Mengenal Platform P2P Lending Sofis dan Upayanya Mendampingi UKM Lewat Penerapan Laporan Keuangan

Kehadiran pemain usaha pinjam meminjam uang secara perorangan atau lebih dikenal peer-to-peer lending (P2P Lending) di Indonesia sebagai alternatif perolehan dana selain perbankan, rupanya diklaim masih menyisakan sejumlah permasalahan umum yang belum dipecahkan oleh pemain P2P Lending.

Misalnya, masih banyaknya pemain UKM -bahkan yang sudah masuk ke ranah online, belum menerapkan laporan keuangan (financial statement) dalam bisnis mereka. Padahal, ilmu akuntansi dasar ini sangat penting untuk mengontrol keuangan perusahaan. Untuk itulah, Sofis sebagai pemain platform fintech yang juga bergerak di P2P Lending hadir menyelesaikan masalah itu lewat program pemberdayaan UKM selama 8 bulan.

Startup fintech yang baru berdiri di Oktober 2016 ini, bertekad tidak hanya ingin dikenal sebagai pemain P2P Lending yang bertugas menjembatani peminjam dengan pemodal, tapi juga sebagai perusahaan yang menyejahterakan UKM.

Pada dasarnya, ada tiga isu permasalahan yang ingin dipecahkan Sofis lewat program pemberdayaan tersebut. Pertama, penerapan laporan keuangan yang dinilai masih minim untuk dilakukan. Bagaimana efek dari disiplin pencatatan laporan keuangan secara periodik dapat membantu pengusaha saat mengambil keputusan pengembangan bisnis.

Kedua, kurangnya akses bantuan bagi UKM untuk mendapatkan sertifikasi. Misalnya, Sertifikasi Produk Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta label izin halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ketiga, UKM yang masih kesulitan saat melakukan pemasaran produk. Lewas Sofis, akan ada kolaborasi dengan Bukalapak, Jakarta Consulting, Grow Asia Capital, dan lainnya.

“Program pemberdayaan (empowerment) tidak hanya bahas ilmu akuntansi saja. Selama delapan bulan dengan pertemuan offline setiap sebulan sekali, akan ada tugas yang akan kami berikan untuk UKM binaan kami. Tujuannya untuk membantu menyejahterakan mereka. Kita tantang mereka untuk mengubah kebiasaan, menanamkan nilai dalam produk, agar bisnisnya tetap terus tumbuh,” terang CEO Sofis Sendra Wong kepada DailySocial, Selasa (13/12).

Menerapkan laporan keuangan sebagai credit scoring acuan utama

Tampilan situs Sofis / Sofis
Tampilan situs Sofis / Sofis

Sendra melanjutkan, laporan keuangan menjadi acuan utama Sofis dalam menentukan grade bunga pinjaman untuk suatu UKM. Pasalnya, laporan keuangan menjadi tiang pancang suatu perusahaan untuk mengontrol kesehatan keuangannya dan proses auditnya guna mencegah potensi terjadinya tindakan kejahatan korupsi.

Mulai dari pengetahuan mengenai laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan neraca yang harus masuk ke dalam kertas kerja (worksheet), hingga pengertian aktiva passive dan aktif serta komponen apa saja yang masuk ke dalamnya. Di mana, belum banyak pelaku usaha yang sudah paham dengan hal tersebut dan masih mencatat secara manual.

Akibatnya, dengan pengetahuan yang masih minim, mereka masih menerapkan prinsip gali lubang tutup lubang. Secara profil risiko, mereka memang layak mendapatkan pinjaman dan mampu membayar cicilannya. Namun sumber dananya itu jadi tidak jelas, sebab bisa saja mengambil dana dari tempat yang bukan seharusnya.

“Pengetahuan akuntansi ini masih sangat dasar dan umum, banyak dari pelaku UKM yang belum paham. Kadang mereka juga tidak bisa membedakan mana profit, mana omzet. Makanya, mereka masih menerapkan prinsip gali lubang, tutup lubang. Bayar cicilan bisa, tapi sumbernya itu jadi berantakan karena tidak ada pencatatan.”

Untuk itu, pihaknya bekerja sama dengan startup akuntansi online Yonk.io dalam pengadaan laporan keuangan. Yonk.io diklaim sudah terkoneksi dengan bank, sehingga semua standar pencatatan keuangan dapat dijadikan acuan credit scoring seluruh penyedia jasa P2P lending saat menentukan grade bunga pinjaman.

“Dalam Yonk.io seluruh laporan keuangan untuk UKM sudah disediakan dengan lengkap, tinggal diisi saja. Mereka (UKM) akan kami bina untuk berlaku disiplin dalam pencatatan laporan keuangan, sebab dari sini bisa mengukur forecast, cash flow ke depannya bagaimana.”

Untuk menentukan grade bunga pinjaman, Sofis menerapkan acuan dari Pefindo Biro Kredit dengan membaginya mulai dari grade A1 sampai C3. Adapun kisaran bunga yang ditetapkan antara 12%-30% per tahunnya, dengan minimal pinjaman Rp10 juta sampai Rp200 juta.

Sementara itu, untuk menjamin kualitas kreditnya Sofis memberlakukan reserved fee (dana cadangan) sebesar 1%-2% per transaksi dan menggunakan jasa Jamkrindo untuk kredit penjaminan. Serta, menggunakan rekening bersama (escrow) untuk keperluan pencairan dana dari pemodal ke peminjam.

Selain itu, ada dua jenis fee yang diberikan Sofis kepada peminjam. Yaitu origination fee sebesar 2%-5% di potong dari awal transaksi, dan servicing fee yang dipotong tiap bulan dari nominal cicilan sebesar 0,5%. Adapun jaminan pencairan dana yang diberikan ke peminjam, maksimal tiga hari kerja setelah pengajuan dilakukan.

Target Sofis jangka pendek dan panjang

Sekadar informasi, Sofis belum resmi beroperasi. Saat ini startup fintech tersebut masih membangun fondasi dasar dengan mengadakan kerja sama strategis dengan berbagai institusi jasa keuangan (IJK) sebagai pihak pemodal (lender). Di antaranya, BNI Syariah, Bank Artha Graha, Radana Finance, CSU Finance, Stockbit, dan Bareksa.

Tak hanya itu, kerja sama dengan berbagai asosiasi terkait seperti HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) dan IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Pusat). Serta, startup layanan e-commerce semisal Bukalapak dan Tokopedia.

“Ke depannya, kami akan menyediakan pemodal dari perseorangan. Tapi sementara ini kerja sama dengan IJK tujuannya agar bisa lebih cepat ada traksi. Dengan Bareksa, nanti akan ada opsi beli loan di dalam platform mereka yang bisa dipilih untuk investor yang berminat. Sementara, dengan Tokopedia untuk pengadaaan e-financing. Semuanya masih on progress.”

Dalam pipeline, Sofis akan soft launching di Januari 2017 namun masih beta dan belum bisa melakukan menyalurkan pinjaman. Diharapkan dua bulan kemudian, sudah mulai menyalurkan pinjaman dari pemodal ke peminjam. Lalu, di Juni 2017 diharapkan Sofis sudah mulai stabil.

Ditargetkan setahun kemudian Sofis sudah menyalurkan pinjaman sebanyak Rp 130 miliar dengan prediksi jumlah peminjam 5 ribu orang dan 1.000 pemodal, dengan total workshop mencapai 60-100 workshop.

Sofis menargetkan mengeluarkan produk baru, dalam bentuk penawaran saham untuk pemodal yang berminat berinvestasi di UKM yang sudah memiliki sejarah keuangan yang baik. Rencananya, produk ini baru bisa dikeluarkan di 2019 mendatang. Tak hanya itu, Sofis menargetkan bisa berekspansi ke kawasan Asia Tenggara.

Peraturan Fintech OJK Hanya Fokus Soal P2P Lending, Bagaimana Nasib UangTeman dan Pinjam?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa regulator tidak akan membuat aturan fintech untuk pemain yang bergerak di bidang on lending. Pertimbangan ini diambil, pasalnya sudah ada aturan on balance sheet yang sudah diterbitkan untuk perbankan, perusahaan pembiayaan (multifinance), dan gadai swasta.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK mengatakan dalam tata peraturan Indonesia tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan. Menurutnya, regulasi yang sudah diatur oleh pemerintah pada dasarnya tidak bisa diatur lagi pada peraturan lain dengan hierarki yang sama.

[Baca juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Layanan on lending telah diatur di POJK di bidang perbankan dengan jaminan kredit adalah hak tanggungan, POJK di bidang perusahaan pembiayaan dengan jaminan fidusia, dan POJK tentang gadai swasta dengan jaminan barang.

“Dalam tata peraturan Indonesia tidak boleh ada aturan yang saling bertentangan. Aturan yang sudah diatur tidak boleh diatur lagi dengan hierarki yang sama. On lending adalah pinjaman on balance sheet yang sudah diatur di bank, multifinance, dan gadai swasta. RPOJK yang baru untuk off lending di P2P yang akan segera terbit,” ucapnya.

Menurut Hendrikus, pengertian dari P2P lending adalah pinjaman tanpa jaminan dan ada larangan penyelenggara fintech P2P untuk ikut memberi pinjaman. Alasannya, demi mencegah kegiatan “front runner”, di mana penyelenggara akan mengambil manfaat lebih dahulu dengan memberi pinjaman pada penerima dana (borrower) yang berkualitas tinggi.

Mereka juga tidak diperbolehkan mencatatkan seluruh dana yang mengalir lewat platform untuk dimasukkan ke dalam neraca keuangan dan tercatat sebagai aset atau kewajiban.

Larangan lainnya yang tercantum dalam draft POJK fintech lending, penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman dan memberikan jaminan dalam segala bentuk usaha atas pemenuhan kewajiban pihak lain dengan menerbitkan surat hutang untuk perkuat permodalannya.

“Kami persempit cakupannya agar bisnisnya tidak bertabrakan dengan multifinance atau jasa keuangan lainnya. Mereka hanya bisa perkuat modalnya dan melakukan ekspansi, dengan mencari investor baru untuk suntik modal.”

Dia melanjutkan, untuk fintech on lending yang sudah terlanjur beroperasi. Mereka hanya memiliki dua opsi yang bisa dipilih, mengikuti aturan P2P lending atau mengajukan izin usaha jadi multifinance atau gadai.

“Yang sudah beroperasi seperti UangTeman, mereka bisa memilih salah satu dari dua aturan yang ada. Mengajukan izin jadi multifinance atau menaati aturan P2P lending dengan segala konsekuensinya.”

Adapun, berdasarkan POJK mengenai multifinance dan gadai swasta, modal minimal yang diperlukan untuk izin pengajuan multifinace adalah Rp 100 miliar (berbadan PT) dan Rp 50 miliar (berbadan koperasi). Sementara untuk gadai swasta, syarat modal disetor bergantung lokasinya.

Untuk gadai yang beroperasi di tingkat kabupaten/kota, modal disetornya minimal Rp 500 juta, sementara di tingkat provinsi minimalnya Rp 2,5 miliar.

Pemain fintech on lending perlu ambil langkah

Tim UangTeman / DailySocial
Tim UangTeman / DailySocial

Di Indonesia, sudah cukup banyak pemain fintech P2P lending. Beberapa diantaranya, KoinWorks, Investree, Modalku, Amartha, Crowdo, dan lainnya. Namun pemain fintech on lending juga cukup ramai, seperti Pinjam dan UangTeman.

Terkait pernyataan OJK ini, DailySocial berusaha menghubungi kedua pemain tersebut untuk dimintai komentarnya.

Teguh B Ariwibowo, Founder dan CEO Pinjam mengungkapkan saat ini pihaknya sedang dalam proses untuk mengajukan izin pegadaian sesuai POJK Nomor 31/POJK.05/2016.

Kendati demikian, dia terus berharap agar OJK akan terus mengembangkan peraturan lain, sebab fintech itu tidak hanya lending saja. Dan, lending tidak hanya off balance sheet, namun juga ada yang on balance sheet.

“Terkait hal ini, kami sekarang sedang proses apply izin pergadaian. Pinjam kini mengembangkan produk pinjaman yang masih pilot, ke depannya kami akan mengikuti atran yang ada jika memang on lending untuk platform digital belum diatur dan akan terus menjaga hubungan baik dengan OJK melalui asosiasi,” terangnya.

Pada dasarnya, sambungnya, Pinjam sangat mengapresiasi langkah dari OJK untuk mengatur P2P lending, sebab akan mendorong pertumbuhan industri fintech demi terdorongnya inklusi finansial di Indonesia.

Beda halnya dengan Pinjam, Aidil Zulkifli selaku Co-Founder dan CEO UangTeman tidak memberikan jawaban pasti bagaimana langkah bisnis berikutnya. Dia hanya menjelaskan pihaknya akan mengikuti apapun arahan dari OJK dan bagaimana bentuk hukumnya yang sesuai dengan model bisnis UangTeman.

Menurut dia, UangTeman percaya pada dasarnya aturan jasa keuangan harus terus dikaji dan harus mengakomodasi fintech di Indonesia, di mana mereka tidak bisa berdiri sendiri tanpa dipayungi landasan aturan. Fintech itu menyentuh segalanya di jasa keuangan.

“RPOJK tentang Fintech Lending memang tidak berlaku dengan model bisnis UangTeman. Namun kami akan terus mengikuti seluruh arahan dari OJK. Kami percaya aturan jasa keuangan harus terus di-review agar semakin komprehensif dan mengakomodasi fintech yang tidak dapat berdiri sendiri,” ucap Aidil.

Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending

DailySocial baru saja mendapat draft rancangan Peraturan OJK untuk Fintech Lending. Dalam draft RPOJK, sementara ini masih dinamai “POJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”, fokus aturannya hanya mengatur perusahaan fintech yang menjalani bisnis meminjam uang antar personal atau lebih dikenal peer-to-peer lending (P2P lending). Karena pembahasan yang molor, RPOJK ini berpotensi tidak jadi disahkan akhir tahun ini.

Bisnis peminjaman online di luar P2P lending tidak akan diatur OJK. Ada 59 pasal dan terbagi menjadi 12 bab yang termuat dalam draft rancangan POJK ini.

Semua isi dalam draft membahas mulai dari penyelenggara fintech lending, kegiatan usaha, perizinan, pengguna jasa fintech lending, perjanjian, mitigasi risiko, tata kelola sistem teknologi informasi, tanda tangan elektronik, laporan, hingga laporan tata kelola.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan draft judul RPOJK sedang diupayakan untuk menjadi “Layanan Pinjam Meminjam Online Secara Langsung Berbasis Teknologi Informasi”.

“Kita akan menuju ke judul ini agar lebih pas dengan model binis yang akan diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lain, serta tidak melampaui UU OJK,” ucapnya.

Dia melanjutkan, ada kata “langsung” disematkan di antara judul. Hal ini bertujuan untuk memberi identifikasi yang jelas kepada penyelenggara jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung bertindak sebagai marketplace atau fasilitator yang mempertemukan pemberi pinjam (lender) dengan penerima pinjaman (borrower).

Mereka itu sifatnya off balancing sebab penyelenggara tidak mencatatkan penyaluran pembiayaan tersebut ke dalam neraca keuangan untuk dihitung sebagai aset atau kewajibannya. Beda halnya dengan on balancing, di mana sudah lumrah dilakukan oleh perbankan.

“Harus ditambahkan kata “langsung” karena penyelenggara hanya bisa memfasilitasi tidak bisa ikut meminjamkan dana. Sifatnya benar-benar off balancing tidak masuk aset atau kewajiban perusahaan.”

Diberi limitasi agar tidak bertabrakan dengan aturan sebelumnya

Hendrikus mengatakan, dalam proses pembuatan RPOJK ini diusahakan untuk tidak terlalu rigid aturannya, bersifat global, sekaligus tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya. Agar nantinya dalam pengembangan berikutnya tinggal diatur dalam penerbitan Surat Edaran OJK saja.

Ada beberapa aturan acuan yang bakal dikaitkan dengan POJK, diantaranya untuk pencucian uang akan mengikuti pedoman dan prosedur standar terkait penerapan program anti cuci uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT).

Untuk hal yang terkait stabilitas sistem keuangan akan mengacu ke UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), sementara untuk penyalahgunaan data akan mengacu ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Selain itu, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh penyelenggara jasa fintech. Seperti tertuang dalam pasal 54, disebutkan penyelenggara tidak bisa bertindak sebagai pemberi pinjaman.

Juga penyelenggara tidak bisa memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain. Caranya dengan menerbitkan surat hutang, sebagai strategi untuk perkuat permodalannya.

“Intinya penyelenggara jasa fintech tidak bisa menggunakan dananya sendiri untuk disalurkan ke publik sebagai pinjaman. Juga, tidak bisa menerbitkan surat berharga apapun untuk memperkuat permodalannya. Kami persempit cakupannya agar tidak bertabrakan dengan multifinance. Jadi untuk perkuat modalnya, caranya hanya satu yakni cari investor baru.”

Usulan modal disetor untuk fintech lending sebesar Rp2,5 miliar

Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial
Para pendiri Modalku (salah satu pemain P2P lending) dalam peluncuran platfrom mereka di Januari 2016 silam / DailySocial

Dalam draft Pasal 2 hingga 6, cukup detil menerangkan bagaimana proses penyelenggara fintech lending bisa mendapat lisensi izin penuh dari OJK. Mereka harus berbentuk badan hukum lokal (PT maupun koperasi) yang bisa dikuasai sahamnya maksimal 85% oleh asing.

Adapun sebelum mendapat lisensi, semua penyelenggara (baik existing maupun baru) harus melewati proses pendaftaran dengan memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar. Sebab, pada saat itu pihak OJK akan mengevaluasi model bisnis penyelenggara mulai dari kesiapan bisnis, status direksi, hingga bagaimana melakukan mitigasi risikonya.

Setelah evaluasi selesai, OJK akan mengeluarkan keputusan apakah penyelenggara bisa langsung mengajukan lisensi penuh dengan memenuhi modal disetor jadi Rp2,5 miliar. Bila penyelenggara dinilai OJK belum siap, artinya mereka akan menempuh masa uji coba selama satu tahun untuk belajar bersama dengan OJK untuk pendampingannya.

“Semua penyelenggara fintech yang sudah beroperasi pun harus menempuh proses pendaftaran. Bila bisnis sudah matang, tidak harus menunggu satu tahun, bisa jadi sebulan kemudian [lisensi diberikan]. Untuk yang belum [matang], OJK akan beri coaching, untuk dikawal terus selama satu tahun lamanya.”

Mitigasi yang diwajibkan OJK ada empat cara pengalihan. Hal ini tertuang dalam Pasal 19, melalui mekanisme asuransi kredit, penjaminan kredit, diversifikasi portofolio pinjaman, atau mitigasi risiko sesuai dengan rencana bisnis penyelenggara.

Peranan penyelenggara fintech lending diperluas

Draft juga menyebutkan, peranan penyelenggara fintech lending tidak hanya sekadar fasilitator antara lender dengan borrower saja. Tetapi juga dengan pertukaran data penyelenggara fintech scoring, informasi kredit, sertifikat elektronik, dan fintech pendukung lainnya yang terdaftar di OJK.

Hendrikus mencontohkan, lewat kolaborasi dengan fintech aggregator yang bergerak di bidang pemotretan lokasi dari satelit untuk memeriksa cuaca dan prediksinya di masa mendatang. Fintech lending nantinya akan mendapat rekomendasi yang bisa diberikan ke lender bagaimana cuaca dan iklim bila berinvestasi di sektor perkebunan dan bagaimana kondisi ke depannya.

“Dengan demikian, peran fintech lending bisa lebih luas lagi. Sekilas memang mirip perannya modal ventura (VC) karena memberikan insight ke investor. Tapi ini berbeda, sebab VC masuk akibat adanya intervensi. Beda dengan fintech lending, hanya memberi rekomendasi. Ini adalah value yang tidak bisa diberikan oleh bank,” pungkas dia.

Menakar Keseriusan Investor Asing di Sektor Fintech Indonesia

Seiring dengan ancaman perlambatan ekonomi global yang terus terjadi, mau tak mau negara maju harus terus mencari peluang dari negara-negara berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak potensial yang dapat menjadi magnet, rupanya berhasil menarik minat negara maju untuk masuk ke Indonesia untuk berinvestasi.

Apalagi ketika membahas financial technology (fintech), Indonesia saat ini sedang giat membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung ekosistemnya. Peranan fintech pun sangat luas, tidak hanya sebagai transaksi keuangan online, juga telah merambah ke uang elektronik, virtual account, aggregator, lending, crowdfunding, asuransi elektronik, dan lainnya.

Secara global, industri fintech terus tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Lanskap industri perbankan digital mencatat Asia sebagai yang terdepan dalam proses adopsi teknologi ini.

Korea Selatan merupakan salah satu negara maju di Asia yang mengalami pertumbuhan jumlah penggunaan teknologi keuangan tertinggi (63%), sementara Indonesia mengalami pertumbuhan sebanyak 28% (data McKinsey Asia PFS survey 2007-2014). Data ini menunjukkan kesempatan tumbuh untuk inovasi fintech di Indonesia masih terbuka lebar.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menerangkan sejauh ini sudah ada beberapa delegasi dari luar negeri yang datang ke Indonesia khusus untuk observasi kondisi fintech di Tanah Air. Beberapa diantaranya, Amerika, Singapura, Hong Kong, Tiongkok, dan yang terbaru Korea Selatan.

Namun, sambungnya, dari seluruh delegasi tersebut yang menunjukkan keseriusan dan niatan yang tinggi adalah Korea Selatan. Terlihat dari kunjungan perwakilan industri fintech Korea yang terdiri dari pejabat Ministry of Science, ICT dan Future Planning Korea, Korea Internet & Security Agency (KISA), serta 10 perusahaan fintech Korea melakukan lawatan selama tiga hari pada 30 November – 2 Desember 2016.

“Semua negara maju pasti punya kepentingan soal ini [investasi fintech]. Amerika [Serikat] dan Singapura yang paling paling dekat juga sudah merealisasikannya. Bisa dibilang lawatan delegasi Korea [Selatan] adalah terniat dan paling serius dibandingkan negara lainnya. Mereka melakukan roadshow ke kawasan Asia, Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi,” terangnya, Kamis (1/12).

Selain menyuntikkan dana investasi untuk pengembangan usaha, negara maju tersebut juga berniat untuk mengalirkan dananya sebagai lender atau pemberi pinjaman kepada fintech yang bergerak di jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung.

Menurut dia, fintech jadi sarana tercepat bagi negara maju untuk mengalirkan dana ke negara berkembang, ketimbang melakukan jasa keuangan lainnya karena terbentur masalah aturan.

Dari kegiatan lawatan ini, delegasi Korea menekankan pihaknya membuka kesempatan yang lebar bagi dengan pemain lokal untuk bermitra demi mencapai berbagai tujuan. Seperti, peningkatan akses pasar, peningkatan produk, dan peningkatan operasional.

“Indonesia dan Korea perlu mengembangkan eksosistem yang kuat dan terintegrasi lewat hubungan kerja sama kolaboratif, baik di dalam ekosistem fintech maupun antar eksistem yang berbeda,” ucap Lee Keunjoo selaku Sekjen Korea Fintech Industry Association.

Saat ini delegasi Korea Selatan masih dalam mempelajari pasar fintech di Indonesia, seperti yang terlihat dari rencana observasi 10 pemain fintech Korea Selatan saat berkunjung ke sini. Salah satunya, Paycock, sebuah aplikasi pembayaran mobile, berencana ingin menjajaki pasar mobile payment Indonesia dengan mitra terpercaya dan berpengalaman.

Berikutnya Crizen (P2P lending brokerage platform) berencana ingin kerja sama bisnis dengan lembaga atau perusahaan fintech Indonesia.

Ajisatria Suleiman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia menambahkan kedatangan delegasi dari Korea Selatan ini bisa menciptakan peluang bagi lokal untuk mengadopsti teknologi yang mereka miliki untuk produk yang dihasilkan.

Perusahaan fintech Korea Selatan bernama Fount adalah robo advisor yang dapat bertindak sebagai manajer investasi untuk menyarankan portofolio investasi kepada investor berdasarkan algoritma komputer.

Pihak asing berpotensi kuasai 85% kepemilikan perusahaan fintech Indonesia

Hendrikus melanjutkan, dalam draft regulasi yang mengatur fintech peer-to-peer lending, sudah ada peluang untuk asing dalam rangka mendukung perkembangan fintech di Tanah Air.

Hal ini tertuang dalam Pasal 3 Rancangan Peraturan OJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Uang Berbasis Teknologi Informasi, menyebutkan saham Fintech Lending harus berbentuk perseroan terbatas dan dapat dimiliki warga negara asing dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 85%.

Dia bilang, angka tersebut memang belum final dan pembahasan dengan industri masih terus bergulir. Namun, pertimbangan dari regulator mengenai angka 85% timbul karena ingin membesarkan sektor jasa yang menjadi alternatif dari industri jasa keuangan konvensional.

Belum lagi, layanan fintech yang didominasi oleh perusahaan startup sangat rentan dengan kegagalan yang cukup tinggi.

“Orang lokal banyak tidak mau investasi di startup karena tergolong sangat konservatif. Makanya untuk memajukan startup fintech Indonesia, butuh tenaga asing untuk masuk ke Indonesia. Jangan terlalu buru-buru bilang asing itu jelek untuk Indonesia.”

Menurutnya, bila asing masuk tanpa ada filter pun belum tentu mereka bakal berhasil di Indonesia. Pasalnya, untuk berbisnis membutuhkan adanya ekosistem yang mendukung industri pendukung lainnya. Lagipula, pihak lokal juga tidak bisa menampikkan kebutuhan modal yang sangat tinggi ketika bisnis fintechnya sudah mulai berjalan.

Dukungan Layanan P2P Lending untuk Permodalan UMKM

Solusi berbasis teknologi untuk sektor finansial (fintech) saat ini cukup menjadi perhatian industri. Berbagai jenis layanan hadir mulai menggantikan sistem transaksi tradisional yang sebelumnya ada, salah satu yang paling gencar dikembangkan adalah platform berbasis Peer-to-Peer (P2P) Lending. Pemainnya mulai berkembang, beberapa di antaranya adalah Amartha dan Modalku. Dari berbagai inisiatif fintech tersebut, UMKM menjadi salah satu pangsa pasar yang banyak menjadi sasaran.

Dalam sebuah diskusi panel bertajuk “Inovasi Microlending untuk Mewujudkan Keuangan Inklusif” yang digagas oleh Amartha dan CodeMargonda, keterkaitan platfrom P2P Lending dibahas tentang bagaimana marketplace tersebut (umumnya layanan P2P Lending berupa marketplace) menghubungkan pengusaha UMKM dengan penyedia modal beserta penjamin keamanannya.

UMKM, fintech, regulasi, dan akses permodalan melalui jagat maya

Diskusi diawali perwakilan pengusaha yang dibawakan Didi Diarsa. Apa yang ia sampaikan mencoba mendefinisikan ulang bagaimana sektor UMKM bertumbuh di era teknologi saat ini. Sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional yang didominasi oleh kalangan pemuda, UMKM memiliki potensi signifikan untuk bertumbuh. Dengan kapabilitas community-sharing yang dimiliki, bersama dukungan teknologi seperti media sosial dan layanan fintech, tak diragukan lagi bahwa UMKM akan segera beranjak pangsa pasarnya ke level regional.

Salah satu dukungan yang dinilai menjadi pendorong utama UMKM untuk berkembang adalah akses permodalan. Menurut Lead Economist World Bank Vivi Alatas, modal tersebut akan menjadi sangat berarti ketika dibungkus dengan yang namanya “growth mindest”. Bukan sekedar memberikan dana, tapi juga memberikan edukasi untuk menyelesaikan berbagai isu pengembangan bisnis seperti proses memulai yang rumit, kendala perizinan, hingga pengalaman bisnis yang terbatas.

Dua hal tersebut di atas menjadi sebuah titik poin yang sebenarnya bisa dimasuki pemain P2P Lending untuk memberikan fasilitas kepada UMKM. Nilai plus yang dihadirkan adalah membantu akselerasi bisnis UMKM yang sedang dirintis tersebut.

Fintech menawarkan beragam solusi bisnis siap terap, membantu UMKM memulai proses transaksi (baik untuk kebutuhan bisnis internal ataupun hubungannya dengan pembayaran oleh konsumen). Fintech tumbuh di Indonesia untuk memberi jasa keuangan, tidak hanya sebagai sebuah bisnis, tapi ada kepedulian di dalamnya. Dipaparkan Head of Bank Indonesia Fintech Office Junanto Herdiawan, BI sendiri kini sedang membahas terkait perlindungan konsumen, investor hingga memonitor kondisi fintech yang berkembang saat ini.

Adanya regulasi yang disusun antar lembaga diharapkan meminimalkan kemungkinan penyelewengan proses keuangan dengan teknologi tersebut. Disinggung juga bahwa potensi fintech di Indonesia kisarannya akan segera menyentuh angka $14,5 miliar.

Jaminan keamanan dan pengawasan oleh OJK untuk transparansi fintech

Sisi keamanan menjadi sorotan penting dari proses bekerjanya layanan fintech, terlebih yang memberikan dukungan kepada UMKM. Menjawab hal ini, pihak BI menjawab bahwa bank masih akan dijadikan pertahanan karena fintech dinilai belum bisa sepenuhnya menjadi platform (untuk pemberian modal penuh pada UMKM), sehingga kolaborasi dengan bank perlu dilakukan. Hal ini dinilai turut akan memberikan jaminan keamanan. BI dan OJK sendiri masih berdiskusi intensif terkait hal ini.

Teknisnya Junanto mengatakan bahwa untuk pemrosesan kebutuhan tersebut sistem harus jelas, seperti data dan tempat penyimpanan data yang jelas. BI dan OJK pun sudah mengatur terkait dengan hal tersebut. Hal tersebut dirasa penting, karena hasil akhir fintech adalah perubahan perilaku dalam bertransaksi.

Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat

Konsep bisnis peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia terbilang masih sangat baru, apalagi sampai saat ini belum ada regulasi yang menjadi payung hukumnya. Berbeda kondisinya di Amerika Serikat, konsep bisnis ini sudah dikenal sejak 2009 silam. Kendati demikian, dari hasil pantauan kinerja yang dijabarkan oleh Investree, penyedia layanan P2P lending marketplace, tercatat jumlah penyaluran pinjaman sudah mencapai angka 22,2 miliar Rupiah per 28 September 2016.

Lebih dalam dijabarkan, dari total penyaluran sekitar 16,1 miliar Rupiah diantaranya adalah pinjaman lunas terbayarkan. Dari portofolio penyaluran, didominasi oleh industri kreatif sekitar 38%, outsource 25,3%, katering 20%, dan sisanya industri lainnya. Adapun untuk gagal bayar (default) 0% dan rata-rata tingkat pengembalian sebesar 19,1%.

Adrian A Gunadi, Co-Founder dan Chairman Investree, menjelaskan dari pencapaian tersebut menjadi indikasi bahwa respons masyarakat terhadap model bisnis P2P sangat membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman. Sebab, banyak pengusaha yang sebenarnya bankable namun belum tersentuh oleh perbankan karena bisnisnya yang tidak memiliki fixed asset untuk dijadikan jaminan (collateral).

Saat awal Investree berdiri, lanjutnya, untuk mendapatkan pendana (lender) butuh waktu berhari-hari. Kini hanya dalam hitungan menit, peminjam (borrower) sudah bisa mendapatkan dana pinjaman. Selain itu, untuk meningkatkan kepercayaan konsumen, Investree mengadopsi azas transparansi. Artinya, seluruh transaksi akan terlihat dan bisa dipantau secara real time.

“Dengan transparansi, seluruh lender dan borrower dapat memantau secara real time dan online. Ini bisa meningkatkan kepercayaan, meski saat ini belum ada payung hukum untuk bisnis P2P belum ada,” ujarnya, Rabu (28/9).

Untuk meningkatkan kepercayaan lender, Investree juga menerapkan proses analisis credit scoring untuk mitigasi bisnis borrower dalam mencegah terjadinya default. Ada banyak variabel pengukuran yang dilakukan, salah satunya scoring lewat media sosial. Setelah itu, Investree akan menetapkan berapa besar bunga yang diberikan untuk borrower sesuai dengan grade-nya.

Adapun besaran bunga di kisaran 1,2%-2,5%. Sementara, imbal hasil (return) yang ditawarkan untuk lender sekitar 14%-20% per tahunnya. “Selain itu, kami juga memiliki skema pinjaman bisnis lewat invoice financing untuk produk business loan. Meski borrower adalah perusahaan skala kecil, apabila sudah memiliki invoice dari perusahaan skala besar mereka bisa mendapat pinjaman dari kami. Skema ini juga menjadi salah satu cara mitigasi kami.”

Menurut Adrian, kinerja yang sudah dicapai Investree terhitung cukup memuaskan. Pasalnya, perusahaan baru resmi beroperasi pada Mei 2016. Untuk itu, pihaknya optimis memasang target lebih tinggi, sampai Juni 2017 jumlah penyaluran pinjaman diharapkan dapat menembus angka 100 miliar Rupiah.

Untuk bisa menembus target, pihaknya memerlukan jumlah borrower hingga 3x lipatnya dari total sekarang. Sebab secara rerata per lender biasanya meminjamkan uangnya sebesar 10 juta Rupiah. Agar angka lender terus bertambah, pihaknya akan gencar melakukan edukasi ke berbagai komunitas di industri dan banyak menggaet perusahaan skala besar.

Investree juga mengadakan program reward berbentuk komisi untuk lender atau borrower aktif yang aktif mengajak teman, saudara, atau koleganya bergabung sebagai anggota.

Modalku Gandeng Bank Sinarmas Jadi Bank Kustodian

Modalku salah satu startup yang yang bergerak di sektor teknologi finansial (fintech), khususnya untuk peer-to-peer lending, mengumumkan kerja sama dengan Bank Sinarmas. Kerja sama kali ini menjadikan Bank Sinarmas sebagai bank kustodian yang akan berwenang untuk menampung dana pemberi pinjaman pada untuk Modalku sehingga bisa meningkatkan keamanan dan transparansi dana.

Seperti banyak diberitakan sebelumnya, pemerintah melalui OJK tengah menyiapkan regulasi yang akan mengatur industri fintech terutama masalah perlindungan konsumen. Salah satunya mengenai perlindungan data dan dana konsumen. Dengan kerja sama ini Modalku seolah mencuri start untuk memastikan pelanggan mereka merasakan keamanan berkat peran Bank Sinarmas yang berperan sebagai kustodian.

Seperti disampaikan Peneliti Eksekutif Senior Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi, salah satu hal yang menjadi perhatian utama regulator pada platformpeer-to-peer lending adalah perlindungan dan keamanan dana konsumen. Menurut Hendrikus tanpa bank kustodian, pengelola platformpeer-to-peer lending dapat menyalahgunakan dana seperti pada kasus ponzi scheme yang mengeluarkan pinjaman palsu dan bentuk penipuan lainnya.

“Keberadaan bank kustodian dapat meminimalisir kekhawatiran ini karena dapat memastikan bahwa dana pemberi pinjaman tidak disalahgunakan oleh pengelola portal,” ungkapnya.

Disampaikan CEO Modalku Reynold Wijaya, kerja sama ini merupakan bagian dari inovasi layanan konsumen oleh Modalku. Inovasi ini juga diharapkan mampu menciptakan ekosistem fintech yang lebih sehat dan aman di Indonesia.

“Implementasi kustodian bukanlah hal yang mudah, namun akan memaksimalkan kegiatan peer-to-peer lending di Modalku karena dana pemberi pinjaman terjamin aman. Standar tinggi kami akan menciptakan dunia fintech yang lebih sehat di Indonesia,” ujar Reynold.

Di sisi lain Direktur Utama PT. Bank Sinarmas Tbk. (BSIM) Freenyan Liwang menyampaikan bahwa perjanjian kustodian dengan Modalku akan memperluas kesempatan Bank Sinarmas di dunia finansial di tengah perkembangan industri keuangan digital.

“Ekosistem peer-to-peer lending sedang tumbuh pesat di Indonesia. Perjanjian kustodian ini akan membawa peer-to-peer lending di Indonesia ke tingkat selanjutnya, yaitu ke arah yang lebih ideal. Kami percaya bahwa dengan kerja sama ini, Bank Sinarmas akan menjadi salah satu bank terkemuka dalam keuangan digital,” tambahnya.

Sebelumnya hubungan baik antara Modalku dan Bank Sinarmas juga tertuang dalam bentuk kerja sama Bank Sinarmas sebagai escrow agent dan juga telah memberi pinjaman dana sebesar Rp10 miliar untuk membiayai pinjaman Modalku.

Investree Amankan Pendanaan Seri A dari Kejora (updated)

Investree salah satu penyedia layanan P2P (Peer-to-Peer) lending marketplace di Indonesia dikabarkan baru saja mendapatkan pendanaan Seris A dari Kejora dengan detil yang tidak disebutkan. Dengan pendanaan ini kemungkinan akan digunakan untuk menambah personil yang ahli di bidang marketing dan legal dan juga untuk mendirikan kantor penjualan.

“Bermitra dengan Kejora akan membawa pertumbuhan modal dan juga potensi kolaborasi dengan ekosistem yang ada. Dana baru akan digunakan untuk merekrut tenaga ahli dari pemasaran hingga legal dan juga mendirikan kantor penjualan,” ujar Chairman Investree Adrian Gunadi seperti dikutip Deal Street Asia..

Selain itu Gunadi juga mengungkapkan rencana Investree untuk memperluas jangkauan layanannya di kota-kota lain di Indonesia, seperti Surabaya, Makassar, dan Semarang. Rencananya ekspansi ini akan dimulai sekarang dan diharapkan akan rampung bulan Januari mendatang.

Tak hanya itu Investree dijelaskannya juga akan menghadirkan produk syariah sebagai alternatif dan juga menghadirkan aplikasi mobile baik itu iOS dan Android untuk semakin dekat para pengguna mereka.

Selain mendapat suntikan dana dari Kejora Adrian yang dihubungi langsung oleh Dailysocial mereka juga akan melakukan sinergi dengan beberapa portofolio Kejora lainnya seperti CekAja dan Qerja.

Dengan pendanaan yang dibukukan saat ini dan gambaran rencana-rencana yang akan dilakukan Investree sedikit banyak menggambarkan persaingan di pasar marketplace P2P lending. Dan Investree berada di jalur yang siap bersaing dengan gerak cepat dan sejumlah inovasi yang sudah disiapkan.

Saat ini, menurut Adrian di tahun ini edukasi akan menjadi salah satu fokus Investree saat ini. Baik itu edukasi masyarakat maupun stakeholder yang terkait dengan P2P lending dan juga pengembangan bisnis dengan kerja sama B2B dengan model supply chain.

“Marketnya masih sangat luas mengingat penetrasi perbankan yang masih terbatas utk penyaluran pembiayaan, dan instrumen investasi jangka pendek. Kami justru bekerjasama juga dengan Modalku melalui Asosiasi Fintech sebagai co-chair untuk memberikan masukan kepada OJK terkait ecosystem P2P dan regulasi yang sehat,” ungkap Adrian.

Seperti diketahui bersama ketika fintech sudah mulai diperhitungkan akan menjadi salah satu sektor yang tumbuh di tahun ini banyak startup-startup marketplace P2P lending bermunculan. Mereka akan bersaingan dengan beberapa pemain yang sudah dulu berada di sektor yang sama.

Tercatat selain Investree di sektor marketplace P2P lending ini ada Amartha, Crowdo, Koinworks, Modalku,dan lainnya. Ini akan menjadi persaingan yang menarik. Mari kita tunggu bersama dengan segala kecanggihan teknologi dan keunggulan yang dibawa masing-masing layanan dan lampu hijau dari pemerintah sejauh mana bisa membantu para peminjam, dalam hal ini UMKM.

Update : tanggapan langsung Chairman Investree Adrian Gunadi.

Transformasi Menjadi Peer to Peer Lending Marketplace, Amartha Beri Pendekatan Offline to Online

Geliat bisnis peer to peer (P2P) lending terus terlihat berkat mulai diliriknya sektor financial technology (fintech) oleh beberapa kalangan, termasuk pemerintah. Amartha, sebuah lembaga keuangan mikro yang berdiri sejak tahun 2010 silam, tahun lalu secara resmi bertransformasi menjadi layanan P2P lending marketplace. Transformasi tersebut memungkinkan individu atau kelompok berinvestasi untuk UKM-UKM yang mencari pinjaman.

Amartha didirikan oleh seorang alumnus Harvard University Andi Taufan Garuda Putera. Ia dibantu oleh beberapa tim profesional di belakangnya dan juga didukung oleh technical assistance lembaga keuangan, baik dari dalam maupun luar negeri untuk pendekatan pembiyaan bagi masyarakat piramida. Beberapa di antaranya adalah Grameen Foundation, Microsave, dan mitra riset Bank Indonesia.

Andi mengatakan, “Kami percaya kemampuan individu dan UMKM untuk mendapatkan pembiayaan itu penting untuk menstimulasi dan mewujudkan keberlanjutan ekonomi yang sehat, diverse, dan inovatif. Sehingga di tahun 2015 kami berupaya memperluas jangkauan dengan bertransformasi menjadi penyedia layanan fintech melalui Peer-to-Peer Lending marketplace.”

Lebih jauh Andi menjelaskan bahwa tujuan transformasi tersebut adalah untuk memberdayakan bisnis di sektor informal economies, dengan memungkinkan masyarakat bisa berinvestasi langsung ke UKM. Dengan demikian, sumber pendanaan akan menjadi lebih terversifikasi mulai dari perbankan, institusi investor, investor pribadi, hingga kalangan masyarakat umum (retail investor). Dampaknya, pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih inklusif.

Sebagai lembaga keuangan mikro, pendanaan Amartha didukung oleh berbagai pihak bank seperti Bank Muamalat, Bank Sampoerna, BJB, Bank Woori Saudara, dan BNI. Semenjak bertransformasi menjadi P2P lending marketplace kini Amartha juga didukung oleh beberapa investor, baik perorangan ataupun venture capital. Sayangnya tidak ada nilai pasti yang disebut Andi untuk jumlah investasi tersebut.

Hingga hari ini Amartha mencatat sudah melayani lebih dari 20.000 orang dengan total pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp 37 miliar dan total kredit macet 0%. Fakta itu menjadi salah satu menjadi pertimbangan Amartha untuk terus mempercayai UKM-UKM yang mengajukan pinjaman.

“Kami telah berada di bisnis pembiayaan mikro selama lebih dari lima tahun. Selama itu pula kami membuktikan bahwa kalangan pebisnis UMKM yang terbatas terhadap layanan perbankan adalah peminjam yang baik, dengan tingkat gagal bayar 0% hingga hari ini. Kami berupaya untuk meningkatkan pengusaha mikro menjadi credity-worthy borrowers,” terang Andi.

Pun begitu, Andi juga tidak memungkiri risiko gagal bayar akan tetap ada. Tapi dengan pendekatan yang tepat dan disiplin yang dibangun, baik dari sisi peminjam atau tim di lapangan, risiko tersebut bisa dikelola dengan baik. Selain itu Amartha juga menerapkan skorsing kredit untuk memastikan risiko dapat dikelola dengan baik.

Amartha dan keunikannya

Diterangkan Andi, sebagai sebuah bisnis Amartha memiliki sejumlah keunikan jika dibanding dengan P2P lending marketplace yang ada di Indonesia. Pertama, adalah pendekatan offline to online. Kedua, adalah automated dan Dynamic Credit Intelligence System yang dibangun.

Dengan pendekatan offline to online, Amartha dapat membantu memfasilitasi pengajuan proposal dan pembiayaan ke dalam marketplace bagi peminjam yang memiliki keterbatasan akses internet. Kemudian data pembayaran angsuran diproses secara real time masuk ke akun peminjam atau investor. Ada tim lapangan yang dilengkapi perangkat Android untuk pendekatan ini.

Sementara itu melalui automated dan Dynamic Credit Intelligence System yang dibangun, marketplace Amartha memiliki proprietary risk algorithm. Ini memungkinkan Amartha membuat credit scoring berdasarkan behavioral data dan data transaksi untuk melakukan penilaian terhadap risk profile calon peminjam.

Andi mengatakan, “Kami terus berfokus di proprietary technology platform untuk membangun analytical tools sehingga memastikan lenders / investors untuk memiliki informasi yang lengkap dalam membuat keputusan dan menilai portofolio.”

Tanggapan pihak Amartha mengenai bisnis P2P lending di Indonesia

Menurut Andi hadirnya para pemain P2P lending marketplace seperti sekarang ini dapat melengkapi sistem perbankan untuk menjangkau para investor perorangan maupun peminjam dari UKM. Andi percaya dengan adanya transparansi dan keterbukaan pasar yang memungkinkan peminjam dan investor memiliki akses terhadap informasi yang dilengkapi dengan teknologi dan perangkat analisis dapat membuat pembiayaan menjadi lebih terjangkau, redirecting aset yang selama ini dipendam dalam bank, dan menarik sumber-sumber modal baru untuk asset class baru seperti usaha mikro dan kecil.

“Kami percaya lending marketplace memiliki kekuatan untuk memfasilitasi penyebaran pendanaan yang lebih efisien, meningkatkan daya saing UMKM, dan menjembatani pemerataan ekonomi di Indonesia,” imbuh Andi.

Salah satu hal yang harus dihadapi para pemain P2P lending adalah regulasi. Mengenai hal ini Andi optimis mereka akan mendapat dukungan, termasuk juga dari para pemain konvensional, seperti pihak bank.

“Kami telah berbicara dengan para pemain perbankan konvensional dan juga regulator. Secara umum mereka antusias terhadap kehadiran P2P. Beberapa bank rekanan Amartha bahkan telah menyatakan komitmen mereka untuk bekerja sama di platform P2P ini,” ujar Andi.

“Sementara itu bagi OJK sebagai regulator, dukungan mereka terlihat dari dibentuknya Focus Group Discussion dan desk khusus untuk membahas kehadiran P2P ini. Sementara aturan yang baku masih dalam proses penyusunan. Amartha senantiasa berkomitmen untuk mematuhi ketentuan regulator dan memantau perkembangan arah kebijakan P2P di Indonesia,” tutup Andi.

Platform P2P Lending Crowdo Resmi Melenggang di Indonesia

Startup asal Singapura penyedia layanan pinjaman peer-to-peer (P2P), Crowdo, Sabtu kemarin (9/3) mengumumkan telah tersedia untuk di akses secara publik di Indonesia. Ini adalah tindak lanjut Crowdo setelah Juli 2015 silam masuk ke pasar Indonesia dan melakukan uji coba untuk kalangan tertentu saja (private beta). Di Indonesia, Crowdo terdaftar dengan nama PT Mediator Komunitas Indonesia.

Juli tahun lalu layanan peminjaman dana P2P Crowdo resmi melakukan perluasan wilayah operasional ke Indonesia, menindak lanjuti langkah perluasan sebelumnya ke Malaysia. Targetnya adalah untuk memberikan pinjaman modal kerja ke bisnis di Indonesia yang belum terlayani oleh sistem keungan tradisional (pinjaman bank).

Sebagai catatan, menurut International Finance Corporation yang merupakan bagian dari grup bank dunia, di Indonesia terdapat lebih dari 20 juta UKM dengan akses terbatas terhadap pendanaan dengan perkiraan celah kredit sebesar $27 miliar. Potensi inilah yang coba dimaksimalkan oleh Crowdo di Indonesia yang merupakan negara berkembang.

“Salah satu tantangan bagi usaha kecil menengah di Indonesia adalah dari segi pemodalan. Sejauh ini sumber dana UKM masih dari perbankan, tetapi perbankan sendiri terbiliang sulit masuk ke UKM karena bank cenderung menghindari resiko,” ujar Senior Advisor Crowdo Indonesia Ari Wibowo.

Co-Founder dan CEO Crowdo Leo Shimada mengatakan, “Misi kami adalah untuk menghubungkan perusahaan rintisan ‘kelas atas’ dan bisnis kecil menengah dengan penanam modal global. […] Indonesia adalah pasar penting bagi P2P kami. […] Kami hadir di sini untuk jangka panjang.”

CROWDO P2P Lending Page / Crowdo

Leo juga optimis bahwa pilihan layanan peminjaman P2P dapat menjadi alternatif yang menjanjikan dalam membantu usaha-usaha tahap awal berkembang. Pemilik usaha akan dibantu untuk mendapatkan dana dan pemodal dapat mengakses secara transparan aliran dana yang dikucurkan juga kesempatan baru untuk berinvestasi.

Para investor yang mengunakan layanna Crowdo ini, baik itu angel ataupun ventura capital, dapat mengucurkan investasi minimum sebesar Rp 500 ribu. Sedangkan pemilik usaha dapat memperoleh pinjaman hingga mencapai satu miliar rupiah. Pihak Crowdo akan melakukan uji kelayakan dari aplikasi pinjaman dahulu sebelum diteruskan kepada pemodal.

Bila peminjam tidak membayar dua kali cicilan berturut maka pinjaman akan dikatakan gagal bayar. Bila terdapat agunan, maka agunana akan dilikuidasi untuk membayar kembali investor. Namun, jika pinjaman tersebut tidak memiliki agunan maka Crowdo akan berkomunikasi dengan peminjam untuk mencari opsi lain.

Sebagai informasi, hingga saat ini OJK masih belum memiliki regulasi yang dapat menata layanan P2P lending. Pun begitu, Leo meyakinkan pihaknya telah berkonsultasi dengan pihak regulator dan memastikan telah memenuhi segala persyaratan yang sudah berlaku.

Dengan dibukanya akses publik, Crowdo saat ini akan fokus untuk melihat perilaku pengguna di Indonesia terlebih dahulu untuk setidaknya selama enam bulan ke depan. Dari sana, tak menutup kemungkinan akan diluncurkan sebuah aplikasi mobile demi memudahkan pengguna. Selain itu, fokus untuk segera menumbuhkan tim operasional di Indonesia juga menjadi perhatian Leo saat ini.