Paylater Makin Diminati Konsumen untuk Belanja Online

Pesatnya perkembangan e-commerce ikut membawa pertumbuhan signifikan pada ekosistem pembayaran digital di Indonesia. Karena platform yang dihadirkan dapat berperan signifikan untuk mempermudah transaksi dengan beragam metode pembayaran digital.

Setelah era dompet digital, kini penggunaan paylater semakin dilirik konsumen saat bertransaksi di platform e-commerce. Berdasarkan laporan terbaru Kredivo bertajuk “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia” per Juni 2022, paylater (17%) menjadi metode pembayaran digital yang paling sering digunakan setelah e-wallet (53%) dan transfer bank/virtual account (20%).

Laporan ini juga mencatat pengguna paylater di platform e-commerce meningkat menjadi 38% di 2022 dibandingkan tahun lalu yang sekitar 28%. Adapun survei ini dilakukan pada Maret 2022 pada 3500 responden di seluruh Indonesia.

Dalam temuannya, responden menggunakan paylater karena sejumlah alasan, utamanya untuk membeli kebutuhan mendadak/mendesak (58%), belanja dengan cicilan jangka pendek atau kurang dari satu tahun (52%), dan mendapatkan lebih banyak promo menarik (45%).

Kendati begitu, sebagian responden belum tertarik menggunakan paylater karena alasan utama tidak ingin menambah utang (43%), takut boros (35%), dan takut dengan denda apabila telat melakukan pembayaran tagihan (30%).

“Sebagian konsumen memiliki kekhawatiran dalam mengelola keuangan mereka. Di sini penyedia paylater punya peran untuk membuat strategi pemasaran yang dapat mendorong awareness terhadap pemanfaatan paylater secara bijak. Dengan begitu, mereka dapat mengelola pengeluarannya,” demikian tertulis dalam laporan.

Perilaku konsumen paylater

Dilihat dari perilaku penggunaan, sebanyak 70% responden menyebut fleksibilitas pembayaran sebagai pertimbangan utama memilih paylater, tenor cicilan bervariasi (53%), dapat dipakai di banyak platform e-commerce (49%), dan limit pinjaman yang diberikan besar (35%).

Frekuensi penggunaan paylater selama pandemi / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Berdasarkan kategori transaksi, sebesar 90% responden menggunakan paylater untuk berbelanja online, 50% untuk membeli paket data internet, dan 49% untuk tagihan bulanan.

Limit paylater (dalam Rupiah) / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Adapun, hampir 60% pengguna paylater menghabiskan dana kurang dari Rp500 ribu per bulan saat berbelanja online di sepanjang 2022. Rata-rata responden menghabiskan kurang dari Rp250 ribu (29%), Rp250 ribu-Rp500 ribu (28%), Rp500 ribu-Rp1 juta (24%), dan di atas Rp1 juta (19%) untuk bertransaksi dengan paylater.

Potensi paylater

Menurut Global Payments Report yang diterbitkan FIS, perusahaan software fintech berbasis di AS, paylater menyumbang 2,9% dari total transaksi e-commerce global di 2021 dan diproyeksi naik menjadi 5,3% di 2025.

Data tersebut menunjukkan potensi besar paylater sebagai salah satu metode pembayaran digital pilihan konsumen dalam skala global. Hal ini diperkuat juga oleh laporan IDC tentang “How Southeast Asia Buys and Pays: Driving New Business Value for Merchants” yang menunjukkan penggunaan paylater pada transaksi e-commerce di 2020 mencapai $530 juta.

Penilaian responden terkait paylater / Sumber: Laporan “Perilaku Konsumen E-commerce Indonesia”

Angka tersebut setara dengan 58% dari total penggunaan paylater di platform e-commerce di Asia tenggara yang sebesar $910 juta pada 2020. IDC memperkirakan nilai penggunaan paylater pada di e-commerce pada kawasan ini mencapai $8,84 miliar pada 2025 atau melambung 8,8 kali dibanding 2020.

Sementara, mengutip laporan e-Conomy SEA 2021, paylater menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan akses keuangan mengingat penetrasi kartu kredit di Indonesia masih sangat rendah. Terlebih, paylater menawarkan kemudahan akses dan cara penggunaan karena produknya sudah banyak terintegrasi dalam proses check-out di platform e-commerce.

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai e-commerce dan keuangan digital berperan signifikan dalam mendorong penetrasi layanan digital lebih luas di Indonesia. Apabila tren positif ini terus berlanjut, ia meyakini pemerataan ekonomi dapat terealisasi lebih cepat dengan dukungan ekosistem digital.

Gandeng Mastercard dan BNI, Kredivo Luncurkan Pinjaman Digital “Infinite Card”

PT FinAccel Finance Indonesia melalui Kredivo tengah gencar memperluas akses kredit digital lewat sejumlah kerja sama. Kali ini, Kredivo meluncurkan “Infinite Card” dengan menggandeng penyedia jaringan pembayaran elektronik global MasterCard.

Infinite Card merupakan kartu kredit virtual yang dapat digunakan untuk bertransaksi di semua e-commerce dan platform online yang termasuk dalam jaringan mitra merchant. Kredivo bekerja sama dengan BNI sebagai mitra pinjaman di Infinite Card.

Pengguna dapat bertransaksi dengan Infinite Card menggunakan limit pinjaman Kredivo yang memiliki plafon maksimal hingga 30 juta Rupiah. Pengguna juga tinggal memasukkan beberapa detail kartu (credential) ketika melakukan pembayaran di merchant online.

Bunga yang dikenakan pada transaksi Infinite Card sama dengan bunga Kredivo, antara lain 0% untuk tenor 30 hari dan 3 bulan; dan bunga 2,6% per bulan untuk cicilan 6-12 bulan. Beberapa merchant yang telah menerima Infinite Card, seperti Gojek, Grab, Shopee, dan Traveloka. 

Menurut Krishnadas VP Business Development FinAccel, kerja sama ini memiliki nilai tambah yang kuat mengingat MasterCard memiliki acceptance luas dengan posisinya sebagai pemimpin pembayaran teknologi di dunia. MasterCard juga telah bermitra dengan jutaan merchant.

“Maka itu, kami juga dapat menghadirkan pinjaman digital dengan acceptance point yang tidak terhingga untuk mengakomodasi kebutuhan 5 juta pengguna kami,” tutur Krishnadas dalam acara peluncuran virtual.

Tujuan utama Kredivo adalah dapat menjangkau masyarakat di berbagai level sebagai penyedia metode pembayaran open-loop, terutama di sektor ritel yang selama ini menjadi kekuatan dari layanan kredit digitalnya di Indonesia. 

Sementara, Country Manager Mastercard Indonesia Navin Jain menambahkan bahwa kolaborasi ini sekaligus untuk mendukung agenda pemerintah meningkatkan inklusi keuangan dan mendorong penetrasi cashless di Tanah Air.

Layanan co-branding Kredivo

Sebelum ini, Kredivo telah melakukan strategi co-branding PayLater lewat kolaborasi dengan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) untuk menghadirkan Flexi Card. Berbeda dengan Infinite Card, kartu paylater ini berbentuk fisik dan dapat dipakai bertransaksi secara offline melalu jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). 

Namun, seluruh aktivitas transaksi Infinite Card dan Flexi Card sama-sama dapat dipantau melalui aplikasi Kredivo. Skema bunga yang dikenakan juga sama seperti bunga yang ditawarkan Kredivo.

Strategi co-branding sebetulnya telah banyak dimanfaatkan oleh sejumlah platform penyedia pinjaman dan perbankan. Keuntungannya, kedua belah pihak dapat saling memanfaatkan ekosistem yang dimiliki untuk menjangkau basis pelanggan atau segmen pasar baru.

Beberapa platform digital juga meluncurkan inisiasi serupa dengan menggandeng perbankan selaku pemberi fasilitas pinjaman. Contohnya, kartu kredit PayLater Card Traveloka bersama BRI. Produk ini menawarkan keunggulan proses verifikasi yang hanya memerlukan waktu maksimal 1 hari. Traveloka juga menggandeng Mandiri untuk produk serupa.

Kemudian, ada juga kolaborasi co-branding kartu kredit antara Blibli dan BCA. Kolaborasi ini ditujukan untuk meningkatkan transaksi belanja online di platform e-commerce.

Berdasarkan survei Mastercard New Payment Index 2021, konsumen mengalami peningkatan ekspektasi seiring dengan semakin mudahnya transaksi pembayaran berbasis teknologi. Karena ini, pelaku bisnis dituntut untuk dapat menghadirkan berbagai opsi pembayaran dan pembelian. 

MasterCard melaporkan sebanyak 80% responden setuju untuk lebih memilih berbelanja di toko yang punya kehadiran offline dan online, 69% suka berbelanja di toko ritel yang menawarkan opsi pembayaran terbaru, dan 60% di antaranya menghindari merchant yang tidak menerima opsi pembayaran elektronik.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Resmi Menguasai 75% Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia atau dikenal dengan induk Kredivo, resmi menguasai 75% saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI) setelah sebelumnya mengajukan penambahan kepemilikan saham ke Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurut mereka, aksi korporasi ini menjadi langkah signifikan perusahaan untuk menawarkan produk keuangan digital yang lebih variatif, dari kredit digital dan paylater hingga pinjaman dengan plafon lebih tinggi di masa depan.

Diberitakan sebelumnya, FinAccel mengakuisisi saham Bank Bisnis secara bertahap. Akuisisi pertama dilakukan pada Mei 2021 sebesar 24% dan menjadi 40% pada Oktober 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara 35% pada Februari 2022.

Dengan demikian, struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

Dalam keterangan resminya, Group CEO & Co-founder FinAccel Akshay Garg menargetkan proses akuisisi rampung pekan ini. Semua persetujuan regulator untuk akuisisi Bank Bisnis, termasuk dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah diperoleh.

“Meski Kredivo telah memimpin penyedia kredit digital lewat bisnis paylater dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi layanan perbankan di Indonesia baru saja dimulai. Sejalan dengan misi kami untuk memberikan layanan keuangan dengan cepat, terjangkau, dan luas, kami siap melayani pengguna dengan produk perbankan bertaraf dunia ke depannya,” ungkap Akshay.

Sementara itu, perwakilan pemegang saham dari keluarga Suriadi menambahkan, “Bank Bisnis memiliki sejarah panjang dan membanggakan. Di saat sektor perbankan secara cepat mengarah ke digitalisasi, kami sangat senang menyambut FinAccel sebagai pemegang saham mayoritas baru Bank Bisnis. Kami mendukung visi mereka untuk membangun franchise digital bank terdepan di Indonesia,” demikian pernyataannya.

Fenomena fintech akuisisi bank

Sebagaimana dipaparkan pada artikel sebelumnya, akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Dihubungi oleh DailySocial.id, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan ada sejumlah alasan mengapa startup fintech gencar mengakuisisi bank di Indonesia, terutama startup yang menyalurkan pinjaman, baik ke pengguna maupun modal bagi pelaku UMKM

Sebagai konteks, kami mencatat ada beberapa aksi serupa induk Kredivo, di antaranya Akulaku dan Bank Neo Commerce, WeLab dan Bank Jasa Jakarta, dan yang baru-baru ini diberitakan Amartha dan Bank Victoria Syariah (belum terkonfirmasi). Startup fintech di bidang investasi, Ajaib juga mengakuisisi Bank Bumi Artha pada November 2021.

Pertama, OJK mengatur batasan maksimum pinjaman oleh fintech lending sebesar Rp2 miliar. Apabila meminjam ke perbankan, plafon yang ditawarkan bisa lebih tinggi.

Fintech tidak bisa terus-menerus berharap pada lender ritel karena biaya bunga yang diberikan cukup mahal. Sementara, pendanaan fintech yang bersumber dari institutional lender dibatasi OJK. Maka itu, fintech mengakuisisi bank sehingga sumber pendanaan dari simpanan nasabah bank dapat mendorong penyaluran pinjaman fintech,” paparnya.

Jika dilihat, kebanyakan bank yang dicaplok adalah bank kecil. Selain lebih mudah untuk melakukan transformasi karena infrastruktur dan kantor cabangnya kecil, bank kecil dijual murah karena tidak mampu memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan OJK.

Dalam gambaran menyeluruh, aksi korporasi di atas bermuara pada satu misi yang sama, yakni mendorong inklusi keuangan ke segmen underbanked dan unbanked. “Perbankan selalu kesulitan mendorong pinjaman ke segmen mikro karena biaya operasional terlalu mahal. Sementara, fintech banyak menggarap segmen mikro. Jadi, bank tidak perlu report channeling pinjaman mikro ketika merger dengan startup.”

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Batal Merger dengan Perusahaan SPAC, Tunda Rencana Go-Public

Langkah FinAccel untuk segera melantai di bursa saham NASDAQ terpaksa tertunda. Induk usaha Kredivo ini mengumumkan batal merger dengan perusahaan cek kosong (SPAC), yakni VPC Impact Acquisition Holdings II (VPCB). Sebagai gantinya, Victory Park Capital akan memberikan pendanaan ke Kredivo dengan memimpin sebesar $145 juta atau sekitar 2 triliun Rupiah.

Sebagai informasi, VPCB merupakan afiliasi dari Victory Park Capital (VPC), firma investasi global yang sudah beberapa kali memberikan fasilitas kredit kepada Kredivo.

Pernyataan pembatalan merger ini disampaikan kemarin, Senin (14/3) oleh kedua belah pihak dengan alasan situasi pasar yang sedang tidak menguntungkan dan proses merger yang tertunda. Menurut Co-CEO VPCB dan Partner di VPC Gordon Watson, kedua faktor ini membuat FinAccel dan VPC tidak dapat menutup transaksi sesuai ketentuan perjanjian yang disepakati.

“Kami berupaya melaksanakan proses ini agar dapat memenuhi kepentingan para pemegang saham sebagai prioritas utama kami. Namun, situasi pasar dan proses yang tertunda di luar kendali kami telah memengaruhi jadwal transaksi kedua belah pihak dalam menyelesaikan penggabungan bisnis ini,” ujar Watson seperti dilansir DealStreetAsia.

Sementara itu, Co-founder dan CEO FinAccel Akshay Garg menambahkan, pihaknya tetap berupaya memperkuat hubungan erat dengan VPC dan investor-investor terbaik lewat putaran pendanaan baru meskipun rencananya untuk go public harus tertunda dulu saat ini.

Lebih lanjut, baik FinAccel maupun VPCB tengah mempertimbangkan opsi alternatif lainnya untuk merealisasikan rencana merger dengan kendaraan SPAC. Apabila VPC dilikuidasi, Kredivo akan menerbitkan penny warrant sehingga dapat mengakuisisi saham setara dengan 3,5% dari ekuitas Kredivo yang sepenuhnya terdilusi.

Rencana ekspansi FinAccel

FinAccel pertama kali mengumumkan rencana IPO pada Agustus 2021. Saat ini, perusahaan menyebut telah memasuki tahap perjanjian definitif untuk menggabungkan bisnisnya usai VPCB menyelesaikan IPO pada Maret 2021. Kedua belah pihak telah mengajukan dokumen kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (US Securities and Exchange Commission/SEC)

Sejak awal,  perusahaan mengincar IPO di bursa Amerika Serikat (AS) agar memiliki kesempatan mendapatkan likuiditas yang jauh lebih besar. Apalagi bursa AS selama ini identik sebagai “rumah” bagi banyak perusahaan teknologi global. FinAccel pun membuka opsi untuk dual listing alias melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) meski belum ada kepastian lebih lanjut.

Merger dengan perusahaan SPAC diestimasi membawa valuasi FinAccel di kisaran $2,5 miliar, asumsinya tidak ada penebusan. Lewat IPO ini, perusahaan membidik dana segar sebesar $430 juta atau lebih dari Rp6,1 triliun dalam bentuk tunai pada neraca keuangan perusahaan gabungan. 

Kala itu, Garg mengungkap dana tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat posisi FinAccel di kawasan Asia Tenggara, terutama lewat Kredivo yang saat ini memimpin pasar BNPL (Buy Now Pay Later) di Indonesia.

FinAccel juga tengah mempersiapkan langkahnya untuk masuk ke bank digital di tahun ini dengan resmi menjadi pengendali Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI). Sebelumnya, FinAccel mencaplok 24% saham Bank Bisnis pada Mei 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi 40% pada Oktober 2021. Dengan demikian, FinAccel kini menguasai 75% saham Bank Bisnis.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Jadi Pengendali Saham Bank Bisnis Internasional

PT FinAccel Teknologi Indonesia memantapkan langkahnya untuk masuk ke bank digital di tahun ini. Usai menambah kepemilikan sahamnya, induk usaha Kredivo dan Kredifazz ini resmi menjadi pengendali Bank Bisnis Internasional Tbk (IDX: BBSI).

Berdasarkan keterbukaan di Bursa Efek Indonesia pada 14 Februari 2022, FinAccel menambah kepemilikan saham di Bank Bisnis sebesar 1,15 miliar lembar saham atau setara dengan 35% saham.

Sebelumnya, FinAccel mencaplok 24% saham Bank Bisnis pada Mei 2021. Kemudian, perusahaan kembali meningkatkan porsi kepemilikannya menjadi 40% pada Oktober 2021. Dengan demikian, FinAccel kini menguasai 75% saham Bank Bisnis.

Struktur kepemilikan saham setelah pengambilalihan saham menjadi sebagai berikut; FinAccel Teknologi Indonesia memiliki 75% dengan kepemilikan 2,48 miliar lembar saham, Sundjono Suriadi memiliki 4,91% dengan 162,4 juta lembar saham, PT Sun Antarnusa 4,17% (138 juta lembar), dan publik 15,92% (526,3 juta lembar).

“Pengajuan pengmbilalihan saham ini sudah disampaikan ke OJK pada 10 Februari 2022 dan telah disetujui oleh OJK,” demikian disampaikan dalam keterangan resmi Bank Bisnis.

Babak lanjutan kompetisi bank digital

Sebelumnya, strategi pengendali saham bank telah dilakukan oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia terhadap PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB). Secara bertahap, Akulaku resmi menguasai kepemilikan saham BNC pada Juli 2021.

Akuisisi FinAccel akan memungkinkan Bank Bisnis untuk dapat memanfaatkan teknologi, data, dan customer base yang telah dimiliki oleh FinAccel untuk mengincar pasar yang selama ini belum terlayani oleh merchant-merchant online di Indonesia.

Saat ini, FinAccel menaungi produk paylater Kredivo dan lending Kredifazz. Kredivo tercatat punya 5 juta pengguna tahun lalu dengan ketersediaan layanan di lebih dari 1.000 merchant di Indonesia.

Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia, seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Bhinneka, hingga Sociolla. Pencapaian di atas mengukuhkan posisi Kredivo sebagai penguasa pangsa pasar kartu kredit yang selama ini penetrasinya masih rendah di Indonesia.

Dalam rangkuman DailySocial.id, pertarungan bank digital telah dimulai sejak tahun lalu, setidaknya dimulai dari komersialisasi layanan dari Bank Neo Commerce (Neo+), Bank Jago (Jago App), Bank Seabank Indonesia (SeaBank), dan BCA Digital (blu). Untuk tahap awal, bank digital masuk lewat produk saving dan fitur pengaturan keuangan dengan target pasar rata-rata di segmen ritel, milenial, dan mass market.

Jelang akhir 2021, persaingan bank digital semakin kencang dengan semakin banyaknya aksi akuisisi bank mini untuk memenuhi kewajiban modal minimum bank dan transformasi anak usaha. Beberapa di antaranya adalah Bank BRI lewat anak usaha BRI Agro (sekarang Bank Raya), BNI mencaplok Bank Mayora, dan aksi right issue Allo Bank.

Dengan dinamika yang terjadi di sepanjang 2021, bisa jadi bank digital akan memulai babak baru dengan masuk ke produk pinjaman (lending). Tahun lalu, bank digital melakukan penetrasi pasar dengan produk saving sebagai upaya eksplorasi tahap awal untuk membangun basis pelanggan.

Salah satunya adalah Bank Jago yang berencana mendorong kemitraan layanan dan ekosistem produk, termasuk produk lending di tahun ini. Terakhir, Bank Jago tercatat telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.

Mengenal Kredivo, Pionir Sekaligus Pemimpin Pasar “Buy Now Pay Later” di Indonesia

Berbicara mengenai industri fintech di Indonesia, tentu selalu tidak ketinggalan dengan berbagai kabar menarik di dalamnya. Perkembangan industri fintech yang bertumbuh sangat pesat dipicu oleh banyak hal. Yang teranyar, salah satunya adalah temuan dari laporan DSInnovate yang mengemukakan, nilai GMV (Gross Merchandise Value) tanah air yang mencapai US$70 miliar diyakini menjadi salah satu sebab fintech kian populer di masyarakat Indonesia.

Wujud fintech yang ada di Indonesia hadir dengan berbagai macam layanan. Di antara layanan yang ada, salah satu layanan yang kini digemari oleh konsumer Indonesia adalah layanan BNPL (Buy Now Pay Later). Sesuai istilahnya, layanan itu memfasilitasi konsumen untuk menikmati fasilitas cicilan tanpa kartu kredit untuk berbelanja di platform e-commerce.

Tatkala hadir hanya sejak beberapa tahun ke belakang, adopsi layanan BNPL berkembang secara signifikan. Hal itu tentu tidak tercipta secara instan. Tren pertumbuhan konsumen e-commerce di Indonesia dari tahun ke tahun, dan juga rendahnya kepemilikan kartu kredit menjadi dua faktor utama mengapa layanan paylater menjadi layanan andalan dalam memanfaatkan layanan kredit – khususnya untuk keperluan belanja online.

Dari dua faktor tadi, alhasil beberapa penyedia layanan BNPL mulai bermunculan. Salah satu pionir yang patut diperhatikan adalah Kredivo. Startup fintech yang berada di bawah naungan FinAccel – sebuah perusahaan teknologi finansial asal Singapura ini berhasil memperkenalkan konsep “Buy Now Pay Later” (BNPL) pertama kali di masyarakat Indonesia sejak 2016 silam.

Tanpa perlu waktu lama, Kredivo dinilai mampu tampil memimpin pasar bagi pangsa pasar yang membutuhkan fasilitas kredit konsumtif, tanpa harus memiliki kartu kredit perbankan yang hingga kini penetrasinya sangat rendah. Kebutuhan itu kemudian disempurnakan pula oleh kenyamanan dan fleksibilitas layanan yang ditawarkan.

Bukan tanpa alasan. Dalam risetnya, Kredivo mengklaim, pengguna paylater yang dikelolanya menyatakan memberi respon kepuasan yang baik, terkait dengan proses pengajuan yang mudah, pengalaman bertransaksi, hingga syarat administratif yang cenderung tidak berbelit.

Hasil riset itu sejalan pula dengan fleksibilitas kredit paylater yang ditawarkan Kredivo, dengan sejumlah product unique selling point berupa limit kredit tinggi (hingga 30 juta rupiah), tenor cicilan hingga 12 bulan, hingga ketersediaan layanan di lebih dari 1000 merchant di Indonesia. Tak ketinggalan, keamanan transaksi dan data pengguna juga turut menjadi fokus pengembangan produk dengan fitur keamanan berupa data pengguna yang terenkripsi. Di samping itu, secara legalitas Kredivo juga telah terdaftar dan diawasi secara resmi oleh OJK.

Melalui upaya optimal di atas, tak heran jika Kredivo mampu menguasai pasar BNPL dengan mudah. Dalam studi paylater yang dirilis DailySocial.id, platform Kredivo telah terintegrasi di hampir seluruh e-commerce terkemuka di Indonesia seperti Bukalapak, Lazada, Tokopedia, Blibli, Elevenia, JD.id, Ralali, iLotte, Jakmall, Bhinneka, Matahari.com, Fabelio, dan juga Sociolla.

Dari sisi pengguna dan bisnis, Kredivo juga berhasil dipercaya oleh lebih dari 5 juta pengguna. Dalam keterangannya, basis pengguna Kredivo diklaim tumbuh hingga dua kali lipat selama 10 bulan terakhir, begitu pula dengan pendapatan tahunan yang juga tumbuh dua kali lipat selama 7 bulan terakhir.

Hal tersebut menjadi menarik, tatkala di tengah tantangan perlambatan ekonomi akibat pandemi, Kredivo justru berhasil meraih pertumbuhan yang signifikan, dan berhasil memimpin pasar BNPL dengan “wallet share” yang mencapai setidaknya 50% di mayoritas merchant e-commerce tanah air.

Hal ini senada dengan apa yang dikatakan CEO Kredivo Indonesia, Umang Rustagi, dalam fintech report 2021 yang akhir tahun lalu diterbitkan. “Kredivo sebagai e-commerce enabler mendapatkan keuntungan juga dari tren e-commerce karena pasar yang terus tumbuh dengan cepat. Sebagai e-commerce enabler yang fokus pada layanan paylater, ada kenaikan permintaan untuk jasa ini. Selama sepuluh bulan terakhir, customer Kredivo meningkat hingga 2x lipat.” terang Umang.

Perjalanan Kredivo dalam mengakselerasi pertumbuhan yang signifikan diperkirakan bakal terus berlanjut. Selain mengantongi angka jumlah pengguna dan wallet share yang gemilang, kabar rencana “go public”, diikuti dengan raihan pendanaan terbaru dan kemitraan strategis dengan berbagai entitas (salah satunya dengan Bank Sampoerna merilis kartu “Paylater” Flexi Card) diyakini bakal menjadi amunisi Kredivo, dalam mengukuhkan posisinya sebagai pionir, sekaligus pemimpin pasar kredit online di Indonesia.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

Paylater Berkembang Pesat Selama Pandemi, Seiring Perkembangan E-Commerce dan Transaksi Digital

Seiring berkembangnya teknologi, ada aspek lain yang terus tumbuh dan berkembang, yaitu pertumbuhan e-commerce dan juga maraknya perusahaan financial technology (fintech), sebuah industri yang bergerak dalam layanan keuangan. Dua aspek ini menggeser kebiasan masyarakat dalam preferensi pembayaran, di mana pembayaran tunai beralih menjadi pembayaran digital atau yang biasa disebut cashless, yang merupakan pengaruh dari meningkatnya penetrasi internet dan adopsi konsumen digital.

Pembayaran digital juga membuka sektor transportasi, layanan pengiriman makanan, transportasi online, dan media online untuk mengadopsi sistem transaksi digital. Bahkan, sektor-sektor tersebut diprediksi oleh laporan e-Conomy SEA 2021 mampu menyumbang angka sebesar $70 miliar pada tahun 2021.

Paylater melesat untuk menjangkau berbagai kalangan

Seiring meningkatnya transaksi digital, perusahaan fintech memiliki kesempatan baru untuk melebarkan sayapnya dalam menghadirkan fasilitas paylater. Hal ini tersirat dari laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia rilisan DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo..

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

Pionir paylater di Indonesia, Kredivo, akan melayani puluhan juta pelanggan di Indonesia.

Di antara banyaknya perusahaan fintech di Indonesia yang bergerak di bidang paylater, Kredivo semakin menjadi yang terdepan dalam layanan paylater di Indonesia, terutama setelah mengumumkan rencana go public melalui skema SPAC. Dengan demikian Kredivo akan mencapai penilaian ekuitas sebesar $2,5 miliar dan berhasil menjadi “unicorn” di tahun 2021.

Menurut Umang Rustagi selaku CEO Kredivo Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat di Indonesia, membuat investor asing dan pasar global paylater juga semakin melirik.

“Populernya e-commerce dan transaksi digital, serta rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia menyebabkan paylater justru menjadi pintu masyarakat ke akses kredit yang terjamin. Hal ini terlihat lewat riset internal yang menunjukkan bahwa 60% pengguna kami mendapatkan kredit pertamanya lewat Kredivo,“ ujarnya.

Sebagai pionir paylater di Indonesia, tentunya layanan paylater yang dimiliki oleh Kredivo sudah menjamur di banyak platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, JD.id, Blibli, dan Elevenia. Selain itu juga, bunga yang ditawarkan Kredivo menjadi yang terendah (per September 2021) dibandingkan penyedia layanan paylater lainnya.

Sumber: DSInnovate Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021 (09/2021)

Kredivo melalui PT FinAccel Finance Indonesia beroperasi dengan lisensi perusahaan pembiayaan (multifinance) di bawah naungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperoleh melalui akuisisi PT Swarna Niaga Finance.

Advertorial ini didukung oleh Kredivo.

Indonesia Miliki 12 Gelar Startup Unicorn di Tahun 2021, Anggota Baru Muncul di Penghujung Tahun

Penghujung tahun 2021 memberikan kejutan kepada para pelaku dan startup enthusiast. Bagaimana tidak, berbagai startup telah dinobatkan sebagai unicorn di tahun ini. Berdasarkan data dari DailySocial.id Annual Report 2021, tercatat total sebanyak 11 startup Indonesia telah menjadi Unicorn di tahun 2021. Jumlah ini bertambah dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari laporan Startup Report 2020, pada tahun 2020 saja, Indonesia hanya memiliki 5 startup unicorn, yaitu Tokopedia, Gojek, Traveloka, Bukalapak dan OVO. Namun, tujuh startup Indonesia saat ini telah mengisi deretan startup unicorn pada tahun 2021.

Unicorn sendiri merupakan level ke-4 dari tingkatan bisnis startup. Dalam tingkatan level Unicorn, nilai valuasi yang digunakan sebagai indikator adalah senilai USD$ 1 miliar – USD$ 10 miliar atau jika dirupiahkan adalah sebesar 10,47 triliun.

Beberapa startup yang telah menjadi unicorn di tahun 2021, merupakan startup pada level centaur di tahun sebelumnya. Berikut 11 startup Indonesia yang telah mencapai unicorn:

1. GoTo

GoTo merupakan startup merger antara Gojek dan Tokopedia. PT GoTo Gojek Tokopedia didirikan pada 17 Mei 2021 dengan fokus industri teknologi informasi. GoTo mengombinasikan layanan e-commerce, on-demand, dan layanan keuangan ke dalam satu ekosistem.

November tahun ini, Grup GoTo mengumumkan penutupan pertama penggalangan dana pra-IPO lebih dari $1,3 miliar (lebih dari 18,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor.

2. Traveloka

Traveloka sendiri telah menyandang status unicorn pada tahun 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia. Berdiri sejak tahun 2012, Traveloka telah mengembangkan berbagai produk, hingga menjadi startup non fintech pertama yang menerapkan paylater “beli sekarang, bayar nanti”.

3. Bukalapak

Bukalapak merupakan salah satu perusahaan e-commerce Indonesia yang didirikan pada tahun 2010 lalu. Bukalapak berhasil menjadi unicorn pada tahun yang sama dengan Traveloka, dengan valuasi mencapai USD 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun.

Tahun 2021, Bukalapak dikabarkan memperoleh pendanaan sebesar $234 juta (lebih dari 3,4 triliun Rupiah) dalam putaran pendanaan Seri G yang dipimpin oleh Microsoft, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan EMTEK.

4. OVO

Tahun 2019, OVO berhasil menjadi startup unicorn. Finance Asia menyebut valuasi OVO saat dinobatkan menjadi unicorn sudah mencapai $2,9 miliar (lebih dari 40 triliun Rupiah).

Sebagai perusahaan yang memimpin industri pembayaran digital bersama GoPay, OVO jelas memproses perputaran dana yang sangat besar yang mencapai triliunan Rupiah per tahunnya.

5. JD.id

Awal tahun 2020 lalu, JD.id telah mencapai valuasi perusahaan lebih dari US$1 miliar dan menambah jajaran startup unicorn saat itu. JD.id merupakan salah satu e-commerce yang ada di Indonesia dan merupakan bagian dari JD.com yang berkantor pusat di Beijing China.

6. Blibli.com

Blibli.com merupakan satu-satunya e-commerce yang meraih status unicorn pada tahun ini. Per Agustus 2021, blibli.com telah mencapai valuasi sebesar 1 miliar dollar AS. Berdiri pada tahun 2010, butuh waktu sekitar 11 tahun bagi blibli.com untuk mencapai level ke-4 pada tingkatan bisnis startup ini.

7. Tiket.com

Menyusul pesaingnya, Traveloka, Tiket.com akhirnya menjadi unicorn pada awal tahun 2021.

Tiket.com sendiri didirikan tahun 2011 dan diakuisisi Djarum Group melalui Blibli pada tahun 2017. Saat ini keduanya tetap berjalan dengan entitas legal (PT) terpisah, sehingga memungkinkan jika Tiket.com melangsungkan IPO terlebih dulu.

8. J&T Express

Awal tahun 2021, J&T Express telah menjadi unicorn dengan valuasi sebesar mencapai 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113,5 Triliun. J&T Express menduduki posisi kedua sebagai startup unicorn Indonesia dengan nilai valuasi terbesar setelah Gojek.

J&T Express menjadi mitra pengiriman logistik dari sejumlah e-commerce besar, termasuk, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Shopee, dan JD.id.

9. Kredivo

Kredivo merupakan startup yang berada di bawah naungan PT FinAccel Teknologi Indonesia dan berdiri pada Desember 2015. Kredivo memiliki performa serta pertumbuhan yang pesat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun sejak didirikan sehingga menarik perhatian para investor.

Sama dengan blibli.com, Kredivo menjadi unicorn pada pertengahan tahun 2021 ini.

10. Xendit

September 2021, Xendit mengumumkan perolehan pendanaan seri C senilai $150 juta atau setara 2,1 triliun Rupiah. Putaran ini sekaligus mengokohkan valuasi perusahaan di atas $1 miliar dan menjadikan Xendit sebagai startup “unicorn” selanjutnya di Indonesia.

Sebelumnya Xendit telah menutup putaran pendanaan seri B senilai $64,6 juta pada Maret 2021 lalu dipimpin Accel. Dengan perolehan baru ini, secara total mereka telah mengumpulkan dana Rp3,4 triliun ($238 juta) sejak ronde awal di tahun 2015.

11. Ajaib

Sama seperti namanya, Ajaib berhasil menjadi startup unicorn hanya dalam waktu 2,5 tahun. Ajaib menyandang gelar unicorn setelah menutup putaran seri B sebesar $153 juta (lebih dari 2,1 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh DST Global. Pendanaan ini membawa jumlah total yang dikumpulkan Ajaib menjadi $243 juta. Ajaib sendiri telah memiliki 1 juta investor ritel saham, sejak pertama kali berdiri dua setengah tahun lalu.

 

Menutup tahun 2021 ini, sebuah kejutan muncul dari salah satu startup dengan dasar bisnisnya adalah kedai kopi, yaitu Kopi Kenangan. Desember 2021, Kopi Kenangan jadi “Unicorn New Retail” Pertama di Indonesia.

Kopi Kenangan mengumumkan telah menutup putaran pertama untuk pendanaan seri C senilai $96 juta atau setara 1,3 triliun Rupiah. Dengan tambahan dana investasi ini, perusahaan turut mengumumkan bahwa telah mencapai tonggak “unicorn” atau bervaluasi lebih dari $1 miliar. Dengan ini, Kopi Kenangan menambah deretan startup unicorn Indonesia.

Tidak hanya telah menjadi unicorn, beberapa startup lainnya juga sudah menjadi centaur di tahun ini. Untuk mengetahui informasi lainnya mengenai startup sepanjang 2021 ini, kunjungi DailySocial.id Annual Report 2021!

***

Disclosure : Artikel ini ditulis oleh Masni Rahmawatti. S

Kredivo dan Bank Sampoerna Meluncurkan Kartu “Paylater” Flexi Card

PT FinAccel Finance Indonesia melalui Kredivo dan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) berkolaborasi meluncurkan kartu fisik paylater Flexi Card. Kartu ini dapat digunakan untuk bertransaksi secara offline melalu jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) di jutaan gerai di seluruh Indonesia.

CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi mengatakan kolaborasi ini menunjukkan upaya pelaku fintech dan perbankan dalam bersinergi memberikan layanan keuangan yang cepat, mudah, dan terjangkau di tengah meningkatnya penetrasi digital saat ini.

“Flexi Card akan memberikan manfaat bagi segmen underbanked dalam merasakan kemudahan akses produk keuangan. Di saat yang sama, Flexi Card menjadi wujud komitmen Bank Sampoerna untuk bertransformasi digital dan berkolaborasi dengan pelaku fintech di Indonesia,” ujar Umang dalam keterangan resminya.

Sementara, Direktur Keuangan dan Perencanaan Bisnis Bank Sampoerna Henky Suryaputra menambahkan, komitmen Bank Sampoerna untuk bertransformasi digital juga terefleksi melalui upaya penambahan modal inti yang meningkat lebih dari Rp2 triliun per akhir November 2021, sebagaimana sesuai ketentuan modal minimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Flexi Card disebut memiliki biaya pengiriman kartu dan biaya tahunan secara gratis tanpa batas waktu. Adapun bunga yang dikenakan dalam transaksi Flexi Card sama seperti bunga yang ditawarkan Kredivo, yakni 0% untuk tenor 30 hari dan 3 bulan, serta bunga 2,6% per bulan untuk cicilan 6-12 bulan.

Pengguna juga dapat mengecek dan mengelola transaksi Flexi Card melalui aplikasi Kredivo. Selain itu, pengiriman Flexi Card dapat diajukan melalui dasbor aplikasi Kredivo dengan mendaftar akun Premium Kredivo.

Kredivo merupakan platform yang menawarkan pinjaman instan pada transaksi e-commerce dan offline, serta pinjaman tunai.

Sementara Bank Sampoerna merupakan bank swasta yang menyasar pada pengembangan usaha mikro dan UKM. Baru-baru ini, Bank Sampoerna juga mengumumkan kolaborasinya dengan KoinWorks untuk menghadirkan layanan neobank UMKM bernama KoinWorks NEO.

Co-branding kartu paylater

Strategi co-branding bukan hal baru pada produk kartu paylater. Selain memperkenalkan merek, kedua belah pihak dapat saling memanfaatkan ekosistem untuk meningkatkan akses keuangan melalui digital, terutama bagi segmen yang kurang tersentuh layanan perbankan.

Sejumlah bank dan platform digital di berbagai vertikal bisnis telah banyak memperkenalkan kartu paylater. Misalnya, Traveloka menggandeng Mandiri dan BRI untuk meluncurkan PayLater Card.

Baru-baru ini, BRI dan OVO juga meluncurkan kartu OVO U Card di mana pemilik kartu dapat menikmati tambahan rewards dan benefit dari ekosistem yang dimiliki OVO dan Grab. Ada pula kartu paylater yang diluncurkan Bank Mandiri dan Shopee. Pengguna dapat memperoleh koin Shopee di setiap transaksinya.

Dalam survei yang diterbitkan Kredivo beberapa waktu lalu, sebesar 90% pengguna e-commerce telah aware terhadap produk paylater, di mana 27% responden aktif menggunakan paylater dan setengahnya mengaku bakal meningkatkan penggunaannya di masa depan

Survei ini juga menyebutkan bahwa sebesar 98% merchant di Indonesia telah terhubung dengan layanan pembayaran digital, di mana separuh di antaranya telah menerima opsi pembayaran digital langsung, seperti paylater, dan point of sales (POS). Saat ini, Kredivo telah mengantongi lebih dari 4 juta mengguna atau setara 50% dari total pengguna kartu kredit di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Perkuat Layanan di Indonesia, PPRO Gandeng Kredivo

Setelah meluncur di pasar Indonesia akhir tahun 2020 lalu, platform pembayaran PaaS asal Inggris “PPRO” berencana untuk menjalin kolaborasi lebih luas lagi dengan platform pembayaran digital di Indonesia.

Setelah OVO dan Doku, kini PPRO kembali mengumumkan kerja sama strategis dengan Kredivo. Besarnya penggunaan metode pembayaran Buy Now Pay Later (BNPL) alias paylater di Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa kerja sama ini dilancarkan.

“Kami melihat pilihan pembayaran BNPL banyak dipilih oleh pengguna layanan e-commerce secara global bukan hanya di Indonesia. Memanfaatkan sekitar 5 juta pengguna Kredivo, diharapkan kolaborasi ini bisa berguna untuk pasar di Indonesia,” kata VP Partnerships, Head of APAC PPRO Tristan Chiappini.

PPRO mencatat sekitar 55% pengguna layanan e-commerce memilih untuk melakukan pembayaran dengan cara BNPL. Dengan menawarkan metode pembayaran BNPL kepada konsumen saat checkout, merchant dapat meningkatkan tingkat konversi mereka, menghasilkan transaksi rutin dari konsumen yang menggunakan metode pembayaran, dan berpotensi melihat ukuran keranjang yang lebih besar.

“Integrasi kami dengan PPRO memungkinkan lebih banyak merchant untuk menawarkan pelanggan mereka opsi untuk membayar dengan Kredivo. Melalui mereka, kami dapat memperkuat komitmen kami untuk memberikan konsumen kesempatan untuk mengakses lebih banyak pasar e-commerce dunia,” kata VP Business Development Kredivo Krishnadas.

Sebelumnya PPRO juga telah melakukan integrasi dengan Jenius Pay dan LinkAja. PPRO dalam waktu dekat juga berencana untuk mengumumkan kerja sama strategis dengan platform dompet digital terbesar di Indonesia. Disinggung apakah GoPay yang akan menjadi mitra baru PPRO dalam waktu dekat, Tristan enggan untuk memberikan informasi lebih lanjut.

Pandemi dan pertumbuhan layanan e-commerce

Pandemi secara langsung telah mempercepat akselerasi layanan e-commerce di Indonesia. PPRO juga mencatat terdapat 3 negara yang kemudian banyak mendapatkan permintaan dari merchant di Indonesia. Di antaranya adalah Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Singapura. Dilihat dari negara Top 3 tersebut menjadi relevan bagi PPRO untuk memperluas kemitraan dengan pemain lokal di Indonesia.

“Kami melihat 23% layanan e-commerce di Indonesia sudah lintas batas. Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi kami untuk melakukan konsolidasi pasar. Kita sudah mempunya live traffic dengan payment menthod di Indonesia,” kata Tristan.

Selama 2 tahun terakhir PPRO mengklaim menjadikan Indonesia sebagai pasar prioritas mereka. Namun demikian karena pandemi, PPRO belum memiliki rencana untuk menempatkan tim di Indonesia. Selanjutnya PPRO akan terus fokus di PSP dan memenuhi demand dari para merchant. Selain pasar di Indonesia, PPRO juga memiliki rencana untuk memperluas layanan di negara lain seperti India hingga Malaysia.

PPRO adalah perusahaan fintech yang mengglobalisasikan platform pembayaran untuk bisnis, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan pembayaran pada saat checkout di berbagai platform dan meningkatkan penjualan lintas batas.

“Klien kita adalah global mulai dari Asia Tenggara hingga Amerika Serikat, ada potensi melakukan cross border untuk Indonesia.,” kata Tristan.