KoinWorks dan Bank Sampoerna Meluncurkan Layanan Neobank untuk UMKM

Startup fintech KoinWorks dan PT Bank Sahabat Sampoerna (Bank Sampoerna) resmi meluncurkan KoinWorks NEO yang merupakan layanan neobank untuk segmen UMKM. KoinWorks NEO diklaim sebagai layanan neobank untuk UMKM yang pertama di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono mengatakan ingin membantu pelaku UMKM yang memiliki keterbatasan terhadap akses layanan keuangan melalui produk ini. Menurutnya, situasi tersebut melandasi kerja sama antara KoinWorks dan Bank Sampoerna.

UMKM merupakan salah satu fondasi ekonomi terbesar di Indonesia. Meski terus mengalami pertumbuhan usaha, UMKM termasuk segmen yang memiliki akses terhadap layanan keuangan, seperti modal dan rekening bank atas nama usaha.

Perusahaan menyebut hanya ada dua dari 100 UMKM yang mendapat pinjaman untuk modal usaha. Selain itu, masih banyak UMKM yang menggunakan rekening atas nama sendiri sehingga tercampur antara keperluan pribadi dan usaha.

“Setelah melalui proses perancangan yang cukup panjang dan serangkaian uji coba, dengan optimistis, kami memperkenalkan KoinWorks NEO untuk memenuhi kebutuhan para UMKM dalam satu aplikasi di KoinWorks,” ujarnya.

Baik KoinWorks dan Bank Sampoerna sama-sama memiliki misi yang sama untuk memberikan akses inklusi keuangan, pemberdayaan UMKM, dan pemerataan ekonomi di Indonesia. Kerja sama dinilai sebagai langkah strategis untuk mendukung UMKM di era perbankan digital.

“Kolaborasi dan transformasi digital mutlak dilakukan agar dapat memberikan layanan yang efektif dan efisien bagi UMKM. Kami bekerja sama dengan KoinWorks untuk mengembangkan one-stop banking solution bagi UMKM,” tutur Direktur Keuangan dan Perencanaan Bisnis Bank Sampoerna Henky Suryaputra.

Dihubungi secara terpisah, Henky mengungkap bahwa tidak ada komitmen dalam bentuk investasi pada kolaborasi ini, melainkan pemanfaatan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing, terutama teknologi. Menurutnya, pengembangan KoinWorks NEO terutama dilakukan oleh KoinWorks dengan berkoordinasi kepada Bank Sampoerna.

Sekadar informasi, KoinWorks awalnya berdiri di 2016 sebagai startup p2p lending yang memiliki fokus utama pada UMKM. Kini KoinWorks berkembang menjadi Super Financial App yang menawarkan berbagai layanan keuangan lain, seperti investasi dan pendanaan. Per Oktober 2021, KoinWorks tercatat memiliki 1,139 juta pengguna dengan total AUM Rp1,193 triliun.

Bank digital dan neobank

Bicara neobank, istilah ini sering diidentikkan sebagai bank digital di Indonesia. Tampaknya hal ini wajar mengingat pertumbuhan layanan keuangan dan bank digital tengah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. DailySocial.id sempat membahas perihal neobank dan bank digital dalam artikel terpisah. Kami baru mencoba memetakannya berdasarkan definisi mengingat bank digital dan neobank masih terbilang baru di Indonesia.

Berdasarkan definisi yang dipaparkan FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM. Nubank merupakan contoh neobank asal Brasil yang berhasil di dunia, dan bahkan terbesar di Amerika Latin dengan 38 juta pengguna.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional. 

Sementara itu, bank digital di kategori direct bank umumnya memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Model semacam ini telah banyak diadopsi oleh perbankan di Indonesia. Rata-rata pelaku bank digital di Indonesia saat ini menggunakan model akuisisi bank mini, mentransformasikannya dengan identitas baru, dan berkolaborasi sinergis dengan platform digital untuk membantu akselerasi layanannya, misalnya Bank Jago dengan Gojek dan Bank Neo Commerce dan Akulaku.

Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Mirza Adityaswara sebelumnya sempat menyampaikan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Neobank memiliki fitur-fitur inovatif dan customer centric, seperti AI dan machine learning, yang dapat membantu pengguna untuk mengakses layanan dan mengatur keuangan pribadi.

Di sisi lain, neobank juga berisiko besar terhadap serangan keamanan siber. Misalnya, risiko kebocoran data pribadi nasabah hingga kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.

Application Information Will Show Up Here

Bank Digital 101: Ecosystem and Future Prospect

In the last three years, the Indonesian banking industry has been stirred with the rise of digital banks, both in the form of new banks and conversions from existing banks. As a first step, the Government released a new regulation that is expected to accommodate the needs of digital bank players through the Financial Services Authority (OJK).

POJK Number 12/POJK.03/2021 contains various provisions related to the establishment of banks and capital. Among those are the provisions for the establishment of two types of digital banks. First, the establishment of a new bank as a digital bank and second, the transformation of existing commercial banks into digital banks

In addition, the new rules are also to provide clear boundaries regarding the digital banking business considering that this trend is still relatively new in the Indonesian banking industry.

In its efforts, digital banks continue to provide literacy, therefore, people understand the business and services they run. It is while taking advantage of digital finance rapid acceleration during the Covid-19 pandemic. Based on the FICO survey in 2020, 54% of Indonesian consumers prefer to use digital channels to interact with banks, 3% mobile banking, 7% internet banking, and 14% through telephone banking.

However, we cannot forget the large groups of Indonesian people who are more comfortable with financial transactions by visiting ATMs or branch offices.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) held a journalistic training to provide an in-depth understanding of digital banking. DailySocial had the opportunity to participate in the training held in Bali.

Several prominent observers participated, including the Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor Poltak Hotradero, and the Director of the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Digital bank perception

Many Indonesian people recognize digital banks as digital banking services. Also, considering it is still a brand-new business model, the understanding of digital banking is still considered blurry among the public.

Research Director of the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mentions a definition to significantly distinguish digital and conventional banks. He said, a digital bank is defined as a bank along with its services where we no longer need to think about where the head office, branch offices, the number of ATMs, including the number of employee.

Similar to the GoPay and OVO digital wallet platforms, we have no idea where the money stored. With a decade of internet and smartphone adoption phenomenon, he considered the banking business would remain the same, but the delivery is started shifting.

In his opinion, this perception is reasonable considering that people are used to transacting at banks. Bank is identified as financial institution with branch offices and head office. Unlike the pre-digital era, banking competition is clear from the bank efforts to build an ecosystem. In the context of conventional banks, its ecosystem is branch offices and ATMs.

To date, the use of ATM started to be irrelevant. People are getting used to making financial transactions through mobile banking platforms and digital wallets. The banking industry has experienced massive adoption during the pandemic.

Based on OJK data, a total of 2,593 branch office networks were closed from 2017 to August 2021. These branch offices are closed in line with the bank’s digital transformation as seen from the increasing volume of digital transactions.

Piter said, whether conventional banks have not transformed into digital banks today, it does not mean they have failed to digitize. It’s more of a competition failure. It should be noted, the banking advantage factor has changed, things excelled in the past, could be a burden in the era of the digital ecosystem.

“This is not a sprint, but a marathon, determined by resilience. Moreover, digital banking is still a brand-new trend in Indonesia. Therefore, this is the reason for established banks to be prepared, not directly face-to-face but through proxies or subsidiary,” said Piter.

The above explanation is a reminiscent of Bank Jago’s Founder Jerry Ng hypothesis when he decided to acquire Artos Bank and change its name. Jerry considered Bank Artos have quite small legacies (branch offices, ATMs, and HR). In this case, his team can develop technology from scratch instead of taking a bank with thousands of branch offices.

Digital bank study case

Moreover, the Indonesia Stock Exchange Business Development Advisor, Poltak Hotradero highlighted the digital ecosystem as one of the key factors in digital banks. He took several examples of successful digital banks in the world that apply a similar model, for example KakaoBank from South Korea.

KakaoBank was founded in 2016 and is owned by internet giant Kakao Corp. In its early days, KakaoBank recorded extraordinary achievements. Within five days, KakaoBank reached 1 million users.

KakaoBank also recorded financial performance above the industry average. For example, deposit growth was at 13.65% from the industry average at 11.98%. Also, KakaoBank’s NPL was at 0.26% where the industry reached 1.78%. Meanwhile, income fee reached 30.16% of the industry’s 28.02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Source: Boston Consulting Group

For Poltak, KakaoBank’s success also influenced by the large digital ecosystem owned by its parent company. Kakao has a diverse service portfolios, such as chat services, fintech, e-commerce, and games.

“The internet evolution has brought changes in people and money. Machines are integrated with each other thanks to the internet. This is the foundation for the development of digital banks where payments, liquidity, and analytics will be in the cloud. In other words, technology enables banks [digital] to be able to scale up faster,” he said.

In the future, Poltak mentioned the competition of three types of banks, conventional banks, digital banks, and embedded banks. He defines embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) as a service that has been operating digitally since day one and has entered the (native) ecosystem. He also said that embedded banks would become part of the plumbing system for corporate or individual financial services.

Source: FT Partners Research

“Digital platforms will facilitate synergies with other digital financial services, such as investment and insurance services. However, it is important to note that the biggest cost and risk of the digital transition is failure to maintain market share and segments. These factors can turn banks irrelevant,” he added.

Therefore, he highlighted that digitalization is a competitive necessity. We should not let the financial sector only delegate its role through banks, given the huge business potential and services. He believes market expansion is important for developing digital banks considering a large number of unexplored market segments in Indonesia and can only be served through digital.

Digital bank projection

According to his study, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira divides digital banks into three models, direct banks, neobanks, and challenger banks.

He explained that direct banks enlarge opportunities for banking services, such as savings and digital loan channeling. Furthermore, neobank operates as a fully digital bank, without branch offices, but with a mobile application. Meanwhile, challenger banks are said to be revolutionizing the way transactions, new loan models, and personal finance.

Bhima said the global potential accumulation of challenger bank and neobank markets could reach $578 billion in 2027, according to a Medici Research report.

We try to take other sources to provide a thorough definition, especially on neobanks and challenger banks. Citing from FinTech Magazine, neobank offers flexibility to various services, including payroll and expense management. In addition, neobank also offers corporate financial solutions to address the challenges of MSMEs.

The API presence helps to integrate business flows with banking requirements. However, neobanks do not have a banking license as they operate by relying on partner banks. Therefore, they cannot offer traditional banking services.

Meanwhile, challenger banks use technology to streamline the banking process. However, challenger banks also maintain a physical presence to operate fintech services. The challenger banks scope is generally much smaller than the mainstream banking sector. It is estimated that there are currently 100 challenger banks globally.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Unlike neobank, challenger bank has a bank license and can offer customers a wide range of traditional and digital banking services. These traditional banking services can be accessed and utilized more accommodatively than commercial banks.

Furthermore, Bhima considered that digital banks offer a number of advantages, both for individuals and business players. At the individual level, digital banks increase customer literacy in other financial products, such as investments. According to World Bank data in 2020, the share of stock market capitalization to GDP is still relatively small. The emergence of digital banks is projected to encourage investment interest.

In addition, digital banks can encourage financial control efforts in the MSME sector with financial transparency and efficiency. Moreover, business players can get access to financing channeled by digital banks through channeling schemes.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
Neobank evolution . Source: PwC

“To date, banks do not compete with technology, but with high interest rates. Moreover, digital bank suddenly appeared, offering easy services and access to capital. Currently, Indonesia has 65 million MSMEs and some of them are yet to receive loans. Digital banks can add to that financing capacity. If Indonesia wants to restore the economy to the level of 5%, its credit growth must triple,” he explained.

Based on data-driven credit scoring, digital banks can continue to grow by extending credit to unbankable segments. In the future, this loan disbursement can use the customer transaction rating indicator on e-commerce, food delivery, or ride-hailing platforms.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Belajar Bank Digital, Ekosistem, dan Prospek di Masa Depan

Dalam tiga tahun terakhir, industri perbankan Indonesia diramaikan dengan geliat pendirian bank digital, baik berbentuk bank baru maupun konversi dari bank yang sudah ada (existing). Sebagai langkah awal, Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis aturan baru yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pelaku-pelaku bank digital.

POJK Nomor 12/POJK.03/2021 memuat berbagai ketentuan terkait pendirian bank dan modal. Di antaranya adalah ketentuan pendirian dua jenis bank digital. Pertama, pendirian bank baru sebagai bank digital dan kedua, transformasi bank existing umum menjadi bank digital

Di samping itu, aturan baru juga untuk memberikan batasan yang jelas terkait bisnis bank digital mengingat tren ini masih terbilang baru di industri perbankan Indonesia.

Dalam upayanya, bank digital terus melakukan literasi agar masyarakat memahami bisnis dan layanan yang mereka jalankan. Ini sembari memanfatkan momentum akselerasi keuangan digital yang pesat saat pandemi Covid-19. Berdasarkan survei FICO di 2020, 54% konsumen Indonesia lebih suka memakai kanal digital untuk berinteraksi dengan bank, 3% mobile banking, 7% internet banking, dan 14% lewat telepon banking.

Namun, kita tidak bisa melupakan bahwa masih besar kelompok masyarakat di Indonesia yang lebih nyaman bertransaksi keuangan dengan mendatangi ATM maupun ke kantor cabang bank.

PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) menggelar pelatihan jurnalistik demi memberikan pemahaman mendalam perihal bank digital. DailySocial berkesempatan mengikuti pelatihan yang digelar di Bali ini.

Beberapa pengamat terkemuka turut berpartisipasi, antara lain Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero, dan Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira.

Persepsi bank digital

Tak sedikit masyarakat di Indonesia yang mengenali bank digital sebagai layanan digital banking. Lagi-lagi mengingat model bisnisnya masih baru, pemahaman terhadap bank digital pun dinilai masih kabur di kalangan masyarakat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memberikan satu definisi yang sekiranya mampu membedakan bank digital dan bank konvensional secara signifikan. Menurutnya, bank digital didefinisikan sebagai bank beserta layanan yang mana kita tidak perlu lagi memikirkan di mana kantor pusat, kantor cabang, jumlah ATM, termasuk jumlah orang yang mengoperasikan.

Sama seperti platform dompet digital GoPay dan OVO, kita tak perlu tahu di mana uangnya disimpan. Dengan fenomena adopsi internet dan smartphone selama satu dekade ini, ia menilai bahwa bisnis bank akan tetap sama, tetapi delivery-nya saja yang kini mulai berbeda.

Menurutnya, persepsi ini wajar mengingat masyarakat terbiasa bertransaksi di bank. Bank diidentikkan sebagai lembaga keuangan dengan kantor cabang dan kantor pusat. Berbeda dengan era sebelum digital, persaingan perbankan dapat terlihat dari upaya bank membangun ekosistem. Dalam konteks bank konvensional, ekosistem mereka adalah kantor cabang dan ATM.

Kini perlahan-lahan keberadaan mesin ATM mulai tidak relevan. Orang-orang mulai terbiasa bertransaksi keuangan melalui platform mobile banking maupun dompet digital. Adopsi besar-besaran ini dinikmati industri perbankan selama masa pandemi.

Berdasarkan data OJK, sebanyak 2.593 jaringan kantor cabang ditutup dari 2017 hingga Agustus 2021. Penutupan kantor cabang ini selaras dengan transformasi digital bank yang terlihat dari meningkatnya volume transaksi secara digital.

Menurut Piter, di situasi sekarang apabila bank konvensional belum bertransormasi ke arah bank digital, tidak berarti mereka gagal melakukan digitalisasi. Ini lebih kepada kegagalan kompetisi. Perlu dicatat, faktor keunggulan perbankan sudah berubah, yang unggul di masa lalu, bisa jadi beban di era ekosistem digital.

“Ini bukan lomba lari cepat, tetapi maraton, ketahanan yang menentukan. Lagipula, bank digital masih jadi tren baru di Indonesia. Makanya, ini alasan bank-bank yang sudah mapan mempersiapkan diri, tapi tidak langsung face-to-face melainkan lewat proxy atau anak usahanya,” papar Piter.

Paparan di atas sedikit mengingatkan pada hipotesis Pendiri Bank Jago Jerry Ng ketika memutuskan mencaplok Bank Artos dan mengganti namanya. Jerry menilai Bank Artos tidak memiliki banyak legacy (kantor cabang, ATM, dan SDM). Dengan kondisi ini, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari awal ketimbang mengambil bank yang sudah punya ribuan kantor cabang.

Studi kasus bank digital

Pada paparan berikutnya, Advisor Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menyoroti ekosistem digital sebagai salah satu faktor kunci pada bank digital. Ia mengambil beberapa contoh bank digital sukses di dunia yang menerapkan model serupa, misalnya KakaoBank asal Korea Selatan.

KakaoBank berdiri di 2016 dan dimiliki oleh perusahaan raksasa internet Kakao Corp. Pada awal kemunculannya, KakaoBank mencatatkan pencapaian yang luar biasa. Dalam lima hari, KakaoBank mengantongi 1 juta pengguna.

KakaoBank juga mencatat kinerja keuangan di atas rata-rata industri. Misalnya, pertumbuhan deposit sebesar 13,65% dari rerata industri 11,98%. Kemudian, NPL KakaoBank juga sebesar 0,26% di mana industri mencapai 1,78%. Sementara, pendapatan fee mencapai 30,16% dari industri 28,02%.

Sumber: Boston Consulting Group
Sumber: Boston Consulting Group

Menurut Poltak, keberhasilan KakaoBank tak lepas dari ekosistem digital besar yang dimiliki perusahaan induknya. Kakao memiliki portofolio layanan beragam, seperti layanan chat, fintech, e-commerce, dan game.

“Evolusi internet membawa dampak perubahan pada manusia dan uang. Mesin-mesin juga saling berinteraksi berkat internet. Ini menjadi pondasi perkembangan bank digital di mana nantinya pembayaran, liquidity, dan analytics berada di awan (cloud). Dengan kata lain, teknologi memampukan bank [digital] untuk bisa scale up lebih cepat,” tuturnya.

Di masa depan, Poltak menyebutkan tiga jenis bank yang bakal berkompetisi antara lain bank konvensional, bank digital, dan embedded bank. Poltak mendefinisikan embedded bank (Bank-as-a-Service/BaaS) sebagai layanan yang sejak awal sudah beroperasi secara digital dan masuk ke ekosistem (native). Ia juga menilai embedded bank akan menjadi bagian dari plumbing system jasa keuangan korporasi atau individu.

Sumber: FT Partners Research

“Platform digital akan memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya, misalnya layanan investasi dan asuransi. Namun perlu dicatat, biaya dan risiko terbesar dari transisi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa dan segmen pasar. Faktor tersebut dapat membuat bank menjadi tidak relevan,” tambahnya.

Maka itu, ia menggarisbawahi bahwa digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Jangan sampai sektor keuangan hanya diserahkan perannya lewat bank saja mengingat potensi bisnis dan layanannya begitu besar. Ia meyakini perluasan pasar penting untuk mengembangkan bank digital mengingat masih ada segmen pasar yang belum tergarap di Indonesia dan hanya bisa dilayani lewat digital.

Proyeksi bank digital

Menurut studinya, Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira membagi bank digital ke dalam tiga model, yakni direct bank, neobank, dan challenger bank.

Ia memaparkan, direct bank memperbesar peluang layanan perbankan, seperti tabungan dan channeling pinjaman digital. Kemudian, neobank beroperasi sebagai bank yang full digital, tanpa kantor cabang, dan memiliki aplikasi mobile. Sementara, challenger bank dikatakan merevolusi cara transaksi, model pinjaman baru, dan personal finance.

Bhima mengungkap, potensi akumulasi pasar challenger bank dan neobank secara global dapat mencapai $578 miliar di 2027 menurut laporan Medici Research.

Kami mencoba mengambil sumber lain untuk memberikan definisi lebih dalam, terutama pada neobank dan challenger bank. Mengutip FinTech Magazine, neobank menawarkan fleksibilitas ke berbagai layanan, termasuk payroll dan expense management. Selain itu, neobank juga menawarkan solusi keuangan korporasi untuk menjawab tantangan yang dihadapi UMKM.

Kehadiran API membantu mengintegrasikan alur bisnis dengan persyaratan perbankan. Kendati begitu, neobank tidak punya lisensi perbankan karena mereka beroperasi dengan mengandalkan bank mitra. Dengan demikian, mereka tidak dapat menawarkan layanan perbankan tradisional.

Sementara challenger bank memanfaatkan teknologi untuk merampingkan proses perbankan. Namun, challenger bank juga mempertahankan kehadiran fisik untuk mengoperasikan layanan fintech. Sekop challenger bank umumnya jauh lebih kecil dibandingkan pada sektor perbankan mainstream. Diperkirakan ada 100 challenger bank secara global saat ini.

Director Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bima Yudhistira / Bank Jago

Berbeda dengan neobank, challenger bank memiliki lisensi bank dan dapat menawarkan nasabah terhadap berbagai macam layanan perbankan tradisional dan digital. Layanan perbankan tradisional ini juga dapat diakses dan dimanfaatkan lebih akomodatif dibandingkan bank umum.

Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa bank digital menawarkan sejumlah keunggulan, baik untuk individu maupun pelaku usaha. Di level individu, bank digital meningkatkan literasi nasabah terhadap produk keuangan lainnya, misalnya investasi. Menurut data World Bank di 2020, porsi kapitalisasi pasar saham terhadap PDB masih relatif kecil. Kemunculan bank digital diproyeksi dapat mendorong minat investasi.

Selain itu, bank digital dapat mendorong upaya pengendalian keuangan di sektor UMKM dengan transparansi dan efisiensi keuangan. Apalagi, pelaku usaha juga bisa mendapatkan akses terhadap pembiayaan yang disalurkan bank digital melalui skema channeling.

The evolution of neobank / Sumber: PwC
The evolution of neobank / Sumber: PwC

“Selama ini bank tidak bersaing dengan teknologi, tapi dengan gede-gedean bunga. Lalu, tiba-tiba muncul bank digital yang menawarkan kemudahan layanan dan akses permodalan. Saat ini Indonesia punya 65 juta UMKM dan sebagian dari mereka belum dapat pinjaman. Bank digital dapat menambah kapasitas pembiayaan itu. Apabila Indonesia ingin memulihkan perekonomian ke level 5%, pertumbuhan kreditnya harus naik tiga kali lipat,” jelasnya.

Dengan berbasiskan data-driven credit scoring, bank digital dapat terus berkembang dengan menyalurkan kredit ke segmen yang belum terjamah. Di masa depan, penyaluran kredit ini dapat memakai indikator rating transaksi nasabah di platform e-commerce, food delivery, atau ride hailing.

Aspire Tutup Pendanaan Seri B 2,2 Triliun Rupiah, Sediakan OS Keuangan “All-In-One” untuk UKM

Startup neobank asal Singapura Aspire mengumumkan perolehan pendanaan seri B sebesar $158 juta (lebih dari 2,2 triliun Rupiah), dalam bentuk ekuitas sebesar $58 juta dan debt sebesar $100 juta. Putaran ini dipimpin oleh investor ekuitas pertumbuhan global yang berfokus pada fintech dengan identitas dirahasiakan.

Turut berpartisipasi jajaran investor lainnya, seperti DST Global Partners, CE Innovation Fund, B Capital Partners dan investor sebelumnya, yakni Mass Mutual Ventures, Picus Capital, AFG dan Hummingbird Ventures. Sementara, untuk investor debt berasal dari Fasanara Capital.

Putaran ini juga melibatkan angel investor dari beberapa startup fintech ternama, seperti co-founder Wise, Taavet Hinrikus; co-founder Qonto Alexandre Port dan Steve Anavi; founder Uala, Pierpaolo Barbieri; co-founder Xendit, Moses Lo; co-founder Payfazz, Hendra Kwik; dan co-founder Clara, Gerry Colyer.

Aspire didirikan pada 2018 untuk memberikan pinjaman modal kerja bagi usaha kecil hingga menengah, tetapi segera setelah didirikan, perusahaan mulai mengambil strategi multi-produk. Portofolio layanannya mencakup rekening bank untuk bisnis lintas batas (cross border), kartu perusahaan, dan pemrosesan faktur otomatis, yang semuanya terhubung ke perangkat lunak manajemen keuangan. Perusahaan juga mengoperasikan layanan penggabungan untuk perusahaan Singapura yang disebut Aspire Kickstart.

“Apa yang kami coba lakukan adalah menghubungkan layanan perbankan tradisional dengan perangkat lunak karena kami menyadari masalah terbesar, bahwa keduanya benar-benar terputus,” ujar Co-founder dan CEO Aspire Andrea Baronchelli mengutip dari TechCrunch.

Dia melanjutkan, “Kami melihat dunia yang didominasi oleh platform terintegrasi di berbagai fungsi bisnis seperti Salesforce untuk penjualan atau Slack untuk komunikasi. Kami percaya hal yang sama terjadi untuk keuangan dan kami di sini untuk membangun sistem operasi untuk ekonomi digital Asia Tenggara.”

Sumber: Aspire

Berdasarkan riset produk perusahaan dan wawancara dengan mitra bisnis, Baronchelli mengatakan bahwa rata-rata UKM menggunakan tujuh penyedia untuk rekening bank mereka, solusi kredit, valuta asing, manajemen faktur dan penggajian dan akuntansi. Tujuan Aspire adalah menjadi solusi terpadu dan menyeluruh untuk UKM.

Sebagian besar pelanggan Aspire mendaftar ketika mereka membutuhkan akun bisnis atau kartu perusahaan pertama mereka, dan kemudian mulai menggunakan produk lainnya saat mereka tumbuh. Untuk UKM besar yang sudah memiliki akun bisnis, Aspire mencoba menarik perhatian mereka dengan produk bernilai tambah, seperti perangkat lunak manajemen pengeluaran atau solusi kreditnya.

Kartu kredit dan pinjaman modal kerja Aspire biasanya mulai dari sekitar $50.000 dan dapat mencapai $300.000, tetapi dapat disesuaikan seiring pertumbuhan bisnis untuk meningkatkan jalur kredit. Lebih dari 10.000 akun bisnis telah dibuka di Aspire, dan secara total mereka bertransaksi sekitar $2 miliar per tahun, dua kali lipat dalam lima bulan sejak Mei 2021.

Aspire saat ini sedang mengembangkan sistem penggajian, mengingat banyak kliennya memiliki karyawan di berbagai negara. Solusi ini juga menambahkan lebih banyak fitur ke alat manajemen faktur untuk membuat pembayaran rekonsiliasi dengan saldo akun lebih mudah.

Selain di Singapura, Aspire juga beroperasi di Vietnam dan Indonesia (dengan nama Alumak). Di Indonesia, saat ini perusahaan menawarkan produk limit kredit untuk UMKM dengan nominal mulai dari Rp2 juta dengan bunga 1% per bulan. Perusahaan akan merilis layanan Akun Bisnis yang sebelumnya sudah hadir di Singapura. Produk ini memungkinkan pengusaha untuk menerima dan mengirim uang melalui aplikasi Alumak dan Kartu Visa Aspire. Di OJK, Alumak telah terdaftar di bawah aturan IKD.

Tren pembiayaan produktif

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Crowdo Announces Bank Neo Commerce as Its Digital Bank Prime Partner

Fintech startup Crowdo announced a partnership with Bank Neo Commerce (BNC) to increase SME financing. This is Crowdo’s first-ever partnership since declaring itself a neobank service.

In an interview with DailySocial, Crowdo’s Group CEO, Reona Shimada explained, they offer comprehensive digital technology and infrastructure for digital banks in this partnership, and it will take a long time if it’s to be built independently.

BNC has access to technology such as an AI-powered credit scoring engine that Crowdo engine has built and trained for three years. It is said that Crowdo’s portfolio performed up to 70% better with this tool than traditional bank loans for SMEs during the pandemic.

In addition, access to the whole digital onboarding process and end-to-end underwriting, and supporting the digitization mission for digital banks. “By combining these two DNAs, it makes digital banks more efficient in their business processes. They can immediately experience the impact of the business as they get an acquisition channel,” Shimada said.

Technically, the onboarding process for SMEs in obtaining loans is done through the Crowdo platform. If the results of the assessment match the criteria targeted by BNC, then they will make the loan. Shimada explained that this approach is different from loan channeling, as is done by banks with p2p lending companies in general.

“Crowdo is more focused on digital solutions for SMEs, not just financing. SMEs can digitize their operations and get financial products. ”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Crowdo and BNC agreement signing / Crowdo

In terms of monetization, Shimada was reluctant to reveal further detail. However, he said an example, in general cooperation between companies as this one usually uses commission share (share fee).

The company is expected to announced two other digital banks sooner this year. Previously disclosed, Crowdo targets to help SMEs digitize supply chain transactions worth more than Rp14 trillion and access loans and other financial products.

Through the Digitalization Platform service, it allows SMEs to open bank accounts in a simple and fast way, manage all invoices and purchase orders digitally, and request/receive payments.

Meanwhile, for financial products, there are three products, paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) and working capital loans. Early Payment or in the industry better known as invoice financing, this loan is intended for prepayments based on bills issued and purchase orders. Meanwhile, Micro Pay Later for small bills and unexpected payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Crowdo Umumkan Bank Neo Commerce sebagai Mitra Perdana Bank Digital

Startup fintech Crowdo mengumumkan kemitraan dengan Bank Neo Commerce (BNC) untuk peningkatan pembiayaan UKM. Ini adalah kemitraan perdana bagi Crowdo sejak mendeklarasikan diri sebagai layanan neobank.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, dalam kemitraan ini mereka menawarkan teknologi dan infrastruktur digital secara menyeluruh buat bank digital, yang mana bila dibangun sendiri akan memakan waktu yang lama.

BNC mendapat akses teknologi seperti mesin skoring kredit bertenaga AI yang sudah dibangun dan dilatih engine Crowdo selama tiga tahun. Diklaim dengan alat ini, kinerja portofolio Crowdo lebih baik hingga 70% daripada pinjaman tradisional bank untuk UKM selama pandemi.

Selain itu, akses proses onboarding digital secara keseluruhan dan underwriting dari ujung ke ujung, sehingga mendukung misi digitalitasi buat bank digital. “Dengan mengawinkan dua DNA ini membuat bank digital jadi lebih efisien proses bisnisnya, merekapun dapat segera merasakan dampak bisnis karena mendapat channel akuisisi,” kata Shimada.

Secara teknis, proses onboarding UKM dalam mendapatkan pinjaman dilakukan melalui platform Crowdo. Apabila hasil penilaiannya sesuai dengan kriteria yang diincar BNC, maka merekalah yang akan melakukan pinjaman. Shimada menjelaskan, pendekatan ini berbeda dengan loan channeling, seperti yang dilakukan perbankan dengan perusahaan p2p lending pada umumnya.

“Crowdo lebih fokus pada solusi digital untuk UKM, tidak hanya sekadar pembiayaan saja. UKM bisa melakukan digitalisasi operasional dan mendapat produk keuangan.”

Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo
Penandatanganan kerja sama Crowdo dan BNC / Crowdo

Untuk monetisasinya, Shimada enggan menjelaskan lebih detail. Namun ia memberi contoh, pada umumnya kerja sama antar perusahaan seperti ini menggunakan pembagian komisi (share fee).

Dua bank digital lainnya diharapkan dapat segera diumumkan perusahaan sepanjang tahun ini. Sebelumnya diungkapkan, Crowdo menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan UKM membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

Crowdo Kini Menjadi Neobank, Perluas Solusi Digital untuk UKM

Di balik besarnya potensi digitalisasi UKM Indonesia, masih menyimpan banyak isu yang ternyata tak cukup dengan kehadiran solusi p2p lending saja. Alasan tersebut yang menginisiasi Crowdo untuk perluas layanannya dan menobatkan diri menjadi neobank dari awalnya penyedia pinjaman p2p.

Menjadi neobank, bukan berarti Crowdo memegang lisensi bank digital. Perusahaan telah mengantongi izin penuh dari OJK sejak akhir tahun lalu sebagai p2p lending. Dalam menyediakan solusi yang ada, perusahaan bermitra dengan lembaga keuangan lainnya.

Neobank dan bank digital punya perbedaan konsep. Neobank adalah lembaga keuangan digital yang produk-produknya adalah hasil kemitraan dengan lembaga keuangan lainnya, salah satunya perbankan. Sementara, bank digital secara teorinya adalah bank-bank yang sudah ada mendigitalkan layanannya. Mereka biasanya memiliki lisensi untuk melakukan kegiatan pengambilan simpanan.

Group CEO Crowdo Reona Shimada menjelaskan, perusahaan selalu berambisi menjadi institusi finansial, lending adalah salah satu produknya. Dari sisi konsumen UKM, masih banyak solusi yang mereka butuhkan. “Jika melihat dari tren fintech di global, neobank itu sangat consumer-centric. Produknya simpel dan seamless consumer journey-nya,” terangnya dalam wawancara terbatas bersama sejumlah media, kemarin (24/2).

Ditegaskan kembali oleh COO Crowdo Indonesia Nur Vitriani, dengan menjadi neobank artinya Crowdo menjadi katalis buat industri keuangan digital karena membawa inovasi baru dengan proses yang lebih simpel. Perusahaan tengah berdiskusi dengan tiga bank digital hadir di platform Crowdo.

Hanya saja, identitas dari ketiga bank ini masih dirahasiakan. “Kita sedang proses dengan tiga bank digital untuk onboarding di Crowdo. Bagi mereka, karena kami sudah punya teknologi AI tentu akan sangat membantu mereka daripada harus bangun sendiri,” terangnya saat dihubungi DailySocial, Kamis (24/2).

Sebagai neobank, Crowdo menyediakan solusi keuangan digital UKM dengan mengintegrasikan digitalisasi operasional dengan solusi pinjaman dan perbankan yang dibantu mesin penilaian kredit bertenaga AI. Serta, produk dan layanan yang didorong prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang positif.

Produk Crowdo saat ini

Ada dua solusi utama yang ditawarkan, yakni digitalisasi operasional dan produk keuangan, baik itu pinjaman dan fitur perbankan. Keduanya adalah masalah yang paling mendesak yang dihadapi UKM.

Saat ini, sebagian besar UKM di Indonesia mengelola data dan transaksinya secara offline dan manual. Hal ini mengakibatkan produktivitas yang buruk karena pemilik bisnis haru menghabiskan banyak waktu untuk masalah nonkomersial. Crowdo menawarkan solusi digital sederhana yang memungkinkan UKMK dengan mudah mengelola transaksi supply chain secara online dan mengakses produk keuangan lebih mudah.

Perusahaan menargetkan dapat membantu UKM mendigitalisasi transaksi supply chain yang bernilai lebih dari Rp14 triliun dan mengakses pinjaman dan produk keuangan lainnya.

Melalui layanan Platform Digitalisasi memungkinkan perusahaan untuk membuka rekening bank dengan cara sederhana dan cepat, mengelola semua invoice dan pesanan pembelian secara digital, dan meminta/menerima pembayaran.

Sementara itu, untuk produk keuangan, terdiri dari tiga produk, ialah paylater (i.e. Early Payment, Micro Pay Later) dan pinjaman modal kerja. Early Payment atau di industri lebih dikenal dengan istilah invoice financing, pinjaman ini diperuntukkan buat pembayaran di muka berdasarkan tagihan yang diterbitkan dan pesanan pembelian. Sementara, Micro Pay Later untuk tagihan kecil dan pembayaran terduga.

“Pinjaman Modal Kerja untuk mendukung proyek yang lebih besar dan persyaratan modal kerja bisa bantu UKM mengembangkan bisnisnya,” tambah Vitri.

Ke depannya, perusahaan akan menambah layanan digital lebih jauh untuk UKM. Misalnya manajemen biaya operasional, pengaturan tagihan, dan penggajian karyawan.

Adapun saat ini perusahaan telah memiliki 76 ribu pengguna per Desember tahun lalu dengan total penyaluran di kisaran Rp600 miliar. Pada tahun ini, perusahaan memiliki target ingin mendigitalkan $1 miliar dalam transaksi supply chain yang difasilitasi melalui komunitas UKM dan melipatgandakan penyaluran pinjaman hingga dua kali lipat menjadi Rp1,2 triliun.

Untuk lender Crowdo, saat ini sepenuhnya adalah lender institusi, yang datang dari perbankan atau multifinance. “Mereka melihat teknologi AI yang kami tawarkan untuk credit scoring engine yang mana ini sangat berguna terutama saat pandemi untuk mengurangi risiko NPL. Kami berhasil menahan laju NPL di bawah rata-rata perbankan,” kata Shimada.

Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo
Group CEO Crowdo Reona Shimada / Crowdo

Tahan ekspansi

Secara grup, Crowdo telah beroperasi di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Shimada menerangkan, ketiga negara ini saling berkontribusi satu sama lain dalam menginspirasi setiap inovasi perusahaan. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia punya kemiripan dari sisi regulatornya yang progresif untuk mendorong inovasi di industri fintech.

Sementara Singapura, lebih terbatas dalam ukuran pasar, tapi memiliki sumber daya yang langkap seperti data scientis. “Berada di tiga pasar ini, Crowdo sangat diuntungkan, Crowdo Indonesia melayani pasar terbesar di ASEAN sambil mengakses kemampuan yang kuat dari pasar kami yang lain.”

Terkait rencana ekspansi ke negara baru, belum menjadi suatu agenda yang diharuskan oleh perusahaan mengingat pandemi yang masih berlangsung. Namun, ia melihat permintaan yang kuat untuk solusi neobanking di pasar seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand dan ia secara proaktif melihat peluang masuk ke sana. “Indonesia akan tetap menjadi fokus utama kami.”

Dalam mendorong target perusahaan, diungkapkan bahwa saat ini Crowdo sedang memroses penggalangan Seri B. “Yang penting bagi kami adalah kami memiliki sekelompok investor yang bersemangat dengan misi kami untuk bergabung dalam putaran penggalangan dana,” tutup dia.

Masa Depan Neobank di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan populasi 270 juta penduduk yang adoptif dengan teknologi. Meskipun demikian, solusi keuangan digital di Indonesia belum diimplementasikan secara maksimal. Dengan pengguna internet hampir 197 juta orang atau 73.7% dari seluruh populasi, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Pasifik dengan pasar digital yang belum terlayani secara keseluruhan.

Saat ini, 66% dari total populasi Indonesia tidak memiliki akses keuangan. Neobank dan bank digital mempunyai potensi untuk memberikan solusi keuangan kepada mereka yang membutuhkan akses pada kredit dan pinjaman. Neobank memiliki layanan yang berbeda dari bank biasa/tradisional untuk para pelanggan: bunga rendah dan tanpa biaya biaya yang besar, juga metode transaksi yang berbeda.

Berdasarkan riset, 63% nasabah perbankan di negara negara APAC diperkirakan akan mengadopsi layanan neobank pada tahun 2025, dan menjadikannya sebagai solusi pilihan untuk bertransaksi secara digital. Dengan angka penetrasi digital dan jumlah investasi ramah digital (digital friendly investment) yang tinggi, apakah Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan neobank tertinggi?

Tentu saja neobank bisa didirikan dari perusahaan non-bank dan saat ini pasar fintech tersebut sedang berkembang di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar dan ancaman kepada perbankan tradisional untuk segera mempercepat proses mereka di bidang teknologi dan melayani pelanggan secara digital.

Apakah ekosistem keuangan Indonesia siap untuk digitalisasi?

Menurut INDEF, 40 dari total 110 bank di Indonesia berpotensi menjadi neobank di masa mendatang. Beberapa dari 40 bank ini telah menciptakan ekosistem digital, sehingga mereka akan lebih mudah beralih menjadi neobank. Namun, hal ini juga perlu didukung kemampuan teknologi di bidang solusi pinjaman kredit dan optimalisasi pertukaran informasi. Pertumbuhannya dinilai masih belum maksimal.

Perusahaan fintech seperti CredoLab, satu-satunya perusahaan penilaian skor kredit alternatif digital berdasarkan metadata smartphone, sangat berperan untuk menjembatani kekurangan ini. Pandemi juga telah membantu percepatan adopsi solusi fintech, keuangan dan transaksi digital, e-commerce, e-wallet, dan e-money di Indonesia.

Secara populasi, sebagian masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada metode perbankan tradisional dan terbiasa mengunjungi fasilitas fisik untuk melakukan transaksi.

Beberapa bank ternama telah membuat solusi perbankan digital seperti Bank BTPN dengan Jenius, Bank Permata dengan PermataMe, Bank UOB dengan TMRW dan yang terbaru adalah Bank Jago dan Bank BCA dengan Bank Royal. Meskipun begitu, akses ke pinjaman yang mudah dan tidak berbelit-belit akan mendorong orang Indonesia untuk memilih layanan digital di kemudian hari.

Layanan perbankan digital dipercepat di era pandemi ini dan membuat masyarakat terbiasa menggunakan layanan digital. Ada tiga karakteristik neobank atau digital bank yang harus dimiliki oleh layanan tersebut di dalam ekosistem perbankan digital: pertama, bank atau perusahaan tersebut harus beroperasi penuh secara digital dan tidak ada cabang fisik, kedua, memanfaatkan aplikasi dan teknologi dan yang ketiga adalah memiliki penetrasi pasar dalam ekosistem bisnis yang digital secara tinggi.

Fintech menjembatani kekurangan teknologi

Salah satu dampak dari pandemi ini adalah bank tradisional mengalami kesulitan untuk memberikan kredit ke pelanggan. Tetapi hal ini justru mendorong neobanks dan perbankan digital untuk mendapat keuntungan dari transaksi digital mereka. Riset yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai nilai transaksi ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar $44 miliar.

Di negara seperti Indonesia, ketika penetrasi internet dan seluler sangat tinggi, teknik penilaian kredit alternatif mampu menghasilkan skor kredit yang baik dan akan memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengakses pinjaman perbankan yang berkualitas, yang biasanya tidak mungkin mereka dapatkan karena ketiadaan skor kredit tradisional untuk mereka.

Teknik penilaian kredit alternatif CredoLab melibatkan penggunaan Artificial Intelligence dan algoritma Machine Learning untuk mengumpulkan jutaan faktor penentu yang tertanam dalam jejak digital calon peminjam. Faktor-faktor penentu ini kemudian akan diubah menjadi sebuah skor kredit yang akan mengidentifikasi seseorang sebagai peminjam yang baik atau buruk.

Masalah regulasi dan perkembangan perbankan digital di Indonesia

Dengan inklusi keuangan dan penggunaan layanan digital yang tinggi, neobank berpotensi menjadi layanan perbankan digital yang dipilih masyarakat Indonesia. Saat ini, neobank masih membutuhkan regulasi lebih lanjut dari OJK.

Regulasi yang mendukung di bidang neobank dan digital bank akan meningkatkan potensi industri perbankan di Indonesia untuk dapat berkompetisi dengan neobank dari luar negeri.

Digitalisasi layanan keuangan tidak hanya akan terbukti berhasil bagi masyarakat tetapi juga akan menguntungkan stakeholder internal dan investor. Biaya overhead dan operasional akan berkurang secara signifikan dibandingkan dengan bank tradisional dengan cabang fisik.

Membuka masa depan digital di Indonesia

Seamless digital journey adalah inti dan proposisi unik yang mendefinisikan neobank dan bank digital. Selain itu, kemampuan untuk mendiversifikasikan hubungan perbankan, kemudahan akses informasi di tangan pelanggan, mengakomodasi pelanggan yang aktif secara digital, dan memperbaiki tingkat penerimaan pelanggan untuk memilih layanan digital akan mengakselerasi industri perbankan dan keuangan Indonesia.

Kerja sama antara bank dan pelaku keuangan lain dengan fintech adalah kunci utama dalam menentukan kesuksesan Indonesia dalam mengidentifikasi calon peminjam dengan tetap memperhatikan faktor risiko yang terkendali. Peran dari pemerintah, baik dari sisi upaya maupun kebijakan, sangat diperlukan untuk mendukung dan mengasah industri keuangan.

Indonesia adalah negara dengan potensi pertumbuhan di bidang teknologi yang tinggi. Adopsi dan implementasi layanan perbankan digital dan neobank akan menguntungkan perekonomian negara. Kemampuan untuk memperluas layanan keuangan kepada keluarga berpenghasilan rendah dan mereka yang belum pernah mendapatkan layanan keuangan akan membuka pintu keuangan baru di era transformasi digital ini.


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Paramita Wikansari, Country Sales Director, Indonesia, CredoLab, the leader in alternative credit scoring

Bank Jago Tambah Modal untuk Perkuat Transformasi Menuju Bank Digital

PT Bank Jago Tbk kembali melakukan penambahan modal untuk mendukung rencana transformasinya menjadi bank digital. Penambahan modal ini dilakukan melalui aksi penerbitan saham baru (right issue) kedua yang diumumkan lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).

Disampaikan Direktur Utama Bank Jago Kharim Siregar, perusahaan dituntut untuk meningkatkan skala usaha dan membangun infrastruktur teknologi yang mumpuni agar dapat bersaing dan beradaptasi terhadap perubahan akibat pandemi Covid-19.

“Sejak Covid-19, kita menyaksikan sendiri akselerasi teknologi dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan hidup masyarakat yang semakin digital,” ujar Kharim dalam paparan RUPSLB, Selasa (5/10).

Sebelumnya, Bank Jago sudah menuntaskan right issue tahap pertama pada April 2020, mebukukan dana Rp1,3 triliun. Dana hasil right issue tahap kedua akan digunakan untuk memperkuat modal perusahaan agar dapat memenuhi aturan modal minimum bank sebesar Rp3 triliun.

Selain itu, dana tersebut nantinya digunakan untuk meningkatkan skala bisnis perusahaan, merekrut SDM yang relevan sesuai dengan visi perusahaan, dan mengembangkan teknologi.

Sebagaimana diketahui, Bank Artos resmi berganti nama menjadi Bank Jago pada Juni 2020. Rebranding ini dilakukan pasca akuisisi oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI), dan Wealth Track Technology (WTT). Selain itu, Bank Jago juga akan membidik segmen UKM dan ritel.

Bank Jago menargetkan komersialisasi sebagai bank digital pada akhir tahun ini  dengan meluncurkan platform aplikasi Life Finance Solution (LFS). Manajemen Bank Jago memastikan bahwa rencana menuju bank digital ini tetap sesuai target awal.

Pada paparan publik virtual Agustus lalu, Bank Jago menargetkan peluncuran LFS akan berbarengan dengan sejumlah produk keuangan digital lainnya. Perusahaan juga tengah mempersiapkan pengembangan teknologi, seperti Open API, microservices, dan cloud untuk memperkuat posisinya di ekosistem digital.

Realisasi bank digital

Sejumlah bank di Indonesia berencana untuk merealisasikan menjadi bank digital tahun ini. BCA melalui Bank Digital BCA ditarget meluncur sekitar Oktober atau November tahun ini dengan akses terbatas, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Kemudian, Bank Yudha Bhakti (BYB) juga resmi mengganti namanya menjadi Bank Neo Commerce. Dihubungi DailySocial, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu izin dari OJK untuk platform mobile banking.

“Targetnya semua phase [pengembangan] mobile banking bisa dirampungkan pada kuartal I 2021, termasuk teknologi QRIS dalam blueprint kami,” ujarnya dalam pesan singkat.

Sementara itu, BRI juga mempertimbangkan untuk membentuk bank digital. Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengungkap bahwa perusahaan masih mematangkan konsep dan strateginya saat ini.

Kepada DailySocial beberapa waktu lalu, Indra menyebut bahwa BRI Agro berpeluang untuk dikonversi menjadi bank digital. Produk digital lending Pinang (Pinjam Tenang) menjadi test case awal perusahaan untuk uji coba ke pasar.

“Terkait positioning baru Bank Agro, akan ada jawabannya di waktu yang tepat. Kami belum bisa jawab sekarang [apakah ada produk digital baru selain Pinang]. Namun, strategi digital kami akan tetap go smaller, go shorter, dan go faster. Artinya, kami masuk ke segmen yang lebih kecil, yaitu ultra mikro,” ungkapnya.

Aspire Secures Funding Over 455 Billion Rupiah, to Introduce Neobank for SMEs

The startup developer for digital banking services (neobank) “Aspire” today (8/1) announced series A funding worth $32.5 million or around 455.4 billion Rupiah. Mass-Mutual Ventures led this round, including Arc Labs and the previous investors, such as Y-Combinator, Hummingbird, and Picus Capital.

Aspire is a Singapore-based startup which operates in various country, including Thailand, Vietnam, and Indonesia. The product works like a credit card (revolving credit line). With SMEs as the main target, they provide online registration. When it’s approved, they will have a limit for instant credit to take care of certain matters.

“Additional cost will be charged for cash withdrawal or payment transaction. Unlike the one-time loan, the amount given should be used right away. There’s no membership or annual fee,” Aspire Indonesia’s Head of Growth, Donnie Silalahi said.

The product is wrapped as AspireAccount. It has another job to help financial flow management for SMEs. There’s also a feature that allows business players receiving virtual payment. Later in this year, Aspire to launch a business credit card that connects all accounts.

Aspire developer team
Aspire developer team

“Aspire is developing a scalable banking infrastructure marketplace using service provider as the third party. We’ve been running the business under Indonesian law and partnered up with law consultant to keep on track with the regulation,” Silalahi said as he was asked about the company towards authority regulation.

They aim to reach 100 thousand consumers from business players. Indonesia is expected to be the major contributor along the path.

Target Aspire ingin capai 100 ribu konsumen dari kalangan pelaku usaha. Indonesia diharapkan dapat menjadi kontributor mayoritas untuk capaian tersebut.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian