Masih Miliki Dana Sekitar Rp200 Miliar, Mandiri Capital Siap Tambah Empat Startup Baru

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan saat ini perusahaan masih memiliki sisa dana kelolaan sekitar Rp200 miliar untuk menambah tiga hingga empat startup baru masuk ke dalam portofolio perusahaan.

Hingga pertengahan tahun ini, MCI telah menggelontorkan dana investasi sekitar Rp300 miliar untuk tujuh startup fintech. Empat di antaranya sudah diumumkan, yaitu Moka, Amartha, PrivyID, dan Cashlez. Sementara sisanya akan diumumkan dalam waktu dekat, dengan rincian dua startup bergerak di sistem pembayaran dan satu startup di enterprise solution.

“Kami masih memiliki sisa dana kelolaan sebesar Rp200 miliar untuk berinvestasi ke tiga sampai empat startup baru. Namun, belum tentu [investasi] akan kami selesaikan sampai akhir tahun ini, bisa jadi tahun depan karena kami masih mencari-cari [startup yang cocok],” ucap Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, Rabu (12/7).

MCI, sambungnya, hanya memfokuskan diri untuk investasi pada startup fintech yang bergerak di tiga sektor yaitu payment, lending, dan enterprise solution saja. Ketiga sektor tersebut dinilai lebih dapat bersinergi secara langsung dengan Grup Bank Mandiri dan diprediksi bakal menjadi tren ke depannya.

Untuk mencari kriteria startup yang sesuai dengan selera perusahaan, Eddi mengaku selama ini pihaknya mengandalkan relasi dari anggota Aftech Indonesia, berkunjung ke kampus, dan memilih dari peserta inkubasi.

“Kami bukan investor yang pasif, yang hanya menaruh uang saja. Kami itu aktif, sebab setiap startup yang masuk [ke portofolio] satu per satu akan diperkenalkan ke seluruh jaringan Bank Mandiri dan masuk ke ekosistemnya. Lagipula, tim MCI itu kurang dari 10 orang sehingga tidak bisa bergerak cepat.”

Masih andalkan pembiayaan berupa penyertaan saham

Eddi mengungkapkan sejauh ini, mayoritas jenis pembiayaan yang banyak dilakukan MCI adalah penyertaan saham. Dalam Peraturan OJK, regulator memberi keleluasaan pada pemain modal ventura untuk memilih dua jenis pembiayaan lainnya, yaitu pembiayaan bagi hasil dan obligasi konversi.

“Tujuh startup yang tahun ini kami biayai, semuanya berupa penyertaan saham.”

Dia beralasan dari segi bisnis seluruh jenis pembiayaan tersebut masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Oleh karena itu, MCI harus memeriksa kondisi dari tiap startup yang kasusnya tidak selalu sama.

Mengacu ke laporan OJK, hingga Mei 2017 industri modal ventura telah menggelontorkan pembiayaan sebesar Rp7,15 triliun. Pembiayaan bagi hasil mendominasi total pembiayaan dengan nilai Rp5,42 triliun, dengan porsi mencapai 75,72%. Kemudian, diikuti penyertaan saham sebesar Rp1,16 triliun dan obligasi konversi Rp570 miliar.

Cashlez Raih Pendanaan Seri A Senilai 26 Miliar Rupiah

Startup fintech Cashlez mengumumkan perolehan dana segar seri A sekitar US$2 juta (lebih dari 26 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh Mandiri Capital Indonesia (MCI), diikuti Gan Kapital dan beberapa nama investor individual.

Cashlez adalah perusahaan teknologi pembayaran yang menciptakan sistem mPOS (mobile point of sales), telah berdiri sejak 2015. Cashlez memiliki produk card reader yang dapat menerima pembayaran menggunakan kartu debit, kredit, atau kartu debit berbasis aplikasi dengan menggunakan bluetooth.

Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro mengatakan teknologi EDC yang dihadirkan Cashlez diharapkan dapat membantu lembaga keuangan dalam meningkatkan efisiensi dengan memberikan solusi penerimaan pembayaran dengan kartu untuk konsumen B2B dan B2C.

Dari sisi Bank Mandiri, kehadiran Cashlez dapat membantu cakupan wilayah EDC yang dimiliki bank jadi lebih luas. Saat ini, Bank Mandiri baru memiliki 300 ribu EDC di seluruh Indonesia. Padahal, secara potensi ada banyak jutaan pengusaha UKM yang belum menghadirkan EDC dalam opsi pembayaran mereka.

Mengutip laporan Bank Indonesia dan LPPI di 2015, terdapat 56,54 juta UKM tersebar di seluruh Indonesia. Ditambah data KPMG di 2017, dari total populasi orang Indonesia sekitar 36% di antaranya sudah memiliki rekening bank, namun hanya 10% dari mereka yang menggunakan transaksi non tunai.

“Kami melihat tren di luar negeri, penggunaan EDC tradisional akan bergeser ke EDC yang sifatnya lebih handheld. Terlebih, untuk investasi EDC tradisional itu agak mahal dan kelemahannya juga butuh koneksi internet yang stabil,” kata Eddi, Rabu (12/7).

Dari perolehan dana segar ini, Cashlez akan membeli 4 ribu EDC dari luar negeri, ekspansi ke berbagai kota besar dan pariwisata, melakukan pemasaran digital, serta membuka kantor perwakilan.

“Tahun sebelumnya kami fokus ke pengembangan produk, sekarang kami fokus ke jualannya. Tujuannya agar semakin banyak yang menggunakan Cashlez,” terang CEO dan Co-Founder Cashlez Teddy Setiawan.

Cashlez berdiri tahun 2015 dan telah memiliki sekitar 1.000 merchant berlokasi di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatera. Sekitar 61% pengguna Cashlez datang dari ritel dan travel tourism. Cashlez juga telah memproses Rp15 miliar transaksi per bulannya. Ditargetkan sampai akhir tahun ini angka tersebut dapat meningkat jadi Rp50 miliar.

Agar penggunaan Cashlez makin luas, Teddy mengungkapkan saat ini EDC Cashlez sedang dalam tahap pengembangan agar dapat memroses kartu uang elektronik (e-money). Dia menargetkan teknologi tersebut dapat digunakan pada Agustus mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Mandiri Capital Telah Gelontorkan Rp300 Miliar untuk Startup Tahun Ini

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengungkapkan sejak awal tahun hingga Mei 2017, pihaknya telah menggelontorkan investasi sekitar Rp300 miliar untuk tujuh startup fintech. Tiga di antaranya sudah diumumkan, seperti Moka, Amartha, dan yang terbaru PrivyID.

[Baca juga: Pendanaan Pra-Seri A PrivyID Jadi Langkah Awal Mantapkan Debut yang Lebih Besar

Empat sisanya akan diumumkan dalam waktu dekat. Adapun rinciannya, tiga startup bergerak di payment dan satu bergerak di enterprise solution.

Sekadar informasi, MCI fokus untuk berinvestasi pada startup fintech yang bergerak di tiga sektor saja, yakni payment, lending, dan enterprise solution. Ketiga segmen ini dinilai dapat bersinergi langsung dengan Bank Mandiri Group.

“Tahun ini kami sudah investasi ke tujuh startup, totalnya Rp300 miliar. Tiga sudah resmi diumumkan, sisanya empat startup akan segera diumumkan dalam waktu dekat,” terang Direktur Keuangan MCI Hira Laksamana, Senin (19/6).

Dari seluruh aktivitas pendanaan, MCI masih menyisakan dana kelolaan sebesar Rp200 miliar dari total sebesar Rp550 miliar. Menurut Hira, sisa dana tersebut belum tentu dihabiskan tahun ini untuk menambah portofolio startup baru lainnya.

Bentuk sinergi PrivyID dan Bank Mandiri Group

Co-founder PrivyID Guritno Adisaputro dan Marshall Pribadi
Co-founder PrivyID Guritno Adisaputro dan Marshall Pribadi

Seperti diberitakan sebelumnya, startup pengembang teknologi tanda tangan digital PrivyID mendapat pendanaan segar Pra-Seri A senilai kisaran US$500 ribu. Pendanaan tersebut dipimpin MCI, diikuti MDI Ventures, Gunung Sewu, dan Mahanusa Capital.

Dana segar yang didapat akan digunakan untuk penguatan infrastruktur dengan alokasi sekitar 80% untuk belanja perangkat lunak dan keras. Sisanya untuk pengadaan ruang kantor baru dan merekrut tim baru dengan kompetensi di keamanan dan teknologi.

“Ini pendanaan kami yang kedua setelah sebelumnya dapat dari Telkom sebesar Rp100 juta saat tergabung di program Indigo. Tahun depan kemungkinan kami akan galang dana segar berikutnya yang ditujukan khusus untuk ekspansi bisnis dan marketing,” ucap CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Bentuk sinergi yang akan dilakukan Privy dan Bank Mandiri Group dilakukan secara dua tahap. Pada tahap pertama, sinergi akan dimulai dari internal antar divisi grup dan anak usahanya. Kemudian tahap kedua akan masuk ke nasabah untuk keperluan pembukaan rekening baru.

Adapun potensi penggunaan teknologi PrivyID di dalam grup kemungkinan besar akan dapat diimpelementasikan untuk seluruh anak usahanya. Menurut Marshall, penggunaan tanda tangan digital memiliki tingkat efisiensi yang tinggi dan otentisitasnya yang baik, serta aman.

“Salah satu rekan korporasi kami di multifinance mengakui telah mengefisiensikan sekitar Rp4 miliar dalam setahun setelah menggunakan tanda tangan digital. Ini memperlihatkan penggunaan tanda tangan digital membantu proses bisnis jadi lebih cepat dan mudah.”

Produk tanda tangan digital yang dimiliki PrivyID tidak hanya diperuntukkan untuk kebutuhan korporasi, tetapi juga dapat digunakan oleh perseorangan. Adapun biaya maksimal yang dibebankan untuk penggunaan teknologi PrivyID dalam satu dokumennya antara Rp1000 sampai Rp3.500.

Saat ini, PrivyID telah mencatatkan lebih dari 500 ribu pengguna dan bermitra dengan 30 perusahaan. Perusahaan juga mengklaim telah memproses lebih dari 3.500 tanda tangan digital setiap harinya.

Ke depannya, Marshall berharap dapat menggaet klien korporasi besar potensial seperti perusahaan multifinance, perbankan, ketenagarkerjaan, waralaba, fintech, outlet online untuk meningkatkan efisiensi logistik perusahaan.

“Kami targetkan dapat sapu bersih calon klien dari korporasi besar di 2018. Sementara ini kami tidak lakukan strategi marketing yang mengarah ke direct individual,” pungkas Marshall.

Pendanaan Pra-Seri A PrivyID Jadi Langkah Awal Mantapkan Debut yang Lebih Besar

Startup pengembang tanda tangan digital PrivyID mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh MDI Ventures dan Mandiri Capital Indonesia. Gunung Sewu dan Mahanusa Capital juga terlibat dalam pendanaan ini.

Nilai pendanaan yang diperoleh tidak disebutkan angkanya. Meskipun demikian, menurut pemaparan CEO PrivyID Marshall Pribadi, pendanaan selanjutnya (Seri A) awal tahun depan akan segera menyusul dengan nilai yang cukup signifikan.

“Pendanaan [Pra-Seri A] ini tidak ditujukan untuk ekspansi besar-besaran, akan tetapi dioptimalkan untuk membangun di dalam terlebih dulu,” ungkap Marshall.

Secara spesifik, pendanaan kali ini akan difokuskan PrivyID untuk pembelanjaan infrastruktur perangkat keras dan perangkat lunak. Menurut Marshall, setidaknya sebagian pendanaan tersebut dialokasikan untuk perangkat keamanan seperti HSM (Hardware Security Module) dan Transparent Encryption System. Sisanya akan digunakan untuk pengadaan ruang kantor baru di Jakarta dan Yogyakarta, serta melakukan perekrutan ke tim security dan teknologi.

“Sinergi menjadi tesis utama kita. Kami telah menjalin kemitraan dengan PrivyID melalui program Indigo sejak tahun 2015. Sejak saat itu PrivyID telah bekerja dengan berbagai proyek untuk Telkom Group. Kami akan terus bekerja sama dengan para startup terkemuka di berbagai vertikal untuk mengkatalisis pertumbuhan dengan sumber daya dan jaringan kami. Singkatnya, kami membawa skala melalui basis pelanggan dan sumber daya kami untuk memberi nilai penting bagi perusahaan seperti PrivyID,” sambut CEO MDI Ventures Nicko Widjaja.

Di Telkom Group disebutkan teknologi PrivyID telah digunakan di IndiHome dan T-Money.

“Pengguna kami sangat terbantu dengan terhematnya waktu dan biaya dari menghilangkan kertas dan pengiriman kurir untuk menandatangani dokumen. Penandatanganan dapat dilakukan di smartphone maupun PC di mana pun. Selain itu kami juga sedang dalam proses untuk mendapatkan ISO 21188 on Public Key Infrastructure for Financial Services,” lanjut Marshall.

PrivyID didirikan Marshall Pribadi dan Guritno Adisaputro, sebelumnya mendapatkan seed funding dari program Indigo Incubator besutan Telkom. Sepak terjangnya berhasil membukukan sekurangnya 300.000 pengguna dengan rekanan korporasi sudah mencapai 31 entitas. Termasuk penguatan jaringan kerja sama dengan institusi perbankan dan non-perbankan untuk memverifikasi pengguna. Dari sisi teknologi, PrivyID kini juga sudah menyediakan aplikasi di platform Android dan iOS untuk penggunanya.

“Kami ingin mewujudkan pure digital offering bagi industri fintech, di mana pengguna yang sudah memiliki akun di lembaga keuangan yang sudah menjadi mitra kami dan telah melalui proses Customer Due Dilligence sesuai Peraturan OJK tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris. Tidak perlu melalui proses tersebut lagi saat ingin menjadi pelanggan institusi lain,” ujar Marshall.

Secara sederhana, apa yang ditawarkan oleh PrivyID kepada konsumen ialah teknologi verifikasi identitas digital yang akuntabel, dengan satu nomor induk kependudukan satu identitas digital.

Dengan adanya identitas digital ini, pengguna dapat memberikan persetujuan dalam bentuk tanda tangan digital saat menggunakan beragam jenis layanan (terutama di lembaga finansial). Seperti diketahui bahwa legalitas tanda tangan digital sudah diatur dalam UU Pasal 52 PP 82/2012 di Indonesia.

“PrivyID bertujuan untuk membangun fondasi ekosistem transaksi elektronik yang sehat, yakni dengan memberikan identitas terpercaya di dunia maya dan tanda tangan digital yang mengikat secara hukum. Saya percaya apa yang kami lakukan sejalan dengan ambisi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi digital,” jelas Marshall.

Karena digunakan pada sektor krusial, standar khusus pun diikuti, salah satunya yang mengacu pada aturan terbitan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk dari sisi teknologi, tanda tangan digital PrivyID didukung oleh sertifikat digital menggunakan kriptografi asimetris dan infrastruktur kunci publik untuk memudahkan proses verifikasi pendandatanganan dan setiap perubahan yang dilakukan pada dokumen yang ditandatangani dapat diidentifikasi.

“Model bisnis PrivyID dapat meningkatkan efisiensi bisnis korporasi karena memberikan solusi bagi perusahaan untuk mengirim dan menerima dokumen dengan tanda tangan elektronik secara online, sehingga kedua belah pihak tidak harus berada di tempat yang sama atau bahkan memerlukan jasa kurir,” ujar Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro selaku rekanan strategis PrivyID.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Konektifa, Platform Inventori Digital Khusus UKM

Berbicara mengenai inventori adalah suatu hal yang wajib dilakukan semua jenis pemilik usaha. Sebab, inventori erat kaitannya dengan manajemen bisnis, guna memonitor seluruh kegiatan usaha sebelum melangkah ke keputusan selanjutnya.

Akan tetapi, tidak semua pemilik usaha paham dengan pengetahuan ini terlebih bagi UKM. Oleh karenanya, dengan semangat ingin membantu manajemen bisnis dalam usaha UKM didirikanlah Konektifa yang digawangi oleh Ardi Arif Suden sebagai CEO Konektifa.

Sekadar informasi, Konektifa sebelumnya tergabung dalam salah satu peserta untuk program inkubator yang diselenggarakan Mandiri Capital Indonesia (MCI) batch pertama, bernama Mandiri Digital Business Incubator.

Ardi menerangkan menggunakan platform Konektifa pemilik bisnis bisa memonitor administrasi usahanya mulai dari rekap kegiatan bisnis dalam satu laporan terpadu, catatan transaksi penjualan dan pembelian, data konsumen dan penyuplai, dan lainnya. Pemilik bisnis dapat lebih mudah mengontrol operasional usaha setiap harinya.

Hanya saja, lanjut Ardi, pada tahap awal ini Konektifa tidak langsung ujug-ujug menawarkan layanan inventori digital-nya tersebut kepada UKM. Melainkan menawarkan layanan Konektifa Eksklusif, memberi akses kepada calon pengusaha dari modal nol Rupiah dengan menjajakan produk langsung dari pihak penyuplai yang sebelumnya sudah terdaftar dalam platform Konektifa.

Calon pengusaha bisa menjual lebih dari satu produk, dengan channel marketing apapun dari online hingga offline dengan harga jual yang jauh lebih kompetitif. Dari layanan ini, diharapkan dari sisi penyuplai dapat mendongkrak omzet penjualan mereka seiring mendorong perekonomian di daerah tersebut. Sehingga, lambat laun dapat menggiring para penyuplai dan reseller untuk menggunakan aplikasi Konektifa.

“Kami masuk dengan strategi ini sebelum menawarkan aplikasi Konektifa. Sebab dari yang kami temui di lapangan, pada saat ini UKM lebih condong ke business opportunity. Sementara ketika berbicara tentang inventori itu lebih berkaitan dengan efisiensi karena merapikan manajemen. Maka dari itu kami masuk pada tahap awal ini lewat Konektifa Eksklusif,” terang Ardi saat ditemui DailySocial.

Dia mengklaim saat ini sudah ada lebih dari 300 penyuplai dan reseller yang tergabung sebagai pengguna di Konektifa. Mereka terdiri dari 33 kategori usaha, tersebar di 37 kota di Indonesia. Adapun produk yang didagangkan, mulai dari gadget, fesyen, alat tulis kantor, makanan ringan, hingga perbengkelan.

Konektifa saat baru bisa diakses melalui desktop dan perusahaan menargetkan perilisan aplikasi mobile tahun ini.

Proses monetisasi dan pencarian dana segar

Ardi menerangkan pihaknya memproses monetisasi berdasarkan komisi per transaksi. Komisi akan ditarik apabila Konektifa berhasil memberi reseller baru sebagai referensi untuk para penyuplai. Besaran komisi antara 5% sampai 20% tergantung jenis barang yang diambil oleh reseller.

“Kami ambil komisi dari referensi reseller yang kami berikan kepada para penyuplai. Besaran komisi tergantung barang yang diambil reseller, untuk kategori yang fast moving seperti elektronik kami ambil komisinya kecil. Intinya kami ingin mendorong bisnis UKM bisa terus bergerak, kan kalau mereka dapat barang dari supplier harganya jauh lebih kompetitif.”

Ketika ditanya mengenai rencana penggalangan dana, Ardi mengungkapkan saat ini pihak memang berencana mencari investor untuk suntikan dana tahap awal (seed). Langkah ini untuk mendukung rencana perusahaan yang ingin menggaet kurang lebih 1.000 pengguna Konektifa dan memperkuat penetrasinya di daerah-daerah.

Mandiri Capital Pimpin Pendanaan Seri A Untuk Platform P2P Lending Amartha

Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengumumkan pendanaan seri A untuk platform P2P lending Amartha dengan nilai sekitar US$2 juta (sekitar lebih dari 26 miliar Rupiah). Investor baru yang turut bergabung dalam pendanaan kali ini adalah Lynx Asia Partners. Dua investor lainnya yang telah bergabung dalam pendanaan sebelumnya, yakni Beenext dan Midplaza Holding.

Sejauh ini, MCI telah mengumumkan dua kali pendanaan yakni Moka sebesar Rp26 miliar dan Amartha sekitar US$2 juta. Bulan depan pihak MCI akan kembali mengumumkan pendanaan lainnya, kali ini untuk startup fintech di sektor sistem pembayaran.

Dalam pipeline, MCI berencana untuk menambah tiga hingga empat startup fintech masuk ke dalam portofolio investasi sepanjang semester I dan II 2017. Diharapkan total perusahaan baru yang mendapat investasi dari MCI sepanjang tahun ini menjadi 8-10 perusahaan.

Adapun segmen startup yang bakal diincar MCI bergerak di sistem pembayaran, lending, dan SME solution. Ketiga segmen ini diharapkan dapat menopang proses bisins Bank Mandiri beserta anak usaha Grup Bank Mandiri lainnya.

“Model bisnis Amartha sangat penting bagi perekonomian kita karena mampu memberikan solusi untuk menyentuh masyarakat unbanked. Dengan pengalaman lebih dari tujuh tahun di segmen pembiayaan mikro, jaringan yang kuat di pelosok daerah, dan tim leadership yang tangguh, Amartha mendukung visi Bank Mandiri untuk meningkatkan inklusi keuangan ke seluruh Tanah Air,” kata Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro, Selasa (7/3).

CEO dan Co-Founder Amartha Andi Taufan Garuda Putra menjelaskan Amartha dapat memberi tambahan value sebagai salah satu portofolio investasi MCI. Mengingat, Amartha telah memodernisasikan segmen mikro sehingga menciptakan segmen pasar baru yang memungkinkan masyarakat di lapisan piramida terbawah untuk memperoleh alternatif sumber permodalan bagi bisnis mereka.

Bentuk sinergi dengan Bank Mandiri

Dengan adanya sinergi dengan Bank Mandiri, Amartha bakal menggunakan kesempatan tersebut untuk pengembangan produk, mulai dari peningkatan kapabilitas credit scoring, mempelajari karakter kredit macet seperti apa, penanganannya seperti apa, dan lain sebagainya.

Rencananya Amartha ingin menambah jumlah agen sebagai perpanjangan tangan perusahaan bisa bertambah antara dua hingga tiga kali lipat dari saat ini sekitar 100 orang. Tak hanya itu, apabila kondisi memungkinkan Amartha dapat ekspansi ke luar Pulau Jawa.

“Kami juga sedang memikirkan dengan Bank Mandiri, bagaimana bisa membuat peminjam yang masih unbanked menjadi bankable. Sebab, selama ini seluruh proses penyaluran dan pembayaran masih dilakukan secara tunai karena mereka belum memiliki rekening bank. Itu yang sedang kami coba pecahkan solusinya,” ucap Taufan.

Sistem pembayaran yang masih tunai membuat Amartha melakukan resep tersendiri untuk mencegah terjadinya kredit macet. Amartha memiliki agen tersendiri yang tersebar di Pulau Jawa. Mereka bertugas untuk membantu para peminjam saat ingin mengajukan aplikasi pinjaman, menyalurkan pinjaman, dan menerima pembayaran angsuran.

Setiap agen memiliki tugas untuk bertemu setiap peminjam yang terbagi-bagi menjadi kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 20 peminjam. Lewat resep ini, Amartha mengklaim berhasil menekan laju kredit macet tetap berada di angka 0%.

Hingga kini, total pinjaman yang sudah disalurkan Amartha telah menembus di angka Rp68 miliar kepada 30 ribu pengusahan mikro perempuan dengan tingkat kredit macet 0% selama tujuh tahun berturut turut.

“Percaya enggak percaya, kredit macet kami masih 0%. Ini membuktikan segmen mikro itu tidak seburuk yang dibayangkan, mereka itu credit worthy bila pendekatannya tepat mereka akan tanggung jawab dengan pinjamannya. Sistem pinjaman per kelompok terbukti berhasil minimalisir kredit macet. Kalau ada masalah NPL, bukan agen Amartha saja yang turun, tapi berbarengan cari solusinya.”

Mengingat Amartha masih memiliki agen untuk pendekatan, makanya perusahaan menerapkan sistem komisi yang ditarik dalam setiap transaksinya, untuk peminjam maupun pemilik dana. Untuk peminjam (borrower) komisi yang ditarik sebesar 5%-10% per transaksi tergantung risiko dan besaran pinjaman, sementara untuk pemilik dana (lender) sebesar 1%-3%.

Adapun besaran dana yang bisa diberikan untuk peminjam mulai dari Rp3 juta hingga Rp10 juta, dengan tenor 3/6/12 bulan. Untuk imbal hasil yang ditawarkan kepada pemilik dana mulai dari 10% hingga 15% per tahun.

Memprediksi Sektor Populer Startup Indonesia Tahun 2017

Data terakhir APJII menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Sementara perangkat yang dipakai untuk mengakses internet dari smartphone sebanyak 63,1 juta.

Kegiatan belanja sampai cara mendapatkan layanan transportasi kini bisa dilakukan secara online. Salah satu startup on-demand terpopuler Go-Jek bahkan secara publik telah mencapai tahap unicorn atau bervaluasi lebih dari $1 miliar (lebih dari 13 triliun Rupiah).

Dalam laporan Startup Teknologi Indonesia 2016, DailySocial melakukan survei ke sejumlah investor tentang sektor apa yang menjadi primadona dan fokus mereka tahun ini. Berdasarkan kompilasi tersebut, 4 sektor yang diperkirakan menjadi bakal menjadi pusat perhatian adalah fintech (teknologi finansial), e-commerce, Software-as-a-Service (SaaS), dan on-demand atau service marketplace.

Fintech

Fintech merupakan pengembangan industri jasa keuangan yang sangat bergantung dengan internet dan inovasi digital. Fintech hadir karena ada segmen layanan keuangan konvensional yang belum bisa menjangkau berbagai kalangan masyarakat.

Group CEO C88 John Patrick Ellis, yang memiliki layanan e-commerce finansial CekAja di Indonesia, mengatakan tahun lalu Indonesia mengalami kebangkitan besar di bidang fintech. Banyak usaha yang bergerak di fintech mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan dominan dan menjadi pemain besar yang banyak membantu perkembangan industri jasa keuangan.

Menurut Ellis, optimisme yang membuat CekAja yakin dengan perkembangan fintech terletak di penetrasi pasar keuangan yang terbilang rendah. Masih banyak yang belum menjamah seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini disebut Ellis sebagai “double growth factor“, yakni layanan keuangan terus bertumbuh yang diiringi dengan pertumbuhan teknologi.

“Kedua hal ini saling mendukung. Karena itulah, sektor fintech [di Indonesia] diprediksi akan memiliki tiga sampai lima perusahaan unicorn di [tahun] 2020.”

Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya juga angkat suara mengenai potensi fintech, terutama peer-to-peer lending (P2P lending). Reynold mengatakan kehadiran Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada penghujung tahun lalu menjadi trigger yang kuat untuk pengembangan bisnis P2P lending ke depannya.

Kehadiran regulasi, sambungnya, membuat masyarakat Indonesia jadi semakin percaya dengan bisnis P2P lending sudah diakui dan diawasi oleh OJK. Modalku mengklaim pada tahun lalu telah menyalurkan sekitar Rp 60 miliar dengan kredit macet masih 0%.

“Kami tidak terlalu peduli dengan volume bisnis tapi bagaimana bisa scaling bisnis dengan benar. Sekarang kami mau mengarah ke smartphone agar proses jadi lebih cepat, konsentrasinya adalah convert orang-orang dari konvensional untuk beralih ke smartphone.”

Pernyataan Reynold didukung Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Eddi mengatakan kehadiran berbagai regulasi yang mengatur tentang fintech pada dasarnya bertujuan untuk melindungi nasabah. Hal ini juga membuat fintech jadi lebih makin matang dan memancing kehadiran para pemain baru. Eddi menilai dari segi nilai, investasi ke sektor fintech diperkirakan akan tumbuh setidaknya 50% dan mungkin bisa tumbuh 100% atau lebih.

Mengingat fintech sangat bergantung pada perkembangan teknologi digital, baik CekAja maupun Modalku menekankan pada pentingnya implementasi penerapan tanda tangan digital. Reynold menjelaskan tanda tangan digital merupakan bagian utama proses know your customer (KYC) bagi pemain fintech untuk menjangkau nasabah ke seluruh pelosok Indonesia.

Meski pemerintah sudah mengeluarkan tanda tangan digital, namun OJK sebagai pihak otoritas sertifikat (CA) belum menunjuk suatu lembaga untuk menjalankan mandatnya menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini, menurut Reynold, perlu didorong.

“Infrastruktur di fintech harus kuat, bagaimana fintech bisa menyentuh segala pelosok Indonesia. Satu-satunya cara adalah dilakukan secara digital, maka dari itu tanda tangan digital harus diperjelaskan. Ini kan bagian dari proses KYC,” kata Reynold.

Ellis menambahkan, “Penerapan tanda tangan digital yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di 2017 ini dapat memajukan fintech dengan dasar inklusi keuangan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan bisnis di Indonesia jadi lebih baik. Kami berharap regulasi mengiringi lainnya juga dapat mendukung dan memudahkan layanan perusahaan fintech.”

Di sisi lain, menurut Ellis, kehadiran asosiasi fintech dapat menjadi lahan untuk belajar dengan para pemain fintech lokal lainnya. Asosiasi menjadi jembatan para pemain untuk berkomunikasi dengan OJK dan BI. Ia menyatakan anggota asosiasi fintech selalu terbuka untuk berdialog tentang segala regulasi yang sudah ada dan akan bergulir.

“Tantangan di setiap sektor dan yang terjadi di fintech sebenarnya tidak jauh berbeda. Inilah dasar utama kenapa kami mendirikan Asosiasi Fintech Indonesia. Jadi nantinya ada lembaga dalam industri fintech yang dapat mewakili serta dapat menggambarkan tantangan yang harus dihadapi. Dengan solusi yang dibuat secara bersama akan lebih baik dibandingkan harus dihadapi secara sendiri-sendiri.”

E-commerce

Berdasarkan data berbagai sumber, pada tahun 2017 industri e-commerce di Indonesia diprediksi akan bernilai $9,3 miliar. Besarnya potensi tersebut saat ini sesuai dengan perkembangan layanan e-commerce di tanah air, baik yang umum maupun niche.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, “Dari tahun ke tahun, layanan e-commerce dan transaksi online akan semakin menjadi bagian hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin cerdas, tidak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka.”

CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan layanan marketplace akan merambah sektor fintech tahun ini.

“Selain untuk keperluan barang sehari-hari, marketplace juga akan berevolusi menjadi kebutuhan pembayaran sehari-hari, memberikan layanan finansial inklusi. Di tahun 2017 ini, open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi merek-merek baik lokal maupun internasional untuk memasarkan produk mereka ke masyarakat Indonesia,” kata William.

Kemudahan pembayaran untuk pembelian apapun menjadi krusial. Menurut William, tahun ini layanan e-commerce akan semakin inklusif. Selama ada konektivitas internet, pembayaran bisa dilakukan meski tidak memiliki rekening bank atau kartu kredit.

“Produk-produk e-wallet akan tumbuh di tahun 2017 untuk mendorong pemerataan ekonomi secara digital. Demikian juga dengan tumbuhnya bisnis kurir untuk mengirimkan produk-produk yang dipasarkan di marketplace,” ujar William.

Selain itu, tren akan bergeser ke hyperlocal purchase. Pembeli di daerah Sumatera Utara akan cenderung membeli dari penjual di kota Medan dibanding dari Jakarta. Walau harga barang sedikit lebih tinggi, adanya ongkos kirim akan membuatnya tetap bersaing. Apalagi barang seharusnya bisa diterima lebih cepat.

Berbeda dengan optimisme William, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li mengungkapkan kekhawatiran rencana masuknya Alibaba dan Amazon di Indonesia. Konsolidasi diprediksikan bakal terjadi untuk membuat perusahaan tetap bertahan.

“Semua layanan e-commerce di Indonesia saya lihat akan semakin berat di tahun 2017 ini, terutama dengan rencana hadirnya Amazon dan Alibaba di Indonesia. Kehadiran perusahaan raksasa global tersebut akan semakin menyulitkan eksistensi layanan e-commerce lokal yang saat ini sudah berhasil menjadi market leader. Saya melihat konsolidasi mungkin akan tercipta, seperti yang telah terjadi di India,” kata Adrian.

Selain konsolidasi, nantinya masing-masing brand akan memilih untuk melakukan penjualan secara langsung kepada pelanggan atau dengan cara multichannel. Strategi ini dinilai akan menjadi kegiatan jangka panjang.

Untuk layanan e-commerce yang bakal mendominasi tahun 2017 ini, Adrian mengungkapkan fashion commerce akan semakin masif bermunculan di tanah air.

“Dengan mengintegrasikan desain, manufaktur dan pasokan proses rantai penyediaan, mereka [layanan fashion commerce] mampu menyediakan pakaian yang sedang tren yang bersaing dengan biaya ritel umum,” kata Adrian.

Untuk faktor penghambat, ternyata faktor kepercayaan atau trust masih bisa menjadi momok tahun ini.

“Seperti yang disampaikan dalam laporan Google dan Temasek, pemesanan dari Indonesia 12 kali berisiko fraud berdasarkan rata-rata secara global,” kata Adrian.

SaaS

Founder and CEO Talenta, sebuah platform SaaS untuk manajemen sumberdaya manusia, Joshua Kevin, mengatakan saat ini kondisi pemain startup SaaS di Indonesia sama seperti pemain e-commerce pada 2010-2011. Tahun tersebut adalah masa ketika masyarakat Indonesia masih memiliki krisis kepercayaan dan belum percaya dengan manfaat beralih membeli barang secara online.

“Kami percaya bahwa industri SaaS akan makin cepat pertumbuhannya dan kemampuan dalam pengambilan keputusan akan jatuh ke generasi yang percaya bahwa internet dan smartphone adalah the default,” kata Joshua.

Mengenai isu keamanan komputasi awan sebagai hal yang krusial bagi pemain SaaS, Joshua mengungkapkan tidak semua pemain SaaS di Indonesia menggunakan solusi atau server dari luar Indonesia. Pihaknya mendorong insentif yang lebih dari pemerintah dan perusahaan cloud untuk membuat mereka beralih ke server lokal.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, menambahkan pergerakan bisnis SaaS di Indonesia mulai bergerak dengan sangat baik. VC ini telah berinvestasi di sejumlah startup SaaS dan melihat indikasi puluhan ribu UKM sudah menggunakan berbagai solusi yang disediakan beberapa pemain SaaS yang masuk dalam portofolionya.

Menurut Willson, tantangan pemain SaaS Indonesia di kacamata investor adalah adopsi pengguna dan bagaimana UKM melihat nilai dari SaaS. Startup SaaS harus bisa mengedukasi pasar tentang manfaat produk SaaS dibandingkan perangkat lunak tradisional dan meyakinkan mereka untuk beralih ke sana.

Moka, startup penyedia layanan mobile point of sales (mPOS) dengan fokus pasar UKM, menjadi salah satu pemain SaaS yang menanjak. Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo, senada dengan Joshua, mengutarakan saat ini Moka belum menggunakan server lokal. Pihaknya menggunakan layanan cloud yang berbasis di Singapura. Untuk perlindungan data, Moka mengenkripsi lalu lintas yang keluar dan masuk menggunakan SSL. Pihaknya juga memasang beberapa firewall untuk seluruh server.

Haryanto menambahkan tingkat persaingan bisnis SaaS di Indonesia masih sangat luas dan pasarnya sangat besar. Menurutnya, persaingan antar pemain SaaS bukanlah perhatian untuk saat ini.

On-demand

Layanan transportasi on-demand dari Go-Jek, Grab, dan Uber saat ini masih mendominasi. Kehadiran mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan kini menjadi bagian rutinitas sehari-hari.

CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, “Akan menjadi sulit untuk startup baru mencoba bersaing dengan Go-Jek, Uber, dan Grab, karena posisi mereka yang sudah berhasil menjadi market leader dan mendominasi di Indonesia. Untuk bisa bersaing dengan ‘the big three‘, perusahaan yang sebelumnya menjalankan bisnis dengan cara konvensional juga sudah harus mulai mengadopsi teknologi untuk bisa bersaing dengan perusahaan berbasis teknologi tersebut.”

Nicko melihat kolaborasi antara Blue Bird dengan Go-Jek membuktikan perusahaan yang selama ini menjalankan bisnisnya secara konvensional akan memilih untuk melakukan kerja sama dengan startup yang telah memiliki produk, talenta, dan kemampuan membuat produk berbasis teknologi. Hal tersebut bisa memangkas pengeluaran untuk mempekerjakan third party atau outsource untuk membangun teknologi dari awal.

“Peluang dari startup yang nantinya berfungsi sebagai ‘corporate enabler‘ untuk menawarkan sistem, produk, hingga teknologi kepada korporasi hingga perusahaan besar nampaknya akan semakin banyak di tahun ini dan seterusnya,” kata Nicko.

Menurut Co-Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim, tahun 2015 dan 2016 lalu merupakan tahun ketika layanan seperti Go-Jek dan layanan e-commerce masih berupaya untuk menemukan pasar dan strategi pemasaran. Tahun 2017 ini bakal menjadi tahap yang menentukan kebanyakan layanan on-demand.

“Saya melihat tahun 2017 ini bakal menjadi momentum. Bkan hanya untuk Go-Jek namun juga semua layanan on-demand lainnya di Indonesia. Tahun 2017 juga menjadi tahun semua going to mobile,” kata Nadiem.

Kendala infrastruktur yang ada di Indonesia, menurut Nadiem, justru menjadi peluang bagi layanan on-demand seperti Go-Jek untuk berkembang.

“Berbagai kendala dalam hal infrastruktur yang ada saat ini justru menjadi kesempatan bagi Go-Jek untuk memberikan solusi kepada semua masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini Go-Jek melihat infrastruktur yang masih kurang saat ini sebagai opportunity dengan memberikan solusi kepada semua pengguna,” ujarnya.

Dalam dua tahun terakhir, layanan on-demand juga makin beragam. Tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi yang berhubungan dengan layanan domestik. Misalnya jasa asisten rumah tangga, pembersihan rumah, dan perbaikan AC. Salah satu layanan on-demand di segmen ini adalah Seekmi.

“Kami sangat beruntung di Seekmi bahwa tingkat penetrasi smartphone di kalangan vendor dan teknisi telah tumbuh secara signifikan dalam setahun tahun sejak Seekmi diluncurkan. Memungkinkan Seekmi untuk mengelola sekitar 10 ribu tenaga kerja dengan cepat dan efisien,” kata CEO Seekmi Clarissa Leung.

Clarissa melanjutkan, “Saya prediksi tahun 2017 ini akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini aplikasi, untuk membantu mereka melakukan pekerjaan rumah rutin dari yang paling mudah hingga yang berat dengan bantuan layanan on-demand. Akan lebih banyak orang percaya dengan layanan on-demand karena terbukti mampu menghemat biaya pengeluaran.”

Di balik kemudahan berbasis teknologi, banyak generasi senior yang belum terbiasa dan kurang percaya dengan layanan on-demand.

“Seekmi pada akhirnya tetap menghadirkan layanan pelanggan melalui SMS hingga telepon langsung. Pendekatan dengan cara-cara tradisional masih perlu disematkan untuk perusahaan teknologi,” kata Clarissa.

Meskipun terlihat menjanjikan, layanan on-demand ternyata cukup sulit untuk melakukan scale up. Hal ini terjadi karena layanan on-demand sifatnya adalah hyperlocal. Masing-masing kota di Indonesia memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda.

“Untuk mengatasi semua kendala tersebut masing-masing layanan on-demand tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kemitraan atau partnership dengan perusahaan teknologi lainnya hingga perusahaan besar dan pemerintah untuk bisa mengatasi semua kendala,” kata Nicko.


Artikel ini adalah kolaborasi DailySocial dan The Jakarta Post. Juga dipublikasi dalam bahasa Inggris di halaman ini.

DailySocial:
CEO & Founder : Rama Mamuaya
Editor-in-Chief : Amir Karimuddin
Editor-in-Chief : Wiku Baskoro
Writers : Yenny Yusra, Marsya Nabila

The Jakarta Post:
Managing Editor Life : Asmara Wreksono
Editor : Keshie Hernitaningtyas
J+ team : Jessicha Valentina, Masajeng Rahmiasri, Ni Nyoman Wira
Technology : Muhamad Zarkasih, Mustofa
Infographic : Sarah Naulibasa, Sandy Riady
Video & Multimedia : Bayu Widhiatmoko, I.G. Dharma J.S., Ahmad Zamzami,
Rian Irawan, Wienda Parwitasari

MCI Demo Day, ‘Wisuda’ Inkubator dan Pengenalan Kepada Investor

Setelah mengikuti program Mandiri Digital Incubator yang diselenggarakan Mandiri Capital Indonesia (MCI) selama enam bulan, 14 startup telah dinyatakan ‘lulus’ dari masa pematangan bisnis lewat kegiatan MCI Demo Day pada hari Senin (27/2). Keempat belas startup tersebut antara lain adalah Limakilo, Iwak, Bulp, Pickpack, DompetSehat, Erzap, IdCloudHost, Jurnal, Danasedia, Konektifa, Taralite, Taxies, Atom, dan Folio. MCI Demo Day kemarin menjadi ajang ‘wisuda’ dan pitching bagi bisnis-bisnis rintisan Mandiri Digital Incubator agar lebih dekat dengan para investor.

Inisiatif MCI dalam menyelenggarakan MCI Demo Day yang bekerja sama dengan MDI Ventures dan DailySocial ini didukung penuh oleh Bank Mandiri. Pahala Mansury, Direktur Keuangan Bank Mandiri, mengatakan bahwa Bank Mandiri selalu berencana mengembangkan bisnis UMKM, baik yang berbasis teknologi maupun non teknologi.

“Kami pernah menjalankan Wirausaha Muda Mandiri. Lalu, kami berpikir untuk memiliki rumah untuk mengembangkan startup yang punya big impact bagi masyarakat. Kunci kesuksesannya ialah kolaborasi antara MCI, Bank Mandiri, dan Mandiri Digital Incubator,” ujar Pahala dalam sambutannya.

MCI Demo Day adalah acara puncak dari program pengembangan startup di Mandiri Digital Incubator. Selama enam bulan berlangsung, CEO Mandiri Capital Indonesia Eddie Danusaputro bercerita bahwa startup di Mandiri Digital Incubator mendapatkan training dan mentorship yang telah disiapkan kurikulumnya.

“Terutama untuk dua hal; product valuation dan market validation, termasuk business model-nya,” imbuhnya.

Mandiri Digital Incubator hadir sebagai medium untuk finetuning produk dari startup sekaligus mencari pendanaan. “Nah, memang kita yang mempunyai Mandiri Digital Incubator. Karena kita tidak mungkin yang mendanai semuanya, maka kita mengundang teman-teman venture capital ini untuk mendengarkan presentasi dari startup-startup ini, siapa tahu mereka berminat untuk funding,” cetus Eddie.

Selama program Mandiri Digital Incubator batch pertama berlangsung hingga puncaknya MCI Demo Day, beberapa startup telah mendapatkan funding dari investor, baik melalui MCI maupun investor lainnya.

“Saat ini kami dalam proses due dilligence [untuk investasi ke salah satu startup],” ujar Bisma Manda Samsu, Head of Finance, Treasury, and Operations MCI, yang menolak untuk menyebutkan nama-nama startup yang telah didanai karena belum dirilis.

Secara komposisi, ranah startup yang telah mendapatkan funding terhitung berimbang, yakni 50% fintech dan 50% non-fintech.

Bagi startup, rangkaian penyelenggaraan Mandiri Digital Incubator ini menjadi pengalaman yang menyenangkan tersendiri. CEO Danasedia Lutfi Adhiansyah adalah salah satu yang mengakuinya.

“Yang menarik sebenarnya adalah penyelenggaranya. Karena penyelenggaranya kan bank besar ya, Bank Mandiri. Jadi, ketika kita berada di bawah naungan Mandiri, kita mendapat exposure yang lumayan baik. Apalagi saya bergerak di bidang fintech,” terang Lutfi.

Senada Lutfi, CMO IdCloudHost M. Mufid Luthfi kurang lebih merasakan hal yang serupa. Kolaborasi antar startup adalah hal yang menurut Mufid perlu digarisbawahi dan meninggalkan kesan baik dari Mandiri Digital Incubator. “Meskipun kami perusahaan baru, tapi kami dapat pembinaan dari mentor-mentor terbaik. Di sini kita dilatih bagaimana membuat startup yang sustain,” aku Mufid.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari MCI Demo Day.

Gambaran Kondisi Investasi Startup Indonesia Di Mata Pemain Modal Ventura

Startup digital di Indonesia jumlahnya memang terus tumbuh hingga kini, tidak ada data pasti yang menyebut berapa total startup yang beroperasi di Indonesia. Sebagai gambaran, Telkomtelstra pernah menyebut jumlah startup sekitar 2 ribu perusahaan atau tertinggi di Asia Tenggara. Untuk fintech sendiri, OJK mendata ada sekitar 157 perusahaan fintech yang beroperasi, sekitar 80% di antaranya bergerak di bisnis lending.

Lahirnya berbagai startup tersebut menjadi indikasi timbul semangat dari orang Indonesia untuk menjadi wirausahawan dengan membangun usaha sendiri. Bisnis yang mereka jalankan sebagian besar mengklaim bertujuan untuk memberikan pemecahan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebuah diskusi panel yang diadakan Convergence Ventures, kemarin (21/2), menyoal tentang peluang investasi teknologi di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Abraham Hidayat (Skystar Capital), Dirk van Quaquebeke (Beenext), Eddi Danusaputro (Mandiri Capital Indonesia), dan Roderick Purwana (Sinar Mas Digital Ventures), serta dimoderatori Adrian Li (Convergence Ventures).

Mengenai hal-hal yang telah dipelajari para pemain modal ventura semenjak menginvestasikan dananya ke perusahaan startup, ada beberapa poin yang perlu ditekankan. Roderick mengatakan pihaknya mempelajari bahwa kebanyakan dari mereka belum mampu menunjukkan rencana matang untuk proses scaling up.

Padahal scaling up itu merupakan tantangan startup yang sebenarnya. Berapa lama mereka bisa bertahan dalam kondisi ketika harus dihadapkan pada perubahan dinamika pasar, persaingan, hingga berbagai permasalahan internal.

Menurutnya, untuk mendapatkan traksi saat pertama kali baru berdiri memang cukup mudah. Meskipun demikian, ketika dituntut untuk bertumbuh, mereka mengalami kesulitan.

Di sisi lain, Abraham bilang dirinya lebih memerhatikan kualitas founder itu sendiri, bagaimana mereka dapat memimpin diri sendiri, orang lain, dan membangun tim yang solid. Abaraham juga menekankan pada pentingnya komunikasi rutin secara fisik tanpa memanfaatkan fasilitas video chat.

“Sebab pada akhirnya komunikasi tatap muka dan berkumpul secara rutin itu lebih mudah dalam mengelola suatu perusahaan, ketimbang harus video chat karena lokasi tempat tinggal yang berbeda. Mengelola tim yang remote memiliki kelemahan tersendiri,” kata Abraham.

Tak hanya itu, Abraham mengatakan bahwa Indonesia masih mengalami kekurangan talenta yang berkualitas. Inti permasalahan ini sebenarnya karena belum dianggap pentingnya potensi dari ilmu bidang teknologi informasi. Padahal, bidang ilmu ini adalah dasar dari pengembangan kualitas talenta di dunia startup.

Senada dengan Abraham, Quaquebeke menambahkan kurangnya talenta Indonesia membuat negara ini jadi masih tertinggal dari India dan Tiongkok.

“Karakter orang tua di India, mereka selalu mendorong anaknya untuk terus merasa penasaran dan mendorong anaknya untuk menuntut ilmu di luar negeri. Beberapa hal inilah yang membuat India jadi lebih baik dari Indonesia,” katanya.

Sementara bagi Eddi, dia menekankan pada sikap proaktif pemerintah Indonesia dalam membuat suatu regulasi, dalam hal ini adalah OJK dan Bank Indonesia. Menurutnya, regulasi mengenai bisnis fintech di Indonesia saat ini memang belum lengkap, namun sikap yang ditunjukkan regulator memperlihatkan bahwa mereka sangat memerhatikan kondisi terkini.

Dalam proses pembuatan regulasi pun, regulator seringkali mendiskusikan terlebih dahulu dengan para pemain untuk dimintai masukan sebagai bahan dasar pertimbangan. Eddi menyarankan kepada para investor untuk mempelajari dengan betul bagaimana aturan main di Indonesia.

Sektor startup lainnya yang berpotensi akan besar

Eddi melanjutkan, dirinya melihat ada potensi yang besar dari sektor big data dan keamanan data. Dua sektor ini dinilai akan menunjang bisnis layanan keuangan Indonesia. Tak hanya itu, keamanan data juga disebut Quaquebeke bakal dibutuhkan ke depannya, terutama untuk menunjang sektor Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Sementara itu, Roderick memprediksi bahwa sektor startup yang bakal pesat ke depannya adalah machine learning, sebab hal ini dapat membantu startup untuk scale up.

Adapun bagi Abraham, beberapa sektor startup yang bakal menarik adalah fintech, healthtech, dan edutech. Ia menilai sudah ada beberapa startup yang bergerak di sektor tersebut hanya saja, menurutnya, masih ada pasar yang belum dijangkau oleh mereka.

Setelah Moka, Mandiri Capital Siap Berinvestasi di Startup P2P Lending

Setelah mengumumkan investasi baru untuk Moka, Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha pembiayaan modal ventura dari PT Bank Mandiri, bakal mengumumkan satu investasi terbaru untuk perusahaan fintech yang bergerak di P2P lending.

Rencana ini akan diumumkan pada tiga minggu ke depan, identitas perusahaan pun juga masih dirahasiakan. Pendanaan tersebut nantinya akan dilakukan berbentuk sindikasi bersama dengan perusahaan modal ventura lainnya.

Selain itu hingga pertengahan tahun ini, MCI juga akan mengincar satu perusahaan dari sistem pembayaran, satu lagi dari SME solution. Ditargetkan sampai semester I 2017, MCI akan menyuntikkan dana segar untuk tiga hingga empat perusahaan fintech baru untuk masuk ke dalam portofolio investasi MCI.

Untuk semester II 2017, jumlah perusahaan yang akan mendapat investasi kurang lebih akan sama. Diharapkan total perusahaan baru yang mendapat investasi dari MCI sepanjang 2017 menjadi 8-10 perusaahaan.

Seluruh perusahaan fintech yang dibidik MCI bergerak di sistem pembayaran, lending, dan SME solution. Ketiga segmen ini diharapkan dapat menopang proses bisnis Bank Mandiri dan anggota Grup Bank Mandiri lainnya.

“Dalam waktu dekat kami akan umumkan investasi terbaru MCI yang bergerak di P2P lending. Semua perusahaan yang kami investasikan sebelumnya sudah melewati berbagai pertimbangan, yang terutama adalah bentuk sinerginya dengan Bank Mandiri maupun perusahaan di bawah Grup Bank Mandiri,” kata Direktur Keuangan MCI Hira Laksamana, Senin (20/2).

Untuk mendukung seluruh aktivitas MCI, Bank Mandiri sebagai induk usaha akan menyuntikkan dana segar sebesar Rp 200 miliar. Dari penambahan dana ini diharapkan total dana kelolaan MCI bisa menembus angka Rp 550 miliar. Saat ini dana kelolaannya sebesar Rp 350 miliar.

Mendukung bisnis Bank Mandiri

Alasan MCI menempatkan investasinya di Moka, lanjut Hira, dikarenakan segmen bisnis Moka yang bergerak untuk mendukung SME solution. Dengan jaringan nasabah UMKM Bank Mandiri yang mencapai 1,2 juta orang, diharapkan akan mendapatkan manfaat dari POS (point of sales) dan solusi pembayaran yang disediakan Moka.

Hira mengungkapkan setiap bulannya penambahan nasabah UMKM baru di Bank Mandiri sekitar 50 ribu orang. Diharapkan sekitar 5%-10% di antaranya dapat memanfaatkan produk Moka dalam membantu proses bisnis mereka.

Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo menambahkan salah satu bentuk integrasi bisnis antara Moka dengan Bank Mandiri terlihat dari produk mPOS Card Reader. Lewat produk ini, memungkinkan pemilik usaha UMKM dapat menerima pembayaran lewat kartu debit dan kredit dari Bank Mandiri.

Saat ini jumlah pemilik usaha UMKM yang sudah menggunakan layanan Moka sudah lebih dari 2.500 toko sejak perusahaan ini diresmikan pada Februari 2015. Diharapkan sinergi dengan MCI bisa mendorong Moka tumbuh lebih agresif tahun ini.

“Masuknya MCI jadi investasi strategis untuk bantu visi Moka dalam membantu UMKM di Indonesia. Potensi UMKM di Indonesia mencapai 60 juta orang, kebanyakan masih mengelola inventarisnya secara manual,” kata Haryanto.