Pemain Fintech Asal Inggris PPRO Masuk ke Indonesia Lewat Integrasi Ovo dan Doku

Platform pembayaran PaaS asal Inggris PPRO melebarkan sayapnya ke Indonesia lewat integrasinya dengan penyedia jasa pembayaran dari Indonesia Ovo dan Doku. Mereka melirik Indonesia karena dipandang aktivitas dari layanan e-commerce dan sistem pembayaran punya pertumbuhan yang pesat.

Dalam keterangan resminya, integrasi ini akan memungkinkan para pengguna PPRO yang terdiri dari pemain pembayaran global dan merchant-merchant yang tergabung di bawahnya dapat mendongkrak penjualan menarik konsumen dari Indonesia untuk berbelanja.

Baik Ovo dan Doku dalam suatu riset yang mereka kutip menyebutkan bahwa keduanya adalah pemain terdepan di Indonesia. Di negara ini, penetrasi kartu kredit kurang dari 5% terhadap populasi. Untuk mendukung keragaman preferensi opsi pembayaran di Indonesia, integrasi PPRO menampilkan empat jenis pembayaran: e-wallet, internet banking, transfer bank, dan uang tunai bagi konsumen yang lebih suka membayar di ATM dan toko swalayan.

“Indonesia adalah pasar strategis bagi konsumen tier teratas kami dan merchant-merchant mereka. Indonesia juga salah satu negara dengan peraturan yang sangat kompleks di regional terkait kepatuhan, peraturan, dan preferensi konsumen. Oleh karena itu, kami dengan senang hati sekarang menawarkan metode pembayaran lokal yang populer ini,” terang Global Head of Payment Networks Kelvin Phua.

Secara terpisah, saat ditanya lebih lanjut oleh DailySocial, Kelvin menjelaskan bahwa opsi pembayaran yang populer seperti Ovo dan Doku ini memiliki banyak opsi untuk melakukan top up saldo. Maka dari itu, kemitraan perusahaan dengan kedua pemain lokal ini memungkinkan perusahaan pembayaran global dan merchant mereka dapat menangkap peluang tambahan dari pembeli di Indonesia.

“Bagi konsumen, ini juga berarti bahwa mereka akan mendapat akses lebih banyak jenis barang dan jasa global yang telah berhasil mengintegrasikan Doku dan Ovo melalui PPRO. Pengalaman pembayaran akan sangat mirip dengan apa yang telah digunakan oleh pengguna di Indonesia karena kami memprioritaskan integrasi dengan kualitas terbaik dengan mitra kami.”

Kelvin melanjutkan, kehadiran PPRO di Indonesia menjadi pencapaian terbaru perusahaan untuk kawasan Asia Pasifik. Ke depannya perusahaan ingin membantu lebih banyak penyedia pembayaran lokal bergabung dengan PPRO dan terhubung dengan pedagang global.

Layanan PPRO

PPRO menempatkan diri sebagai PaaS (platform-as-a-service) yang menghubungkan pemain pembayaran lokal (payment service provider/PSP) di berbagai negara untuk melayani merchant yang tertarik memperluas peluang pasar lintas batasnya (cross-border). Melalui API dan platform PPRO, PSP dan merchant dapat menerima metode pembayaran lokal yang di tersebar di lebih dari 175 negara.

Sejumlah mitra PSP di Asia yang telah bermitra di antaranya AliPay, WeChat Pay, DragonPay, eNets, Konbini Pay, Pay-easy, dan GrabPay.

Perusahaan asal Inggris ini sudah berdiri sejak 2006 dan memiliki kantor yang tersebar sejumlah negara, seperti di Jerman, Singapura, dan Brazil untuk pengembangan produknya. Kelvin menuturkan, saat ini pihaknya belum memiliki tim lokal untuk menyeriusi bisnisnya di Indonesia. Kendati demikian, ia membuka kemungkinan tersebut bila perkembangan bisnis semakin signifikan.

“PPRO memiliki tim yang luas di seluruh APAC dan kantor di seluruh dunia. Saat ini, PPRO tidak memiliki tim yang bekerja di Indonesia, namun PPRO memiliki rencana ekspansi yang ambisius untuk masa depan,” tutupnya.

Karaniya Dharmasaputra: Kekuatan Digital dalam Demokratisasi Akses Investasi untuk Semua

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Karaniya Dharmasaputra adalah Co-Founder dan CEO dari Bareksa, pasar reksa dana online terintegrasi pertama di Indonesia. Saat ini, beliau juga menjabat sebagai President of OVO, salah satu platform pembayaran yang telah diterima baik di toko retail O2O maupun platform e-commerce.

Sebelum memasuki industri financial technology, Karaniya pernah menduduki berbagai posisi di perusahaan media ternama. Beberapa di antaranya adalah KOMPAS TV, KapanLagi Youniverse. Liputan6.com, The Jakarta Post, VIVA, dan TEMPO.

Dedikasinya pada jurnalisme telah memberinya gelar Master dalam Kebijakan Publik melalui program beasiswa Fullbright di Universitas George Washington, Washington DC, Amerika Serikat. Di sinilah dia memiliki pengalaman yang membuka mata dengan industri digital. Dia percaya kekuatan digital bisa mendemokratisasi akses bagi semua.

Tim DailySocial melakukan diskusi yang cukup mendalam dengannya, dan berikut pemaparannya.

Saat ini, Anda menjabat sebagai Co-founder dan CEO dari Bareksa, juga sebagai Presiden OVO. Bagaimana tantangan yang dihadapi selama mengemban dua posisi?

Saat ini, saya merasa hidup saya disetir oleh kalender, hal ini layaknya kompetisi yang terjadi dalam jadwal saya. Tidak ingin terdengar terlalu sibuk, tapi memang ini merupakan bagian dari pekerjaan. Untungnya, Ovo dan Bareksa memiliki visi yang sejalan dan juga sinergi yang cukup kuat. Oleh karena itu, bisnis ini tidak sepenuhnya terpisah dan kami pun banyak bersinggungan sepanjang perjalanan bisnis. Tahun lalu, Ovo turut berinvestasi di Bareksa dan sejak saat itu, sinergi kami semakin kuat. Baru-baru ini, OVO juga berekspansi ke layanan keuangan dan investasi, dan masih akan ada lebih banyak lagi.

Media gathering OVO 2020
Media gathering OVO 2020

Bagaimana awal mula perjalanan bisnis Anda? Dari perusahaan media hingga teknologi finansial

Sejak SMP, saya memiliki hobi yang cukup berbeda, membaca berita dari koran harian, majalah, dan televisi. Impian saya waktu itu adalah menjadi seorang arsitek atau jurnalis. Saya akhirnya diterima di jurusan komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Beberapa waktu saya menyempatkan untuk hadir dalam gerakan aktivis, hanya untuk mendapatkan pengalaman yang lebih kritis sebagai mahasiswa.

Saya memulai karir sebagai desainer grafis dan ilustrator. Pada saat yang sama, saya juga menaruh minat pada urusan publik. Tidak bermaksud terlihat sebagai orang yang sangat idealis, tetapi saya selalu berpikir bahwa hidup tidak hanya tentang menghasilkan uang. Memiliki nilai tambah dalam hidup, menimba pengalaman, serta menjadi berguna untuk orang lain juga patut diperjuangkan. Pengalaman pertama saya di perusahaan media adalah ketika saya wawancara dengan Tempo dan menjadi jurnalis bidang politik dan bisnis.

Perjalanan lain dimulai ketika Kedutaan Besar AS menawarkan saya beasiswa Fullbright. Saya tidak pernah terpikir untuk melanjutkan studi, hingga pada akhirnya bisa menyelesaikan gelar master dalam kebijakan publik dari Universitas George Washington. Ini menjadi titik balik hidup saya.

Jika bisa dikategorikan, ada tiga gelombang digital yang terjadi di Indonesia. Pertama, menghantam industri media kita. Lalu, kebangkitan e-commerce. Terakhir, terjadi pada teknologi keuangan. Saya dikirim ke AS pada tahun 2004, gelombang pertama sudah mulai merebak di industri media. Saat itu, belum ada jurnalisme multimedia.

Pengalaman digital pertama saya di AS cukup mencengangkan. Saya tidak berasal dari keluarga bangsawan, beasiswa saya pas-pasan untuk menutupi pengeluaran saya dengan seorang istri dan tiga anak. Setiap hari, saya menonton berita, dan sangat kagum dengan bagaimana dunia digital bisa berubah dan menghilangkan batasan apapun pada media konvensional.

Suatu hari, saya melihat sebuah skandal diceritakan dengan cara yang sangat komprehensif dimana Anda bisa menggali sedalam-dalamnya menggunakan multimedia dan hyperlink. Semuanya terhubung dan sangat interaktif. Inilah kekuatan nyata dunia digital. Belum lagi peran e-bay dan amazon yang sangat membantu saya menghemat uang. Semua adalah pengalaman yang membuka mata saya. Lalu, saya putuskan untuk terjun ke dunia digital.

Kembali ke Indonesia, semuanya berbeda lagi. Saya merekomendasikan solusi digital untuk perusahaan saya saat itu, tetapi mereka menolak tawaran yang meminta saya untuk lebih fokus pada bisnis inti saja. Saat itulah saya menyadari bahwa inilah saatnya untuk mulai membangun bisnis digital. Saya mencari investor dan membuat Viva.co.id. Kami fokus mendidik masyarakat Indonesia dengan layanan digital, e-commerce, dan lain-lain. Saat itu, Bukalapak dan Tokopedia mungkin masih dalam tahap awal.

Bareksa and Ovo's synergy / Bareksa
Co-founder Bareksa Karaniya Dharmasaputra bersama CEO Ovo Jason Thompson dalam peluncuran sinergi perusahaan / Bareksa

Enam tahun yang lalu, apa yang mendorong Anda untuk membentuk Bareksa dan masuk ke ranah teknologi finansial?

Dari segi akta, Bareksa didirikan pada tahun 2013. Kami memulainya dengan tim yang sangat kecil dalam mengonsep business plan. Platform yang diluncurkan pada 2015 itu lebih seperti ruang informasi dan data. Tahun 2014-2015 lalu, perusahaan teknologi belum diizinkan menjual reksa dana dan produk investasi, kami harus bekerja sama dengan perusahaan sekuritas.

Dalam perjalanan sebagai “orang media”, saya telah meliput beberapa berita bisnis keuangan dan investasi. Saya selalu melihat dunia keuangan [Indonesia] kita sangat elitis. Akses publik tidak tersedia atau cukup sulit. Saya mulai berinvestasi tetapi dengan cara konvensional, hal itu mungkin merupakan pengalaman pengguna yang memakan waktu. Fintech bahkan belum lahir saat itu. Namun, saya sangat percaya dengan gelombang digital yang akan segera tiba di sektor keuangan. Dengan beberapa koneksi di bisnis pembiayaan dan pengalaman membangun perusahaan digital, Bareksa menjadi fintech berlisensi pertama oleh OJK sebagai agen penjualan online pada tahun 2016.

Saya memaparkan masalah dalam industri reksa dana kita, penetrasi yang rendah dalam hal penawaran dan permintaan. Banyak perusahaan pengelola aset lokal yang kesulitan menemukan jalur distribusi karena masih bergantung pada perbankan. Dari segi permintaan, penetrasi cukup rendah. Daripada mengatakan untuk tidak menabung di bank, kami ingin memperkenalkan bahwa ada instrumen investasi lain yang aman dan stabil yang sangat populer di negara lain yang disebut reksa dana. Masalahnya, orang-orang kita belum mengerti dan tidak memiliki akses. Inilah mengapa saya memulai Bareksa.

Dalam situasi sperti ini, banyak startup yang mengalami guncangan hebat bahkan sampai menutup bisnisnya. Bagaimana isu ini berdampak pada industri teknologi finansial?

Berbicara sebagai Presiden OVO, menurut saya pandemi ini menunjukkan bahwa ekonomi digital yang didorong oleh teknologi keuangan akan tumbuh secara eksponensial. Apalagi dengan pergeseran perilaku konsumen ke digital, tidak hanya di e-commerce tapi juga di sektor fintech. Berdasarkan data OVO saja, transaksi di e-commerce melonjak sekitar 110% -120%, pesan-antar makanan 15% -20%. Selain itu, permintaan pinjaman pedagang online meningkat hampir 50%.

Ketika pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, saya merasa sangat terpukul. Saya pikir, siapa yang mau berinvestasi saat ekonomi sedang turun. Namun, saya menemukan sesuatu yang menarik saat melihat angka-angka itu pergi. Ketika ICI turun 38%, AUM Bareksa hanya turun 12%. Selain itu, jumlah transaksi dan pengguna baru terus meningkat. Hanya dalam waktu 3-4 minggu setelah pengumuman pandemi, kami sudah mencapai rebound. Ini menunjukkan fakta bahwa investasi online yang didorong oleh teknologi keuangan semakin tangguh.

Mengenai tantangan dalam industri ini, apakah ada pengalaman yang bisa Anda bagikan selama menjalani bisnis?

Saya selalu mengagumi anak muda yang gigih, dan berkemauan keras, mereka ada di antara kita, dalam industri teknologi. Tahun pertama hingga ketiga dalam membangun usaha menjadi yang paling menantang. Saya juga frustrasi dalam waktu yang lama, saat-saat seperti ini, penting untuk tidak kehilangan harapan. Selain terkait hal emosional, sangat penting untuk memulai usaha baru dengan menentukan model bisnis yang tepat. Pada akhirnya, kita harus rendah hati untuk melepaskan ego serta membuka peluang kolaborasi.

Anda tercatat sebagai salah satu petinggi asosiasi AFTECH, boleh diceritakan bagaimana peran Anda serta asosiasi dalam kontribusi untuk mengembangkan sektor teknologi finansial di Indonesia?

Fintech merupakan industri yang sarat regulasi dan ekosistem menjadi sangat penting. Sementara, regulasi keuangan kita masih didorong oleh industri keuangan konvensional. Sedangkan regulasi akan mempengaruhi pertumbuhan industri fintech. Oleh karena itu, menurut kami penting untuk membentuk asosiasi ini agar dapat melakukan aksi kolektif untuk bekerjasama dengan pemerintah. Dengan demikian, kita dapat memiliki ekosistem keuangan yang kompatibel untuk permintaan teknologi keuangan kita.

Courtesy by Bareksa
Dokumentasi oleh Bareksa

Apa yang menjadi ambisi terbesar Anda saat ini? Pernahkah terfikir untuk memulai sesuatu yang baru dalam situasi WFH ini?

Untuk saat ini, bejana saya cukup penuh dengan OVO dan Bareksa. Masih banyak yang ada di pipeline kita. Lagipula, kami sedang berada di tengah integrasi. Masih banyak ruang untuk sinergi. Jika ada kesempatan, saya sangat berharap untuk mewujudkan sinergi segitiga besi versi Indonesia di industri teknologi kita.

Bagaimana perspektif Anda terkait era “new normal” serta pengaruhnya pada keseluruhan ekosistem?

Sebenarnya polanya sudah mulai terlihat. Akan ada banyak sektor yang sangat mengandalkan teknologi digital. Saya melihat adopsi digital telah menjadi faktor kunci, tidak hanya untuk bertahan tetapi juga untuk berkembang. Saya pikir inilah mengapa saya sangat bersemangat bekerja di industri digital. Saya melihat kekuatan besar dalam digital yang dapat berguna bagi pemerintah untuk mendemokrasikan ekonomi kita. Saat ini UKM dapat memiliki kesempatan yang sama untuk memasarkan produknya bersama dengan pemain besar lainnya. Mereka bisa bersaing di level yang sama. Ini adalah transformasi yang luar biasa. Bagaimana perusahaan digital memberikan akses yang setara untuk semua orang, tidak hanya para pemain besar. Saya pikir itulah inti dari digitalisasi.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Karaniya Dharmasaputra: The Power of Digital to Democratize Investment Access for All

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Karaniya Dharmasaputra is the Co-Founder and CEO of Bareksa, the first integrated online mutual fund marketplace in Indonesia. Currently, he also serves as the President of OVO, one of the payment platforms that already accepted in both the O2O retail store and e-commerce platforms.

Before entering the financial technology industry, Karaniya had held various positions in well-known media companies. Some of those are KOMPAS TV, KapanLagi Youniverse. Liputan6.com, The Jakarta Post, VIVA, and TEMPO.

His dedication to journalism has granted him a Master’s degree in Public Policy through a Fullbright scholarship program at George Washington University, Washington DC, United States. This is where he had an eye-opening experience with the digital industry. He believes the digital power to democratize access for all.

DailySocial team had quite an insightful discussion with him, and here is to begin with.

You are currently serving as the Co-founder and CEO of Bareksa, also the President of OVO. How challenging it is to manage more than one position?

Nowadays, I feel like my life is governed by my calendar, it’s like a competition going on in my schedule. Not to sound so busy, but it is still part of the job. Fortunately, Ovo and Bareksa share some similar objectives and we have quite a strong synergy. Therefore, it is not a fully separated business and we’ve crossed some path along the way. Last year, Ovo has invested in Bareksa and since then, our synergy is getting stronger. Recently, OVO also expands to financial services and investment, and probably more to go.

Ovo's media gathering 2020
Ovo’s media gathering 2020

How did the story begin? From media companies to financial technology

Since I was in junior high, I had quite an odd hobby to read news from daily newspapers, magazines, and television. I used to have a dream to be either an architect or a journalist. I finally accepted to study a communication major in Gadjah Mada University (UGM). Sometimes I would go to some kind of activist movement, just to get more critical experience as a college student.

I started my career as a graphic designer and illustrator. At the same time, I also enjoy public affairs. Not to sound very idealist, but I always thought living is not only about making money. Have some added value in life, experience, be more practical for other people too. My first attempt in a media company is when I had an interview with Tempo and become a journalist in politics and business.

Another journey started when the US Embassy offers me a Fullbright scholarship. I wasn’t thinking to continue my study, hence I finished my master’s degree in public policy from George Washington University. That is the turning point of my life.

If I have to divide, there are three degrees of digital waves in Indonesia. First, it hit our media industry. Then, the rise of e-commerce. Finally, it comes to the financial technology. I was sent off to the US in 2004, the first wave is about to arrive in the media industry. Back then, there wasn’t any multimedia journalism.

My first digital experience in the US was quite astonishing. I didn’t come from a silver spoon family, my scholarship barely covered my expenses with a wife and three children. Every day, I watch the news, and really amazed at how the digital world can change and get rid of any limitation in the conventional media.

One day I saw a scandal was told in a very comprehensive way where you can dig as deep, using multimedia and hyperlink. Everything is connected and very interactive. This is the real power of the digital world. Not to mention how e-bay and amazon have really helped me saving money. It was an eye-opening experience for me. Then, I decided to make it into the digital world.

Coming back to Indonesia, everything was different again. I offer to create something digital for my current company back then, but they turn down the offer telling me to focus more on the core. It was when I realize that it is time to start my digital venture. I look for investors and created Viva.co.id. We focus on educating Indonesian people with digital service, e-commerce, and stuff. It was when Bukalapak and Tokopedia were probably still on their seed.

Bareksa and Ovo's synergy / Bareksa
Bareksa’s Co-founder, Karaniya Dharmasaputra and Ovo’s CEO, Jason Thompson at the announcement of a synergy / Bareksa

Six years ago, what encourages you to started Bareksa and enter the financial technology sector?

In terms of the deed, Bareksa was founded in 2013. We started with a very small team in conceptualizing the business plan. The platform was launched in 2015, it was more like a space for information and data. Back in 2014-2015, the tech company was not allowed to sell mutual funds and investment products, we have to collaborate with a security company.

In my “media” life, I have covered some financial business and investment news. I always see our [Indonesia] financial world is very elitist. Public access is not available or simply difficult. I was starting to invest but in a conventional way, it was a very long user experience. Fintech wasn’t even born. However, I really believe in the digital wave that will soon arrive in the financial sector. With some connections in the financing business and experience in building a digital company, Bareksa has become the first licensed fintech by OJK as an online selling agent in 2016.

I present the problems in our mutual fund industry, the low penetration in terms of supply and demand. There are many local asset management companies have difficulty with distribution channel as it still depends on banking. In terms of demand, it’s quite shallow. Instead of saying not to save money at the bank, we want to introduce that there is another secure and stable investment instrument that is very popular in other countries called mutual funds. The thing is, our people weren’t quite aware and have no access. This is why I started Bareksa.

In this current state, many startups experiencing great loss even shut down. How do you see this affecting the fintech industry?

Speaking as the President of OVO, I think this pandemic has shown that the digital economy driven by financial technology will grow exponentially. Especially with consumer behavior shifting to digital, not only in e-commerce but also in the fintech sector. Based on OVO’s data alone, transactions in e-commerce jumped around 110%-120%, food delivery 15%-20%. Also, the demand for online merchant lending increased by almost 50%.

When the government announced the Covid-19 pandemic as a national disaster, I was quite devastated. I thought, who wants to invest when the economy going down. However, I found something interesting while watching the numbers going. When the ICI drop 38%, Bareksa’s AUM only drop 12%. Also, the number of transaction and new users keep increasing. Within only 3-4 weeks after the pandemic announcement, we already hit a rebound. It shows the fact that online investment driven by financial technology is getting more resilient.

In terms of hardships, are you willing to share some challenges along the journey?

I always admire young, persistent, and strong-willed people, they exist among us in the tech industry. The first to the third year of building a venture is the most challenging. I, too, was frustrated for a long time, it is important not to lose hope. Other than the emotional barrier, it is very essential to start a new venture by defining the right business model. Eventually, we must be humble to drop our ego and embrace collaboration opportunities.

You’re also a part of the AFTECH association, would you mind sharing what kind of initiative have you and the association do to contribute to the development of the fintech sector in Indonesia?

Fintech is a very regulated industry and the ecosystem is very important. In fact, our financial regulation was still driven by the conventional financial industry. Meanwhile, the regulation will affect the growth of the fintech industry. That is why we think it’s important to form this association so we can take collective action to collaborate with the government.  Thus, we can have a compatible financial ecosystem for our financial technology demand.

Courtesy by Bareksa
Courtesy by Bareksa

What is your current biggest ambition? Have you thought of something new to do during the WFH situation?

For now, my plate is quite full with OVO and Bareksa. There are still many in our pipelines. Also, we’re in the middle of an integration. There’s also still much space for synergy. Otherwise, I really hope to realize Indonesia’s version of China’s iron triangle in our tech industry.

Do you have anything to say regarding the “new normal” era and how it would affect the whole ecosystem?

Actually the pattern has become clearer. There will be many sectors heavily relied on digital technology. I see the digital adoption has become the key factor, not only to survive but also to grow. I think this is why I am very passionate about working in the digital industry. I see great power in digital that could be of use for the government to democratize our economy.  Nowadays, SMEs can have an equal opportunity to market their products along with other big players. They can compete at the same level of playing field. It is such a great transformation. How digital companies provide equal access for everyone, not only the big players. I think that is the essence of digitization.

Mengulik Medium Pembayaran: Menuju Babak baru Sektor Fintech di Indonesia

Dua dompet digital besar di Indonesia, Ovo dan Dana, dilaporkan tengah dalam proses finalisasi merger, yang telah berlangsung sejak September 2019 dan mungkin memberi mereka kesempatan untuk bersaing dengan kompetitor utama Ovo, GoPay oleh Gojek.

Konsolidasi ini masuk akal. Mengingat Ovo, yang didukung oleh Lippo Group dan Grab, telah bersaing ketat dengan GoPay. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kedua platform ini mendominasi lanskap pembayaran digital Indonesia dalam hal jumlah pengguna, sementara Dana dan LinkAja milik BUMN masing-masing menempati peringkat ketiga dan keempat. Maka, ketika Ovo dan Dana menggabungkan basis pengguna mereka, bisa jadi entitas baru ini akan membentuk pangsa pasar yang jauh lebih besar.

Michael Hijanto, analis riset senior dari perusahaan konsultan M2Insights yang berbasis di Singapura, percaya bahwa melalui merger, Ovo dan Dana dapat mengarahkan sumber daya mereka dan mengembangkan strategi bisnis bersama untuk bersaing dengan GoPay. “Dalam hal pangsa pasar, Ovo adalah e-wallet pilihan Grab dan Tokopedia, dan Dana adalah e-wallet pilihan Lazada dan Bukalapak. Baik Ovo dan Dana memiliki basis konsumen yang signifikan yang tidak mungkin untuk segera beralih ke GoPay atau Shopee Pay,“ katanya kepada KrASIA.

Tentang Ovo

Ovo didirikan pada tahun 2017 oleh konglomerat Indonesia Lippo Group, yang bisnisnya meliputi pengembangan real estat, media dan komunikasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sebagai bagian dari Lippo Group, Ovo memiliki keunggulan akses langsung ke bisnis ritel yang berafiliasi dengan Lippo, yang kemudian menghasilkan traksi instan di tahun pertama operasinya. Pada rapor tahun 2018, Ovo mengklaim telah melakukan 1 miliar transaksi.

Ovo tidak pernah blak-blakan mengenai pendanaan. Satu-satunya putaran pendanaan yang dibagikan kepada publik adalah investasi 116 juta dolar AS dari Tokyo Century Corporation pada Desember 2017, ketika investor Jepang mengakuisisi 20% saham. Pada bulan November berikutnya, super-app Asia Tenggara, Grab, dilaporkan berinvestasi di Ovo serta membuka jalan menuju babak baru fintech yang tengah berkembang di Indonesia.

Awalnya, Grab berencana untuk membawa GrabPay ke Indonesia, tetapi mereka gagal mendapatkan lisensi dari bank sentral, Bank Indonesia. Kemitraan antara Ovo dan Grab ini merupakan jalan keluar bagi perusahaan yang berbasis di Singapura ini untuk mengatasi hambatan itu, dengan menunjuk mantan kepala GrabPay, Jason Thompson, sebagai CEO Ovo pada bulan April 2018. Sebelum memulai peran ini, tugas utama Thompson di GrabPay adalah untuk “Mengawasi perkembangan teknologi pembayaran baru dan meningkatkan akses ke layanan pembayaran seluler di seluruh wilayah.”

Berkolaborasi dengan Ovo juga menjadi solusi untuk platform besar lainnya. Ketika TokoCash, e-wallet dari platform e-commerce terbesar di Indonesia Tokopedia, ditangguhkan oleh Bank Indonesia pada tahun 2017, Tokopedia tidak memiliki pilihan selain mencari kemitraan dengan penyedia pembayaran eksternal. Perusahaan ini dilaporkan melakukan investasi yang dirahasiakan di Ovo pada Maret 2019, lalu kedua perusahaan mengumumkan kemitraan resmi beberapa bulan kemudian.

Berhasil menyandang gelar unicorn tahun lalu, Ovo menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan perkembangan positif dalam dua tahun beroperasi. Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA, CEO Ovo Jason Thompson mengatakan pengguna aktif bulanan perusahaan tumbuh 400% per tahun pada tahun 2019.

Namun, ada tanda-tanda bahwa tidak semuanya berjalan lancar di Ovo. Pada bulan November, pendiri Lippo Group Mochtar Riady mengatakan perusahaannya menjual 70% sahamnya di Ovo karena pengeluaran yang cukup besar.

Bakar uang menjadi strategi yang umum bagi startup teknologi untuk memperoleh sebanyak mungkin pelanggan. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan diperlukan. Namun, jika rapor perusahaan tetap merah, strategi ini bisa menjadi beban berat bagi investor. Tech in Asia melaporkan bahwa Lippo Group menghabiskan USD 50 juta setiap bulan untuk mempertahankan Ovo, meskipun klaim itu kemudian dibantah oleh perusahaan.

Menurut data perusahaan yang diperoleh M2Insights pada bulan Desember 2019, Grab memegang saham terbanyak di Ovo, diikuti oleh Tokopedia, Tokyo Century Corporation, dan kemudian Lippo Group. Sementara itu, Dana didukung oleh unit investasi Alibaba, Ant Financial, dan konglomerat Indonesia Emtek. Ovo dan Dana telah lama berbagi DNA; Alibaba juga berinvestasi di Tokopedia, sementara Grab, Tokopedia, serta Alibaba didukung oleh SoftBank.

Designed by Shermin Shu

Laporan Bloomberg mengatakan syarat dan waktu merger antara Ovo dan Dana mungkin berubah, dan kesepakatan bisa saja gagal. Hal ini adalah konsekuensi dari kerumitan konsolidasi.

”Ovo saat ini memiliki pangsa pasar yang lebih besar daripada Dana di Indonesia, tetapi sulit untuk mengatakan siapa yang akan menjadi pemegang saham mayoritas. Pemegang saham mayoritas yang baru mungkin juga bergantung pada siapa yang akan menginvestasikan lebih banyak uang ke dalam entitas gabungan. Kami percaya bahwa merger antara kedua e-wallet ini tidak akan sederhana,” pungkas Hijanto dari M2Insights.

Karena kedua perusahaan memproses pembayaran untuk raksasa e-commerce negara, merger ini akan berdampak pada mitra mereka. Sementara Ovo memiliki hubungan dekat dengan Tokopedia, Dana adalah e-wallet yang terintegrasi ke dalam sistem Bukalapak dan Lazada, dan sebagian besar nilai transaksi bruto Dana berasal dari dua platform ini.

“Kami tidak tahu apakah Bukalapak dan Lazada akan merasa nyaman bekerja dengan Ovo-Dana yang baru digabung jika pesaing terbesar mereka, Tokopedia, adalah pemegang saham utama dari e-wallet,” kata Hijanto.

Bisnis e-commerce kini telah, dan mungkin akan terus menyumbang, sebagian besar dari ekonomi digital Indonesia. Oleh karena itu, masuk akal untuk berharap bahwa baik Ovo dan Dana ingin mempertahankan kemitraan erat di arena ini.

Babak panjang

Indonesia memiliki populasi lebih dari 270 juta, tetapi lebih dari separuh penduduk negara ini tidak memiliki rekening bank. Sementara itu, ada sekitar 175,4 juta pengguna internet di Indonesia per Januari 2020, yang menunjukkan 64% penetrasi internet, menurut sebuah laporan oleh perusahaan pemasaran media sosial global, We Are Social and Hootsuite. Meskipun orang Indonesia suka menghabiskan waktu online, laporan itu menunjukkan bahwa hanya 3,1% dari populasi negara itu menggunakan dompet digital, yang berarti ada potensi pertumbuhan besar-besaran di segmen ini.

Sumber: laporan Digital in 2020 oleh We Are Social dan Hootsuite

Mudah untuk menyarankan Ovo dan Dana untuk bergabung dan menantang GoPay, tetapi melihat dompet digital yang masih memiliki jejak terbatas di Indonesia, industri ini masih punya banyak ruang untuk pemain baru. Namun, pasar ini cukup sulit untuk ditembus; semua bergantung pada kemitraan yang tepat dan mengembangkan model bisnis berkelanjutan.

Mantan menteri IT Rudiantara mengamini pandangan itu. Dia percaya bahwa merger adalah langkah yang tepat, mengingat bagaimana platform pembayaran fintech perlu memiliki “skala ekonomi” untuk mengimbangi pasar konsumen negara.

“Pesaing [Ovo dan Dana] tidak hanya platform pembayaran lokal, tetapi juga platform pesan singkat dengan adopsi massal seperti WhatsApp yang memiliki basis pengguna yang sangat besar di sini,” katanya kepada KrASIA. WhatsApp telah meluncurkan fitur pembayaran di India dan Brasil. Rumor mengatakan bahwa raksasa teknologi juga akan membawa fitur ke Indonesia segera. “Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah pengguna dompet seluler yang digabungkan. WhatsApp Pay bisa menjadi ancaman bagi platform pembayaran digital lokal, terutama karena pengguna WhatsApp dapat memilih untuk membayar menggunakan aplikasi pesan untuk kenyamanan,” tambah Rudiantara.

Tampilan aplikasi Ovo dari website

Untuk berkembang, platform pembayaran harus memberikan layanan yang komprehensif, memberi pelanggan lebih banyak alasan untuk menghabiskan waktu di aplikasi. Itu berarti dompet digital perlu melakukan lebih dari sekadar memfasilitasi transaksi, dan Ovo sepenuhnya menyadari hal itu. Sejak awal 2019, perusahaan telah membawa layanan keuangan tambahan ke aplikasinya.

Pada bulan Maret tahun lalu, platform meluncurkan fitur investasi reksa dana bekerja sama dengan Bareksa, pelopor dalam sektornya di Indonesia. Kemudian, Ovo memperkenalkan fitur paylater di bulan Mei, dijalankan oleh kredit online dan layanan pinjaman Taralite, yang diakuisisi Ovo di awal tahun. Menurut Fintech Report 2019 yang dirilis DailySocial, pay-later adalah produk fintech paling populer ketiga di Indonesia, dan Ovo adalah aplikasi yang paling banyak digunakan untuk layanan pay-later.

Belum lama, Ovo meluncurkan asuransi kecelakaan kematian dan COVID-19 bersama Prudential. Perusahaan akan terus fokus pada pinjaman, investasi elektronik, dan produk asuransi digital tahun ini, CEO Ovo mengatakan dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Dana baru saja meresmikan kemitraan dengan startup Polri insurtech Pasar Polis untuk menawarkan layanan asuransi mikro melalui e-wallet. Tahun lalu, Dana juga dikabarkan sedang mengerjakan produk paylater bekerja sama dengan Akulaku, walaupun fitur tersebut belum resmi beroperasi. Semua mengacu pada saat Ovo dan Dana akhirnya bergabung, entitas yang baru akan dapat memperluas penawaran mereka dan menyediakan paket beragam produk keuangan. Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk terus maju sebagai dompet digital pilihan dalam jangka panjang.

Seperti Ovo, GoPay juga memiliki daftar mitra dan investor yang tak kalah menjulang, meliputi Google, JD.com, Djarum, Facebook, dan PayPal. Dengan investasi dari Djarum dan JD, GoPay terintegrasi dengan Blibli dan JD.id, yang merupakan platform e-commerce paling populer kelima dan keenam di Indonesia pada kuartal pertama tahun 2020, menurut data yang dikumpulkan oleh iPrice.

Kemitraan dengan Facebook dan PayPal akan memungkinkan Gojek dan GoPay untuk memasuki basis pengguna perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia bersama dengan jaringan pedagang mereka. Namun, para analis meragukan bahwa GoPay akan menjadi mitra eksklusif untuk Facebook di Indonesia, karena jejaring sosial tersebut dilaporkan dalam pembicaraan dengan tiga perusahaan fintech lokal untuk persetujuan pembayaran mobile di negara ini. Reuters melaporkan bahwa perusahaan yang dimaksud adalah GoPay, Ovo, dan LinkAja, meskipun belum ada konfirmasi resmi.

“Memang benar bahwa Gojek telah mendapatkan dana dari Facebook dan PayPal, yang akan menambah amunisi GoPay. Namun, pada dasarnya, sebagian besar dari nilai transaksi bruto Ovo berasal dari Grab dan Tokopedia, yang keduanya tidak mungkin menerima GoPay sebagai opsi pembayaran,” bantah Hijanto.

Pemain lainnya

Ovo, Dana, dan GoPay adalah perusahaan terkemuka pada sektornya, tetapi ada platform lain yang juga mengumpulkan pengikut, seperti LinkAja dan ShopeePay.

LinkAja berafiliasi dengan setidaknya sepuluh perusahaan milik pemerintah, termasuk operator terbesar Telkomsel di negara itu, pemberi pinjaman Bank Mandiri, BRI, BNI, serta perusahaan minyak dan gas Pertamina. Kemitraan ini memberi LinkAja banyak pelanggan potensial.

LinkAja mengklaim memiliki setidaknya 40 juta pengguna terdaftar pada tahun 2019, dan platform ini telah mengembangkan kolaborasi baru dengan berbagai perusahaan. Secara khusus, ini adalah penyedia dompet ponsel besar pertama yang menawarkan layanan yang sesuai dengan syariah. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, fintech syariah memiliki daya tarik tersendiri di Indonesia selama dua tahun terakhir, ditandai dengan munculnya pemain baru di segmen ini, seperti pemberi pinjaman P2P Alami Shariah dan Investree. Sejauh ini, hal tersebut menjadi keunggulan tersendiri bagi LinkAja, terutama jika pihaknya mwmutuskan untuk menawarkan pinjaman, fitur paylater, atau produk investasi yang dirancang khusus untuk pengguna Muslim.

Dibandingkan dengan operator besar lainnya, LinkAja memiliki pendekatan asimetris untuk beroperasi di fintech. Alih-alih bersaing secara langsung dengan pemain seperti Ovo dan GoPay, LinkAja telah bernegosiasi untuk menjadi bagian dari kedua ekosistem mereka melalui Grab dan Gojek. November lalu, LinkAja menjadi opsi pembayaran untuk Gojek dan Grab. Dan itu adalah satu-satunya dompet digital yang dapat digunakan di Tokopedia dan Bukalapak.

Aplikasi LinkAja Sharia / LinkAja

Dalam sebuah wawancara dengan KrASIA tahun lalu, CEO LinkAja saat itu Danu Wicaksana mengatakan platform tersebut memiliki target pasar yang biasanya tidak diperhitungkan oleh platform fintech. Tidak hanya menargetkan kelas menengah; namun juga melayani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah yang belum menikmati layanan keuangan digital. Perusahaan melakukan ini dengan menghubungkan bank-bank dan perusahaan-perusahaan milik negara. Pengguna LinkAja dapat menarik uang dari ATM BTN, BNI, BRI, dan Mandiri, dan memiliki basis pengguna yang cukup besar di kota-kota tingkat ketiga. Ini juga bekerja dengan transportasi umum dan operator jalan tol. Selain itu, pekerja Indonesia di Singapura dapat mengirimkan uang ke akun LinkAja di negara asal mereka hanya dengan SGD 2,50 dari Singtel Dash. Dengan ceruk pasarnya, akan lebih baik bagi Ovo dan GoPay untuk mempertahankan hubungan dekat dengan LinkAja milik negara daripada bersaing melawannya.

Sementara itu, sebagai pemain yang lebih baru, ShopeePay telah mengejar ketinggalan setelah mendapatkan lisensi BI pada November 2018. Awalnya, layanan ini hanya bisa digunakan pada platform e-commerce Shopee, yang telah berhasil melampaui Tokopedia sebagai platform e-commerce dengan sebagian besar orang Indonesia. pengguna bulanan aktif pada kuartal pertama 2020.

Menurut laporan triwulan Sea Group, Shopee Indonesia mendaftarkan lebih dari 185 juta pesanan dalam tiga bulan pertama tahun ini, atau rata-rata harian lebih dari 2 juta pesanan, dan lebih dari 40% pesanan kotor Shopee di Indonesia dibayar melalui ShopeePay . Itu berarti ShopeePay telah mendapatkan traksi tinggi melalui transaksi e-commerce saja.

Namun, seperti semua platform lainnya, ShopeePay juga bertujuan untuk memperluas rangkaian kasus penggunaan dan kemitraan pihak ketiga secara online dan offline. Hari ini, Anda dapat dengan mudah menemukan spanduk promosi ShopeePay di pusat perbelanjaan di seluruh Jakarta, berdampingan dengan bahan GoPay dan Ovo sendiri. Baru-baru ini juga dipasangkan dengan platform fintech “merchant-centric” yang disebut Youtap. ShopeePay mengatakan Youtap telah melipatgandakan transaksinya dengan memberinya akses ke jaringan mitra dagang yang luas, termasuk McDonalds.

Hijanto dari M2Insights percaya bahwa ShopeePay akan terus tumbuh, terutama dengan QRIS (standar kode QR Indonesia), yang dirancang untuk meningkatkan konektivitas dalam sistem pembayaran dengan menerbitkan kode tunggal ke pedagang untuk semua platform e-wallet. ShopeePay sekarang dapat digunakan untuk membayar pedagang batu bata dan mortir yang sebelumnya hanya menggunakan Ovo atau GoPay. ShopeePay juga memiliki layanan paylater yang telah terdaftar dalam tiga produk paling populer dari jenisnya pada tahun 2019, menurut Fintech Report 2019 dari DailySocial.

Masa depan fintech pembayaran di Indonesia

Pandemi COVID-19 berperan penting dalam mendorong adopsi pembayaran tanpa uang tunai tahun ini. Ovo melihat jumlah pengguna barunya tumbuh 267% setelah PSBB berlaku. Sementara itu, Gojek dan GoPay telah mengamati pertumbuhan dua digit dalam transaksi digital, termasuk untuk fitur pay-later mereka, hanya dalam sebulan setelah dimulainya wabah. Pandemi telah menjadi anugerah tak disengaja bagi startup fintech Indonesia, terutama yang memfasilitasi pembayaran mobile.

Layanan pembayaran Facebook juga dapat mengguncang lanskap bisnis fintech di Indonesia dan menjadi game-changer bagi konsumen Indonesia. Lantaran Facebook memiliki 136 juta pengguna di negara ini, sementara WhatsApp ada di lebih dari 180 juta ponsel, produk pembayaran mereka akan memacu perdagangan sosial dan penetrasi pembayaran digital.

Berbicara kepada media lokal Katadata, CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja percaya bahwa ekosistem fintech Indonesia memiliki potensi untuk meniru lanskap pembayaran fintech di China, yang dipimpin oleh dua pemain, WeChat Pay dan Alipay. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih kecil akan memilih untuk bekerja dengan mitra khusus atau bergabung dengan platform yang lebih besar. Konsolidasi dua pemain kuat adalah cara yang baik untuk memperkuat ekosistem fintech dan mempercepat pertumbuhan inklusi keuangan.

Salah satu contoh yang baik adalah platform mPOS Moka, yang baru saja diakuisisi oleh Gojek. Akuisisi ini mengintegrasikan 40.000 mitra bisnis Moka dan 500.000 pedagang Gojek. Kesepakatan ini diharapkan dapat mempercepat digitalisasi usaha kecil di Indonesia.

Dompet elektronik menghasilkan uang dalam beberapa cara — komisi dari transaksi, biaya dari pedagang dan penyedia layanan, serta biaya pengguna. Tetapi dengan tingkat adopsi yang relatif sederhana, platform dompet ponsel masih berusaha meningkatkan sebelum berfokus pada profitabilitas. Itu berarti merayu pelanggan dengan menawarkan cash back dan promosi lainnya, serta berintegrasi dengan platform e-commerce dan ride-hailing yang paling banyak.

Platform ini juga perlu memastikan pelanggan tetap setia. Mereka melakukan ini dengan membangun kemitraan yang relevan bagi pengguna mereka, atau mengakuisisi perusahaan fintech lainnya secara langsung untuk menambahkan layanan baru seperti pinjaman modal dan kendaraan investasi. Kolaborasi dengan bank konvensional dan perusahaan besar juga sangat penting, terutama di kota dan daerah non-metro.

Bank Indonesia telah mengeluarkan lisensi pembayaran kepada 50 operator e-money pada Mei 2020. Mengingat banyaknya pemegang lisensi e-money dan semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kemungkinan kita akan melihat lebih banyak lagi dompet digital yang muncul menjadi penantang.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

The Adoption of Enterprise Communication Platform in Startup

One thing that supports the productivity of working in an office is enterprise communication platforms. In Indonesia, platforms such as Slack, Google Meet, Workplace from Facebook, and Microsoft Teams are quite familiar to startup enthusiasts. However, WhatsApp, which is not specifically aimed at corporate communication, is also very popular.

DailySocial has summarized the most popular enterprise communication platforms among startups and whether startups have a special budget for premium features. On the other hand, this also invites local players to present their products and to compete.

Essential platform

When the Covid-19 began to spread and the work-from-home system is widely applied, the use of communication platforms surged. Zoom is inevitably become the most popular platform, both globally and in Indonesia. Zoom monthly active users have reached 12.9 million in February 2020. This indicates the essential function of the communication platform to support productivity.

“The use of communication tools is clearly determined by the needs of the company and the habits or main communication channels used by each country,” AnyMind Group Indonesia’s Head of Operations, Yuwanda Fauzi said.

This communication platform helps employees break down tasks and discuss constraints and workloads. On the other hand, supervisors and managers also monitor employee performance using this platform.

“In DANA, ideas for innovation, problem-solving, and value creations must be well communicated and synergized on a daily operational scale for employees. This step needs to be done to ensure all communication among team members work well, given the many functions of each department or different divisions and individuals in a company. Message and communication are key to ensuring that different teams and individuals can work together in the same direction. The goal is for DANA to achieve its shared goals and vision in the most effective and efficient way,” DANA’s CTO Norman Sasono said.

Achieving aligned goals and ensuring collaboration work well is the main focus of startups to utilize a variety of existing communication platforms. The use of applications is also crucial when allowing employees to do other things online, such as meetings, giving presentations, and creating surveys.

“In fact, choosing an application that can safely facilitate employee activities is also important to maintain the privacy of all employees and the security of company information that is confidential,” Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono said.

As a digital payment and financial services company, OVO is demanded to constantly develop and adapt so that OVO services can continue to be accepted and able to support the daily lives of its users. In order to stay agile, there needs to be good communication, coordination, and relations between employees, therefore, they can work together and discuss optimally.

“The platform is easy to use, fast, and practical in supporting daily activities such as discussion and coordination. Especially in a startup environment where speed and practicality are substantial in working,” OVO’s Head of PR Sinta Setyaningsih said.

Slack and WhatsApp as the most popular apps

Based on a survey conducted by DailySocial to 16 startups, most of them chose a foreign platform to support their daily activities. Although the options are quite varied, apparently the two platforms are more dominant than the other platforms.

The first platform is Slack founded by Stewart Butterfield and the second is WhatsApp founded by Brian Acton and Jan Koum. WhatsApp is now under the auspices of Facebook.

In global, Slack as of March 2020 has more than 12 million active daily users. WhatsApp, on the other hand, with wider adoption, as of February 2020 claims to have had two billion users worldwide.

Hasil survei DailySocial
DailySocial’s survey on enterprise communication platform in startup

The interesting thing is, WhatsApp and Slack are perceived differently by users.

“WhatsApp as a communication tool focuses on chat experience and its simplicity and already has a very large number of users from various industries. While Slack as a communication tool focuses on productivity supported by bots and integration tools, making it look more complex and getting large support, especially from technology-based industries,” DOKU’s Chief of Innovation Officer Rudianto said.

The attractive UI/UX display and comfortable user experience make DANA choose Slack and WhastApp as a platform to support daily activities. The company is also willing to allocate a budget to provide premium features for employees.

“There are some factors that cause the instant messaging platform to become popular, such as habits, good user experience (UI / UX), features for productivity and efficiency, and also security aspects,” Norman said.

Slack’s excellent features are to create coordinating groups openly (anyone can join to discuss) and closed (limited to a few people), make voice calls, start and finish work (clock in and clock out), create and fill out forms, and polling on the same platform. In addition, Slack can also provide reports on the results of measurements of communication effectiveness by the team on the platform.

While WhatsApp allows employees to communicate via chat, exchanging documents and photos, and conducting group conferences (in limited numbers) with guaranteed data encryption.

Most startups are willing to pay subscription fees and allocate special funds to support employee productivity.

“Working in a tech company and startup requires fast, efficient, and safe coordination with fellow employees, therefore, a communication channel to fulfill those needs, such as Slack and WhatsApp, is required,” Intan said.

Analyzing opportunities for local platforms

For local platforms in the communication sector, the challenge lies in how they can convince consumers and compete with global platforms. Although most startups in Indonesia use foreign platforms, when the local products provided are more competitive in terms of functionality and price, they are willing to try.

“Local communication tools have the potential to compete with foreign platforms, because in terms of technology, creating communication tools is not complicated. The main challenge is that local platforms must be able to answer the basic question: ‘Why should I move from WhatsApp to the local platform?’. If there is a startup capable to answer this question, it is most likely to become the next unicorn, Indonesia’s first national communication tool, as happened with WeChat, KakaoTalk, and Line in their respective countries,” Rudianto said.

Those with a unique proposition to solve user problems can also attract certain users. In addition to exciting new features, local providers must also really be very well aware of the basics of B2B services, such as UX, SLA for performance and availability and reliability and security.

“Every instant messaging instrument/platform provider can compete in the industry, if it provides a solution or product that is better than the options that are already available in the market,” Norman said.

Seeing the development and trends in this matter, began to emerge several local platforms that try to provide this enterprise communication service.

“The higher the demand for communication tools in work activities, the developers will be more creative and innovative in making products that can meet the needs of a dynamic market. We will certainly always support Indonesian developers to compete with other developers from around the world in creating tools of the highest quality,” Intan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jumlah Pengguna Baru OVO Meningkat 267% Selama Pandemi: Sesi Tanya Jawab Bersama CEO Jason Thompson

Ketika COVID-19 menghantam laju bisnis di seluruh dunia, sebuah perusahaan memutuskan untuk melawan. Jason Thompson, CEO dari platform pembayaran digital Indonesia OVO, mengatakan kepada KrASIA bahwa perusahaan telah mengadopsi mentalitas “ruang perang” —dengan memperkenalkan gugus tugas khusus untuk meninjau strategi bisnisnya dan mengoptimalkan alokasi sumber daya.

Namun, Thompson percaya bahwa krisis dapat mendorong adopsi dompet elektronik dan lebih meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pembayaran tanpa uang tunai atau cashless. “Kami mengharapkan adanya peningkatan penggunaan platform pembayaran digital karena lebih banyak orang beralih ke pembayaran elektronik untuk biaya bantuan serta memenuhi kebutuhan esensial,” ujarnya dalam sebuah sesi wawancara.

Tujuan jangka panjang OVO adalah mengembangkan layanan untuk mengatasi kesenjangan dalam ekosistem keuangan dan memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berkembang. “Orang Indonesia menjadi lebih terbuka dan bergantung pada layanan digital selama ini dan kami berharap lanskap keuangan di Indonesia tidak semakin terfragmentasi selama COVID-19 dan ke depannya,” tambahnya.

KrASIA berdiskusi dengan Thompson tentang pandemi dan bisnis OVO secara umum.

KrASIA (Kr): Bagaimana imbas dari krisis COVID-19 pada bisnis OVO? Apakah OVO mengalami peningkatan jumlah transaksi dan pengguna?

Jason Thompson (JT): Dengan kehadiran COVID-19, kami melihat pertumbuhan signifikan lebih dari 110% dalam perdagangan online, 15% dalam pengiriman makanan, serta hampir 50% dalam penyaluran pinjaman. Pengguna baru kami telah tumbuh 267% dibandingkan dengan waktu sebelum adanya PSBB dan kami melakukan banyak upaya dalam pengenalan dan penggunaan pertama untuk pembayaran digital serta layanan keuangan.

Kami melihat bahwa konsumen mulai mengalihkan kebiasaan belanja mereka secara online dan mengadopsi metode pembayaran tanpa uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kami telah meningkatkan upaya dalam memperluas strategi ekosistem terbuka untuk beradaptasi dengan kebutuhan konsumen, dengan fokus sebagai e-commerce enabler, pengiriman makanan dan bahan makanan, serta pengobatan jarak jauh melalui kemitraan kami dengan Grab, Tokopedia, dan lainnya. Kami juga telah mengalokasikan sumber daya khusus untuk mendukung inisiatif Bank Indonesia dan pemerintah dalam memerangi COVID-19. Misalnya, teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis untuk prakarsa kartu pra-kerja pemerintah.

Kr: Mengenai kartu prakerja, bagaimana kolaborasi dengan pemerintah membawa dampak positif bagi OVO serta komunitas?

JT: Kami benar-benar melihat ini sebagai program jaring pengaman sosial yang disediakan oleh pemerintah untuk melawan dampak COVID-19. Dengan keterlibatan penyedia uang elektronik, seperti OVO, dalam pencairan bantuan sosial, kami mempersingkat proses yang telah umum dalam program bantuan sosial di Indonesia. Kami telah mendukung orientasi pelanggan baru dan pemberian bantuan tanpa batas kepada para pencari kerja muda dan warga negara Indonesia yang menganggur dengan memungkinkan mereka untuk mengaktifkan e-wallet, melakukan e-KYC, dan merasakan manfaat tanpa interaksi fisik apa pun.

Semua pemegang kartu pra-kerja yang memilih OVO untuk distribusi insentif memiliki akses ke asuransi gratis COVID-19 dan kematian karena kecelakaan pribadi yang disediakan oleh Prudential, dengan mendaftar pada aplikasi OVO. Teknisi kami telah menjadi bagian dari kelompok kerja teknis. Lima dari mereka telah secara aktif terlibat dalam pengembangan sistem kartu pra-kerja, serta berhubungan langsung dengan Kantor Staf Presiden.

Kr: Bagaimana OVO membantu usaha kecil menengah yang terdampak secara signifikan oleh pandemi?

JT: OVO memfasilitasi transaksi tanpa uang tunai untuk ratusan gerai F&B dan pedagang grosir lokal melalui peluncuran metode “chat and pay” yang mendukung mereka dalam mempertahankan bisnis selama PSBB. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membeli dan membayar kebutuhan sehari-hari melalui obrolan dan membantu pedagang lokal. Kami akan terus meninjau inisiatif yang sesuai dan akan mengeksplorasi segala kemungkinan untuk mendukung mitra dan pedagang UMKM selama COVID-19 dan ke depannya.

Kami juga berencana untuk meluncurkan fitur yang memungkinkan pelanggan melakukan pembayaran QR Indonesia Standard (QRIS) dengan UMKM dari rumah. Kami memungkinkan bisnis untuk mengelola penggajian dan pencairan insentif dan ingin memperkenalkan B2B serta pinjaman rantai pasok, dengan tujuan untuk membantu UKM mempertahankan arus kas mereka.

Kr: Salah satu partner terdekat OVO, Tokopedia, diduga menjadi korban kebocoran data yang membahayakan data jutaan pengguna. Bagaimana Anda meyakinkan keselamatan data pelanggan OVO yang terintegrasi dengan sistem Tokopedia?

JT: Secara alami, cybersecurity merupakan faktor kunci yang sangat dipertimbangkan pada sektor ini, tidak terkecuali OVO, mengingat sensitivitas layanan keuangan online. OVO tidak memberi kompromi untuk datanya. Sistem keamanan berlapis kami memungkinkan untuk melindungi pengguna dari serangan cyber, dengan fitur keamanan termasuk OTP, PIN, dan pemberitahuan jika seseorang masuk ke akun di perangkat yang berbeda. OVO adalah organisasi independen dengan sistem independen. Kami mengelola privasi data dan keamanan informasi kami sendiri, mematuhi peraturan pemerintah dan standar global tentang privasi dan keamanan data. Komitmen OVO untuk memastikan keamanan data tersebar di seluruh ekosistem mitra kami, termasuk Tokopedia.

Kr: Apa yang menjadi pelajaran berharga OVO selama COVID-19 ini dan bagaimana strategi untuk bertahan di masa setelah pandemi?

JT: Pertama, kami melihat poros global menuju digitalisasi bisnis dan adopsi digital di antara konsumen dan kami percaya perubahan ini cenderung permanen. Karena itu, para pemula perlu memanfaatkan infrastruktur fleksibel mereka untuk beradaptasi dengan cepat dan bertindak tegas dalam menghadapi krisis. Kedua, kemitraan adalah kunci. Startup dapat memainkan peran yang sama besar dengan entitas yang didirikan melalui kemitraan strategis dengan pemerintah dan perusahaan lain. Kemitraan kami dengan pemerintah Indonesia telah memungkinkan kami untuk memainkan peran yang lebih besar dalam memerangi krisis COVID-19.

Akhirnya, kita harus melihat kembali ke internal, memastikan bahwa karyawan kita didukung dengan baik. Dengan kerja jarak jauh yang mungkin menjadi norma baru selama beberapa waktu, kami telah menjelajahi serangkaian interaksi virtual reguler, seperti sesi talk show virtual dengan pakar kesehatan masyarakat, dan balai kota dengan tokoh-tokoh politik juga industri utama. Kami juga telah memperluas layanan pengobatan jarak jauh gratis ke semua karyawan OVO, untuk memberi mereka alat dan layanan untuk menerima perawatan medis dari jarak jauh, jika mereka membutuhkannya.

Kr: Pada wawancara tahun lalu, OVO menyampaikan fokusnya di 2020 untuk produk pinjaman, investasi, dan layanan asuransi digital. Bagaimana pandemi ini mempengaruhi rencana dan strategi OVO ke depan?

JT: Fokus kami tetap konsisten, kami ingin memperkenalkan lebih banyak penawaran asuransi dan investasi bagi konsumen, untuk memperkuat proposisi kami untuk menyediakan rangkaian layanan keuangan paling komprehensif untuk semua orang Indonesia. Awal tahun ini, kami mengumumkan kemitraan strategis dengan Bareksa di mana pengguna OVO dapat dengan mudah membeli reksa dana melalui Bareksa. Kami juga telah bermitra dengan Prudential Indonesia untuk meluncurkan premi kematian kecelakaan pribadi dan perlindungan COVID-19 gratis, yang dapat diakses melalui aplikasi OVO. Program ini telah berjalan sejak pertengahan April dan telah dipenuhi dengan permintaan tinggi dari masyarakat.

Untuk layanan pinjaman konsumen, kami secara proaktif mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi metode pembayaran dan pembayaran pinjaman untuk melindungi pengguna kami dan menawarkan opsi pembayaran yang fleksibel. Kami juga secara aktif berinvestasi dalam produk dan sumber daya teknologi, khususnya dalam tim untuk peminjaman, investasi, dan asuransi B2B, dan kami membangun saluran komunikasi dengan regulator dan pemerintah untuk mendukung berbagai inisiatif. Akan ada lebih banyak informasi yang bisa dibagikan mengenai produk-produk ini ketika sampai pada waktu peluncuran.

Kr: Facebook Pay sedang mencari partner dan OVO menjadi salah satu kandidat. Jika hal ini terjadi, bagaimana kerjasama ini bisa mendukung OVO dan bagaimana Facebook Pay akan mempengaruhi ekosistem pembayaran mobile di Indonesia?

JT: Meskipun kami tidak dapat membagikan diskusi kemitraan yang sedang berlangsung, kami selalu terbuka untuk mengeksplorasi peluang baru untuk meningkatkan transaksi tanpa uang tunai, termasuk dengan Facebook atau organisasi lain. Sebagai platform ekosistem terbuka, kami berada di posisi yang tepat untuk bekerja sama dengan mitra industri lainnya untuk memanfaatkan basis data pengguna dan layanan kami untuk mendukung pelanggan kami, terutama pada saat seperti ini, di mana ada global pivot menuju pembayaran tanpa uang tunai.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menyimak Adopsi “Enterprise Communication Platform” di Startup

Salah satu penunjang produktivitas bekerja di kantor adalah enterprise communication platform. Di Indonesia, platform seperti Slack, Google Meet, Workplace from Facebook, dan Microsoft Teams sudah familiar digunakan penggiat startup. Meskipun demikian, WhatsApp, yang tidak secara khusus ditujukan ke komunikasi korporat, juga sangat populer penggunaannya.

DailySocial mencoba merangkum enterprise communication platform apa yang paling familiar di kalangan startup dan apakah startup memiliki budget khusus untuk menikmati fitur premium. Di sisi lain, potensi ini mengundang pemain lokal untuk menunjukkan produknya dan bisa bersaing.

Platform esensial

Saat Covid-19 mulai merebak dan aturan bekerja di rumah mulai banyak diterapkan, penggunaan communication platform melonjak. Zoom adalah platform yang bisa dibilang paling populer, baik secara global maupun di Indonesia. Tercatat pengguna aktif bulanan Zoom mencapai 12,9 juta di bulan Febuari 2020. Hal tersebut menandakan esensialnya fungsi communication platform membantu kegiatan produktivitas.

“Penggunaan alat komunikasi jelas ditentukan oleh kebutuhan perusahaan itu sendiri dan kebiasaan atau saluran komunikasi utama digunakan oleh masing-masing negara,” kata Head of Operation of AnyMind Group Indonesia Yuwanda Fauzi.

Platform komunikasi ini membantu pegawai mengurai tugas dan mendiskusikan kendala dan beban kerja. Di sisi lain, para supervisor dan manager juga melakukan monitoring terhadap kinerja pegawai memanfaatkan platform ini.

“Di DANA, ide untuk berinovasi, problem solving, serta value creations harus bisa dikomunikasikan dan tersinergi dengan baik dalam skala operasional harian bagi para karyawan. Langkah ini perlu dilakukan untuk memastikan semua komunikasi anggota tim bisa berjalan dengan baik, mengingat banyak fungsi setiap departmen atau divisi serta individu yang berbeda di sebuah perusahaan. Pesan dan komunikasi menjadi kunci untuk memastikan tim dan individu yang berbeda bisa bekerja bersama dalam jalur yang terarah. Tujuannya adalah DANA bisa mencapai tujuan dan visinya bersama dengan cara yang paling efektif dan efisien,” kata CTO DANA Norman Sasono.

Mencapai tujuan yang selaras dan memastikan kolaborasi berjalan baik menjadi fokus utama startup untuk memanfaatkan beragam communication platform yang ada. Pemanfaatan aplikasi juga krusial saat memungkinkan pegawai melakukan hal-hal lain secara online, seperti rapat, memberikan presentasi, dan membuat survei.

“Tentunya memilih aplikasi yang dapat memfasilitasi kegiatan pegawai dengan aman juga tidak kalah pentingnya demi menjaga privasi seluruh pegawai serta keamanan informasi-informasi perusahaan yang bersifat rahasia,” kata Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono.

Sebagai perusahaan pembayaran digital dan layanan finansial, OVO dituntut senantiasa berkembang dan beradaptasi agar layanan OVO dapat terus diterima dan mampu menunjang kehidupan sehari-hari para penggunanya. Agar tetap tangkas, perlu adanya komunikasi, koordinasi, dan relasi yang baik antar pegawai agar dapat bekerja sama dan berdiskusi dengan maksimal.

“Platform tersebut mudah untuk digunakan, cepat, dan praktis dalam menunjang aktivitas sehari-hari seperti berdiskusi dan berkoordinasi. Terlebih pada lingkungan startup di mana kecepatan dan kepraktisan merupakan hal yang substansial dalam bekerja,” kata Head of PR OVO Sinta Setyaningsih.

Slack dan WhatsApp paling populer

Berdasarkan survei yang dilakukan DailySocial ke 16 startup, kebanyakan  memilih platform asing untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Meskipun pilihannya cukup bervariasi, dua platform tampil lebih dominan di antara platform lainnya.

Platform pertama adalah Slack yang didirikan oleh Stewart Butterfield dan yang kedua adalah WhatsApp yang didirikan Brian Acton dan Jan Koum. WhatsApp kini berada di bawah naungan Facebook.

Secara global, Slack hingga bulan Maret 2020 memiliki lebih dari 12 juta pengguna aktif harian. WhatsApp, di sisi lain, dengan adopsi yang lebih luas, per bulan Febuari 2020 mengklaim telah memiliki dua miliar pengguna di seluruh dunia.

Hasil survei DailySocial
Hasil survei DailySocial tentang penggunaan enterprise communication platform di startup

Yang menarik, WhatsApp dan Slack, oleh penggunanya, dipersepsikan dengan peruntukkan yang berbeda.

“WhatsApp sebagai communication tools fokus kepada chat experience and its simplicity dan telah memiliki jumlah pengguna yang sangat besar dari berbagai industri. Sedangkan Slack sebagai communication tools fokus kepada productivity yang didukung oleh bot dan integration tools, membuatnya terlihat lebih kompleks dan mendapat dukungan yang besar, khususnya dari industri berbasis teknologi,” kata Chief of Innovation Officer DOKU Rudianto.

Tampilan UI/UX yang menarik dan pengalaman pengguna yang nyaman juga membuat DANA memilih Slack dan WhastApp sebagai platform penunjang aktivitas sehari-hari. Perusahaan pun bersedia mengalokasikan budget untuk memberikan fitur premium bagi pegawai.

“Ada sejumlah faktor yang menyebabkan platform pesan instan menjadi populer, seperti kebiasaan dalam menggunakannya, pengalaman pengguna (UI/UX) yang baik, memiliki banyak fitur yang membuat pengguna produktif dan efisien, dan juga memiliki aspek keamanan,” kata Norman.

Fitur unggulan Slack adalah membuat grup koordinasi secara terbuka (siapapun dapat bergabung untuk berdiskusi) dan tertutup (terbatas untuk beberapa orang saja), melakukan voice call, melakukan absen mulai dan selesai bekerja (clock in dan clock out), membuat dan mengisi form, dan membuat polling di satu platform yang sama. Selain itu, Slack juga dapat memberikan laporan hasil pengukuran efektivitas komunikasi yang dilakukan tim di platform tersebut.

Sedangkan WhatsApp memungkinkan karyawan berkomunikasi lewat chat, saling berkirim dokumen dan foto, serta melakukan group conference (dengan jumlah terbatas) dengan jaminan enkripsi data.

Kebanyakan startup bersedia membayar biaya berlangganan dan mengalokasikan dana khusus untuk mendukung produktivitas pegawai.

“Bekerja di tech company dan startup membutuhkan koordinasi yang cepat, efisien, dan aman dengan sesama karyawan sehingga dibutuhkan communication channel yang dapat memenuhi kebutuhan itu, seperti Slack dan WhatsApp,” kata Intan.

Melihat peluang platform lokal

Bagi platform lokal di sektor komunikasi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mereka bisa meyakinkan konsumen dan bisa bersaing dengan platform global. Meskipun sebagian besar startup di Indonesia menggunakan platform asing, jika produk lokal yang disediakan lebih kompetitif dari sisi fungsi dan harga, mereka bersedia untuk mencoba.

Communication tools lokal memiliki potensi untuk bersaing dengan platform asing, karena dari sisi teknologi, membuat communication tools bukanlah sesuatu yang rumit. Tantangan utamanya adalah platform lokal harus dapat menjawab pertanyaan dasar: ‘Mengapa saya harus berpindah dari WhatsApp ke platform lokal?’. Jika ada startup yang mampu menjawab pertanyaan ini, sudah dipastikan mereka akan jadi the next unicorn, Indonesia’s first national communication tools, seperti yang terjadi dengan WeChat, Kakao Talk, dan Line di negara mereka masing-masing,” kata Rudianto.

Mereka yang memiliki proposisi unik untuk menyelesaikan masalah pengguna juga dapat menarik pengguna tertentu. Selain fitur-fitur baru yang menarik, penyedia lokal juga harus benar-benar sangat memahami dengan baik dasar-dasar layanan B2B, seperti UX, SLA untuk kinerja dan ketersediaan (Performance and Availability) dan keandalan dan keamanan (Reliability and Security).

“Setiap penyedia instrumen / platform pesan instan bisa berkompetisi di industri, jika menyediakan solusi atau produk yang lebih baik daripada opsi yang sudah tersedia di pasar,” kata Norman.

Melihat perkembangan dan tren pada hal ini, mulai muncul beberapa platform lokal yang mencoba memberikan layanan enterprise communication ini.

“Semakin tinggi demand untuk communication tools dalam aktivitas kerja, para developer akan semakin kreatif dan inovatif juga dalam membuat produk yang dapat memenuhi kebutuhan pasar yang dinamis. Kami tentunya akan selalu mendukung para developer Indonesia untuk bersaing dengan developer-developer lainnya dari seluruh dunia dalam menciptakan tools dengan kualitas terbaik,” kata Intan.

Berikut Daftar Startup Unicorn Indonesia Hingga Tahun 2020

Hingga saat ini, berdasarkan startup report 2019 sudah ada 6 startup yang masuk jejeran daftar Unicorn Indonesia 2020. Dari 6 startup Unicorn Indonesia 2020 yang sudah ada, JD.ID menjadi startup Unicorn keenam dengan valuasi sebesar $1 miliar setelah Ovo. Unicorn sendiri merupakan sebutan yang diberikan kepada para startup yang telah memiliki nilai valuasi di atas 1 miliar dollar AS atau setara dengan 14,1 triliun. Berikut daftar startup yang menyandang status Unicorn Indonesia 2020:

Gojek

Didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran pada tahun 2010. Dalam perjalannya, Gojek menjadi Startup Indonesia pertama yang meraih gelar Unicorn di tahun 2017. Dua tahun setelahnya, Gojek memastikan status barunya menjadi “Decacorn” setelah ditahun yang sama pasca pembukaan seri F oleh JD, Tencent, dan Google, valuasi Gojek ditaksirkan telah mencapai $9,5 miliar.

gojek menjadi unicorn di tahun 2017

Gojek memulai bisnisnya sebagai layanan ojek motor panggilan lewat call center dan saat berdiri hanya memiliki 20 pengemudi. Berbagai pengembangan fitur aplikasi mereka lakukan, dari yang awalnya hanya transportasi (Go Ride dan Go Car) hingga variasi layanan seperti Go Food, Go Send, Go Massage, dan lainnya.

Gojek sudah memasuki pasar di beberapa negara di Asia Tenggara, meliputi Thailand, Vietnam dan Singapura; di Malaysia dan Filipina tengah dalam tahap pematangan.

Tokopedia

Tokopedia pertama kali didirikan oleh dua sekawan, William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison pada tahun 2009. Startup di bidang e-commerce ini mendapat status unicorn Indonesia di tahun 2017 dan di tahun yang sama juga mengumumkan perolehan pendanaan senilai total 1,1 miliar dollar (atau lebih dari 14 triliun Rupiah) yang dipimpin Alibaba. Masuknya Alibaba ke Tokopedia menegaskan cengkeraman raksasa teknologi Tiongkok ini di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi Startup Unicorn Ecommerce Indonesia pertama

Akhir tahun 2019 Tokopedia dikabarkan tengah mengumpulkan pendanaan putaran baru (fundraising), nilai yang ditargetkan mencapai $1,5 miliar atau setara 21,1 triliun Rupiah. Besar kemungkinan dana tambahan yang tengah dikumpulkan akan difokuskan untuk meningkatkan traksi perusahaan, sebelum akhirnya miliki keuangan yang “hijau” dan IPO. Terakhir Tokopedia mengumumkan bahwa GMV mereka telah tembus di angka 222 triliun Rupiah sepanjang tahun 2019.

Traveloka

Traveloka berpusat pada bidang pemesanan hotel dan travel

Di daftar selanjutnya ada Traveloka yang didirikan oleh Ferry Unardi, Albert Zhang, dan Derianto Kusuma pada tahun 2012. Berpusat pada bidang pemesanan hotel dan travel, perusahaan ini merupakan startup travel di Asia Tenggara yang menyandang status Unicorn.

Gelar unicorn sudah diraih Traveloka sejak Juli 2017 setelah pendanaan yang didapat dari Expedia memperkuat posisi Traveloka sebagai pemimpin pasar industri travel Indonesia ketika memperoleh investasi dari Expedia sebesar 350 juta dolar AS. Setahun terakhir sebelumnya Traveloka secara total sudah mendapatkan dana $500 juta (lebih dari 6,6 triliun Rupiah) dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, and Sequoia Capital.

Kini, tidak hanya dikenal sebagai unicorn di vertikal online travel, Traveloka saat ini sudah melanglang buana di tujuh negara. Fokus layanannya tidak hanya akomodasi dan transportasi. Bisnis perusahaan kini sudah merambah ke gaya hidup dan finansial.

Bukalapak

Bukalapak masuk dalam daftar startup Unicorn Indonesia bidang e-commerce kedua setelah Tokopedia yang mendapatkan gelar unicorn. Bukalapak didirikan oleh Achmad Zaky bersama dua orang temannya, Nugroho Herucahyono dan Fajrin Rasyid, pada tahun 2010.

Bukalapak menjadi startup indonesia keempat mendapat status unicorn

Di tahun 2017 dengan valuasi yang diklaim Bukalapak mencapai lebih dari US$1 miliar (sekitar Rp13,5 triliun) menyandang status unicorn menyusul Go-Jek, Traveloka, dan Tokopedia. pemilik terbesar saham Bukalapak adalah konglomerasi media EMTEK, yang per laporan kuartal ketiga 2017 memiliki 49,21% saham layanan marketplace yang didirikan Zaky bersama Fajrin Rasyid dan Nugroho Herucahyono.

Kini, status Bukalapak bukan lagi startup. Masuk ke tahun ke-10, perusahaan mencapai milestone dengan lebih dari 70 pengguna dan kunjungan ke aplikasi tembus 420 juta kali per bulan. Ada lima juta pelapak dan tiga juta Mitra Bukalapak telah bergabung.

Ovo

Ovo tahun lalu mencuri perhatian dengan menjadi startup unicorn kelima di tanah air. Hal ini diungkapkan tahun lalu oleh mantan menkominfo Indonesia, Rudiantara, yang mengumumkan bahwa perusahaan berhasil memasuki jajaran Startup Unicorn Indonesia 2020 dengan valuasi senilai US$ 1 miliar. OVO merupakan penyedia layanan pembayaran elektronik yang dibesut oleh Grup Lippo.

Ovo menjadi unicorn di tahun 2019

Startup Report 2018 yang disusun DSResearch pada saat itu menempatkan Ovo sebagai calon terdekat untuk status unicorn, di antara jajaran startup yang memiliki valuasi di atas $100 juta. Berdasarkan Fintech Report Indonesia 2019 yang dikeluarkan oleh DailySocial, Ovo menjadi e-wallet yang paling populer di Indonesia dan menempati posisi kedua sebagai dompet digital yang paling sering digunakan di negara ini.

JD.id

Awal tahun ini, platform e-commerce JD.id mengonfirmasi kepada DailySocial bahwa valuasi perusahaan sudah melebihi US$1 miliar. Dengan demikian JD.id menambah jajaran daftar startup Unicorn Indonesia 2020 menjadi 6 perusahaan setelah di tahun sebelumnya ada Ovo yang juga bergabung dalam jajaran Unicorn Indonesia. Ada tiga startup di jajaran ini beroperasi di vertikal e-commerce.

JD.id menjadi startup keenam dengan status unicorn

JD.id pertama kali mulai beroperasi di Indonesia pada November 2015. Situs e-commerce yang miliki jargon “menjual barang dengan jaminan asli” tersebut hadir ke Indonesia sebagai hasil kerja sama strategis antara raksasa e-commerce Tiongkok JD.com dan private equity Provident Capital.

Saat ini, berarti ada 3 pemain e-commerce yang bersiap untuk memenangkan pasar. Jika platform seperti Bukalapak dan Tokopedia gencarkan program kemitraan, JD.id dalam beberapa kesempatan selalu menyampaikan fokusnya untuk memperkuat logistik.

 

Menimbang Rencana Kolaborasi Facebook dan Pemain Fintech Lokal untuk Sistem Pembayaran

Berdasarkan data yang dirangkum oleh WeAreSocial per awal tahun 2020 ini, Indonesia memiliki sekitar 160 juta pengguna media sosial aktif. Sebanyak 84% dari total tersebut menggunakan WhatsApp, 82% menggunakan Facebook, 79% menggunakan Instagram, dan 50% menggunakan Messenger.

Pada November 2019, Facebook Pay diluncurkan diperkenalkan sebagai layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk mengirim dan menerima uang melalui empat aplikasi di atas. Di versi awalnya untuk penggunaan di negara asalnya, pengguna dapat memanfaatkan kartu kredit untuk diintegrasikan ke dalamnya.

Sebenarnya inisiatif ini bukan hal baru, beberapa raksasa digital lain juga meluncurkan inisiatif serupa, misalnya Google Wallet dan Apple Pay. Yang membuat jadi menarik, santer terdengar rumor bahwa layanan pembayaran perusahaan yang diinisiasi Mark Zuckerburg tersebut akan dibawa ke Indonesia. Alih-alih bekerja sama dengan bank untuk transaksi via kartu kredit, mereka menggandeng pemain fintech lokal yang bergerak di bidang pembayaran.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta kepada Reuters mengatakan, tiga pemain fintech lokal telah mulai membincangkan rencana tersebut kepada BI sekaligus memohon persetujuan. Belakangan diketahui, perusahaan yang dirangkul Facebook adalah tiga platform terbesar saat ini, yaitu GoPay, LinkAja, dan Ovo.

Ditegaskan kembali hal ini masih dalam diskusi. Belum ada proses pengajuan resmi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Facebook Pay
Layanan Facebook Pay yang diluncurkan pada November 2019 lalu / Facebook

Konsolidasi dengan pemain fintech lebih masuk akal

Pagi ini kami mencoba menghubungi tim Facebook di Indonesia. Mereka masih enggan untuk memberikan keterangan terkait rencana tersebut. Pun demikian dengan pihak fintech lokal.

Namun demikian, menurut sumber lain yang dikutip Reuters, Facebook Inc sedang bersiap untuk mengajukan diri sebagai mobile payment yang beroperasi di Indonesia, bermitra strategis dengan tiga perusahaan fintech di atas.

Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah kartu kredit beredar per Februari 2020 tercatat 17,61 juta. Rasionya masih sangat kecil dibandingkan dengan total penduduk atau bahkan populasi pengguna internet di Indonesia. Sementara penetrasi digital wallet jauh melampaui pertumbuhan pengguna kartu kredit. Ambil contoh pada Desember 2019, LinkAja catatkan lebih dari 40 juta pengguna. Cukup masuk akal jika di Indonesia Facebook lebih memilih pemain fintech ketimbang bank untuk debutnya.

Jika integrasi ini berhasil dilakukan, nantinya pengguna Facebook, Instagram, Messenger, dan WhatsApp bisa berkirim uang menggunakan nominal saldo yang tersimpan di akun GoPay, LinkAja, atau Ovo yang dihubungkan dengan layanan Facebook Pay.

Apa jadi ancaman?

Sebanyak 59% dari total penduduk di Indonesia adalah pengguna media sosial. Jika diakumulasi, pengguna aplikasi dari “keluarga Facebook” akan mendominasi. Jelas ini bukan angka yang kecil untuk sebuah statistik pengguna platform digital – bahkan bisa dibilang yang terbesar, bagaikan sebuah ekosistem tersendiri yang dapat dikembangkan potensi bisnisnya.

Bagi pemain fintech lokal yang menjadi mitra, jelas ini kesempatan baik untuk meningkatkan sebaran pengguna layanan mereka. Facebook sendiri memiliki beberapa layanan bisnis yang berpotensi dapat turut melibatkan sistem pembayaran, misalnya untuk mendukung sistem marketplace, kegiatan donasi, atau pembayaran iklan.

Ovo Confirms Series B Investment to Bareksa Last Year

Bareksa mutual fund startup confirmed, Ovo becomes the sole investor in its Series B funding with an undisclosed amount. The round is said to be closed by the end of last year.

“Ovo is the sole investor for Bareksa in the Series B funding. The round was closed at the end of last year. We’re now focusing on synergy,” Bareksa’s Co-founder & CEO Karaniya Dharmasaputra told Dailysocial amidst the event of Ovo & Pegadaian collaboration announcement. (Wed 1/8)

On the same occasion, he emphasized on Ovo is yet to own Bareksa’s major shares. Post the corporate action, Dharmasaputra has elected as Ovo’s President Director through an announcement last September.

Since its debut five years ago, Bareksa only held external fundraising twice with only local players involved.

One of the to-do-list synergies with Ovo is to implant mutual fund products on Ovo’s platform, also to have it as a payment option on Bareksa. Dharmasaputra ensured the product development will soon to be announced.

Aside from that, Bareksa is to add up new innovation outside mutual funds, including online gold purchasing with some partners and entering the secondary market for ORI products. The ORI agents are to support the government with easy access for investment in stock market.

“We’re also developing robo advisor and re-framing the app. It is to be announced altogether around March or April 2020.”

Regarding the sale of corporate obligation, he explained that it’s yet to roll because they have to be registered first as a non-stock corporation. Previously, Bareksa has announced a collaboration with FIF to acquire retail investors.

“We can’t do it right now due to regulations are still in discussion with IFA and also not possible, therefore it’s still on progress. We have to apply for a new license as the non-stock corporation.”

Bareksa has claimed to record up to 400% managed funds growth last year. The total public’s fund invested in Bareksa since 2016 has reached Rp5 trillion. Meanwhile, as seen from the AUM per December 2019, it’s almost Rp2 billion. There are hundreds of mutual fund products provided by some investment managers sold through Bareksa.

Performance and partnership with Ovo and Pegadaian

Ovo becomes Pegadaian's new partner, being announced along with other companies / Ovo
Ovo becomes Pegadaian’s new partner, being announced along with other companies / Ovo

Karaniya, who is also the President Director of Ovo, disclosed that the company has been processing a million transactions in real-time last year, with transaction growth at over 70%.

The transaction value increased by 55% and monthly active users increased by over 40% at 11-12 million. From the total Ovo users, 28% of those are underbanked or having limited access to financial products.

In order to increase penetration to the rural area, the company partnered up with Pegadaian. In the early stage, there will be agents in the Pegadaian outlets to help with submission, registration, and Ovo upgrade. Later, it’ll be needed for disbursement from pledge assets, cash in, and cash out.

The soon-to-be product will be the Online Multi payment (MPO). This is a payment service for various kinds of bills, monthly subscriptions, balance top-up, ticket, health insurance, through Pegadaian outlets. The company has 4,148 outlets and 13.4 million customers throughout Indonesia.

“The partnership with Ovo is to increase Pegadaian customers’ access into the growing digital economy ecosystem. Pegadaian needs to make sure equal access to the integrated, safe, comfortable and accountable modern payment system,” Pegadaian’s President Director, Kuswiyoto said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian