. Sementara untuk memperkirakan lintasan lemparan granat, developer harus menggunakan ilmu fisika.

Mengingat tingginya tingkat kompleksitas proses pembuatan game, pemerintah bisa mendorong perusahaan game lokal untuk mulai menjajaki industri game dengan membuat dan menjual aset game. Karena, membuat aset untuk game membutuhkan waktu yang lebih sedikit dan proses pembuatannya pun lebih sederhana. Contoh aset-aset game yang bisa dijual adalah desain karakter, objek, lingkungan, dan kendaraan — baik dalam 2D maupun 3D. Ikon untuk antarmuka pada game juga bisa menjadi aset yang dijual. Untuk para programmer, mereka bisa menawarkan kode untuk AI, special effect, atau  pengaplikasian hukum fisika pada game. Sementara untuk para musisi, mereka bisa menyediakan background music atau sound effect.

Hal lain yang bisa pemerintah lakukan untuk mendorong pertumbuhan industri game — dan industri digital lainnya — adalah membangun infrastruktur internet yang memadai. Untuk mencapai hal ini, salah satu program yang pemerintah sudah laksanakan adalah Palapa Ring, yaitu proyek untuk membangun jaringan fiber optic yang menjangkau 440 kota/kabupaten di 34 provinsi di Indonesia. Ide akan Palapa Ring dicetuskan pertama kali pada 2005. Proyek itu sempat muncul pada 2007 sebelum menghilang dan kembali dimulai pada 2015. Pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo meresmikan Palapa Ring.

Proyek Palapa Ring dapat mendorong penetrasi internet ke kawasan pelosok. Sayangnya, proyek tersebut tidak meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Sialnya, jika dibandingkan dengan negara tetangga, kecepatan internet di Indonesia masih lebih rendah. Berdasarkan data dari Speedtest, kecepatan internet mobile Indonesia adalah 23,12 Mbps. Sementara itu, jaringan fixed broadband di Indonesia memiliki kecepatan 27,83 Mbps. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, Indonesia punya kecepatan internet broadband dan mobile paling rendah.

Kecepatan internet di negara-negara Asia Tenggara. | Sumber data: Speedtest

Internet cepat untuk apa? Pertama, komunikasi. Pandemi memaksa banyak orang untuk bekerja dari rumah. Alhasil, banyak meeting yang dialihkan ke ranah digital. Dan untuk bisa mengadakan meeting virtual yang nyaman, diperlukan internet yang memang mumpuni. Kedua, internet cepat juga bisa memudahkan para pekerja industri game untuk belajar. Ada banyak kelas online tentang membuat game, mulai dari yang gratis hingga berbayar. Namun, sekali lagi, hal itu membutuhkan internet yang memang memadai.

Saat ini, 97% game di Indonesia merupakan game impor. Pemerintah ingin meningkatkan pangsa pasar game lokal di pasar Indonesia. Salah satu hal yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah menetapkan “pembatasan”; membatasi bandwidth untuk mengakses game-game luar sehingga gamers lebih tertarik untuk mengakses game-game lokal. Sebenarnya, kali ini bukan pertama kalinya pemerintah mencoba untuk membatasi ranah dunia maya yang bisa diakses oleh netizen. Kata kunci: mencoba.

Sejak lama, pemerintah Indonesia terus berusaha untuk menghapus konten pornografi. Mesin AIS atau crawling adalah salah satu usaha pemerintah — melalui Kominfo — untuk membatasi “konten negatif”, termasuk pornografi. Mesin itu telah diluncurkan sejak 2018. Untuk mendapatkan mesin itu, pemerintah rela mengeluarkan Rp194 miliar. Idealnya, keberadaan mesin AIS bisa menghentikan netizen Indonesia untuk mengakses konten pornografi.

Namun, kenyataannya, orang-orang Indonesia justru menjadi top fans dari Eimi Fukada, bintang film dewasa asal Jepang. Hal ini menjadi bukti bahwa konten pornografi masih bisa diakses oleh netizen Indonesia, terlepas dari usaha pemerintah untuk memblokir akses ke konten tersebut. Seperti kata pepatah: dimana ada kemauan, di situ ada jalan.

Jumlah fans dari Eimi Fukada. | Sumber: Facebook

Penutup

Di mana ada gula, di situ ada semut. Wajar jika pemerintah Indonesia tertarik untuk dengan industri game setelah menyadari besarnya potensi industri tersebut. Sebagian pihak terlihat sangsi akan keseriusan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri game. Namun, sejauh ini, sudah ada beberapa program nyata yang pemerintah realisasikan untuk mendukung developer lokal. Misalnya, tanpa BIP, When the Past Was Around dari Mojiken Studio tidak akan pernah terealisasi. Selain itu, pemerintah juga pernah mengirimkan sejumlah developer game lokal ke ajang internasional bergengsi, seperti Tokyo Game Show dan Gamescom 2021.

Jadi, kali ini, saya rasa, tidak ada salahnya untuk berbaik sangka pada niat pemerintah. Hope for the best and prepare for the worst.

Animal Crossing: New Horizons Bakal Dapat Update Gratis, Valve Blokir Game dengan Cryptocurrency dan NFT

Nintendo mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan update gratis untuk Animal Crossing: New Horizons. Sementara itu, BioWare mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan Dragon Age 4 untuk konsol next-gen dan PC, tapi tidak untuk konsol generasi sebelumnya. Pada minggu lalu, Valve juga memutuskan untuk memblokir game-game yang menggunakan NFT dan cryptocurrency dari Steam.

Final Fantasy 14 Jadi Game Final Fantasy Paling Menguntungkan

Saat ini, jumlah pemain Final Fantasy 14 mencapai 24 juta orang. Dengan begitu, game tersebut menjadi game Final Fantasy dengan keuntungan paling besar. Informasi ini diungkap oleh Game Director Naoki Yoshida. Final Fantasy 14 diluncurkan pada 2010. Pada 2015, jumlah pemain dari game itu mencapai 5 juta. Angka itu naik menjadi 10 juta orang pada 2017, menurut laporan IGN.

“Kita semua tahu, ketika Final Fantasy 14 diluncurkan, game ini mendapat sambutan yang kurang baik,” ujar Yoshida, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Sejak saat itu, kami berhasil mengubah game tersebut sehingga ia menjadi game yang memberikan kontribusi besar pada keuntungan perusahaan.”

Nintendo Bakal Luncurkan Update Gratis untuk Animal Crossing: New Horizons

Nintendo mengumumkan bahwa Animal Crossing: New Horizons akan mendapatkan update gratis pada 5 November 2021. Melalui update ini, New Horizons akan mendapatkan sejumlah fitur baru, termasuk lokasi, karakter, dan aktivitas baru. Salah satu lokasi baru yang bisa pemain kunjungi adalah Roost, yang diurus oleh Brewster. Para pemain akan bisa mengundang pemain lain ke pulau mereka untuk menikmati kopi di Roost.

Selain itu, pemain juga akan bertemu karakter baru bernama Kapp’n, yang bisa membawa pemain ke pulau-pulau terpencil. Selain update gratis, New Horizons juga akan mendapatkan ekspansi berbayar berjudul Happy Home Paradise. Ekspansi itu juga akan diluncurkan pada 5 November 2021, lapor VentureBeat.

Valve Blokir Game dengan Cryptocurrency dan NFT di Steam

Valve memutuskan untuk memblokir semua game yang menggunakan cryptocurrency atau NFT dari Steam. Mereka juga memperingatkan, ke depan, mereka akan melarang keberadaan game-game yang menggunakan cryptocurrency serta NFT. Memang, dalam satu tahun belakangan, game-game yang menggunakan cryptocurrency dan NFT menjadi semakin marak.

Keputusan Valve untuk memblokir game-game tersebut di Steam memang tidak akan menghentikan para developer untuk membuat game dengan cryptocurrency dan NFT. Namun, mengingat Steam adalah platform toko game digital terbesar, maka keputusan Valve untuk memblokir game dengan cryptocurrency dan NFT akan membatasi cakupan dari game-game itu, seperti yang disebutkan oleh ClutchPoints.

Dragon Age 4 Dirilis untuk PS5, Xbox Series X, dan PC

Dragon Age 4 bakal diluncurkan untuk PlayStation 5, Xbox Series X/S, dan PC. Namun, game itu tidak akan tersedia untuk PlayStation 4 dan Xbox One. Hal ini menunjukkan, para developers game — seperti BioWare — telah siap untuk meninggalkan konsol generasi sebelumnya.

Dragon Age 4 bakal diluncurkan untuk PlayStation 5, Xbox Series X, dan PC.

Membuat game untuk konsol terbaru adalah keputusan yang masuk akal untuk para developer game. Namun, sebagian developer tampaknya enggan untuk melakukan itu. Pada Mei 2021, BioWare merilis Mass Effect: Legendary Edition. Namun, game itu tidak diluncurkan untuk PS5 dan Xbox Series X. Menurut laporan VentureBeat, EA dan BioWare justru meluncurkan game tersebut untuk PS4 dan Xbox One. Pemilik PS5 dan Xbox Series X/S yang ingin memainkan game itu dapat menggunakan fitur backward compatibility di konsol mereka.

Activision Perkenalkan Sistem Anti-Curang untuk Call of Duty

Activision memperkenalkan sistem anti-curang untuk Call of Duty, yang disebut Ricochet. Demi mengurangi jumlah orang yang bermain curang, Ricochet dilengkapi dengan beberapa fitur, seperti dari alat untuk memonitor kecurangan, proses penyelidikan untuk mengidentifikasi cheaters, update untuk memperkuat keamanan akun pemain, dan lain sebagainya. Dengan ini, Activision berharap, mereka bisa mengatasi masalah kecurangan yang membuat banyak pemain Call of Duty frustasi. Ricochet akan diluncurkan bersamaan dengan Call of Duty: Vanguard, yaitu pada 5 November 2021, menurut laporan VentureBeat.

Gamescom Asia Pertama Resmi Digelar Pada 14-17 Oktober 2021

Untuk pertama kalinya, Gamescom Asia digelar di Singapura pada 14-17 Oktober 2021. Acara tersebut digelar dengan model hibrida. Jadi, Anda bisa menghadiri Gamescom Asia secara langsung di Suntec Convention Centre, Singapura. Namun, jika Anda tidak bisa datang secara langsung, Anda juga bisa menonton siaran online dari berbagai kegiatan di Gamescom Asia.

Gamescom merupakan trade fair untuk game terbesar di dunia. Selama 12 tahun, acara tahunan tersebut selalu diadakan oleh Koelnmesse di Cologne, Jerman. Pada tahun ini, untuk pertama kalinya, Gamescom juga diadakan di Asia. Dalam konferensi pers virtual yang diadakan pada Selasa, 12 Oktober 2021, Managing Director, Koelnmesse Pte Ltd, Mathias Kuepper menjelaskan alasan Koelnmessse untuk mengadakan Gamescom di Asia.

“Keputusan kami untuk mengadakan Gamescom Asia sudah ditentukan sejak dua tahun lalu, sebelum pandemi COVID-19. Kami merasa, ekosistem gaming di Asia sudah jauh lebih berkembang. Para pelaku industri game di Asia membutuhkan event khusus sebagai platform,” ujar Kuepper. “Sayangnya, saat ini, tidak ada event kelas dunia yang digelar khusus untuk membahas industri game di Asia Tenggara. Gamescom Asia hadir sebagai platform bagi pelaku industri game di Asia Tenggara untuk bertemu dan mengenal satu sama lain.”

Jadwal Gamescom Asia. | Sumber: Gamescom.Asia

Lebih lanjut Kuepper menjelaskan, developer game asal Asia memang bisa mengikuti acara gaming kelas dunia yang diadakan di kawasan lain, seperti Gamescom yang diadakan di Jerman. Dan selama ini, developer Asia memang sudah melakukan hal itu, termasuk developer Indonesia. Faktanya, puluhan game asal Indonesia dipamerkan di Gamescom tahun ini. Hanya saja, Kupper mengungkap, acara yang diadakan di kawasan Eropa atau Amerika Utara tentunya akan lebih fokus untuk membahas developer dan ekosistem game di kawasan tersebut. Dengan adanya Gamescom Asia, Kupper berharap, developer Asia akan bisa menunjukkan kemampuan mereka.

Jika dibandingkan dengan industri game di Amerika Utara atau Eropa, industri game di Asia cukup unik. Menurut Kuepper, budaya game di Asia mendapatkan pengaruh yang lebih besar dari budaya game di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Memang, ketiga negara tersebut merupakan negara Asia dengan industri game sudah cukup matang.

Sementara itu, Gwen Guo, Chairperson, Singapore Games Association (SGGA) mengatakan, di Asia, mobile game punya peran besar dalam industri game. Selain itu, model bisnis game free-to-play juga sangat populer. Tak hanya itu, di Asia, jumlah pemain game perempuan juga cukup besar, mencapai 40-45% dari total gamers di wilayah tersebut. Gwen menyebutkan, meningkatnya jumlah gamers perempuan akan mendorong perusahaan game untuk mempekerjakan perempuan di posisi penting untuk menyesuaikan diri dengan demografi yang telah berubah.

Jika Anda tertarik untuk tahu lebih lanjut tentang Gamescom Asia, Anda bisa mengunjungi situs resminya.