June Adalah Oven Pintar Bertenaga AI dan Jeroan ala Smartphone

Sekitar dua tahun yang lalu, sebuah oven pintar bernama June hadir dengan ide yang tak lazim: memanfaatkan artificial intelligence (AI) untuk memasak berbagai bahan makanan dengan tingkat kematangan yang sempurna, tanpa campur tangan terlalu banyak dari manusia. Nyaris semua klaim pengembangnya dapat June lakukan dengan baik, tapi masalah utamanya cuma satu: harganya nyaris $1.500.

Harga itu jelas kelewat mahal, dan dalam kurun waktu dua tahun ini, pengembangnya sudah banyak belajar. Mereka pun memperkenalkan June Oven generasi kedua. Kelebihannya, hampir semua yang bisa dilakukan pendahulunya tersedia di sini, namun konsumen hanya perlu menebus sebesar $600 ‘saja’.

2nd generation June Oven

Ya, $600 memang masih termasuk mahal untuk sebuah oven, namun pada kenyataannya memang belum ada oven lain yang secanggih June. Sistem kecerdasan buatan masih menjadi salah satu fitur unggulan di generasi keduanya ini, demikian pula jeroan ala smartphone, spesifiknya chip Nvidia Tegra K1 dengan prosesor quad-core 2,3 GHz.

Tidak, oven ini tidak bisa Anda pakai bermain Clash of Clans selagi menunggu masakan di dalamnya matang meskipun ia mengemas layar sentuh 5 inci. Layar sentuh itu berguna untuk mengoperasikan oven, dan pada generasi keduanya ini sudah tidak ada lagi kenop stainless steel di bawah layar demi menekan ongkos produksi sekaligus harga jualnya.

Juga absen adalah kemampuan menimbang June generasi pertama. Menurut penjelasan CEO-nya, Matt Van Horn, fitur ini rupanya tidak banyak dipakai oleh konsumen June. Menghapuskannya sekali lagi membantu June untuk semakin menekan harga jual oven pintar generasi keduanya ini.

2nd generation June Oven

Selebihnya, June generasi kedua masih mirip seperti sebelumnya. Di samping chip Nvidia itu tadi, kamera HD yang terdapat di biliknya juga masih ada, yang tetap berfungsi sebagai ‘mata’ buat June. Biliknya sendiri yang berkapasitas 28 liter dan dibuat dari bahan stainless steel kini diklaim lebih mudah dibersihkan.

Kemampuan memasaknya pun tidak berubah, masih mengandalkan elemen pemanas serat karbon yang bisa naik suhunya lebih cepat, sehingga tahap pre-heating sama sekali tidak diperlukan. Selama memasak, pengguna bisa menanyakan sisa waktu yang June perlukan kepada Alexa via smart speaker Amazon Echo. Jumlah preset memasaknya pun telah bertambah dari yang sebelumnya cuma 25 menjadi 100 jenis masakan. June rupanya banyak belajar dari masukan konsumen selama dua tahun ini.

2nd generation June Oven

Via software update, oven pintar ini bisa ditingkatkan fungsionalitasnya, sama seperti mobil Tesla. Contohnya, pada generasi pertamanya, June kerap menjumpai kesulitan memasak bacon, sebab preset yang tersedia untuk bahan ini cuma ada satu saja. Berdasarkan masukan konsumen, June kini memiliki 64 preset yang berbeda hanya untuk bacon saja.

Jumlah preset yang begitu banyak ini diperlukan sebab faktor yang berpengaruh dalam memasak bacon pun juga banyak; semisal jumlah potongannya, menggunakan lapisan aluminium foil atau tidak, dan lain sebagainya. Selanjutnya, demi memudahkan, AI milik June secara proaktif akan memilih preset yang diperlukan berdasarkan preferensi konsumen yang dicantumkan.

Ketika semua kecanggihan itu ditimbang, maka $600 tidak akan terasa terlalu mahal, apalagi mengingat fiturnya bisa terus bertambah seiring berjalannya waktu. CEO June bahkan sempat mengutarakan rencana mereka untuk menambahkan fitur yang mampu mengubah fungsi June menjadi rice cooker.

2nd generation June Oven

Sumber: Engadget.

OpenAI Berhasil Kalahkan Tim Veteran Dota 2

OpenAI, sistem kecerdasan buatan yang skill bermain Dota-nya sanggup melampaui veteran macam Dendi dan SumaiL, baru saja menjalani pertandingan perdananya melawan manusia dalam format tim 5 lawan 5. Yang ditantang pun bukan tim sembarangan, melainkan yang terdiri dari Blitz, Cap, Fogged, Merlini, dan MoonMeander, di mana empat di antaranya sempat bertanding di turnamen Dota 2 bertaraf profesional.

Dari tiga pertandingan, tim OpenAI Five berhasil menang sebanyak dua kali. Sebelumnya, OpenAI sempat menjalani pertandingan pemanasan melawan tim dari penonton. Tanpa harus terkejut, OpenAI menang telak dalam waktu 14 menit saja. Durasi yang amat singkat untuk sebuah pertandingan Dota 2.

Lanjut ke pertandingan utamanya melawan tim veteran, OpenAI ternyata juga dapat menjalani proses drafting (memilih hero yang dapat dipakai oleh timnya, sekaligus yang tidak boleh dipakai oleh tim lawan). Uniknya, OpenAI dapat mengestimasikan persentase peluangnya untuk menang dengan formasi hero yang digunakan.

Penonton yang hadir langsung cukup banyak meski tim yang berada di lokasi secara fisik sebenarnya cuma satu / OpenAI
Penonton yang hadir langsung cukup banyak meski tim yang berada di lokasi secara fisik sebenarnya cuma satu / OpenAI

Pertandingan pertama dan kedua berhasil dimenangkan oleh OpenAI. Lalu pada pertandingan ketiga, OpenAI diberi tantangan yang sulit: yang memilih hero bukanlah mereka sendiri, melainkan para penonton. Penonton yang usil memilihkan formasi hero yang kurang ideal, terutama karena tidak ada yang berperan sebagai support sama sekali.

Alhasil, prediksi peluang menang OpenAI pun cuma berada di angka 2,9% menggunakan formasi tersebut. Benar saja, setelah sekitar 35 menit, tim manusia yang akhirnya menang. Untuk kondisi yang tidak ideal seperti ini, manusia jelas masih lebih mudah beradaptasi ketimbang mesin.

Perlu dicatat, semua pertandingan ini berlangsung dengan sejumlah batasan yang telah ditentukan sebelumnya, sebab OpenAI memang masih dalam tahap belajar. Terlepas dari itu, hasil pertandingan ini lagi-lagi membuktikan bahwa AI memang punya kemampuan belajar lebih cepat dari manusia, asalkan masih dalam skenario yang ideal.

Bagi yang tertarik menyaksikan rekaman pertandingannya, silakan tonton video di bawah.

Watch OpenAI Five Benchmark from OpenAI on www.twitch.tv

Sumber: OpenAI via CNET.

Tesla Buat Sendiri Chip AI untuk Sistem Kemudi Otomatisnya

Selain memelopori tren mobil elektrik, Tesla juga bisa dibilang terdepan soal sistem kemudi otomatis alias self-driving. Kombinasi software bikinannya, platform supercomputer Nvidia dan sederet sensor pada mobil pada akhirnya melahirkan sistem Autopilot yang begitu canggih.

Namun kemitraan Tesla dengan Nvidia kemungkinan bakal berakhir tahun depan. Penyebabnya adalah niat Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri, yang sejauh ini dikenal secara internal dengan sebutan Hardware 3. Kabar ini disampaikan oleh CEO Elon Musk pada laporan finansial terbaru Tesla.

Anggap saja Nvidia Drive itu Qualcomm Snapdragon, nah keputusan Tesla untuk mengembangkan chip AI-nya sendiri di sini mirip seperti langkah Apple membuat chipset-nya sendiri untuk iPhone. Alhasil, kendali atas perangkat bisa lebih maksimal, demikian pula untuk performanya.

Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla
Ilustrasi sistem Tesla Autopilot / Tesla

Memangnya seberapa besar dampaknya pada performa? Menurut Elon, kalau software computer vision Tesla yang ditenagai hardware Nvidia bisa mengatasi sekitar 200 frame per detik, maka angkanya bisa naik menjadi 2.000 frame per detik menggunakan chip buatan mereka sendiri.

Ini dikarenakan chip-nya memiliki akses yang lebih dalam lagi ke sistem secara keseluruhan. Kalau dengan chip Nvidia, kalkulasi datanya tidak bisa dilakukan langsung di hardware, melainkan harus melalui mode emulasi, sehingga pada akhirnya kinerjanya tidak bisa benar-benar maksimal.

Di samping itu, seumpama ke depannya perlu dilakukan perbaikan atau penambahan fitur baru, Tesla jadi tidak perlu menunggu Nvidia. Mereka bisa langsung bertindak dan menyempurnakan apa yang kurang. Lebih penting lagi, Elon juga bilang bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk menggarap chip sendiri ini kurang lebih sama seperti yang dibutuhkan untuk meng-outsource dari Nvidia.

Tesla Roadster 2 / Tesla
Tesla Roadster 2 / Tesla

Pertanyaan selanjutnya, apakah chip AI buatan sendiri ini hanya akan tersedia di mobil-mobil baru Tesla ke depannya, macam Roadster 2 dan Model Y? Ternyata tidak. Model S, Model X dan Model 3 juga bakal kebagian jatah melalui program hardware upgrade yang akan dijalankan tahun depan.

Bukankah sulit melepas komputer dalam mobil lalu menggantinya dengan yang baru? Ya, tapi Tesla rupanya sudah memikirkannya sejak awal, dan Elon memastikan bahwa proses penggantiannya mudah, sekaligus menjaga kompatibilitas sistem dengan yang baru.

Tesla masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa mereka tidak sekadar membual. Sebelumnya, mereka selalu dicecar akibat produksi Model 3 yang lambat, dan yang hingga kini belum bisa memenuhi seluruh permintaan konsumen yang telah memesan. Semoga saja itu tidak terulang pada rencana ini tahun depan.

Sumber: TechCrunch.

AI Dapat Memprediksi Apakah Anda Tertarik dengan Sebuah Film Berdasarkan Trailer-nya

Trailer adalah salah satu senjata promosi utama sebuah film. Lewat sebuah trailer, kita dapat sedikit mengetahui plot ceritanya, mengenali sejumlah pemerannya, hingga pada akhirnya mendapat gambaran guna memutuskan apakah film tersebut layak dinikmati di bioskop ketika tayang nanti.

Dari sisi sebaliknya, pihak produser film rupanya juga dapat memanfaatkan trailer untuk memprediksi kalangan penonton seperti apa yang bakal tertarik dengan film buatan mereka. Ide ini telah dibuktikan oleh 20th Century Fox, yang mengembangkan sistem kecerdasan buatan (AI) untuk melaksanakan tugas tersebut.

Dari kacamata sederhana, AI tersebut mampu ‘mengekstrak’ informasi-informasi dari film seperti warna, iluminasi, wajah, objek dan lanskap; untuk kemudian diformulasikan menjadi prediksi demografi penonton yang tertarik. Yang namanya AI, kemampuan semacam ini tentu didapat dari hasil pelatihan intensif yang dilakukan pengembangnya.

Sistemnya sendiri mengandalkan GPU Nvidia Tesla P100 untuk mengolah data yang sudah pasti masif, dibantu oleh deep learning framework TensorFlow dan cuDNN dari Nvidia. Kombinasi ini memungkinkan sistem untuk ‘mencerna’ ratusan trailer film yang dirilis dalam beberapa tahun terakhir, beserta jutaan riwayat kehadiran penonton di bioskop.

Dengan bangga Fox mengklaim bahwa mereka adalah studio pertama yang menerapkan alat bantu unik semacam ini. Mereka percaya bahwa sistem ini bakal sangat membantu pihak produser dalam mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan promosi sebuah film, sebab mereka sudah tahu kira-kira jenis penonton yang bakal tertarik.

Sumber: Nvidia. Gambar header: Pixabay.

Nvidia Ciptakan AI yang Sanggup Membersihkan Noise pada Gambar

Februari lalu, Microsoft mendemonstrasikan AI (artificial intelligence) yang mampu menggambar sesuai deskripsi teks dari seseorang. Juni kemarin, Adobe memamerkan AI yang sanggup mendeteksi apakah suatu foto merupakan hasil editan Photoshop. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa AI punya potensi yang sangat besar di bidang visual, dan ini semakin dipertegas oleh karya Nvidia berikut ini.

Bekerja sama dengan tim peneliti dari Aalto University dan MIT, produsen kartu grafis tersebut merancang AI yang mampu membersihkan noise dari suatu foto atau gambar. Seperti yang kita tahu, noise kerap muncul dalam bentuk bintik-bintik di sebuah foto yang ditangkap dalam kondisi cahaya yang kurang terang, sehingga otomatis foto jadi kurang enak dilihat.

Tugas AI ini adalah ‘mengusap’ suatu foto hingga bersih dari noise, sehingga detail-detailnya dapat kelihatan jelas. Yang istimewa, AI ini sanggup melakukannya tanpa sekali pun melihat seperti apa penampilan foto yang bebas noise. Sebagai gantinya, yang dipelajari oleh AI tersebut adalah pola noise yang berbeda pada gambar.

Nvidia AI denoise

Hebatnya lagi, hasilnya terkadang malah lebih bagus ketimbang jika AI tersebut dilatih menggunakan contoh gambar bebas noise. Mengingat AI ini tak perlu melihat gambar yang bersih terlebih dulu sebelum beraksi, ia pada dasarnya bisa digunakan untuk menghapus noise dari segala macam gambar.

Bukan cuma noise, gambar yang dihujani teks secara acak juga dapat ia selamatkan, seperti bisa Anda lihat pada video di bawah. Tim pengembangnya bilang bahwa AI ini punya potensi untuk dimanfaatkan di bidang medis, utamanya untuk membersihkan hasil scan MRI, yang sering kali tampak kurang jelas akibat noise.

Sumber: DPReview.

PixelPlayer Adalah AI yang Mampu Mengidentifikasi Suara Tiap-Tiap Instrumen Musik dari Sebuah Video

Kemampuan mendengar tiap-tiap individu pasti berbeda. Saat menonton suatu video konser misalnya, ada yang mampu berfokus pada suara bass-nya saja, tapi ada juga yang kesulitan sehingga suara semua instrumen terdengar membaur baginya. Batasan ini tidak berlaku buat mesin, seperti yang dibuktikan baru-baru ini oleh tim peneliti di MIT.

Para cendekiawan yang tergabung dalam Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) di MIT ini mengembangkan sistem kecerdasan buatan bernama PixelPlayer, yang mampu melihat video beberapa orang bermain musik, lalu mengisolasi dan memisahkan suara tiap-tiap instrumen. Semuanya dilakukan tanpa bantuan manusia.

Ambil contoh video duet pemain tuba dan terompet yang membawakan lagu tema Super Mario misalnya. Yang keren, saat video tersebut dilimpahkan ke PixelPlayer, tim peneliti dapat mengklik pada bagian sang pemain tuba untuk mendengarkan hanya suara dari instrumen tersebut, dan hal yang sama juga berlaku untuk sang pemain terompet.

MIT CSAIL PixelPlayer

Metode deep learning yang diterapkan mengacu pada tiga neural network yang telah dilatih menggunakan berbagai video dengan durasi total lebih dari 60 jam. Ketiga network itu punya tugas spesifik tersendiri: satu untuk mengamati aspek visual dari video, satu untuk audionya, dan satu lagi bertindak sebagai synthesizer yang mengasosiasikan bagian video tertentu dengan gelombang suara yang spesifik.

Sejauh ini PixelPlayer sudah bisa mengidentifikasi suara lebih dari 20 jenis instrumen musik yang umum dijumpai. Kalau bekal berlatihnya (data) lebih banyak, tentu yang dapat dikenali bisa lebih banyak lagi. Kendati demikian, yang sulit bagi sistemnya adalah membedakan jenis instrumen yang teramat spesifik, semisal alto sax dan tenor sax.

Lalu gunanya apa? Pertama, PixelPlayer bisa membantu mereka yang sedang belajar alat musik, yang kerap menonton video YouTube dan mengamati cara memainkan lagu-lagu favoritnya. Kedua, sistem ini juga dapat membantu produser untuk menyempurnakan karya musisi yang ditanganinya. Potensinya sangat luas kalau menurut tim pengembangnya.

Sumber: MIT News.

AI Copywriter Besutan Alibaba Siap Mudahkan Pekerjaan Copywriter Manusia

Profesi copywriter merupakan salah satu ujung tombak kreativitas berbagai industri. Kendati dituntut untuk memiliki kreativitas yang tinggi, tidak jarang para copywriter harus menghadapi pekerjaan repetitif sehari-harinya, semisal menuliskan frasa yang sama berulang kali untuk berbagai produk.

Kalau belajar dari pengalaman, kita semua tahu bahwa mesin atau robot merupakan kandidat yang paling tepat untuk beragam pekerjaan repetitif, dan copywriting pun tidak luput dari itu. Sebagai buktinya, Alibaba melalui divisi pemasaran digitalnya, Alimama, baru saja meluncurkan alat copywriting berbasis teknologi kecerdasan buatan.

AI Copywriter, demikian nama resminya, mengandalkan perpaduan teknologi deep learning dan natural language processing untuk mempelajari segudang contoh tulisan yang ada di situs e-commerce kepunyaan Alibaba, spesifiknya Tmall dan Taobao. Untuk menggunakannya, perusahaan atau pengiklan hanya perlu mencantumkan tautan produk dan memilih dari sederet opsi yang dihasilkan oleh sistem ini.

Alimama mengklaim bahwa AI Copywriter rancangannya telah berhasil melewati Uji Turing, serta sanggup menghasilkan sekitar 20.000 contoh teks pemasaran dalam waktu satu detik saja. Selain jumlah kata, gaya penulisannya pun juga bisa disesuaikan, apakah yang bersifat promosional, fungsional, atau bahkan yang terkesan puitis.

Sejauh ini sudah ada dua brand fashion ternama yang memanfaatkan AI Copywriter, yakni Esprit dan Dickies. Di samping itu, Alimama juga bilang bahwa teknologi ini telah digunakan lebih dari satu juta kali dalam sehari oleh para pedagang dan pemasar di situs-situs seperti Taobao, Tmall, Mei.com dan 1688.com.

Contoh tulisan hasil AI Copywriter di situs e-commerce Alibaba / Alibaba
Contoh tulisan hasil AI Copywriter di situs e-commerce Alibaba / Alibaba

Lalu yang mungkin menjadi pertanyaan terpenting adalah, jika Anda berprofesi sebagai copywriter, apakah ini pertanda tamatnya karir Anda? Tidak, sebab semua konten yang dihasilkan oleh AI Copywriter sebenarnya mengacu pada berbagai konten berkualitas yang dibuat oleh manusia.

Christina Lu, General Manager Alimama Marketing, mengatakan lewat siaran pers bahwa kreativitas manusia masih menjadi landasan bagi teknologi ini dikarenakan mesin tidak akan mampu menggantikan kreativitas seseorang. Sederhananya, AI Copywriter ini diciptakan justru untuk meningkatkan efisiensi kerja profesi copywriter, terutama untuk bagian-bagian repetitif seperti dalam proses revisi misalnya.

Jadi ketimbang harus menuliskan baris demi baris teks, fungsi copywriter bisa bergeser menjadi memilih opsi terbaik yang dihasilkan oleh sistem ini. Singkat cerita, peran manusia masih dibutuhkan di bidang copywriting. Anggap saja mereka naik pangkat menjadi supervisor selaku pemegang keputusan final, dengan anak buah yang bisa bekerja dengan sangat cepat.

Alibaba smart banner tool

Masih di seputar pemasaran, Alimama juga punya tool lain yang berfungsi untuk memudahkan proses desain spanduk digital secara cepat dan cerdas. Berbekal aset visual dan teks yang sudah ada, sistem dapat menghasilkan berbagai format dengan proporsi gambar yang bervariasi, semuanya semudah melakukan cropping gambar.

Tim desain sejatinya tinggal menentukan seberapa besar bidang spanduknya, maka sistem yang akan menyesuaikan proporsi kontennya. Berkaca pada cara kerja yang sama, Alibaba juga memanfaatkannya untuk merancang tool penyunting video, di mana brand bisa menggunakannya untuk menciptakan video promosional berdurasi 20 detik dalam waktu kurang dari satu menit.

Sumber: Alizila.

Adobe Kembangkan AI untuk Mendeteksi Foto Palsu Hasil Photoshop

Entah sudah berapa kali berita viral bersumber pada gambar yang merupakan hasil editan menggunakan software Adobe Photoshop. Media publikasi yang tertipu juga tidak sedikit, dan terkadang memang hasil editannya begitu bagus sehingga sulit untuk memastikan keabsahannya.

Namun kita juga tidak boleh menyalahkan Adobe, sebab jasa Photoshop sangatlah besar di berbagai industri. Untungnya, Adobe sadar akan potensi masalah yang bisa ditimbulkan oleh trik-trik Photoshop, hingga akhirnya mereka mengembangkan AI (artificial intelligence) khusus untuk mendeteksi gambar palsu.

AI rancangan Adobe ini pada dasarnya dapat mendeteksi apakah suatu foto telah dimanipulasi secara ekstrem menggunakan Photoshop. Manipulasi ekstrem kurang lebih merujuk pada objek pada gambar yang dihilangkan, atau malah yang ditambahkan ke foto lain. Cloning pun juga termasuk, di mana biasanya suatu bagian dalam foto akan diperbanyak guna menimbulkan kesan ramai.

Adobe AI spotting fake images

Ada sejumlah teknik yang diterapkan, namun salah satu yang menarik adalah analisis terhadap pola noise, yang biasanya berbeda antara satu kamera maupun satu foto dengan yang lainnya. Pada foto yang ada penambahan objek dari foto lain, biasanya pola noise-nya bakal tidak konsisten, dan AI ini sanggup mendeteksinya dalam hitungan detik.

Apa yang hendak dicapai Adobe sederhananya adalah membantu kita ‘berperang’ menghadapi serbuan hoax. Kinerja AI-nya memang belum bisa sempurna, tapi setidaknya bisa dimanfaatkan untuk membantu menandai gambar-gambar yang berpotensi palsu dengan cepat, sehingga dapat diteliti lebih lanjut.

Sumber: Engadget.

Berbicara dengan Google Assistant Kini Tak Memerlukan Frasa “Hey Google” Setiap Kali

Google memaparkan sejumlah kemampuan baru Assistant pada ajang Google I/O bulan Mei lalu. Salah satu yang sangat menarik adalah fitur mereka sebut dengan istilah Continued Conversation, di mana percakapan dengan Assistant bisa berlangsung secara lebih alami karena kita tidak harus memulainya dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” setiap kali.

Fitur baru tersebut akhirnya sudah resmi tersedia di deretan smart speaker Google, yakni Home, Home Mini dan Home Max. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya di smartphone, kemungkinan dikarenakan fitur ini membutuhkan kinerja mikrofon yang optimal, dan smart speaker jelas lebih superior soal ini.

Google juga memilih untuk menjadikannya sebagai fitur opsional. Perlu dicatat, kita masih perlu memanggil Assistant dengan frasa “Hey Google” atau “OK Google” pada awalnya. Namun setelahnya, Assistant bakal terus aktif dalam durasi yang cukup lama guna merespon perintah suara lanjutan dari pengguna tanpa harus diawali dengan frasa pemicunya itu tadi setiap kali.

Google mengilustrasikannya sebagai berikut: semisal kita baru bangun dan hendak mengecek ramalan cuaca, kita bisa memulainya dengan “Hey Google, what’s the weather today?” Lanjutannya bisa dengan “And what about tomorrow?”… “Can you add a rain jacket to my shopping list”… “And remind me to bring an umbrella tomorrow morning.” Lalu ditutup oleh “Thank you!”

Frasa “thank you” atau “stop” ini bakal ditangkap oleh Assistant bahwa sesi percakapan spesifik itu sudah usai sehingga ia bisa kembali ‘tidur’. Selanjutnya, kita perlu mengucapkan frasa “Hey Google” atau “OK Google” untuk kembali memanggil Assistant.

Untuk sekarang fitur Continued Conversation ini baru tersedia hanya dalam bahasa Inggris. Sayangnya Google belum bisa memastikan kapan dukungan untuk bahasa lain bakal tersedia.

Sumber: Google.

Lewat Kampanye BackTo5, Asus Berupaya Mengembalikan ZenFone ke Masa Kejayaannya

Asus ZenFone boleh dibilang sebagai salah satu brand smartphone yang memercik persaingan di ranah entry-level. Ketika varian generasi pertamanya diperkenalkan, khalayak menyambutnya dengan sangat antusias karena saat itu ZenFone merupakan satu dari sedikit produk yang menawarkan kualitas tinggi dan spesifikasi cukup mumpuni di harga ekonomis.

Tapi sejak saat itu, ZenFone telah melewati beberapa kali perubahan visi. Asus tampaknya tak ingin cuma bermain di ranah budget saja, hingga akhirnya mereka memperkenalkan varian mid-range hingga high-end dengan bermacam-macam fitur andalan. Tak lama, pecahnya fokus Asus digunakan oleh sejumlah kompetitor untuk merebut tahta di kelas entry-level.

Zen 2

Namun belakangan, sang produsen hardware Taiwan terlihat berkomitmen untuk merebut kembali gelar tersebut. Di bulan April kemarin, Asus meluncurkan smartphone ZenFone Max Pro M1 untuk menjegal Redmi Note 5. Dan kemarin, mereka kembali membawa tiga model handset ‘terjangkau’ yang masing-masing diposisikan di segmen budget sampai high-end melalui acara bertema BackTo5. Mereka adalah ZenFone Live L1, ZenFone 5 dan ZenFone 5z.

Begitu banyaknya model handset yang Asus tawarkan memang sering kali membingungkan. Dalam satu lineup saja, ZenFone tersuguh dalam banyak varian: Selfie, Max, Pro, Go dan lain-lain. ZenFone sendiri sudah melewati lima kali regenerasi. Lewat BackTo5, Asus bermaksud memastikan lineup ZenFone generasi kelima tersebut laris manis seperti ZenFone 5 1st-Gen.

 

 

ZenFone 5 & ZenFone 5z

ZenFone 5 dan kakaknya, 5z merupakan bintang panggung keluarga ZenFone generasi kelima. Sebagai flagship, Asus berupaya memastikan produk ini prima dari beragam aspek – desain, fitur, teknologi hingga performa. Asus juga terlihat tidak segan mengadopsi sejumlah elemen yang saat ini populer di kalangan produsen smartphone, di antaranya ialah pemakaian notch hingga pemanfaatan kecerdasan buatan untuk mendongkrak pengalaman penggunaan.

Zen 13

Zen 25

Kehadiran notch di layar ZenFone 5 menandai keputusan Asus untuk mengadopsi sentuhan desain trendi di produk barunya itu. Namun karena hampir semua produk flagship kini mengusungnya, orisinalitas bukanlah faktor terkuat dari perangkat ini.

Zen 4

Zen 8

Tidak ada perbedaan di sisi desain antara ZenFone 5 dan 5z. Kedua smartphone menggunakan konstruksi logam yang diapit oleh kaca 2.5D di kedua sisinya. Lengkungan bagian samping mengingatkan saya pada ZenFone 3, apalagi ditambah pola brushed di punggung yang memberikan efek optik. Menariknya, pemanfaatan rasio 19:9 memungkinkan produsen membenamkan panel IPS 6,2-inci 2246x1080p di form-factor 5,5-inci. ZenFone 5 memiliki dimensi 153×75,6×7,7, seperti ZenFone 4; lalu, rasio layar ke tubuhnya mencapai 83,6 persen.

Zen 11

Zen 12

Zen 14
Komparasi desain antara ZenFone 5 (kiri) dan iPhone X (kanan).

 

Fotografi

Fotografi merupakan aspek yang sangat dibangga-banggakan Asus dalam ZenFone 5. Produk ini meneruskan kampanye ‘We love Photo’ mereka, dan di sana, sang produsen mempersenjatai sensor flaghship Sony IMX363 dengan kecerdasan buatan serta melengkapinya bersama modul kamera sekunder 8Mp. Asus turut mencantumkan sistem OIS empat poros buat meminimalkan blur, lensa ber-aperture f/1.8 dan PDAF dual-pixel.

Zen 20

Country marketing manager Asus Galip Fu menyatakan bahwa dengan ZenFone 5, Anda tidak perlu belajar fotografi untuk mendapatkan hasil jepretan memuaskan karena AI-nya bisa mempejari fotografi buat Anda. Kecerdasan buatanya dapat mengenal objek atau skenario foto berbeda, misalnya makanan, hewan, matahari terbenam, flora hingga salju.

Zen 10

 

AI

Berbicara soal artificial intelligence, Asus mengimplementasikannya bukan cuma di kamera, tapi juga di berbagai aspek  ZenFone 5, dari mulai layar (akan menyala terus saat Anda sedang melirik kontena dan menyesuaikan temperatur warna bergantung dari kondisi pencayahayaan), baterai untuk menggenjot kinerja hardware serta memperpanjang umurnya, hingga untuk mengimplementasi ringtone pintar.

Zen 9

Namun saya menduga, AI tersebut bekerja lebih cerdas di ZenFone 5z. Varian ZenFone 5z menyimpan system-on-chip Snapdragon 845, dan di dalamnya, Qualcomm membenamkan neural processing engine; sedangkan ZenFone 5 diotaki oleh chip Snapdragon 636. Selain itu, perbedaan kedua model terletak pada jumlah memori. Varian 5z paling high-end ditopang RAM 8GB dan memori internal 256GB – setara laptop mainstream.

Zen 7

 

ZenFone Live L1

ZenFone Live L1 disiapkan Asus untuk menggempur segmen smartphone entry-level yang saat ini dimeriahkan oleh Oppo A83, Vivo Y71 dan Redmi 5. Untuk melancarkan aksinya itu, ada dua senjata yang digunakannya: harga dan layar ‘full view‘ 18:9. Asus mencantumkan layar 2.5D 5,5 HD+ tersebut ke tubuh plastik, namun mereka berhasil memastikan desainnya tetap ramping (berketebalan 8.1mm) serta ringan (140g).

Zen 18

Zen 15

Pemakaian kamera 12Mp f/2.0 di belakang dan 5-Mp f/2.4 di depan memang tergolong standar, namun merupakan penawaran terbaik di harga yang terjangkau ini. Apalagi ZenFone Live L1 sudah ditunjang oleh chip Qualcomm Snapdragon 425 serta didukung tiga slot SIM (salah satunya bisa diganti dengan kartu microSD). Asus menyiapkan dua konfigurasi memori, yaitu RAM 2GB dan ROM 16GB, serta RAM 3GB dan ROM 32GB.

Zen 19

Fakta menarik dari penyingkapan ZenFone Live L1 kemarin adalah, Asus memilih Indonesia sebagai tempat pengumuman perdana produk ini. Hal tersebut menandai pentingnya pasar Indonesia bagi Asus, senada dengan komentar regional director Southeast Asia Benjamin Yeh dalam presentasinya.

Zen 16

Zen 17

 

Harga

ZenFone 5z, ZenFone 5, maupun ZenFone Live L1 dijajakan di harga yang sangat fantastis untuk masing-masing segmen. Saya masih sulit percaya smartphone ber-Snapdragon 845 bisa diperoleh dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 8 juta. Pertanyaan saya, apakah ada fungsi atau fitur yang dipangkas? Sejauh ini, Asus belum membahas kapabilitas fast charging, dan saya belum dapat memastikan apakah fitur ini ada atau tidak.

Zen 24

Harga dari ketiga ZenFone baru itu bisa Anda simak di bawah:

  • ZenFone 5z 8GB/256GB – Rp 7,5 juta
  • ZenFone 5z 6GB/128GB – Rp 6,5 juta
  • ZenFone 5 – Rp 4,3 juta (flash sale Rp 4 juta)
  • ZenFone Live L1 3GB/32GB – Rp 1,7 juta
  • ZenFone Live L1 2GB/16GB – Rp 1,4 juta (flash sale Rp 1,3 juta)