Percepat Inovasi Produk, Amartha “Acquihire” Perusahaan Piranti Lunak Asal Surabaya

Startup p2p lending Amartha mengumumkan acquihire terhadap perusahaan piranti lunak asal Surabaya Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) dengan nilai dirahasiakan. Talenta Twiscode sepenuhnya akan bergabung sebagai tim engineer Amartha untuk mempercepat rencana pengembangan produk dan teknologi.

Kepada DailySocial, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menjelaskan, perusahaan membutuhkan talenta engineer dalam waktu cepat untuk merealisasikan seluruh rencana inovasi dan ekspansi Amartha pasca-mengantongi pendanaan. Pihaknya melihat Twiscode memenuhi seluruh kriteria yang dibutuhkan perusahaan.

Terlebih itu, keduanya memiliki relasi bisnis yang cukup baik lewat sejumlah kerja sama yang pernah dijalin sebelumnya, sehingga reputasi dan kualitas talenta Twiscode telah terbukti. “Karena kami sudah saling kenal jadi ada chemistry, mereka pun ingin jadi bagian dari Amartha untuk mewujudkan misi itu,” ucap Wenas.

Senior Vice President of Engineering Amartha William Notowidagdo menambahkan, pandemi dan tren work from home (WFH) menjadi pembuktian bahwa pemenuhan talenta digital dapat dilakukan tidak harus bergantung lagi pada suplai di Jakarta saja.

“Sekarang talenta di daerah juga punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi di startup seperti Amartha,” ucapnya. Setelah acquihire, seluruh tim Twiscode yang berjumlah 47 orang menjadi bagian dari kantor R&D Amartha, dinamai “Amartha Development Center Surabaya”.

Rencana pengembangan teknologi

Wenas melanjutkan masih banyak ruang lingkup teknologi di Amartha yang bisa ditingkatkan jadi lebih baik. Di Amartha sendiri ada tiga segmen teknologi yang difokuskan, yakni dari sisi lender, internal, dan borrower.

Misalnya, untuk segmen lender, nantinya memungkinkan per lender dapat mendanai setiap proyek di Amartha mulai dari Rp100 ribu dari sebelumnya minimal Rp5 juta. “Lalu dari registrasi lender dan verifikasinya ada yang bisa lebih dipercepat lagi ke depannya.”

Kemudian, dari sisi internal, karena 1/3 borrower belum memiliki smartphone, maka Amartha membutuhkan kehadiran field officer untuk proses verifikasi dan pencairan dana yang dibantu lewat aplikasi tersendiri. Teknologi teranyar yang tengah disiapkan adalah proses pencairan dana pinjaman secara cashless.

“Kami ingin meningkatkan coverage field officer kami sehingga produktivitas mereka jadi lebih tinggi.”

William menyebutkan teknologi lainnya untuk membantu verifikasi dan absensi borrower adalah menghadirkan fitur face recognition, tidak lagi harus proses manual dengan tanda tangan. Solusi ini untuk mengatasi kondisi di lapangan, yang mana para borrower ini mayoritas buta aksara dan sidik jari yang tidak bisa terbaca bila memakai mesin biometrik.

Dalam menjaga TKB, selain memanfaatkan kehadiran field officer dan absensi, Amartha menerapkan empat grup dengan 92 parameter untuk skoring kredit, di antaranya parameter bisnis, demografis, kemampuan untuk bayar, dan kemauan untuk bayar. Seluruh parameter ini dibuat khusus untuk segmen underserved, sehingga berbeda dengan pemain p2p kebanyakan.

“Jadi survei kita itu bukan dia bisa bayar atau enggak, tapi dari survei dengan melihat kondisi rumahnya, misalnya pakai LPG atau minyak tanah, ada kulkas atau tidak, lantai rumahnya masih tanah atau ubin, dan sebagainya. Ke depannya pasti akan kita evolve.”

Salah satu parameter skoring yang tengah melonjak adalah awareness borrower terhadap kebutuhan smartphone. Faktor penunjangnya tak lain untuk anak-anak para peminjam untuk sekolah. Kebutuhan tersebut lambat laun membuat kesadaran borrower terhadap media sosial meningkat.

“Ketika usage media sosial naik, akan kita kawinkan dengan 92 parameter mengingat adopsi digital di desa bakal meningkat ke depannya,” pungkas Wenas.

Perusahaan merilis Amartha Plus dengan tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan Amartha.

Perkembangan fintech lending

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Sepanjang tahun 2021 ini, industri fintech lending masih terus memperlihatkan geliat pertumbuhan. Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Untuk memaksimalkan momentum tersebut, sejumlah aksi strategis telah dilakukan. Teranyar mereka menunjuk mantan Menkominfo Rudiantara sebagai Komisaris. Pada Juni 2021 lalu mereka juga baru mendapatkan investasi 107 miliar Rupiah dari Norfund yang merupakan lembaga milik pemerintah Norwegia. Ini melanjutkan perolehan sebelumnya senilai 405 miliar Rupiah dari putaran yang dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures.

Application Information Will Show Up Here

Bank Hijra Jadi Ujung Tombak ALAMI Selesaikan Tantangan Bank Digital Syariah

Kisruh terkait pembiayaan melalui bank syariah beberapa waktu lalu menunjukkan pemahaman masyarakat tentang cara kerja prinsip syariah yang masih minim. Hal ini menjadi ironi di negara dengan populasi umat Muslim terbesar di dunia.

Penetrasi perbankan syariah di negeri ini memang rendah. Hanya 6,51% jika dibanding perbankan konvensional. Tak heran jika Kementerian BUMN menggabungkan 3 anak BUMN menjadi sebuah bank syariah berkapitalisasi besar demi meningkatkan daya saing.

Kendati begitu, potensi meningkatkan tren perbankan syariah memang ada. Semangat publik untuk memahami pengelolaan dana publik secara syariah menunjukkan tren kenaikan. Kesempatan ini yang dimanfaatkan platform fintech syariah ALAMI Group bersama BPRS Hijra Alami (selanjutnya disebut Bank Hijra), hasil rebrand BPRS Cempaka Al Amin yang sudah diakuisisi.

Bank Hijra tengah mempersiapkan peluncuran aplikasi dalam waktu dekat. Berkaitan dengan hal ini, DailySocial berkesempatan mewawancarai CEO ALAMI Dima Djani.

Di balik keputusannya memilih BPR ketimbang bank umum, Dima tidak menjelaskan lebih jauh. Pertanyaan kami mengenai kemungkinan menaikkan level izin BPRS Hijra sebagai bank umum juga tidak dijawab.

Dia menuturkan aksi korporasi ini adalah bagian proses membantu perluasan akses layanan keuangan syariah agar lebih mudah dan kompetitif kepada seluruh lapisan masyarakat. Proses akuisisi dan penambahan modal dilakukan secara bertahap. Kini sudah mencapai lebih dari Rp50 miliar.

Kegiatan usaha BPR sejatinya lebih sempit daripada bank umum. Mereka hanya bisa menyalurkan kredit (tidak boleh punya kartu kredit dan nilai plafon kredit umumnya terbatas hingga miliaran Rupiah), tabungan, dan deposito berjangka. Jangkauan nasabah BPR juga lebih terbatas pada tingkat provinsi.

OJK sendiri mengklasifikasikan izin pendirian bank hanya dua, yakni bank umum dan BPR. Aturan-aturan terkait bank digital masih terus dipersiapkan dan diharmonisasi regulator. Rencananya POJK khusus bakal terbit tahun ini.

Digital menjadi kata kunci yang dilirik ALAMI. Selain Bank Hijra, pemain perbankan digital yang mengusung semangat syariah adalah Bank Aladin Syariah.

Dima menjelaskan, pada tahap awal Hijra akan memulai sinergi dengan ALAMI Group berbekal sosialisasi OJK mengenai panduan sinergi antara fintech p2p lending dengan BPR. Bentuk sinergi akan dimulai dari financing channeling dan akan dilanjutkan dengan cross selling produk-produk keuangan syariah lainnya.

OJK menerbitkan panduan tersebut untuk meningkatkan kualitas penyaluran pembiayaan fintech lending dengan dukungan jaringan BPR yang luas dan tersebar di seluruh Indonesia. Skema kerja sama yang dapat dikerjakan kedua belah pihak adalah channeling dan referral.

Dima menuturkan, nasabah existing ALAMI akan menjadi target utama akuisisi konsumen Bank Hijra pada tahap awal. Mereka bisa membuka membuka tabungan dengan mudah dan sistemnya akan terus ditingkatkan agar proses integrasinya lebih seamless.

“Sebagai gambaran, kalau di Indonesia, p2p lending ALAMI memberikan tingkat imbal hasil paling tinggi untuk yang sifatnya fixed income seperti bank deposito syariah, sukuk negara, dan P2P syariah. Rerata imbal hasilnya setara 14%-16%,” kata Dima.

Kondisi tersebut diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi calon nasabah dan memantik lebih banyak minat nasabah perbankan konvensional yang selama ini mengharapkan nilai lebih pada produk perbankan syariah. “Hijra bisa menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut.”

ALAMI memiliki 40 ribu pendana terdaftar pada akhir tahun lalu. Selain mengincar nasabah existing, pihaknya menargetkan segmen urban yang sudah mulai melek keuangan syariah.

Nasabah Hijra nantinya akan jauh lebih mudah mengakses fitur pembiayaan yang ada di ALAMI. Selain itu, fitur lainnya yang wajib ada dalam sebuah bank dipastikan bakal hadir, seperti kemudahan membuka rekening, transfer, terintegrasi di ekosistem tertentu, dan customer service yang mudah dan cepat. “Kami sedang berfokus di sini.”

Selain consumer banking, Bank Hijra juga mengincar segmen SME banking yang dilengkapi fitur membantu orang-orang yang terdampak pandemi untuk membuka usaha. Segmen tersebut besar pangsa pasarnya karena Indonesia punya jutaan UMKM yang diklaim siap hijrah ke segmen digital syariah.

Tampilan aplikasi Hijra / Bank Hijra

Menjawab tantangan

Dima percaya industri perbankan syariah tetap dapat bersaing dengan implementasi teknologi dan strategi yang tepat untuk mengatasi permasalahan kronis yang menghantui selama bertahun-tahun.

Pertama, mengenai bunga kredit lebih tinggi dibandingkan konvensional. Jika ditarik ke belakang, adanya biaya yang lebih tinggi untuk bank syariah karena terbatasnya infrastruktur dan literasi keuangan syariah.

Masyarakat cenderung ragu untuk menaruh dananya di bank syariah karena mereka tidak mengerti apa yang akan didapatkan.

“Faktanya, sekitar 50% dari total liabilitas di bank syariah merupakan deposito. [..] Maka dari itu, biaya pinjaman mereka menjadi lebih mahal daripada bank konvensional. Itu pertama. Dan kedua adalah inefisiensi. Kami tidak melihat [penggunaan] teknologi di bank [syariah]. Jadi kedua faktor ini menciptakan harga [biaya kredit] yang relatif lebih tinggi.”

Kedua, kurang berkembangnya industri atau produk syariah. Menariknya, selama delapan tahun terakhir, dengan kekuatan media sosial dan minat generasi muda permintaan pasar akan produk syariah meningkat secara signifikan.

“Memberikan edukasi yang mudah dipahami oleh masyarakat dan menyajikan teknologi yang memudahkan pada produk yang diberikan akan menjadi strategi ALAMI dalam menghadapi tantangan ini.”

Berikutnya adalah tantangan positioning. Bagaimana Bank Hijra menjadikan syariah tidak sekadar produk pelengkap, tetapi juga sesuatu yang driven. “Jadi orang melihat bukan hanya label, tetapi ada aksinya. Jadi pandangan masyarakat beda. Sekarang masyarakat yang apatis melihat bank syariah.”

Memasuki tahun keempat, kinerja ALAMI diklaim semakin moncer. Pada kuartal I 2021, pertumbuhan pengguna ALAMI naik 1.000% secara year-on-year (yoy) dan total penyaluran sebesar Rp200 miliar. Kualitas penyaluran diklaim baik dengan rasio macet atau gagal bayar masih berada di angka 0%.

Perusahaan telah berkolaborasi dengan eFishery dan BukaPengadaan untuk memperlebar jangkauan penyaluran kredit. Selain pendana individu, ALAMI didukung jajaran pendana institusi, seperti Bank Syariah Indonesia (BSI), BPR Syariah, dan tujuh BPR lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Appoints Rudiantara as a Commissioner, Introducing Amartha Plus App

Amartha announced Rudiantara, the former Minister of Communication and Information for the period 2014-2019, as a President Commissioner effective per July 1, 2021. Rudiantara’s mature experience in technology is expected to contribute to the company’s ambition to accelerate MSME digitization.

In a virtual press conference the company held (19/7), Amartha’s Founder and CEO, Andi Taufan Garuda Putra said that one of Rudiantara’s important achievements was to develop policies regarding digital infrastructure in remote areas to support MSMEs.

“Amartha is honored to welcome Mr. Rudiantara to be part of Amartha’s big exit. Amartha is optimistic that his presence will provide insight and wisdom in building leadership and partnerships with company stakeholders,” he said.

Rudiantara added, he is also honored to be able to work together with Amartha in accelerating financial services for the unserved and underserved groups with no access to the banking sector. He said, not only focusing on microfinance, Amartha also focuses on the women’s segment.

“This is the reason I joined Amartha. It is based on technology, but what makes it different is that they target MSMEs with a broad social impact, MSMEs, productive women, and sustainable business. This is what makes me honored to join Amartha,” Rudiantara said.

Amarta Plus app

On the same occasion, Amartha’s Chief Commercial Officer, Hadi Wenas said the company launched the Amartha Plus application specifically for Amartha  borrowers to be more familiar with technology. This application complements the previous two platforms that are specifically designed for field agents and lenders.

The launching also in line with the realization of an investment of $28 million led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures in early May 2021.7.19

“Prior to this application, the field agent was tasked with inputting the online registration process. However, partners can now apply directly through the application, our field agent will be a sampling surveyer, therefore, the funds will be disbursed faster in about 15 minutes,” Hadi said.

Amartha Plus currently has three features, Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, and Amartha Pulsa/PPOB. In the first feature, the company becomes a financial partner for paylater products for stall partners who are included in the Sampoerna Retail Community (SRC) network. This collaboration allows SRC’s warung partners to pay the due date for each stock purchase.

“This has only been running in June, the number of partners who have joined is about hundreds for the first batch. Soon, we are targeting tens of thousands as the SRC network already has millions of stalls, but there are hundreds of thousands already online.”

Next for the Warung Loan Mitra feature, it allows stall partners in the Amartha network to purchase FMCG product stocks wholesale through Tanihub, an agritech partner that is partnered with the company. As of now, it has operated at 11 points in East Java, there are more than 100 partners who shop regularly, and there are more than 4 thousand SKUs available.

“Last, is Amartha Pulsa, which service is more straight forward for topping up balance and PPOB payment. This service has been used in 93 points out of our 497 network points.”

Wenas said this new application could deepen the smartphone penetration in Indonesia, especially in rural areas. “Next we will develop other innovations related to intensifying smartphone penetratio, therefore, it can be used for business, and helping partners to have less cash for installment payments.”

Currently, of the 719 thousand Amartha partners who have joined as borrowers, around 60% of them are engaged in trading businesses, such as food stalls, grocery, fashion, children’s toy shops, and others. The composition of food stall and grocery business owners dominates around 20%-30% in this business group.

During the first half of this year, Amartha has disbursed loans of Rp914 billion, up 35% YOY to 203 thousand partners. Interestingly, about 60% of this distribution portfolio is channeled outside Java (Sumatra and Sulawesi). This number increased by 196.62% YOY.

Taufan said that this performance would continue to be improved considering the need for micro-financing outside Java is still very broad and has not been fully explored by fintech players at this time. “We are targeting to empower up to 1 million partners by the end of this year,” he said.

Fintech lending business performance

Based on OJK’s statistical data as of May 2021, there are 118 conventional and 9 sharia fintech lending providers. In total, the total assets owned reach 4.1 trillion Rupiah. The platforms also managed to accommodate around 8.7 million lender accounts (p2p) channeling 13.8 trillion Rupiah of funds.

Indonesia’s Fintech lending statistic per May 2021 / OJK

The number of loan disbursements also continues to increase from time to time. The productive sector also tends to get a slightly larger portion than the consumptive sector.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Amartha Angkat Rudiantara sebagai Komisaris, Sekaligus Rilis Aplikasi “Amartha Plus”

Amartha mengumumkan Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019, kini bergabung sebagai Komisaris Utama efektif 1 Juli 2021. Pengalaman matang Rudiantara di bidang teknologi diharapkan dapat berkontribusi terhadap ambisi perusahaan yang ingin mempercepat digitalisasi UMKM.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar perusahaan pada hari ini (19/7), Founder dan CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra menuturkan salah satu pencapaian penting dari Rudiantara adalah membangun kebijakan-kebijakan mengenai infrastruktur digital di wilayah remote untuk mendukung UMKM.

“Amartha merasa terhormat menyambut Bapak Rudiantara menjadi bagian dari keluar besar Amartha. Amartha optimis kehadiran beliau akan memberikan wawasan dan kebijaksanaan dalam membangun kepemimpinan dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan perusahaan,” ujarnya.

Rudiantara turut menambahkan. Ia mengaku merasa terhormat karena dapat bersama-sama dengan Amartha mengakselerasi layanan keuangan untuk kelompok unserved dan underserved yang belum bisa terlayani oleh sektor perbankan. Menurutnya, tidak hanya fokus pada pembiayaan mikro, Amartha juga fokus pada segmen perempuan.

“Ini yang jadi alasan saya bergabung dengan Amartha. Ini basisnya teknologi, tapi yang buat berbeda adalah mereka sasarannya UMKM yang punya dampak sosial luas, UMKM, perempuan, produktif, dan berkelanjutan. Ini yang buat saya terhormat bergabung dengan Amartha,” kata Rudiantara.

Rilis aplikasi Amartha Plus

Dalam kesempatan yang sama, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menuturkan perusahaan meluncurkan aplikasi Amartha Plus yang dikhususkan untuk para mitra peminjam di Amartha agar lebih tersentuh dengan teknologi. Aplikasi ini melengkapi dua platform sebelumnya yang dikhususkan untuk petugas lapangan (field agent) dan pemberi pinjaman.

Peluncuran aplikasi ini sekaligus dalam rangka realisasi dari perolehan investasi sebesar $28 juta yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures pada awal Mei 2021.7.19

“Sebelum ada aplikasi ini, field agent bertugas untuk input proses pendaftaran secara online. Tapi sekarang mitra bisa mengajukan langsung lewat aplikasi, field agent kami akan sebagai sampling surveyer, jadi dana akan cair lebih cepat sekitar 15 menit selesai,” terang Hadi.

Dalam Amartha Plus saat ini memiliki tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

“Ini baru berjalan Juni, jumlah mitra yang bergabung sudah ratusan untuk batch pertama. Soon kami targetkan bisa jadi puluhan ribu karena di SRC ini network-nya sudah jutaan warung, tapi yang sudah online itu ada sekitar ratusan ribu.”

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

“Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan kami.”

Hadi menuturkan kehadiran aplikasi baru ini dapat memperdalam penetrasi smartphone di Indonesia, terutama di pedesaan. “Berikutnya kami akan mengembangkan inovasi lain yang berkaitan dengan perdalam penetrasi smartphone lebih tinggi agar dapat dipakai untuk usaha, dan bantu mitra jadi lebih less cash untuk pembayaran angsurannya.”

Saat ini dari 719 ribu mitra Amartha yang sudah bergabung sebagai peminjam, sekitar 60% di antaranya bergerak di usaha perdagangan, seperti warung makan, kelontong, fesyen, toko mainan anak, dan lain-lain. Komposisi pemilik usaha warung makan dan kelontong mendominasi sekitar 20%-30% di kelompok usaha ini.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, Amartha telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp914 miliar naik 35% secara YOY untuk 203 ribu mitra. Menariknya, dari portofolio penyaluran ini sekitar 60% disalurkan ke luar Pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi). Angka ini meningkat 196,62% secara YOY.

Taufan menyebut kinerja tersebut akan terus ditingkatkan mengingat kebutuhan pendanaan mikro di luar Jawa masih sangat luas dan belum tergarap secara maksimal oleh pemain fintech saat ini. “Kami menargetkan dapat memberdayakan hingga 1 juta mitra pada akhir tahun ini,” pungkasnya.

Performa bisnis fintech lending

Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Dari waktu ke waktu jumlah penyaluran pinjaman juga terus meningkat. Sektor produktif pun cenderung mendapatkan porsi sedikit lebih banyak ketimbang konsumtif.

Application Information Will Show Up Here

OJK Batalkan Tanda Terdaftar untuk DANAdidik, EmpatKali, dan 4 Pemain Fintech Lending Lainnya

Menurut data statistik terbaru yang diterbitkan OJK pada 17 Juni 2021, saat ini ada 125 perusahaan fintech lending yang berstatus “terdaftar”. Sebanyak 65 di antaranya sudah mendapatkan status berizin, dengan 5 di antaranya menyajikan usaha pinjaman berjenis syariah. Dibandingkan statistik sebelumnya, ada penambahan 8 pemain yang mendapatkan status berizin dari otoritas.

Selain itu OJK turut mengumumkan bahwa terdapat 6 pembatalan tanda terbukti terdaftar fintech lending. PT Mikro Kapital Indonesia (Mikro Kapital), PT Pasar Dana Teknologi (DANAdidik), PT Teknologi Finansial Asia (PiNBee), dan PT Artha Simo Indonesia (Cankul) dibatalkan karena belum menyampaikan pemenuhan persyaratan perizinan sehingga penyelenggara tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 POJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Serta pembatalan tanda terdaftar PT Empat Kali Indonesia (EmpatKali) dan PT Indo Fintek Digital (ModalUsaha.id) dikarenakan ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional.

Menurut Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan, para pemain di atas memang memiliki kinerja yang kurang memuaskan. “Pengembalian tanda daftar tersebut juga tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang OJK juga turut melakukan analisis dan penilaian,” ujarnya seperti dikutip Kontan.

Seperti diketahui, sebelumnya regulasi pemain fintech lending memang sebatas harus terdaftar di OJK. Seiring dengan perkembangannya, para platform terdaftar harus meningkatkan statusnya menjadi berizin dengan memenuhi beberapa syarat. Peralihan status itu diberikan tenggat waktu hingga satu untuk semua pemain.

Menurut Bambang apa yang disyaratkan POJK terkait aturan berizin fintech lending dinilai memberatkan. Terbukti dengan banyaknya pemain yang berhasil lolos. Beberapa aspek memang dinilai untuk kelayakan, meliputi model bisnis, sistem elektronik, skoring kredit, kepatuhan, dan aspek mekanisme perlindungan konsumen.

Kami mencoba menghubungi founder dari salah satu startup yang disebutkan di atas, namun mereka masih enggan memberikan respons terkait hal tersebut. Dari pantauan kami beberapa situs juga masih bisa diakses normal setelah pengumuman tersebut. Hanya DANAdidik menginformasikan di situsnya bahwa saat ini operasional mereka terbatas dan sementara tidak dapat menyalurkan pembiayaan baru.

DANAdidik sendiri adalah salah satu fintech lending yang fokus di sektor pendidikan. Untuk bisnisnya, mereka didukung sejumlah pemodal ventura di pendanaan tahap awal, termasuk oleh Garden Impact Investments dan GK-Plug and Play. Tahun 2018 The Vanderes Foundation juga bergabung menjadi lender institusi mereka untuk meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak ini mereka telah menyalurkan 781 pinjaman senilai 9,4 miliar Rupiah.

Sementara pemain lainnya EmpatKali merupakan fintech lokal yang diakuisisi Afterpay asal Australia. Konsep layanannya memberikan pembiayaan paylater dengan empat kali cicilan. Kemungkinan konsep ini kurang diterima di kultur Indonesia. Model pembayaran empat kali cicilan efektif di Australia karena sebagian besar di sana gaji diberikan per minggu, sementara di Indonesia per bulan.

Sebelumnya juga diketahui, bahwa OJK sedang menggodok beleid baru untuk menggantikan POJK 77/2016. Akan ada sejumlah penyesuaian, mulai peningkatan persyaratan ekuitas hingga fit & proper test.  Dengan dominasi [ditinjau dari jumlah dana disalurkan] hanya beberapa pemain saja, berbagai pihak menilai bahwa ini menjadi salah satu langkah untuk mendorong konsolidasi antarpemain.

Fintech lending yang menjadi pemimpin pasar saat ini gencar membuka skema lender institusi. Tidak hanya melibatkan perusahaan lokal, mereka juga mendapat dukungan institusi finansial global dengan nilai ratusan miliar hingga triliunan Rupiah. Untuk tahun ini, hingga Juni 2021 sudah ada 4 pemain yang mendapatkan fasilitas debt funding, meliputi:

Perusahaan Institusi Pendukung Nilai Investasi (Debt Funding)
Kredivo Rp1,4 triliun Victory Park Capital
Amartha Rp808 miliar Lendable, Norfund
Alami Rp283 miliar AC Ventures, Golden Gate Ventures, Quona Capital [sebagian berbentuk ekuitas]
Pintek Rp298 miliar Accial Capital

Gambar Header: Depositphotos.com

Amartha Kantongi Pendanaan 107 Miliar Rupiah, Perdalam Akses Permodalan untuk Pengusaha Perempuan

Startup p2p lending Amartha mengumumkan perolehan pendanaan senilai $7,5 juta (setara 107 miliar Rupiah) dari Norfund, dana investasi dari pemerintah Norwegia untuk negara berkembang. Dana ini akan disalurkan kembali dalam bentuk modal usaha untuk memberdayakan lebih banyak perempuan pengusaha mikro di pedesaan dan mendorong kegiatan usaha yang ramah lingkungan.

Kolaborasi ini ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara Duta Besar Norwegia Vegard Kaale dan Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra di Kedutaan Norwegia di Jakarta, hari ini (04/6).

Investment Director Norfund & Head of Asia Regional Office Fay Chetnakarnkul menyampaikan, Norfund bekerja sama dan mendanai di institusi keuangan untuk mendukung mereka agar lebih kuat lagi dalam menyediakan akses permodalan dan layanan keuangan kepada ekonomi mikro dan segmen unbankable. “Kami sangat menghargai kerja sama ini dengan Amartha dan upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan perempuan pengusaha mikro di Indonesia.”

Duta Besar Norwegia Vegard Kaale menambahkan, meskipun pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat baik, namun inklusi keuangan masih menjadi isu yang besar di segmen masyarakat prasejahtera, terutama bagi perempuan pengusaha mikro.

“Norfund menjadi alat penting bagi Pemerintah Norwegia untuk menguatkan lembaga swasta di negara-negara berkembang, serta menurunkan angka kemiskinan. Pendanaan ini merupakan investasi pertama Norfund di institusi finansial di Indonesia dan saya harap upaya ini akan membantu pertumbuhan serta keberhasilan untuk Amartha.”

Chetnakarnkul pun sependapat dengan pernyataan Kaale. Ia menyampaikan bahwa diharapkan kerja sama dengan Amartha akan menjadi permulaan baik untuk komitmen jangka panjang Norfund di Indonesia.

Sementara Taufan menyampaikan, dukungan Norfund menandai kepercayaan mereka kepada usaha Amartha untuk kembali pulih di masa sulit selama pandemi ini. “Dengan bimbingan dari negara Norwegia sebagai pemimpin dunia dalam sektor energi terbarukan, Amartha berharap mendapatkan ilmu dan pengalaman dari yang terbaik.”

Masuknya Norfund, sebenarnya sejalan dengan inisiasi yang dimulai oleh Amartha sejak 2018 yang mulai aktif berpartisipasi dalam kegiatan ramah lingkungan dengan mempromosikan manajemen lingkungan, sosial dan korporat atau ESG dengan meluncurkan laporan tahunan dampak dan keberlanjutan. Akibatnya pada setahun berikutnya, Amartha meraih penghargaan GIIRS (Global Impact Investing Rating System) dari B-Corp dengan peringkat Platinum.

Kemudian, pada tahun lalu, perusahaan menginisiasi program Plastic Waste Womenpreneur (PWW) dengan memberikan pembiayaan kepada perempuan pengusaha mikro yang bergerak dibidang pengurangan limbah plastik di desa.

Hingga kini Amartha berhasil menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp3,7 triliun untuk 678.502 perempuan di lebih 18.900 desa yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Sebagai perusahaan teknologi, Amartha meluncurkan layanan keuangan dan produk-produk inovatif seperti tabungan, asuransi mikro, serta belanja borongan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ekonomi informal. Dengan pendekatan ini, Amartha ingin menjadi pemain terdepan untuk platform keuangan digital bagi segmen desa.

Sebelumnnya pada awal bulan lalu, Amartha juga mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan YOB Venture Management.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Besarnya Potensi Industri Halal, Investree Syariah Incar Tambahan Lender Institusi

Masih besarnya potensi bisnis syariah yang belum tergarap, membuat Investree Syariah, unit usaha lending milik Investree, akan fokus memperluas produk pembiayaan dan segmen usaha yang bidik pada tahun ini. Mencari lender institusi juga menjadi rangkaian strategi perusahaan untuk mencapainya.

Berdasarkan data Investree, sepanjang tahun lalu Investree Syariah mencatatkan penyaluran sebesar Rp229,8 miliar dengan pertumbuhan 107% dari tahun sebelumnya. Pembiayaan tersebut untuk 163 peminjam dengan kontribusi 3.228 lender. Angka kontribusinya sebesar 7,2% dari total portofolio Investree, memiliki pangsa pasar sebesar 13% dari seluruh pemain fintech lending syariah di Indonesia.

VP Sharia Investree Arief Mediadianto mengatakan, sektor perdagangan diprediksi masih akan mendominasi portofolio pembiayaan syariah tahun ini. Namun, sektor lain seperti jasa IT berpotensi kembali tumbuh baik dipicu oleh kinerja tahun lalu.

“Target pembiayaan Investree Syariah di akhir tahun ini sebesar Rp320 miliar, naik 50% dari tahun lalu sekitar Rp220 miliar. Jadi sesuai dengan target kita, kontribusinya bisa lebih dari 7% dari portofolio pembiayaan Investree,” ucapnya dalam konferensi pers virtual, kemarin (6/5).

Adapun pada Q1 2021 ini Investree Syariah telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp10 miliar. Ditargetkan pada kuartal berikutnya dapat tembus ke angka Rp50 miliar. Menurut Co-Founder & CEO Investree Adrian Gunadi, banyak potensi dan momentum dalam kuartal tersebut, seperti Lebaran dan Ramadan yang memungkinkan bisnis dapat lebih menggeliat.

Adrian melanjutkan, setidaknya ada empat fokus yang akan dijalankan perusahaan untuk menggenjot pembiayaan syariah di tahun ini. Pertama, memperbanyak sumber pendanaan dari lender institusi. Untuk itu, pihaknya sedang aktif membangun kolaborasi dengan bank umum syariah, BPR/BPD syariah. Komposisi antara lender institusi dengan ritel di Investree Syariah adalah 60:40.

Sebelumnya, BRI Syariah (kini menjadi Bank Syariah Indonesia) adalah salah satu lender institusi di Investree Syariah. Menurut Adrian, finalisasi kolaborasi dengan BSI sedang dalam penjajakan. “Sudah ada beberapa sedang diskusi dalam tahap advance, semoga Q2 ini sudah bisa direalisasikan,” kata dia.

Kedua, membangun kolaborasi yang lebih erat dengan industri halal, termasuk pariwisata dan kesehatan. Ketiga, membangun ekosistem kerja sama halal, seperti yang sudah dilakukan perusahaan dengan Dompet Dhuafa untuk pembiayaan hewan kurban. Terakhir, memperkaya produk syariah untuk rantai pasokan.

Saat ini, produk syariah yang tersedia di Investree Syariah, antara lain Invoice Financing, Pre-Invoice Financing Syariah, Working Capital Term Loan Syariah, dan Retail Seller Financing Syariah. Kontribusi terbesar datang dari Invoice Financing sebesar 89%, sisanya dari produk yang lain.

“Kami akan menambah variasi produk agar lebih kaya dan masyarakat bisa punya banyak opsi pembiayaan yang sesuai dengan bisnis modelnya,” pungkasnya.

Besarnya populasi muslim di Indonesia dinilai menjadi peluang besar bagi layanan berbasis syariah untuk bertumbuh. Di lanskap fintech lending, selain Investree, ada beberapa pemain yang juga fokus pada pembiayaan syariah, di antaranya Alami, Amanna, dan SyarQ. Platform fintech lainnya seperti LinkAja (pembayaran) dan Tamasia (investasi) juga mulai suguhkan opsi syariah kepada penggunanya.

Application Information Will Show Up Here

Amartha Bags 450 Billion Rupiah Funding Led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures

The p2p lending startup Amartha officially secured funding of $28 million or around 450 billion Rupiah. The funding was led by Women’s World Banking (WWB) through WWB Capital Partners II and MDI Ventures, also the two previous investors, Mandiri Capital Indonesia and YOB Venture Management.

Amartha’s Founder & CEO, Andi Taufan Garuda Putra said the new investment will be used to strengthen the business, accelerate product innovation development, and introduce additional services for borrowers and lenders. Some of them include shop loans, crowdfunding, and direct funding to borrowers.

So far, the company has developed solutions for three user segments, namely disbursing funding through the p2p lending platform (Amartha for Lenders), a field team to process business capital loans as a whole (Amartha for Business Partners), and other financial services in addition to distributing business capital ( Amartha for Partners)

Amartha is WWB’s first portfolio in Southeast Asia. It is known, WWB Capital Partners II is a gender lens investment founded by WWB, a global non-profit organization that focuses on women’s financial inclusion for the last 40 years.

WWB’s representative, Yrenilsa Lopez said the investment aims to close the gender gap by entering into financial service providers that focus on serving the low-income segment of women. That way, Amartha can expand the gender diversity in their management and take advantage of innovative solutions to reach more markets.

Previously, Amartha obtained debt funding of $50 million or equivalent to 704.4 billion Rupiah in February from Lendable. Currently, Amartha has channeled IDR3.55 trillion loan to more than 661,369 ultra-micro women entrepreneurs in more than 18,900 villages in Java, Sumatra and Sulawesi.

In addition, Amartha has improved the quality of credit scoring with the ratio of non-performing loans (NPL) at 0.07% for all funding in the period after June 2020.

Synergy with Telkom

Furthermore, MDI Ventures’ CEO, Donald Wihardja added that this investment will create opportunities to work together with the Telkom Group. This synergy is none other than to digitize and increase financial inclusion in rural areas in Indonesia.

“We see promising potential to increase financial inclusiveness. We hope this investment can continue Amartha’s business transformation to serve the lower pyramid communities in Indonesia,” he said.

Previously, Donald had mentioned that MDI Ventures received a new mandate with a new managed fund of $500 million from Telkom. It is to expand collaboration or synergy, not only with the Telkom Group but with all SOEs.

Donald said, this new assignment was given after MDI’s success in managing $100 million in funds since 2015. MDI succeeded in multiplying the fund, not only on paper valuations, but also in the form of liquidity in several exits, private and IPOs. He said, MDI had provided IDR 1.6 trillion synergy/revenue to the Telkom Group.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Amartha Kantongi Pendanaan 450 Miliar Rupiah Dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures

Startup p2p lending Amartha resmi memperoleh pendanaan sebesar $28 juta atau sekitar 450 miliar Rupiah. Pendanaan tersebut dipimpin oleh Women’s World Banking (WWB) melalui WWB Capital Partners II dan MDI Ventures, serta dua investor sebelumnya, yaitu Mandiri Capital Indonesia dan YOB Venture Management.

Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, investasi baru ini akan digunakan untuk memperkuat bisnis, mengakselerasi pengembangan inovasi produk, dan memperkenalkan layanan tambahan bagi peminjam dan pendana. Beberapa di antaranya adalah pinjaman warung, crowdfunding, hingga penyaluran pendanaan langsung ke peminjam.

Sejauh ini, perusahaan telah mengembangkan solusi untuk tiga segmen pengguna, yaitu penyaluran pendanaan lewat platform p2p lending (Amartha untuk Pendana), tim lapangan untuk memproses pinjaman modal usaha secara menyeluruh (Amartha untuk Business Partner), dan layanan keuangan lain selain penyaluran modal usaha (Amartha untuk Mitra)

Amartha merupakan portofolio pertama WWB di Asia Tenggara. Diketahui, WWB Capital Partners II adalah investasi lensa gender yang didirikan WWB, organisasi nirlaba global yang fokus terhadap inklusi keuangan wanita selama 40 tahun terakhir.

Representatif WWB Yrenilsa Lopez mengatakan, investasi ini bertujuan untuk menutup kesenjangan gender dengan masuk pada penyedia layanan keuangan yang fokus melayani segmen perempuan berpenghasilan rendah. Dengan begitu, Amartha dapat memperluas keragaman gender dalam manajemen mereka dan memanfaatkan solusi inovatif untuk menjangkau lebih banyak pasar.

Sebelumnya, Amartha memperoleh pendanaan debt senilai $50 juta atau setara 704,4 miliar Rupiah pada Februari lalu dari Lendable. Saat ini, Amartha mencatat telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp3,55 triliun ke lebih dari 661.369 pengusaha ultra mikro perempuan di lebih dari 18.900 desa di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Selain itu, Amartha juga telah meningkatkan kualitas credit scoring dengan rasio kredit bermasalah (NPL) di 0,07% untuk seluruh pendanaan di periode setelah Juni 2020.

Bersinergi dengan Telkom

Lebih lanjut, CEO MDI Ventures Donald Wihardja menambahkan bahwa masuknya investasi ini akan membuka peluang bersinergi dengan Telkom Group. Sinergi ini tak lain untuk mendigitalisasi dan meningkatkan inklusi keuangan di wilayah pedesaan yang belum terlayani perbankan di Indonesia.

“Kami melihat ada potensi menjanjikan untuk meningkatkan inklusivitas keuangan. Kami harap investasi ini dapat melanjutkan transformasi bisnis Amartha untuk melayani masyarakat piramida bawah di Indonesia,” ungkapnya.

Sebelumnya, Donald sempat menyebutkan bahwa MDI Ventures mendapat mandat baru dengan dana kelolaan baru sebesar $500 juta dari Telkom. Mandat tersebut tak lain adalah memperluas target kerja sama atau sinergi, tidak hanya dengan Telkom Group tapi dengan seluruh BUMN.

Menurut Donald, tugas baru ini diberikan usai keberhasilan MDI mengelola dana $100 juta sejak 2015. MDI berhasil melipatgandakan fund tersebut, tak hanya valuasi di atas kertas, tetapi juga berupa likuiditas di beberapa exit, private maupun IPO. Ia menyebut, MDI telah memberikan Rp1,6 triliun synergy/revenue ke Telkom Group.

Application Information Will Show Up Here

Modal Rakyat Kantongi Pendanaan dari Fazz Financial Group

Startup p2p lending Modal Rakyat mengumumkan perolehan pendanaan dengan nilai dirahasikan dari Fazz Financial Group (FFG). Di saat yang bersamaan, perusahaan juga mendapat izin usaha dari OJK. Sebelumnya mereka berstatus berstatus terdaftar.

FFG adalah entitas hasil investasi strategis Payfazz ke Xfers sebesar $30 juta yang diresmikan pada awal Maret kemarin. FFG hadir untuk mengawasi misi gabungan dalam menyediakan akses dan inklusi keuangan di seluruh Asia Tenggara.

Menurut keterangan resmi, Hendra Kwik, Direktur Utama FFG dan CEO Payfazz, menyampaikan, “Dengan bergabungnya Modal Rakyat dalam Fazz Financial Group, kami berharap bisa lebih memperkuat sinergi dengan seluruh produk-produk yang ada di bawah naungan Fazz Financial dan mendukung dalam penyediaan layanan keuangan inklusif khususnya bagi pelaku usaha yang berada di seluruh Indonesia hingga ke daerah pedesaan.”

Hendra juga menjadi Komisaris di Modal Rakyat.

Terkait perolehan izin usaha, CEO Modal Rakyat Hendoko Kwik mengatakan, hal ini adalah salah satu langkah strategis untuk semakin masif menjangkau semua daerah dalam menyalurkan pembiayaan kepada pelaku UMKM. “Modal Rakyat berharap bisa merangkul semakin banyak mitra strategis, baik perusahaan keuangan, startup, maupun entitas lainnya,” ujarnya.

Secara hubungan bisnis, sejak 2018 Modal Rakyat bekerja sama dengan Payfazz untuk menyediakan produk pinjaman sektor mikro bagi seluruh warung dan pedagang pulsa yang berada dalam ekosistem Payfazz. Hingga kini, tercatat sebanyak 32.399 aplikasi pinjaman mikro diajukan lewat Modal Rakyat dengan total penyaluran lebih dari Rp29 miliar.

Produk Modal Mikro menyalurkan pinjaman mulai dari Rp500 ribu hingga Rp2 juta dengan durasi pinjaman 14 hari. Pinjaman berbasis agen ini merupakan salah satu strategis Modal Rakyat untuk bisa menyalurkan pembiayaan kepada pelaku usaha mikro, khususnya yang belum terjangkau oleh perbankan dan institusi keuangan lainnya. Skoring kredit dilakukan berdasarkan analisis terhadap data transaksi para agen di aplikasi Payfazz.

“Misi Modal Rakyat dalam mewujudkan inklusi keuangan tentu membutuhkan sinergi bersama banyak pihak. Tidak hanya pemerintah dan sesama entitas keuangan, tetapi masyarakat juga kami ajak untuk terus berkontribusi dengan mendanai di Modal Rakyat,” imbuh Hendoko.

Hingga kini, total penyaluran Modal Rakyat telah menembus lebih dari Rp1,2 triliun kepada lebih dari 25 ribu pelaku UMKM. Jumlah pendana aktif mencapai 12 ribu pendana yang terdiri dari 71,24% laki-laki dan 28,76% perempuan. Berdasarkan demografinya, para pendana ini berasal dari Pulau Jawa (75,22%) dan luar Pulau Jawa (24,78%).

Application Information Will Show Up Here