aCommerce Aims for IPO in 2020

aCommerce, along with the fifth anniversary, revealed the plan to release an initial public offering (IPO) by 2020. Later, the fund raised from IPO will be focused on unified data platform development to tighten aCommerce position as a data management partner for top-tier brands in Southeast Asia.

Looking back to when aCommerce first established in 2013 in Thailand, providing an integrated solution as an e-commerce channel (retail solution, marketing, and distribution). In the last five years, the Bangkok-based company has intensified expansion. Aside from Thailand, they’re also expanding to Indonesia, the Philippines, Singapore, and Malaysia.

Trusted by brands as big as Unilever, L’Oreal, and HP has made aCommerce grow rapidly, from startup to enterprise. In its fifth year, the company claims to advance by 750%, supporting more than 260 top-tier global brands. Through its service, aCommerce managed to handle 13.19 million orders, with over 1200 employees in 5 offices and 15 logistics center.

Data becomes one of the focus for development in aCommerce. Previously, they also released the data-driven demand generation, such as ecommerceIQ, ReviewIQ, BrandIQ, ChannelIQ, and CustomerIQ. The objective is to help brand optimizing its e-commerce.

“The number of customers data which currently ‘floating’ is big. The data should be able to be used by everyone for optimization, but nobody has it integrated into one platform,” Paul Srivorakul, aCommerce’s Group CEO and Co-Founder, said.

He added, “With the capital raised through IPO, aCommerce plans a mission to manage the information and plays a role as a data partner for brands. Our main objective is for brands to come and collect the centralized data of a customer, and finally be able to offer customized products or services for each group targeted.”

The mission goes along with a survey conducted by ecommerceIQ. In its result, 25,8% of brands are looking for digital talents with data analytic expertise to support the business strategy. Moreover, data management can be optimized with technology, and aCommerce wants to be involved.

Currently, aCommerce has raised a total funding of $96.5 million (worth IDR 1.4 trillion) from some investors include Emerald Media by KKR, BlueSky, DKSH, InspireVentures, Sinarmas, and NTT Docomo. The latest one was acquired at the end of 2017 in Series B round.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Triplogic Kini Terhubung dengan Ekosistem Pembayaran Digital BNI

Platform jasa penitipan barang Triplogic mengumumkan kerja sama dengan BNI untuk penambahan opsi pembayaran digital Yap! dari BNI. Para agen Triplogic akan direkrut sebagai Agen46 BNI untuk mendapatkan penghasilan tambahan lewat perluasan layanan perbankan, serta dukungan pembiayaan KUR buat mendongkrak usaha mereka.

Kerja sama yang menyeluruh ini merupakan upaya kedua perusahaan untuk mempercepat program literasi dan inklusi keuangan di semua lini masyarakat, termasuk di sektor logistik. Serta, kemudahan transaksi dengan pembayaran secara digital.

Triplogic merupakan perusahaan yang menyediakan layanan penitipan barang atas kuota bagasi yang tak terpakai traveller. Barang yang akan dititipkan ke traveller, akan dijemput oleh feeder yang menjadi mitra pengemudi dari Triplogic.

Feeder akan mengantar barang tersebut ke bandara dan di bandara akan diterima oleh petugas Triplogic. Sesampai di bandara tujuan, traveller tidak perlu mengambil barang titipan dari bagasi karena akan diproses sendiri oleh Triplogic.

Begitupun untuk proses pengirimannya ke lokasi tujuan, selanjutnya dilakukan oleh feeder yang bertugas. Sebagai balas jasa, pemilik bagasi akan mendapat keuntungan dari pemanfaatan bagasi tersebut, per kilogramnya dihargai Rp12.500.

“Triplogic melihat BNI memiliki sistem pembayaran yang paling relevan dengan generasi milenial yakni Yap!. Ke depannya akan ada inisiasi baru yang siap kami kembangkan bersama BNI, misalnya bisa bayar secara cicil dengan dukungan kartu kredit, semacam itu. Semua ekosistem yang kita bangun pada akhirnya akan positif untuk semua pihak,” terang CEO Triplogic Oki Earlivan, Senin (10/9).

Bagi BNI, tambah Direktur Ritel BNI Tambok P Setyawati, perseroan bisa mendapatkan benefit dengan memperluas pangsa pasar di ekonomi digital. BNI akan semakin memahami perilaku industri logistik, yang sangat penting bagi pengembangan fungsi intermediasi BNI, sehingga pada akhirnya ke depannya perseroan bisa beri layanan yang tepat untuk mereka.

Agen Triplogic yang merupakan para feeder mitra pengemudi akan direkrut sebagai agen 46 untuk melayani fasilitas perbankan BNI. Layanan tersebut seperti buka rekening baru, setor, tarik tunai, atau pembayaran berbagai macam tagihan.

Pengguna Triplogic juga berkesempatan untuk mengajukan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat) ke BNI. Nanti pengguna yang dianggap layak oleh BNI bisa mendapatkan pembiayaan, sehingga usaha mereka dapat berkembang lebih pesat.

“BNI bisa memperoleh fee based income dan penghimpunan dana baru yang bersumber dari agen dan pengguna Triplogic,” ujar Tambok.

Saat ini diklaim agen Triplogic mencapai 28 ribu orang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun jumlah Agen46 sendiri telah mencapai 103 ribu orang.

Rencana bisnis dan penggalangan dana

Oki menerangkan kerja sama dengan BNI adalah salah satu jalan untuk merealisasikan target perusahaan yang membidik 100 ribu orang, akumulasi dari jumlah pengguna dan agen Triplogic sampai akhir tahun ini. Adapun saat ini jumlah traveller di Triplogic diklaim sebanyak 13 ribu orang.

Untuk akselerasi bisnis, perusahaan berencana untuk melakukan penggalangan dana segar tahapan seri A. Oki menyebutkan saat ini proses masih berlangsung, diharapkan pada akhir tahun sudah bisa diumumkan. Kendati demikian, dia enggan menyebutkan secara detil tentang rencana tersebut.

“Proses masih berlangsung, ada VC lokal dan asing yang tertarik untuk bergabung dalam penggalangan seri A ini. Dana tersebut bakal kita pakai untuk pengembangan teknologi dan pemasaran.”

Perusahaan memperoleh investasi tahap awal pada Oktober 2017 senilai US$300 ribu (hampir 4,5 miliar Rupiah) dari investor yang tidak disebutkan.

Application Information Will Show Up Here

aCommerce Rencanakan IPO Tahun 2020

Bersamaan dengan perayaan ulang tahun kelima, aCommerce mengungkapkan rencana merilis penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) di tahun 2020 mendatang. Nantinya dana yang didapat dari IPO akan difokuskan untuk pengembangan unified data platform sehingga menguatkan posisi aCommerce sebagai data management partner bagi brand terkemuka di Asia Tengara.

Menilik sejenak ke belakang, aCommerce dimulai pada tahun 2013 di Thailand, menyediakan solusi terpadu berupa kanal e-commerce (solusi ritel, pemasaran, dan distribusi). Dalam lima tahun terakhir, perusahaan bermarkas pusat di Bangkok tersebut terus menggencarkan ekspansi. Selain Thailand, sampai saat ini sudah menguatkan kehadirannya di Indonesia, Filipina, Singapura dan Malaysia.

Kepercayaan brand besar sekelas Univeler, L’Oreal, hingga HP membuat aCommerce bertumbuh pesat, dari startup menjadi enterprise. Di tahun kelima, perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan hingga 750%, melayani lebih dari 260 brand global terkemuka. Melalui solusinya, aCommerce berhasil melayani 13,19 juta pesanan, didukung lebih dari 1200 karyawan di 5 kantor dan 15 pusat logistik.

Data memang menjadi salah satu fokus pengembangan di aCommerce. Sebelumnya mereka juga telah merilis produk berbasis data-driven demand generation, seperti ecommerceIQ, ReviewIQ, BrandIQ, ChannelIQ, dan CustomerIQ. Tujuannya untuk membantu brand mengoptimalkan bisnis e-commerce mereka.

“Jumlah data pelanggan yang saat ini sedang ‘melayang di udara’ sangat besar. Sebenarnya data ini bisa digunakan semua orang untuk dioptimalkan, tapi belum ada yang mengintegrasikan di satu platform,” ujar Group CEO dan Co-Founder aCommerce Paul Srivorakul.

Paul melanjutkan, “Dengan kapital yang dikumpulkan melalui IPO, aCommerce memiliki misi untuk mengelola bongkahan informasi tersebut dan berperan sebagai data partner bagi para brand . Tujuan utama kami adalah agar brand dapat datang ke kami untuk mendapatkan data yang tersentralisasi tentang seorang pelanggan dan pada akhirnya mampu menawarkan produk atau jasa yang terkustomisasi untuk masing-masing grup yang mereka targetkan.”

Misi tersebut sejalan dengan survei yang pernah dilakukan ecommerceIQ. Dalam temuannya dinyatakan 25,8% brand mencari talenta digital dengan kemampuan analisis data untuk membantu menguatkan strategi bisnis. Sementara pengelolaan data bisa dioptimasi dengan teknologi, dan aCommerce ingin masuk ke dalamnya.

Saat ini aCommerce sudah membukukan total pendanaan senilai $96,5 juta (atau senilai 1.4 triliun Rupiah) dari beberapa investor, termasuk Emerald Media milik KKR, BlueSky, DKSH, Inspire Ventures, Sinarmas dan NTT Docomo. Pendanaan terakhir didapat akhir 2017 lalu dalam putaran seri B.

Startup Logistik Paxel Usung Pendekatan “Same Day Delivery”

Berbicara soal logistik, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang masih banyak. Hal inilah yang menimbulkan munculnya berbagai solusi dan Paxel menjadi salah satunya.

Paxel adalah startup logistik berbasis aplikasi yang mengusung layanan same day delivery dengan ongkos kirim flat. Saat ini Paxel mengakomodasi area Jabodetabek dan Bandung. Pemesanan layanan cukup menggunakan aplikasi, maksimal dalam 8 jam barang akan sampai ke tempat tujuan.

Paxel didirikan oleh Bryant Christanto (CEO) dan Zaldy Ilham Masita (Co-Founder). Zaldy saat ini adalah Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI).

“Paxel itu ingin menjadi bagian dari hidup masyarakat, bahwa logistik itu seharusnya tidak mahal. Tak hanya fokus ke bisnis saja, kami juga peduli dengan unsur sosial. Jadi dari 20 pengiriman, kami akan jamin 1 anak penderita kanker. Ini bukan bagian dari charity atau CSR, namun bagian dari fokus kami membangun Paxel,” terang Head of Marketing Paxel Alexander Zulkarnain kepada DailySocial.

Dia melanjutkan, karena keinginan tersebut, perusahaan juga kerap menambah kemitraan dengan yayasan. Apabila ada konsumen yang ingin mengirim barang ke yayasan tersebut, tidak ada biaya ongkos kirim yang dikenakan.

Model bisnis Paxel

Startup logistik Paxel menawarkan solusi pengiriman paket same day delivery, berbasis aplikasi dengan tarif flat untuk area pengiriman Jabodetabek dan Bandung

Paxel memiliki empat jenis model bisnis: Door to door, door to locker, locker to home, dan locker to locker. Sementara ini yang baru tersedia adalah door to door. Jadi pemesanan baru bisa dilakukan lewat aplikasi, konsumen harus mengisi sejumlah data, seperti alamat tujuan, isi barang, nama penerima, dan sebagainya.

Nanti akan ada mitra kurir terdedikasi yang datang ke rumah untuk mengambil barang dan menaruhnya di feeder Paxel terdekat. Berikutnya akan ada mitra dedicated lainnya yang akan mengirim paket sampai ke tempat tujuan.

Dengan konsep seperti ini, mitra dedicated jadi kekuatan yang diunggulkan Paxel karena mereka adalah orang-orang yang fasih dengan kondisi di lingkungan tersebut sehingga durasi pengiriman akan jauh lebih cepat.

“Jadi first mile dan last mile bukan dilakukan oleh orang yang sama, di satu sisi ini akan menjamin barang jadi lebih cepat sampai. Sebab orang yang sudah tahu dengan kondisi lapangan di suatu daerah akan paham di mana saja jalan pintasnya.”

Alex menerangkan, konsumen dapat mengecek secara real time posisi paket mereka setelah diterima tangan mitra kurir sampai diterima penerima paket. Mereka juga dapat mengatur jam pemesanan, bahkan sampai lima hari ke depan, atau reschedule. Ada fitur screenshot untuk setiap order yang bisa dibagikan ke penerima paket. Setiap pengiriman akan terlindungi dengan jaminan asuransi.

Untuk model bisnis yang memanfaatkan loker, sementara ini masih dalam tahap pengembangan dan sebatas untuk internal perusahaan. Lokernya sendiri sudah bisa dilihat secara fisik di sejumlah titik di Jakarta.

Loker Paxel membawa pendekatan berbeda untuk tahap awalnya. Perusahaan akan bermitra dengan manajamen apartemen dan perkantoran sebagai pengelola loker. Mereka bisa mengecek secara langsung mana loker yang kosong atau tidak untuk menyimpan paket. Daripada harus tercecer, lebih baik disimpan rapi.

“Pendekatan kami sedikit lebih berbeda karena ini masih belum menjadi suatu kebiasaan yang lumrah bagi orang Indonesia. Untuk itu kami mulai dulu dari apartemen dan kantor. Nanti mau ke tempat publik dan berikutnya akan diarahkan untuk pemakaian secara individu.”

Rencana setahun ke depan

Paxel tidak hanya membidik konsumen dari kalangan individu, tapi juga kalangan UKM dan layanan marketplace. Alex mengklaim perusahaan telah melayani hampir 10 ribu pemesanan dengan sekitar 15 ribu pengguna sejak pertama kali resmi diumumkan pada Februari 2018.

Cakupan layanan Paxel sementara ini baru melayani Jabodetabek dan Bandung. Jumlah armadanya mencapai lebih dari 200 untuk roda dua lima armada untuk roda empat. Diharapkan sampai akhir tahun ini Paxel dapat menambah kehadiran di lima kota lainnya.

Alex berharap operasional Paxel lambat laun akan menambah volume pengiriman sampai 20 ribu pengiriman setiap bulannya. Paxel berencana menambah kehadiran di 20 kota sampai akhir tahun depan.

“Untuk loker Paxel kami secara bertahap akan hadir di 100 titik, tersebar di convenience store, pusat belanja, apartemen, kantoran, dan lainnya yang memiliki fasilitas 24 jam dengan keamanan tinggi,” pungkas Alex.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak dan Grab Kolaborasi Hadirkan Pengiriman Instan “Rush Delivery”

Bukalapak bekerja sama secara eksklusif dengan Grab menghadirkan layanan pengiriman instan Rush Delivery, menjamin barang sampai di tangan konsumen dalam kurun waktu dua jam. Layanan ini sudah bisa dipilih di kolom jasa pengiriman di laman pembelian. Setelah itu pelapak akan langsung memproses transaksi dan mengirim dengan Grab.

Pengguna Bukalapak dapat memanfaatkan layanan ini hingga jam 12 malam, sehingga tidak perlu khawatir saat membeli barang mendesak pada waktu tersebut. Diklaim layanan ini belum ada di marketplace manapun, lebih cepat dari layanan instan lainnya.

“Kami bekerja sama dengan Grab meluncurkan layanan Rush Delivery untuk membantu pelanggan mendapatkan kebutuhannya dengan cepat, praktis, dan aman. Harapannya ini semakin memudahkan pengguna dalam mendapatkan kebutuhan apapun hingga kebutuhan yang mendesak sekalipun,” ucap Logistic Lead Bukalapak Gahayu Handari dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, tidak hanya menjadi solusi bagi pelanggan yang memiliki kebutuhan mendesak, bisa juga solusi untuk pelapak yang menjual barang dengan pengiriman cepat. Misalnya mengirim bunga atau makanan segar yang mesti tetap terjaga kualitasnya.

Marketing Director Grab Indonesia Mediko Azwar menuturkan kerja sama ini merupakan langkah besar Grab melalui GrabExpress dengan Bukalapak. Sejalan dengan visi Grab sebagai everyday super app.

“Layanan Rush Delivery ini kami memanfaatkan teknologi dan menggabungkan kecepatan, kemudahan, serta keamanan yang dimiliki dalam satu aplikasi. Kami harap kerja sama eksklusif ini dapat meningkatkan pertumbuhan UKM di Indonesia,” ujarnya.

Layanan GrabExpress sebelumnya baru mengakomodasi pengiriman instan maksimal 3 jam. Sedangkan untuk pengiriman di hari yang sama maksimal 6-8 jam sejak pesanan dikirim.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Lazada and JNE System Integration Provides “Cashless” Feature

Lazada teams up with JNE to present cashless facility to all sellers for the faster and efficient delivery process. It integrates JNE’s internal system with Lazada Seller Centre, both in and mobile.

The cashless facility allows Lazada sellers to send packages without having to make cash payments at JNE outlet. Sellers are also not required to submit delivery details manually.

There will be an automation process through Lazada Seller Centre to help sellers more flexible in managing cash flow, therefore, they can do other important things, such as production.

“Through the latest facility, we hope to help sellers improve their services for consumers and develop online business easily,” Alessandro Piscini, Lazada Indonesia’s CEO, explained on Tue (8/14).

JNE’s President Director, Mohamad Feriadi, said, with 6,800 JNE networks in all over Indonesia, the cashless facility can benefit Lazada sellers, by offering a different experience.

“Currently, it’s limited for Jakarta’s sellers, there are 500 areas in total ready to be cashless. It’ll expand to Jabodetabek and other cities, including Medan, Makassar, Surabaya, and Bali,” he added.

Since 2010, with the rise of e-commerce in Indonesia, the business growth of JNE’s express courier has reached 30-40% per year. In past months, the total packages sent has reached 19 million per month, it goes for over 20 million packages in Ramadhan and Eid Mubarak moments.

“JNE grows bigger due to the presence of e-commerce and the built ecosystem. In terms of potential, it’s a great one. In 2017, it ‘s estimated to reach US$130 million compared to the previous year of US$22,6 million. In 2020, it’s said to grow 130%, it requires a business pattern that will be the great help for SME’s sellers for the faster process.”

Lazada started the initiation for 50% of the total sellers registered on the platform are using JNE as their logistics. There’s a possibility of Lazada continuing the innovation to other logistics partners.

The form of cashless facility

Further detailed of the cashless facility, please note that Lazada sellers used to print the invoice and shipping labels manually from Lazada Seller Center. Furthermore, they have to take all packages to the JNE outlet to print the receipt and pay in cash.

The shipping fee will be reimbursed by sellers to Lazada. Lazada is still using delivery allowance strategy for consumer services that all costs will be fully paid to JNE.

The seller should return to Lazada Seller Center to enter the receipt number manually and change the ‘ready’ status into ‘sent’ for the final notification to customers. This process obviously takes time for the seller to go back and forth, it certainly costs more.

However, with the cashless facility, sellers only have to go to Lazada Seller Center to print the invoice, delivery label, and changing status to ‘sent’. Later, they only need to go to the JNE outlet for the delivery process. JNE officers simply just scan the barcode or submit the receipt number to enter JNE system.

“Sellers can just prepare printer, black ink, internet connection, and A4 paper. There are no specific requirements for sellers to use this facility. We want to train them the professional sales, there are many channels they can use to ask,” Mercy Suryasin, Lazada Indonesia’s VP Seller Operation, added.

Agusnur Widodo, JNE’s Head of Seller Operation, added the JNE Reguler (before JNE Cashless) facility usually takes around 2-4 minutes, it’s now only 10-15 seconds. By all means, the shorter time can make JNE productivity increase and efficient.

“If sellers have to go to the JNE outlet, we’re preparing JNE agents who can approach the sellers. It’s still a trial, if this is successful, we’ll roll it out to our 56 operational cities,” Widodo finished.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Layanan Logistik Malaysia TheLorry Ingin Fasilitasi Kebutuhan UKM Indonesia

Persoalan logistik hingga saat ini masih menjadi kendala yang banyak ditemui oleh kalangan bisnis konvensional, pelaku UKM hingga layanan e-commerce di Indonesia. Luasnya wilayah di pelosok kota Indonesia, menjadikan logistik sulit untuk dijangkau dan dibutuhkan biaya yang besar untuk melakukan pengiriman.

Salah satu layanan yang mencoba untuk mengatasi persoalan tersebut adalah TheLorry. Layanan logistik asal Malaysia ini mulai mengembangkan layanannya di seluruh Indonesia.

Kepada DailySocial, Business Development Executive TheLorry Indonesia Rendi Ferdiansyah mengungkapkan, TheLorry adalah jasa penyewaaan truk, van, dan mobil pick up melalui aplikasi secara cepat dan mudah. 

“Kami menyediakan jasa seperti transportasi mobil pick up untuk pindah rumah dan kantor. TheLorry juga menerima pelanggan individu dan bisnis untuk memesan kendaraan yang di butuhkan dengan harga transparan dan pasti dalam hitungan menit.”

Fasilitasi kebutuhan pelaku UKM

Berdiri sejak tahun 2014, layanan logistik TheLorry tahun ini mulai fokus untuk mengembangkan bisnis di Indonesia. Secara keseluruhan platform TheLorry telah memiliki lebih dari 6.000 mitra pengemudi di Asia Tenggara dengan berbagai jenis kendaraan. TheLorry mengklaim sebagai jasa logistik online yang tumbuh paling cepat di Asia Tenggara.

Dengan hadirnya TheLorry di Indonesia, diharapkan bisa membuat perbedaan dan mengubah kehidupan orang lain melalui layanan yang diberikan. Terutama untuk pelaku UKM, yang saat ini masih kesulitan untuk memesan truk untuk mengangkut barang mereka, dan di sisi lain, pengemudi truk merasa sulit untuk menjangkau pelanggan. 

“Kami ingin menjembatani kesenjangan antara pelanggan dan mitra pengemudi dengan menciptakan sistem otomatis yang membuat seluruh proses lebih efisien dan aman,” kata Rendi.

Cara kerja TheLorry

Pengguna yang ingin menyewa layanan logistik TheLorry bisa langsung mengakses aplikasi atau situs TheLorry. Menyesuaikan mitra pengemudi yang terbaik sesuai dengan wilayah terdekat, nantinya pilihan transportasi bisa dipesan langsung.

“Untuk strategi monetisasi kami menerapkan sharing profit kepada mitra pengemudi,” kata Rendi.

Disinggung apa yang membedakan TheLorry dengan layanan logistik serupa lainnya, Rendi menyebutkan TheLorry lebih unggul dari sisi harga juga pelayanan. Selain itu layanan TheLorry juga memungkinkan pengiriman barang ke seluruh Indonesia. Misalnya dari Jakarta ke Solo, Jakarta ke Bali dan kota besar lainnya. Selain itu pelanggan juga bisa memasukan lebih dari satu titik penjemputan atau pengantaran.

“Fokus kami di tahun 2018 ini adalah lebih kepada pengembangan produk dan menambah jumlah wilayah layanan di kota-kota besar di Indonesia,” tutup Rendi.

Application Information Will Show Up Here

Startup Manajemen Logistik Ritase Digitalkan Proses Kerja Supir Truk Lewat Aplikasi

Masalah di industri logistik menjadi salah satu primadona makin berjamurnya startup yang mencoba menyelesaikannya. Salah satunya adalah Ritase. Startup ini merupakan platform digital layanan manajemen truk, menghubungkan pengirim barang dengan penerima barang secara real time.

CEO dan Founder Ritase Iman Kusnadi menuturkan potensi logistik di Indonesia memang besar, tetapi performanya menurun. Dari hasil riset yang ia lakukan, indeks performa logistik mengalami penurunan menjadi urutan ke 63 di 2016. Padahal, di 2014 Indonesia berada di urutan ke 54.

“Ini concern besar, dari potensi yang besar ternyata performanya turun dibandingkan negara lainnya. Lewat solusi yang kami hadirkan, saat dipresentasikan di hadapan Kementerian Perhubungan, mereka puas bahwa saat ini ada startup yang beri real time data saat truk lewat jalur Pantura,” kata Iman, Kamis (3/5).

Secara sederhana, Ritase ingin mendigitalkan proses kerja pemilik armada truk ke dalam bentuk aplikasi. Mulai dari proses pengambilan barang, pengiriman, sampai barang diterima ke tempat tujuan. Di dalam aplikasi pemilik armada, terdapat dompet digital untuk menerima pembayaran pesanan yang dapat dicairkan kapan saja.

Ada pula poin reward untuk setiap tugas yang berhasil mereka selesaikan dengan tepat waktu. Poin tersebut dapat di tukar dengan berbagai penawaran, seperti pulsa, voucher makan, dan lainnya.

Pemilik armada juga dapat menerima backhaul (menemukan muatan untuk dibawa kembali) ketika pesanan sudah dikirim. Di dalam aplikasi mereka dapat melihat laporan detil mengenai ID order, FTL, dimensi, berat hingga estimasi waktu dalam fitur Trip Management.

“Kalau dulu banyak yang menyangsikan supir ojek bisa kirim makanan, buktinya sekarang bisa. Nah sekarang kami ingin melakukan hal yang sama, namun untuk supir truk.”

Bagi pengirim barang, Ritase menyediakan informasi seputar status keberadaan barang, estimasi kedatangan barang, hingga informasi detil seluruh proses pengiriman. Melalui fitur Load Planning, mereka dapat mengatur jadwal pengiriman sesuai dengan dimensi dan berat barang.

Ada pula fitur Live Tracking dan Order Status untuk mendapatkan kepastian mengenai status terakhir dari barang yang dikirim. Dari berbagai fitur tersebut pengirim barang dapat menghindari berbagai potensi masalah transportasi dan logistik yang dapat terjadi.

Perusahaan menerapkan strategi monetisasi lewat komisi yang dibayarkan setiap transaksi yang terjadi. Besarannya tergantung volume kargo yang dikirimkan.

Kinerja dan target bisnis

Sebelumnya Ritase bernama Trucktobee, hingga akhirnya rebranding dimulai pada akhir 2016. Pada awal 2017 hingga kini perusahaan telah mengakuisisi 5.500 truk dan 6 ribu supir truk terdaftar.

Total perjalanannya mencapai 4 juta km, dengan 85% di antaranya adalah jalur Pantura, menampung 200 juta kg kargo ke 65 ribu titik pengiriman dan nilai barang sebesar US$8 miliar.

Dari segi klien, kebanyakan berasal dari industri FMCG, seperti Lotte Grosir, Philips Lightning, Gunung Sewu, Kraft Heinz, dan lain sebagainya.

Iman mengaku perusahaan akan terus menggenjot kinerjanya dengan mendirikan berbagai lokasi hub di kawasan industri. Wilayah yang disasar seperti Medan, Surabaya, Cikarang, dan Jabodetabek.

“Tantangan kami adalah edukasi supir truk, untuk itu butuh bangun hub di berbagai lokasi agar semakin mudah mereka menjangkau kami.”

Dalam rangka mendukung rencananya tersebut perusahaan telah mendapatkan pendanaan Pra Seri A pada awal tahun ini dengan nilai yang tidak disebutkan. Investasi tersebut datang dari Insignia Venture Partners, Skystar Capital, dan seorang angel investor Tarun Gandhi.

Skymada Hadirkan Layanan Logistik Berbasis Digital di Kota Pontianak

Skymada merupakan startup digital asal Kalimantan Barat yang fokus di bidang logistik. Startup yang digawangi Fajar Irvan (CEO), Wira Karmayudha (CFO), Gilbert (CMO), dan Ferry Setiawan (CTO) ini berdiri dari inisiatif Gerakan Nasional 1000 Startup Digital tahun 2017 silam. Dalam ajang tersebut, Skymada berhasil mewakili Kota Pontianak hingga tahap Hacksprint.

“Skymada hadir untuk membantu UKM logistik di Indonesia dapat berkolaborasi bersama dalam satu sistem manajemen pengiriman agar dapat menyajikan fitur tracking kepada konsumen,” kata Fajar Irvan.

Pada bulan Oktober 2017, Skymada juga terpilih menjadi salah satu dari 30 startup di Indonesia yang berpartisipasi dalam acara Google Launchpad Indonesia, yang berlangsung di Jakarta. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas ekosistem startup Indonesia yang diberikan langsung oleh mentor global Google dari berbagai negara.

Fokus sasar pasar UMKM

Di era digital yang serba cepat, kebutuhan mengetahui lokasi kiriman barang (tracking) adalah hal esensial bagi pengirim maupun penerima barang. Di sisi lain, membangun sendiri sistem tracking perlu sumber daya yang besar dan kerja sama yang baik di antara pengguna sistem, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi UKM logistik di Indonesia.

“Kami membuat SOP digital untuk para pelaku UMKM. Selama ini kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan perusahaan logistik besar. Selama ini kelemahan UMKM logistik kita adalah tidak memiliki tracking system yang bisa dilacak konsumen, sehingga tidak dilirik oleh perusahaan e-commerce,” jelas Ferry.

Skymada sejauh ini fokus di pasar B2B dan menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan logistik level UKM, mulai dari Aceh, Tarakan, Malang dan tentu saja Pontianak. Pihak Skymada belum melakukan monetisasi untuk keuntungan. Mereka fokus membangun konektivitas antar UKM logistik di tanah air serta meningkatkan trafik kunjungan ke UKM logistik mitra Skymada tersebut.

“Ke depan, kami akan menarik keuntungan dari transaksi UKM tersebut. Kami juga akan membangun layanan lain yang mana dari situ kami mendapat keuntungan.”

Pihak Skymada menargetkan mendapat pengguna sebanyak mungkin di seluruh Indonesia, seperti nama mereka, Skymada yang diambil dari kata Sky (langit) dan Gajah Mada, yang mampu menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di nusantara menjadi satu kekuatan besar.

Belajar Bagaimana Alibaba Mendorong Penetrasi E-Commerce ke Pelosok

Kondisi bisnis e-commerce di Indonesia sering disamakan dengan Tiongkok. Banyak yang bilang, Indonesia saat ini adalah kondisi Tiongkok pada 10 tahun lalu. Indonesia diprediksi bisa memangkas ketimpangan waktu tersebut dalam waktu singkat.

Pernyataan tersebut didukung fakta masih berlangsungnya berbagai upaya dari pemerintah untuk membangun infrastruktur pendukung. Pekerjaan rumah terbesar pemerintah Indonesia adalah menghubungkan seluruh wilayah dengan koneksi internet dan mengintegrasikan sistem logistik untuk menekan biaya pengiriman.

Sesungguhnya urusan ketimpangan berlaku juga untuk Tiongkok. Dilihat dari segi ekonomi makro, negara Tirai Bambu ini masih mengalami disparitas, pusat perekonomian negara didorong kawasan timur ketimbang barat.

Persoalannya bagaimana mengurangi tingkat urbanisasi tak hanya menjadi PR untuk pemerintah setempat, tapi perlu bantuan dari pihak swasta. Alibaba punya jawaban tersendiri untuk mengatasinya dengan menggelar proyek Rural Taobao.

Rural Taobao pertama kali meluncur di akhir 2014. Sebenarnya proyek ini berawal dari ide yang berbau CSR, namun sudah dimasukkan ke dalam unit bisnis Taobao. Kendati demikian, belum menjadi unit bisnis yang bisa dimonetisasi karena sifatnya jangka panjang dan belum sampai ke tahap tersebut.

Kantor pusat Alibaba, dinamai Alibaba Campus di Hangzhou, Tiongkok / DailySocial
Kantor pusat Alibaba, dinamai Alibaba Campus di Hangzhou, Tiongkok / DailySocial

Kepada sejumlah media asal Indonesia, termasuk DailySocial, yang diundang Alibaba ke markasnya, perwakilan perusahaan menyebut proyek ini adalah ajang mempromosikan transaksi dua arah antara Tiongkok kawasan pedesaan dan perkotaan.

Warga desa menjadi sasaran empuk Alibaba, lantaran sekitar 600 juta dari 1,4 miliar penduduk Tiongkok tinggal di desa. Mereka bukan hanya menjadi sumber produk dan sumber daya yang dibutuhkan negara, namun juga memiliki daya beli yang besar.

Dikutip dari CNNIC (China Internet Network Information Center), tingkat penetrasi di kawasan pedesaan hanya 35,4% sedangkan kawasan urban mencapai 71% per Desember 2017. Kendati masih rendah, proporsi pengguna internet di desa terus meningkat.

Masih dikutip dari sumber yang sama, jumlah pengguna internet di area pedesaan meningkat 4% menjadi 209 juta sejak Desember 2016, mewakili 27% dari total pengguna internet di Tiongkok.

Secara kualitas jaringan, meski sangat terbatas namun sudah 4G. Ini masih menjadi PR karena rintangan geografis dan infrastruktur harga pendistribusian internet ke wilayah terpencil sangat mahal.

“Proyek ini sudah masuk ke versi 4.0 jadi kami lewati fase penetrasi internet lewat PC, melainkan langsung ke tahap smartphone. Jadi kami dorong warga desa untuk mengakses internet di smartphone dan berbelanja di sana dengan sinyal yang sudah 4G,” ucap pihak Alibaba.

Untuk melancarkan proyek ini, Alibaba bangun jaringan pusat pelayanan e-commerce di level kabupaten untuk menghilangkan keterbatasan logistik dan jalur masuknya informasi, serta kekurangan tenaga kerja dan pengetahuan seputar e-commerce.

Tempat tersebut dioperasikan oleh seorang agen yang direkrut dari komunitas lokal bernama “Perwakilan Rural Taobao”. Agen tersebut bertanggung jawab terhadap kabupaten masing-masing. Menerima upah melalui biaya pelatihan untuk memfasilitasi pesanan e-commerce dan menyediakan pelayanan lokal.

Di sana, pusat pelayanan sekaligus menjadi fasilitas penyortiran untuk paket yang masuk dari pesanan warga desa. Warga bisa langsung mengambil pesanan mereka atau dibantu pengirimannya oleh manager dengan radius maksimal pengiriman 3 km.

Lama pengiriman sejak order dikirim pun bervariasi tergantung provinsi. Bila masih dalam provinsi yang sama, barang akan sampai ke pusat pelayanan antara 1-3 hari, jika di luar provinsi bisa memakan waktu antara 4-5 hari. Rata-rata durasi pengiriman ini mirip dengan kondisi di Indonesia.

Hingga November 2017, Rural Taobao telah berdiri di lebih dari 30 ribu pusat pelayanan desa di 29 provinsi di Tiongkok. Diklaim lebih dari 10% dari populasi desa menjual produk online di Alibaba dengan pendapatan tahunan setidaknya RMB 10 juta (sekitar USD 1,6 juta).

Sejak pertama kali diluncurkan, Alibaba Group berkomitmen untuk berinvestasi sebanyak RMB 10 miliar (sekitar US$1,6 miliar) selama tiga sampai lima tahun untuk membangun 1.000 pusat operasi tingkat kabupaten dan 100 ribu pusat pelayanan desa di seluruh Tiongkok.

Selektif memilih agen

Dalam merekrut agennya, Alibaba menetapkan mereka harus bekerja penuh waktu, umumnya menargetkan penduduk muda yang paham akan internet dan pernah tinggal di perkotaan. Mereka juga harus bersedia kembali ke desanya masing-masing untuk mengembangkan pusat pelayanan Rural Taobao.

Tak sembarang Alibaba merekrut seorang agen. Para kandidat diharuskan mengikuti ujian untuk memastikan mereka memiliki kemampuan dan komitmen dalam melayani komunitas mereka. Selain menjadi agen berbelanja, mereka diharapkan dapat menawarkan sejumlah pelayanan yang bersangkutan dengan mata pencaharian penduduk desa dengan memanfaatkan ekosistem dari Alibaba Group.

Termasuk di dalam pelayanan ini adalah pelayanan berbelanja online, pengadaan pembelian kebutuhan bertani, pembayaran tagihan pemesanan tiket dan penginapan, membuat janji kunjungan medis, aplikasi simpanan bank, pelatihan pengusaha, dan berbagai tawaran budaya dan hiburan.

Berkunjung langsung ke lapangan

Tak hanya menjelaskan latar belakang dan informasi terbaru Rural Taobao, kami juga diajak menemui langsung dua pusat layanan di desa Leping dan Bainiu. Keduanya berlokasi di Kabupaten Qianchuan, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.

Bainiu terkenal dengan produk kacang kenari. Warga desa memanfaatkan Taobao untuk memasarkan produk olahannya tersebut. Kami menemui Xu Bing Bing, pemasok kacang kenari. Kesehariannya, Xu membeli kacang dari para petani di desa sekitar, lalu memasoknya ke para pengolah, diberi rasa, dan dipasarkan melalui Taobao.

Xu mengenal Taobao sejak 2007, hasil ajakan teman-temannya yang sudah lebih dulu menggunakan. Dia menjadi salah satu dari 400 lebih warga yang telah merasakan dampak dari kehadiran layanan e-commerce terhadap lapangan pekerjaan, tanpa harus meninggalkan keluarga untuk bekerja di kota.

Desa ini hanya memiliki 500 keluarga dan memiliki 68 toko online di Taobao dan Tmall. Total penghasilannya mencapai RMB 350 juta (sekitar USD 55,7 juta) tahun lalu.

Selain Bainiu, kami juga mengunjungi desa Leping. Masih satu provinsi dengan Bainiu, namun jaraknya cukup jauh, sekitar 50 km. Di sana, kami menemui Zheng Weiling yang memilih kembali ke desa suaminya dan membuka pusat layanan di 2015. Sebelumnya ia bekerja di Shenzhen, namun memilih kembali ke desa demi menikmati lebih banyak waktu bersama keluarga.

Sebelum pusat layanan ini berdiri, warga desa Leping perlu menempuh jarak 20 km untuk mengambil barang yang mereka beli secara online. Kini 3 km saja. Zheng menceritakan ia banyak menghabiskan waktu untuk mengajarkan warga setempat tentang cara mengoperasikan komputer atau smartphone untuk membeli produk secara online.

Tempatnya tak hanya menjadi tempat parkir paket warga, namun juga menjual produk-produk populer bagi masyarakat setempat, seperti produk peralatan rumah tangga, material dekorasi, produk keperluan sehari-hari, serta bahan-bahan pertanian.

Zheng mengaku kini pendapatan bulanannya stabil di kisaran RMB 6 ribu (sekitar USD 955). “Sekitar 80-90 paket berdatangan setiap harinya, lalu kami pilah pilih kembali mana paket yang akan diantar, mana yang akan diambil langsung warga,” tutur Zheng.

Alibaba mengaku masih memiliki PR bagaimana bisa mengirim barang ke seluruh Tiongkok dalam waktu satu hari saja. Perusahaan mengerahkan berbagai inovasi dari lini unit usahanya untuk membantu mewujudkannya. Lewat Cainiao Network, contohnya. Sebagai perusahaan logistik, Cainiao kini memiliki 200 robot AGV (automated guided vehicles) yang ditempatkan dalam dalam salah satu gudang Alibaba di Huizhou.

Robot tersebut mampu memproses satu juta pengiriman dalam sehari atau tiga kali lebih efisien dari operasi manual. Robot bisa dipakai selama enam jam dan durasi charge hanya satu jam.

Indonesia bisa belajar

Indonesia memiliki banyak potensi produksi lokal yang layak dipasarkan. Upaya yang dilakukan Alibaba juga dilakukan perusahaan e-commerce di Indonesia dengan berbagai pendekatan.

Blanja menyediakan platform khusus UMKM, sementara Lazada secara bertahap mengedukasi mitra UMKM untuk go online dan berencana untuk mengajak mereka berdagang di platform global milik Lazada.

Ada juga Blibli yang memilih menggandeng Pos Indonesia dan memanfaatkan jaringan kantor dengan menempatkan kiosk Blibli InStore di Kantor Pos. Blibli ingin menyasar konsumen ke area rural tier dua dan tiga, yang terdiri dari pelanggan setia Kantor Pos, karyawan Pos Indonesia, sekaligus penduduk sekitarnya.

CEO Blibli Kusumo Martanto dan Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsi W Setijono di depan kiosk Blibli InStore / DailySocial
CEO Blibli Kusumo Martanto dan Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsi W Setijono di depan kiosk Blibli InStore / DailySocial

Mereka didorong bertransaksi lewat perangkat yang disediakan Blibli dan membayarnya secara tunai lewat Pospay. Setiap pesanan akan dikirim menggunakan Pos Kilat Khusus hingga retur barang secara gratis.

Ada banyak lagi inisiasi yang dilakukan perusahaan e-commerce untuk meningkatkan derajat UMKM lokal. Salah satu dampak yang diharapkan adalah berkurangnya tingkat urbanisasi dan naiknya ekonomi daerah.

 

Apakah Alibaba cocok untuk menjadi role model yang tepat? Meski tidak semuanya bisa diterapkan saat ini, kita bisa mencontoh bagaimana mengintegrasikan sistem terpadu yang dimiliki berbagai perusahaan logistik dan layanan e-commerce.

Yang Indonesia butuhkan adalah menekan ongkos logistik yang mahal dan memiliki jaringan internet yang stabil agar semakin banyak orang mau memanfaatkan platform online untuk berjualan ataupun membeli barang.

Inisiasi yang dilakukan antar perusahaan swasta dan BUMN sebenarnya sudah cukup nyata. Hanya saja butuh andil dari pemerintah di tengah-tengah untuk mengawal seluruh prosesnya.

Lalu hal-hal apa saja yang memerlukan kehadiran pemerintah? Jawabannya ada di peta jalan e-commerce. Semua sudah tertera jelas di sana, apa saja PR-nya, kapan tenggat waktunya selesai, dan sebagainya. Sejak diresmikan di tahun lalu, hingga sekarang belum ada langkah nyata implementasinya padahal peta jalan tersebut memiliki tenggat waktu sampai 2019. Itulah mengapa, baik Indonesia maupun Tiongkok, pada akhirnya memiliki PR masing-masing yang harus diselesaikan.