Dua Tahun QRIS: Ragam Tantangan Adopsi pada Startup F&B

Beberapa waktu lalu, DailySocial menerbitkan artikel berseri berdasarkan mini survey dengan topik besar QRIS yang mengambil sudut pandang konsumen secara umum dan pengalaman bertransaksi melalui aplikasi keuangan digital. Keduanya telah kami publikasi dalam dua tulisan berbeda, yakni bagian pertama dan bagian kedua.

Melanjutkan seri tulisan sebelumnya, kali ini DailySocial mencoba memvalidasi sejumlah anggapan responden yang mengkaitkan merchant sebagai salah satu hambatan adopsi QRIS di Indonesia. Sekali lagi, mini survey yang kami lakukan beberapa waktu lalu hanya mewakili sebagian kecil fakta dan tantangan yang ada. Tulisan ini menjadi salah satu upaya kami menjembatani isu di lapangan kepada para pemangku kepentingan (stakeholder).

Kami memvalidasi hasil mini survey ini dengan mewawancarai beberapa startup F&B di Indonesia, antara lain Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera, terkait pandangan mereka dalam mengadopsi QRIS pada gerai yang mereka miliki.

Customer dan Merchant Presented Mode

Sedikit penyegaran, dua tahun pasca-meluncur, nilai transaksi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau tumbuh 214% secara tahunan (YoY). Bank Indonesia (BI) juga mencatat  sebanyak 8,2 juta merchant di Indonesia yang sudah mengadopsi QRIS. Jumlah tersebut telah bertambah sekitar 3 juta sejak akhir 2020.

Dengan pencapaian ini, BI berupaya untuk terus meningkatkan adopsi QRIS ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Terlebih melihat situasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir, ekspektasi untuk bertransaksi secara nontunai (cashless) masih akan tetap ada.

Salah satu upaya BI adalah merilis fitur Customer Presented Mode untuk mempermudah penggunaan QRIS dalam waktu dekat. Customer Presented Mode memungkinkan kasir merchant untuk memindai (scan) QRIS milik pengguna ponsel. Merchant akan disediakan alat scanner dari penyedia pembayaran.

Sebaliknya, Merchant Presented Mode yang biasa kita gunakan untuk bertransaksi memampukan transaksi dengan memindai QRIS di merchant dan menyelesaikan transaksi lewat aplikasi pembayaran yang diinginkan. Sebelum QRIS meluncur, pengguna harus memasukkan nomor telepon pada masing-masing EDC milik penyedia jasa pembayaran.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta beberapa waktu lalu.

Memvalidasi isu adopsi QRIS pada merchant

Berdasarkan hasil mini survey QRIS, kami merangkum beberapa alasan utama responden yang belum bertransaksi dengan metode QRIS. Pertama, responden menilai merchant hanya menjadikan QRIS sebagai ‘pajangan’ saja alias kurang diutilisasi sebagaimana mestinya. Kedua, QRIS sudah tersedia, tetapi belum diaktifkan merchant.

Ketiga, petugas atau kasir kurang memahami cara memproses transaksi dengan QRIS. Keempat, QRIS terlalu banyak di-display di gerai karena setiap penyedia jasa pembayaran punya QRIS sendiri-sendiri. Terakhir, ketersediaan QRIS di merchant masih terbatas.

Kami telah mencoba memvalidasi hal-hal di atas dengan mengumpulkan perspektif lebih luas dari berbagai startup F&B. Namun, baru Kopi Kenangan, Hangry, dan Livera yang bersedia mengungkap perspektif dalam mengimplementasi QRIS. Tantangan yang mereka alami pun cukup berbeda mengingat Kopi Kenangan bertumpu pada gerai fisik, sedangkan Hangry dan Livera mengandalkan cloud kitchen.

Ilustrasi penggunaan QRIS pada platform pembayaran dompet digital / QRIS.id

Dalam pernyataannya kepada DailySocial, Manajemen Kopi Kenangan mengatakan sebanyak 500 gerai fisik miliknya sudah menerima metode pembayaran berbasis QRIS. Menurut catatannya, volume transaksi Kopi Kenangan dengan metode pembayaran QRIS meningkat 98% terhitung sejak Mei 2020 hingga Agustus 2021. Pertumbuhan ini sejalan dengan peningkatan awareness publik terhadap metode pembayaran QRIS.

Pihaknya menampik anggapan kasir kurang memahami penggunaan QRIS. Pasalnya, Kopi Kenangan menyebut selalu memberikan edukasi kepada staf terkait tata cara penggunaan QRIS. Biasanya, staf di gerai menanyakan pilihan metode pembayaran yang diinginkan oleh pelanggan dan promosinya.

“Sejauh ini tantangan utama yang kami rasakan adalah ketidakstabilan koneksi internet. Hal ini menyulitkan proses transaksi QRIS. Terkadang barcode tidak muncul, atau muncul tetapi tidak dapat di-scan,” ungkap Manajemen Kopi Kenangan.

Sementara itu, COO Hangry Andreas Resha mengaku belum menghadapi kendala krusial ketika staf merchant-nya memproses transaksi QRIS. Pasalnya, transaksi pemesanan di Hangry kebanyakan menggunakan metode delivery ketimbang take away.

“Kami tidak punya angka persis, tetapi kami memang melihat ada penurunan sejak pandemi, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang berkegiatan di rumah. Maka itu, metode delivery yang tidak menggunakan QRIS lebih banyak digunakan dibandingkan metode takeaway,” ujarnya.

Saat ini, Hangry telah mengimplementasi metode pembayaran QRIS di 49 outlet yang tersebar di daerah Jabodetabek dan Bandung. Andreas mengaku bahwa pihaknya kini tengah menyiapkan konsep restoran dine-in yang akan dibuka dalam waktu dekat dan akan menyertakan metode pembayaran QRIS juga.

Dari perspektif berbeda, Founder dan CEO Livera Marcello Judhandoyo menilai bahwa adopsi QRIS tampaknya kurang terutilisasi bagi pelaku bisnis F&B yang menggunakan cloud kitchen. Pasalnya, uang transaksi pembelian makanan/minuman lewat platform ride-hailing langsung otomatis masuk ke merchant. 

Sedikit informasi, cloud kitchen merupakan sebuah istilah yang dipakai pada restoran yang tidak menyediakan layanan makan di tempat (dine in), tetapi hanya memiliki opsi jasa pengiriman makanan (delivery) dan ambil di tempat (takeaway).

“Kalau bicara soal adopsi QRIS di bisnis F&B yang pakai cloud kitchen sebetulnya kurang optimal. Tapi kalau kasusnya pemesanan manual melalui WhatsApp, sebetulnya bisa. Livera menawarkan pembayaran via QRIS dengan mengirimkan barcode kepada konsumen. Sayangnya, dalam kasus ini, kebanyakan konsumen Livera lebih prefer metode transfer. Padahal, QRIS jauh lebih mudah lho, konsumen tidak perlu repot menanyakan bank rekening yang digunakan, apalagi harus mendaftarkannya satu-satu di aplikasi mobile banking,” paparnya.

Livera baru memulai bisnis di 2020 di mana operasionalnya baru menggunakan cloud kitchen. Adapun, pemesanan produknya baru dapat dilakukan via delivery di platform Gojek, Grab, dan Tokopedia maupun pemesanan secara manual melalui WhatsApp

Perluasan akses QRIS

Tidak ada yang menyangka dunia akan menghadapi pandemi Covid-19 di mana mobilitas menjadi sangat terbatas. Padahal, beberapa bulan sebelum kebijakan PSBB pertama kali, Pemerintah baru saja meluncurkan QRIS. Momentum ini sebetulnya dapat mendorong adopsi QRIS, bahkan jauh lebih signifikan dari pencapaiannya saat ini.

Di saat yang sama, tren cloud kitchen tengah berkembang di kalangan pelaku usaha F&B untuk menyiasati biaya mencekik dan ketidakpastian bisnis di tengah pandemi. Masyarakat pun memilih untuk bertransaksi lebih cepat dan mudah tanpa perlu bertatap muka dan melakukan sentuhan fisik.

Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021
Layanan yang diharapkan mengadopsi QRIS / Sumber: Mini Survey QRIS 2021

Langkah Pemerintah memperkenalkan Customer Presented Mode juga bisa  membantu akselerasi adopsi QRIS. Meskipun demikian, jauh lebih penting untuk memperluas implementasinya agar tidak bertumpu pada merchant ritel modern saja. Sebanyak 87,3% responden kami mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, pasar (81%), layanan pemerintah (76,2%), dan transportasi publik (68,3%). Ini yang sebetulnya paling dinantikan untuk mengakselerasi adopsi QRIS yang lebih masif.

BI Gandeng BNI dan BukuWarung untuk Terus Dorong Adopsi QRIS

Bank Indonesia menggandeng PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) dan BukuWarung untuk terus mendorong perkembangan UMKM di tanah air dengan memanfaatkan cara pembayaran Quick Response Indonesia Standard (QRIS).

Continue reading BI Gandeng BNI dan BukuWarung untuk Terus Dorong Adopsi QRIS

On the Second Year of QRIS: Revealing the Transaction Experience through “Mobile Banking” and Digital Money

In the first two year, QRIS feature started to show an extraordinary growth in adoption as DailySocial described in the first part of the article. This is validated by Bank Indonesia (BI) data regarding the increase in transactions over the past year.

Aside from transactions, we also saw an increasing enthusiasm from users which highlighted various issues related to QRIS adoption in the field. This issue was revealed through a mini survey we conducted with 65 respondents. Although it does not represent the majority of digital payment service users in Indonesia, this survey is in line with the main spirit, which is to highlight issues to create room for improvement for stakeholders.

In the second part, DailySocial highlights more detailed issues from the user’s perspective, such as product categories that are often purchased to which payment platforms are preferred to make transactions using the QRIS method.

QRIS on the run

In a previous article, one of the challenges of adopting QRIS is the limitations of merchants that accept payments using this method. Unsurprisingly, most of the respondents admitted to make transactions more for food and beverage (95.2%). In other categories, QRIS transactions are also used to purchase basic needs (35.5%), donations (17.7%), and transportation services (11.3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Product categories bought using QRIS / DailySocial

Of the 93.8% of respondents who made transaction using the QR Code method, 33.3% of them spent IDR 50,000-IDR 300,001 for transactions. Moreover, by 22.7% of respondents spent more than Rp1 million, Rp. 500,001-Rp. 1,000,000 (21.2%), Rp300,001-Rp500,000 (18.2%), and under Rp50,000 (4.5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
QRIS-based payment transaction frequency / DailySocial

When QRIS transactions available for broader categories, such as diverse public transportation, street vendors, and markets, the adoption will certainly increase in a rapid way. In fact, many consumers in this segment still making transaction using cash rather than unfamiliar payment methods.

Mobile banking vs digital money

One of the interesting facts we collected from this survey is how users feel more comfortable in making transaction using QRIS method through mobile banking applications (58.1%) rather than digital money (e-money).

Categorized by platform, mobile banking applications (28.8%) still outperform e-money, such as OVO (27.1%), GoPay (25.4%), and ShopeePay (15.25%). And the reason is?

QRIS-based platform for transaction / DailySocial

Based on the elaboration result of a number of respondents, the mobile banking application is automatically connected to savings, therefore, they do not need to top up and incur administrative costs. There is no need to download each e-money applications, let alone top up to multiple platforms (if you use more than one).

What’s interesting is, digital bank is considered to provide a strong reason why QRIS transactions are more popular in mobile banking applications. Respondents stated, the pocket feature in the application makes it easier to allocate a budget that can be devoted to transactions, such as snacks or transportation, without disturbing other budgets.

Meanwhile, other respondents considered that QRIS transactions through e-money offered a value proposition that mobile banking might not have, including payments with points or rewards. For example, the OVO application. In terms of experience, digital wallets are considered superior due to faster login process than mobile banking.

“Another reason is that users are used to e-money. There are also lots of merchants receive QRIS from e-money. In addition, QRIS is more suitable for transactions with a nominal value of under IDR 500 thousand and e-money is considered appropriate for that need,” some respondents said.

Market education

The elaboration seems to be sufficient to answer why as many as 68.8% claimed to obtain information about QRIS from the payment platform they use daily. Meanwhile, 60.9% answered from the merchant where they made transactions. Payment platforms and merchants can be the main vehicle to educate QRIS adoption.

BCA Digital’s CEO, Lanny Budiati said one of the efforts to increase awareness to users is through attractive promos that can only be obtained when making transaction at merchants using the QRIS method. Company data records that around 10% of BCA Digital’s total customers have done transactions using QRIS with a total volume of Rp1 billion since the blu application was released on July 2, 2021.

“We continue to encourage customers to experience the QRIS adoption convenience. We also prepare educational content on various social media channels regarding how to use it and its benefits. Going forward, BCA Digital will continue to encourage the QRIS development based on the roadmap of Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association ( ASPI),” Lanny said to DailySocial.

Meanwhile, Bank Neo Commerce’s President Director, Tjandra Gunawan considered that all kinds of new technologies would take a long time in terms of adoption. He admitted the optimism that QRIS adoption will be absorbed quickly considering the trend of cashless payments has mushroomed in the past year. In addition, more merchants and financial applications are providing the QRIS feature.

“Neo Commerce Bank will be active in providing financial education to the public, not only familiarizing with the QRIS feature, but also a safe and comfortable digital lifestyle,” he told DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

SNAP Tandai Dimulainya Standardisasi “Open Banking” Indonesia

Indonesia mulai menyusul negara global lainnya untuk mulai mengimplementasikan standar nasional Open API. Bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Bank Indonesia meresmikan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP). Sekaligus uji coba sandbox QRIS dengan Thailand (Thai QR Payment) yang disebut QRIS Antarnegara.

SNAP merupakan standar nasional yang ditetapkan BI atas seperangkat protokol dan instruksi yang memfasilitasi interkoneksi antaraplikasi secara terbuka dalam pemrosesan transaksi pembayaran. Oleh karenanya, SNAP menyatukan berbagai layanan transaksi di Indonesia ke dalam satu sistem.

Standardisasi Open API Pembayaran ini, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, dapat menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, kompetitif, dan inovatif, sehingga dapat menyediakan layanan sistem pembayaran kepada masyarakat yang efisien, aman, dan andal.

SNAP mencakup standar teknis keamanan, standar data, spesifikasi teknis, dan dokumen pedoman tata kelola sistem pembayaran nasional. Ada dua hal yang distandarkan oleh SNAP.

Pertama, dokumen standar teknis dan keamanan, standar data, dan spesifikasi teknis SNAP menstandarkan, antara lain: protokol komunikasi, tipe arsitektur API, struktur dan format data, metode autentikasi, metode otorisasi, metode enkripsi, persyaratan pengelolaan akses API, struktur data request, hingga struktur data response.

Kedua, dokumen pedoman tata kelola SNAP menstandarkan pedoman perlindungan konsumen, perlindungan data, persyaratan kehati-hatian bagi penyedia layanan dan pengguna layanan, serta kontak.

Pengimplementasian SNAP merupakan salah satu tahapan penting dalam rangka mengakselerasi open banking di area sistem pembayaran. Inisiatif ini adalah tindak lanjut dari visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

Penyusunan SNAP dilakukan bersama oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dengan membentuk Working Group (WG) Nasional. Sebelum WG nasional dibentuk, BI terlebih dulu menerbitkan Consultative Paper Standar Open API Pembayaran oleh Bank Indonesia pada kuartal I 2020.

Jauh sebelum bank sentral menetapkan standarisasi Open API ini, industri sudah ambil langkah terlebih dulu dengan membuat Open API versi masing-masing. Salah satunya adalah BCA yang meluncurkan API BCA pada 2017. Disebutkan volume transaksi API BCA tumbuh 4,8 kali dalam dua tahun terakhir. Transaksinya tembus lebih dari 1 miliar aktivitas transaksi dan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 nasabah bisnis.

Pengembangan fiturnya telah mencapai ratusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan bisnis, seperti informasi saldo, mutasi rekening, transfer, BCA Virtual Account, dan lainnya. Bagi nasabah bisnis, implementasi API BCA mempermudah mereka saat rekonsiliasi transaksi penerimaan pembayaran, automasi dan simplifikasi proses transaksi bisnis.

QRIS Antarnegara

Sementara itu, terkait QRIS Antarnegara yang masuk ke dalam bagian SNAP, sebagai permulaannya bekerja sama dengan Bank of Thailand (BOT). Bagi konsumen atau wisatawan yang berasal dari Indonesia dan Thailand bisa melakukan pembayaran dengan memindai kode QR di masing-masing negara.

Perry mengatakan, pengembangan QRIS Antarnegara dengan Thailand dapat menjadi tonggak baru dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat antar kedua negara, khususnya bagi wisatawan.

Secara teknis, penyelesaian transaksi QRIS Antarnegara ini menggunakan mata uang lokal masing-masing negara atau local currency settlement (LCS) melalui bank yang sudah dipilih atau appointed cross currency dealers (ACCD).

Interkoneksi switching to switching dibangun antar switching kedua negara yaitu Rintis, Artajasa, Jalin dan Alto dari Indonesia dengan National ITMX (NITMX) dari Thailand. Adapun bank ACCD di Indonesia yang terpilih adalah BCA, BNI, dan BRI. Sementara, bank ACCD di Thailand ada Bangkok Bank (BBL), Bank of Ayudhya (Krungsri), dan CIMB Thai Bank (CIMBT).

Proyek ini juga turut melibatkan 13 provider QRIS. Mereka adalah Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Permata, Bank BSI, Telkom Indonesia, Maybank, ShopeePay, LinkAja, DANA, Bank Mandiri, CIMB Niaga, dan Otto Cash.

Fase komersial penuh dengan Thailand akan dilakukan pada kuartal I 2022. Setelah Thailand, bank sentral tengah menanti uji coba dengan Malaysia. “Setelah Thailand kita dengan Malaysia dan setelahnya sudah ada beberapa negara ASEAN lain yang berminat dan sudah menyetujui,” terang Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengutip dari Katadata.

Setelah skala ASEAN, pada fase berikutnya QRIS Antarnegara bakal disiapkan untuk lintas negara di luar ASEAN. Salah satunya, dengan Arab Saudi.

Open banking di Singapura

Sumber: The Edge Markets

Tentunya kehadiran SNAP mempermudah industri jasa keuangan untuk terhubung secara digital dengan pemain non-bank. Contoh terdekat yang bisa ditengok adalah Singapura yang menjadi salah satu kiblat negara maju di Asia.

Pada dasarnya, semangat open banking adalah memberi manfaat kepada konsumen melalui peningkatan pengalaman konsumen, akses ke produk yang mendukung perbankan terbuka, dan pengambilan keputusan keuangan yang lebih baik dengan menggabungkan informasi keuangan mereka dalam satu platform.

Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah pendorong utama perkembangan open banking yang masif di Singapura. Salah satu inisiatif utama yang mereka ambil adalah memperkenalkan API Exchange (APIX), sebuah platform kolaborasi yang menjadi dasar kuat bagi pertumbuhan open banking.

APIX adalah platform arsitektur terbuka lintas batas pertama di dunia dan bertujuan untuk mendukung inovasi dan inklusi keuangan di ASEAN dan di seluruh dunia. Platform yang diluncurkan pada November 2018 ini menjadi tempat lembaga keuangan dan perusahaan fintech dapat terhubung dengan mudah dan berkolaborasi dalam pengalaman desain melalui API.

Menurut Founder & CEO MatchMove Shailesh Naik, dia telah melihat kemajuan dalam kolaborasi antara bank dan perusahaan fintech di bidang ini selama dua tahun terakhir. Bank sekarang lebih bersedia untuk bekerja sama dan mulai menjangkau untuk tetap kompetitif karena proses di perusahaan fintech menjadi lebih menarik dan hemat biaya untuk sektor keuangan konvensional.

Tonggak penting lainnya lewat MAS adalah inisiatif Financial Planning Digital Services, yang bertujuan untuk memfasilitasi portabilitas data dengan kerangka kerja API yang aman. Pada 7 Desember 2020, MAS meluncurkan Singapore Financial Data Exchange (SGFinDex), yang melibatkan konsolidasi data keuangan dari bank dan lembaga pemerintah di satu tempat, bukan di beberapa lokasi.

Hal ini difasilitasi melalui identitas digital nasional Singapura, Singapore Personal Access (SingPass), yang merupakan layanan single sign-on yang digunakan oleh warga Singapura untuk bertransaksi dengan lebih dari 60 instansi pemerintah secara online. Konsumen memiliki pilihan untuk memberikan akses ke lembaga keuangan yang mereka pilih untuk berbagi informasi mereka.

Infrastruktur ini dikembangkan oleh sektor publik bekerja sama dengan ABS dan tujuh bank yang berpartisipasi, menjadikan SGFinDex menjadi infrastruktur digital publik pertama di dunia yang menggunakan identitas digital nasional dan sistem persetujuan online yang dikelola secara terpusat.

Managing Director MAS Ravi Menon menyampaikan pentingnya penguatan kepercayaan di sektor keuangan. Nilai lebih yang ditawarkan open banking harus diimbangi dengan risiko yang ditimbulkan oleh berbagi data nasabah antara berbagai pihak.

Dalam Global Financial Services Consumer Study 2019 yang diterbitkan Accenture, sebanyak 75% konsumen menyatakan bahwa mereka sangat berhati-hati tentang privasi data mereka, pelanggaran keamanan data menjadi perhatian terbesar kedua bagi konsumen. Oleh karena itu, agar open banking Singapura benar-benar dapat diterima, pelanggan harus sepenuhnya yakin bahwa data mereka aman.

Meskipun data perbankan di Singapura diatur oleh Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang disempurnakan, bank juga harus memainkan peran mereka dan terus waspada dalam melindungi data pelanggan mereka untuk menguntungkan konsumen dan industri, dan memastikan keberhasilan open banking di Singapura.

Berkaitan dengan itu, penanganan kebocoran data harus ditangani dengan benar-benar serius oleh pemerintah dan instansi terkait. Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan isu ini belakangan semakin sensitif, di tengah geliatnya perkembangan ekonomi digital.

“Apabila isu ini terus terjadi, tentunya akan mengganggu pertumbuhan bank digital atau yang berkaitan dengannya. Sebab konsumen akan sulit untuk percaya datanya aman terproteksi,” ujar dia dalam suatu diskusi panel yang diadakan Infobank.

Kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap layanan keuangan digital, tercermin dari survei yang diadakan  Digital 2021 Report. Disebutkan penetrasi aplikasi banking and financial services d Indonesia masih rendah hanya 39,2% dari responden. Angka ini lebih rendah dari Thailand 68,1%, Malaysia 55,7%, dan Filipina 42,1%.

Sementara, mobile payment juga rendah yakni 29,2% dibanding rata-rata dunia, yakni 30,9%. jauh dibanding Thailand, Filipina, dan Vietnam. Adapun, untuk penggunaan kode QR code di Indonesia baru sebesar 42% dari penduduk dewasa. Kalah dari Malaysia 77% dan Singapura 79%.

Dua Tahun QRIS: Mengungkap Pengalaman Bertransaksi via “Mobile Banking” dan Uang Digital

Dua tahun perjalanan awalnya, fitur QRIS mulai menunjukkan pertumbuhan adopsi yang luar biasa sebagaimana diulas DailySocial di tulisan bagian pertama. Hal ini divalidasi data yang dibagikan Bank Indonesia (BI) tentang peningkatan transaksi selama satu tahun terakhir.

Selain peningkatan transaksi, kami juga melihat tren antusiasme dari para pengguna yang menyoroti berbagai macam isu terkait adopsi QRIS di lapangan. Isu ini terungkap lewat survei mini yang kami lakukan kepada 65 responden. Meski belum mewakili sebagian besar pengguna layanan pembayaran digital di Indonesia, survei ini tetap sesuai dengan semangat utamanya, yakni menyoroti isu yang dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan.

Pada bagian kedua ini, DailySocial membeberkan isu-isu lain yang menyoroti lebih rinci dari perspektif pengguna, seperti kategori produk yang sering dibeli hingga platform pembayaran yang lebih digemari untuk melakukan transaksi dengan metode QRIS.

QRIS dalam penggunaannya

Pada tulisan sebelumnya, salah satu tantangan adopsi QRIS adalah keterbatasan merchant yang menerima pembayaran dengan metode ini. Tak mengherankan sebagian besar responden mengaku lebih banyak bertransaksi untuk pembelian makanan dan minuman (95,2%). Pada kategori lainnya, transaksi QRIS juga digunakan untuk pembelian kebutuhan pokok (35,5%), donasi (17,7%), dan layanan transportasi (11,3%).

Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial
Kategori produk yang dibeli dengan metode QRIS / DailySocial

Dari 93,8% responden yang pernah bertransaksi dengan metode QR Code, sebanyak 33,3% di antaranya menghabiskan Rp50.000-Rp300.001 untuk bertransaksi. Kemudian disusul 22,7% responden menghabiskan di atas Rp1 juta, Rp500.001-Rp1.000.000 (21,2%), Rp300.001-Rp500.000 (18,2%), dan di bawah Rp50.000 (4,5%).

Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial
Frekuensi transaksi pembayaran dengan QRIS / DailySocial

Apabila transaksi QRIS sudah bisa digunakan untuk kategori yang lebih luas, misalnya transportasi publik yang lebih beragam, pedagang kaki lima, dan pasar, tentu adopsinya akan meningkat lebih pesat. Pasalnya, konsumen di segmen ini masih banyak yang bertransaksi dengan metode uang tunai daripada metode pembayaran yang belum terlalu familiar.

Mobile banking versus uang digital

Salah satu fakta menarik yang kami himpun dari survei ini adalah bagaimana pengguna lebih merasa nyaman bertransaksi dengan metode QRIS melalui aplikasi mobile banking (58,1%) ketimbang uang digital (e-money).

Jika dirinci berdasarkan merek platform, aplikasi mobile banking (28,8%) masih mengungguli e-money, seperti OVO (27,1%), GoPay (25,4%), dan ShopeePay (15,25%). Apa alasannya?

 

Platform untuk bertransaksi dengan QRIS / DailySocial

Menurut hasil elaborasi sejumlah responden, aplikasi mobile banking sudah otomatis terhubung dengan tabungan sehingga mereka tidak perlu top up dan mengeluarkan biaya administrasi. Tidak perlu repot mengunduh aplikasi e-money satu per satu, apalagi top up ke beberapa platform (jika memakai lebih dari satu).

Menariknya, kehadiran bank digital juga dinilai memberikan alasan kuat mengapa transaksi QRIS lebih digemari di aplikasi mobile banking. Menurut responden, fitur kantong dalam aplikasi mempermudah alokasi budget yang dapat dikhususkan untuk transaksi, seperti jajan makanan atau transportasi, tanpa mengganggu budget lain.

Sementara responden lainnya menilai transaksi QRIS melalui e-money menawarkan proposisi nilai yang mungkin tidak dimiliki mobile banking, yakni pembayaran dengan points atau rewards. Contohnya, aplikasi OVO. Secara experience pun, dompet digital dianggap lebih unggul karena proses login-nya lebih cepat dibanding mobile banking.

“Alasan lainnya, pengguna sudah terbiasa menggunakan e-moneyMerchant yang menerima QRIS dari e-money juga sudah lebih banyak. Selain itu, QRIS lebih sesuai untuk transaksi dengan nominal di bawah Rp500 ribu dan e-money dinilai pas untuk kebutuhan itu,” ungkap sejumlah responden.

Upaya edukasi

Elaborasi ini tampaknya cukup menjawab mengapa sebanyak 68,8% mengaku memperoleh informasi seputar QRIS dari platform pembayaran yang mereka gunakan sehari-hari. Sementara 60,9% menjawab dari merchant tempat mereka bertransaksi. Platform pembayaran dan merchant dapat menjadi sarana utama untuk mengedukasi pemakaian QRIS.

Menurut CEO BCA Digital Lanny Budiati, salah satu upaya untuk meningkatkan awareness kepada pengguna adalah lewat promo-promo menarik yang hanya didapatkan apabila bertransaksi di merchant dengan metode QRIS. Data perusahaan mencatat sekitar 10% dari total nasabah BCA Digital telah bertransaksi dengan QRIS dengan total volume mencapai Rp1 miliar sejak aplikasi blu dirilis pada 2 Juli 2021.

“Kami terus encourage para nasabah untuk menikmati kemudahan bertransaksi dengan QRIS. Kami juga siapkan konten edukasi di berbagai kanal media sosial terkait cara penggunaan hingga manfaatnya. Ke depan, BCA Digital akan terus mendorong pengembangan QRIS sesuai roadmap dari Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI),” papar Lanny kepada DailySocial.

Sementara, Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan menilai bahwa segala macam teknologi baru tentu membutuhkan waktu lama untuk mendorong adopsinya. Ia mengaku optimistis adopsi QRIS akan cepat terserap mengingat tren pembayaran cashless semakin menjamur dalam satu tahun terakhir. Ditambah lagi, semakin banyak merchant dan aplikasi keuangan yang menyediakan fitur QRIS.

“Bank Neo Commerce akan aktif dalam melakukan edukasi finansial kepada masyarakat, tidak hanya familiarisasi terhadap fitur QRIS, tetapi juga gaya hidup digital secara aman dan nyaman,” ungkapnya kepada DailySocial.

Mark The Second Year of QRIS Adoption Amidst Indonesia’s Digital Financial Acceleration

Recently, Bank Indonesia (BI) announced the rapid increase of QRIS based payment transactions over the past year. The transaction value has reached Rp 9 trillion in the first semester of 2021 or increased by 214% compared to the same period last year. The increasing number also happened to merchants using QRIS  at 8.2 million. At least, there will be an increase of around 3 million from 6 million merchants at the end of 2020.

In a Digi X webinar held by Infobank, Bank Indonesia’s Assistant Governor and Head of the Payment System Policy Department, Filianingsih Hendarta, said that the Covid-19 pandemic has had a significant booster effect on the acceleration of Indonesia’s digital finance. Aside from the shifting consumer behavior to digital, this acceleration is backed by the players’ collaboration in the digital ecosystem of the banking and non-bank sectors.

“In the near future, we are to launch the Customer Presented Mode feature as we currently have Merchant Presented Mode. We are also piloting QRIS transactions for cross borders, both inbound and outbound,” said the woman familiarly called Fili.

With the unexpected achievement, how is the manifestation of QRIS implementation in the future during this situation, and what kind of efforts are needed to encourage its adoption?

About QRIS

QRIS or Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) is part of Bank Indonesia’s five major initiatives towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025.

Towards the Indonesian Payment System (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS was developed by Bank Indonesia and the Indonesian Payment System Association (ASPI) to combine various QR codes from various Payment System Service Providers (PJSP) into one QR Code. As a digital payment system, QRIS is designed as a QR Code Standard for server-based electronic money applications, digital wallets, and mobile banking.

Technically, QRIS is available in two types. First, in a static format (print media/stickers, one QR Code for every transaction, QR Code does not have a nominal value, only manual input). Second, dynamic (QR Code through receipts printed by the EDC machine/appears on the monitor, different QR Code for each transaction, QR Code has a nominal payment).

People can make payment at merchants with one QR Code for all platforms. The scenario is, if you can’t buy drinks because the relevant merchant doesn’t accept your payment option, QRIS will enable the merchant to accept every payment from each platform. It will no longer require one EDC machine for one platform. QRIS provides space for the public to make payments regardless of the platform with one QR Code.

Therefore, why do we need QRIS? This technology can expand national non-cash payments acceptance in a more efficient way. Through the use of one standard QR Code, goods and services providers no longer require different types of QR Codes from different publishers.

Long before QRIS was launched, the government had implemented QR Code as a payment option since the middle of 2015. However, PJSP was using QR exclusively at that time. With the growth of smartphone penetration and the opportunity to help the unbanked and underbanked segments, BI decided to create the QR Code standardization.

Another reason is that BI discovers a high success rate in QR as a payment option in several countries, China through Alipay and WeChatPay, and India through PayTm and BharatQR.

Two years after its official launch, QRIS reaped positive achievements–mostly helped by the pandemic. Based on BI’s data, QRIS transaction volume rose 247% in the second quarter of 2021 to 83.85 million transactions. Meanwhile, the transaction value skyrocketed 336% to Rp5.59 trillion compared to the same period last year.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI recorded an increase in QRIS transaction in time of pandemic / rewritten by DailySocial

Similar to QRIS, other players and industries in the digital financial ecosystem are also experiencing positive growth due to the pandemic. As Fili said at the webinar, the growth of the digital financial ecosystem (EKD) this year is projected to continue to increase.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Digital Finance Ecosystem (EKD) projection in 2021 / Bank Indonesia

Adoption and Challenges

Considering its premature stage, QRIS’s adoption progress has not been massive. Many consumers find it difficult to use it, especially with today’s society limitations. It is visible from a small survey, involving 65 respondents, conducted online by DailySocial in August 2021.

This survey may not be able to represent the major issues in the field, but respondents provide interesting perspectives as a room for improvement to the stakeholders involved.

First, the transaction challenges using QRIS. Based on respondents’ answers, as many as 65.6% admitted that many merchants are yet to provide QRIS option. Furthermore, around 55.7% said that internet connection may hamper the transactions, and 29.5% of respondents said that the QRIS has a relatively long scanning process.

An interesting fact is that several respondents highlighted how some merchants only used QRIS as a display. They said there are some merchants that provide QRIS, but the cashiers rarely offer it to consumers as they are not familiar with it.

Meanwhile, some respondents admitted that they are not interested in trying QRIS because of its limited availability (60.9%), consumers do not know how to use it (17.4%), the feature is yet to available on the device (13%), and cashiers rarely offer payments with QRIS (4.3%).

From business players perspective, BI has applied some relaxation to the policies to reduce burden on its implementation. Quoting Kontan, BI announced the transaction fee or merchant discount rate (MDR) borne by partners/merchants will be 0.7%. Using QR only costs IDR 35 thousand for one QR code at each merchant.

Merchant expansion

The Covid-19 pandemic has had a positive impact on Indonesia’s digital financial ecosystem. However, the government and stakeholders should ideally not make this a temporary golden moment. There should be bigger room for improvement, therefore, QRIS adoption can consistently increase until the post-Covid era. Moreover, some people are getting used to the digital payment transition,

The remaining information, many respondents expected the QRIS adoption could be expanded and not limited to food and beverage transactions. As many as 87.3% of respondents expect QRIS to be used on street stalls, 81% in markets, 76.2% for government services, and 68.3% for public transportation.

The government also needs to explore how to maximize the QRIS adoption and whether social restriction policy is to continue. With the social restriction in public places, such as shopping centers, how do people suppose to use QRIS while many merchants are not operating. Except for food delivery orders.

As reported by Bisnis, BCA experienced a decline in physical transactions, which affected services using the QRIS method. Meanwhile, based on our respondents’ answers, they began to use QRIS less frequently since the social restriction for the last few months. As many as 20% of respondents admitted that they only make transactions once in 3 months and 2-3 times per month. A total of 16.7% said that they use QRIS for transactions about 2-3 times per week.

DailySocial seeks for Bank Indonesia’s comment regarding the related issues, but no further statement has been made to this point. BI has actually updated the policy on using QRIS by increasing the transaction limit from Rp2 million to Rp5 million.

Soon, BI is to release a Customer Presented Mode feature where merchants perform scans. However, is this enough? The government should not waste the momentum with the current digital acceleration and changes in consumer behavior.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dua Tahun QRIS: Adopsi di Tengah Akselerasi Keuangan Digital Indonesia

Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan total transaksi pembayaran dengan metode QRIS meningkat pesat selama satu tahun terakhir. Nilai transaksi QRIS mencapai sebesar Rp9 triliun di semester I 2021 atau melesat 214% dibandingkan periode sama tahun lalu. Total merchant yang menggunakan QRIS juga naik menjadi 8,2 juta. Setidaknya, ada penambahan sekitar 3 juta dari 6 juta merchant di akhir 2020.

Dalam sebuah webinar Digi X yang digelar Infobank, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta mengungkapkan, pandemi Covid-19 memberikan efek booster luar biasa terhadap percepatan keuangan digital di Indonesia. Selain faktor peralihan perilaku konsumen ke digital, akselerasi ini terbantu kolaborasi para pelaku di ekosistem digital di sektor bank dan non-bank yang semakin erat.

“Dalam waktu dekat, kami juga akan segera meluncurkan fitur Customer Presented Mode karena sekarang kita baru ada Merchant Presented Mode. Kami juga sedang piloting transaksi QRIS untuk cross border, baik inbound maupun dan outbound,” ungkap wanita yang karib disapa Fili ini.

Dengan pencapaian yang tidak terduga ini, bagaimana asa implementasi QRIS ke depan di situasi saat ini, dan apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong adopsinya?

Tentang QRIS

QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari lima inisiatif besar yang dicanangkan Bank Indonesia untuk menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.

Menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 / Bank Indonesia

QRIS dikembangkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menggabungkan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menjadi satu QR Code. Sebagai sistem pembayaran digital, QRIS dirancang sebagai Standar QR Code untuk aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet digital, dan mobile banking.

Secara teknis, QRIS tersedia dalam dua jenis. Pertama, dalam format statis (media cetak/stiker, QR Code sama setiap transaksi, QR Code belum ada nominal sehingga input manual). Kedua, dinamis (QR Code lewat struk yang dicetak mesin EDC/tampil di monitor, QR Code selalu berbeda tiap transaksi, QR Code punya nominal pembayaran).

Masyarakat dapat membayar transaksi di merchant dengan satu QR Code untuk semua platform. Skenarionya begini, apabila Anda tidak bisa membeli minuman karena merchant terkait tidak menerima opsi pembayaran Anda, QRIS akan memampukan merchant untuk menerima setiap pembayaran dari setiap platform. Tidak perlu lagi satu mesin EDC untuk satu platform. QRIS memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembayaran apapun platformnya dengan satu QR Code.

Lalu, mengapa kita memerlukan QRIS? Teknologi ini dapat memperluas akseptasi pembayaran nontunai nasional secara lebih efisien. Melalui penggunaan satu standar QR Code, penyedia barang dan jasa tidak perlu memiliki berbagai jenis QR Code dari penerbit yang berbeda.

Jauh sebelum QRIS diluncurkan, sebetulnya pemerintah sudah menerapkan QR Code sebagai alat pembayaran sejak paruh 2015. Namun, saat itu PJSP masih menggunakan QR secara eksklusif. Dengan pertumbuhan penetrasi smartphone dan peluang untuk membantu segmen unbanked dan underbanked, BI memutuskan melakukan standardisasi QR Code.

Alasan lainnya adalah BI melihat contoh keberhasilan tinggi pada QR sebagai alat pembayaran di beberapa negara, yaitu Tiongkok melalui Alipay dan WeChatPay, serta India lewat PayTm dan BharatQR.

Dua tahun berselang peluncuran resminya, QRIS menuai pencapaian positif–sebagian besar terbantu karena pandemi. Berdasarkan data BI, volume transaksi QRIS naik 247% di kuartal kedua 2021 menjadi 83,85 juta transaksi. Sementara, nilai transaksinya meroket 336% menjadi Rp5,59 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu.

BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial
BI mencatat kenaikan transaksi QRIS di masa pandemi / Diolah kembali oleh DailySocial

Sama halnya seperti QRIS, pelaku dan industri di ekosistem keuangan digital lainnya juga mengalami pertumbuhan positif dikarenakan pandemi. Sebagaimana disampaikan Fili pada webinar tersebut, pertumbuhan ekosistem keuangan digital (EKD) di tahun ini diproyeksi terus meningkat.

Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia
Proyeksi Ekosistem Keuangan Digital (EKD) 2021 / Bank Indonesia

Adopsi dan tantangan

Mengingat QRIS masih seumur jagung, progress adopsinya pun belum masif. Konsumen banyak menemui kesulitan dalam penggunaannya, terlebih dengan batasan ruang gerak masyarakat saat ini. Hal ini diketahui dari survei kecil, yang melibatkan 65 responden, yang dilakukan DailySocial di bulan Agustus 2021 secara online.

Survei ini mungkin memang belum dapat mewakili mayoritas isu yang ada di lapangan, namun responden memberikan perspektif menarik yang sebetulnya dapat menjadi ruang perbaikan bagi pemangku kepentingan yang terlibat.

Pertama, tantangan ketika bertransaksi dengan QRIS. Menurut responden, sebanyak 65,6% responden mengaku banyak merchant belum mengadopsi QRIS. Kemudian, sekitar 55,7% menilai koneksi internet mempersulit transaksi, dan 29,5% responden menyebut proses scan QRIS relatif lama.

Yang cukup menarik adalah beberapa responden menyoroti bagaimana merchant yang mereka temui hanya menjadikan QRIS sebagai pajangan. Mereka menilai, ada merchant yang telah mengaktifkan QRIS, tetapi kasir jarang menawarkan kepada konsumen karena tidak tahu cara menggunakannya.

Sementara itu, sebagian responden mengaku belum berminat menjajal QRIS karena ketersediaan QRIS di merchant terbatas (60,9%), konsumen tidak tahu cara menggunakannya (17,4%), fitur belum tersedia di perangkat (13%), dan kasir jarang menawarkan pembayaran dengan QRIS (4,3%).

Dari sudut pandang pelaku usaha, sebetulnya BI sudah melonggarkan kebijakan agar tidak memberatkan impelementasinya. Mengutip Kontan, BI menetapkan biaya transaksi atau merchant discount rate (MDR) yang ditanggung oleh mitra/merchant hanya 0,7%. Menggunakan QR hanya mengeluarkan biaya Rp35 ribu untuk satu kode QR di setiap merchant.

Perluasan merchant

Pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap ekosistem keuangan digital Indonesia. Akan tetapi, pemerintah dan para pemangku kepentingan idealnya jangan menjadikan ini sebagai momentum emas sementara. Perlu ada ruang perbaikan lebih agar adopsi QRIS dapat meningkat secara konsisten hingga sampai era pasca-Covid nanti. Apalagi, mumpung sebagian masyarakat sudah mulai terbiasa dengan transisi pembayaran digital,

Masih dari survei yang kami lakukan, banyak responden berharap adopsi QRIS dapat diperluas penggunaannya dan tidak terbatas pada transaksi makanan dan minuman saja. Sebanyak 87,3% responden mengharapkan QRIS dapat digunakan pada pedagang kaki lima, 81% di pasar, 76,2% layanan pemerintah, dan 68,3% untuk transportasi publik.

Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana memaksimalkan adopsi QRIS apabila pembatasan sosial masih akan terus berlanjut. Dengan pengetatan aktivitas di tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, bagaimana memberlakukan QRIS apabila merchant saja sudah banyak yang tidak beroperasi. Kecuali untuk pemesanan food delivery.

Sebagaimana diberitakan Bisnis, BCA sempat mengalami penurunan transaksi fisik sehingga memengaruhi layanan dengan metode QRIS. Sementara, menurut responden kami, mereka mulai jarang menggunakan QRIS dengan pengetatan aktivitas beberapa bulan terakhir. Sebanyak 20% responden mengaku masing-masing hanya bertransaksi 1 kali dalam 3 bulan ke atas dan 2-3 kali per bulan. Sebanyak 16,7% menyebut bertransaksi QRIS sekitar 2-3 kali per minggu.

DailySocial sempat mencoba meminta tanggapan Bank Indonesia terkait isu-isu di atas, tetapi belum ada pernyataan lebih lanjut. BI sebetulnya sudah memperbarui kebijakan penggunaan QRIS dengan menaikkan limit transaksi dari Rp2 juta menjadi Rp5 juta.

Dalam waktu dekat, BI juga akan merilis fitur Customer Presented Mode di mana merchant yang melakukan scan. Namun apakah ini sudah cukup? Pemerintah diharapkan tidak sampai kehilangan momentum dengan gejolak akselerasi digital dan perubahan perilaku konsumen saat ini.

Aplikasi Pencatat Keuangan “Moni” Debut, Didukung Achmad Zaky sebagai Investor

Memanfaatkan sumber data yang relevan, platform pencatatan keuangan gaya hidup “Moni” resmi meluncur. Didirikan oleh Ahmad Faiz Nasshor, alumni University of Manchester sekaligus ex-Product Manager Bukalapak, beserta dengan beberapa rekan yang mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan unicorn, aplikasi tersebut ingin memberikan kemudahan masyarakat untuk mengelola keuangan.

Versi awal Moni memanfaatkan data dari notifikasi aplikasi dan email — terkait transaksi keuangan. Misalnya pengguna melakukan transaksi di Tokopedia, beli makanan di GrabFood, dan transfer uang melalui Bank Jago, Moni akan mencatat semua transaksi tersebut secara otomatis. Saat ini Moni telah terintegrasi dengan lebih dari 15 produk aplikasi; di akhir tahun nanti targetnya bisa mencapai hingga minimal 25 produk.

“Berbagai macam sumber data yang tersedia diharapkan bisa membantu mencapai visi Moni untuk menjadikan pengelolaan keuangan pribadi menjadi hal yang mudah dan menyenangkan. Ke depannya, Moni bisa menjadi one-stop solution untuk segala topik terkait dengan pengelolaan keuangan pribadi dan pencatatan otomatis merupakan fondasi untuk mencapai impian tersebut,” kata Faiz.

Setelah menerima pendanaan dari angel investor Achmad Zaky, ke depannya Moni juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahap lanjutan. Saat ini perusahaan masih melakukan penjajakan dengan beberapa investor.

“Ada banyak sekali rencana yang ingin kami capai pada tahun ini, namun secara umum target kami adalah membuat proses pencatatan otomatis Moni menjadi lebih akurat dan mendukung lebih banyak produk,” kata Faiz.

Keunggulan fitur

Untuk saat ini Moni belum melancarkan strategi monetisasi dalam platform. Fokus mereka adalah membuat produk untuk menyelesaikan permasalahan yang dimiliki oleh 60 juta milenial dan middle-class di Indonesia dalam hal pengelolaan keuangan pribadi.

“Ke depannya perusahaan telah mengidentifikasi beberapa potential revenue stream. Salah satunya adalah adanya premium member yang akan memberikan benefit khusus untuk pengguna Moni dalam hal fitur ataupun program lainnya,” kata Faiz.

Berbeda dengan platform serupa lainya, Moni fokus pada pencatatan otomatis gratis. Sebagian besar aplikasi pencatatan keuangan yang tersedia saat ini tidak menyediakan pencatatan secara otomatis.

Moni juga mengedepankan cita rasa lokal. Dari aplikasi yang menyediakan pencatatan otomatis, hanya sedikit sekali integrasi dengan produk lokal. Padahal saat ini di Indonesia telah memiliki banyak sekali produk keuangan baru seperti GoPay dan OVO.

“Variasi sumber data yang digunakan akan membuat data yang dapat disediakan oleh Moni menjadi semakin lengkap. Ke depannya kami akan terus mencari sumber data baru yang digunakan untuk membuat pencatatan otomatis yang dimiliki oleh Moni menjadi semakin akurat,” kata Faiz.

Hingga saat ini sudah ada ribuan pengguna yang terdaftar di Moni dengan growth yang diklaim cukup tinggi. Setelah meluncurkan fitur integrasi dengan email pada akhir Mei 2021, jumlah pengguna baru yang terdaftar naik hingga 3x per bulannya dengan peningkatan jumlah transaksi yang tercatat lebih dari 10x. Hal ini karena dengan adanya integrasi email, Moni bisa mencatat transaksi otomatis dari lebih dari 15 produk yang biasa digunakan pengguna, mulai dari e-commerce hingga ojek online.

“Saat ini Moni baru tersedia dalam versi Android, namun kami sudah memiliki rencana untuk mengembangkan versi iOS. Moni saat ini sudah tersedia di Play Store dan bisa di-download secara bebas,” kata Faiz.

Pandemi dorong pertumbuhan transaksi online

Pandemi memiliki dampak yang signifikan terhadap bisnis Moni. Salah satunya adalah, semakin banyak orang yang mengalihkan transaksinya dari offline menjadi online, termasuk pergeseran mode pembayaran dari tunai menjadi QRIS yang semakin meningkat. Bank Indonesia mencatat tahun 2020 lalu, pertumbuhan penggunaannya semakin meningkat.

Pertumbuhan penggunaan QRIS tahun 2020 / Sumber : Bank Indonesia
Nilai Transaksi Uang Elektronik / Sumber : Katadata

Data dari BI juga mencatatkan kenaikan transaksi digital yang mencapai 201 triliun Rupiah di tahun 2020, naik 38,62% dari 192 triliun Rupiah pada tahun 2019. Perubahan behaviour dari masyarakat tersebut berdampak positif terhadap platform seperti Moni, karena pencatatan otomatis hanya bisa dilakukan dari transaksi yang dilakukan secara digital.

Tercatat juga dengan penggunaan uang elektronik yang jumlah transaksinya mencapai 24 triliun Rupiah selama Juni 2021, naik 60% dibandingkan periode yang sama di tahun 2020.

“Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan Moni sebagai aplikasi pengelolaan keuangan pribadi saat ini menjadi semakin relevan seiring dengan meningkatnya kebutuhan dari masyarakat,” kata Faiz.

Kenaikan adopsi pembayaran digital Indonesia / Sumber : The Asian Banker

Meningkatnya transaksi pembayaran digital mencerminkan perkembangan literasi keuangan digital penduduk Indonesia. Hal ini juga menunjukkan meningkatnya penerimaan layanan fintech dan e-commerce di tanah air. BI memperkirakan bahwa penyerapan transaksi digital akan berlanjut dengan e-commerce dan pembayaran elektronik masing-masing tumbuh 33,2% dan 32,3% pada tahun 2021.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Bank OCBC NISP untuk Penetrasi Produk Dompet Digital ONe Wallet

Bank OCBC NISP meramaikan percaturan layanan dompet digital dengan meluncurkan ONe Wallet. Dengan didapatnya izin dari Bank Indonesia awal Maret 2020 lalu, mereka siap bertransformasi dengan mengadopsi teknologi digital dan memanjakan para nasabahnya dengan berbagai fitur.

Pihak OCBC NISP menjelaskan kehadiran dari ONe Wallet ini sejalan dengan strategi mereka “Beyond Traditional Banking” untuk terus bertransformasi dan berinovasi.

“ONe Wallet akan kami fokuskan untuk memberi kemudahan dan kenyamanan layanan untuk nasabah payroll khususnya pada sektor riil dengan penghasilan pada kisaran UMR. Upaya ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mendorong Gerakan Nasional Non Tunai dan meningkatkan inklusi keuangan Indonesia,” papar Head of Strategy and Innovation Bank OCBC NISP Ka Jit.

Ka Jit melanjutkan bahwa ada beberapa fitur atau layanan yang menjadi unggulan dari ONe Wallet ini, antara lain terintegrasi dengan fitur perbankan korporasi untuk pendistribusian gaji karyawan, fitur transaksi sehari-hari, tarik tunai di ATM Bank OCBC NISP dan selanjutnya akan terintegrasi dengan 400 ribu merchant dan aplikasi ONe Mobile.

Siasat di tengah persaingan dompet digital

Untuk informasi, di tahun 2020 hingga saat ini BI sudah mengeluarkan izin untuk 4 penyelenggara uang atau dompet elektronik. Selain ONe Wallet juga ada AstraPay, YourPay, dan Eidupay.

Daftar penyedia dompet digital dan uang elektronik ini bisa saja semakin bertambah. Tapi pilihan masyarakat tetap akan berdasarkan pada daya guna dan kemudahan askes dari layanan tersebut.

Layanan dompet digital juga mulai akrab dengan keseharian masyarakatnya. Integrasi dengan berbagai macam merchant dan sistem membuat dompet digital menjadi pilihan banyak orang. Beberapa nama yang cukup tenar saat ini adalah GoPay, Ovo, Dana, dan LinkAja.

Dompet digital seolah menjadi salah satu teknologi yang mulai jadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Selain karena kemudahan yang ditawarkan juga karena integrasi dan penawaran yang beragam bisa menyajikan pilihan terbaik bagi para penggunanya.

Berlomba-lomba di ranah integrasi, inovasi, dan juga penawaran untuk akuisisi pengguna tak terelakkan lagi. Mau tidak mau, sebagai salah satu pemain baru ONe Wallet harus bergegas, baik dalam hal integrasi maupun memperkaya fitur. Salah satu yang sudah masuk dalam rencana besar ONe Wallet adalah terintegrasi dengan ONe Mobile dan juga terhubung dengan produk-produk finansial lainnya dari OCBC NISP.

“Sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, Bank OCBC NISP pun akan segera meluncurkan secara resmi dan terus mengembangkan fitur-fitur ONe Wallet, di antaranya pembayaran melalui QRIS dan penambahan variasi pembayaran tagihan yang dapat dilakukan melalui aplikasi ONe Wallet. Bank juga akan mengintegrasikan layanan ONe Wallet dengan One Mobile sehingga lebih maksimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia,” jelas Ka Jit.

Application Information Will Show Up Here

Potensi Perluasan “Cashless Society” di Indonesia

Sejak tahun 2017 lalu, lebih dari tiga perempat masyarakat Tiongkok menggunakan pembayaran digital dan jumlahnya terus meningkat dengan cepat. Dukungan infrastruktur, teknologi, dan penetrasi internet yang meluas menjadikan negara Tirai Bambu tersebut sebagai cashless society paling terdepan secara global.

Tidak hanya pembayaran nontunai, Tiongkok juga sudah menjadi negara di Asia yang mengalami pertumbuhan paling agresif dalam hal pembayaran peer-to-peer, di mana penggunanya bisa saling melakukan pembayaran menggunakan teks. Menurut laporan Worldpay, hampir dua pertiga penjualan online dan lebih dari sepertiga pembayaran di toko ritel dilakukan melalui operator mobile dompet elektronik terkemuka, termasuk Alipay dan WeChat Pay.

Posisi Indonesia saat ini

Meluasnya cashless society di Tiongkok, yang sudah memasuki kota tier 3 dan 4, menjadi motivasi tersendiri bagi Indonesia, yang memiliki program Strategi Nasional Keuangan Inklusif, untuk mengikuti jejaknya.

Pemerintah berupaya memfasilitasi perluasan kehadiran cashless society dengan dua cara. Pertama perluasan infrastruktur konektivitas hingga ke pelosok melalui peluncuran Palapa Ring, sebuah proyek infrastruktur telekomunikasi di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.

Dukungan lain adalah peluncuran QR Code Indonesian Standard (QRIS) ke publik. Resmi diterbitkan bulan Agustus 2019 lalu, QRIS yang berlaku per tahun 2020 diharapkan menghadirkan efisiensi lalu lintas transaksi menggunakan uang elektronik dan perangkat digital lain yang mengadopsi kode QR.

Menurut pihak Ovo dan Dana, dua tantangan untuk memperluas adopsi penggunakan layanan nontunai adalah infrastruktur dan edukasi. Hal kedua ini terkait kebiasaan penggunaan uang tunai yang sudah membudaya.

“Mengapa pada akhirnya kita lebih fokus kepada kota-kota di tier 1, karena lokasinya yang lebih luas juga kesiapan masyarakat di kawasan tersebut untuk mulai mengadopsi pembayaran nontunai untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga memudahkan kami untuk menjangkau mereka, meskipun misi kami tentunya bisa hadir secara nasional,” ujar CEO Dana Vincent Iswara.

Sudah stabilnya konektivitas internet yang didukung rutinitas setiap hari yang membutuhkan akses ke skema nontunai menjadikan Jabodetabek paling ideal sebagai pilot project berbagai layanan nontunai.

“Di Ovo sendiri hingga saat ini kami sudah berada di 354 kota termasuk kota-kota di Papua seperti Nabire dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa dengan penyebaran informasi yang merata dan edukasi yang masif, memungkinkan inklusi finansial terjadi di kota-kota tersebut,” kata Managing Director Ovo Harianto Gunawan kepada DailySocial.

CEO Investree Adrian Gunadi berpendapat, “Tantangan untuk bisa menyebarkan adopsi cashless society ke mereka adalah edukasi. Setidaknya untuk tahapan awal edukasi wajib untuk diberikan. Edukasi tersebut bisa dilakukan dengan cara menjalin kerja sama dengan komunitas desa, lembaga keuangan yang mungkin sudah tersebar ke pelosok desa tersebut yang bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan perluasan edukasi,”

Ia menambahkan, mulai maraknya startup yang menjangkau pedesaan dan menawarkan pembiayaan dan konsultasi untuk meningkatkan hasil lahan pertanian, paling tidak bisa dimanfaatkan oleh pihak terkait untuk mempelajari data agar semua bisa terukur dengan baik.

“Dengan kehadiran dan strategi yang dilancarkan oleh pemain fintech tentunya akan bisa men-leverage dari infrastruktur tersebut. Tidak hanya kota-kota besar tapi juga pedesaan sehingga ekonomi bisa meningkat sesuai dengan komitmen awal kami sebagai pemain fintech meng-cater masyarakat yang masih underserved dan unbanked dengan tujuan mengakselerasi pertumbuhan,” kata Adrian.

QRIS mendorong cashless society

Bank Indonesia menciptakan QRIS untuk menyederhanakan sistem pembayaran menggunakan QR Code di seluruh Indonesia. QRIS berfungsi mendukung pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, atau mobile banking. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, QRIS akan menjadi standar QR Code tunggal yang berlaku di seluruh Indonesia.

Adanya QRIS, menurut penyedia layanan dompet digital seperti Ovo dan Dana, dipercaya bisa mempercepat penyebaran cashless society di Indonesia secara merata. Harianto menegaskan, diterbitkannya QRIS secara efisien bisa menjadi leapfrog untuk mempercepat pemerataan inklusi finansial.

Harianto melihat jika semua berjalan secara bersama (perbankan, fintech lending, penyedia dompet digital) dan saling mendukung proses yang ada tentunya bisa terintegrasi. Bukan hanya memudahkan proses, transaksi kode QR dinamis tergolong lebih aman, karena mesin EDC menghasilkan kode QR yang unik. Sementara melalui kode QR statis cenderung riskan.

“Untuk itu saya menyambut baik jika semua kalangan mulai dari perbankan hingga sesama pemain untuk bekerja bersama dan saling melakukan kolaborasi demi terciptanya sinergi dan integrasi yang terpadu. Jika tujuan akhir adalah mempercepat pemerataan inklusi finansial, kolaborasi harus tercipta,” kata Harianto.

Vincent menambahkan, sudah waktunya para pemain untuk tidak melulu fokus ke strategi untuk meraup market share, tetapi lebih ke kerja sama dan tumbuh bersama.

Cashless society di masa mendatang

Dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi Tiongkok untuk bisa menjadi negara cashless society terbesar di Asia. Jika kita berandai-andai apakah nantinya Indonesia bisa memasuki fase tersebut, baik Ovo, Dana, maupun Investree melihat potensi yang ada cukup positif.

“Kita lihat saja saat ini Indonesia termasuk yang paling cepat mengadopsi kebiasaan melakukan pembayaran nontunai. Didukung dengan makin seamless-nya teknologi yang ditawarkan oleh kami sebagai penyedia layanan dan berkembangnya ekosistem pendukung, saya melihat bukan tidak mungkin Indonesia akan bisa menjadi negara dengan cashless society yang besar jumlahnya,” kata Harianto.

Hal senada juga diungkapkan Vincent. Menurutnya, dengan teknologi yang relevan dan dukungan pihak perbankan yang melihat penyedia layanan uang elektronik sebagai kolaborator, bisa mempercepat penyebaran cashless society yang lebih merata.

“Pekerjaan rumah yang masih menjadi beban bagi kami adalah bagaimana bisa meyakinkan masyarakat lebih banyak lagi untuk terbiasa melakukan pembayaran secara nontunai. Saya melihat di kota tier 1 dan 2 saja ada beberapa di antara mereka yang masih enggan untuk mengunduh aplikasi Dana untuk melakukan pembayaran secara nontunai, meskipun sudah kami dampingi saat acara-acara offline. Artinya masih ada mindset di antara mereka yang enggan untuk mencoba,” kata Vincent.