Open Source: Pengertian, Jenis, Kelebihan dan Kekurangannya

Kamu mungkin pernah mendengar istilah open source di bidang teknologi informasi, khususnya di bidang software atau aplikasi. Open source umum dikenal juga sebagai pendekatan yang mudah untuk kolaborasi antara pengguna atau publik dalam menggunakan aplikasi atau program komputer tertentu. Jadi bagi kamu yang baru mengenalnya dan belum pernah mendengar tentang open source, simak ulasan singkatnya di bawah ini.

Apa Itu Open Source?

Istilah open source umumnya mengacu pada segala sesuatu yang dapat dimodifikasi dan dibagikan di antara pengguna open source. Open source pada awalnya dikenal di bidang pengembangan perangkat lunak sebagai OSS atau Open Source Software. Hal itu sendiri adalah kode pengembangan yang dapat dilihat, dimodifikasi, dan dibagikan oleh publik atau siapa saja sesuai keinginan.

Secara teknis, open source mengacu pada pengembangan open source terdistribusi dan kolaboratif. Ini juga didukung oleh peer review dan produksi komunitas. Sebagai produk yang paling banyak digunakan dan komprehensif, open source software cenderung lebih murah dan lebih fleksibel daripada produk eksklusif serupa.

Jadi, open source dapat diartikan sebagai software yang source code atau base code-nya dapat digunakan oleh banyak orang. Selain itu, kamu dapat menggunakan software ini untuk mengembangkan aplikasi dan membuat software versi terbaru.

Jenis-jenis Software Open Source

Berikut ini adalah beberapa software open source yang biasa digunakan untuk tujuan bisnis.

1. Open source office software

Open source office software adalah software yang mendukung produktivitas kantor berdasarkan open source. Jenis perangkat lunak open source ini biasanya mencakup aplikasi pengolah kata seperti Microsoft Word, spreadsheet, database, grafik, dan presentasi. Beberapa kantor OSS termasuk Libre Office, Open Office dan Abiword.

2. Open source accounting software

OSS accounting adalah software akuntansi yang digunakan untuk mengelola pembukuan dan pengelolaan keuangan di suatu perusahaan atau institusi. Jenis perangkat lunak open source ini dapat membantu mengumpulkan data dan informasi akuntansi, mengelola akun, dan mengotomatiskan tugas akuntansi berulang. Contoh perangkat lunak open source jenis ini adalah GNU Cash, Front Accounting, dan Odoo.

3. Open source website software

Jenis perangkat lunak web open source ini adalah OSS berbasis akses terbuka dan web terbuka. Website ini umumnya dapat dibuat dan digunakan secara terbuka dengan penawaran gratis maupun berbayar. Beberapa contoh software website open source adalah WordPress, Joomla dan NginX.

4. Open source browser and communication apps

Open source browser and communication apps adalah perangkat lunak mesin peramban yang bebas digunakan. Pada saat yang sama, OSS Communication pada dasarnya adalah layanan berbagi email atau pesan. Contoh perangkat lunak open source jenis ini adalah Mozilla Firefox, Mozilla Thunderbird dan Pidgin.

Kelebihan dan Kekurangan Open Source

Segala sesuatu yang ada pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Di bawah ini adalah kelebihan dan Kekurangan dari perangkat lunak open source.

Kelebihan

• Membutuhkan biaya lebih sedikit dan biasanya gratis.

• Dapat dimodifikasi dan dikembangkan secara mandiri.

• Dapat membuat versi perangkat lunak sendiri.

• Ketika muncul masalah software, kemungkinan dapat diselesaikan dengan sendirinya tanpa bantuan pengembang.

Kekurangan

• Keamanan kurang terjamin.

• Manual instruksi perangkat lunak sulit dipahami oleh pengguna biasa.

• Minim dukungan pengembang.

Demikian pembahasan kita mengenai perangkat lunak open source, semoga kamu lebih mengerti ya.

Amazon Rombak Lumberyard Menjadi Game Engine Open-Source Bernama Open 3D Engine

Game engine yang dapat digunakan secara cuma-cuma oleh kalangan developer sudah sangat umum kita jumpai di tahun 2021 ini. Bahkan engine sekelas Unreal Engine 5 pun sekarang bisa dipakai secara gratis, dan developer baru diwajibkan membayar biaya royalti seandainya pemasukan yang didapat sudah mencapai angka 1 juta dolar.

Yang masih tergolong langka adalah game engine yang bersifat open-source, yang bebas dimodifikasi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing developer. Itulah nilai jual utama yang hendak ditawarkan oleh Open 3D Engine (O3DE), game engine anyar yang terlahir Lumberyard, engine racikan Amazon yang dirilis sekitar lima tahun silam.

Lumberyard, bagi yang tidak tahu, awalnya diramu dengan menggunakan CryEngine sebagai basisnya. Guna menghindarkan developer dari masalah-masalah terkait lisensi atau pelanggaran kekayaan intelektual, Amazon pun memutuskan untuk membangun O3DE dari nol. Dengan kata lain, O3DE bukan sebatas Lumberyard yang telah menjalani re-branding dan dijadikan open-source begitu saja.

Juga baru adalah komponen renderer-nya, yang diklaim lebih superior dan lebih photorealistic ketimbang milik Lumberyard. Amazon cukup percaya diri bahwa O3DE punya potensi untuk digunakan di luar industri video game.

Kendati demikian, daya tarik terbesar O3DE tentu adalah sifat terbukanya, dan ini bisa berujung pada setidaknya dua keuntungan. Yang pertama, layaknya proyek open-source lain, O3DE bakal terus disempurnakan seiring berjalannya waktu, sebab siapapun bisa ikut berkontribusi terhadap pengembangannya. Tidak main-main, pihak yang mengawasi pengembangan O3DE adalah Linux Foundation, yang kita tahu sudah punya pengalaman panjang perihal open-source development.

Sejumlah perusahaan ternama seperti Adobe, Huawei, Intel, maupun Niantic juga sudah mengumumkan komitmennya untuk berkontribusi terhadap pengembangan O3DE, dan mereka semua bakal berkolaborasi di bawah wadah bernama Open 3D Foundation. Bulan Oktober nanti, Open 3D Foundation sudah punya rencana untuk menggelar acara O3DECon dan mengundang komunitas developer untuk ikut berpartisipasi.

Keuntungan yang kedua adalah kemudahan O3DE untuk ‘dipecah-belah’ seandainya developer hanya perlu menggunakan beberapa fiturnya saja, lalu mengintegrasikannya ke engine lain yang mereka gunakan. Sebagai proyek yang terlahir dari lab Amazon, O3DE tentu menawarkan integrasi yang mudah ke infrastruktur cloud milik Amazon Web Services (AWS), dan ini semestinya bisa menjadi daya tarik tersendiri buat sejumlah developer.

O3DE saat ini sudah tersedia dalam bentuk developer preview. Versi finalnya ditargetkan bakal tersedia mendekati akhir tahun 2021. Selain untuk mengembangkan game PC, macOS, Linux, iOS, maupun Android; O3DE ke depannya juga dapat digunakan untuk menggarap game Xbox, PlayStation, Nintendo Switch, Oculus, dan bahkan AR headset Magic Leap.

Sumber: VentureBeat.

Mengenal Kubernetes dan Manfaatnya Bantu Startup Lebih Lincah

Google pertama kali memperkenalkan istilah “Kubernetes” pada 2014 berdasarkan pengalamannya selama satu setengah dekade terakhir menjalankan berbagai workloads hasil kontribusi dari berbagai komunitas pengembang dalam ekosistem teknologinya.

Selepas pengembangan awal, Kubernetes pun kian populer di kalangan pengembang dunia. Hal itu tak lepas dari fitur yang diusungnya diklaim memiliki sejumlah keuntungan, di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development.

Sejumlah keuntungan dari Kubernetes sejalan dengan semangat startup dan kalangan enterprise yang ingin mempercepat transformasi digitalnya. Terlebih sejak pandemi, banyak pihak yang merasakan dampak dari beralih ke digital. Dalam membahas ini lebih jauh, #SelasaStartup kali ini mengundang VP & Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati untuk berbagi pandangannya.

VP and Managing Director Southeast Asia SUSE Isabella Kusumawati / SUSE
Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer

SUSE itu sendiri adalah perusahaan perangkat lunak untuk enterprise yang memiliki solusi Kubernetes dinamai Rancher. Berikut hasil rangkumannya:

Apa itu Kubernetes dan Mengapa dibutuhkan?

Kubernetes adalah sistem orkestrasi kontainer open source yang menyediakan kerangka kerja bagi developer untuk mengatur kontainer ini. Kontainer adalah cara modern yang dilakukan oleh para developer untuk mengemas aplikasi software, sehingga bisa lebih mudah didistribusikan dengan cepat dan efektif. Namun kalau ada terlalu banyak kontainer, ini bisa menjadi sangat sulit untuk dikelola.

Untuk mengoptimalkan fungsi teknologi kontainer, umumnya pengembang memanfaatkan sebuah aplikasi khusus, salah satu yang belakangan sering direkomendasikan adalah Kubernetes. Selain itu, Kubernetes bersifat portabel karena dapat disesuaikan dan dapat memfasilitasi otomatisasi, penerapan, dan konfigurasi kontainer di seluruh kelompok host.

Kubernetes berdiri di atas platform Linux dan dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah pengembang mengelola kontainer yang berisikan sekian aplikasi melalui proses yang singkat dan mudah.

“Dengan memasukkan aplikasi ke dalam kontainer dan menggunakan Kubernetes, Anda telah merancang sistem yang bisa support zero down time. Didukung dengan distribusi sistem yang secara otomatis dapat terintegrasi dengan solusi penyimpanan, rollout dan rollback yang sangat penting bagi IP,” terang Isabella.

Dengan menggunakan Kubernetes, para pengguna dapat memperoleh sejumlah keuntungan di antaranya skalabilitas, portabilitas, deployment yang konsisten, dan separated automated operation and development. Misalnya untuk skalabilitas, Kubernetes secara otomatis men-scale cluster berdasarkan kebutuhan pengguna.

Dalam skenario ini, ketika trafik berada di kontainer besar, aplikasi secara otomatis bisa melakukan load balancing traffic, sehingga distribusi trafik tetap bisa dijalankan dengan stabil. Dengan demikian, pengguna dapat menghemat biaya dan sumber tenaga.

Kemampuan ini tentunya sangat berguna untuk aplikasi yang trafiknya sering tidak bisa diprediksi. Perusahaan harus tetap online melayani pembelian tiket acara online misalnya, di mana konsumen membeli tiket 24 jam dalam sehari, tujuh hari seminggu dengan beban yang bervariasi setiap saat. Kendati, Anda tahu gambaran garis besar tentang beban dan trafik pengunjung, serta pola-pola waktunya. Namun, ada saat-saat di mana ada lonjakan yang bertambah secara eksponensial.

Kubernetes untuk semua tahapan perusahaan

Isabella menegaskan, meski terkesan Kubernetes sangat tepat untuk level enterprise karena sangat mendukung proses transformasi digital, namun sebenarnya dapat diaplikasikan oleh semua level perusahaan. “Apalagi startup yang sangat cost conscious, Kubernetes dapat membantu mereka dalam menekan ongkos pengembangan aplikasi.”

Dengan sifatnya yang open source, pengguna akan diuntungkan karena model berlangganannya pay-as-you-use dan dilengkapi monitor manager yang otomatis memberikan rekomendasi untuk scale up atau down.

Umumnya, Kubernetes banyak dipakai oleh perusahaan yang bergerak di teknologi atau yang punya trafik tinggi, seperti manufaktur, ritel, telekomunikasi, distribusi, healthcare, dan lain-lain. “Telko saat ini paling sibuk saat Covid-19 karena mereka harus terus memastikan bandwidth cukup, mengurangi down time, harus selalu up time.”

Sementara itu, bagi perusahaan besar yang ingin menggunakan Kubernetes adalah metode baru karena dapat mempercepat proses pengembangannya. Isabella mencontohkan, sebuah perusahaan hanya membutuhkan waktu maksimal 1,5 bulan dari rencana awal 10 bulan dalam membangun aplikasi.

“Karena dulu saat bangun aplikasi, harus bangun satu per satu ke dalam folder yang tidak beraturan. Dengan clustering, kita menciptakan cluster-cluster sesuai bidangnya masing-masing. Sehingga saat mau mulai baru, tidak perlu brainstorming sudah sampai mana.”

Untuk membantu implementasi Kubernetes lebih masif, SUSE membuat buku Kubernetes Management For Dummies, untuk mendapatkan bantuan dalam membangun lingkungan Kubernetes tingkat perusahaan. Dilengkapi pula dengan komunitas yang hadir di tiap negara, termasuk Indonesia yang mengadakan pertemuan rutin untuk berbagi tentang informasi terbaru dan meminta bantuan apabila menghadapi masalah teknis saat migrasi.

“Kami juga membuat buku panduan untuk mahasiswa Rancher University agar bisa mempelajari Kubernetes sedari awal.”

Panduan tersebut akan mempermudah saat pengguna migrasi, pasalnya banyak tantangan dalam prosesnya karena pengguna memaksakan versi mereka sendiri. Ada sejumlah panduan yang langkah-langkahnya harus diikuti, misalnya operating system terbaru. “Tapi masih banyak yang tidak percaya dan merasa yakin bisa melewati tahap tersebut tanpa kendala. Saat tidak sesuai dengan best practise akan ada kendala, tapi tergantung kompleksitas clustering yang ingin dibangun,”pungkasnya.

Gambar Header: Depositphotos.com

Google, Amazon dan Apple Berkolaborasi untuk Menciptakan Standar Konektivitas Perangkat Smart Home

Salah satu alasan mengapa tren perangkat smart home terkesan agak terhambat adalah belum adanya satu standar atau protokol yang bisa dijadikan acuan oleh semua produsen. Untuk sekarang, konsumen pada dasarnya diharuskan memilih satu dari sederet ekosistem; Google dengan Nest, Amazon dengan Echo, Apple dengan HomeKit, Samsung dengan SmartThings, dan masih banyak lagi.

Di Amerika Serikat, sebenarnya sudah ada satu protokol yang cukup populer, yakni Zigbee. Namun perusahaan yang memanfaatkannya dan yang tergabung dalam Zigbee Alliance masih belum begitu banyak. Itulah mengapa dinilai perlu ada standar baru yang melibatkan lebih banyak pihak, dan buah inisiatifnya adalah Connected Home over IP.

Di samping Zigbee Alliance, nama-nama besar di industri yang tergabung dalam proyek ini meliputi Google, Amazon, dan Apple. Tujuan dari proyek ini adalah menyederhanakan proses pengembangan di antara para pabrikan, serta meningkatkan kompatibilitas dari sisi konsumen.

Pendekatan yang diambil adalah dengan rute open-source, sehingga hasil akhirnya dapat membuahkan protokol baru yang dapat dimanfaatkan oleh semua produsen perangkat smart home tanpa terkecuali. Buat konsumen, ini berarti ke depannya kita tidak harus ‘terkunci’ dalam satu ekosistem smart home saja.

Masing-masing perusahaan yang tergabung dalam aliansi baru ini akan menyumbangkan sebagian teknologinya untuk diolah lagi menjadi standar konektivitas yang sifatnya universal. Google misalnya, mereka sejauh ini sudah punya dua protokol yang open-source, yakni Weave dan Thread, dan ini nantinya bakal menjadi salah satu fondasi dari standar baru yang ditetapkan.

Sumber: VentureBeat dan Google.

 

Konferensi “Open Infra Day” Rekatkan Kolaborasi Komunitas dan Industri dalam Pengembangan Teknologi Sumber Terbuka

Seiring perkembangannya, perangkat keras/lunak berbasis sumber terbuka (open source) makin diminati oleh berbagai kalangan, termasuk korporasi. Pemanfaatannya sudah menyebar di berbagai lini, termasuk pada tingkatan infrastruktur — teknologi yang dimanfaatkan sering disebut dengan istilah “Open Source Infrastructure Software/Hardware” (Open Infra).

Kategori produk Open Infra sudah sangat beragam, mulai dari IaaS Cloud, Hypervision, Open Compute, Container, Storage Cluster, hingga Open Networking. Pengembangannya dilakukan secara terbuka oleh komunitas dan telah terbukti mumpuni untuk dijadikan fondasi operasional layanan TI.

Agar pengembangannya terus berlanjut, komunitas membutuhkan dukungan dan kontribusi dari industri. Sehingga sinergi mutualisme sangat berarti untuk diwujudkan. Hal tersebut yang turut diyakini Biznet Gio Cloud, sehingga menginisiasi konferensi bertajuk “Indonesia Open Infra Day”, mempertemukan kontributor open source dan berbagai pelaku industri.

Acara yang berlangsung pada 2 November 2019 di Surabaya tersebut menghadirkan berbagai diskusi membahas berbagai opsi kolaborasi yang dapat dilakukan komunitas dan industri. Selain itu dihadirkan juga sesi keynote speech hingga workshop, untuk memberikan pengetahuan baru bagi para peserta yang hadir.

Tema-tema krusial terkait dengan pemanfaatan teknologi yang makin masif di Indonesia juga dihadirkan. Sebut saja soal kedaulatan data yang disampaikan oleh CEO Biznet Gio Cloud Dondy Bappedyanto. Beragam pemateri dari sektor-sektor bisnis unggulan juga didatangkan, seperti EVP Digital Center of Excellence BRI Kaspar Situmorang yang menyampaikan tema pemanfaatan Open Infra untuk layanan keuangan mikro.

Menjadi konferensi Open Infra pertama di Indonesia, acara ini diharapkan meningkatkan kolaborasi antar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan dan pemanfaatan infrastruktur teknologi berbasis open source.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner konferensi Open Infra Day

Huawei HarmonyOS: Bukan Pesaing Android, Belum untuk Perangkat Smartphone

Perang dagang antara Amerika dan Tiongkok memiliki dampak yang berimbas pada perusahaan yang memiliki hubungan antar dua negara tersebut.  Yang saat ini ramai dibicarakan adalah hubungan antara Google dari Amerika dan Huawei dari Tiongkok. Imbasnya adalah Huawei tidak diperbolehkan untuk menggunakan sistem operasi Android pada perangkat mereka di masa depan.

Huawei ternyata masih memiliki cadangan rencana saat hal seperti ini terjadi. Huawei sudah memiliki Hongmeng, sebuah sistem operasi yang dikembangkan mulai dari tahun 2017 silam. Baru-baru ini, Huawei memberi nama baru pada Hongmeng, yaitu Huawei HarmonyOS.

Ide awal Huawei membuat sistem operasi adalah karena produk-produk yang bakal diluncurkan nantinya tidak hanya smartphone saja. Huawei saat ini sudah memiliki smartwatch, tablet, laptop, smartband, TV, head unit, dan earphone. Di masa depan, IoT juga bakal menjadi sebuah ladang yang harus digarap oleh mereka. Huawei merasa bahwa Android yang merupakan turunan dari Linux tidak bisa mengakomodasi perangkat-perangkat tersebut.

Microkernel

Hal tersebut dikarenakan Android memiliki kernel yang sangat besar. Ada sekitar 100 juta baris kode pada kernel Android yang membuat sebuah perangkat tidak bisa berjalan dengan mulus. Menurut James Lu, Senior Manager EMUI Product Marketing Huawei Consumer Business Group mengklaim bahwa hal tersebutlah yang masih dikeluhkan para pengguna perangkat wearable saat ini. Efisiensi kode pada Android masih dipandang kurang untuk perangkat-perangkat non smartphone.

James Lu
James Lu, Senior Manager EMUI Product Marketing Huawei Consumer Business Group

Selain itu, sebuah sistem operasi biasanya akan sangat tergantung kepada hardware yang digunakan. Hal tersebut yang masih berlaku hingga saat ini, seperti Windows tergantung pada prosesor x86 dan Android pada ARM. Ekosistem yang terbentuk juga sangat bergantung pada sistem operasi yang ada, seperti Android dan iOS.

Jadi, HarmonyOS dibuat untuk menutupi kekurangan yang ada pada Android. HarmonyOS juga dibuat agar dapat berkomunikasi antara satu perangkat dengan perangkat lainnya. James memberikan contoh pada saat ingin melakukan sebuah panggilan video, Huawei ingin agar kamera terbaik yang ada dalam sebuah ruangan yang digunakan, bersamaan dengan microphone dan speaker terbaik. Misalkan kita memiliki sebuah laptop, smart camerasmart speaker, maka HarmonyOS bisa saja menggunakan kamera pada smart camera, suara pada smart speaker, dengan layar dan mic dari laptop.

Hal ini dimungkinkan jika sebuah sistem operasi memiliki kernel yang kecil. Oleh karenanya, HarmonyOS mengusung microkernel yang memiliki baris kode hanya sepersepuluh dari Android. “HarmonyOS dapat mengurangi latensi respons aplikasi hingga mencapai 25,7% dan fluktuasi latensi 55,6%,” ujar James.

Distributed Architecture

HarmonyOS nantinya bakal mampu dipasangkan pada perangkat-perangkat dengan berbagai skenario. Rencananya, pemasangan sistem operasi ini bakal bisa dijalankan pada perangkat dengan RAM dengan hitungan Kilobyte hingga Gigabyte seperti yang ada pada saat ini. Hal ini dimungkinkan dengan Distributed architecture yang baru pertama kali digunakan pada OS untuk perangkat mobile.

OS Masa Depan

Distributed architecture yang digunakan oleh Huawei meliputi empat bagian, dengan menggunakan Distributed virtual bus yang bakal menangani komunikasi antar perangkat, Device virtualization, Distributed data management, dan Distributed task scheduling. Distributed virtual bus yang ada di HarmonyOs juga diefisiensikan protokolnya sehingga menjadi lebih mudah untuk terkoneksi, karena memiliki latensi di bawah 20ms, kecepatan hingga 1,2 Gbps, serta pengurangan packet loss hingga 25%.

Oleh karena Android memiliki mekanisme scheduling (proses mengatur, mengendalikan dan mengoptimalkan pekerjaan dan beban kerja) dari Linux, membuat latensi akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu Huawei membuat scheduling yang menganalisa beban kerja secara real time dengan mencocokkan dan memperkirakan karakteristik dari sebuah aplikasi.

Tingkat keamanan yang digunakan pada HarmonyOS berbeda dari kebanyakan OS. HarmonyOS adalah yang pertama kali menggunakan metode verifikasi Trusted Execution Environment (TEE). James mengatakan bahwa TEE lebih aman dari Rich Execution Environment (REE) yang digunakan di banyak sistem operasi.

Satu hal yang ditakutkan oleh para vendor adalah akses root yang ilegal yang beresiko menghapus sistem secara keseluruhan. Pada HarmonyOS, akses root pun dihapus dengan membagi kernel ke dalam dua bagian, di mana microkernel memiliki kunci akses tersendiri, sedangkan pada kernel eksternal akan mengunci setiap service yang ada dengan kunci yang berbeda-beda sehingga lebih sulit untuk ditembus.

Integrated Development Environment (IDE)

Lalu bagaimana dengan para developer yang ingin membuat dan mengembangkan aplikasi untuk HarmonyOS? Satu kendala yang ada biasanya adalah para developer diharuskan untuk mempelajari bahasa pemrograman baru yang sudah pasti memakan waktu lama. Hal ini pun juga ternyata telah dipikirkan oleh Huawei.

HarmonyOS Arch

Huawei menerapkan Integrated Development Environment (IDE) untuk HarmonyOS. Dengan IDE, developer hanya diharuskan untuk melakukan pembuatan satu aplikasi saja untuk dipakai pada banyak perangkat yang berujung pada efisiensi pengembangan software. Pada IDE juga sudah menerapkan kontrol dan adaptasi resolusi layar yang berbeda-beda secara otomatis, mendukung drag-and-drop, serta dapat melakukan pratinjau programming secara visual.

Pemrograman yang dilakukan juga tidak memerlukan bahasa pemrograman baru. Hal tersebut dikarenakan pada Huawei sudah membuat compiler HUAWEI ARK yang mendukung C/C++, Java, JS, Kotlin, dan lain sebagainya. James mengklaim bahwa hal ini tentu akan meningkatkan produktivitas pengembangan aplikasi.

Bukan Saingan Android dan iOS

Dari semua yang telah dijelaskan oleh James, beliau menyatakan bahwa HarmonyOS tidak dibuat untuk menjadi saingan Android. Bahkan James menyatakan bahwa semua perangkat smartphone Huawei yang ada saat ini bakal tetap menggunakan Android. Hal tersebut disebabkan oleh ekosistem yang dimiliki oleh Android sudah matang.

Aplikasi yang ada pada ekosistem Android membuatnya lebih dipilih. James mengatakan bahwa satu hal yang membuat Android bisa sukses adalah kemampuannya untuk berjalan pada berbagai platform. Selain itu, Android merupakan sistem operasi dengan metode open source, sehingga banyak developer yang bisa berkontribusi untuk mengembangkannya.

Huawei P30 Pro

Apple juga dapat sukses dengan iOS karena berhasil membuat papan ketik pada layar dan pertama kali menggunakan metode multitouch. Sayangnya, iOS hanya dibuat khusus untuk perangkat Apple saja.

Android juga khusus dikembangkan pada perangkat smartphone saja. Sedangkan HarmonyOS pengembangannya lebih luas dari Android. Contohnya saja, sebentar lagi HarmonyOS bakal digunakan pada perangkat smartTV dari Huawei. James juga mengatakan bahwa pada tahun 2020 nanti mereka bakal meluncurkan HarmonyOS untuk smartwatch.

Akan tetapi, James mengatakan jika nantinya pemerintah Amerika kembali menerapkan pemblokiran terhadap Huawei untuk menggunakan sistem operasi Android, mereka pun sudah siap. HarmonyOS juga bakal dikembangkan untuk dapat berjalan pada perangkat smartphone dan tablet. Namun, hal tersebut akan dilakukan sebagai jalan terakhir saja.

Roadmap
Sejarah dan perencanaan HarmonyOS

Huawei juga membuat HarmonyOS menjadi open source. Hal itu dikarenakan Huawie menginginkan banyak developer yang dapat berkontribusi untuk mengembangkan HarmonyOS.

Hingga saat ini, Huawei masih belum memiliki jangka waktu, kapan HarmonyOS  bakal tersedia untuk perangkat smartphone dan tablet. Oleh karena itu, kita masih harus menunggu kemunculan perangkat pertama yang menggunakan HarmonyOS sehingga bisa mendapatkan sedikit gambaran bagaimana sistem operasi ini berjalan.

Microsoft Edge Bakal Adopsi Teknologi Open-Source Chromium

Di bawah komando Satya Nadella, Microsoft dalam beberapa tahun terakhir tampak lebih aktif berpartisipasi dalam komunitas pengembangan software open-source. Puncaknya terjadi pada bulan Juni lalu, tepatnya ketika Microsoft mengumumkan bahwa mereka berniat mengakuisisi GitHub, salah satu platform open-source terpopuler yang ada saat ini.

Namun itu rupanya belum cukup untuk menunjukkan komitmen Microsoft terkait filosofi open-source. Baru-baru ini, mereka mengumumkan bahwa browser andalannya, Edge, bakal mengadopsi proyek open-source Chromium yang digagaskan Google. Ya, ini berarti ke depannya Edge bakal menggunakan rendering engine yang sama seperti Chrome.

Mengapa baru sekarang? Mungkin Microsoft baru menyadari kelemahan Edge perihal kompatibilitas. Namun situasinya bakal berubah drastis ketika Edge sudah memakai fondasi teknologi yang sama seperti Chrome. Chrome adalah browser terpopuler saat ini, jadi wajar apabila developer selalu memastikan situsnya bisa berjalan optimal di Chrome.

Selain penyempurnaan kompatibilitas, pengadopsian Chromium juga berarti Edge bisa hadir di lebih banyak platform. Edge nantinya dapat diunduh oleh konsumen yang perangkatnya masih menjalankan Windows 7 atau Windows 8, dan Microsoft tidak menutup kemungkinan akan eksistensi Edge di platform macOS.

Terakhir, Microsoft juga berjanji untuk aktif berpartisipasi dalam pengembangan Chromium. Kontribusi mereka pada dasarnya berpotensi menjadikan browserbrowser berbasis Chromium lebih baik di platform Windows, termasuk Chrome itu sendiri.

Sumber: Microsoft.

Demi Kebaikan Bersama, Tesla Akan Rilis Source Code Software Keamanannya

Elon Musk bukan sosok jenius (plus kaya) yang paling ramah yang bisa Anda temui, apalagi setelah kontroversi pernyataannya seputar aksi penyelamatan korban yang terjebak di dalam gua di Thailand beberapa waktu lalu. Kendati demikian, dunia masih perlu banyak berterima kasih kepadanya.

Ambil contoh Hyperloop. Konsep transportasi masa depan itu berawal dari pemikiran Elon Musk, namun ketimbang mematenkan teknologinya, beliau memutuskan untuk merilis blueprint-nya ke publik, dan dari situ akhirnya bermunculan sederet perusahaan yang mengembangkan sistem Hyperloop-nya sendiri-sendiri.

Baru-baru ini, Elon kembali membuktikan bahwa dirinya jauh dari kata egois jika menyangkut kebaikan generasi masa depan. Lewat sebuah Tweet (seperti biasa), Elon mengungkap rencananya untuk merilis source code dari software keamanan yang digunakan mobil-mobil Tesla, sehingga pabrikan lain bisa memakai source code tersebut tanpa mengeluarkan biaya lisensi (open-source).

Elon menilai bahwa langkah ini penting demi menjaga keselamatan mobil kemudi otomatis di masa yang akan datang. Padahal, kalau mau Elon sebenarnya bisa mengabaikan rencana ini, lalu ke depannya memasarkan mobil kemudi otomatisnya sebagai yang paling aman dibanding produk kompetitor.

Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla
Tampilan panel instrumen Tesla saat Autopilot aktif / Tesla

Kasusnya mungkin kurang lebih mirip seperti ketika Volvo menciptakan sabuk pengaman tiga titik untuk pertama kalinya di tahun 1959. Awalnya Volvo mematenkan teknologi tersebut, namun tak lama setelahnya Volvo merelakan paten tersebut supaya pabrikan lain juga bisa memproduksi mobil dengan desain sabuk pengaman yang sama demi keselamatan orang banyak.

Buat Tesla, jiwa mulianya ini memang belum terbukti, dan lagi masih ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan mereka: Tesla dari awal memang menggunakan platform open-source macam Linux sebagai basis berbagai fiturnya, sehingga pada akhirnya mereka juga dituntut untuk membalas kebaikan komunitas dengan merilis source code rancangannya.

Tesla pun perlahan memenuhi tuntutan tersebut. Bulan Mei lalu, mereka merilis source code untuk software Autopilot-nya. Sekarang kita tinggal menunggu Tesla memenuhi rencananya mengenai perilisan source code untuk software keamanannya ini, demikian pula softwaresoftware lain ke depannya demi prospek industri otomotif yang lebih cerah.

Sumber: Engadget.

Webcam Pintar Hello Segera Kedatangan Suksesor yang Lebih Andal Lagi

Sekitar dua tahun yang lalu, saya sempat menulis tentang Hello, sebuah webcam pintar yang dapat mengubah TV atau monitor apapun menjadi alat video conferencing, screen sharing maupun live broadcasting, semuanya lewat satu sambungan HDMI. Kampanye crowdfunding-nya terbukti sukses, dan kini Solaborate selaku pengembangnya sedang sibuk menyiapkan suksesornya.

Premis yang ditawarkan Hello 2 masih sama seperti pendahulunya: ketimbang harus membeli perangkat video conferencing yang umumnya berharga mahal, Anda hanya perlu menyambungkan Hello ke TV, lalu meletakkannya di atas TV supaya semua orang dalam ruangan bisa ikut berpartisipasi.

Solaborate Hello 2

Beberapa komponen penunjangnya masih dipertahankan, namun telah disempurnakan. Di antaranya ada sensor kamera 4K dengan kualitas yang lebih baik dan sudut pandang lebih luas (112°), 4 mikrofon beam-forming berteknologi noise dan echo-cancelling yang mampu menangkap suara dari jarak sejauh hampir 10 meter, serta prosesor 6-core yang menjadi otak semuanya.

Namun penyempurnaan hardware baru sebagian dari cerita lengkapnya, sebab platform-nya secara keseluruhan kini juga sudah dipoles lebih matang lagi berkat dukungan asisten virtual Alexa dan Google Assistant, serta dukungan fungsi home automation lewat platform Zigbee.

Solaborate Hello 2

Pengguna sekarang juga dapat meng-install berbagai aplikasi Android pada Hello 2, sehingga perangkat pun sejatinya dapat merangkap peran sebagai sebuah set-top-box untuk streaming video jika perlu. Integrasi berbagai layanan seperti Slack, Facebook Workplace, Dropbox, Google Drive dan Calendar kini juga telah tersedia secara default pada Hello 2.

Perannya sebagai kamera pengawas juga tidak dilupakan, bahkan lebih dipertegas lagi lewat penyempurnaan pada fitur night vision, serta pendeteksi suara dan gerakan. Bagi yang mementingkan masalah privasi, Hello 2 dilengkapi dua tombol untuk secara langsung memutus input video dan audio, meminimalkan peluang perangkat diretas secara remote.

Hello Touch dan keputusan menjadi open-source

Solaborate Hello 2

Di samping Hello 2, Solaborate rupanya turut mengembangkan perangkat lain bernama Hello Touch. Touch sejatinya merupakan TV 4K besar berbekal panel sentuh yang dapat digunakan untuk memudahkan proses kolaborasi secara real-time maupun sebagai papan tulis digital.

Semua yang dapat dilakukan Hello 2 juga bisa dilakukan Hello Touch, sebab seperti yang bisa Anda lihat, memang ada sebuah Hello 2 yang menancap di bagian atasnya. Secara keseluruhan, Touch sejatinya bisa menjadi alternatif terhadap Microsoft Surface Hub atau Google Jamboard, dan Solaborate pun memastikan harganya bakal cukup terjangkau guna meningkatkan nilai kompetitifnya.

Hal lain yang juga menarik untuk disorot adalah keputusan Solaborate membuka platform Hello 2 dan menjadikannya open-source. Dengan begitu, developer pihak ketiga bisa mengembangkan aplikasi untuk meningkatkan fungsionalitas Hello 2.

Solaborate Hello 2

Bukan cuma software, Solaborate juga membuka kesempatan bagi yang tertarik menggarap hardware untuk melengkapi Hello 2 maupun Hello Touch. Guna menginspirasi para kreator hardware, Solaborate pun telah menyiapkan dua aksesori berupa game controller dan programmable button untuk Hello 2.

Dari situ kreator dapat memonetisasi karya mereka masing-masing. Saat saya tanya lebih spesifik mengenai aspek monetisasi ini, Labinot Bytyqi selaku CEO Solaborate mengungkapkan bahwa detailnya masih sedang mereka diskusikan dan matangkan. Namun yang hampir bisa dipastikan, Hello nantinya juga bakal membawa semacam app store-nya sendiri demi mewadahi karya para developer pihak ketiga.

Rencananya, Hello 2 akan kembali ditawarkan melalui platform crowdfunding Kickstarter dan Indiegogo sekaligus dalam waktu dekat. Harganya masih belum diungkapkan, tapi semestinya tidak terpaut jauh dari pendahulunya. Sebagai informasi, selama masa kampanye crowdfunding, Hello generasi pertama ditawarkan seharga $189, tapi sekarang versi retail-nya dibanderol $449.

*Update: kampanye Kickstarter untuk Hello 2 saat ini sudah dimulai.

LG Rilis webOS Versi Open-Source Demi Mewujudkan Pengadopsiannya di Kategori Perangkat Lain

Masih ingat dengan webOS? Sebelum Android jadi sebesar sekarang, webOS pada masanya merupakan alternatif lain iOS yang tidak kalah menarik. Di tahun 2010, webOS berpindah tangan ke HP bersamaan dengan akuisisi atas perusahaan pengembangnya, Palm. Lalu di tahun 2013, webOS berpindah tangan lagi ke LG.

Di tangan LG, webOS tidak lagi mengisi smartphone atau tablet, melainkan smart TV sekaligus kulkas. Kendati demikian, LG sebenarnya ingin webOS bisa merambah lebih banyak perangkat. Untuk itu, mereka mengumumkan webOS Open Source Edition, yang bisa diulik oleh developer yang tertarik.

Kalau melihat ilustrasi yang diberikan LG di atas, mereka tampaknya berharap ke depannya webOS bisa menenagai tablet, set-top box hingga robot. Merilis webOS versi open-source tentunya bisa membantu perwujudan visi tersebut. Di samping itu, LG juga bekerja sama dengan pemerintah Korea dalam membantu startup terpilih untuk urusan komersialisasi dengan webOS sebagai alat bantunya.

Yang menarik, ini bukan pertama kalinya webOS dijadikan open-source. Sebelum mengopernya ke LG, HP sebenarnya sempat mengubah sejumlah bagian webOS menjadi open-source di awal 2012. Versi ini juga yang akhirnya menjadi fondasi atas LuneOS, sistem operasi yang ditujukan buat smartphone dan tablet.

Kendati demikian, webOS versi open-source yang dirilis HP dulu ternyata tidak lengkap, seperti diungkapkan oleh pengembang LuneOS. Ini otomatis memunculkan pertanyaan serupa, apakah webOS Open Source Edition yang dirilis LG kali ini benar-benar komplet dan bisa digodok menjadi sistem operasi final untuk perangkat lain?

Sumber: LG.