Doogether Secures Pre Series A Funding, to Release a New Feature

Doogether, a startup engaged in the wellness segment, announced the pre-series A funding with an undisclosed value from Asiantrust Capital, Prasetia Dwidharma, Alexander Rusli, and others. The fresh money will be used for the development of optimization, innovation and improvement of products and services.

Prasetia Dwidharma was Doogether’s previous investor involved in the seed round in April 2019. Also, Alexander Rusli entered in the following round. The seed round was led by Gobi Agung, with participation of Everhaus, Prasetia, and Cana Asia.

In an official statement, Doogether’s Co-Founder & CEO Fauzan Gani expressed his gratitude to the ranks of investors who participated in this round. “The series of funding received by Doogether will be used for optimization, innovation and improvement of products and services offered by the company or its applications,” he said, Tuesday (27/4).

Doogether is a startup vertical with blessing in disguise due to pandemic. Since the WFH policy, Doogether has released a live streaming online sports class, Doolive in April 2020. Active users grew by 77 times from early 2020 to Q1 2021. The service has held more than 80 thousand hours of sports class sessions.

“I applaud the Doogether team for using an opportunity during this pandemic and quickly adjusting its business model. It is not easy to see an opportunity in this difficult time, but Doogether managed to do it,” Alexander Rusli added as now serving as Advisor at Doogether  .

Doolive / Doogether

In order to maintain this performance, the company plans to held virtual sports activities together on a regular basis to encourage people to stay active. Doolive is also available for free containing dozens of sports training videos.

Since 2016, Doogether has operated two main products, Doofit for sports classes, and Doofood for healthy catering in collaboration with dozens of vendors and in accordance with users’ personal health goals.

Currently, the company has collaborated with more than 350 sports studios, trainers, located in Greater Jakarta, Bandung and Bali. There are more than 30 thousand sports classes, such as zumba, boxing, barre, yoga, bootcamp, wall climbing, ice skating, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Doogether Raih Pendanaan Pra-Seri A, Segera Rilis Layanan Baru

Doogether, startup yang bermain di segmen wellness, mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A dengan nominal dirahasiakan dari Asiantrust Capital, Prasetia Dwidharma, Alexander Rusli, dan lainnya. Dana segar akan dimanfaatkan untuk pengembangan optimalisasi, inovasi, dan peningkatan produk dan layanan.

Prasetia Dwidharma adalah investor Doogether sebelumnya yang masuk dalam putaran tahap awal pada April 2019. Begitu pula Alexander Rusli yang masuk pada putaran sebelumnya lagi. Dalam putaran tahap awal itu dipimpin oleh Gobi Agung, didukung Everhaus, Prasetia, dan Cana Asia.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO Doogether Fauzan Gani menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada jajaran investor yang berpartisipasi dalam putaran kali ini. “Rangkaian pendanaan yang diterima Doogether akan digunakan untuk optimalisasi, inovasi, dan peningkatan produk dan layanan yang ditawarkan oleh perusahaan atau aplikasinya,” ucapnya, Selasa (27/4).

Doogether adalah sekian vertikal startup yang menerima berkah dari pandemi. Sejak kebijakan WFH, Doogether merilis kelas olahraga online melalui live streaming, Doolive pada April 2020. Pengguna aktif tumbuh hingga 77 kali lipat dari awal 2020 hingga Q1 2021. Layanan ini telah mengadakan lebih dari 80 ribu jam sesi kelas olahraga.

“Saya salut dengan tim Doogether yang dapat melihat kesempatan pada masa pandemi dan dengan cepat melakukan penyesuaian bisnis model. Tidak mudah untuk melihat suatu kesempatan di masa sulit ini, tapi Doogether berhasil melakukannya,” tambah Alexander Rusli yang kini menjabat di Doogether sebagai Advisor.

Doolive / Doogether

Untuk mempertahankan kinerja tersebut, rencananya perusahaan akan membuat kegiatan virtual olahraga bersama secara rutin untuk mendorong orang-orang tetap aktif berolahraga. Doolive juga tersedia secara gratis berisi puluhan video latihan olahraga.

Beroperasi sejak 2016, Doogether memiliki dua produk utama, yakni Doofit untuk pemesanan kelas olahraga, dan Doofood untuk pemesanan katering sehat bekerja sama dengan puluhan vendor dan sesuai dengan goal kesehatan pribadi pengguna.

Saat ini perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 350 studio olahraga, trainer, yang berlokasi di Jabodetabek, Bandung, dan Bali. Kelas olahraga yang ditawarkan ada lebih dari 30 ribu kelas, seperti zumba, boxing, barre, yoga, bootcamp, wall climbing, ice skating, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Brick Umumkan Pendanaan Awal, Hadirkan Layanan API Fintech untuk Identifikasi Kesehatan Finansial

Brick adalah startup pengembang layanan pengelolaan data kesehatan finansial berbasis API (Application Programming Interface), kapabilitasnya memungkinkan pelaku fintech atau perusahaan teknologi untuk mendapatkan insight lebih dalam terkait kesehatan keuangan para penggunanya.  Tujuannya untuk membawa aplikasi finansial yang lebih personal dan inklusif.

Hari ini (17/3), Brick mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor, meliputi pemodal ventura dan angel. Dari kalangan pemodal ventura ada Better Tomorrow Ventures, Prasetia Dwidharma, 1982 Ventures, Antler, dan Rally Cap Ventures. Sementara angel investor yang terlibat meliputi Shefali Roy (TrueLayer), Kunal Shah (Cred), Reynold Wijaya (Modalku), Quek Siu Rui (Carousell), dan pendiri Nium, Xfers, Aspire, BukuWarung, ZenRooms, CareemPay.

Startup ini didirikan oleh Gavin Tan (CEO) dan Deepak Malhotra (CTO) pada awal 2020. Keduanya memiliki pengalaman mengembangkan startup teknologi dan keuangan. Dalam keterangannya Gavin menjelaskan, “Kami melihat langsung kurangnya infrastruktur modern yang dibutuhkan untuk memberikan pengalaman fintech yang diminta pelanggan. Karena itu, kami memulai Brick untuk memberdayakan perusahaan fintech generasi berikutnya dengan infrastruktur yang mudah diterapkan, hemat biaya, dan inklusif.”

Lebih lanjut dijelaskan, Brick mengklaim telah kompatibel dengan lebih dari 90% rekening bank besar yang ada di Indonesia dan bekerja dengan lebih dari 250 pengembang, 35 perusahaan teknologi dan klien perusahaan fintech di Indonesia. Saat ini Brick juga tengah mengikuti program akselerasi Sembrani Wira yang digelar oleh BRI Ventures.

Dari gambaran yang diberikan kurang lebih proses implementasinya seperti ini. API disematkan pada aplikasi fintech yang dikembangkan mitra bisnis, untuk menjembatani layanan tersebut dengan sistem pembayaran yang digunakan dalam aplikasi. Data didapat dari proses agregasi sistem pembayaran yang digunakan pengguna akhir (bank, digital wallet, e-commerce dll). Beberapa data yang digunakan seperti identitas, akun, transaksi, saldo, pendapatan, aset finansial, hingga pembayaran kredit.

Gambaran cara kerja layanan API fintech Brick / Brick
Gambaran cara kerja layanan API fintech Brick / Brick

Mengawali debutnya di Indonesia, Brick berambisi untuk membawa layanan ini di Asia Tenggara dan akan menggunakan dana yang terkumpul untuk meningkatkan skala platform, meningkatkan cakupan, dan memperluas ke pasar berikutnya. Akhir tahun ini, mereka juga akan meluncurkan API baru untuk perusahaan telekomunikasi, dompet seluler, platform e-commerce, dan produk keuangan inovatif lainnya.

Layanan fintech API terus bermunculan

Layanan fintech berbasis API memang terus bermunculan di Indonesia, ini sejalan dengan regulasi standar API yang sudah mulai disosialisasikan Bank Indonesia sejak tahun lalu. Regulator menginginkan adanya ekosistem finansial yang lebih terbuka, memungkinkan masing-masing pemain (digital dan konvensional) untuk dapat saling mendukung dalam peningkatan literasi finansial masyarakat di Indonesia.

Misi dari hampir seluruh startup fintech yang ada di Indonesia memang mengentaskan kesenjangan di tengah masih banyaknya kalangan undeserved dan unbankable. Setidaknya saat ini ada lebih dari 400 perusahaan fintech di Indonesia — dan jumlah terus bertambah dari waktu-waktu. Dan salah satu strategi yang harus mereka lakukan untuk memenangkan pasar adalah dengan menghadirkan sistem teknologi yang lebih komprehensif.

Tujuan layanan fintech berbasis API membantu mereka (termasuk perusahaan digital yang ingin menghadirkan fitur finansial) meningkatkan kapabilitas teknologi secara lebih sederhana. Alih-alih mengembangkan dari nol dan membutuhkan waktu dan sumber daya relatif lebih besar, dengan menggunakan sistem API prosesnya akan jauh lebih singkat. Terlebih untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan opsi pilihan kanal pembayaran yang hendak disuguhkan kepada pengguna.

Adapun startup yang bermain dengan konsep tersebut sudah ada beberapa, seperti Ayoconnect, Finantier, Xendit, Midtrans, Brankas, dan lain sebagainya. Masing-masing mencoba menyuguhkan proposisi unik dengan kapabilitas tertentu.

Cakap Closes Series A+ Round Worth of 42,6 Billion Rupiah

Cakap, an edtech platform focused on language learning, today (22/12) announced the series A+ funding worth of $3 million or equivalent to 42.6 billion Rupiah. This round was led by the Heritas Venture Fund, participated also Strategic Year Holdings and some previous investors, including Investidea Ventures and Prasetia Dwidharma.

Fresh funds will be channeled to strengthening human resources, technology development and domestic expansion. Regarding Cakap, this pandemic is seen as a good momentum to introduce a more in-depth online education model. In the community, social restrictions and school activities from home encourage the adoption of learning technology at various levels of education.

Since the beginning of this year, Cakap is said to grow up to 10x. As of today, the application on the Google Play Store has been downloaded hundreds of thousands of times; Meanwhile, according to Similar Web data, Cakap.com visitors are to continue growing, from 550 thousand in June 2020 to 1.35 million in late November 2020.

However, the competition for edtech services for language learning is getting crowded. Apart from Cakap, there are several startups that offer similar services both from local and global players, such as Bahaso, LingoAce, Elsa Speak, Duolingo, etc.

Meanwhile, according to the Edtech Report 2020, the startup ecosystem in the education sector has formed progressively, the majority are filled with learning service providers with a variety of coverage.

Statistik lanskap layanan dari startup edtech di Indonesia / DSResearch
Edtech startups landscape statistic in Indonesia / DSResearch

“The key to success during this pandemic is understanding the Indonesian landscape to create accurate educational solutions with solving capability in the target market, where access to high quality education is not only required by students in big cities but also throughout the nation, including third-tier cities and remote areas,” Cakap’s Co-founder & CEO Tomy Yunus said.

He also said that Indonesia is one of the big education markets in Indonesia. There are at least more than 3 million teachers in 300 thousand schools. The number of students is fantastic, reaching over 60 million – over time, they also tend to become more tech-savvy and aware of the internet.

“We believe in the long-term potential of the education technology market in Indonesia, and we are very excited to support Cakap in its efforts to utilize and increase the demand for high quality education amidst the increasing disposable income of the general public,” Chairman of Strategic Year Conrad Tsang said.

In mid-July 2020, Cakap has expanded the learning scope through the UpSkill app. It is focused on content such as entrepreneurship, career development and self-development. They implement a module base and topic base systems, therefore, users can choose issues, topics, and packages according to their individual needs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Cakap Umumkan Pendanaan Seri A+ Senilai 42,6 Miliar Rupiah

Cakap, platform edtech yang memfokuskan pada pembelajaran bahasa, hari ini (22/12) mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ senilai $3 juta atau setara 42,6 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Heritas Venture Fund, diikuti oleh Strategic Year Holdings dan beberapa investor sebelumnya seperti Investidea Ventures dan Prasetia Dwidharma.

Dana segar akan difokuskan untuk penguatan sumber daya manusia, pengembangan teknologi, dan ekspansi domestik. Bagi Cakap, pandemi ini dipandang sebagai momentum baik untuk memperkenalkan model pendidikan online secara lebih mendalam. Di kalangan masyarakat, adanya pembatasan sosial dan kegiatan sekolah dari rumah mendorong adopsi teknologi pembelajaran di berbagai tingkatan pendidikan.

Diukur sejak awal tahun ini, Cakap mengklaim mengalami pertumbuhan hingga 10x lipat. Per hari ini, aplikasi Cakap di Google Play Store sudah diunduh ratusan ribu kali; sementara menurut data Similar Web, kunjungan ke situs Cakap.com terpantau terus mengalami pertumbuhan, dari 550 ribu kunjungan di bulan Juni 2020 menjadi 1,35 juta kunjungan di akhir November 2020 ini.

Kendati demikian tidak dimungkiri bahwa kompetisi layanan edtech untuk pembelajaran bahasa memang sudah terlihat. Selain Cakap, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang tawarkan layanan serupa baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Bahaso, LingoAce, Elsa Speak, Duolingo, dll.

Sementara menurut Edtech Report 2020, ekosistem startup di bidang pendidikan sudah mulai terbentuk, mayoritas diisi penyedia layanan pembelajaran dengan beragam cakupan materi.

Statistik lanskap layanan dari startup edtech di Indonesia / DSResearch
Statistik lanskap layanan dari startup edtech di Indonesia / DSResearch

“Kunci kesuksesan selama pandemi ini adalah mengerti lanskap Indonesia untuk menciptakan solusi edukasi yang akurat dan dapat menyelesaikan problem sebenarnya di target market, di mana akses untuk pendidikan berkualitas tinggi tidak hanya diperlukan oleh murid-murid di kota besar, tapi juga di seluruh kepulauan Indonesia, termasuk kota-kota tingkat tiga dan daerah terpencil,” ujar Co-founder & CEO Cakap Tomy Yunus.

Turut disampaikan, bahwa Indonesia adalah salah satu pasar pendidikan yang besar di Indonesia. Sekurangnya ada lebih dari 3 juta guru di 300 ribu sekolah. Jumlah siswanya pun fantastis, secara keseluruhan mencapai lebih dari 60 juta — seiring waktu, mereka juga cenderung lebih melek dengan teknologi dan internet.

“Kami percaya pada potensi jangka panjang dari pasar teknologi pendidikan di Indonesia, dan kami sangat bersemangat untuk mendukung Cakap dalam upaya pemanfaatan dan meningkatkan permintaan akan pendidikan berkualitas tinggi di tengah meningkatnya disposable income masyarakat umum,” kata Chairman Strategic Year Conrad Tsang.

Pertengahan Juli 2020 lalu, Cakap juga telah memperluas cakupan pembelajaran mereka lewat layanan UpSkill. Fokusnya pada konten seperti kewirausahaan, pengembangan karier, dan pengembangan diri. Mereka menerapkan sistem modul base dan topic base, sehingga pengguna bisa memilih isu, topik, dan paket yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Manajemen Risiko Perusahaan Modal Ventura

Konglomerat digital Jepang Softbank, melalui kendaraan investasinya, Vision Fund, sepanjang tahun 2013-2020 telah menggelontorkan pendanaan senilai hampir $10,5 miliar untuk perusahaan ride hailing Didi Chuxing, WeWork ($8,7 miliar), Uber ($8,3 miliar), dan Grab ($4,5 miliar).

Nama-nama populer tersebut telah berhasil meraih valuasi raksasa dengan mengedepankan konsep growth dan ekspansi besar-besaran. Namun “kericuhan” yang menimpa WeWork tahun 2019 lalu, memberikan dampak negatif ke Softbank sebagai pendukung terbesar.

Tercatat Softbank membukukan kerugian bersih sebesar $6,4 miliar, mayoritas karena dampak pengurangan valuasi WeWork.

Apa yang terjadi dengan Softbank  menjadi wake-up call bagi para investor secara global. Tidak hanya mengubah fokus dan mulai meninggalkan konsep growth at all cost, kebanyakan perusahaan modal ventura juga mulai fokus ke startup yang benar-benar berbasis teknologi.

Menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, setiap investor yang mengandalkan diversifikasi portofolio perlu disiplin dalam hal alokasi investasi.

“Jika uang [investasi] itu berasal dari Vision Fund [yang berdana total] $100 miliar, maka saya akan mengatakan investasi di WeWork memiliki eksposur yang masif pada dana tersebut. Softbank bermain di ‘liga besar’, jadi pasti kegagalannya jauh lebih terbuka,” kata Arya.

Perusahaan modal ventura seperti Softbank pernah memiliki keuntungan besar dengan Alibaba, tetapi “gagal” dengan WeWork. Untuk itu kali ini kami membahas bagaimana investor memitigasi risiko agar tetap bisa menjalankan bisnis dan berinvestasi secara sehat.

Pengelolaan risiko

Venture capital (VC) berinvestasi di salah satu kelas aset paling berisiko, yaitu startup. Menurut Shikhar Ghosh, Profesor Harvard Business School, dalam waktu 10 tahun terakhir 70% startup gagal. Semua kegagalan startup berasal dari keputusan yang dibuat perusahaan.

Idealnya, penilaian dan skenario mitigasi risiko dilakukan sejak pra-investasi hingga tahap investasi untuk menentukan keberhasilan. Itu sebabnya VC biasanya melakukan uji kelayakan (due diligence) yang mendalam sebelum dana diberikan.

“Setiap investasi tidak ada jaminan pasti akan return, tetapi jika kita berjalan bersama para startup dengan visi dan values yang sejalan dan menghasilkan produk atau layanan yang bisa membuat orang senang dan terbantu, hal tersebut sudah menjadi kenikmatan yang hebat. Financial return itu bonus-nya,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Kiwi menambahkan, setiap venture capital memiliki visi dan cara unik dalam hal melakukan investasi. UMG Idealab mengklaim berinvestasi dengan melihat alignment visi dan values dari para founder juga co-founder.

Di sisi lain, Indogen Capital mencoba fokus di tiga pondasi utama, yaitu unit economics, trend, dan exit market. Untuk tren, penyesuaian harus dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan terkini di pasar. Sementara penilaian unit economics dan exit market selalu konsisten dilakukan sejak hari pertama.

Unit economics sangat penting untuk mengidentifikasi path to profitability dari sebuah startup. Dari sini juga kita bisa menilai apakah startup tersebut memiliki potensi untuk mencapai long-term competitive advantage atau tidak,” kata Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto.

Meninggalkan konsep growth at all cost

Apa yang terjadi dengan Softbank dan WeWork telah mengubah persepsi VC yang kebanyakan fokus ke growth. Meskipun cara ini berhasil untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan dengan cepat, proses yang panjang dan kebutuhan biaya yang besar menjadikan startup kesulitan untuk mendapatkan profit.

Relevansi growth at all cost juga dipertanyakan kebanyakan VC saat ini. Di zaman sekarang, capital sudah tidak lagi menjadi barang langka. Akibatnya growth story sudah tidak menjadi menarik, jika dibandingkan 10 tahun lalu ketika pendanaan VC masih terbilang jarang ditemukan.

“Untuk ke depannya, perusahaan yang bisa menunjukkan kemampuan menjadi perusahaan yang sustainable dalam jangka panjang adalah yang akan menarik bagi kebanyakan investor,” kata Chandra.

Hal senada diungkapkan Kiwi. Meskipun tidak mempercayai konsep growth at all cost, namun selalu ada batasan untuk pertumbuhan.

“Fokus pertama kami tidak tentang profit, tapi seberapa besar kita bisa membantu orang lain atau perusahaan lain dan memberikan kepuasan hati. I believe profit will follow if we deliver smile first to user and customers,” kata Kiwi.

Menurut Arya, meskipun konsep growth at all cost tidak memberikan efek positif untuk startup dan VC, namun konsep hyper-growth masih cukup relevan untuk diterapkan, selama pertumbuhan bisa menciptakan hambatan untuk masuk (barrier entry).

Contoh barrier entry adalah “biaya pengalihan” yang harus dikeluarkan pelanggan untuk beralih ke produk atau layanan kompetitor. Meskipun demikian, pertumbuhan berlebih ini harus masuk akal dalam hal biaya.

“Misalnya jika startup menghabiskan $1 untuk mendapatkan 1 pelanggan potensial, pelanggan itu lebih baik memiliki nilai jangka panjang lebih dari $1. Nilai tersebut belum tentu [tentang] berapa banyak pelanggan akan membayar kepada perusahaan, tetapi bisa jadi berapa banyak orang lain bersedia membayar untuk memiliki akses ke pelanggan, misalnya dengan memanfaatkan Google Ads,” kata Arya.

Dukung semua portofolio

Setelah mengakui kesalahan saat berinvestasi ke WeWork, satu pelajaran penting yang didapatkan Masayoshi Son adalah jangan fokus ke satu startup secara berlebihan.

Jika VC memiliki portofolio yang memiliki potensi dan peluang untuk tumbuh secara cepat dan positif, upayakan untuk menyeimbangkan fokus dan memperhatikan investasi ke portofolio lainnya. Jadikan kesuksesan yang dimiliki salah satu portofolio sebagai success story, namun jangan menjadikan startup tersebut startup utama untuk berinvestasi.

“Yang perlu diperhatikan VC agar terhindar dari masalah ini adalah stay true to your belief , sacrifice for your caused and go the extra mile. Jika para founder startup tidak bersedia mengorbankan kepercayaan dan visi mereka, there is no reason for VC to invest,” kata Kiwi.

Saat kondisi seperti ini, portofolio VC membutuhkan tidak hanya strategic support tapi juga moral support. VC sebaiknya membantu mereka fokus untuk bertahan dan relevan, serta untuk long term goal.

“Secara strategis, kita memberikan masukan kepada portofolio untuk course correct direction daripada perusahaan [gagal] terlebih dahulu. Setelah itu, kita juga fokus membantu dari segi operasional. Dari segi bantuan moral, kita mencoba semaksimal mungkin untuk selalu accessible terhadap semua founder dengan melakukan komunikasi [secara] konstan,” kata Chandra.

Venture Capital Initiatives to Support Portfolios Amid Pandemic

The pandemic situation has forced some fundraising to postpone activities performed by foreign and local venture capital in Indonesia. Nevertheless, there are still some VCs that continue to carry out these activities, by implementing a more rigorous and focused startup curation process, adjusting the current conditions.

In the Startup Clinic session in collaboration with Ventura Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia and Alpha Momentum Indonesia, several VCs shared their portfolio management tips and stories, and how a pandemic can be the most relevant momentum, to see the powerful and potential of startups.

The right time to slow down

Previously, it was possible that most VCs had a target of how many startups to join the portfolio, according to Monk’s Hill Ventures Senior Investment Analyst, RJ Balmater, now is the right time for VCs to loosen their belts while focusing on the right and best business vertical for investment. On the other hand, RJ also saw that startups could also take advantage of this condition to re-examine the advantages of the company along with its business model.

“Eventually, VC wants to invest in startups with healthy businesses, not just to survive in the current conditions,” RJ said.

Kejora-SBI Orbit Fund‘s VP Investment, Richie Wirjan said to not looking solely at the key market, investment delays that currently performed can also be utilized by the VC to dig further on the key feature, both within the portfolio or those with a certain potential.

Meanwhile, Prasetia Dwidharma’s CEO, Arya Setiadharma, utilizing existing data, a more in-depth analysis must be done to see the potential that exists today. Make sure the business model that is owned has adjusted to the current conditions, seen from an uncertain market so that the possibility of the company cannot survive. On the other hand, Arya sees services such as groceries and delivery can grow positively utilizing the current moment.

“For the early-stage startup, I see that there is still a good future for fundraising, but when the pandemic starts to recede within the next two years,” Arya said.

Moral support and VC network

Another thing that later became the VC’s priority during the pandemic was moral support to the extensive network to help startups and founders. For Arya, all founders who are members of his portfolio are entitled to get one-on-one consultation by a psychologist. It was to ensure their mental health, who often pressured to cope up with issues during the pandemic.

“We are also trying to help our portfolio to develop some solutions. One of them is Ride Jakarta, founded by Gita Sjahrir. Utilizing online services, users can now enjoy direct training with coaches easily, at an affordable price. Not only users in Indonesia, those who live in Singapore, also use these online services,” Arya said.

Meanwhile for Kejora and SBI who have been doing business more than just VCs, are to provide support to the ecosystem. Not only to new investments but also those who have entered into the pipeline.

“We do not want to leave them, the best way is to connect them to our ecosystem. Whether through the pilot project, we do this to ensure they can continue with the business. Later, we will discuss again whether there are further investment steps or not,” said Richie.

Utilizing the right technology and tools, all portfolios at Monk’s Hill can utilize communication networks between fellow founders for consultation and possibilities for collaboration. The VC is also ready to help all startups to continue to be able to provide support. Monk’s Hill also conducts a data organization that aims to see the overall portfolio and KPI of each startup.

Diversification and decision to shut down business

When the pandemic began, many startups diversified by presenting new services or pivoting to adapt to current conditions and to remain relevant. According to Richie, this is fine to do, as long as startups can ensure that when the pandemic ends, the new business that is presented can continue. Not just using momentum.

“In my opinion, everything should go back to the core business. If they are not sure that it is better not to do a pivot, even though now is the right time to conduct a trial. When the crisis is focused on revenue rather than starting to explore new services,” Arya said.

He added, currently in Indonesia, most companies imitate other companies, when they want to present new services. Make sure all the right decisions, not just take advantage of the conditions and opportunities that exist.

Meanwhile, according to Arya, an important thing is that the new services or businesses presented can disrupt the business. If a startup has the ability, tools, and resources to build new services, it is possible.

Regarding the decision of startups to terminate their business, as a result of the pandemic, each VC claims to have experienced a number of failures from its portfolio. This condition is undeniable, the right way that can then be done is whether startups can implement lean methods or actually stop their startups.

“Eventually, when employee reductions or other decisions must be taken it is wise to do so. If the process or step can help startups to survive,” RJ said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Dukungan Venture Capital kepada Portofolio di Tengah Pandemi

Pandemi yang berkepanjangan terpaksa harus menunda kegiatan penggalangan dana yang biasanya secara aktif dilakukan oleh venture capital asing dan lokal di Indonesia. Meskipun demikian masih ada beberapa VC yang tetap melakukan kegiatan tersebut, dengan menerapkan proses kurasi startup yang lebih ketat dan fokus, menyesuaikan kondisi saat ini.

Dalam sesi Startup Clinic kolaborasi antara Venturra Discovery, UMG IdeaLab, Plug and Play Indonesia dan Alpha Momentum Indonesia, beberapa VC turut membagikan tips dan cerita manajemen portofolio mereka, dan bagaimana pandemi bisa menjadi momentum yang paling relevan, untuk melihat kekuatan dan potensi startup.

Waktu yang tepat untuk slow down

Jika sebelumnya mungkin kebanyakan VC memiliki target berapa startup yang diincar untuk bergabung dalam portofolio, menurut Senior Investment Analyst Monk’s Hill Ventures RJ Balmater, saat ini menjadi waktu yang tepat bagi VC untuk melonggarkan ikat pinggang sekaligus fokus kepada vertikal bisnis yang tepat dan terbaik untuk investasi. Di sisi lain RJ juga melihat bagi startup juga bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menyimak kembali keunggulan dari perusahaan dan tentunya model bisnis yang dimiliki.

“Pada akhirnya VC ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki bisnis yang sehat bukan sekadar apakah mereka bisa survive di kondisi saat ini,” kata RJ.

Hal senada juga diungkapkan oleh VP Investment Kejora-SBI Orbit Fund Richie Wirjan, bukan hanya melihat key market, penundaan investasi yang sekarang banyak dilakukan juga bisa dimanfaatkan VC untuk melihat lebih mendalam, kekuatan yang dimiliki oleh startup, baik yang ada dalam portofolio atau mereka yang sebelumnya sudah dilirik dan memiliki potensi.

Sementara itu menurut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma, memanfaatkan data yang ada, harus dilakukan analisis lebih mendalam untuk melihat potensi yang ada saat ini. Pastikan model bisnis yang dimiliki sudah menyesuaikan kondisi saat ini, dilihat dari pasar yang tidak pasti hingga kemungkinan perusahaan tidak bisa survive. Di sisi lain Arya melihat layanan seperti groceries dan delivery bisa tumbuh secara positif memanfaatkan momen saat ini.

“Untuk early stage startup saya melihat masih ada masa depan yang baik untuk melakukan penggalangan dana, namun ketika pandemi sudah mulai surut dalam waktu dua tahun ke depan,” kata Arya.

Dukungan moral dan jaringan VC

Hal lain yang kemudian menjadi prioritas VC saat pandemi adalah, dukungan moral hingga jaringan luas yang dimiliki, guna membantu startup hingga founder. Untuk Arya, semua founder yang tergabung dalam portofolio miliknya berhak untuk mendapatkan dukungan konsultasi secara one-on-one hingga konsultasi khusus oleh psikolog. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesehatan mental para founder, yang kerap tertekan mengurusi startup saat pandemi berlangsung.

“Kami juga mencoba membantu portofolio kami untuk mengembangkan cara baru yang bisa bermanfaat. Salah satunya adalah Ride Jakarta yang didirikan oleh Gita Sjahrir. Memanfaatkan layanan secara online, kini pengguna bisa menikmati pelatihan langsung dari para coach secara mudah dan dengan harga yang terjangkau. Bukan hanya pengguna di Indonesia, mereka yang tinggal di Singapura juga banyak yang mencoba layanan online tersebut,” kata Arya.

Sementara itu bagi Kejora dan SBI yang selama ini sudah menjalankan bisnis lebih dari sekedar VC, memastikan untuk terus memberikan dukungan kepada ekosistem. Bukan hanya kepada investasi baru namun juga mereka yang sudah masuk ke dalam pipe line.

“Kita tidak mau meninggalkan mereka, cara terbaik adalah menghubungkan mereka dengan ekosistem kita. Apakah melalui pengerjaan pilot project, hal ini kami lakukan untuk memastikan mereka bisa tetap menjalankan bisnis. Dari situ nantinya kita akan bicarakan kembali apakah ada langkah investasi lanjutan atau tidak,” kata Richie.

Memanfaatkan teknologi dan tools yang tepat, semua portofolio di Monk’s Hill bisa memanfaatkan jaringan komunikasi antar sesama founder untuk melakukan konsultasi dan kemungkinan untuk kolaborasi. Pihak VC juga siap untuk membantu semua startup agar terus bisa memberikan dukungan. Monk’s Hill juga melakukan organisasi data yang bertujuan untuk melihat secara keseluruhan portofolio yang dimiliki dan KPI dari masing-masing startup.

Diversifikasi dan keputusan untuk menutup bisnis

Saat pandemi mulai banyak startup yang melakukan diversifikasi dengan menghadirkan layanan baru atau melakukan pivoting menyesuaikan kondisi saat ini dan agar tetap bisa relevan. Menurut Richie, hal ini sah-sah saja dilakukan, asal startup bisa memastikan ketika pada akhirnya pandemi berakhir, bisnis baru yang dihadirkan bisa terus berjalan. Bukan sekedar memanfaatkan momentum saja.

“Menurut saya semua harus kembali kepada bisnis yang dimiliki. Jika tidak yakin melakukan pivot lebih baik tidak dilakukan, meskipun saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan uji coba. Saat krisis ini fokus kepada revenue dari pada mulai eksplorasi layanan baru,” kata Arya.

Di tambahkan olehnya, saat ini di Indonesia kebanyakan perusahaan mencontoh perusahaan lain, ketika ingin menghadirkan layanan baru. Pastikan semua merupakan keputusan yang tepat, bukan hanya memanfaatkan kondisi dan kesempatan yang ada.

Sementara itu menurut Arya hal penting yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai layanan atau bisnis baru yang dihadirkan bisa mengganggu jalannya bisnis. Jika memang startup memiliki kemampuan, tools hingga sumber daya untuk membangun layanan baru, bisa saja dilakukan.

Terkait dengan keputusan dari startup untuk memberhentikan bisnis mereka, akibat dari pandemi, masing-masing VC mengklaim mengalami beberapa kegagalan dari portofolio yang dimiliki. Kondisi ini memang tidak bisa dipungkiri, cara tepat yang kemudian bisa dilakukan adalah, apakah startup bisa menerapkan cara yang lean atau kemudian benar-benar memberhentikan startup mereka.

“Pada akhirnya ketika pengurangan pegawai atau keputusan lainnya yang harus diambil menjadi bijaksana untuk dilakukan. Jika proses atau langkah tersebut bisa membantu startup untuk bisa survive,” kata RJ.

Jendela360 Kantongi Pendanaan 14 Miliar Rupiah, Dipimpin oleh Beenext

Perusahaan rintisan yang pertama kali mempopulerkan penggunaan 360 virtual tour di dunia properti di Indonesia, Jendela360, mengumumkan pendanaan awal sebesar US$1 juta atau setara 14,2 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Beenext. Beberapa investor turut mendukung putaran investasi ini, meliputi Prasetia Dwidharma, Everhaus, dan sebuah konsultan properti lokal.

Jendela360 merupakan startup poptech berbasis marketplace yang menghubungkan pengguna, pemilik properti, dan agen dalam satu platform. Konten tur virtual dengan pandangan 360 derajat menjadi nilai unik yang ditawarkan, diharapkan dapat meningkatkan pengalaman pengguna dalam menentukan unit properti yang akan disewa.

Pendanaan ini akan difokuskan untuk meningkatkan strategi O2O (Online to Offline) perusahaan. Selain itu perusahaan juga ingin merekrut lebih banyak talenta-talenta terbaik di dunia properti, termasuk mengembangkan sistem akademi atau pelatihan yang dapat melahirkan agen properti profesional, dan meningkatkan brand awareness Jendela360.

“Ini merupakan bukti nyata bahwa apa yang Jendela360 kerjakan selama ini telah memberi dampak yang positif terhadap industri properti di Indonesia. Ini bisa dilihat dari bagaimana Jendela360 dapat tumbuh lebih dari 30x lipat dalam 3 tahun terakhir dan tren inilah yang dilihat oleh para investor yang menaruh kepercayaan besar pada kami,” kata Co-founder & CEO Jendela360 Daniel Rannu.

Dari sisi konsumen, proses bisnis yang diterapkan ketika hendak melakukan sewa apartemen; setelah memilih opsi yang sesuai, tim Jendela360 akan mengonfirmasi seputar ketersediaan dan detail unit tersebut. Selanjutnya pengguna dapat mengunjungi apartemen yang dipilih didampingi tim Jendela360. Jika setelah kunjungan cocok dengan unit tersebut, maka konsumen dapat melakukan down payment hingga serah terima unit dan dokumen pendukungnya.

“Properti adalah bidang bisnis yang selalu menarik dan tidak akan pernah berakhir, namun sampai saat ini cenderung belum banyak banyak inovasi yang dilakukan di bidang ini, lewat pencapaian kami selama 3 tahun terakhir ini dan dibantu dengan pendanaan terbaru ini, kami semakin siap untuk membawa inovasi dan angin segar yang baru bagi para pelaku dunia properti di Indonesia,” imbuh Co-founder & CFO Jendela360 Ade Indra.

Proptech di Indonesia

Di Indonesia persaingan bisnis di sektor terkait cukup ketat. Beberapa perusahaan juga terus kuatkan konsolidasi. Awal tahun 2018, pengembang situs properti asal Singapura 99.co resmi mengumumkan akuisisinya terhadap platform lokal Urbanindo. Belum lama ini mereka juga bentuk joint venture dengan REA Group, perusahaan properti online asal Australia yang mengoperasikan iProperty dan Rumah123.

Selain dua grup perusahaan tersebut, di Indonesia juga beroperasi unit bisnis milik PropertyGuru. Mereka menjalankan dua situs, yakni Rumah.com dan Rumahdijual.com yang diakuisisi pada akhir 2015 lalu. Di Indonesia, operasionalnya turut didukung konglomerasi EMTEK Group sebagai investor di putaran pendanaan seri D.

Sementara belum lama ini Lamudi (termasuk unit bisnisnya di Indonesia) baru diakuisisi Emerging Markets Property Group (EMPG). Tujuannya untuk memperkuat bisnis grup portal properti tersebut di kawasan Asia Tenggara.

Startup proptech di Indonesia
Startup proptech di Indonesia

Delman Big Data Startup Secures 23.6 Billion Rupiah Funding from Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Qlue

Big data management platform startup, Delman, today (26/5) announced the seed funding worth of US $1.6 million or equivalent to 23.6 billion Rupiah. This investment round was led by Intudo Ventures, with the participation of Prasetia Dwidharma Ventures and startup smart city solution developer Qlue.

The funds raised will be focused on business expansion, by developing a big data management ecosystem that can be used by clients to make predictions and business decisions, and build the Delman R&D Center in Surabaya this year.

“We found that some companies spent US$ 200 thousand and 70% of their time cleansing and classifying data into a database (warehousing). There is a lot of data with a non-uniform, irregular shape, and typos, making it difficult for scientist data to process the data and make it an accurate analysis in real-time,” Delman’s Founder & CEO, Surya Halim explained.

Since founded in 2018, Delman has been working with Qlue to help big data management in various companies and government agencies. The solutions consist of combining, cleaning, and classifying data; to visualize data in the form of a dashboard that is easy to understand.

Meanwhile, Qlue’s Founder & CEO, Rama Raditya said, in the midst of a pandemic, his company continued to actively invest in startups with great potential. He believes Delman, as a newcomer, will become a major player in the big data industry and push big data to a higher level in Indonesia. Previously, Qlue also participated in the Nodeflux’s seed funding.

“The big data market in Indonesia will continue to grow and the on-demand solution has shifted to local companies because it can provide solutions in line with the needs of Indonesian companies. In addition, there are many Indonesia companies planning for digital transformation, but yet to optimize big data processing and analyzing,” Rama said.

Intudo Ventures Founding Partner, Eddy Chan said, “Since the meeting with Delman founding team in Silicon Valley in 2017, we have seen their growth as solid management and we will continue to support them going forward.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian