Gandeng Investree, Bukalapak Luncurkan BukaModal

“Semua akan fintech pada waktunya”, tampaknya pertanyaan tersebut masih cukup relevan saat ini. Tatkala banyak platform teknologi yang terus meluncurkan inovasi di bidang finansial. Terbaru ada BukaModal, sebuah fitur dari marketplace Bukalapak untuk membatu masalah permodalan bagi para pelapak (merchant).

Dalam merealisasikan BukaModal, Bukalapak bekerja sama dengan layanan p2p lending Investree. Investree sendiri memiliki fitur “Online Seller Financing” untuk pembiayaan modal bagi pebisnis online.

Bagi pelapak yang ingin meminjam di BukaModal, ada syarat utama yang harus dipenuhi. Hanya pelapak terdaftar dengan penjualan Rp2 juta per bulan selama 6 bulan terakhir yang bisa mengajukan peminjaman. Syarat tersebut juga untuk memastikan proses peminjaman dan pencairan yang relatif mudah dan cepat.

BukaModal di Bukalapak
Menu BukaModal di aplikasi Bukalapak / Bukalapak

Sementara itu, pinjaman yang diberikan berkisar Rp2 juta sampai dengan Rp2 miliar. Jangka waktu pelunasan cicilan yang ditawarkan mulai dari 6 hingga 24 bulan. Saat ini menu BukaModal sudah tersemat di aplikasi Bukalapak, tepatnya di bagian Pinjaman & Investasi.

Application Information Will Show Up Here

Investree dan Tanamduit Bermitra, Tambah Varian Akses Berinvestasi

Bertujuan  menambah pengguna dan menambah kolaborasi dengan layanan P2P lending, platform reksa dana online Tanamduit yang merupakan produk PT Star Mercato Capitale hari ini meresmikan kemitraan dengan Investree. Kerja sama ini diharapkan bisa memberdayakan idle money yang dimiliki lender (pemberi pinjaman) Investree dengan melakukan investasi reksa dana di Tanamduit. Produk reksa dana yang ditawarkan adalah reksa dana pasar uang.

“Selama ini cukup banyak para lender yang kehabisan borrower (peminjam) untuk kemudian dana yang dimiliki bisa diinvestasikan. Kerja sama ini memungkinkan para lender di Investree melakukan investasi uang mereka dalam bentuk reksa dana,” kata Direktur Tanamduit Muhammad Hanif.

Sebagai platform reksa dana yang telah mengantongi izin OJK, Tanamduit aktif mengembangkan infrastruktur, menambah talenta dan kemitraan dengan perusahaan asset management. Secara keseluruhan saat ini Tanamduit telah memiliki delapan mitra perusahaan asset management, 2500 pengguna aktif, dan aplikasi untuk platform Android dan iOS.

Tanamduit juga berencana mengumumkan pendanaan baru dari investor lokal dan asing. Masih dalam tahap penjajakan, nantinya dana baru ini akan digunakan untuk menambah infrastruktur Tanamduit.

“Saat ini Tanamduit sudah memiliki sekitar 20 anggota tim. Jumlah tersebut masih kita maksimalkan sambil mengembangkan teknologi dan produk kami,” kata Hanif.

Idle money dan aturan OJK

Perihal idle money tersebut ternyata mendapat sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator. Rencananya dalam waktu dekat peraturan terkait uang tersimpan dalam investasi yang tidak dimaksimalkan dan mengendap akan diatur OJK dalam peraturan khusus.

“Kami melihat hal tersebut bisa menjadi peluang bagi Tanamduit untuk melancarkan kegiatan penjualan dan pemasaran kami dengan menjalin kolaborasi dengan layanan fintech seperti Investree,” kata Hanif.

Hanif menambahkan, selama ini Tanamduit dan platform serupa lainnya masih kesulitan melakukan edukasi untuk mulai melakukan investasi dalam bentuk reksa dana. Dengan kolaborasi ini, Tanamduit berharap bisa menambah jumlah pengguna sekaligus melakukan edukasi lebih masif lagi terkait produk reksa dana online.

“Untuk saat ini jenis reksa dana yang kita jual adalah tipe pasar uang, namun tidak menutup kemungkinan ke depannya kerja sama akan dikembangkan dalam bentuk produk dan layanan yang berbeda,” kata Hanif.

Alternatif bagi lender Investree

Lender Investree yang telah terdaftar akan mendapatkan notifikasi untuk bisa berinvestasi dalam bentuk reksa dana. Setelah pilihan dan verifikasi dilakukan, lender bisa melakukan proses tersebut hanya dalam tiga langkah mudah. Dengan nilai investasi yang terjangkau, mulai dari Rp 100 ribu, lender nantinya bisa mendapatkan return yang dikelola manajer investasi profesional sehingga dapat menjaga lender dari risiko pendanaan tunggal secara online.

Layanan reksa dana ini tidak mengenakan biaya apapun untuk keseluruhan prosesnya. Kerja sama yang dijalin antara Investree dan Tanamduit merupakan kolaborasi pertama yang dilakukan oleh layanan fintech P2P lending dan agen penjual efek reksa dana (APERD). Menurut CEO Investree Adrian Gunadi, ke depannya akan lebih banyak lagi kolaborasi antara layanan fintech dengan bank dan institusi keuangan lainnya.

Reksa dana for lender merupakan layanan khusus yang dihadirkan Investree sebagai nilai tambah dan alternatif bagi lender untuk mendiversifikasi portofolio dan cash-in-hand di akun Investree mereka.

“Saya melihat kolaborasi ini sangat ideal untuk Investree. Menggandeng Tanamduit yang sudah memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam hal manajemen aset, kami berharap bisa memberikan pilihan lebih kepada lender,” kata Adrian.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Investree Secures Series B Funding, Targeting Thailand for the Next Expansion

P2p lending startup Investree announces the acquisition of Series B funding with undisclosed value led by SBI Holdings Inc. The other participated investors are Mandiri Capital Indonesia, Persada Capital, Endeavor Catalyst, and 9F Fintech Holdings Group. Kejora Ventures, as existing investor, also involves

SBI Holdings Inc. is a Japan-based multinational company. Along with its subsidiaries, the company engaged in the financial service segment, such as banking, insurance, economic information, credit card investment, p2p lending, asset management, and biotechnology.

The fresh fund will be used to develop a new technology and product lines, expand the user base by launching some marketing strategies, and recruiting new talents. In addition, Investree is ready to take Thailand after its business operation started in Vietnam as eLoan brand.

Adrian Gunadi, Investree’s Co-Founder and CEO, said the new office in Thailand will be officially running by the end of this year. Currently, they’re still digging with local partners regarding regulation and other mechanisms.

“When Investree first came to Indonesia, connection with the regulators and deep understanding of the market were two critical issues. This is our asset for regional expansion,” he added on Tue (7/31).

Next Plan

Aside of regional expansion, Investree started to expand its business outside Java. North Sumatra is one of the target areas. The company creates diversification by channeling scheme to distribute funding with BPD (Regional Representative Council) or BPR (People’s Representative Council) as a partner. The first step is with North Sumatra’s BPD that shows its commitment by distributing Rp200 billion.

“Furthermore, we can be partner with Asbanda for loan distribution with BPD or BPR which good intention in supporting our expansion outside Java.”

In addition, the company seeks new lenders by boosting up marketing initiatives. The company will continue to multiply loan sources, not only retail lenders but also institutions as an effort for easy funds to be distributed as loans for the borrowers.

Gunadi said that institution is currently reached 10% of the total lenders in Investree. They come from financial institutions, domestic and international hedge fund, bank, and multifinance. He expects the lender parts of this group can reach 30% by next year.

Investree has 45,528 lenders and around 2,256 borrowers in July 2018. The distributed crowdfund has reached Rp1.04 trillion or up to 70% of Rp1.5 trillion as the total target during this year.

The total distribution is around 80%-90% which comes from financing invoice products. The rest is from other products, such as merchant cash advance, online seller financing, employee b2b loan, SBR 003 sales, and sharia-based products. In average, the tenor given is 59 days with 16.6% interest rate.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Investree Raih Pendanaan Seri B, Sasar Thailand untuk Ekspansi Selanjutnya

Startup p2p lending Investree mengumumkan perolehan pendanaan Seri B dengan nilai yang tidak disebutkan dipimpin SBI Holdings Inc. Investor baru lainnya yang turut bergabung adalah Mandiri Capital Indonesia, Persada Capital, Endeavor Catalyst, dan 9F Fintech Holdings Group. Kejora Ventures sebagai investor terdahulu turut bergabung dalam putaran ini.

SBI Holdings Inc. merupakan perusahaan multinasional berbasis di Jepang. Bersama anak-anak usahanya, perusahaan ini bermain di segmen jasa keuangan seperti perbankan, asuransi, informasi ekonomi, investasi, kartu kredit, p2p lending, manajemen aset, dan bioteknologi.

Dana segar tersebut akan digunakan Investree untuk mengembangkan teknologi dan lini produk baru, memperluas basis pengguna dengan melancarkan sejumlah strategi marketing, serta merekrut lebih banyak talenta baru. Di samping itu, Investree juga siap menyasar Thailand setelah pada awal tahun ini resmi beroperasi di Vietnam dengan brand eLoan.

CEO dan Co-Founder Investree Adrian Gunadi mengatakan kantor baru Investree di Thailand akan resmi beroperasi pada akhir tahun ini. Sekarang pihaknya masih melakukan proses pendalaman bersama mitra lokal perihal regulasi dan mekanisme lainnya.

“Saat pertama kali Investree hadir di Indonesia, hubungan dengan regulator dan pemahaman mendalam soal pasar adalah dua isu critical. Inilah yang menjadi bekal kami saat ekspansi ke regional,” terang Adrian, Selasa (31/7).

Rencana berikutnya

Tak hanya ekspansi regional, Investree juga mulai hadir di luar Pulau Jawa. Daerah yang akan disasar adalah Sumatera Utara. Kali ini perusahaan melakukan diversifikasi dengan skema channeling untuk penyaluran pembiayaannya menggandeng BPD atau BPR sebagai mitra. Untuk tahap awal bersama BPD Sumut yang sudah menunjukkan komitmen awal penyaluran sebesar Rp200 miliar.

“Berikutnya kita bisa bekerja sama dengan Asbanda untuk penyaluran pinjaman bersama BPD atau BPR yang memiliki potensi baik demi dukung ekspansi kami ke luar Pulau Jawa.”

Disamping itu, perusahaan berupaya mencari lender baru dengan menggiatkan sejumlah inisiatif pemasaran. Tak hanya lender ritel, perusahaan bakal terus perbanyak sumber pinjaman dari kalangan institusi sebagai upaya mencari dana murah untuk disalurkan berbentuk pinjaman kepada para borrower.

Menurut Adrian, saat ini lender institusi baru mencapai 10% dari total lender di Investree. Mereka berasal dari lembaga keuangan, hedge fund dari domestik dan luar negeri, bank, dan multifinance. Dia berharap tahun depan porsi lender dari golongan ini bisa mencapai 30%.

Investree memiliki 45.528 lender dan total borrower mencapai 2.256 orang sampai Juli 2018. Dana yang telah disalurkan Rp1,04 triliun, atau hampir 70% dari total target sepanjang tahun ini Rp1,5 triliun.

Total penyaluran tersebut sekitar 80%-90% di antaranya berasal dari produk invoice financing. Sisanya dari produk lainnya seperti merchant cash advance, online seller financing, employee b2b loan, penjualan SBR 003, dan produk berbasis syariah. Secara rerata, tenor yang diberikan adalah 59 hari dengan tingkat pengembalian bunga 16,6%.

Investree Salurkan Pinjaman 844 Miliar Rupiah di Semester Pertama 2018

Merayakan HUT-nya yang kedua, layanan peer-to-peer lending (P2P) Investree mengumumkan pencapaian perusahaan untuk semester pertama 2018. Selain jumlah borrower dan lender yang cukup signifikan, Investree juga menyampaikan rencana ekspansi ke Thailand akhir tahun ini dan finalisasi penggalangan dana tahap Seri B.

“Kami akan mengumumkan proses final fundraising Seri B pada bulan Juni ini. Berapa jumlahnya dan siapa saja VC yang terlibat [..], selengkapnya akan kami umumkan dalam waktu dekat,” kata CEO Investree Adrian Gunadi.

Didirikan pada tahun 2016, Investree telah memiliki 35 ribu lebih pemberi pinjaman (lender) dan berhasil membukukan catatan penyaluran pinjaman Rp844 miliar, nilai pinjaman tersalurkan Rp698 miliar, dan 16,4% rata-rata tingkat pengembalian.

“Selain ekspansi dalam waktu dekat ke Thailand, kami juga akan menambah lokasi di kota-kota besar di Indonesia. Salah satunya adalah Medan, Sumatera Utara, dalam hal ini Investree bermitra dengan Bank Sumut,” kata Adrian.

Saat ini Investree sudah hadir di Jabodetabek, Semarang, Surabaya dan Vietnam. Masih dalam tahap persiapan, diharapkan layanan Investree di Thailand dengan mitra lokal akan bisa diluncurkan akhir tahun 2018.

Pembiayaan untuk penjual online Investree Syariah

Setelah sebelumnya meluncurkan layanan P2P syariah, pada bulan April 2018 lalu, Investree juga telah menyediakan pilihan penambahan modal skema syariah kepada penjual online dari mitra layanan marketplace Investree. Di antaranya adalah Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Doku per Mei 2018.

Hingga kini pendanaan syariah untuk penjual online di Investree berjumlah 87 peminjam (borrower) dengan jumlah modal yang sudah diberikan sekitar Rp5,1 miliar. Layanan ini merupakan pilihan baru dari Investree yang mengedepankan skema syariah untuk penjual online.

“Kami melihat setelah diluncurkannya layanan ini makin banyak jumlah merchant dari marketplace yang bergabung dengan Investree untuk mendapatkan penambahan modal usaha. Targetnya empat bulan ke depan kami sudah bisa membiayai hingga Rp15 miliar,” kata Adrian.

Investree juga menyampaikan perkembangan bisnis dan merincikan produk utama inisiatif Investree di semester pertama 2018, yaitu menjadi mitra distribusi instrumen investasi pemerintah Savings Bond Ritel seri SBR003 dan menjadi mitra distribusi SBR003 dengan nilai penjualan terbesar dari kategori nonbank, sebesar Rp 14,8 Miliar dari 563 investor yang terdapat dalam platform Investree. Hal ini mengalahkan tiga mitra distribusi lainnya dari kategori yang sama.

“Dengan adanya pencapaian kami yang melibatkan pihak pemerintahan, misi sosial kami, dan pastinya pengembangan secara eksternal seperti dukungan dari investor lokal maupun internasional yang terus menumbuhkan dedikasi kami untuk mewujudkan inklusi keuangan,” tutup Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Tahun Ini Investree Terus Ekspansi ke Berbagai Daerah

Investree telah mengawali langkahnya masuk ke daerah-daerah di Indonesia dengan bekerja sama dengan Bank Sumut untuk penyaluran kredit dengan pemanfaatan teknologi informasi. Kerja sama ini pun diharapkan bisa terus berlanjut terutama kolaborasi dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) baik di dalam maupun luar pulau Jawa demi terciptanya pemerataan ekonomi sebenarnya.

Disampaikan CEO Investree Adrian Gunadi, rencana mereka untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lain selalu terbuka. Sebelum bekerja sama dengan Bank Sumut (Sumatera Utara), pihak Investree telah lebih dulu beerja sama dengan perbankan lainnya seperti Danamon, CIMB Niaga untuk Cash Management, dan Bank Woori Saudara dan Bank Ganesha untuk kemitraan penjualan bersama.

“Kemitraan ini merupakan kolaborasi kesekian yang dilakukan oleh Investree dengan sektor perbankan dan menjadi yang pertama kali dilakukan bersama BPD. Kali ini dengan Bank Sumut, kami melakukan kemitraan Penyaluran Kredit Berbasis Teknologi Informasi, di mana Bank Sumut akan berperan dalam memperkenalkan produk dan layaan Investree serta mengajak nasabahnya untuk mengajukan pinjaman atau melakukan pendanaan untuk pinjaman bisnis yang tersedia di platform Investree melalui kemudahan dan kenyamanan fintech peer to peer lending,” terang Adrian menganggapi kerja sama dengan Bank Sumut.

Di kesempatan berbeda, kepada DailySocial, Adrian menyampaikan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik dan potensi masing-masing yang unik. namun ada satu kesamaan, yakni tingginya angka kebutuhan pembiayaan yang belum dapat difasilitasi oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

Adrian mengutip data Bank Dunia yang menyebutkan masih ada potensi Rp1000 triliun pada pembiayaan di Indonesia yang belum juga terpenuhi. Di sanalah Investree berusaha untuk memperkecil jurang perekonomian individu dan UMKM di Indonesia dengan memberikan akses pembiayaan yang aman, mudah, dan cepat.

“Pada tahun ini kami konsentrasi di wilayah sekarang yang kami sudah ada perwakilan, yaitu di Jawa Tengah, Jawa Timur dan melalui kerja sama dengan Bank Woori Saudara  juga kami bisa menggaet potensi di Jawa Barat, selain itu dengan berkolaborasi bersama Bank Sumut untuk di luar Jawa kami juga bisa mencakup Sumatera Utara serta Bank Ganesha untuk Wilayah cakupan lainnya,” terang Adrian.

Tumbuh signifikan

Sebagai salah satu layanan peer to peer lending di Indonesia yang aktif dalam mengembangkan layanan dan akuisisi pengguna, Investree melihat animo masyarakat terhadap industri ini cukup baik. Terlebih setelah terbit aturan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 dan semakin banyaknya penyedia layanan P2P lending yang terdaftar di OJK.

Adrian menyebutkan Investree sendiri memiliki pertumbuhan cukup signifikan. Pada Desember 2016 jumlah pinjaman yang berhasil didanai mencapai Rp53 miliar. Sedangkan di awal bulan Mei 2018 jumlah pinjaman yang terdanai telah mencapai Rp773 miliar atau terdapat peningkatan 13 kali lipat.

Adrian mengatakan, “Di awal tahun, Investree juga telah meluncurkan produk baru Investree Syariah dan juga Pembiayaan Online Seller Syariah dengan e-commerce besar seperti Lazada dan Tokopedia sebagai yang pertama dan satu-satunya di Indonesia fintech peer-to-peer lending yang memiliki produk syariah.”

“Di bulan April kemarin pun kami etlah memulai kerja sama strategis dengan Bank Ganesha dan Bank Sumut. Salah satu yang membanggakan pula, di bulan Mei ini kami telah lolos tes seleksi ketat sejak September 2017 yang diadakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia sebagaisatu-satunya fintech lending yang terpilih untuk menjadi Mitra Distribusi Penjualan Surat Utang Negara secara online untuk seri Saving Bond Ritel SBR003 bersama 9 mitra distribusi lain yang mayoritas perbankan besar,” lanjutnya.

Application Information Will Show Up Here

Investree Galang Dana untuk Ekspansi Regional

Bertujuan mengembangkan produk dan ekspansi ke kota lain di Asia Tenggara, layanan peer-to-peer lending (P2P) Investree sedang dalam proses eksekusi penggalangan dana. Jika sesuai dengan target, dak pertengahan kuartal tahun ini.

Disinggung siapakah venture capital yang bakal menjadi investor di tahapan Seri B ini, Co-founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mengungkapkan nantinya pendanaan kali ini akan dipimpin financial services asing bersama dengan investor lainnya.

“Saat ini masih dalam tahap eksekusi dan belum final, jika sudah di-approve oleh OJK target kami pertengahan tahun 2018 sudah kami dapatkan pendanaan tersebut.”

Salah satu negara di Asia Tenggara yang diincar oleh Investree adalah Filipina, melihat adanya kesamaan behaviour pengguna dan sisi layanan keuangan seperti di Indonesia. Sebelumnya Investree juga telah meluncurkan teknologinya di Vietnam.

Kolaborasi dengan multifinance dan perbankan

Untuk mengembangkan model bisnis, Investree memiliki rencana scale up dengan menghadirkan marketplace P2P ke lender. Hal ini membuka kesempatan bagi Investree untuk menjalin kemitraan dengan bank dan multifinance.

“Kita lihat P2P akan makin berkembang jika adanya kolaborasi dengan sektor perbankan hingga instansi terkait. Kerja sama dengan multifinance sudah berjalan sementara dengan bank rencananya akan diluncurkan pada bulan April nanti,” kata Adrian.

Untuk implementasi proses akuisisi, inisiasi, dan collection borrower, Investree menyebutkan akan menerapkan cara yang biasa dilakukannya. Tidak ada penyaringan kembali dari bank dan multifinance untuk borrower.

“Meskipun Investree bermitra dengan sektor perbankan dan multifinance, namun proses akuisisi hingga collection akan disesuaikan dengan proses dari Investree. Dengan demikian dapat menekan pengeluaran dari bank dan multifinance,” kata Chief Risk Officer Investree Amalia Safitri.

Investree mengklaim proses pengajuan pinjaman hanya berkisar selama lima hari, sementara jika dilakukan di bank bisa mencapai hingga satu bulan. Selain bank lokal, Investree nantinya menghadirkan pilihan bank asing dan institusi keuangan asing sebagai lender Investree.

Platform alternatif untuk usaha kreatif

Saat ini Investree telah memiliki 16 ribu lender terdaftar, sementara jumlah lender aktif diklaim sudah mencapai 5 ribu. Lokasi lender pun diklaim telah tersebar hingga ke seluruh Indonesia.

Untuk jumlah borrower sendiri Investree telah memiliki sekitar 330 borrower yang kebanyakan berasal dari kalangan UKM. Pembagian kategori borrower adalah dari kalangan industri kreatif, jasa, dan outsourcing.

“Kami mencatat banyak event organizer, layanan katering, dan layanan jasa sekuriti yang melakukan peminjaman jangka pendek melalui Investree. Hal tersebut terjadi karena kemudahan dan cepatnya proses hingga uang dicairkan,” kata Adrian.

Borrower lain disebut banyak juga yang berasal dari merchant layanan e-commerce di Indonesia.

Secara akumulatif Investree sudah memfasilitasi penyaluran dana sekitar Rp 600 miliar hingga bulan Febuari 2018. Ditargetkan akhir tahun ini, Investree bisa memfasilitasi hingga Rp 1 triliun.

“Di Indonesia sendiri Investree sudah hadir di Jabodetabek, Semarang dan Surabaya. Namun untuk memperluas pasar kita juga akan terus melakukan edukasi sekaligus memperbanyak kemitraan dengan sektor perbankan, institusi keuangan, payment gateway, agregator dan masih banyak lagi,” tutup Adrian.

Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

Online Pawn Service Pinjam to Launch Sharia Business

Pinjam, a startup in the online pawn industry, is soon to launch sharia business for its business diversification. It is to be available in market in Q3 of 2018.

“So, this year’s planning is to launch sharia-based product. It still needs to find a clear DNA product. Later, when it has been launched, it will be faster to apply [compared to conventional sharia business],” said Teguh B Ariwibowo, Pinjam’s CEO and Founder, as quoted by Digination.

For this new business development, the team has made a sharia committee to supervise and created opportunities for partnership with related parties, such as Maal Wat Tamwil Agency (BMT). The CEO also claimed partnership with an app that’s having nearly two million agents.

It must be done to make this fintech service comply with sharia principal and cover customer’s needs.

“We already have had sharia team to supervise, also partners with an app with two million agents. Furthermore, we talk to the community along with BMT.”

Pinjam currently has two main products called “gadai online” (online pawn) and “pinjaman mikro” (microloans). Gadai online’s target is individual, they can apply for loan starting from Rp2 million to Rp5 million. While microloans are specific for entrepreneurs with a maximum loan of Rp100 million.

Recently, p2p lending Investree has also launched its sharia business. The company’s research shows that this business line has disbursed Rp2,7 billion from 313 lenders for 1,340 borrowers.

Investree has become the first fintech company to receive a Recommendation Letter of Sharia Experts Team from National Sharia Council – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). It means Investree becomes a party in designing, providing inputs, and supervising sharia-based products as part of “Fatwa Fintech Syariah” in the near future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan Gadai Online Pinjam Segera Luncurkan Bisnis Syariah

Pinjam, startup yang bergerak di bisnis gadai online, mengungkapkan akan segera meluncurkan bisnis syariah sebagai langkah diversifikasi usaha. Rencananya bisnis ini akan hadir pada kuartal ketiga tahun ini.

“Jadi planning tahun ini kita insya Allah luncurin produk yang syariah based. PR-nya adalah masih cari DNA produk yang benar-benar syariah. Sehingga nanti kita launch itu apply-nya lebih cepat, bukan terkesan [bisnis] konvensional yang di-syariah-kan,” terang CEO dan Founder Pinjam Teguh B Ariwibowo seperti dikutip Digination.

Adapun untuk perkembangan bisnis barunya tersebut, pihaknya telah membentuk dewan pengawas syariah dan membuka kerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti BMT (Badan Maal Wat Tamwil). Teguh juga mengungkapkan saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan salah satu aplikasi yang sudah memiliki hampir dua juta agen.

Hal ini dilakukan agar saat diluncurkan nanti, layanan fintech ini sesuai dengan prinsip syariah dan mewadahi kebutuhan nasabah.

“Kita sudah punya dewan pengawas syariah, sudah kerja sama dengan salah satu aplikasi yang basisnya sudah sampai dua juta agen. Kemudian kita sudah ngobrol sama komunitasnya dan paralel ngobrol dengan BMT.”

Saat ini Pinjam memiliki dua produk utama, yaitu gadai online dan pinjaman mikro. Gadai online menyasar individu sebagai nasabah, nilai pinjaman yang bisa diajukan mulai Rp2 juta-Rp5 juta. Sementara pinjaman mikro khusus untuk pelaku UMKM dengan maksimal nilai pinjaman Rp100 juta.

Baru-baru ini, layanan p2p lending Investree telah meresmikan bisnis syariahnya. Dari hasil uji coba yang dilakukan perusahaan, lini bisnis ini telah menyalurkan dana pinjaman sebesar Rp2,7 miliar dengan 313 peminjam dan 1.340 penerima pinjaman.

Investree menjadi perusahaan fintech pertama yang mengantongi Surat Rekomendasi Penunjukkan Tim Ahli Syariah dari Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dengan surat ini, Investree menjadi pihak yang turut merancang, memberi masukan, dan mengawasi berjalannya produk berbasis syariah sebagai bagian dari proses hadirnya Fatwa Fintech Syariah dalam waktu dekat.