GetGo Ingin Populerkan AI untuk Permudah Transaksi Ritel

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan untuk konsumer ritel di Indonesia belum semasif seperti negara-negara yang lebih maju. Implementasinya sejauh ini masih diarahkan untuk kebutuhan korporasi atau pemerintah, misalnya dengan membuat chatbot atau CCTV pendeteksi. Kekosongan ini dimanfaatkan GetGo sebagai startup AI yang fokus untuk solusi transaksi konsumer ritel.

“Kita fokus ke masalah transaksi sehari-hari di ritel, padahal di sini ada banyak tantangan yang bisa diselesaikan dengan AI. AI for retail ini masih kecil [pemainnya], bahkan di regional saja masih sedikit,” ucap Co-Founder dan CEO GetGo Erdian Tomy kepada DailySocial.

Selain Erdian, ia ditemani Andika Rachman sebagai Chief AI Officer dalam merintis GetGo sejak Juli tahun lalu. Keduanya kuat di latar belakang masing-masing, misalnya Erdian yang punya pengalaman di bidang periklanan dan Andika kuat di bidang AI.

Perjalanan dimulai ketika ditemukan masalah belanja di toko offline, penjual tidak bisa mengetahui karakter dan kebiasaan pembeli untuk melakukan upselling. Pembeli pun tidak bisa merasakan pengalaman belanja yang seamless.

“Dari situ kita mulai masuk ke ranah offline dengan membuat produk GetGo Mini Cashier-less Store, bekerja sama dengan coworking space ada di tujuh lokasi pada awal tahun ini.”

Pada produk pertama ini, karyawan dari coworking space tersebut bisa berbelanja dari produk-produk yang dijual di dalam kotak dan membayarnya tanpa kasir. Proses pembayaran dilakukan secara online. Hampir tiga bulan berjalan, GetGo berhasil mendapat 761 unique user.

Pertengahan Maret ini harus terhenti karena ada kewajiban untuk karantina di rumah karena pandemi merebak di Indonesia. “Akhirnya dari Maret sampai sekarang produk pertama kita harus berhenti sementara karena semua kantor WFH, jadi tidak ada karyawan yang keluar.”

Erdian dan tim akhirnya putar otak untuk terus berinovasi, akhirnya merilis produk kedua yang menyasar konsumen online bernama GetGo Visual Search. Produk ini berupa API yang dintegrasikan ke pemilik platform e-commerce agar bisa digunakan oleh konsumennya saat mencari barang secara online.

Pada tahap awal, GetGo baru bisa mampu mendeteksi produk fesyen. Caranya konsumen cukup mengambil gambar yang mereka dapat melalui fitur kamera di dalam aplikasi e-commerce. Hasil produk akan langsung tertera berdasarkan yang mereka cari.

“Produk ini b2b. Jadi kita punya API yang bisa dipakai oleh mitra e-commerce. Konsumen jadi tidak perlu install tambahan aplikasi karena AI GetGo sudah ditanamkan di dalam aplikasi e-commerce tersebut.”

GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo
GetGo Mini Cashier-less Store di salah satu lokasi / GetGo

Rencana bisnis berikutnya

Berbekal ilmu yang didapat mengikuti program akselerator Gojek Xcelerate, GetGo semakin mantap untuk mematangkan produk keduanya tersebut. Erdian mengatakan saat ini pihaknya sedang dalam proses kesepakatan dengan dua platform e-commerce. Juga menambah kemampuan AI untuk mendeteksi produk furnitur.

“Nanti model monetisasinya, kita akan charge per bulan ke e-commerce-nya. Sementara untuk produk Mini Cashier-less menggunakan iklan di tiap store-nya.”

Erdian meyakini, kedua produk ini ke depannya dapat diterima secara luas dan merasakan dampaknya dalam transaksi sehari-hari. Terlebih produk ini dibangun oleh orang-orang lokal, sehingga ada nilai lebih yang ditawarkan, selain dari pricing yang jauh lebih murah.

“Teknologi itu adalah komoditas yang sebenarnya tidak bisa dipakai oleh negara tertentu saja. Di AS dan Tiongkok, AI sudah jadi bagian kehidupan, mereka biasa belanja offline tanpa kasir. Kita punya value, dari harga jauh lebih murah dan approach-nya dengan cara lokal.”

Menuju kondisi normal baru, dia berharap GetGo lebih ekspansif untuk mengembangkan bisnis, termasuk mencari pendanaan. Sejauh ini perusahaan masih memanfaatkan dana sendiri alias bootstrapping. Adapun total tim GetGo saat ini berjumlah enam orang dan mayoritas adalah engineer.

Gojek Xcelerate Pilih Sebelas Startup Berkonsep “Direct-to-Consumer”

Gojek Xcelerate, program akselerator milik Gojek, mengumumkan 11 startup yang masuk ke dalam batch keempat. Seluruh startup terpilih ini bergerak di bidang direct-to-consumer, menyesuaikan dengan tantangan bisnis di masa pandemi.

Mereka telah diberi pelatihan dalam kreativitas dan inovasi agar dapat menyesuaikan bisnis dengan cepat, sesuai dengan perubahan perilaku konsumen selama pandemi. Salah satunya adalah untuk meminimalisir kegagalan startup dalam mengembangkan produk dan layanan, peserta dilatih untuk menerapkan teknik MVP (minimum viable product).

Teknik ini menentukan set fitur paling minimal dalam sebuah ekosistem teknologi sebelum startup meluncurkan produk atau layanan yang lebih lengkap (full-fledged). Manfaatnya startup bisa mendapat umpan balik dari calon pengguna dalam waktu relatif singkat, sehingga membantu minimalisir biaya pengembangan, serta kemungkinan produk gagal dalam skala besar.

Berikutnya adalah pelatihan metode growth hacking dan impactful data science, serta pelatihan dari partner Gojek Xcelerate kelas dunia lainnya yaitu strategi pengembangan bisnis startup dari Google Founder’s Lab, prinsip valuasi dari bank UBS, dan sesi mentorship bersama konsultan manajemen McKinsey.

Lead Gojek Xcelerate Yoanita Simanjutak menjelaskan, pada batch ini molor dari jadwal karena terdampak pandemi. Proses bootcamp telah dilangsungkan pada Maret 2020. Akan tetapi, demo day baru diselenggarakan pada hari ini (17/6) dan pertama kalinya digelar secara online.

“Tapi nanti kita akan pertemukan semua peserta startup dari batch pertama sampai ke empat untuk membahas inovasi apa yang kita lakukan secara bersama di dalam ekosistem Gojek,” terangnya.

Adapun 11 startup tersebut ialah:

1. Bartega: Startup ini fokus pada penjualan alat melukis, mendorong orang orang tetap kreatif di rumah dan dipandu dengan kelas-kelas online.
2. Trope: Startup ini fokus menyediakan produk make up yang multifungsi.
3. Rollover Reaction: Startup ini menyediakan beragam produk make up.
4. Pura: Startup new retail ini fokus menjual produk bahan-bahan makanan sehat
5. GetGo: Startup ini menawarkan layanan pencarian virtual dengan AI, permudah konsumen mencari barang yang dijual pedagang online.
6. Watt: Startup ini menjual produk sepatu untuk perempuan.
7. Elio: Mereka adalah klinik kesehatan digital khusus laki-laki.
8. Mena Indonesia: Startup ini menjual produk hasil kerajinan tangan, bekerja sama dengan komunitas lokal
9. Jejak.in: Adalah startup yang menerapkan sistem sensus untuk memantau pengelolaan pohon dan tanaman.
10. Kerokoo: Adalah startup fesyen yang menjual busana khusus perempuan.
11. Sare: Startup ini menjual piyama untuk segala gender dan usia.

11 startup terpilih Gojek Xcelerate Batch 4/ Gojek
11 startup terpilih Gojek Xcelerate Batch 4/ Gojek

Inovasi Gojek teranyar

Head of Groceries Gojek Tarun Agarwal menambahkan, di tengah kondisi yang dinamis, penerapan model bisnis direct-to-consumer menjadi efektif karena membantu startup berinteraksi langsung dengan pengguna yang saat ini lebih banyak menghabiskan waktu secara online. Bagi startup itu sendiri dapat memperoleh data dan umpan balik dengan cepat, sehingga dapat lebih menyesuaikan produk seiring perubahan pasar.

Penerapan model ini, menurutnya, terbukti membawa Gojek ke status decacorn sekaligus menjadikannya lebih resilien selama pandemi.

Beberapa inovasi direct-to-consumer yang dirilis Gojek adalah mengembangkan layanan konsumen belanja kebutuhan sehari-hari melalui GoMart dan GoShop. Layanan GoFood telah menambah mitra teranyar yakni Pasar Mitra Tani untuk menjual bahan pangan pokok ke dalam platform.

Selain itu, hadirnya GoFresh, layanan marketplace yang pada awalnya diperuntukkan khusus merchant GoFood, kini dapat diakses oleh konsumen umum. “Sepanjang tahun 2020, transaksi belanja groceries di GoMart terus meningkat. Hingga Mei, terjadi 5,5x peningkatan produk yang terjual di GoMart dibandingkan Januari,” ucapnya.

Dia melanjutkan, “Kami senang bisa berbagi best practices Gojek kepada sesama anak bangsa, harapannya lebih banyak lagi startup Indonesia yang bisa menyandang status decacorn dan bersama-sama memperkuat ekosistem teknologi global.”

Ula Receives 148 Billion Rupiah Seed Funding, Offering Supply Chain Platform and Capital Support

Ula, a startup working on supply-chain solutions for small shops and SMEs, today (10/6) announced seed funding worth of US $10.5 million or equivalent to 148 billion Rupiah. The investment round was led by Sequoia India and Lightspeed India, with the participation of SMDV, Quona Capital, Saison Capital, and Alter Global. Several angel investors also participated, including Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, and Rahul Mehta.

The new platform was launched in January 2020 and has a head office in Jakarta. The business concept relies on e-commerce-based applications consists of a wide selection of wholesale merchandise with high demand by stall owners or other SMEs, specifically related to daily needs (FMCG). A unique thing about this service unique is that it allows users to use the pay later feature in the application. This flexible payment is considered to solve capital problems that often blocked small stalls to grow.

Currently Ula is still testing the beta version of its product in the East Java region. Moreover, it is targeted to immediately cover all potential users in Java and expand the product categories to electronics and fashion. The founders were quite optimistic, especially during the Covid-19 pandemic, online fulfillment services continued to increase.

Despite its business focus in Indonesia, Ula’s development team is not only in Jakarta, but also in India and Singapore. Ula was founded by four founders with working experience in global companies including Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, and Alan Wong.

Together support the SME industry

In Indonesia, there are some startups trying their luck in similar business verticals. One of which is Klikdaily, their services also make it easier for shop owners to get supply chain. In May 2020, they announced series A funding led by Global Founders Capital. In addition, there also TokoPandai, Limakilo, Kudo, and so on.

Some other technology platforms have started supply chain models in various forms. For example, what Moka’s point of sales developer did with Moka Fresh products. Integrating the fulfillment of small businesses’ basic commodities through one door. In addition, a partnership program initiated by e-commerce giants, such as Mitra Bukalapak, Tokopedia, to Shopee – which also targets fulfillment segment in traditional stalls.

The market potential is quite large, according to Ula’s data, traditional retailers contribute almost 80% of the overall market share value in developing countries like Indonesia. The business model also empowers millions of people in various parts of the region; in terms of business, they are considered to be the most understanding of consumers’ characteristics around them, thus ensuring its products always on target.

However, there are problems that usually blocked business people to grow big, mostly related to working capital and lack of human resources, therefore, business development becomes stagnant. Ula is trying to solve both issues through a one-stop-fulfillment platform, along with credit services based on data analysis with intelligent systems.

“For us, the scale of Ula’s success is measured by how much customers can improve their business and lives. Our vision is to revolutionize the SME trade with technology, help improve their efficiency, and provide tools (technology) to facilitate business,” Riky Tenggara said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ula Dapatkan Dana Awal 148 Miliar Rupiah, Tawarkan Platform “Supply Chain” Dilengkapi Bantuan Modal

Ula, startup yang menggarap solusi supply-chain untuk warung dan UKM, hari ini (10/6) mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai US$10,5 juta atau setara 148 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin Sequoia India dan Lightspeed India, dengan keterlibatan SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Beberapa angel investor juga turut berpartisipasi, meliputi Patrick Walujo, Willy Arifin, Sujeet Kumar, Vaibhav Gupta, Amod Malviya, Rohan Monga, dan Rahul Mehta.

Platform ini baru diluncurkan pada Januari 2020 dan memiliki kantor pusat di Jakarta. Konsep bisnisnya mengandalkan aplikasi berbasis e-commerce yang berisi berbagai pilihan barang dagangan grosir yang biasa diburu oleh pemilik warung atau pelaku UKM lainnya, khususnya terkait kebutuhan sehari-hari (FMCG). Satu hal yang membuat layanan ini unik, memungkinkan penggunanya untuk memanfaatkan fitur paylater yang tertanam di aplikasi. Pembayaran yang fleksibel ini dinilai dapat menyelesaikan masalah permodalan yang kerap dihadapi warung kecil untuk bertumbuh.

Saat ini Ula masih menguji versi awal produknya dalam private beta di wilayah Jawa Timur. Setelah itu ditargetkan segera merangkul seluruh calon pengguna di Jawa dan memperluas kategori produk ke elektronik dan fesyen. Para founder cukup optimis, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19, layanan pemenuhan kebutuhan secara online terus meningkat.

Kendati fokus bisnisnya di Indonesia, tim pengembang Ula tidak hanya berbasis di sini, namun juga ada yang di India dan Singapura. Ula didirikan oleh empat orang founders yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan global meliputi Derry Sakti, Riky Tenggara, Nipun Mehra, dan Alan Wong.

Ramai-ramai sokong bisnis UKM

Di Indonesia sejatinya sudah ada beberapa startup yang coba peruntungan di vertikal bisnis serupa. Sebut saja Klikdaily, layanan mereka turut mudahkan pemilik warung dapatkan stok produk. Pada Mei 2020 lalu baru bukukan pendanaan seri A yang dipimpin Global Founders Capital. Selain itu masih ada TokoPandai, Limakilo, Kudo dan sebagainya.

Beberapa platform teknologi lain juga telah memulai model supply chain dengan berbagai bentuk. Misalnya yang dilakukan pengembang point of sales Moka dengan produk Moka Fresh. Mengintegrasikan sistem pemenuhan bahan pokok pengusaha kecil lewat satu pintu. Atau program kemitraan yang diinisiasi raksasa e-commerce, seperti Mitra Bukalapak, Tokopedia, hingga Shopee — yang juga menyasar pemenuhan kebutuhan di warung-warung tradisional.

Potensi pasarnya memang besar, menurut data yang disampaikan Ula, di negara berkembang seperti Indonesia ritel tradisional hampir berkontribusi 80% dari nilai pangsa pasar keseluruhan. Model bisnisnya turut memberdayakan jutaan orang di berbagai pelosok wilayah; dari sisi bisnis pun mereka dianggap yang paling mengerti tentang karakteristik konsumen di sekitarnya, sehingga memastikan produk yang selalu tepat sasaran.

Namun ada permasalahan yang mengganjal para pelaku bisnis tadi untuk bertumbuh besar, paling umum terkait modal kerja yang kurang optimal dan SDM yang kurang cakap, sehingga perkembangan bisnis jadi stagnan. Dua hal ini yang coba diselesaikan Ula melalui platform pemenuhan kebutuhan di satu pintu, dilengkapi layanan kredit yang didasarkan pada analisis data dengan sistem cerdas.

“Bagi kami, ukuran kesuksesan Ula diukur dengan seberapa besar para pelanggan dapat meningkatkan bisnis dan kehidupannya. Visi kami adalah merevolusi perdagangan UKM dengan teknologi, membantu meningkatkan efisiensi mereka, dan menghadirkan alat (teknologi) yang memperlancar bisnis,” ujar Riky Tenggara.

Application Information Will Show Up Here

Fore Coffee’s Outlet Cutbacks and the Urgency of Fast Business Adapting

Retail business is getting out of breath amid the Covid-19 pandemic. Relying only on offline business will not cover the whole operation, therefore, online innovation is necessary in order to accommodate orders and deliveries.

Even when the situation is getting normal, there will be nothing like the previous normal, or some people prefer to call it “the new normal”. There will be many strategic adjustments by retails to be relevant to the current condition.

“All retail models will change along with this pandemic. It will lead to social distancing until the vaccine is found. Dine-in may need more space that it becomes inefficient, instead, online delivery and pick-up will be the focus. This will change the landscape and cost structure of all F&B outlets, “East Ventures’ Managing Director Willson Cuaca told DailySocial on Tuesday (19/05).

Cuaca’s prediction is more or less in accordance with what is presented by the BCG Henderson Institute, the work from home situation, for a number of businesses are leading quite miserable output yet some players are harvesting profits. Food delivery services will be the most on-demand service, while dine-ins will be significantly affected.

This condition is reflected in the Fore Coffee’s strategy. Fore Coffee’s CEO Elisa Suteja said management was adapting to changing business situations during the pandemic, one of its initiatives was optimizing offline store services.

It is said several shops have temporarily closed, some stores are merged, and the system is upgraded to improve online sales services. Some assets that will no longer be used as a result of the merging of shops are decided to be sold.

As quoted from Tech In Asia, Fore has permanently closed 16 stores, 45 others were temporarily closed during Ramadan. The remaining 72 stores are still in operation today.

It was confirmed, rumors about the termination of Fore operation were untrue. One of the staff, according to Elisa, had spread some of the company’s internal information, it then delivers wrong perceptions in the public.

“Fore will not shut down and still continue to operate. We closed several outlets and are in the process of selling assets related to these locations. Information circulating that Fore closed all locations permanently is not true, “he said in an official statement on Monday (5/18).

DailySocial contacted Elisa to inquire further on which locations were merged or closed and whether there was a reduction in the number of employees. But until this news was revealed there was no response.

Since the large-scale social restrictions (PSBB), the company follows the applicable rules by limiting services through online delivery and pick-up. According to him, online channels make a high contribution to the Fore business. Claimed to be an increase of 12.8% online sales every week.

To keep up with the demand, the company added more options for coffee and non-coffee beverage products in one-liter packaging that can be purchased at the Fore, Tokopedia, Shopee, and Bukalapak applications. There are nine product variations offered to consumers and sales continue to increase by 22% each week.

Not only that, the company offers Do It Yourself products, consumers can make their own drinks or food with the basic ingredients of Fore products and variety of drinks to support the fitness of the consumer’s body.

This week, he continued, the company launched a delivery service from an application order named Barista Delivery. This only applies to orders less than two kilometers from the Fore outlet, which will be delivered directly by Fore’s Barista.

“We believe this can improve the convenience of consumers who receive their products directly from the team that is always in good health as we monitored.”

Tight competition

The new retail competition map such as Fore Coffee, in the midst of the pandemic will be increasingly fierce, especially as its closest competitor Kopi Kenangan just announced the acquisition of funding of more than 1 trillion Rupiah. So far the funding for Fore has not been that big, both in total and in total.

Optimism to do the next raising, according to Willson, remains wide open for Fore. He thinks, the principle of funding is to create value. As long as Fore can provide more value, funding is definitely available.

“And this is not a winner takes all, which is good to drink one type of coffee, Fore has enough capital to survive.” For the record, Fore is under the East Ventures portfolio. Initially Fore was a trial project until it finally became an official startup.

Adjusting the location of outlets, he continued, is part of adaptation and relevance. Stores that should be closed or combined with locations that clearly have much better operations in these conditions, will certainly be chosen rather than imposing irrelevant strategies.

Kopi Kenangan has also temporarily closed some of its stores. Only 47% of the approximately 300 stores are operating normally. The rest experienced a reduction in operating hours and were temporarily closed due to the pandemic and PSBB situation.

“We are still expanding to open around 30 outlets per month, last April we added 30 more outlets, as well as in the following months,” said Coffee Kenangan’s CEO Edward Tirtanata, as quoted by Bisnis.com.

Coffee consumption has become a part of Indonesian culture. Evidently, during the pandemic, the demand remained. In a GDP Venture summary titled “The Impact of Covid-19 Pandemic” added that there were changes in food consumption patterns that occurred during the pandemic, according to Firmenich FAST Survey: Indonesians In Time of Covid-19, W3 Mar20.

It was explained that Indonesians ate healthier foods, marked by the highest increase in purchases of fruit, vegetable, rice and flour products, and fish. Then followed by tea and coffee products, dairy products, and juices to maintain their health. Consumption of carbonated drinks, alcohol, sweets, desserts, processed foods tends to decrease.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pengurangan Gerai Fore Coffee dan Urgensi Adaptasi Bisnis dengan Cepat

Nafas bisnis ritel kini tersengal-sengal harus bertahan di tengah gempuran pandemi Covid-19. Mengandalkan bisnis offline saja, tidak akan cukup mampu menopang operasional, maka perlu berinovasi ke ranah online untuk mengakomodasi pemesanan dan pengantaran.

Pun saat kondisi menuju normal, tidak ada kondisi normal yang biasa dulu terbayang, atau kini lebih familiar disebut “the new normal”. Akan ada banyak penyesuaian strategi yang dilakukan peritel agar tetap relevan dengan kondisi.

“Semua model retail akan berubah dengan adanya pandemi ini. Bakal mengarah ke social distancing, sampai vaksin ditemukan. Dine-in mungkin butuh space lebih besar sehingga tidak efisien, jadi online delivery dan pick-up bakal jadi fokus. Ini akan mengubah landscape dan cost structure semua outlet F&B,” ujar Managing Director East Ventures Willson Cuaca kepada DailySocial, Selasa (19/05).

Pendapat Willson memberikan ramalan yang kurang lebih sesuai dengan apa yang dipaparkan BCG Henderson Institute, implikasi karantina di rumah, bagi sejumlah bisnis ada yang merana ada yang panen untung. Jasa pengiriman makanan akan menjadi layanan yang paling diminati, sementara dine-in paling terdampak.

Kondisi ini tercermin dalam strategi yang dipilih oleh Fore Coffee. CEO Fore Coffee Elisa Suteja mengatakan, manajemen beradaptasi dengan perubahan situasi bisnis selama pandemi, salah satu inisiatifnya adalah optimalisasi layanan toko offline.

Disebutkan ada toko yang ditutup sementara, penggabungan sebagian toko, dan peningkatan sistem untuk meningkatkan layanan penjualan online. Beberapa aset yang tidak akan digunakan lagi akibat dari penggabungan toko diputuskan untuk dijual.

Mengutip dari Tech In Asia, Fore menutup 16 toko secara permanen, 45 toko lainnya ditutup sementara selama Ramadan. Sisanya, 72 toko masih beroperasi saat ini.

Ditegaskan pula, rumor tentang penutupan operasi Fore tidak benar. Salah satu staf, menurut Elisa, telah menyebarkan sebagian informasi internal perusahaan sehingga menimbulkan persepsi yang salah di publik.

“Fore tidak akan tutup dan akan terus beroperasi. Kami menutup beberapa outlet dan sedang dalam proses penjualan aset terkait lokasi-lokasi tersebut. Informasi yang beredar bahwa Fore melakukan penutupan semua lokasi secara permanen adalah tidak benar,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (18/5).

DailySocial menghubungi Elisa untuk menanyakan lebih jauh lokasi mana saja yang digabung atau ditutup dan apakah ada pengurangan jumlah karyawan. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada respons.

Semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perusahaan mengikuti aturan yang berlaku dengan membatas layanan melalui pengantaran online dan pick up. Menurutnya, kanal online memberikan kontribusi tinggi untuk bisnis Fore. Diklaim ada kenaikan sebesar 12,8% penjualan online tiap minggunya.

Untuk menjaga permintaan, perusahaan menambah variasi produk minuman kopi dan non-kopi dalam kemasan satu liter yang dapat dibeli di aplikasi Fore, Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Ada sembilan variasi produk yang ditawarkan kepada konsumen dan penjualan terus meningkat hingga 22% tiap minggunya.

Tidak hanya itu, perusahaan menawarkan produk Do It Yourself, konsumen dapat membuat sendiri minuman atau makanan dengan bahan dasar produk Fore dan variasi minuman untuk menunjang kebugaran tubuh konsumen.

Pekan ini, lanjutnya, perusahaan meluncurkan layanan pengantaran dari pesanan aplikasi bertajuk Barista Delivery. Ini hanya berlaku untuk pesanan berjarak kurang dari dua kilometer dari outlet Fore, akan langsung diantarkan oleh Barista Fore.

“Kami percaya ini bisa meningkatkan kenyamanan konsumen yang menerima produknya langsung dari tim yang kami monitor selalu dalam keadaan sehat.”

Persaingan ketat

Peta persaingan new retail seperti Fore Coffee, di tengah pandemi akan semakin sengit, apalagi pesaing terdekatnya Kopi Kenangan baru mengumumkan perolehan pendanaan lebih dari 1 triliun Rupiah. Pendanaan yang diraup Fore sejauh ini belum sebesar itu, baik ditotal secara keseluruhan.

Optimisme untuk melakukan penggalangan berikutnya, menurut Willson, tetap terbuka lebar untuk Fore. Dia beranggapan, prinsip pendanaan adalah menciptakan sebuah nilai. Selama Fore bisa memberikan nilai lebih, pendanaan pasti tersedia.

“Dan ini bukan winner takes all, mana enak sih minum kopi satu jenis doang, Fore punya cukup modal untuk bertahan.” Sebagai catatan, Fore yang berada di bawah portofolio East Ventures. Awalnya Fore merupakan proyek percobaan hingga akhirnya menjadi startup resmi.

Penyesuaian lokasi gerai, sambungnya, adalah bagian dari adaptasi dan relevansi. Toko yang sebaiknya ditutup atau digabungkan dengan lokasi yang jelas punya operasional jauh lebih baik di kondisi seperti ini, tentu akan dipilih daripada memaksakan strategi yang tidak relevan.

Kopi Kenangan pun juga menutup sementara sebagian tokonya. Dari sekitar 300 toko, hanya 47% di antaranya beroperasi normal seperti biasa. Sisanya, mengalami pengurangan jam operasional dan ditutup sementara karena pandemi dan pemberlakuan PSBB.

“Kami tetap ekspansi membuka sekitar 30 gerai per bulan, kemarin April sudah tambah 30 gerai, begitu pun dengan bulan-bulan ke depan,” kata CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata seperti dikutip dari Bisnis.com.

Konsumsi kopi itu sendiri sudah menjadi bagian dari budaya orang Indonesia. Terbukti, selama pandemi, permintaannya tetap ada. Dalam rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic” menambahkan ada perubahan pola konsumsi makanan yang terjadi selama pandemi, menurut Firmenich FAST Survey: Indonesians In Time of Covid-19, W3 Mar20.

Dipaparkan orang Indonesia mengonsumsi makanan lebih sehat, tertanda dari naiknya pembelian tertinggi untuk produk buah-buahan, sayur, nasi dan tepung-tepungan, dan ikan. Lalu disusul produk teh dan kopi, dairy products, dan jus demi menjaga kesehatan mereka. Konsumsi minuman berkarbonasi, alkohol, gula-gula, desserts, makanan olahan cenderung menurun.

Kopi Kenangan Announces Over 1.6 Trillion Rupiah Worth of Series B Funding

The new retail startup Kopi Kenangan has announced Series B funding worth of $109 million (over 1.6 trillion Rupiah) led by the previous investor, Sequoia Capital India. There are some new investors, such as B Capital, Horizon Ventures, Verlinvest, Kunlun, and Sofina participated in this round, also the seed investor, Alpha JWC Ventures.

It is reported that one of Facebook’s co-founders, Eduardo Saverin has joined Kopi Kenangan’s board of commissioners, through B Capital. His participation is expected to help make a faster business transformation.

“I look forward to working with Kopi Kenangan and building a global brand that celebrates the distinctive flavors of Indonesia and Southeast Asia,” Saverin stated in the official release, Tuesday (5/12).

Historically, Kopi Kenangan has acquired seed funding from Alpha JWC Ventures worth of $8 million in 2018. A year later, they raised a series A round of $20 million led by Sequoia Capital India with additional funds at an undisclosed value from Arrive, Serena Ventures, NBA’s Caris LeVert, and Sweetgreen’s founder, Jonathan Neman.

In separate occasion, Kopi Kenangan’s Co-Founder & CEO, Edward Tirtanata confirmed to DailySocial that the company is yet to acquire the unicorn status. As a general note, Kopi Kenangan’s valuation is said to exceed the centaur position. “Kopi Kenangan is yet to be a unicorn,” he said.

He revealed the plan with this fresh funding is to tighten its positionn in Indonesia. One thing, it’s the plan to offer food and beverages from local partners and developing a cloud kitchen.

“As a startup in the growth stage, we are quickly adapting to challenges through contactless transactions and highly-curated hygiene standards throughout our stores. Employee welfare is a big priority and we are investing in their safety, along with increasing health benefits and additional training to help them cope with this big change,” he said.

The pandemic hits Kopi Kenangan’s business hard. Edward said all other industries, including F&B, are experiencing a significant decline, especially offline outlets. However, thanks to the grab and go business model, the company saw an increase in online orders by 50% in certain locations.

He believes businesses that quickly adapt to conditions can survive in a crisis, unlike the most brilliant or with large capital ones. “Kopi Kenangan has gained investor trust by adopting a grab and go business model that fits the current situation.”

To date, Kopi Kenangan employs 3 thousand employees in 324 outlets in all cities in Indonesia. It is expected that this year the store can add up to 500 stores. The company also has ambitions for post-pandemic regional expansion. Thailand, the Philippines, and Malaysia, are the countries they are after.

“Regional expansion is still on schedule, by adapting to the post-Covid-19 situation,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kopi Kenangan Umumkan Pendanaan Seri B Lebih dari 1,6 Triliun Rupiah

Startup new retail Kopi Kenangan mengumumkan pendanaan seri B senilai $109 juta (lebih dari 1,6 triliun Rupiah) yang dipimpin investor terdahulunya Sequoia Capital India. Beberapa nama baru seperti B Capital, Horizons Ventures, Verlinvest, Kunlun, dan Sofina turut bergabung dalam putaran ini, sekaligus investor pertamanya Alpha JWC Ventures.

Dikabarkan pula, salah satu co-founder Facebook Eduardo Saverin bergabung ke dalam jajaran komisaris Kopi Kenangan, melalui B Capital. Keterlibatannya diharapkan dapat membantu transformasi perusahaan jauh lebih cepat.

“Saya berharap dapat bekerja sama dengan Kopi Kenangan dan membangun merek global yang merayakan citarasa khas Indonesia dan Asia Tenggara,” kata Saverin dalam keterangan resmi, Selasa (12/5).

Dalam rekam jejaknya, Kopi Kenangan pertama kali mengantongi pendanaan tahap awal dari Alpha JWC Ventures senilai $8 juta pada 2018. Setahun kemudian, menggalang pendanaan seri A sebesar $20 juta dipimpin oleh Sequoia Capital India dan tambahan dana dengan nilai dirahasiakan dari Arrive, Serena Ventures, pebasket NBA Caris LeVert, dan pendiri Sweetgreen Jonathan Neman.

Bila ditotal, investasi yang diterima perusahaan mencapai lebih dari $137 juta (lebih dari 2 triliun Rupiah).

Secara terpisah, kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengonfirmasi, sampai tahap ini perusahaan belum menyandang status unicorn, sebelumnya diketahui bahwa valuasi Kopi Kenangan sudah tembus status centaur. “Sampai saat ini Kopi Kenangan belum menjadi unicorn,” ujarnya.

Dia menerangkan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk memperkuat posisinya di Indonesia. Salah satunya, rencana untuk menawarkan berbagai produk makanan dan minuman dari pedagang lokal serta mengembangkan cloud kitchen.

“Sebagai startup yang sedang tumbuh, kami cepat beradaptasi terhadap tantangan melalui transaksi tanpa kontak dan standar kebersihan yang tidak kenal kompromi di seluruh toko kami. Kesejahteraan karyawan adalah prioritas besar dan kami berinvestasi untuk keselamatan mereka, bersamaan dengan itu peningkatan manfaat kesehatan dan pelatihan tambahan untuk membantu mereka mengatasi perubahan besar ini,” ujarnya.

Dampak pandemi, juga menghantam bisnis Kopi Kenangan. Edward menuturkan, semua industri lain, F&B juga mengalami penurunan signifikan, terutama di gerai offline. Tapi berkat model bisnis grab & go, perusahaan melihat adanya peningkatan online order sebesar 50% di lokasi-lokasi tertentu.

Dia pun percaya, bisnis yang cepat beradaptasi dengan kondisi dapat bertahan di tengah krisis, bukanlah mereka yang terpintar atau punya modal besar. “Kopi Kenangan mendapatkan kepercayaan investor dengan mengangkat model bisnis grab and go yang cocok dengan situasi saat ini.”

Saat ini Kopi Kenangan memperkerjakan 3 ribu karyawan tersebar di 324 gerai di seluruh kota di Indonesia. Diharapkan pada tahun ini dapat menambah lokasi toko hingga mencapai 500 gerai. Perusahaan juga berambisi untuk ekspansi regional pasca pandemi. Thailand, Filipina, dan Malaysia, menjadi negara yang mereka incar.

“Rencana ekspansi regional akan tetap dilaksanakan, dengan melihat situasi pasca-Covid-19,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

DSCoffee, Solusi Teknologi DailySocial.id untuk Para Pecinta Kopi

Sinergi antara kopi dan teknologi merupakan salah satu bentuk pengejawantahan konsep “new retail“. Tren ini mulai berkembang saat venture capital (VC) yang memiliki portofolio investasi di berbagai startup teknologi mulai menyalurkan pendanaan kepada kedai kopi. Antara lain Fore Coffee yang mengamankan pendanaan dari East Ventures dan Kopi Kenangan yang menerima pendanaan dari Alpha JWC Ventures. Selain itu, aplikasi yang dikembangkan Anomali Coffee juga menjadi bukti bahwa integrasi teknologi ke dalam layanan kedai kopi merupakan salah satu solusi inovasi dalam membangun ekosistem “new economy“.

DailySocial.id sebagai media yang memiliki visi untuk menjadi jembatan antara masyarakat dengan teknologi juga melihat peluang ini. Tidak hanya dari sisi bisnis, tetapi juga sebagai kesempatan untuk membangun ikatan yang lebih baik dengan masyarakat, lewat pendekatan yang berbeda. Namun dengan tetap mengedepankan hal penting yang menjadi bagian dari jati diri kami, yaitu inovasi teknologi. Untuk itulah kami hadirkan DSCoffee.

DSCoffee merupakan solusi teknologi yang kami bangun dan kami kembangkan untuk membantu Anda mendapatkan kopi dengan cita rasa terbaik, kapan pun dan di mana pun Anda berada. Lewat teknologi yang kami miliki, Anda dapat menikmati secangkir kopi terbaik yang dibuat hanya untuk Anda. Personalisasi yang kami hadirkan dalam sentuhan teknologi ini membuat setiap racikan kopi berbeda untuk setiap orang. Dengan kustomisasi yang rumit, Anda bahkan dapat mengatur setiap miligram komposisi bahan untuk kopi yang Anda buat, tentunya dengan standar komposisi yang kami sarankan.

Anda tidak akan dibebankan biaya apa pun untuk menggunakan layanan ini. Namun, kami sangat mengharapkan umpan balik (feedback) yang membangun dengan menceritakan pengalaman Anda ketika menikmati layanan kami.

Disclosure: artikel ini dibuat untuk memeriahkan April Mop 2020

Melihat Hubungan Erat Bukalapak, Warung, dan Jawa Barat

Roda ekonomi Indonesia digawangi oleh 99,97% pelaku UKM dengan kontribusi lebih dari 60% terhadap ekonomi negara. Pemilik warung tradisional masuk ke dalam salah satu komponennya, karena punya andil penting sebagai denyut nadi ekonomi di kehidupan sehari-hari.

Menurut data Eurominitor International 2018, mayoritas masyarakat Indonesia, India dan Filipina berbelanja di toko kelontong. Dari total nilai pasar ritel sebesar $521 miliar, sebanyak $479,3 miliar atau 92% di antaranya merupakan transaksi toko kelontong.

Dibalik potensi yang besar, ekonomi kelas bawah ini menyimpan tantangan yang besar bagaimana kehadiran teknologi bisa membantu mereka bisa “naik kelas” lewat go digital. Isu yang perlu dijawab, tidak hanya bagaimana mereka dapat lebih mudah memasarkan produknya lewat platform digital.

Aspek lainnya yang perlu diselesaikan, mulai dari sistem pembayaran, logistik, hingga rantai pasokan yang harus efisien. Kesadaran ini akhirnya dicoba dijawab oleh berbagai startup digital, baik yang sudah menyandang status unicorn maupun yang masih berstatus startup.

Solusi yang ditawarkan sangat beragam dan bisa mewakili apa yang menjadi isu selama ini buat pemilik warung. Bukalapak bisa menjadi contoh bagaimana proyek awal khusus pemberdayaan warung tradisional “Mitra Bukalapak” bisa menjadi bisnis yang serius hingga pencetak cuan yang nyata.

Sebagai prolog, pada 2016 Bukalapak membuat sebuah inisiatif bernama Juragan Pulsa Bukalapak yang merupakan cikal bakal dari Mitra Bukalapak. Layanan yang ditawarkan adalah penjualan produk virtual seperti pulsa telepon, paket data, voucher game dan token listrik prabayar.

Dari situ berkembang menjadi Agen Bukalapak untuk menciptakan bisnis O2O pasca memperoleh antusiasme yang positif dari masyarakat. Setahun berikutnya, agen diguyur dengan tambahan layanan agar lebih banyak yang bisa mereka jual, seperti tiket transportasi dan Grosir Agen Bukalapak untuk menciptakan saluran distribusi perdagangan.

Pada tahun berikutnya, memilih untuk rebranding menjadi Mitra Bukalapak sekaligus merilis aplikasinya. Penambahan fitur terus dilakukan pada 2019, dengan merilis fitur investasi emas, pemanfaatan QRIS untuk metode pembayaran dan kolaborasi dengan Google Bisnisku agar lebih mudah menemukan warung melalui Google Maps.

“Kontribusi sudah lumayan meski saya tidak bisa sebut persisnya. Tapi sudah double digit percentage dari total kontribusi bisnis di Bukalapak. Dulu pas awal-awal, masih di bawah 10%, sekarang [Mitra Bukalapak] sudah menjadi bisnis yang menjanjikan,” ujar Co-Founder & Presiden Bukalapak M. Fajrin Rasyid saat ditemui DailySocial di Bandung, pekan lalu (8/3).

Kini Mitra Bukalapak disebutkan sudah berjumlah lebih dari 3,3 juta mitra, terdiri dari 1,5 juta mitra warung tersebar di 189 daerah dan sisanya berbentuk agen individu. Menariknya, sekitar 30% atau setara 500 ribu mitra berada di Provinsi Jawa Barat.

Peta persaingan sebagai bisnis baru

Pada saat yang bersamaan, Bukalapak mengumumkan tambahan fitur baru yang disematkan untuk Mitra Bukalapak. Di antaranya fitur Kirim Uang (bersama Bank Mandiri), Tabungan Emas (bersama Pegadaian), pembayaran E-Samsat dan Samolnas (Samsat Online Nasional), tagihan Telkom/Indihome, dan voucher game.

Untuk sementara, pembayaran samsat ini baru tersedia untuk konsumen dan Mitra Bukalapak yang berdomisili di Jawa Barat. Disebutkan pembayaran e-samsat yang disalurkan lewat Mitra Bukalapak mencapai Rp30 miliar untuk membayar pajak 40 ribu kendaraan.

Dengan Kirim Uang, masyarakat dapat memanfaatkan keberadaan 1,5 juta warung Mitra Bukalapak sebagai ATM untuk mengirim uang tanpa harus memiliki rekening. Sementara untuk Tabungan Emas, masyarakat dapat berinvestasi emas dari harga Rp10 ribu di warung.

Fajrin menyebut perusahaan akan perluas ke provinsi lainnya agar semua orang bisa memiliki kemudahan. Seluruh fitur teranyar ini adalah pengembangan dari kebutuhan mitra di lapangan. Juga hasil kolaborasi internal bersama dengan mitra.

“Pembayaran Samsat online sebenarnya sudah di aplikasi [konsumen] sudah bekerja sama dengan banyak provinsi. Kita akan segera tambahkan [provinsi lainnya] ke aplikasi Mitra Bukalapak.”

Inspirasi fitur berikutnya yang akan dibawa ke Mitra Bukalapak, menurut Fajrin, bakal ada yang berasal dari aplikasi konsumer. Sebab pada dasarnya, semua fitur tersebut memungkinkan untuk disediakan. Kendala tetap ada, sambungnya, meski sebatas ke hal-hal teknis.

Misalnya, Bukalapak punya fitur investasi reksa dana bernama BukaReksa. Untuk membeli reksa dana pertama kali, butuh proses KYC yang secara teknis ini akan lebih rumit. Beda halnya dengan pembelian tabungan emas yang terbilang lebih simpel.

“Semua fitur di aplikasi Bukalapak kita usahakan juga hadir di aplikasi Mitra, jadi mudah-mudahan bisa ada tambahan [fitur] berikutnya.”

Gencarnya Bukalapak merupakan dalam rangka menciptakan masyarakat inklusif yang tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Hal ini dapat dilakukan melalui warung sebagai salah satu caranya, melalui Mitra Bukalapak.

Produk ini akan menjadi fokus perusahaan hingga lima tahun ke depan karena dianggap sebagai platform penggerak utama yang dapat meningkatkan adopsi digital dan inklusi keuangan. Menurut laporan “E-warung: Indonesia’s New Digital Battleground” yang dirilis CSLA di 2019 menunjukkan warung tradisional di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta.

Fajrin menyebut, pencapaian Mitra Bukalapak hingga saat ini membuat perusahaan cukup berbangga diri karena secara kuantitas dan fitur bisa dikatakan lebih unggul ketimbang pemain lain.

“Awalnya kita bergerak di online dan kita sadar bahwa UKM offline juga perlu diberdayakan. Mungkin kita jadi perusahaan yang bergerak di keduanya secara serius dan [skalanya sudah] besar, ini bisa menjadi kunci diferensiasi yang mungkin belum dijumpai perusahaan lain. Ada perusahaan yang besar
di online, tapi offline-nya enggak terlalu, atau sebaliknya.”

Produk sejenis yang dibuat Tokopedia, bernama Mitra Tokopedia mencatatkan per akhir tahun lalu telah menjaring sekitar 400 ribu pengusaha mikro baik pemilik warung, toko kelontong, dan usaha sejenis lainnya. Sejak dirilis pada November 2018, mitra dapat berjualan produk digital seperti PPOB hingga membeli stok barang.

Shopee juga tidak mau kalah. Sejak aplikasinya dirilis di Play Store pada September 2019, fiturnya pun tidak jauh berbeda. Hingga kini, Shopee belum bersedia merilis produk ini secara resmi ke publik.

Menurut CSLA, model B2B yang diambil para pemain marketplace ini berpeluang mendorong laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan ke arah positif.

Dari vertikal bisnis lain, ranah ini juga diramaikan oleh pemain lain seperti GrabKios by Kudo, Warung Pintar, Wahyoo, Payfazz, Netzme dan masih banyak lagi. Konsep yang ditawarkan saling beririsan dengan isu yang selama ini dihadapi agen dan warung tradisional.

Payfazz misalnya menempatkan diri sebagai agen keuangan di desa. Sementara, Wahyoo memosisikan diri sebagai pembentuk ekosistem warung makan dengan memberikan kemudahan stok barang.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder & CEO PayFazz Hendra Kwik mengklaim model bisnis yang dianut perusahaan yakni B2B2C dianggap mampu memberikan kontribusi bisnis yang positif. Bahkan dia menyebut perusahaan sudah mencetak laba tapi belum positif.

“Tahun ini harusnya positif kalau misalnya hiring stop, tapi kita investasi terus di situ, spent-nya besar,” katanya.

Kontributor terbesar Payfazz berasal dari penjualan produk PPOB karena layanan pembayaran yang disediakan cukup komprehensif. Selain dijual oleh para agennya, PPOB juga didistribusikan secara API (host-to-host/H2H) melalui anak usahanya Billfazz. Lewat Billfazz, API dari PPOB Payfazz dapat digunakan mitra perusahaan yang ingin menjual PPOB.

Hubungan spesial Jawa Barat dengan Bukalapak

Secara historis dan geografis, Jawa Barat punya hubungan yang spesial dengan Bukalapak. Tak heran kalau disebutkan ada lebih dari 500 ribu mitra berada di provinsi ini dari total 3,3 juta di seluruh Indonesia.

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin menjelaskan, Bandung dipilih sebagai tuan rumah peluncuran juga merupakan bagian dari inisiatif perusahaan tahun ini untuk roadshow ke daerah lainnya untuk mengidentifikasi potensi UKM lokal yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan.

“Memasuki dekade kedua, Bukalapak memang berfokus untuk mengoptimalkan potensi UKM yang ada di tiap daerah Indonesia. Warung sebagai salah satu tempat masyarakat dalam beraktivitas ekonomi, memiliki potensi besar untuk jadi kekuatan ekonomi daerah dan mendorong pertumbuhan nasional,” terang Rachmat.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang turut hadir pada acara peresmian, menyebutkan pemanfaatan teknologi di warung dapat menjadi basis kekuatan ekonomi daerah. Menurutnya, semakin banyak warung yang menjual produk virtual, maka semakin menguntungkan bagi pemilik warung dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian daerah.

Di provinsi ini, lanjutnya, 80% perekonomiannya didukung oleh sektor UKM dengan porsi terbanyak berada di sektor kuliner. Diklaim pula, penetrasi digital telah mencapai angka yang sama. Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi optimis dalam tiga sampai lima tahun mendatang semua jenis perdagangan bisa dilakukan secara digital.

“Tiga basis inilah yang sudah go digital. Saya yakin dalam hitungan tiga sampai lima tahun semua jenis perdagangan di Jawa Barat, baik skala besar atau kecil dan riil seperti warung, bisa menggunakan platform digital,” ujar Kang Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil.

Dia menyebut untuk merealisasikan ambisi tersebut Pemprov tengah menggenjot pengembangan ekonomi berbasis digital untuk UMKM, warung, dan pesantren dengan model kolaborasi Pentahelix.

Konsep ini memperkenalkan bahwa kekuatan pembangunan di suatu negara atau wilayah perlu didukung oleh semua elemen, tidak bisa satu pihak saja. Lima elemen tersebut, mulai dari pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha dan media.

Mendukung pernyataan Kang Emil, menurut hasil laporan EV-DCI 2020 memaparkan Jawa Barat memiliki skor indeks 55.0 (skala 100) menempati posisi kedua, setelah Jakarta berdasarkan skor berkaitan kesiapan daya saing digital.

Faktor pendukungnya, antara lain SDM yang didukung dengan jumlah program studi dan dosen bidang digital tertinggi di Indonesia. Alhasil, jumlah tenaga kerja di sektor TIK tergolong tinggi. Infrastruktur digital sudah memadai dan berada di posisi ketiga, setelah DKI Jakarta dan Bali.

Kendati begitu, laporan ini juga menitikberatkan pada tergolong rendahnya kontribusi ICT terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Lantaran, kepemilikan komputer masih rendah, masuk urutan tiga terendah di antara provinsi lain di Pulau Jawa.

Akses internet melalui laptop di provinsi terendah di Pulau Jawa dan tiga terbawah di level nasional. Fasilitas keuangan seperti ATM belum terbesar merata karena perekonomian di provinsi ini terpusat di beberapa kota saja. Dengan kata lain, Jawa Barat masih punya peluang besar untuk terus berkembang karena tingkat pertumbuhan PDRB sektor ICT adalah tertinggi di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here