GoPlay Ganti Identitas Menjadi Everywhere.id

GoPlay memperkenalkan Everywhere.id sebagai identitas barunya, menggantikan nama mereknya saat ini. Identitas tersebut menandai langkah awal GoPlay sebagai perusahaan independen pasca-lepas kepemilikannya dari induk usaha PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO).

“Sejak awal, visi kami tidak berubah. Kami ingin mendukung kreator konten di Indonesia, membantunya mendapat lebih banyak panggung dan meningkatkan pendapatan mereka. Brand Everywhere.id akan lebih lanjut memperkuat posisi kami [di industri kreatif],” ungkap CEO Everywhere.id Edy Sulistyo dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id.

Edy juga memperkenalkan Everywhere.id sebagai produk terbarunya menggantikan video-on-demand yang selama ini menjadi poros bisnis perusahaan. Everywhere.id menawarkan live stage secara O2O2O (online to offline to online) bagi kreator dan pemilik bisnis di segmen Horeka. Adapun, Edy menyebut bahwa GoPlay telah meninggalkan bisnis video-on-demand sejak beberapa tahun lalu.

Sebagai konteks, beberapa waktu lalu CEO GoTo Patrick Walujo menyatakan akan melepas bisnisnya di bidang hiburan. “Kami sedang proses untuk keluar dari bisnis hiburan karena bukan lagi inti dari strategi kami, dan kami akan terus mencari peluang untuk mendivestasi aset non-inti lainnya,” demikian kata Patrick dalam salinan Earning Call Kinerja 2Q23 pada Selasa (15/8).

GoTo memiliki lini bisnis hiburan yang terdiri dari platform streaming on-demand GoPlay di bawah entitas PT Produksi Kreasi Anak Bangsa, serta platform ticketing management service Go-Tix di bawah entitas PT Global Loket Sejahtera.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, GoPlay dan Go-Tix diketahui tidak lagi bernaung di bawah Grup GoTo sejak Agustus 2023. DailySocial.id mencoba mengonfirmasi hal ini ke manajemen GoTo, tetapi pihaknya menolak berkomentar. Dari pantauan di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), belum ada pengumuman divestasi GoTo di bisnis hiburan.

Ide awal Everywhere.id

Edy bercerita bagaimana pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap perilaku masyarakat Indonesia, baik dalam memproduksi maupun mengonsumsi sebuah konten. Selama pandemi, kreator melatih kemampuan berbicara dan membekali diri dengan peralatan dalam mendukung produksi konten. Ini membuat kualitas kreator kini menjadi lebih siap pasca-pandemi.

Hanya saja, ungkapnya, muncul tantangan baru seiring dengan kembalinya aktivitas luar ruang. Sejumlah kreator di daerah sulit mendapat pekerjaan karena keterbatasan geografis. “Situasi ini memicu terjadinya oversupply kreator di sejumlah kota. Kreator daerah terhalang kondisi geografis, ada ketimpangan. Pain point kami clear, membantu mereka dapat panggung,” ujar Edy.

Melihat tantangan tersebut, muncul ide untuk mengembangkan sebuah teknologi yang memungkinkan kreator, seperti penyanyi, pemain alat musik, hingga instruktur olahraga, untuk tampil secara real-time dengan konsep O2O2O. “Bagaimana kita bisa buat kreator tampil di mana-mana secara online dan offline tanpa dibatasi oleh kondisi geografis,” tuturnya.

Keluarannya ada dua; sistem operasi PlayOS dan perangkat playbox untuk menampilkan tayangan dari kreator. Edy menjelaskan, PlayOS adalah sistem operasi yang dikembangkan sendiri, memakai engine bawaan platform GoPlay dan dimodifikasi kembali. PlayOS dapat dipasang di berbagai perangkat lain dengan ukuran layar variatif, seperti TV atau proyektor.

Sementara, playbox memungkinkan kreator untuk tampil secara live dari lokasinya. Playbox dapat dipasang di restoran, kafe, atau tempat lainnya. Edy menegaskan bahwa kualitas tayangan dapat tetap optimal meski di kawasan dengan koneksi 3G sekalipun. “Perangkat ini kami manufaktur sendiri karena teknologi di belakangnya sangat kompleks,” tambahnya.

DailySocial.id berkesempatan menyaksikan langsung playbox Everywhere.id yang telah dipasang di food court sebuah mal Jakarta Selatan. Bentuknya menyerupai pendingin ruangan berukuran tinggi dan besar. Playbox menampilkan penyanyi yang tampil secara live. Audiens di mal dan penyanyi dapat saling berinteraksi dua arah layaknya video call lewat ponsel. Layar playbox memiliki fitur scan yang memungkinkan audiens request lagu, juga ada fitur virtual gift semacam tip.

Model bisnis

Karena modelnya B2B2C, skema tarif paling dasar adalah playbox Everywhere.id dapat disewa/pinjam oleh pemilik bisnis. Jadi tidak ditujukan ke end-user langsung. Everywhere.id menawarkan tarif variatif kepada penyewa yang ingin mengadakan penampilan atau acara tertentu. Ambil contoh, penampilan musik.

Tarif paling dasar adalah Rp150 ribu-Rp200 ribu per hari di mana pemilik bisnis dapat menghemat biaya hingga 85% dari tarif yang biasa dikeluarkan untuk menyewa musisi. Sebagai disclaimer, persentase ini bisa bervariasi karena biaya penampilan musisi di setiap kota/daerah berbeda-beda. Ada juga paket 30 hari dengan biaya Rp5 juta.

“Kalau pemilik venue mengeluarkan biaya lebih murah, ini memungkinkan mereka untuk lebih sering menyewa musisi. This is the best use case of the true sharing economy karena menguntungkan semuanya. Kami ingin mendukung industri kreatif Indonesia supaya kreator bisa meningkatkan pendapatan. Kami meyakini, apabila mereka sudah punya pendapatan yang layak, mereka tidak perlu lagi membuat konten yang bersifat skandal atau sensasional. Otomatis konten yang dihasilkan positif,” kata Edy.

Menurut Edy, belum ada layanan sejenis Everywhere.id di Indonesia maupun di luar negeri, sehingga ia dapat menempatkan posisinya sebagai pelopor penyedia playbox untuk kreator. Kendati tak ada kompetitor sejauh ini, ia mengaku belum menemukan tantangan tertentu untuk melakukan benchmark. “Sejauh ini kami belum menemukan layanan seperti ini, makanya kami ingin mencari benchmark supaya bisa belajar.”

Produk Everywhere.id dikatakan telah beroperasi sejak beberapa bulan lalu, dan mendapat traksi positif dari pengguna. Ia mengaku ada kenaikan pendapatan, trafik, dan loyalitas pelanggan yang diperoleh pelaku bisnis dengan menggunakan produk Everywhere.id. Selanjutnya, Everywhere.id tengah menjajaki kemitraan dengan segmen korporasi.

Application Information Will Show Up Here

Upaya Monetisasi Karya Dalam Negeri di Platform “Creator Economy”

Terhitung hampir lima miliar orang atau setara 62,5 persen dari total populasi di dunia mengakses internet per Januari 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 92,1 persen di antaranya online dengan perangkat mobile. Rata-rata masyarakat global menghabiskan waktu hingga tujuh jam setiap harinya untuk online.

Tak terbayang berapa banyak konten yang telah kita baca, tonton, atau lihat di perangkat mobile selama dua tahun belakangan. Situasi Covid-19 yang belum juga usai memaksa orang untuk menghabiskan banyak waktu di rumah, membatasi mobilitas kerja dan sekolah. Alhasil, kesempatan untuk mengakses internet semakin besar.

Di Indonesia, ledakan konten juga terjadi. Orang-orang membuat konten, mengeksplorasi ide, dan semakin kreatif untuk memonetisasi karyanya. Bahkan ladang subur industri creator economy memicu banyak kelahiran platform apresiasi karya dalam negeri, membidik pasar ekonomi kreatif yang selama ini belum tergarap dengan maksimal.

Saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai creator economy di Indonesia. Kendati begitu, pertumbuhan ekosistem dan infrastruktur digital di Tanah Air mengindikasikan potensi pasar creator economy yang belum tergarap dengan optimal. Pemerintah pun tengah mendorong industri ekonomi kreatif sebgai salah satu penggerak ekonomi di masa depan.

DataReportal per Januari 2022 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia telah menyentuh angka 204,7 juta orang atau setara 73,7 persen dari total populasi. Kemudian, jumlah pengguna media sosial mencapai 191,4 juta atau 68,9 persen dari total populasi.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai lanskap industri creator economy, model monetisasi, dan proyeksi bisnis, DailySocial berbincang dengan Founder KaryaKarsa Ario Tamat, Founder Storial Brilliant Yotenega, serta Founder Famous All Stars Arief Rakhmadani dan Co-CEO Famous All Stars Alex Wijaya.

Mengenal creator economy

Creator economy didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan kreator untuk memperoleh penghasilan dengan bantuan teknologi. Sementara melansir laporan CBInsight, creator economy merujuk pada berbagai kegiatan bisnis oleh kreator independen, dari vlogger, influencer, hingga writer, untuk memonetisasi karya dan kemampuannya.

Keberadaan platform creator economy memungkinkan mereka untuk berkreasi dengan dukungan tools atau fitur analitik yang tersedia di dalamnya. Dengan tools, kreator manapun, termasuk yang punya jumlah follower kecil, bukan akun bercentang biru (verified), atau yang baru berdiri dapat memonetisasi karya mereka sendiri secara langsung.

Saat ini, industri creator economy global telah menyentuh angka $104,2 miliar. Pertumbuhan ini tak lepas dari keterlibat investor yang mengucurkan investasi terhadap bisnis creator economy. Di sepanjang 2021, investor di dunia telah menyuntik sebesar $1,3 miliar ke platform creator economy.

Di Indonesia, creator economy masuk dalam ekonomi kreatif yang di dalamnya juga membawa banyak subsektor. Menurut data Kemenparekraf, subsektor ini terdiri dari game developer, seni kriya, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner, film, animasi, video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi, radio, arsitektur, periklanan, seni pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Tantangan dan model monetisasi

Siapa saja dapat menjadi kreator. Namun, tidak semua mampu bertahan untuk tetap berkarya dan menghasilkan. Berbeda dengan situasi sekarang, satu dekade lalu–meski sudah ada internet–harga smartphone dan paket data masih mahal. Cakupan internet masih terbatas dan belum sampai ke wilayah pedesaan.

Jika Anda hobi menulis fiksi, menggambar, atau bermain game, belum tentu semua itu dapat menghasilkan uang. Kreator-kreator yang sudah punya nama pun mengalami kesulitan untuk produktif dan tak bisa sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari karya.

Ario Tamat dan Brilliant Yotenega atau Ega menilai upaya monetisasi karya dan kestabilan pendapatan memang menjadi isu usang yang kerap dialami oleh para kreator, misalnya komikus, penulis, musisi, atau pelukis. Jauh sebelum ada teknologi, ada jalan panjang yang harus dilakukan kreator untuk memasarkan karyanya.

Ario melihat banyak kasus di mana kreator tidak bisa produktif berkarya karena tidak punya pemasukan tetap. Dari sini, ia melihat ada disconnect antara kreator dan pembeli konten karena tidak ada jalur diskusi, dan model pemasaran dulu masih tradisional. Meski sudah masuk era digital pun, belum ada platform yang menyasar kreator langsung  di Indonesia. Bisa jadi karena kategori kreator masih sangat luas, dan belum ada definisi mutlak tentang apa yang mereka lakukan dan cara monetisasinya.

Yotenega atau karib disapa Ega juga merasakan kegelisahan yang sama. Pria yang berkecimpung di industri penerbitan ini mencontohkan proses panjang penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Asumsinya ada naskah lolos seleksi, penulis perlu waktu enam bulan hingga satu tahun bagi penerbit untuk melakukan penyuntingan, produksi, dan distribusi. Royalti yang diterima pun umumnya berkisar 10%-15%, itu belum termasuk potongan pajak.

Ini belum lagi bicara kreator di segmen lain yang punya isu serupa, seperti musisi atau pelukis. Faktor-faktor tersebut membuat kreator sulit berkarya karena tidak ada kestabilan pendapatan.

Teknologi memang membantu memotong rantai panjang ini. Kita sudah merasakan bagaimana media sosial menghubungkan kreator dengan penggemarnya, menjadi wadah untuk mempromosikan karyanya. YouTube, Instagram, dan Twitter memampukan siapapun untuk terpapar dengan kreator atau karya yang belum pernah ditemui pengguna sebelumnya. Sampai akhirnya YouTube memberlakukan adsense, Instagram dengan influencer tools, dan TikTok lewat marketplace. Namun, sejatinya platform-platform ini sejak awal dirancang sebagai media sosial, bukan platform monetisasi karya.

Sebelum ada model Direct-to-Consumer (DTC), kreator mengandalkan sponsorship dan iklan dari pemilik brand sebagai salah satu revenue stream kreator. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan ekosistem digital, pelaku startup mengembangkan platform DTC yang membantu kreator memonetisasi langsung dari fans/audiens/follower. Bentuknya bisa dalam bentuk penjualan karya atau donasi.

Dalam konteks pasar Indonesia, platform-platform apresiasi konten lokal memang baru muncul beberapa tahun belakangan untuk mengisi pasar ekonomi kreatif yang belum tergarap optimal. Ini menandakan sebuah sinyal manis bahwa pasar Indonesia mengapresiasi peran platform lokal sekaligus karya-karya yang layak untuk dibeli.

Dari berbagai sumber yang kami rangkum, ada beberapa platform apresiasi karya yang cukup mendapat perhatian penikmat konten di Indonesia, di antaranya ada Storial, KaryaKarsa, Saweria, GoPlay, Noice, dan Trakteer. Format karya yang dipasarkan beragam, mulai dari gambar, cerita fiksi, lukisan, hingga konten livestreaming. Ini baru model berbasis DTC.

Ada pula platform Allstars yangmenghubungkan pemilik brand, baik dari skala kecil sampai skala besar dengan influencer untuk mempromosikan produk/jasa sebuah brand melalui kreasinya.

Diolah dari berbagai sumber / DailySocial

Untuk konten yang bersifat live streaming, Saweria memungkinkan kita untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk tip. GoPlay juga salah satunya, kreator dapat menerima dukungan finansial dengan konsep virtual gift, yang juga dapat dicairkan secara instan ke rekening bank atau dompet digital.

Adapun, Storial memakai skema penjualan karya satuan (ecer) agar bisa lebih terjangkau bagi pembaca dan pembaca hanya membeli bab cerita yang diinginkan. Per bab (chapter) dapat dibeli minimal Rp2.000 hingga Rp10.000. Harga juga ditentukan sesuai kesepakatan dengan penulis. “Skema ini menguntungkan kreator atau penulis karena mereka akan mendapat pemasukan sebanyak 35%-50% dari bab yang terjual. Porsi ini terbilang jauh lebih besar dibandingkan yang diterima dari penjualan buku fisik,” jelas Ega.

Sementara, Karyakarsa memberikan 90% pembelian karya ke kantong kreator, di mana 10% diambil untuk biaya platform. KaryaKarsa juga menampilkan fitur Simulasi Pendapatan di mana kreator dapat memperhitungkan harga, jumlah follower, berapa persen [audiens] yang akan dikonversi, hingga seberapa produktif dalam sebulan.

Ario mencontohkan, sekitar 1% dari 10.000 follower yang dimiliki kreator, dapat dikonversi untuk menjadi pembeli konten, yakni 100 yang dikalikan dengan Rp10ribu (asumsi harga per bab). Artinya, kreator bisa meraup Rp1 juta untuk satu karya. Apabila ingin meningkatkan pendapatan, kreator harus produktif menelurkan karya.

“Di sini, kreator bebas pakai sesuai kebutuhan, ini menjadi keunggulan karena mereka bisa mengatur pola kreasi, tanpa ada deadline dari publisher. Jadi kami tidak terlibat di situ. HAKI 100% dimiliki kreator. Proses kreatif sepenuhnya oleh kreator. Kami berupaya edukasi, jika ingin monetisasi karya, harus pikirkan metrik di atas. Masalah bagus atau tidak, itu relatif tergantung audiens,” tutur Ario.

Sebagai perbandingan pada platform luar, YouTube menjadi salah satu platform yang menjadi kiblat kreator untuk momentisasi karya. Kebijakannya ketat, kreator harus memiliki lebih dari 4.000 jam tonton publik yang valid dalam 12 bulan terakhir dan memiliki lebih dari 1.000 pelanggan.

Webtoon memasang ad revenue sharing bagi kreator dengan sejumlah ketentuan. Di awal mungkin yang diterima belum seberapa, tetapi kreator punya kesempatan meningkatkan pemasukan sejalan dengan meningkatnya fanbase. Sumber pendapatan lain dapat diterima lewat merch, buku (apabila diterbitkan secara fisik), dan lewat dukungan Patreon.

Sementara, Patreon memakai sistem keanggotan (membership) yang memampukan kreator untuk menghasilkan uang dari fans maupun supporter. Beberapa contoh model bisnis Patreon di antaranya fan relationship model (video chat atau personalized message), community model, dan gated content model.

Monetisasi dari sudut pandang pengguna

Selain bicara soal isu dan tantangan, pada tulisan ini, DailySocial menyertakan survei kecil-kecilan yang diikuti 32 responden terkait pola konsumsi konten di berbagai platform. Sebagai disclaimer, hasil riset ini tidak menggambarkan atau mewakili pendapat mayoritas penikmat konten di Indonesia. Tujuan kami semata ingin mendapat sudut pandang pengguna menghargai sebuah konten.

Terlepas dari popularitas platform asing, DailySocial menemukan beberapa responden mengakses konten (berbayar maupun gratis) dari platform lokal, seperti KaryaKarsa, Storial, dan Saweria. Kendati begitu, pengguna juga banyak yang mengakses konten dari platform Wattpad, Webtoon, Kakaopage, OpenSea, Patreon, dan YouTube.

Cerita bergambar (komik, manga, manhwa) merupakan konten (berbayar maupun gratis) yang paling banyak diakses oleh responden (46,4%), diikuti cerita fiksi/novel online (35,7%), video (28,6%), game dan musik (masing-masing 25%), ilustrasi/lukisan/desain (14,3%), dan NFT (3,6%).

Kehadiran metode pembayaran digital tampaknya mempermudah responden untuk membeli konten favoritnya, karena sebesar 75 persen responden menggunakan platform, seperti OVO, GoPay, dan DANA untuk membeli konten. Selebihnya menggunakan metode transfer bank (39,3%) dan kartu kredit (28,6%). Adapun, sebanyak 51,7 persen memilih skema bayar per konten, 31 persen memilih berlangganan.

Responden bicara soal konten gratis versus berbayar

Apabila karya kreator menarik, patut untuk dibayar. Tetapi saya tetap menikmati konten gratis jika ada. Free contents are good, but supporting the brain behind ’em is better
Gratis in exchange of ads tidak apa, selama harga berlangganan masih oke. Untuk game, saya memilih berbayar supaya tidak ada insentif buat developer yang memaksa kita menonton iklan terus-menerus.  Saya bersedia membayar konten dari kreator yang saya suka dan percaya. Jika belum saya kenal, kemungkinan saya butuh melihat karya gratisnya dulu
Konten gratis banyak yang sama bagus dengan konten berbayar. Biasanya [mau bayar] di konten Webtoon soalnya saya penasaran dengan chapter selanjutnya. Mau tidak mau beli.
Tidak punya waktu untuk refreshing dengan membaca, jadi tidak efektif jika harus bayar konten digital. Saya menikmati kedua-duanya. Beberapa author perlu start bagus untuk tahu apakah karyanya layak dijual atau tidak. Dengan cara ini, saya tertarik untuk menikmati konten gratis. 

Menurut 72,4% responden, harga yang ditetapkan kreator untuk karyanya sudah sesuai dengan ekspektasi mereka. Namun, beberapa menilai bahwa ada karya gratis yang tingkat pengerjaannya sulit, tetapi kreator mematok harga terlalu murah. Sebaliknya, ada pula yang menilai sebuah karya yang tidak sebaik itu kualitasnya, tetapi terlalu mahal.

Responden juga menyampaikan aspirasinya agar Indonesia dapat memiliki platform-platform apresiasi kreator yang tak kalah saing dengan Webtoon dan TikTok di masa depan. Selain itu, mereja berharap platform fasilitator dapat meningkatkan fungsinya agar harga dapat lebih ekonomis bagi penikmat karya.

True fans hingga fitur penemuan

Monetisasi adalah satu hal, tetapi bagaimana memastikan keberlangsungan kreator dalam jangka panjang? Bagaimana mendukung upaya monetisasi kreator yang belum punya fanbase? Bagaimana jika kreator tidak percaya diri dengan karyanya sehingga memberi harga murah pada karya-karyanya?

Ega sempat menyingung bahwa ledakan creator economy ini akan membawa kita pada natural selection. Orang akan semakin kewalahan (overwhelmed) dengan banyaknya konten. Maka, kualitas lah yang akan mengikat orang yang punya value yang sama, atau istilahnya law of attraction.

Dari sudut pandang Ario, ketidakyakinan ini dinilai dapat memengaruhi potensi pemasukan kreator di masa depan. Maka itu, platform memang harus mengambil peran lebih untuk memberi dukungan kepada para kreator yang baru membangun fanbase. Selama ini audiens tahu informasi mengenai suatu kreator karena mengikuti karya-karyanya sejak awal. Namun, bagi kreator yang baru merintis, ini tentu sulit.

“Fokus kami adalah kreator. Karya mereka bernilai sehingga bisa dihargai, ini jadi afirmasi kalau mereka beli konten. Yang dibutuhkan dalam siklus perjalanan kreator adalah apa yang dapat ditawarkan oleh platform selanjutnya. Apa yang dapat dicapai pada titik kreator bisa dapat pemasukan bulanan di platform kami? Bagaimana supaya mereka bisa punya fanbase? Ini juga menjadi tanggung jawab kami sebagai penyedia platform untuk menemukan [kreator] lalu kami ekspos,” jelas Ario.

Sementara, menurut CEO GoPlay Edy Sulistyo, alih-alih terpaku pada metrik jumlah follower atau subscriber dan view, kreator dapat lebih fokus membangun hubungan dengan penggemar loyal (disebut sebagai true fans). Semakin erat engagement dengan true fans, kreator dapat tetap mempertahankan relevansinya, membuat konten apa adanya tanpa perlu kehilangan jati diri.

True fans menjadi indikator penting karena mereka memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” ujar Edi beberapa waktu lalu.

Indonesia di antara era Web2 dan Web3

Dalam laporan The New Creator Economy Report yang diterbitkan Antler bersama Speedinvest, era Web3 akan membawa generasi kreator berikutnya terhadap kemampuan monetisasi yang lebih besar. Komunitas memainkan peran besar dalam mendukung upaya kreator meningkatkan sumber monetisasi konten lewat tools. Konten di era Web3 juga semakin eksploratif dengan blockchain, seperti NFT dan Metaverse.

Sumber: The New Creator Report by Antler

Laporan ini sedikit menyentil suatu platform yang mengambil bagian lebih banyak dari yang dihasilkan kreator. Masih ada platform yang tidak menyediakan algoritma atau tools yang memampukan konten suatu kreator ditemukan lewat algoritma.

Overall, stronger loyalty. Para kreator dapat memberikan reward kepada penggemar loyal lewat engagement berkelanjutan yang tidak terlalu terikat dengan $$$. Saya menantikan tools yang dapat menjembatani engagement Web2 dengan Web3. Misalnya, menentukan fans terbesar dari kehadiran di konser, biaya yang dihabiskan untuk merchandise dan interaksi langsung, yang dapat menjadi kickstart tiered loyalty di platform Web3. Dengan begitu, kreator tidak perlu mulai dari nol membangun fanbase, dan memberikan reward ke penggemar yang mengikutinya sejak awal,” tutur Investor Lerer Hippeau Meagan Loyst dalam laporan tersebut.

Baik Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani melihat era Web3 datang lebih cepat di Indonesia. Padahal industri creator economy Tanah Air baru berada di fase Web2, di mana supply dan demand belum mencapai puncak pertumbuhannya (peak growth). Situasi ini membuat seolah-olah industri creator economy di Tanah Air mengalami overlap dari Web2 ke Web3.

“Namun, saya melihat situasi saat ini sebagai exciting period karena ada banyak faktor pendukung [mengoptimalkan pertumbuhan di Web2], yakni pertumbuhan jumlah populasi, penetrasi internet, dan penetrasi smartphone di Indonesia,” tutur Alex.

Ia memproyeksi era Web3 bakal melahirkan istilah kreator baru. Dalam 2-3 tahun ke depan, jika tadinya disebut seniman atau pelaku seni, istilah ini akan berubah menjadi NFT artist. Perkembangan teknologi dan industri akan membentuk terminologi, identitas, dan lapangan kerja baru. Apalagi Web3 berbasis desentralisasi sehingga kreator tak hanya dapat membuat dan menjual karya, tetapi juga memiliki Intellectual Property (IP) atas karyanya.

Arief menambahkan, creator economy di era Web3 akan menjadi bisnis independen di mana mereka dapat momentisasi langsung karyanya. Di fase selanjutnya, creator economy akan berevolusi kembali di mana kreator dan fans/audiens bisa berkolaborasi menciptakan sesuatu bersama.

Terlepas dari independensi monetisasi karya di era Web3, Arief menilai pemilik brand tidak akan kehilangan posisinya. Malahan, brand akan tetap melihat kreator sebagai salah marketing channel yang menarik untuk mengejar target secara organik.

“Jadi brand deal dan model monetisasi D2C bisa saling berpengangan tangan interpendensi bagi kreator karena Web3 tidak serta merta menghilangkan model monetisasi dari brand,” tuturnya.

Catatan penutup penulis, lima tahun lagi satu miliar orang akan mengidentifikasi dirinya sebagai kreator. Kreator tak lagi akan dipandang sebagai sebuah kegiatan iseng belaka untuk mengisi waktu luang, melainkan sebagai pilihan karier.

Apakah Anda tertarik menjelajahi pengalaman baru sebagai kreator independen?

GoPlay Creator Fund Diluncurkan, Dukung Kreator Bangun Basis Penggemar yang Loyal

Platform livestreaming interaktif GoPlay mengumumkan “GoPlay Creator Fund” sebagai program apresiasi kreator dalam membangun basis penggemar loyal (true fans) mereka. GoPlay menyiapkan Rp15 miliar yang akan diterima para kreator terpilih sebagai bonus bulanan.

Dalam acara peluncuran virtualnya, CEO GoPlay Edy Sulistyo mengatakan bahwa program ini bertujuan memberi dorongan kepada kreator agar tetap dapat membangun konten berkualitas sesuai jati dirinya, dan tidak terlalu terpaku pada metrik-metrik konten yang selama ini berorientasi pada jumlah follower/subscriber dan view.

Ia mengamati bahwa banyak kreator memproduksi konten untuk meningkatkan jumlah follower/subscriber dan view mereka. Ini membentuk anggapan semakin banyak follower, semakin banyak view. Kendati begitu, ia menyebut metrik-metrik tersebut tidak menjadi penentu keberhasilan kreator di GoPlay.

“Sejak awal kami bermimpi menjadikan GoPlay sebagai rumah bagi kreator lokal di Indonesia, dan kreator dapat memiliki pendapatan yang berkelanjutan. Dan ini tidak berubah. Kami tidak ingin kreator fokus pada metrik-metrik tersebut karena mereka tidak bisa menjadi diri sendiri,” tutur Edi.

Ia menilai ada cara yang lebih baik untuk membangun kualitas kreator, yaitu menemukan penggemar yang loyal atau disebut sebagai true fans. Hubungan yang dibangun antara kreator dan true fans menjadi lebih relevan agar kreator dapat membuat konten apa adanya, berkualitas, fun, interaktif, dan engaging.

Tak kalah penting, true fans menjadi indikator penting karena memiliki tingkat retensi tinggi. Artinya, ada kemungkinan besar mereka akan kembali menonton tayangan baru dari kreator. “Ini menjadi kunci utama bagi kreator karena mereka bisa lebih sustainable tanpa perlu punya jutaan view atau follower,” lanjut Edi.

Dengan memegang visi-misi di atas, pihaknya dapat terus mengeksplorasi inovasi kreatif untuk mendekatkan hubungan kreator dan fans. Ini tercermin dari fitur-fitur yang dihadirkan, seperti live chat, quiz, instant withdrawal, dan virtual gift.

Kriteria Creator Fund

Chief Strategic Officer Martinus Faisal menambahkan bahwa pihaknya ikut terlibat dalam mengedukasi para kreator di platformnya. Salah satunya adalah tiga cara utama membangun true fans, yaitu frekuensi pembuatan konten, konsistensi penayangan konten, dan kuantitas konten.

“Dengan definisi yang kami paparkan, creator economy tidak sama dengan influencer. Creator economy membuat konten untuk fans-nya. Sementara, influencer memenuhi kebutuhan brand dan memonetisasi pendapatan dari brand dengan memanfaatkan follower yang dimiliki. Ini yang berusaha kami edukasi ke para kreator,” ujarnya.

Pihaknya berharap program ini dapat mendorong pendapatan kreator sejalan dengan kemampuan mereka untuk memenuhi kriteria program Creator Fund serta menstimulasi kehadiran kreator-kreator baru di Indonesia agar tidak perlu menunggu sampai punya banyak follower.

Saat ini, ribuan kreator yang tergabung di GoPlay memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti program ini selama dapat memenuhi kriteria utamanya, yakni memiliki performa yang berkorelasi dengan frekuensi live di GoPlay. Adapun, kreator GoPlay diklaim telah meraup pendapatan puluhan hingga ratusan juta per bulan.

Selain bonus bulanan, kreator juga berkesempatan untuk mendapat fasilitas promosi kreator maupun iklan berbayar pada berbagai media channel GoPlay, penggunaan studio rekaman GoPlay di Jakarta untuk livestreaming, tampil rutin di acara liveshow GoPlay (Ex: GoPlay Playground), mentorship khusus dari tim GoPlay, dan kesempatan mendapat sponsor dari partner GoPlay.

Dana untuk ekosistem pengguna

Memberikan dukungan untuk basis pengguna merupakan salah satu strategi kunci startup dalam menguatkan ekosistem produknya. Cara ini juga dilakukan sejumlah startup lain, salah satunya Hijub. Pada September tahun lalu, mereka meluncurkan “Hijup Growth Fund“, program pembiayaan untuk pelaku busana muslim lokal. Nantinya pemilik brand terpilih akan mendapatkan dukungan kapital hingga operasional bersama tim Hijub.

Spesifik untuk industri OTT, Goplay memang dituntut untuk terus menghadirkan konten yang relevan bagi pengguna. Selain yang sifatnya produksi mandiri dengan menggandeng produksi film, model user generated juga dapat melengkapi opsi hiburan yang ada di aplikasi. Adanya dukungan dari sisi platform hingga kapital menjadi awal yang baik untuk merangkul lebih banyak konten kreator potensial dengan karya-karya yang bisa diterima masyarakat.

GoPlay Rilis Aplikasi “GoPlay Studio” Permudah Kreator Peroleh Penghasilan

GoPlay, layanan live streaming interaktif dari Gojek, memperkenalkan aplikasi “GoPlay Studio” untuk permudah konten kreator berkreasi secara mandiri dan memaksimalkan berbagai fitur interaktif seperti gameshow, live-shopping, virtual gift, dan lainnya.

CEO GoPlay Edy Sulistyo menerangkan, seiring perjalanan GoPlay pihaknya menerima banyak permintaan untuk menjadi kreator di platformnya. Untuk itu, GoPlay Studio disempurnakan dengan fitur swakelola yang mudah digunakan, sehingga semakin banyak kesempatan dapat diraih para kreator, termasuk kreator pemula.

Sebagai platform Professional-User-Generated Content (PUGC) yang mematuhi aturan konten positif di Indonesia, GoPlay akan melakukan proses review, validasi, dan persetujuan bagi setiap calon kreator dalam waktu maksimum 72 jam. Setelah itu, para kreator dapat menggunakan aplikasi GoPlay Studio secara mandiri.

“Sejak diluncurkan tahun 2019, GoPlay berkomitmen mendukung penuh para pembuat konten supaya bisa menjangkau audiens lebih luas lagi. Komitmen ini tidak berubah seiring penguatan fokus GoPlay pada konten live streaming yang interaktif dan dapat dinikmati bersama teman dan keluarga,” terangnya dalam keterangan resmi, Selasa (16/11).

Aplikasi ini hadir, lantaran saat ini konten kreator sudah menjadi profesi, bukan sekadar hobi atau pekerjaan sampingan. Salah satunya lewat fitur virtual gift, salah satu konten kreator GoPlay mampu mengumpulkan pendapatan lebih dari Rp10 juta dari sebuah sesi live streaming. Peluang tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh kreator melalui berbagai inovasi GoPlay, sehingga mereka bisa dapat penghasilan yang memadai dari konten.

Tidak disebutkan berapa banyak kreator yang sudah bergabung di GoPlay. Namun sejumlah nama besar live streamer seperti Jessica Iskandar, Gracia Indri, Aurellie Hermansyah, Nila Sari, Citra Kirana, Rezky Aditya, Aqeela, Rassya Hidayah, Frislly Herlind, JKT48, dan lainnya sudah bergabung di GoPlay.

Edy melanjutkan, tidak hanya untuk konten kreator, para penonton GoPlay juga dapat menemukan berbagai konten live show berdasarkan kategori, konten yang saat ini sedang live, terjadwal, recorded, hingga konten dari para top streaming. Selain itu, penonton bisa mem-follow kreator favorit mereka sehingga mereka tidak ketinggalan saat sesi live streaming.

“Di samping itu, penonton dapat bergabung dalam grup chat komunitas yang memiliki preferensi konten serupa, sehingga dapat lebih dekat dengan konten favorit, mendapatkan update konten terbaru lebih awal, hingga mengikuti kuis dan giveaway khusus.”

Edy menutup, “Selama setahun terakhir ini, kami melihat interaksi antara penonton dan kreator sangat intens dalam GoPlay. Para penonton aktif membahas berbagai konten yang mereka senangi. Membawa tema “meet new people, find amazing content, discover your community”, penonton tidak hanya mudah menemukan konten, tetapi juga teman hingga komunitas baru sesuai preferensi.”

Sejak pandemi, GoPlay menyeriusi segmen live streaming yang tinggi peminat namun belum terlayani secara maksimal oleh platform yang ada saat ini. GoPlay Live didesain dengan teknologi sedemikian rupa untuk menekan delay agar dapat menyajikan live stream secara real time. Pasalnya, live stream itu erat kaitannya dengan interaksi langsung antara penonton dengan host sehingga apabila ada delay tentu pengalaman tersebut tidak akan maksimal. Pengalaman tersebut masih menjadi hambatan bagi platform live stream yang hadir saat ini.

GoPlay mencatat tayangan live show interaktif berhasil menarik antusiasme pengguna. Jumlah live show meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021. Pertumbuhan tersebut seiring dengan jumlah kreator konten yang meningkat hingga 100% dibandingkan tahun lalu. Salah satunya, konten GoPlay Live Original bersama JKT48, bernama JKT48 Live Show berhasil menarik penonton hingga lebih dari 4 ribu orang.

Pencapaian dari GoPlay ini tercermin dengan laporan dari App Annie. Jumlah jam yang dihabiskan pada aplikasi mobile video streaming di Indonesia pada kuartal IV 2020 mencapai 8,33 miliar jam. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94 miliar jam. Konsumen juga dipercaya akan mengunduh lebih dari satu hingga rata-rata 9,5 aplikasi streaming, seiring dengan minat mereka untuk terus mencari hiburan baru di aplikasi selama berkegiatan di rumah.

Pangsa pasar live streaming dalam e-commerce

Selain untuk kebutuhan hiburan, live streaming kini menjadi pendekatan baru dalam berjualan online. Tiongkok menjadi negara terdepan untuk inovasi ini. Menurut laporan 2020 China’s E-commerce Livestreaming Ecology, seperti yang disajikan oleh Statista, memproyeksikan streaming e-commerce akan menjadi komponen utama dari seluruh industri e-commerce.

Selama tiga tahun ke depan, analis industri Tiongkok memperkirakan penjualan langsung akan tumbuh lebih jauh. Pandemi kemungkinan menyebabkan percepatan yang signifikan untuk pasar ini dengan proyeksi 10,2% dari total pasar e-commerce untuk tahun 2020, 15,2% untuk 2021, dan 20,3% untuk 2022.

Asia Tenggara juga mengalami pertumbuhan serupa di pasar live commerce. Sebuah survei regional oleh iKala mengungkapkan popularitas live commerce meningkat di seluruh Asia Tenggara. “Social commerce tumbuh dengan mantap, tetapi dikombinasikan dengan pandemi dan penutupan mal dan toko fisik, telah mempercepat adopsi live commerce di seluruh Asia Tenggara – sebuah tren yang akan tetap ada,” kata CEO iKala Sega Cheng.

Adopsi live streaming yang terakselerasi kini menjadi alat untuk pemasaran dan penjualan sebagian besar dikaitkan dengan meningkatnya minat bisnis dalam teknologi live streaming. Namun, faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan adopsi ini adalah kemudahan melakukan live streaming.

Jika kita melihat beberapa aplikasi e-commerce populer di Indonesia, seperti Shopee atau Bukalapak, secara rutin mereka mengagendakan kegiatan live streaming (baik di dalam platform atau di media sosial) dalam mengiringi momen-momen tertentu, misalnya saat pesta belanja online. Secara khusus aplikasi mereka juga dibubuhi dengan kapabilitas untuk menampilkan sesi tersebut, dilengkapi fitur interaktif untuk konsumen.

Konten promosi berbasis video sangat diminati oleh pengguna layanan e-commerce / Sales Layer

Menurut survei di Amerika Serikat yang dipublikasikan Sales Layer menunjukkan tren mengesankan tentang sumbangsih konten berbasis video untuk kegiatan promosi. Dari sisi konsumen, 96% calon pembeli terbantu penjelasan video untuk mempelajari tentang produk yang dibeli. Sementara 85% pebisnis juga mulai memanfaatkan alat berbasis video untuk meningkatkan pemasaran dan penjualan mereka.

Di sisi lain, bisnis juga ditawarkan oleh pendekatan pemasaran berbasis influencer atau oleh selebriti media sosial melalui konten-kontennya. Di ranah ini, beberapa startup juga menyajikan alat untuk menghubungkan talenta dengan pemilik brand. Dari catatan DailySocial.id, sejauh ini ada beberapa platform yang aktif di pasar Indonesia, di antaranya Pongo Indonesia, Partipost, Raena, AnyMind, Hiip, Verikool, Socialbuzz — bahkan secara khusus Gojek juga menggandeng platform Allstars untuk memberikan opsi pemasaran serupa bagi mitranya.

Application Information Will Show Up Here

Serba-Serbi Menentukan Metrik pada Startup

Metrik menjadi sebuah standar bagi pelaku startup dalam mengukur pencapaian bisnisnya. Tentu saja, startup wajib memiliki metrik agar dapat memahami bisnis yang mereka jalankan dan menentukan strategi bisnis ke depan.

Dalam webinar bertajuk “Measurements & Metrics“, CEO GoPlay Edy Sulistyo berbagi perspektif dan pengalaman menariknya dalam menggeluti bisnis konten on-demand di Indonesia. Edy yang sudah lama berkarir di dunia media entertainment ini mengungkap serba-serbi metrik di dunia startup.

Selengkapnya, simak rangkuman menarik yang dipaparkan Edy pada rangkaian sesi program akselerator ActCelerate yang diselenggarakan oleh MCash, SiCepat, dan DailySocial.id ini.

Menentukan metrik

Metrik “Bintang Utara” atau acap disebut “North Star” banyak digunakan oleh pelaku startup sebagai patokan bagi perusahaan untuk mencapai target bisnisnya. Ibaratnya one single metric.

Setiap vertikal bisnis startup punya metrik berbeda, tidak ada satu pun yang sama. Misalnya, bisnis e-commerce bisa jadi berpatokan pada Money Transaction User (MTU) atau Daily Transaction User (DTU). 

Pada kategori bisnis lain, bisa juga metriknya mengacu pada Monthly Active User (MAU) dan Daily Active User (DAU), atau DAU to MAU ratio untuk mengukur stickiness setiap pengguna. Semua itu kembali lagi tergantung pada jenis produk, bisnis, maupun visi-misi yang ditentukan startup. 

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menentukan metrik? Tentu saja sejak awal membangun bisnis. Ini menjadi penting untuk mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai. Jika ingin mencapai suatu target, caranya dapat diterjemahkan melalui metrik. 

Metrik yang dicari investor

Edy memetakan tiga kategori metrik besar yang diincar investor. Pertama, metrik berbasis transaksi. Investor melihat pentingnya metrik berbasis transaksi untuk melihat seberapa sustainable sebuah bisnis, apakah dapat menghasilkan pendapatan atau EBITDA positif. 

Kedua, ada investor yang menyukai metrik berbasis MTU dan DTU. Umumnya, metrik ini digunakan pada produk dengan model berlangganan (subscription). Dengan metrik ini, investor dapat mengetahui seberapa banyak pengguna yang menggunakan layanan per hari atau bulannya.

Ketiga, DAU to MAU ratio. Bagi investor, metrik ini sangat penting karena dapat menunjukkan kualitas sebuah produk. “Ini menjadi honest metric tetapi sebetulnya sulit dijalankan. Biasanya, metrik ini wajib bagi startup yang sudah masuk tahapan seri E ke atas,” paparnya.

Ambil contoh, DAU sebuah layanan media entertainment berada di angka Rp100 ribu. Artinya, setiap harinya pengguna menghabiskan Rp100 ribu untuk konten. Apabila dikalikan selama 30 hari, kita akan mengantongi 3 juta unique user. Biarpun kelihatannya banyak, bagi Edy ini tidak menunjukkan hasil yang bagus karena tidak ada stickiness pengguna.

“Kalau ingin mencapai, misalnya, DAU to MAU ratio 20%, kita harus membuat 87% pengguna kembali lagi untuk spend besoknya. No amount of money yang bisa mengorkestrasikan itu. [Untuk mencapai ini] kita harus purely punya product-market fit,” tambahnya. 

Memitigasi kegagalan metrik

Setiap orang/divisi di perusahaan harus saling onboard dengan apa yang mereka kerjakan dan capai. Edy menilai, terlalu banyak metrik yang ingin dikejar akan menyulitkan startup dalam mencapai visi dan misinya. Apalagi kalau masing-masing divisi mengejar metrik yang berbeda. 

“Harus ada satu metrik yang matter the most. Memang semua metrik itu penting, tetapi tidak mungkin semua harus dicapai seluruhnya. Di kasus kami, biasanya kami adakan daily stand-up untuk saling mengetahui metrik apa yang ingin dikejar. Kan kalau berbeda jadi ketahuan. Selama semua tahu apa yang sedang dilakukan, ini dapat memitigasi kemungkinan gagal [sebuah metrik],” jelas Edy.

Tapi, ada pula kasus startup mengganti metriknya. Misalnya, startup beralih ke metrik ads-based karena MTU dianggap sudah tidak relevan dengan bisnisnya. Kemudian, berganti lagi ke DAU. Dengan catatan, semua ini dapat berubah tergantung pertumbuhan perusahaan, tahapan, dan arah bisnisnya di masa depan.

Menarik investor dengan metrik

Eddy menilai, melakukan comparable business menjadi salah satu strategi penting ketika mencari investor. Tujuannya adalah mengetahui posisi bisnis kita di industri, apakah ada yang jauh lebih besar dari bisnis yang kita jalankan, dan apakah ada kompetitor yang sampai ke jalur IPO.

“Jika tujuannya sampai ke IPO, mencari informasi soal kompetitor bisa membantu kita untuk menentukan valuasi. Misalnya, kompetitor kita melantai ke bursa. Kalau valuasi kompetitor dinilai dari sepuluh kali price to earning ratio, di sini kita dapat memperkirakan pendapatan atau valuasi bisnis kita,” ucapnya. 

Tak harus mencari studi kasus di perusahaan yang IPO, pelaku startup juga bisa menilik ke perusahaan private. Pembandingnya dapat dilihat dari sejumlah metrik, seperti GMV atau jumlah klien mereka.

Tapi perlu diteliti juga. Apabila kontribusi klien mencapai 50%, ini dapat menjadi red flag karena apabila kliennya berhenti, perusahaan dapat berpotensi kehilangan 50% pendapatannya. Bisa jadi ini pertanda bahwa bisnisnya belum product-market fit.

Jangan merekayasa metrik

Menurut Edy, ada saja pelaku startup yang merekayasa metrik demi meningkatkan valuasi atau memperoleh pendanaan dari investor. Baginya, hal ini tidak patut ditiru karena akan berbalik ke startup itu sendiri.

“Jangan sampai kita sengaja membuat metrik bohongan. Ketika mereka berhasil mengantongi valuasi dan pendanaan dengan nilai lebih besar, di sini your nightmare starts. Mendapat pendanaan bukan berarti selesai, justru semakin besar money yang diperoleh, semakin besar pula bebannya. Apalagi kalau raise money dengan valuasi di inflated number,” ungkapnya.

Edy mengatakan, startup punya runway terbatas dari pendanaan yang diterima sehingga kemungkinan besar mereka harus cari pendanaan baru lagi mengingat investor tidak suka dengan pertumbuhan bisnis yang lambat. Dari sini, masalah akan mulai muncul karena startup mau tak mau harus kembali merekayasa metriknya demi mencapai metrik yang lebih besar. Dengan kata lain, metrik bohongan ini tidak akan pernah ada habisnya.

Berbagi Pelajaran dan Pengalaman Menarik dari Program Inkubator Startup DSLaunchpad

Selalu ada pengalaman menarik yang diperoleh para peserta program inkubasi startup. Tak hanya pelajaran berharga bagi pengembangan bisnis, pelaku startup juga dipertemukan dengan berbagai orang hebat di bidangnya. Salah satunya melalui DSLaunchpad, program inkubator yang diselenggarakan oleh DailySocial.id.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, kami berbincang dengan Head of Marketing GoPlay Rizki Suluh Adi dan Co-founder Sertiva Saga Iqranegara yang masing-masing pernah berpartisipasi sebagai mentor dan peserta di DSLaunchpad 1.0. Simak selengkapnya, sejumlah pengalaman menarik yang dibagikan keduanya berikut ini.

Mengambil langkah pertama

Secara umum, Rizki menilai salah satu tantangan utama yang dihadapi pelaku startup adalah bagaimana mengambil langkah pertama untuk memvalidasi ide. Istilahnya adalah sanity check. Menurutnya, sanity check dilakukan untuk memastikan ide yang diambil dapat berguna atau tidak, dapat dikembangkan atau tidak, atau apakah sudah pernah digunakan orang lain atau tidak.

Sanity check menjadi aspek yang krusial mengingat peserta program inkubasi ini datang dengan idealisme masing-masing. Mereka bahkan tak hanya diikuti oleh pelaku startup yang sudah memiliki perusahaan, tetapi ada juga yang datang hanya dengan ide matang, tetapi masih ingin melakukan brainstorming.

Berbagi pada pengalamannya tahun lalu, ungkap Rizki, para mentor menambahkan satu aspek sanity check lagi, yaitu mengembangkan ide bisnis dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19.

“Mengapa sanity check perlu? Banyak startup yang datang dengan mimpi the romance of startup. Misalnya, ingin menjadi startup unicorn, atau startup yang punya growth, dan bisa burning money. Namun, dunia ini mulai berubah, ada masalah baru dan orang-orang menjadi selektif,” ungkap Rizki.

Dengan menambahkan satu aspek baru, startup kini tak lagi hanya fokus untuk bertumbuh, tetapi bagaimana fokus untuk mencapai garis tersebut. Pandemi Covid-19 juga mengakselerasi kebutuhan yang sebelumnya dianggap belum waktunya dikembangkan. “Salah satu keunggulan startup dibanding lainnya adalah speed. Co-founder bisa kasih keputusan dengan cepat untuk mengakselerasi kebutuhan,” tambahnya.

Mempertemukan dengan koneksi baru

Rizki melanjutkan, program inkubator turut membantu mempertemukan pelaku startup dengan jaringan investor dan klien potensial. Dari pengalaman sebelumnya pada batch pertama, ia memperkenalkan grup peserta yang ia mentori dengan para investor dan klien B2B. Dengan catatan, peserta yang dipertemukan dengan investor ini adalah mereka yang sudah memiliki ide tervalidasi.

“Kita tidak bisa membangun semua sendiri. Maka itu penting punya ide yang tervalidasi, mempertajam masalah, dan mencoba apakah orang mau membayar produk yang kita buat. Selain itu, penting juga untuk bisa mengeksekusi ide. Orang bisa punya banyak ide, tetapi yang bisa mengeksekusinya itu yang bisa survive,” paparnya.

Mengembangkan startup dari luar Jakarta

Menurut data internal DailySocial.id, sebanyak 73% peserta DSLaunchpad berasal dari luar Jakarta. Dalam kaitannya dengan industri startup, sering kali ada anggapan sulit membangun startup dari luar Jakarta karena keterbatasan akses untuk mengembangkan bisnisnya. Contoh, akses pasar dan permodalan. Maka itu, program inkubator dirasa menjadi salah satu medium penting untuk memperoleh akses tersebut.

Saga mengakui bahwa ada satu titik di mana startup mau tak mau harus ke Jakarta untuk mencari mitra strategis dan mengembangkan pasar dengan strategi tertentu. Akan tetapi, ia menilai hal tersebut bukan selalu menjadi faktor penentu kesuksesan. Sekadar diketahui, Sertiva berasal dari Yogyakarta yang bergabung menjadi peserta DSLaunchpad angkatan pertama.

“Mendirikan startup bisa itu dari mana saja. Toh para startup unicorn saja pada akhirnya membangun tim di luar Jakarta,” ucapnya.

Merealisasikan kebutuhan lebih cepat

Ada pengalaman menarik lainnya yang dialami Saga saat menjadi peserta. Sejak akhir 2019 hingga awal pandemi Covid-19, Saga bersama timnya sempat melakukan pivot layanan sertifikat digitalnya. Sebut saja dari produk A ke B.

Ketika ia bergabung menjadi peserta DSLaunchpad, ia mengaku bertemu kenalannya yang kebetulan menjadi mentor di program tersebut. Yang menariknya lagi, mentor ini ternyata berminat menggunakan produk awal Sertiva sebelum di-pivot.

“Mentor kami hampir saja membeli layanan serupa Sertiva dari luar negeri yang harganya mahal. Setelah bicara soal kebutuhan mereka, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke produk awal. Intinya, pandemi ini seperti mesin waktu, di mana sesuatu yang bakal terjadi dalam 2-3 tahun ke depan, justru terealisasi lebih cepat. Di sisi lain, kami juga tak hanya dapat mentor, tetapi juga customer di program ini,” tuturnya.

Mentoring virtual tetap efektif

Terlepas dari kegiatan yang dilakukan secara virtual, Rizki menyebut ada banyak kesempatan dan pelajaran baru yang diperoleh di program inkubator DSLaunchpad. Para mentor juga diberikan keleluasaan untuk meracik kegiatan mentoring sesuai dengan preferensinya masing-masing.

Hal ini juga turut diamini oleh Saga yang menjadi alumni angkatan pertama. Menurut pengalamannya, para mentor yang disediakan tak cuma berbekal teori saja, tetapi juga pengalamannya dalam mengembangkan bisnis startup.

“Memang ada sedikit perbedaan dalam mengikuti program inkubator offline dan online. Tapi, kami lihat semua berjalan lancar dan tetap efektif. Bahkan, permintaan kami untuk tukar mentor yang sudah di-assign juga diperbolehkan karena kami pikir sebelumnya kurang pas dengan produk yang kami buat,” kata Saga.

Banyak Peminat, GoPlay Perkuat Fitur “Live Stream”

GoPlay menambah rangkaian fitur baru untuk perkuat platform live streaming “GoPlay Live” demi menjaring lebih banyak konten kreator lokal bergabung. Sejak diresmikan pada pertengahan tahun lalu, GoPlay Live diklaim mendapat antusiasme tinggi karena memiliki fitur interaktif yang tidak ditawarkan oleh platform sejenis.

CEO GoPlay Edy Sulistyo menjelaskan, dalam perjalanannya GoPlay hadir sebagai rumah bagi para konten kreator tanah air untuk berkreasi dan memasarkan karyanya secara lebih luas. Dukungan tersebut awalnya dihadirkan untuk para sineas perfilman melalui konten GoPlay Original dan kini diperluas ke ranah live show.

“Sejak pandemi kami menemukan banyak orang yang bisa menjadi konten kreator. Sebab, kami belajar bahwa komitmen untuk jadi wadah konten kreator itu tidak selesai di sineas saja, tidak boleh pandang bulu. GoPlay harus bisa ayomi lebih banyak para konten kreator lebih banyak lagi,” kata Edy dalam konferensi pers virtual, Jumat (9/4).

Sejumlah fitur interaktif yang diperkenalkan GoPlay Live, di antaranya Chat, Shout Out, Virtual gift, Polling, dan Live shopping. Fitur-fitur tersebut dapat mendorong para kreator untuk berinovasi menghadirkan topik-topik baru yang lebih seru dan menghibur.

Edy juga menekankan, teknologi di dalam GoPlay Live sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menekan delay dan dapat menyajikan live stream secara real time. Pasalnya, live stream itu erat kaitannya dengan interaksi langsung antara penonton dengan host sehingga apabila ada delay tentu pengalaman tersebut tidak akan maksimal. Pengalaman tersebut masih menjadi hambatan bagi platform live stream yang hadir saat ini.

“Fitur-fitur interaktif ini dibutuhkan penonton live stream karena zaman sekarang orang tidak ingin hanya sekadar nonton saja. Mereka ingin interaksi langsung dengan host-nya dengan format tontonan yang belum pernah ada sebelumnya.”

Salah satu fitur yang banyak digunakan adalah virtual gift selama live streaming. Fitur ini dapat menjadi salah satu kanal kreator dalam monetisasi, karena penonton dapat memberikan apresiasinya kepada kreator dengan memberikan hadiah berupa saldo yang dipotong langsung dari akun GoPay.

“Kami juga melihat tren pendapatan para kreator konten terus meningkat seiring antusiasme pengguna yang semakin familiar dengan fitur virtual gift ini. Temuan ini sangat membesarkan hati kami karena dukungan para pengguna akan sangat membantu pertumbuhan industri live streaming di Indonesia.”

GoPlay mencatat tayangan live show interaktif berhasil menarik antusiasme pengguna. Jumlah live show meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021. Pertumbuhan tersebut seiring dengan jumlah kreator konten yang meningkat hingga 100% dibandingkan tahun lalu. Salah satunya, konten GoPlay Live Original bersama JKT48, bernama JKT48 Live Show berhasil menarik penonton hingga lebih dari 4 ribu orang.

Pencapaian dari GoPlay ini tercermin dengan laporan dari App Annie. Jumlah jam yang dihabiskan pada aplikasi mobile video streaming di Indonesia pada kuartal IV 2020 mencapai 8,33 miliar jam. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94 miliar jam. Konsumen juga dipercaya akan mengunduh lebih dari satu hingga rata-rata 9,5 aplikasi streaming, seiring dengan minat mereka untuk terus mencari hiburan baru di aplikasi selama berkegiatan di rumah.

Sepanjang tahun ini, GoPlay akan fokus membuat lebih banyak kerja sama dengan kreator lokal untuk membuat konten eksklusifnya di GoPlay Live yang bakal tayang secara rutin. Seperti, live streaming nonton bareng film indie, live music akustik, kelas memasak, review makanan GoFood, talkshow, dan lain-lain.

“Kami juga melakukan pendampingan secara bertahap untuk para kreator. Ada tim kreator yang ditugaskan khusus untuk bantu mereka, lalu ada studio yang bisa dipakai untuk live streaming,” pungkas Edy.

Selain platform live streaming interaktif, GoPlay juga menawarkan layanan video-on-demand berlangganan yang mencakup konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, galeri film independen GoPlay Indie dan galeri konten premium lainnya, serta GoPlay Rental (pay-per-view service).

Application Information Will Show Up Here

Dinamika Pendiri dan Pimpinan Startup: dari CEO jadi Pegawai

Banyak alasan ketika para pendiri startup akhirnya memutuskan bergabung dengan startup atau perusahaan teknologi yang sudah memiliki nama besar. Mulai dari proses merger dan akuisisi atau kesempatan berbeda yang bisa dieksplorasi.

Kami ingin memahami lebih lanjut bagaimana proses mereka beradaptasi kembali ke situasi yang berbeda. DailySocial mewawancarai Calvin Kizana (Pendiri Picmix dan kini menjadi COO dan Head of Platform GoPlay), Kevin Mintaraga (Pendiri Bridestory dan kini menjabat VP Tokopedia pasca akuisisi), dan Johnny Widodo (CEO BeliMobilGue dan kini menjadi CEO OLX Autos pasca akuisisi).

Proses adaptasi

Kevin Mintaraga memiliki track record bagus ketika menjadi pendiri perusahaan. Setidaknya dia sudah merasakan dua kali perusahaannya diakuisisi oleh entitas yang lebih besar.

Tentang bagaimana proses adaptasi setelah meninggalkan posisi sebagai CEO, Kevin menyebutkan penyesuaian yang paling penting dilakukan adalah mengubah perspektif mengikuti budaya perusahaan baru. Ia percaya visi dan misi perusahaan akan menjadi kompas tersendiri dalam berkarya.

“Selain itu, dibutuhkan kecepatan dalam mengadopsi teknologi, kemampuan membaca kebutuhan pasar dan perubahannya yang sangat dinamis di era digital saat ini, dan pikiran untuk terus maju dan terbuka terhadap ide-ide baru demi menciptakan inovasi terbaik — yang bisa mempermudah kehidupan masyarakat Indonesia,” kata Kevin.

Proses adaptasi yang seamless dan selaras juga dilakukan Calvin Kizana saat resmi bergabung dengan Gojek Group. Ketika bergabung di perusahaan baru, ia merasa ada visi dan misi yang sama dan semangat untuk mengembangkan perusahaan menjadi lebih baik lagi. Kontribusinya diharapkan dapat mendorong percepatan inovasi teknologi untuk menjawab kebutuhan pasar dan berkolaborasi secara optimal untuk mengembangkan produk bersama tim yang lebih besar.

“Salah satu nilai penting yang saya pelajari selama di Gojek adalah visi perusahaan yang mengutamakan ‘it’s not about you’ yang menjadi prinsip dasar dalam melakukan kolaborasi serta adaptasi ke dalam lingkungan baru. Pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan sepihak dan juga harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan pertimbangan yang melibatkan berbagai stakeholders,” kata Calvin.

Kunci utama saat melakukan penyesuaian di tempat kerja dan posisi baru, menurut Calvin, adalah cepat mempelajari struktur yang ada, belajar menyeimbangkan ego, dan memahami bagaimana berkolaborasi optimal untuk mencapai tujuan perusahaan.

Leadership sebagai startup founder juga sangat berperan dalam mendelegasikan pekerjaan dan mendorong kinerja tim lebih maksimal demi mencapai tujuan perusahaan,” kata Calvin.

Menurut Johnny Widodo, pendiri startup biasanya adalah seseorang yang penuh dengan drive dan passion. Ketika mulai menjadi bagian dari keluarga besar dari perusahaan yang baru, banyak hal yang mulai harus diperhatikan.

“Jadi para pendiri startup ini harus bisa beradaptasi dengan managing stakeholders vs shareholders. Lebih bisa bersabar untuk menunggu proses yang mungkin lebih birokratis dan juga belajar untuk memiliki bos/manajer,” kata Johnny.

Secara etika, pada umumnya semua kekayaan intelektual (IP) dan teknologi yang dikembangkan di startup sebelumnya tidak boleh dibawa ke startup yang baru, terutama apabila kedua startup bergerak di dalam vertikal yang sama dan jika startup tempat si pegawai bekerja sebelumnya masih sepenuhnya beroperasi. Hal ini dapat menimbulkan conflict of interest.

Biasanya para pegawai startup harus bersama-sama menyepakati NDA. Jika telah memiliki investor, hal serupa juga berlaku bagi startup founder dengan investor di startup tersebut.

“Apabila startup yang didirikan ternyata mengalami gagal dan founder startup kemudian bekerja di startup/perusahaan lainnya, kita harus perhatikan arrangement yang telah disepakati antara founder dengan investor yang tertuang dalam shareholders agreement. Intinya, pada saat pindah startup, baik pegawai maupun startup founder harus menghargai kekayaan intelektual (IP) dan pengetahuan yang diperoleh dari startup sebelumnya — dengan mengacu kepada kesepakatan yang tertuang dalam agreement antara si pegawai/founder dengan startup sebelumnya,” kata Calvin.

Hal senada diungkapkan Johnny. Banyak hal yang bersifat rahasia yang diketahui pendiri startup tersebut. Eetika bisnis yang tinggi harus diterapkan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

“Setiap perusahaan pasti memiliki NDA tersendiri untuk menjamin profesionalitas para pekerjanya, tidak terkecuali Tokopedia. Hal ini tentu harus dipatuhi setiap Nakama demi menjaga kelangsungan bisnis yang sehat,” kata Kevin.

Fenomena perpindahan pegawai

Saat ini perpindahan pegawai startup, dari satu tempat ke tempat lainnya sudah menjadi fenomena yang sering ditemui. Setiap individu memiliki tujuan masing-masing, termasuk dalam berkarier.

Mengingat membangun karier cenderung menghabiskan sebagian besar waktu seseorang, hal yang menjadi sangat penting adalah mencari perusahaan yang memang sejalan dengan tujuan hidup. Seiring berjalannya waktu, tujuan bisa saja berubah. Hal ini, menurut Kevin, dapat menjadi salah satu faktor kenapa seseorang berpindah perusahaan.

“Tujuan hidup saya saat ini sejalan dengan Tokopedia yang konsisten mendorong pemerataan ekonomi Indonesia melalui pemanfaatan teknologi bahkan di tengah pandemi. Maka saya bersama tim terus menghadirkan berbagai inisiatif yang dapat mengakselerasi terwujudnya misi besar tersebut,” kata Kevin.

Sementara, menurut Calvin, peran serta perusahaan dalam menghasilkan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat juga menjadi aspek pertimbangan karyawan untuk berkarya di perusahaan tersebut.

“Umumnya karyawan akan terus bertahan di sebuah perusahaan yang memberinya tantangan, kesempatan untuk belajar, dan semangat untuk terus berkembang. Di samping itu, talenta-talenta profesional saat ini sudah tidak hanya berorientasi pada benefit, namun juga pada bagaimana karyawan dapat berperan dan berkontribusi secara signifikan untuk kemajuan perusahaan dan masyarakat,” kata Calvin.

Percaya Diri, Rumah Produksi Rilis Layanan OTT Sendiri

Kepercayaan konsep “winner takes all” tidak selalu berlaku untuk semua bisnis digital. Pengaruh Netflix yang sudah terlanjur menguat di berbagai belahan dunia, tidak menyurutkan optimisme pemain lokal untuk terjun ke ranah yang sama.

Setelah DailySocial membahas kepungan pemain OTT dari luar, global dan regional, ke Indonesia, kini ada tren menarik yang terjadi, yakni produsen konten yang terjun ke bisnis OTT. Sebagai produsen, tentu ada “bargaining power” dalam mendistribusikan kontennya, entah ke televisi, bioskop, atau platform OTT.

Namun belum “sreg” ternyata kalau belum punya platform sendiri karena platform petahana belum menjawab apa yang produsen konten inginkan. Dari pantauan DailySocial, sejauh ini ada tiga rumah produksi lokal yang merilis platform OTT sendiri.

Mereka adalah Visinema dengan Bioskop Online, MVP Group dengan Nonton, dan Falcon Pictures dengan KlikFilm. Seluruhnya masih seumur jagung dan terus berupaya menarik konsumen dengan konten-konten produksinya.

Celah kosong

President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari menjelaskan, dari posisinya sebagai penikmat film ia merasa sudah lama mendambakan satu platform berisi film-film lokal berkualitas dengan mudah. Keluhan tersebut, juga terasa buat dirinya sebagai produsen film, bahwa akses mendapatkan konten seperti itu memang lebih susah dengan alasan komersial.

“Karena itu, lahirlah Bioskop Online yang merupakan perwujudan idealisme kami untuk menciptakan sebuah wadah yang mempertemukan penikmat film dengan film-film berkualitas,” tutur Ajeng kepada DailySocial.

Celah tersebut dari kacamata bisnis menjadi potensi yang besar, terutama jika dibandingkan antara jumlah populasi dengan jumlah layar bioskop saat ini. Berkat dukungan pertumbuhan film Indonesia, yang mana jumlah produksi film lokal dan jumlah penontonnya kian meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Bioskop Online punya optimisme tinggi bahwa mereka punya kesempatan untuk tumbuh dan memenuhi kebutuhan akses film Indonesia berkualitas bagi para penonton. Bioskop Online sendiri baru resmi dirilis pada 11 Juli 2020 di bawah badan hukum PT Bioskop Digital Indonesia. Situsnya baru bisa diakses situsnya melalui desktop dan mobile.

Bioskop Online secara spesifik baru menyajikan konten film, dari keluaran sendiri, seperti Keluarga Cemara dan Filosofi Kopi. Lalu, bekerja sama dengan rumah produksi independen yang mendapat banyak penghargaan dari berbagai festival ternama, diantaranya Siti, Mereka Bilang Saya Monyet, Ziarah, Istirahatlah Kata-Kata, Turah, dan masih banyak lagi.

Seluruh film tersebut dapat ditonton dengan konsep pay-per-view dengan biaya Rp5 ribu sampai Rp10ribu dan dapat disimpan hingga 2 hari. Metode pembayarannya juga sudah kekinian dengan memanfaatkan QRIS yang dapat menjangkau seluruh konsumen.

Keyakinan yang sama juga dicoba MVP (PT Tripar Multivision Plus), salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia, saat merilis aplikasi Nonton pada awal tahun lalu. Nonton dijalankan oleh anak usahanya, PT Web Stream Indonesia.

Kekayaan konten MVP yang sudah diproduksi sejak dua dekade silam menjadi proposisi yang menarik untuk melawan OTT global dan regional. CEO MVP Group Amit Jethani menuturkan kekuatan inilah yang membuat Nonton berbeda.

“Kami berinvestasi di Nonton pada beberapa waktu yang lalu sebagai sarana untuk lebih memahami dunia OTT dan mendapatkan masukan langsung dari konsumen tentang tontonan yang mereka sukai. MVP memiliki salah satu perpustakaan konten terbesar di Indonesia dan sekarang kami menghadirkannya secara online,” ujar Amit.

Nonton memanfaatkan nuansa nostalgia untuk menarik penonton yang mencari alternatif tontonan lawas, dengan tayangan serial TV (sinetron) keluaran tahun 1990-an hingga 2000-an. Rata-rata tayangan ini tenar pada zamannya dan banyak disenangi penonton lokal.

Sinetron keluaran MVP yang cukup terkenal seperti Doa dan Anugerah (Krisdayanti dan Anjasmara), Dewi Fortuna (Roy Marten, Ayu Diah Pasha, dan Bella Saphira), Asmara (Dicky Wahyudi dan Tamara Blezynski), Melati (Desy Ratnasari), Janjiku (Paramitha Rusady dan Reynold Surbakti), dan masih banyak lagi dapat disaksikan kembali di layar ponsel.

“Kami memiliki banyak katalog serial TV yang hingga saat ini dicintai dan ditonton oleh banyak orang. Banyak pengguna kami lebih menyukai cerita dan akting dari serial lama kami.”

Ada lagi KlikFilm dari Falcon Pictures yang baru dirilis pada awal tahun ini. Mereka juga menayangkan film-film garapannya, termasuk dari Max Pictures dan Maxima Pictures. Sebagai pembeda lainnya, mereka juga menyediakan film-film hasil kurasi dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Seluruh tayangan tersebut dapat dinikmati dengan cara berlangganan secara mingguan seharga Rp10 ribu dipotong dari pulsa, redeem voucher, atau e-money. DailySocial mencoba menghubungi pihak KlikFilm untuk memberikan tanggapannya, namun hingga artikel diturunkan belum mendapatkan respons.

Ruh ada di konten original

Sebagai produsen konten, ketiga rumah produksi di atas kini punya jalur khusus untuk mendistribusikan hasil karyanya ke dalam platform-nya sendiri, sebelum disebar lisensinya ke platform OTT lainnya. Formula ini dibalik oleh pemain OTT dengan memperluas jaringan ke banyak rumah produksi agar mau kerja sama produksi konten original dan tayang secara eksklusif di platform-nya.

Strategi ini jadi lumrah dan banyak dipakai di industri mau di belahan negara manapun. Netflix termasuk yang paling giat memproduksi konten originalnya dengan menyediakan dana jumbo.

Bagi Ajeng, kondisi demikian adalah hal positif buat para penikmat Indonesia, sebab mereka akan punya semakin banyak pilihan film untuk dinikmati. Bagi produsen, hal ini mampu memicu untuk memproduksi lebih banyak konten berkualitas.

“Selain itu dengan banyaknya PH lokal atau OTT yang membuat konten original akan membawa kontribusi, baik bagi industri perfilman Indonesia dan diharapkan nantinya film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.”

Dia melanjutkan, dari kacamata bisnis ini bukan menjadi kompetisi antara satu sama lain, melainkan dorongan untuk sinergi. Ia justru menyambut baik karena perusahaan terbuka untuk berkolaborasi dengan rumah produksi lain membuat konten bersama atau juga berkolaborasi dengan pihak lain untuk memajukan industri film Indonesia.

Yang terpenting saat ini adalah menghadirkan konten yang berkualitas dan berkontribusi membangun ekosistemnya. Ia percaya bahwa konten yang baik pasti akan menemukan penontonnya. “Dengan begitu banyak pemain di mana semua memiliki competitive advantage masing-masing, saya juga percaya konsep sinergi akan sangat relevan.”

Hal demikian juga diungkapkan Amit. Menurutnya, layanan OTT adalah bentuk baru dari televisi. Jumlah pemain OTT ke depannya akan semakin banyak dan masing-masing punya ruang untuk berkembang. “Anda harus memiliki visi jangka panjang dan perlahan pasti akan menemukan ceruk pasar Anda.”

Tantangan berikutnya adalah strategi retensi dan perusahaan harus mencari tahu konten mana yang paling terhubung dengan audiens masing-masing. “Kami tidak menganggap diri kami sebagai pesaing pemain regional karena kami juga memproduksi konten original untuk mereka. Kami hanya membawa katalog kami secara online dan bersiap untuk masa depan.”

Amit tidak menerangkan lebih jauh terkait pencapaian Nonton sejauh ini. Dia hanya menyebut Nonton memiliki 35 judul konten original yang setiap episode barunya secara rutin tayang setiap minggu. Tidak hanya sinetron, Nonton juga menambah variasi konten film lokal dan internasional ke dalam katalognya.

Seluruh konten di Nonton hanya bisa dinikmati dengan berlangganan secara mingguan sebesar Rp10 ribu atau bulanan Rp30 ribu. Metode pembayaran yang tersedia melalui Google Pay (kartu debit/kredit, pulsa, GoPay, voucher).

Pernyataan Amit tercermin dengan aksi strategis yang dilakukan oleh rumah produksi lainnya, yakni MD Pictures, yang bekerja sama dengan induknya MD Entertainment untuk memproduksi konten original yang didistribusikan khusus ke OTT rekanan, yakni WeTV, iflix, dan Disney+ Hotstar.

Ada 10 sampai 15 judul konten yang sudah masuk dalam tanggal produksi sampai awal 2021 mendatang. Fokus bisnis baru ini diharapkan dapat mengubah komposisi pendapatan perusahaan yang tertekan akibat pandemi.

Awalnya mayoritas pendapatan datang dari dari bioskop (sebesar 80%). Kini layanan OTT ditargetkan dapat mendongkrak pendapatan dan bisa menyumbang di angka 60%-70%. Adapun model bisnis yang dipakai adalah sistem penjualan lisensi kepada OTT.

Metode kolaborasi GoPlay

CEO GoPlay Edy Sulistyo turut memberikan tanggapannya terhadap tren OTT yang dirintis oleh rumah produksi. Pihaknya menyambut kehadiran para pemain VoD, termasuk yang berasal dari rumah produksi karena Indonesia memiliki potensi yang masih terbuka lebar. Terlebih, konsep “winner takes all” tidak berlaku dalam industri ini, mengingat masih banyaknya penonton di Indonesia yang belum terjangkau.

Yang terpenting bagi GoPlay adalah bagaimana setiap pelaku dapat berkontribusi ke ekosistem dengan menawarkan unique value proposition masing-masing, sehingga semua dapat sama-sama membangun industri perfilman dan kreatif di Indonesia.

“Semua ini tidak dapat dilakukan satu pihak, sehingga merupakan upaya yang harus dilakukan bersama-sama. Kita semua memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan film Indonesia dan meningkatkan para pembuat konten lokal.”

Dalam praktiknya, GoPlay selalu memosisikan diri sebagai platform bagi para sineas untuk berkembang, tidak hanya menggaet sineas senior saja. Juga membuka kesempatan bagi talenta dan sutradara pendatang dengan potensi mereka. Sebab bagi perusahaan, tidak serta merta mengejar kualitas konten saja tapi juga memberikan dukungan untuk talenta lokal agar dapat memproduksi karya berkualitas.

“Berbagai dukungan kami berikan sejak sebuah konten dibuat, antara lain program Script Doctor GoPlay agar para sineas dapat menghasilkan karya dengan kualitas storytelling dan scriptwriting yang unggul.”

Selain itu, memberikan dukungan melalui pencarian dana maupun sponsor bagi sineas. Serta, berkolaborasi dengan rumah produksi sebagai partner untuk memastikan eksekusi produksi yang mengedepankan standar kualitas tinggi.

Edy mengaku GoPlay melakukan pendampingan dan terlibat langsung dari tahap ideation, proses kreatif, pre-production hingga post production sebagai Co-Producer.

“Walaupun pada dasarnya GoPlay adalah perusahaan teknologi bagian dari super app Gojek, tim internal konten kami beranggotakan para mantan pelaku industri perfilman dan VOD terjun langsung dengan pengalaman mereka di berbagai project film dan serial, baik di tingkat nasional maupun global.”

Metode kolaborasi demikian diterapkan pada seluruh konten GoPlay Original, baik film maupun serial. Salah satu yang terbaru adalah Jadi Ngaji yang baru dirilis awal Oktober ini. GoPlay bekerja sama dengan sutradara pendatang baru Muthia Zahra Feriani yang memboyong rumah produksinya Arseri.

Dari segi bisnis, Edy mengklaim bahwa ada strategi khusus yang membedakan GoPlay dengan VoD lain. Ada model pembagian pendapatan (revenue-sharing) yang diterapkan bersama pembuat konten dan rumah produksi, baik untuk konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, GoPlay Live, GoPlay Rental, maupun berbagai konten lokal lainnya.

Metode ini sebenarnya juga diterapkan pada bioskop dan terbukti sukses dengan pencapaian jutaan penonton pada film box office. “Kami percaya model revenue sharing dapat menjadi stimulus bagi para sineas untuk terus giat meningkatkan kualitas karya mereka, sehingga dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi semua bagian dalam ekosistem perfilman,” tutup Edy.

Loket Live Studio Diluncurkan, Aplikasi “Video Conferencing” Terintegrasi untuk Penyelenggaraan Acara Online

Loket hari ini (22/9) secara resmi merilis produk teranyarnya berjuluk “Loket Live Studio”. Sederhananya, layanan ini memfasilitasi siapa saja yang ingin mengadakan acara secara online. Di dalamnya sudah termasuk fitur untuk mempublikasikan acara, monetisasi, hingga menayangkan acara secara langsung.

Secara konsep mirip dengan aplikasi Zoom atau Google Meet yang sebelumnya banyak dipakai untuk menggelar acara live online. Bedanya, Loket mengintegrasikan fitur tersebut dengan berbagai layanan yang sudah ada di ekosistem miliknya, sehingga tidak perlu lagi memasang aplikasi untuk melakukan video conferencing atau live streaming. Dengan ini bisa dikatakan kini Loket mengakomodasi penyelenggaraan acara online secara end-to-end.

Dalam jumpa pers virtual yang diadakan siang ini, VP Loket Mohamad Ario Adimas mendemokan Loket Live Studio. Beberapa fitur broadcasting/live streaming diintegrasikan ke layanan Loket yang bisa diakses melalui situs web. Menunya cukup standar dan tergolong simpel, mulai dari audio/video call, pesan, hingga berbagi layar. Nilai unik yang coba dihadirkan, Live Studio juga dilengkapi konfigurasi kamera/audio tambahan, memungkinkan penyelenggara acara untuk menambahkan perangkat input lebih banyak.

Sementara untuk distribusi akses di sisi pengguna, Loket Live Studio juga memiliki fitur yang tergolong baru. Biasanya acara online menggunakan tautan video streaming tunggal untuk semua peserta, sementara di Live Studio setiap peserta akan mendapatkan tautan unik untuk masuk ke dalam acara. Hal ini menurut Adimas lebih efektif untuk digunakan dalam acara online berbayar — mengurangi risiko tautan tunggal tadi tersebar secara publik.

Untuk dapat memanfaatkan layanan LOKET Live Studio, cukup membuka halaman Loket dan memilih fitur buat event, untuk selanjutnya mengikuti langkah-langkah yang disediakan, dan mengaktifkan layanan Live Studio.

Sebelumnya, bulan Mei 2020 lalu Loket sudah lebih dulu merilis layanan Loket Live. Memungkinkan pengelolaan acara virtual. Di dalamnya mencakup beberapa layanan, mengintegrasikan sistem manajemen tiket dan streaming video dengan dukungan teknologi GoPlay.

Head of Loket Tubagus Utama menyampaikan, selama masa pandemi lebih dari 97% acara yang terselenggara menggunakan Loket digelar secara virtual. Inovasi yang dihadirkan telah berhasil membantu penyelenggaraan lebih dari 7200 acara oleh 2800 penyelenggara, dengan penjualan tiket mencapai hampir 500 ribu semenjak pandemi melanda di Maret hingga Agustus 2020.

“Sebagai bentuk dukungan bagi industri, kehadiran LOKET Live Studio dapat dimanfaatkan oleh para content creator atau siapa pun yang mempunyai keahlian tertentu dan tertarik untuk mencoba mengadakan online event sebagai platform kunci untuk menjadi sumber penghasilan baru,” imbuh Tubagus.

Sebelumnya, DailySocial bekerja sama dengan Populix sempat melakukan survei terkait produktivitas online selama era “work from home”. Aplikasi produktivitas (68%) menempati porsi tertinggi yang paling sering dipakai selama periode tersebut, selisih tipis dengan aplikasi hiburan (66%).

Survei Aktivitas Selama Pandemi

Untuk alat komunikasi, paling banyak menggunakan WhatsApp (68%), lalu Zoom (16%) dan Google Meet (4%). Sebanyak 42% responden mengaku menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut lebih dari 5 jam. Menariknya aplikasi pendidikan juga mendapatkan porsi yang cukup besar, yakni 32%. Selama di rumah ada tren di kalangan masyarakat untuk menambah pengetahuan dengan mengikuti berbagai kelas-kelas yang diajarkan secara online.

Application Information Will Show Up Here