Efektivitas Pivot Bisnis Tiga Startup di Masa Pandemi

Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.

Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.

Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.

Riset pasar sebelum pivot

Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.

Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.

Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.

Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.

“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.

Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.

“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.

Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.

“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.

Realisasi pivot selama pandemi

Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.

Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.

“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.

Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.

Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.

Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.

Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.

Efektivitas dan metrik yang digunakan

Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.

Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.

Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”

Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.

Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.

Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.

Bukit Vista to Help with Management of Accommodation and Property Players

Exploring the potential of the accommodation business around tourist attractions in Indonesia, Bukit Vista is to help lodging business owners to promote and improve their business. Founded by Jing Cho Yang, Bukit Vista first launched in Bali in 2012, which is a favorite tourist spot for domestic and foreign tourists.

In particular, Bukit Vista platform provides technology-based management tools to accommodation business owners. Starting from homes, villas, and resorts which are then managed professionally on behalf of the property owner by the Bukit Vista team. With the objective of strengthening their exposure on major travel booking sites, especially Airbnb.

The founder with experience working at Airbnb sees considerable potential in Indonesia to later take advantage of the platform and technology presented by Bukit Vista.

“Bukit Vista was founded on the opportunities we saw in the market. Very few hosts received a number of bookings. Most of the properties have good locations, good hardware but management is not available,” Bukit Vista’s CEO Jing Cho Yang said.

Bukit Vista applies a subscription-based business model. The company does not take any income unless the property is booked. The business-driven is profit sharing that has been stated in a certain percentage and agreed by both parties.

With many other platforms offering hospitality-related services, Bukit Vista claims to be the only platform in Indonesia that improves management to be technology-based and always innovates in its processes and systems. In accordance with the company’s dream of becoming the most innovative hospitality company.

The pandemic effect

Currently, partners who have joined Bukit Vista can access web-based services directly. Bukit Vista provides guest arrival lists, automatic income reports, staff management, and more. Bukit vista has more than 180 properties that are managed exclusively in the regions of Bali, Yogyakarta, and Nusa Penida. The company also plans to expand markets outside Indonesia and throughout the world.

Regarding Bukit Vista business growth during the Covid-19 pandemic, as it presents services for accommodation, Bukit Vista experiencing the direct impact of the pandemic. However, the business manages to keep running, with some strategies launched by the company.

“Bukit Vista was directly affected by this pandemic due to the closure of access in and out of Bali and the drastic reduction in the number of tourists during this pandemic. However, there are still opportunities for us to overcome this problem, namely by utilizing trapped tourists and offering discounts for long stays,” Jing said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bukit Vista Bantu Kelola Manajemen Pemilik Usaha Akomodasi dan Properti

Memanfaatkan potensi bisnis akomodasi yang tersebar di tempat wisata di Indonesia, Bukit Vista hadir untuk membantu pemilik usaha penginapan untuk mempromosikan dan meningkatkan bisnis mereka. Didirikan oleh Jing Cho Yang, Bukit Vista meluncur pertama kali di Bali tahun 2012 lalu, yang merupakan lokasi wisata favorit bagi wisatawan domestik hingga mancanegara.

Secara khusus platform Bukit Vista menyediakan alat manajemen berbasis teknologi kepada pemilik usaha akomodasi. Mulai dari rumah, villa, dan resor yang kemudian dikelola secara profesional atas nama pemilik properti oleh tim Bukit Vista. Dengan tujuan memperkuat eksposur mereka di situs pemesanan perjalanan utama, terutama Airbnb.

Sang pendiri yang pernah memiliki pengalaman bekerja di Airbnb, melihat potensi yang cukup besar di Indonesia untuk kemudian memanfaatkan platform dan teknologi yang dihadirkan oleh Bukit Vista.

“Bukit Vista didirikan berdasarkan peluang yang kami lihat di pasar. Sangat sedikit tuan rumah (host) yang mendapatkan jumlah pemesanan. Sebagian besar properti memiliki lokasi yang baik, hardware yang baik tetapi manajemennya tidak ada,” kata CEO Bukit Vista Jing Cho Yang.

Model bisnis Bukit Vista adalah berbasis berlangganan (subscription). Perusahaan tidak mengambil pendapatan apa pun kecuali properti dipesan. Motor bisnis perusahaan adalah bagi hasil yang telah dinyatakan dalam jumlah persentase tertentu dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Meskipun saat ini sudah banyak platform lain yang menawarkan layanan terkait hospitality, namun Bukit Vista mengklaim sebagai satu-satunya platform di Indonesia yang meningkatkan manajemen untuk menjadi berbasis teknologi dan selalu berinovasi dalam proses dan sistem yang dimiliki. Sesuai dengan impian perusahaan yaitu menjadi perusahaan perhotelan paling inovatif.

Dampak pandemi

Saat ini mitra yang telah bergabung dengan Bukit Vista bisa mengakses langsung layanan yang berbasis web. Bukit Vista menyediakan daftar kedatangan tamu, laporan pendapatan otomatis, manajemen staf, dan lainnya. Bukit vista telah memiliki 180 lebih properti yang dikelola secara eksklusif di kawasan Bali, Yogyakarta, dan Nusa Penida. Perusahaan juga memiliki rencana untuk memperluas pasar tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.

Disinggung seperti apa pertumbuhan bisnis Bukit Vista saat pandemi virus Covid-19 berlangsung saat ini, disebutkan karena menghadirkan layanan untuk akomodasi, secara langsung Bukit Vista mengalami impact dari pandemi. Namun demikian agar bisnis bisa terus berjalan, terdapat strategi yang kemudian dilancarkan oleh perusahaan.

“Bukit Vista terkena dampak langsung dari pandemi ini dikarenakan tutupnya akses keluar masuk Bali dan berkurangnya jumlah wisatawan secara drastis selama pandemi ini. Namun, masih ada peluang untuk kami mengatasi masalah ini, yaitu dengan memanfaatkan wisatawan yang terjebak dan menawarkan potongan harga untuk long stay,” kata Jing.

Mengenal Flokq dan Optimismenya sebagai Startup Operator Co-Living

Peminat hunian indekos di Indonesia tergolong tinggi, namun belum banyak tersentuh dengan teknologi dan solusi yang dibutuhkan penggunanya. Flokq sebagai pemain baru di industri ini hadir tidak hanya menawarkan solusi indekos, tapi juga co-living yang tersegmentasi untuk kalangan professional.

Flokq didirikan oleh Anand Janardhanan dan Harmeet Singh pada Agustus 2019. Startup tersebut telah mengelola ratusan unit kamar tersebar di berbagai lokasi di pusat bisnis Jakarta, seperti Mega Kuningan, Senayan, Rasuna Said, Sudirman, Semanggi, dan lainnya.

Dalam wawancara bersama sejumlah media pada pekan lalu, Co-Founder & CEO Flokq Anand Janardhanan menjelaskan Flokq memberikan solusi untuk mereka yang ingin upgrade hunian indekos dari sebelumnya atau mencari apartemen dengan harga lebih terjangkau.

Perusahaan secara khusus mengincar kalangan professional sebagai pengguna, kebetulan penghuni terbanyaknya adalah ekspatriat dan pengusaha muda yang tetap ingin bangun jaringan dan terhubung dengan penghuni co-living lainnya di tempat yang mereka huni dalam suatu komunitas.

“Kekuatan utama dari Flokq adalah komunitas, kami ada aplikasi yang dikhususkan untuk menghubungkan antar penghuni yang punya kesamaan ketertarikan pada hobi atau spesialisasi tertentu,” terangnya.

Dalam satu gedung apartemen, biasanya Flokq mengelola sejumlah kamar di beberapa lantainya dari pihak manajemen, kisarannya antara lima sampai 20 unit. Tiap satu unit apartemen yang disewakan idealnya terdiri dari tiga kamar tidur privat untuk tiap tenant yang sudah lengkap dengan furniturnya dan ruang tengah yang dapat digunakan secara bersama.

Anand menerangkan Flokq menyewakan tiap unit kamarnya mulai dari Rp2,7 juta sampai Rp20 juta per bulan, dengan kontrak sewa minimal tiga bulan tanpa skema uang muka. Penentuan harga ini akan bergantung pada lokasi. Biaya sewa bulanan sudah termasuk listrik, jasa kebersihan, laundry, WiFi, dan fasilitas lainnya seperti area gym, kolam renang, layanan 24 jam, dan bebas parkir.

Dampak pandemi terhadap bisnis

Dia mengklaim pemberlakuan PSBB dan pengetatan lainnya untuk mengurangi penyebaran pandemi, tidak begitu memberikan dampak penurunan bisnis buat Flokq. Tercatat ada 26 penghuninya yang berkewarganegaraan luar Indonesia yang menyewa kamar melalui Flokq.

Dalam rangka mengurangi penyebaran pandemi, tim Flokq membuat sejumlah aturan yang diberlakukan di tiap huniannya. Beberapa di antaranya adalah frekuensi jasa kebersihan jadi seminggu sekali, dilarang berkunjung ke unit lain, dan peniadaan acara mingguan.

“Jadi situasinya tidak banyak berubah untuk okupansinya, meski ada yang keluar tapi ada yang masuk. Akan tetapi kami membuat aturan baru dalam rangka pencegahan ini, ada sistem yang memantau untuk memastikan setiap tenant ada di unitnya masing-masing.”

Di sisi lain, perusahaan jadi berbangga diri bahwa konsep co-living seperti ini ke depannya akan jauh lebih cerah karena tingkat permintaan yang lebih tinggi daripada co-working space pasca pandemi berlalu.

Flokq Advisor Akash Mulani menerangkan konsep co-living pada masa mendatang akan sangat berkaitan dengan kondisi masyarakat dan ekonomi yang terdampak pada Covid-19. Kegiatan isolasi mandiri yang dilakukan oleh banyak orang, berarti akan mengurangi interaksi manusia dan menurunkan kualitas kesehatan mental.

“Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Kebijakan WFH yang menjadi umum, masyarakat butuh ruang untuk dirinya bekerja, teman yang dapat diandalkan karena persamaan minat dan latar belakang, atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan,” tuturnya.

Atas optimisme tersebut, pihaknya sedang menggodok konsep penggabungan co-living dan co-working dalam gedung yang sama. “Ini adalah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan.”

Rencana Flokq berikutnya

Anand menerangkan pada tahun depan perusahaan masih akan fokus mengelola apartemen di Jakarta. Ditargetkan angkanya bisa mencapai 3 ribu unit kamar yang bisa menampung 10 ribu penghuni. Berikutnya, perusahaan baru ekspansi ke kota potensial lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.

Untuk bantu ekspansi, perusahaan sudah mengantongi pendanaan pra seri A pada awal tahun ini. Hanya saja terkait nominal dan investor yang dirahasiakan. “Investornya dari keluarga pengusaha real estate. Kemungkinan akhir tahun ini akan ada funding tambahan.”

Monetisasi perusahaan, sambungnya, diambil dari komisi yang dibayarkan tenant. Persentasenya sekitar 8%-10% tergantung kesepakatan dengan manajemen gedung. Adapun untuk tim Flokq saat ini ada 35 orang.

Untuk penyewaan kamar, Flokq belum menyediakan aplikasinya. Seluruh pemesanan diproses melalui situs sebagai gerbang utamanya, lalu WhatsApp untuk diskusi dengan admin untuk diskusi lebih lanjut.

Pemain lainnya di ranah co-living yang beroperasi di Indonesia ada Coliving Space by CoHive, YukStay, Wellspaces, Rukita, RedDoorz, Cocohub, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Airy Talks Future Plans After Appointed New CEO

Airy as an accommodation network operator (ANO) company, is officially announced Louis Alfonso Kodoatie as the new CEO on Monday (1/20). The succession followed by lists of targets, one is to improve its popularity among the accommodation industry, amidst the rapid development in Indonesia’s tourism sector.

The Airy team is confident to optimize the market’s momentum. They now have around 30 thousand rooms in 100 cities. New products keep coming, one of the latest is Airy For Business, a service that offers online service for management business trips.

Another new product is the Self Check-in Kiosk, a self-check-in machine to support receptionist. The service is to minimize time spent on queueing, especially the peak season. It’s better known as Airy Aura and it’s integrated with Airy’s property management Airy Ease to facilitate hotel for customer tracking.

Next, there is Airy Community. This service acts as a meeting place for the property owners and community partners. Airy Community will be the center for Airy Academy, a hospitality skills training for employees who work at Airy’s property partners.

“Indonesia has a potential market for the tourism industry, both foreign and domestic segments. Especially for the budget-friendly accommodation in which business is rapidly developed. Companies must be able to respond to the dynamic market. Technological innovation and network expansion are key. I expect to tighten Airy’s partnership with stakeholders,” Kodoatie said.

In Indonesia, Airy has direct competitors that also provide low-cost lodging services, RedDoorz and Oyo.

The new CEO considered this competition as a natural thing. He chose to focus on Airy’s improvement and growth strategies in various aspects.

“Airy is to focus more on what has been and is being developed. One of those is by improving quality and to guarantee a comfortable space with high standard, therefore, it can support the growth of low-budget accommodation,” he added.

Airy also intends to grow with property partners in terms of growing the tourism sector in Indonesia.

“In order to make it, technological innovation and network expansion are key. Airy continuously strives to create and develop various technology-based innovations to support our services, of course providing benefits and convenience, both for users, property partners, and other stakeholders,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Rencana Airy Selepas Penunjukkan CEO Baru

Airy sebagai perusahaan di bidang accommodation network operator (ANO), pada Senin (20/1) kemarin resmi menunjuk Louis Alfonso Kodoatie sebagai CEO baru. Suksesi dibarengi dengan sederet target, salah satunya ingin terus meningkatkan popularitas Airy di industri penginapan, di tengah pertumbuhan pesat sektor pariwisata Indonesia.

Pihak Airy sendiri cukup percaya diri bisa mengoptimalkan momentum pasar. Kini mereka telah memiliki sekitar 30 ribu kamar yang tersebar di 100 kota. Produk baru pun terus diperkenalkan, salah satunya Airy For Business, yakni layanan yang menawarkan pelayanan online untuk manajemen perjalanan dinas perusahaan.

Produk baru lainnya ada Self Check-in Kiosk, sebuah mesin check-in mandiri yang ditujukan untuk mempercepat penerimaan tamu. Layanan ini diharapkan bisa memangkas waktu antre, terlebih saat peak season. Layanan yang juga dikenal sebagai Airy Aura ini terintegrasi dengan sistem manajemen properti Airy Ease sehingga memudahkan pemantauan tamu bagi pihak hotel.

Selanjutnya juga ada Airy Community. Layanan ini diposisikan sebagai pusat bertemunya para mitra pemilik properti dan komunitas. Airy Community juga akan menjadi sentra pelaksanaan Airy Academy, pelatihan keterampilan di bidang hospitality kepada karyawan yang bekerja di mitra properti milik Airy.

“Indonesia merupakan pasar industri pariwisata yang potensial, baik di segmen  mancanegara maupun domestik. Terlebih pada ranah akomodasi ramah anggaran yang bisnisnya semakin menggeliat. Perusahaan harus mampu merespons cepatnya perubahan kebutuhan pasar yang sangat dinamis. Inovasi teknologi dan perluasan jejaring menjadi kunci. Saya berharap dapat memperkuat kemitraan Airy dengan para pemangku kepentingan,” papar Alfonso.

Infografik Hotel Budget / DailySocial

Di Indonesia Airy bersaing langsung dengan beberapa perusahaan yang juga menyediakan layanan penginapan berbiaya rendah, termasuk RedDoorz dan Oyo.

Alfonso menanggapi persaingan ini sebagai hal yang wajar. Ia memilih untuk fokus pada strategi peningkatan dan pertumbuhan Airy dalam berbagai aspek.

“Airy memilih untuk lebih fokus terhadap apa yang sudah dan sedang dikembangkan. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas serta terus mempertahankan jaminan kenyamanan dengan standardisasi yang dimiliki, sehingga mampu menunjang pertumbuhan akomodasi beranggaran rendah,” lanjut Alfonso.

Airy juga memiliki ambisi untuk bisa tumbuh bersama mitra properti dalam bagian memajukan sektor pariwisata di Indonesia.

“Untuk mewujudkan hal ini, inovasi teknologi dan perluasan jejaring menjadi kunci. Airy terus berupaya menciptakan dan mengembangkan berbagai inovasi berbasia teknologi untuk menunjang layanan kami, tentunya memberikan manfaat dan kemudahan, baik bagi pengguna, mitra properti dan stakeholder lainnya,” tutup Alfonso.

Application Information Will Show Up Here

Rambah Bisnis Indekos “KoolKost”, Strategi RedDoorz Menuju Profitabilitas

Startup hotel budget RedDoorz resmikan vertikal bisnis teranyarnya di bidang indekost KoolKost untuk melayani pengguna yang mencari hunian lebih dari satu bulan. Konsep bisnis ini diyakini bisa direplikasi untuk pasar RedDoorz di luar negeri, meski belum menjadi prioritas dalam jangka waktu dekat.

Kepada DailySocial, Business Head Coliving RedDoorz Ankit Lalwani menjelaskan, konsep KoolKost sebenarnya bisa direplikasi untuk negara lain. Namun, setidaknya sepanjang tahun ini, perusahaan ingin fokus pada perluasan KoolKost hingga 50 kota di Indonesia, dari posisi sekarang 14 kota dengan 100 properti.

“Cukup memungkinkan untuk ekspansi ke luar Indonesia, tapi di sini adalah negara dengan populasi tertinggi. Makanya, sekarang ini kami fokus ke Indonesia terlebih dulu, bukan ke pasar lain,” ujar Ankit, Kamis (23/1).

Menurutnya, KoolKost hadir karena kebutuhan teknologi dan solusi yang selama ini absen di industri indekos. Padahal, industri ini punya potensi yang besar, ada lebih dari 50 ribu properti indekos tersebar di Indonesia. Serta, belum ada operator yang dominan di industri ini.

Sasaran pengguna KoolKost adalah mahasiswa, first jobbe, dan middle level profesional. Mengutip dari data BPS, pada 2015 ada 9,3 juta orang yang memilih hidup migran untuk kerja dan menempuh pendidikan. Dari angka tersebut, sekitar 60% atau 5 juta orang memilih indekos sebagai tempat tinggal.

Sebelum diresmikan, Ankit menyebut KoolKost telah memasuki masa uji coba kurang lebih selama enam bulan sembari mempelajari masalah dan menyelesaikannya dengan pendekatan teknologi. Dari pembelajaran tersebut, pihaknya yakin dapat memberikan solusi nyata buat industri.

KoolKost memberikan jaminan layanan pelanggan 24 jam, koneksi internet berkecepatan tinggi, jasa pembersihan kamar dan air isi ulang. Semua kamar KoolKost dilengkapi dengan kamar mandi dalam, perabotan dan perlengkapan berkualitas, termasuk tempat tidur yang nyaman dan lemari pakaian dengan ruang penyimpanan cukup luas.

Di samping itu, sejumlah teknologi manajemen perhotelan dari RedDoorz juga disiapkan untuk menggaet lebih banyak mitra properti indekos. Misalnya, RedPartners yang dapat digunakan pemilik properti mengatur inventaris, melacak dan menggabungkan pesanan; mengelola dari awal sampai akhir; dan memberikan pengalaman tinggal jangka panjang yang baik untuk tamu.

Di dalam platform tersebut, mereka dapat mengikuti program uji coba KoolKost melihat lonjakan hunian ruangan yang signifikan, dengan rata-rata kenaikan lebih dari 30%. Berikutnya, RedFox sebuah platform untuk distribusi harga terkini secara langsung di seluruh OTA, memudahkan pemilik properti tanpa harus merekrut seorang revenue manager.

Perusahaan juga menjamin, hunian yang dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan dengan RedEagle. Ia adalah alat pendeteksi dan pengakuisisi properti, perusahaan dapat mengidentifikasi properti yang tepat untuk KoolKost sesuai dengan parameter pencarian yang spesifik.

Tidak ada tim khusus

Tidak seperti RedDoorz, sambung Ankit, KoolKost memiliki tiga jenis pilihan indekos yang dapat menjangkau semua pengguna. Yakni, hunian dengan konsep syariah, girls dan men only. Di samping itu, KoolKost termasuk dari bagian dari Coliving, unit bisnis dari RedDoorz untuk menyasar hunian jangka waktu lama.

“Kami membentuk kehidupan komunitas makanya kami membuat banyak jenis layanan KoolKost, agar menjangkau semua orang untuk saling berteman dalam satu komunitas yang sama.”

Selain KoolKost, ada Residences by RedDoorz yang menawarkan lebih banyak fasilitas dan standardisasi khusus, mencakup ruang game, Netflix ruang bersama, dapur, dan sarapan gratis tiap hari Minggu.

Terakhir, Residences by RedDoorz Apartment punya fasilitas paling atas dibandingkan layanan coliving lainnya. Disediakan kolam renang, area parkir, bebas biaya listrik dan area coworking.

Ankit memastikan seluruh properti yang berada di bawah payung KoolKost akan dikelola secara berkala. Ada tim yang khusus mendatangi setiap properti untuk menanyakan apakah ada keluhan, kerusakan atau sebagainya. Tim tersebut bekerja tidak hanya untuk KoolKost saja, tapi buat properti RedDoorz secara keseluruhan.

Sebelum bergabung pun, tim RedDoorz memastikan bagian apa saja dari properti tersebut yang harus ditingkatkan atau direnovasi. Paling lama dalam kurun waktu dua minggu, properti baru bisa masuk listing KoolKost.

“Sehingga semua listing properti yang ditampilkan, sudah melalui berbagai proses QC. Ada tim yang reguler cek kualitas properti, apakah propertinya di-manage dengan baik atau tidak, bagaimana kebersihan dan sebagainya.”

Di saat yang sama, dia juga menegaskan bahwa ke depannya KoolKost tidak akan mengelola properti apartemen karena ada perbedaan konsep pengelolaannya.

Sementara ini, KoolKost dapat dipesan melalui aplikasi dan situs RedDoorz. Aplikasi dan situs resmi untuk KoolKost sendiri sedang dalam tahap pengembangan, rencananya akan dirilis dua bulan dari sekarang.

Sebenarnya konsep serupa juga sudah ditawarkan beberapa startup lokal. Salah satunya dilakukan pengembang situs listing indekos MamiKos dengan meluncurkan MamiRooms.

Melaju ke arah profit

Vice President of Operations RedDoorz Adil Mubarak menjelaskan KoolKost adalah vertikal bisnis yang ditargetkan dapat membantu mewujudkan ambisi perusahaan menuju posisi profitabilitas.

“Kita fokus mau bawa negara di mana kita sudah ada, untuk profitable dan KoolKost ini sebagai segmen baru, untuk diferensiasi antara short dan long stay,” tuturnya.

Kantor RedDoorz di Bandung / RedDoorz
Kantor RedDoorz di Bandung / RedDoorz

Posisi perusahaan pada saat ini adalah mengambil jalur pertumbuhan perlahan dengan mengelola seluruh pengeluaran secara lebih sehat. Artinya, RedDoorz tetap mengambil strategi bakar duit namun lebih terkontrol, bukan sembrono karena ingin mengejar pertumbuhan.

Alhasil, dalam setiap negara di ASEAN yang dimasuki RedDoorz sudah melalui keputusan strategis yang matang. Selain Indonesia, terhitung saat ini RedDoorz hadir di empat negara, Singapura, Vietnam dan Filipina sejak pertama kali beroperasi di 2015.

“Kita selalu memastikan pasar [yang akan kita masuki] itu sudah bagus, pasarnya terbentuk, konsumennya sudah baik, tidak asal saja.”

Kondisi ini kontras dengan ekspansi Oyo yang berusaha untuk hadir di negara manapun. Dalam waktu tujuh tahun, unicorn ini beroperasi di 80 negara, termasuk A.S, Tiongkok, Eropa, Inggris, India, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Jepang.

Seiring dengan target tersebut, sambungnya, perusahaan fokus pada pengembangan teknologi untuk memuaskan semua pihak. RedPartners, RedEagle dan RedFox adalah beberapa di antaranya. Ambisi yang sedang disiapkan adalah menyiapkan aplikasi yang lebih intuitif agar konsumen dapat terlayani lebih maksimal.

“Kami ingin interaksi dengan konsumen jauh lebih baik. Jadi saat mereka check-in, aplikasi bisa lebih pintar memberi notifikasi apakah ada keluhan dengan kamar mereka. Itu plan kita,” pungkas Adil.

Tercatat RedDoorz telah memiliki lebih dari 1200 properti di seluruh Indonesia yang tersebar di lebih dari 100 kota.

Application Information Will Show Up Here

Oyo Resmikan Vertikal Bisnis Hunian Indekos “Oyo Life” di Indonesia

Oyo memboyong vertikal bisnis yang bergerak di hunian jangka panjang atau indekos ke Indonesia dengan brand “Oyo Life.” Indonesia adalah negara ketiga yang disambangi Oyo Life, setelah India dan Jepang.

Country Head for Emerging Business Oyo Indonesia Eko Bramantyo menjelaskan, pasar indekos di Indonesia terus bergeliat, didorong oleh permintaan yang tinggi dan potensi pengembangan rantai bisnis yang besar termasuk katering, laundry, housekeeping, dan lain-lain.

Di Asia, pemanfaatan co-living space menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup milenial. Studi yang ia kutip menunjukkan bahwa 70 juta orang Asia memilih tinggal di kos, dengan total sepertiganya ada di Indonesia (estimasi 23 juta jiwa).

Data Property Affordability Sentiment Index H1 2019 menunjukkan kenaikan harga rumah menjadi salah satu alasan utama orang Indonesia tidak terburu-buru membeli rumah. Makanya sebagian besar yang baru memulai karier cenderung memilih tinggal di kos sampai mendapat tempat tinggal permanen.

“Keputusan kami untuk bawa Oyo Life ke Indonesia, salah satunya karena permintaan para mitra properti kami yang mendorong Oyo untuk ikut mengelola properti ke segmen kos. Melihat dari pencapaian kami dalam kurang dari setahun, kami percaya ini adalah saat yang tepat,” terang dia, Rabu (9/10).

Perlu ditekankan ekspansi Oyo ke indekos ini adalah bagian dari investasi $300 juta (setara 4,2 triliun Rupiah) di Indonesia yang telah diumumkan sebulan lalu.

Status Oyo kini resmi menyandang sebagai decacorn (valuasi di atas $10 miliar), setelah mengantongi pendanaan dari CEO-nya sendiri Ritesh Agarwal, SoftBank, dan investor lainnya sebesar $1,5 miliar (sekitar Rp21 triliun).

Di global, Oyo Life baru hadir di tiga negara dan diklaim mengalami pertumbuhan bisnis yang pesat dalam kurang dari setahun terakhir. Sejak beroperasi di India pada Oktober 2018, Oyo Life telah mengakuisisi lebih dari 500 gedung, menyediakan 30 ribu kasur, dan tiap bulannya menambah 5 ribu kasur baru.

Sementara di Jepang baru diresmikan pada April 2019, telah mengakuisisi 1000 kunci tersebar di 20 titik sekitar Tokyo. Pada peluncurannya di Indonesia, Eko menyebut pihaknya hadir di delapan kota dengan 2500 kamar. Lokasinya di Jakarta, Bekasi, Bogor, Padang, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Diklaim tingkat okupansinya berada di angka 80% dalam 30 hari.

Tidak tanggung-tanggung, dia menargetkan sampai akhir tahun Oyo Life dapat memiliki 10 ribu kamar di 10 kota utama di Indonesia yang memiliki populasi profesional muda dan mahasiswa yang tinggi sebagai konsumen utamanya. Di 10 kota ini, punya potensi 2 juta kamar kos yang bisa diakuisisi.

Model bisnis Oyo Life

Meski berangkat dari luar negeri, Oyo tidak semata-mata langsung copy paste model bisnis Oyo Life ke Indonesia. Ada perbedaan yang menonjol dari gaya hidup penghuni kos di luar negeri, yang akhirnya disesuaikan dengan kebiasaan orang Indonesia.

Di antaranya adalah konsep kunci, berapa banyak kunci yang bisa disewakan. Ini adalah hitungan untuk memperlihatkan pencapaian bisnis Oyo Life. Lantaran, di luar negeri itu, berbagi kamar (sharing room) dengan orang asing adalah hal yang normal.

“Beda dengan Indonesia, di sini tidak terbiasa dengan sharing room. Makanya kami pakai istilah kamar, bukan kunci karena orang Indonesia suka privasi.”

Berikutnya adalah kebiasaan untuk berinteraksi satu sama lain. Di luar negeri tidak ada itu karena masyarakatnya lebih individualis. Makanya di sini Oyo menyediakan kegiatan berbasis komunitas untuk saling engage satu sama lain antar penghuni.

Bila tertarik asetnya dikelola Oyo, persyaratan umumnya memiliki properti dengan langit-langit yang tinggi, ruangan yang cukup luas, dan minimal memiliki 10-15 kamar di dalam satu gedung.

“Nanti ada tim QC di lapangan yang akan memeriksa, lalu ada paperwork untuk perjanjiannya. Setelah setuju, tim kami yang akan renovasi properti, kami berinvestasi di situ, kurang lebih dua minggu selesai.”

Tidak hanya pugar properti, staf dari mitra properti akan dilatih secara rutin agar bisa memberi pelayanan yang terstandar hotel.

Dari segi teknologi dan layanan yang disediakan Oyo Life untuk para mitra properti, tidak ada perbedaan yang mencolok dengan Oyo Rooms. Mitra properti disediakan aplikasi yang dapat memantau seluruh proses bisnisnya dari jarak jauh. Nilai lebih inilah yang diklaim membedakan Oyo Life dengan kompetitornya.

“Layanan Oyo itu tergolong full stack dari hulu ke hilir, setelah aset dipugar kami pula yang akan memasarkan, mengelola operasional, hingga pembayaran, pemilik tidak perlu mengurusnya lagi.”

Eko enggan mengungkap bagaimana persentase pembagian hasil antara pemilik properti dengan Oyo karena rentangnya cukup bervariasi. Namun penentuan harga dilihat dari kisaran lokasi kos di sekitarnya, harga sewa di Oyo Life mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp4,5 juta per bulannya.

Fasilitas yang disediakan mulai dari koneksi internet, pendingin ruangan, televisi, jasa housekeeping, kamera CCTV, dan layanan 24 jam. Apabila ada keluhan, penghuni cukup menghubungi tim Oyo Support tanpa biaya tambahan dari harga sewa bulanan.

“Kalau mau extend kos cukup fleksibel. Opsi pembayarannya juga bervariasi. Kalau ada yang telat bayar, tentu ada approach yang kami lakukan langsung dari Oyo, bukan dari pemilik kosnya.”

Eko mengungkap Oyo Life bakal tersedia sebagai aplikasi terpisah dari Oyo Rooms. Rencananya dalam waktu dekat akan meluncur. Sementara ini bisa diakses melalui situs resminya, dan situs OTA lain yang dimanfaatkan Oyo untuk memasarkan propertinya.

Di Indonesia, Oyo hadir di 100 kota dengan total 35 ribu kamar yang tersebar di lebih dari 1.000 hotel dari Sabang hingga Kupang.

Pemain indekos belakangan ini makin ramai, sebelumnya ada RedDoorz, Mamikos, dan RoomMe.

Application Information Will Show Up Here

Perkuat Bisnis di Indonesia, OYO Siapkan Dana Investasi 4,2 Triliun Rupiah

OYO mengumumkan komitmen baru dalam investasi mereka di Indonesia menjadi US$300 juta atau setara 4,2 triliun Rupiah. Komitmen anyar ini diumumkan setelah keberhasilan perusahaan menembus 5 juta pelanggan sepanjang 2019 ini.

Pendiri dan CEO OYO Ritesh Agarwal menyampaikan langsung sejumlah pencapaian yang sudah mereka peroleh selama beroperasi di Indonesia. Ritesh mengatakan, saat ini OYO sudah menggandeng 1.000 hotel dan 27.000 kamar di 100 kota di Indonesia. Ia menyebut angka itu tercapai lebih cepat dari target mereka yakni satu tahun.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh.

Country Head OYO Indonesia Rishabh Gupta menjelaskan, tambahan investasi US$200 juta itu dianggarkan untuk satu tahun ke depan. Menurutnya, dana itu akan digunakan utamanya untuk revitalisasi bangunan hotel dan pelatihan staf yang tersebar

Country Head of Business Development OYO Indonesia Agus Hartono Wijaya turut menambahkan, pengucuran investasi itu diputuskan karena mereka menyadari ada cukup banyak hotel di sejumlah kota yang kualitasnya di bawah standar. Renovasi jadi langkah prioritas mereka untuk menarik pelanggan.

Let’s say okupansi mereka di bawah 50 persen misalnya. Justru itu value OYO untuk meningkatkan okupansi mereka jadi di atas 50 persen. Bagaimana caranya ya dengan direnovasi dulu,” imbuh Agus.

Perbedaan akses dan infrastruktur suatu daerah turut berpengaruh pada kualitas hotel yang beragam. Disparitas kualitas hotel inilah yang hendak diselesaikan oleh OYO lewat tambahan investasi mereka.

Fokus di timur

Salah satu fokus ekspansi OYO di Indonesia berada di wilayah timur. Potensi wisata yang besar dan industri perhotelan yang masih berkembang di sana jadi alasan OYO membidik ke sana.

Kendati demikian, upaya ekspansi itu tak akan mudah karena gairah bisnis perhotelan di sana sedang lesu.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani mengutarakan, tingkat okupansi hotel di kawasan timur merosot 30 persen. Serupa dengan data PHRI, Badan Pusat Statistik pun mencatat penurunan tingkat hunian hotel berbintang pada Maret 2019 sebesar 4,21 poin menjadi 52,89 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Haryadi menyebut kenaikan harga tiket pesawat jadi penyebab utama hal itu terjadi.

Kendati demikian, Rishabh meyakini kenaikan harga tiket pesawat tak begitu berpengaruh pada industri perhotelan. Di samping upaya pemerintah Indonesia yang terus membenahi infrastruktur pariwasata, pihaknya juga terus berinvestasi untuk memperbaiki kualitas pelayanan hotel yang bekerja sama dengan OYO.

“Lagipula orang Indonesia tidak hanya berwisata melalui pesawat, banyak juga yang pakai infrastruktur darat seperti kalau ke Bandung atau Yogyakarta. Bagi OYO, okupansi hotel tidak terdampak oleh kenaikan tiket pesawat,” cetus Rishabh.

Program OPEN untuk pemilik aset

Pada saat yang sama, OYO juga meluncurkan OPEN yang ditujukan untuk mitra pemilik aset. Sederhananya, program ini merupakan wadah bagi para pemilik aset untuk bertukar ide, informasi, dan lainnya yang dapat menunjang bisnis.

Dalam program itu OYO berkomitmen untuk membagi hasil pendapatan tepat waktu, memberikan akses pembiayaan yang terjangkau, membantu pemasaran hotel, dan menyediakan teknologi sebagai solusi untuk pemilik hotel.

A Hotel Management Service Developer, Zuzu, Receives Series A Funding Worth 52 Billion Rupiah

Zuzu Hospitality Solutions (formerly known as Zuzu Hotels) today (3/19) announces series A funding worth of $3.7 million or equivalent to 52,5 billion rupiah. This round was led by Wavemaker Partners, the previous investor which leads the seed funding. Other investors involved are Golden Gate Ventures, Convergence Venture, Alpha JWC Ventures, and Line Ventures.

The additional capital is to be focused on its operational in Indonesia, Taiwan, and Singapore. They also planed an expansion to some Asia Pacific’s region. Zuzu, along with this, also appointed some industry’s veteran, such as Jake Coleiro for Australia’s Country Manager,and Prae Wattanalapa for Thailand’s Country Manager.

“Acquiring advanced support from investors show that we’re still in line with mission to provide an independent hotel management service. We also glad to have new investors in supporting our next international expansion phase,” Zuzu’s Co-Founder,Dan Lynn said.

After pivot and stopped doing budget hotel business (B2C), Zuzu focused on providing management solution for hotel operation system (B2B). Through their digital system implementation, hotel can provide efficiency to increase online profit up to 30% in average. Their mission is to assure hotels can provide the best service for its customers without any barrier of operational and complicated software implementation for services.

Previously, there has been similar service in Indonesia offering operational system to help hospitality management. One example is Caption, a Yogyakarta based hospitality startup.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian