majoo Mulai Bidik Usaha Skala Besar Lewat Layanan “Prime Plus”

Startup SaaS majoo meluncurkan majoo Prime Plus, yang telah disempurnakan dari produk sebelumnya, majoo Prime. majoo Prime Plus dikhususkan untuk usaha skala besar yang membutuhkan fitur automasi premium yang lebih lengkap untuk memudahkan operasional bisnis dalam satu sistem terintegrasi.

“majoo selalu mendengarkan masukan dari pelanggan kami. Untuk itu, kami berkomitmen untuk terus menyesuaikan produk majoo dengan kebutuhan mereka. majoo Prime Plus adalah bukti nyata dari dedikasi kami untuk memberikan solusi terbaik bagi pebisnis di Indonesia,” ucap Founder dan CEO majoo Adi Wahyu Rahadi dalam keterangan resmi, Jumat (22/12).

Dia menerangkan majoo Prime Plus memiliki serangkaian fitur yang mencakup seluruh operasional bisnis yang berfokus pada usaha skala besar. Produk ini mengintegrasikan fitur penjualan, keuangan, karyawan, penggajian, warehouse, dan work-flow. Di tambah dengan fitur majoo yang sudah hadir sebelumnya, seperti kasir online, akuntansi, inventori, aplikasi owner, analisis bisnis, aplikasi CRM, manajemen karyawan, dan toko online.

Perbedaan signifikan dari produk sebelumnya, majoo Prime, terletak pada fitur yang lebih lengkap. Salah satunya, pencatatan data pelanggan yang dapat disesuaikan untuk berbagai jenis bisnis. Majoo Prime baru diperkenalkan sejak Agustus 2023.

Dicontohkan, pemilik pet shop dapat menambahkan formulir untuk mencatat nama kucing, riwayat vaksin, dan riwayat penyakit. Sementara itu, untuk pemilik bengkel dapat mencatatkan formulir untuk mencatat tipe mobil, nomor polisi, serta jenis treatment atau reparasi yang dilakukan.

Terdapat berbagai paket jenis bisnis yang dapat digunakan oleh berbagai jenis industri, meliputi:

  • Majoo Prime F&B+: memungkinkan pengaturan layout meja di restoran atau kafe sesuai keinginan, dengan fitur yang lebih lengkap dan terintegrasi.
  • Majoo Prime Retail+: memudahkan pengelolaan status pesanan dan produk inventori di warehouse, dengan fitur yang lebih lengkap dan terintegrasi.
  • Majoo Prime Jasa+: mengelola riwayat transaksi dan data kepemilikan serta aktivitas pelanggan dengan fitur lebih lengkap dan terintegrasi.
  • Majoo Prime Beauty+: solusi komprehensif untuk bisnis kecantikan, dengan fitur medical record, histori transaksi, dan flow reservasi pelanggan yang terintegrasi dengan sistem treatment record, membership, dan compare report (acccounting).

“Kami berharap melalui produk majoo Prime Plus dapat menjadi mitra yang efektif bagi bisnis skala besar, membantu meningkatkan efisiensi operasional mereka, dan memberikan pengalaman yang lebih baik kepada pelanggan,” pungkasnya.

Perkembangan majoo

Sejak awal berdiri di 2019, majoo berkomitmennya untuk mendorong UMKM terdigitalisasi. Dalam data internalnya, sebanyak 80% UMKM pertama kali mengenal teknologi digital berkat peran sentral yang dihadirkan majoo. “Ini adalah bukti nyata bagaimana majoo telah menjadi mitra setia bagi para wirausaha dalam menjawab digitalisasi,” kata Adi, dikutip terpisah dari situs perusahaan.

Memasuki tahun ke-4, perusahaan menghadirkan peningkatan User Interface (UI) dan User Experience (UX) melalui riset kepada pengguna majoo sebelumnya, sehingga tampilan menjadi lebih modern. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan user experience, mempercepat proses operasional, serta penggunaan yang lebih efisien.

“Selama berjalannya empat tahun majoo, kami selalu mendengarkan masukan dari para wirausaha untuk tetap relevan dengan perubahan perilaku konsumennya. Untuk itu, kami harap langkah ini dapat mempermudah mereka dalam mengelola bisnisnya,” tambah Adi.

Bersamaan dengan itu, perusahaan memperkenalkan majoowira, program akselerasi bisnis yang dilaksanakan secara rutin. Diharapkan program ini dapat mendorong para wirausaha dapat terus bertumbuh dan menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat luas.

Dalam data terbaru, sebanyak lebih dari 1.200 pembaca panduan berbisnis melalui program majoowira, lebih dari 8 ribu jam kelas mentoring bisnis diberikan, dan lebih dari Rp200 miliar dana diberikan untuk UMKM terpilih sebagai modal tambahan mengembangkan usaha.

Pada Oktober kemarin, perusahaan merilis aplikasi majoolite untuk mendukung UMKM pemula dalam beralih ke digitalisasi dengan mudah dan efisien. Aplikasi ini menawarkan berbagai fitur yang memungkinkan UMKM mencatat penjualan, keuangan, pembayaran digital, dan penjualan online dengan mudah.

Berbeda dengan produk majoo sebelumnya, yaitu paket Starter, Advance dan Prime yang dikenakan biaya bulanan, UMKM dapat menggunakan aplikasi ini secara gratis. Mereka hanya perlu menyisihkan dana sebesar Rp25.000 per bulan untuk menyimpan data transaksi mereka.

Aplikasi ini dapat digunakan oleh berbagai jenis usaha, mulai dari warung kopi, warung makan, toko kelontong, toko buah, toko buku, toko baju hingga mereka para profesional yang menyediakan jasa seperti illustrator, nail-artist, penata rambut dan lainnya.

Sepanjang tahun ini, solusi majoo diklaim telah digunakan oleh lebih dari 45 ribu pengguna (majoopreneurs) yang tersebar di 600 kota di Indonesia. Sebanyak 540 ribu lapangan pekerjaan informal telah tercipta dari bisnis yang dikelola oleh majoopreneurs. Disampaikan lebih lanjut, majoo 4 kali cepat dalam mendigitalisasi UMKM dibandingkan perusahaan lain di industri yang sama.

Application Information Will Show Up Here

Setelah Malaysia, TransTRACK Segera Masuk Singapura Jelang Akhir 2023

Startup fleet tech enabler TransTRACK segera ekspansi ke Singapura. Bila tidak ada aral melintang, peresmiannya akan dilakukan pada bulan Desember ini. Ekspansi dilakukan dalam rangka memperluas solusi digitalisasi operasional armada kendaraan untuk berbagai industri.

“Terdekat adalah Singapura, harapannya akhir tahun ini bisa start karena company-nya [Indo Trans Teknologi Pte. Ltd.] di sana sudah ada, tinggal operation-nya saja,” ucap Founder dan CEO TransTRACK Anggia Meisesari saat media briefing, kemarin (22/11).

Sebelumnya, pada Maret ini, perusahaan telah melebarkan sayapnya ke Malaysia, bermitra dengan Northport, salah satu pelabuhan serba guna terbesar skala nasional yang menangani berbagai macam kargo dan kontainer untuk segala jenis dan ukuran pengiriman. “Kami ditunjuk untuk menangani logistik halal di sana.”

Anggia menuturkan ekspansi ini tidak berhenti di dua negara saja. Negara lainnya yang sedang dibidik pada tahun selanjutnya adalah Thailand, Vietnam, dan Australia. Kendati begitu, ia memastikan fokus utama perusahaan tetap Indonesia karena layanannya belum menjangkau kota lapis dua dan tiga.

“Australia bonus saja, kalau sudah dirasa sudah oke baru kita masuk, karena kita sudah ada partner yang sudah market research untuk kita. Di sana banyak pemain logistik besar dan mining.”

Sejak berdiri di 2019, TransTRACK telah menjangkau lebih dari 90 kota di Indonesia dan 25 kota di Malaysia, serta melayani lebih dari 900 klien dengan mengelola 100 ribu unit kendaraan. Para klien ini mayoritas berasal dari industri logistik dan transportasi umum, sisanya jasa keuangan, F&B, penyewaan kendaraan & alat berat, manufaktur dan jasa, dealer, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan pelabuhan.

Seluruh bisnis perusahaan berasal dari klien B2B dengan model monetisasi berlangganan minimal 12 bulan, bahkan ada yang sampai 60 bulan. Churt rate juga terbilang mini, hanya 0,27%. Anggia menjelaskan, kecilnya churn rate ini dilatarbelakangi oleh pelayanan perusahaan yang optimal terhadap klien. Makanya banyak yang terus melanjutkan langganannya hingga kini.

“Biasanya yang tidak lanjut [langganan] karena ada klien sedang efisiensi sehingga ada unit kendaraannya yang dijual.”

Menurutnya, dengan model bisnis sepert ini struktur keuangan TransTRACK terbilang sehat karena capai EBITDA positif sejak tahun lalu. Kendati tidak disebutkan spesifiknya dalam bentuk nominal.

Produk TransTRACK

TransTRACK Experience Center / TransTRACK

TransTRACK memosisikan dirinya berbeda dengan startup teknologi lainnya yang bergerak di bidang logistik, seperti Waresix, Logisly, dan sebagainya. Lantaran solusi yang dihadirkan menyeluruh dan tidak untuk industri logistik saja. Sebanyak dua solusi dihadirkan saat ini, Fleet Operation Optimizer dan Supply Chain Integrator.

“Banyak pemain yang solusinya partial, sementara kami end-to-end. Beberapa malah ada yang jadi klien kami,” tambah Anggia.

Melalui solusi Fleet Operation Optimizer, TransTRACK menyediakan Fleet Telematics sebagai pengendali armada, kargo dan pengemudi; Vehicle Maintenance System untuk mengendalikan proses pemeliharaan kendaraan; dan Truck Appointment System untuk mengurangi antrian truk serta mempercepat proses loading/unloading.

Sedangkan, melalui Supply Chain Integrator, TranTRACK menyediakan platform integrasi dan ekosistem rantai pasok yang dapat membantu pemilik kargo, operator armada, dan perusahaan third-party logistics (3PL) mengoptimalkan bisnisnya. Dalam platform ini, TransTRACK juga membantu penyediaan asuransi barang dan pembiayaan.

Terdapat produk software dan hardware dalam solusi tersebut. Dirinci lebih jauh, untuk produk hardware, meliputi GPS Tracker, Hybrid GPS Tracker, personal tracker, E-Seal, 360 Camera, Advanced Driver Assistance Systems (ADAS), Driver Management System (DMS), Fuel Stabilizer, dan Adaptive Gateway.

Sementara, produk software berbentuk SaaS yang dikembangkan perusahaan di antaranya Transportation Management System (TMS). TMS ini digunakan untuk mendigitalisasi operasi bisnis armada transportasi dalam satu sistem. Klien dapat mengelola kesehatan dan kondisi kendaraan maupun bisnis transportasi dan logistikmu, mulai dari manajemen pemesanan dan perencanaan, hingga pencatatan kasir dan sistem penagihan billing.

TMS juga sediakan, pemantauan manajemen armada transportasi, mengontrol pemeliharaan kendaraan, meningkatkan utilitas dan keamanan armada, manajemen dan perencanaan bisnis, manajemen vendor, dan pengiriman.

TransTRACK Experience Center / TransTRACK

Dalam rangka menjangkau lebih banyak calon klien/mitra bisnis baru, perusahaan menghadirkan TransTRACK Experience Center yang bertempat di kantor pusat TransTRACK di Menari 165 Lantai 6, Jakarta Selatan. Di sana, calon pengguna dapat merasakan langsung teknologi berbasis IoT dan AI yang dibangun perusahaan dan bagaimana teknologi tersebut dapat digunakan di berbagai industri.

Selain melihat produk software dan hardware, disediakan pula Cockpit Simulator yang memungkinkan pengunjung untuk memiliki pengalaman berkendara dengan truk besar dan mencoba fitur-fitur secara real-time melalui simulator interaktif.

Co-Founder dan CTO TransTRACK Aris Pujud Kurniawan menyampaikan simulator ini menyediakan berbagai skenario yang mungkin terjadi dalam pengoperasian armada, sehingga pengunjung dapat mengasah keterampilan dan mengambil keputusan yang tepat.

E-Seal misalnya, salah satu teknologi TransTRACK yang dipasang pada pintu kargo atau kontainer dengan fitur-fitur yang komprehensif, seperti identifikasi elektronik, pelacakan real-time, sistem pemantauan, dan keandalan mekanisme penguncian.

“Semua produk yang dikembangkan oleh TransTRACK dapat dikustomisasi secara khusus dengan menyesuaikan pada kebutuhan spesifik pelanggan, sehingga akan memberikan hasil yang maksimal bagi operasional bisnis dalam berbagai sektor industri,” kata Pujud.

Diklaim solusi-solusinya mampu meningkatkan produktivitas dan utilisasi armada sebesar 40%, juga mengurangi biaya yang terkait dengan penggunaan kendaraan sebesar 30% dengan mendigitalisasi operasi armada mereka.

“Kami berencana untuk mengembangkan teknologi lebih jauh di AI dan masuk ke green tech, seperti kendaraan listrik, mengingat kami sudah banyak bantu klien mengurangi emisi yang dikeluarkan dengan berbagai penghematan,” pungkasnya.

Disebutkan tim TransTRACK saat ini mencapai 184 orang, lima karyawan di antaranya bertempat di Malaysia. Kemudian, sebanyak 50 orang dari total tim merupakan tim teknologi dengan lokasi kantor terpisah dari kantor pusat, yakni di Bandung.

Talentlytica: Transformasi Digital dalam Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Peran tim SDM mengalami transformasi yang signifikan karena kini mereka tidak hanya berfokus pada administrasi, tetapi juga pada strategi bisnis. Para tim SDM didorong untuk mampu mengintegrasikan teknologi dalam setiap aspek pekerjaannya, mulai dari rekrutmen, pengembangan, hingga retensi karyawan.

Teknologi dibutuhkan sebab menyaring kualitas kandidat di tengah banyaknya informasi membuat proses rekrutmen jadi lebih kompleks. Ini baru membahas satu contoh tantangan saja. Para pemain startup berusaha memecahkan tiap masalah di lapangan dengan solusi-solusi yang mereka tawarkan, salah satunya adalah Talentlytica.

Sebagai permulaan, startup ini sudah berumur relatif lama, berdiri pada 2017 oleh Bagus Rahman Syah dan Aswin Januarsjaf. Sebelum sepakat mendirikan Talentlytica, keduanya bertemu dalam sebuah proyek yang melibatkan assessment engagement dan performance untuk salah satu lembaga pemerintahan.

Dari situ, mereka sepakat untuk memulai Talentlytica (PT Global Talentlytica Indonesia) yang berfokus pada pengembangan produk assessment berbasis teknologi. “Saya bertanggung jawab untuk mengembangkan teknologi, sementara Aswin membawa keahliannya dalam bidang psikometri dan HR,” kata Co-founder Talentlytica Bagus Rahman Syah saat dihubungi DailySocial.id.

Latar belakang Bagus dan Aswin cukup kuat di masing-masing bidangnya. Bagus sempat mendirikan Gagas Imaji, perusahaan IT yang berfokus pada pengembangan interactive new media dengan spesialisasinya dalam UX, interactive technology, web app development, digital product consultant, dan rapid prototyping. Perusahaan ini sudah berdiri sejak 2004 dan membantu perusahaan skala lokal dan internasional.

Sementara Aswin berpengalaman dalam bidang psikologi. Selama lebih dari 20 tahun, ia bekerja di berbagai anak usaha Grup Astra dan menjadi konsultan banyak perusahaan. Di dunia akademis, ia juga menjadi dosen untuk mata kuliah statistik. Ketertarikannya yang tinggi dalam pengolahan data, Aswin menciptakan beberapa software alat tes psikologi dan aplikasi SDM (workload analysis, talent mapping) yang telah digunakan banyak perusahaan.

Co-founder Talentlytica Bagus Rahman Syah / Talentlytica

Pengembangan produk

Bagus menjelaskan, Talentlytica memiliki product journey yang cukup panjang hingga akhirnya bisa diterima di pasar. Produk pertamanya adalah memindahkan tes psikologi dari format kertas (konvensional) ke format online. Respons yang didapat dari pasar ternyata tidak sebaik yang diharapkan.

“Kami belajar bahwa untuk menciptakan suatu produk yang dapat diterima oleh pasar, kami harus memahami permasalahan dan bisa memberikan solusi yang tepat kepada para profesional di bidang SDM. Caranya adalah dengan mendengarkan feedback dari customer.”

Masukan dari pengguna, lanjutnya, sangat membantu perusahaan dalam memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh manajemen SDM. Pihaknya dapat menajamkan produknya dan bisa mengembangkan fitur-fitur baru yang lebih relevan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dialami oleh manajemen SDM.

Feedback customer pun menjadi akar budaya Talentlytica dalam mengembangkan produk. Karena hal tersebut pula, kami dapat terus berkembang hingga saat ini dan telah mengembangkan lebih dari 13 produk assessment yang dapat membantu praktisi HR dimulai dari proses recruitment, development, retention, hingga promotion karyawan.”

Talentlytica menawarkan berbagai solusi asesmen sesuai dengan kebutuhan perusahaan, mencakup berbagai jenis alat tes dan asesmen yang dapat digunakan untuk general recruitment, sales test, management trainee, promotion test, culture fit, talent management, hingga high level management recruitment.

Co-founder Talentlytica Aswin Januarsjaf / Talentlytica

Platform assessment online Talentlytica dirancang untuk membantu perusahaan mengambil keputusan terkait talenta dengan berbasis data dan analitik. Hasil asesmen akan menjadi objektif, tidak bias, dan lebih akurat. Kebutuhan ini pada dasarnya dibutuhkan oleh seluruh departemen SDM dari berbagai industri.

Namun produk Talentlytica lebih cocok digunakan secara masif, terutama untuk perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 500 orang. Penggunanya datang dari level pemerintah, pelat merah, dan swasta dengan lintas industri. Beberapa di antaranya adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Biofarma, Mitra Keluarga, Wika, Elnusa, Telkom Indonesia, Astra Motor, Paragon, BRI, Bank Indonesia, Garuda Food, dan masih banyak lagi.

Diferensiasinya dengan pemain di ruang lingkup yang sama, Bagus mengklaim bahwa Talentlytica menjamin proses asesmen yang cepat, hasil yang akurat, dan laporan yang mudah dibaca dan terintegrasi.

“Tim customer support yang quick response, solutif, dan layanan customer yang konsisten menjadikan Talentlytica pilihan yang dipercaya oleh ratusan perusahaan di berbagai sektor industri.”

Pengalaman yang mendalam ini menarik perhatian banyak pihak untuk menjadikan Talentlytica sebagai business partner, khususnya untuk klien perusahaan yang ingin memahami dan menganalisa lebih dalam terkait data karyawan yang mereka miliki dengan persoalan yang dihadapi dalam dunia kerja sehari-hari.

Misalnya, ada yang ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan seseorang itu mengundurkan diri, bagaimana memprediksi talenta, aspek-aspek apa saja yang memberikan kontribusi tinggi untuk membentuk seorang talenta, hingga memprediksi kecenderungan karyawan melakukan kecurangan.

Di samping itu, dalam mendukung industri, perusahaan turut serta membuat aktivitas seminar dan workshop untuk existing customer dan para praktisi HR. Tujuannya membantu para praktisi agar lebih sadar dan mendalami tentang permasalahan HR di Indonesia, terutama dalam mengidentifikasi, mengelola, dan mempertahankan talenta di perusahaan.

Kinerja positif

Tak seperti pemain SaaS kebanyakan yang mengambil pendekatan melalui paket berlangganan untuk monetisasinya, Talentlytica mengambil angle yang sedikit berbeda. Model bisnisnya berfokus pada produk berbasis kuota asesmen. Jadi konsumen akan membeli kuota asesmen sesuai dengan jenis asesmen atau alat ukur yang mereka butuhkan. Kuota akan terpotong jika asesmen telah dikerjakan.

“Dengan catatan, ada beberapa orang yang menyelesaikan lebih dari satu asesmen atau lebih dari satu alat ukur, sehingga jumlah asesmen bisa melebihi jumlah user atau kandidat.”

Bagus mengklaim, sejak pertama kali perusahaan didirikan hingga Oktober 2023, total asesmen yang telah terselesaikan mencapai lebih dari 1 juta asesmen. Bila melihat berdasarkan per tahunnya saja, sepanjang 2022, terdapat 300 ribu asesmen yang telah diselesaikan oleh lebih dari 100 ribu kandidat.

Angka ini meningkat sebesar 44% dibandingkan tahun 2021. Terdapat 200 ribu asesmen yang telah diselesaikan oleh 68 ribu kandidat. Sementara hingga Oktober 2023, terdapat 270 ribu asesmen yang telah diselesaikan oleh 80 ribu kandidat. Pencapaian tahun ini diprediksi dapat melampaui kinerja dari tahun-tahun sebelumnya.

Kinerja perusahaan selama dua tahun belakangan terbilang cukup sehat mengingat pada saat itu masih terjadi pandemi. Bagus melihat bahwa pandemi mempercepat proses transformasi digital karena pada saat itu banyak perusahaan yang dipaksa untuk mengadopsi teknologi baru.

“Sehingga pada akhirnya, banyak perusahaan yang menyadari bahwa perubahan tersebut tidak seburuk yang mereka bayangkan bahkan dapat membantu mereka bekerja bekerja dengan lebih efisien dan efektif.”

Sepanjang 2017-2022, Talentlytica mencatat kinerja yang positif dengan CAGR (Compound Annual Growth Rate) sekitar 55% selama lima tahun terakhir. Pendapatan pada tahun lalu naik 18,9% dari Rp11 miliar menjadi Rp13 miliar, dengan total pengguna 165 perusahaan. Sementara, pada Oktober 2023, pendapatannya mencapai Rp11 miliar dengan 206 perusahaan.

Talentlytica

Disampaikan bahwa Talentlytica beroperasi dengan dana sendiri (bootstrap). Bagus memegang prinsip bahwa produk dan layanan yang baik harus mampu menghasilkan pendapatan sejak hari pertama diluncurkan. Walaupun begitu, ia tidak anti pada investor eksternal.

Malah, dalam beberapa waktu terakhir, pihaknya mulai penjajakan dengan beberapa investor besar dan angel investor untuk melihat kesempatan Talentlytica dapat tumbuh lebih eksponensial. Ia mencari investor yang memiliki visi dan value yang sama dengan apa yang Talentlytica tawarkan, serta percaya dengan apa yang mereka lakukan.

“Meskipun secara finansial kami telah mempersiapkan jalur bootstrapping dan rencana menuju IPO dalam 8-10 tahun ke depan, kehadiran investor eksternal mungkin akan mempercepat atau memperbesar rencana IPO kami di masa depan.”

Potensi industri

Bagus melanjutkan, prospek bisnis Talentlytica di dunia SDM masih sangat menjanjikan. Kualitas dan keunggulan karyawan sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Oleh karena itu, akan semakin banyak perusahaan yang akan meningkatkan investasinya untuk bidang SDM.

Di masa depan, teknologi seperti otomatisasi dan kecerdasan buatan makin mendominasi banyak aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Kehadiran teknologi ini bukan untuk menggantikan tugas manusia, tapi bekerja bersama dengan manusia. Maka yang diperlukan oleh perusahaan di masa depan adalah mampu berkolaborasi dengan teknologi ini secara efektif.

“Kami melihat bahwa transformasi digital dan perubahan dalam penggunaan AI akan menjadi tantangan besar bagi perusahaan. Oleh karena itu, kami berencana untuk memainkan peran kunci dalam menghadapi tantangan ini. Kami ingin memberikan solusi yang lebih efektif dalam membantu perusahaan mencari karyawan yang sesuai dengan kebutuhan mereka di era teknologi yang terus berubah ini.”

Dari berbagai interaksi yang intens dengan pengguna, perusahaan berhasil mengidentifikasi sejumlah masalah dan tantangan yang dihadapi oleh manajemen SDM. Hal ini membuka peluang bagi Talentlytica untuk meresponsnya dengan solusi tepat guna, melalui banyak eksperimen dan prototyping.

“Kami ingin memastikan bahwa produk yang Talentlytica kembangkan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan customer. Selain itu, kami juga mengintegrasikan produk-produk yang baru kami kembangkan dengan produk yang sudah ada dalam portofolio kami. Ini akan memungkinkan Talentlytica untuk memberikan solusi yang lebih komprehensif kepada customer kami,” pungkas Bagus.

Qiscus Umumkan Pendanaan 32 Miliar Rupiah dari Init-6, Segera Lancarkan Ekspansi Regional

Startup pengembang platform omnichannel customer engagement Qiscus mengumumkan perolehan pendanaan $2 juta atau sekitar 32 miliar Rupiah dari Init-6. Disampaikan bahwa dana segar ini akan dimanfaatkan untuk menggencarkan ekspansi ke Asia Tenggara pada 2024 mendatang.

Sejak berdiri tahun 2013, Qiscus juga telah mendapatkan sejumlah pendanaan eksternal dari Telkom (melalui Indigo), Rekanext, dan Qverse. Pendanaan baru ini dibukukan setelah Qiscus mengumumkan keberhasilannya dalam mencapai profit pada tahun 2019 silam, diklaim terus bertumbuh sampai sekarang.

“Kami dengan bangga mengumumkan perolehan pendanaan baru yang akan dialokasikan secara strategis untuk mengakselerasi ekspansi pasar kami di Asia Tenggara, memanfaatkan kehadiran kami yang telah eksis di lebih dari 10 negara. Dengan fokus pada pertumbuhan yang sustainable, kami berkomitmen untuk melipatgandakan pendapatan kami pada 2024 sebagai langkah awal dari ekspansi ini,” ujar Co-Founder & CEO Qiscus Delta Purna Widyangga.

Saat ini layanan Qiscus telah digunakan lebih dari 2 ribu perusahaan, mengakomodasi percakapan ke lebih dari 100 juta pengguna akhir untuk kebutuhan customer engagement.

“Kami memilih untuk berinvestasi di Qiscus karena keyakinan kami pada potensinya yang luar biasa di Asia Tenggara. Mereka telah menunjukkan performa yang sangat baik, terutama pada saat pandemi Covid-19, mereka mampu mencatat kenaikan revenue hingga 3x lipat,” sambut Founding Partner Init-6 Achmad Zaky.

Zaky menambahkan, “Kami menilai bahwa Qiscus mampu memperkuat ekosistem startup dan industri teknologi dengan strategi dan inovasi yang mereka miliki. Meninjau performanya selama beberapa tahun terakhir, kami optimis Qiscus mampu mencapai target ekspansinya ke pasar Asia pada tahun mendatang dan terus akan tumbuh secara profitabel dan sustainable dalam jangka panjang.”

Sebagai B2B SaaS, Qiscus berkomitmen menjalankan bisnisnya dengan fokus pada keberlanjutan jangka panjang, inovasi, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Di tengah tren digitalisasi yang pesat di Indonesia, kami optimis dapat terus berinovasi dan menyediakan solusi relevan untuk jangka panjang.

Delta menambahkan, “Supaya terus relevan dengan pelanggan dalam waktu yang lama, kami terus berinovasi dan merilis berbagai solusi baru di setiap tahunnya. Pada Agustus kemarin, kami juga baru saja merilis berbagai solusi baru, beberapa di antaranya yakni Qiscus AI Assistant, Qiscus Customer Satisfaction Survey, Qiscus Shop, dan Qiscus Customer Data Platform. Dengan ini, bisnis dapat mengandalkan solusi Qiscus sebagai the only toolbox untuk kebutuhan customer engagement.”

Di Indonesia, ada sejumlah startup yang juga mengembangkan platform omnichannel untuk memudahkan bisnis terhubung dengan pelanggan. Di antaranya Lenna.ai, Kata.ai, Chatbiz dan beberapa lainnya.

Startup Fintech MatchMade Terima Pendanaan Pra-Awal dari Vertex Ventures dan Antler

Startup fintech SaaS MatchMade mengumumkan telah meraih pendanaan tahap pra-awal dengan nominal dirahasiakan. Vertex Ventures dan Antler adalah dua investor yang berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Informasi ini pertama kali diperoleh dari Venture Cap. Perwakilan MatchMade mengonfirmasi kebenaran kabar tersebut saat dihubungi DailySocial.id.

MatchMade baru didirikan tahun ini oleh tiga co-founder, yakni Tedo Ziraga, Gilang Gibranthama, dan Kornelius Samuel. Ketiganya pertama kali bertemu saat bekerja di Gojek pada awal 2015. Kini mereka menggabungkan pengalamannya dari B2B SaaS, konsultan finansial, dan pembayaran untuk mendirikan MatchMade.

MatchMade merupakan solusi SaaS yang dirancang untuk menyederhanakan operasi keuangan diperuntukkan buat klien bisnis. Software tersebut memungkinkan tim finance di perusahaan untuk mengonsolidasikan dan memelihara pembukuan dari berbagai sumber dalam platform terpusat, sehingga menyederhankan pengelolaan data keuangan.

Tim finance biasanya kesulitan dalam mengontrol pembukuan, berapa uang yang masuk dan keluar. Masalah tersebut berkembang secara eksponensial seiring banyaknya pilihan pembayaran digital (mesin EDC, e-wallet, BNPL, dan food delivery on-demand) yang membuatnya jadi lebih rumit.

Dengan solusi MatchMade, tim keuangan dapat mengotomatiskan berbagai proses operasi keuangan, termasuk pencocokan transaksi, penguraian, rekonsiliasi, dan konsolidasi. Fitur otomatis ini menghilangkan kebutuhan akan tugas manual yang memakan waktu, mengurangi kesalahan, dan meningkatkan efisiensi secara keseluruhan.

Kemudian, menandai setiap perbedaan jumlah di buku besar dan identifikasi akar permasalahannya, apakah sudah jatuh tempo, catatan yang hilang, atau belum dicairkan oleh mitra; dan mengakomodasi tim untuk secara kolaboratif menyelesaikan ketidaksesuaian.

Seperti diketahui, transformasi aktivitas masyarakat dari offline ke online berdampak besar pada industri keuangan. Dari publikasi yang diungkap Bank Indonesia, nilai transaksi digital banking saja pada April 2023 di dalam negeri mencapai Rp4.264 triliun atau hampir Rp4,3 kuadriliun.

Nilai ini mencakup berbagai transaksi digital banking, yakni internet banking, SMS/mobile banking, dan phone banking. Bila dirunut sampai lima tahun ke belakang, nilai transaksi pada bulan tersebut sudah tumbuh 158% dibanding April 2018.

Gurihnya potensi tersebut membuat industri finansial ini semakin menarik karena di baliknya masih ada tantangan-tantangan yang masih menghantuinya. Selain MatchMade, sebelumnya solusi sejenis sudah ditawarkan oleh pemain sejenisnya, seperti Aspire dan Jack.

Startup SaaS Fast8 Cetak Laba Setelah Enam Tahun Beroperasi

Investor asal negeri Paman Sam, Lead Edge Capital, dalam artikel lawas menuturkan ada empat alasan mengapa mereka menyukai startup SaaS (software-as-a-service) untuk didanai. Alasannya: (1) terdapat anuitas; (2) tingkat churn rendah dan pembaruan yang tinggi, menghasilkan konsumer bernilai tinggi; (3) Margin kotor yang tinggi sekitar 60%-80% dengan COGS (Cost of Goods Sold) utama adalah biaya kotor jaringan, pengiriman, dan personel layanan.

“Alasan keempat dan terakhir kami menyukai perusahaan SaaS karena mereka memiliki pengeluaran penelitian dan pengembangan yang jauh lebih efisien dibandingkan perusahaan perangkat lunak berlisensi tradisional,” tulisnya dalam blog perusahaan.

Alasan di atas terefleksi dalam kinerja keuangan Fast8 Group (PT Fatiha Sakti), induk perusahaan dari lima produk SaaS. Perusahaan tersebut mengaku sudah cetak untung pada 2022, selang enam tahun terhitung sejak produk pertamanya, Gadjian, hadir di 2016.

Tidak disebutkan nominal laba yang sudah diperoleh. Namun pertumbuhan pendapatan perusahaan secara keseluruhan mencapai 800% secara akumulatif sejak 2018-2022. Dibandingkan secara yoy rata-rata pendapatan naik antara dua hingga tiga kali lipat.

Revenue kami sudah jutaan dolar per tahun. Gross profit margin kami itu 80% per transaksi, sangat sehat,” ungkap Co-founder dan CEO Fast8 Afia Fitriati saat dihubungi DailySocial.id.

Fast8 sendiri memiliki lima produk SaaS, yakni:

  1. Gadjian: aplikasi pengelolaan SDM dan penggajian berbasis komputasi awan untuk perusahaan berkembang dan lean enterprises, membantu mereka mengurus tugas-tugas administrasi SDM yang rutin, seperti menghitung penggajian, perpajakan, iuran BPJS, dan rekrutmen.
  2. Hadirr: aplikasi yang membantu perusahaan dalam memonitor kehadiran dan produktivitas karyawan, baik saat bekerja dari rumah, kantor, maupun lapangan. Telah terintegrasi dengan Gadjian dan platform pengelolaan benefit karyawan Payuung. Solusinya telah digunakan di lebih dari 100 ribu karyawan di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
  3. Payuung: platform e-commerce untuk produk keuangan dan employee benefit. Sediakan aneka solusi pembiayaan, asuransi, investasi, dan produk-produk reward bagi karyawan bagi perusahaan (B2B). Juga, aplikasi mobile Payuung Pribadi yang menyediakan produk-produk keuangan dan wellness bagi konsumen individu (B2C).
  4. Baktiku: aplikasi presensi pegawai yang didesain untuk instansi pemerintah, baik pemerintahan pusat ataupun pemerintahan daerah. Aplikasi ini membantu mobilitas pegawai dalam bekerja, mulai dari pencatatan kehadiran, kunjungan dinas, tugas, hingga pengajuan reimbursement. Semua proses terdokumentasi lengkap secara digital.
  5. Pegawe: layanan penggajian dan administrasi SDM untuk karyawan outsource, juga membantu perhitungan pajak, pendaftaran BPJS beserta administrasinya, absensi kehadiran, dan konsultan SDM jika terjadi PHK.

Afia menuturkan, perusahaan dapat cetak laba karena sedari awal didukung oleh model bisnis sebagai SaaS, perusahaan software dengan gross margin yang sangat sehat mulai dari 80%. Ibaratnya, perusahaan langsung terima margin kotor sebesar 80% dari setiap paket berlangganan yang dibayarkan konsumen.

Model bisnis Fast8 seluruhnya adalah berlangganan, bentuknya ada yang bulanan dan juga langsung bundle setahun.

“Konsumen bayar di depan, sehingga sustainable tidak ada yang macet. Model ini yang buat fundamental bisnisnya pasti akan profit. Tinggal bagaimana menskalakannya. SaaS itu sangat mungkin profit. Di luar negeri banyak SaaS yang sudah decacorn, tetap private, tapi sudah profit.”

Tim Fast8 / Fast8

Tidak bakar duit

Afia mengaku dari hari pertama perusahaan beroperasi, selalu menanamkan diri pola pikir ke seluruh aspek organisasinya bahwa berbisnis itu harus profit dan tidak melakukan strategi bakar duit. Saat membuat pricing sudah ditentukan berapa angka yang jelas apabila ingin memberikan diskon.

Baginya sangat penting untuk dari awal semua tim mengetahuinya agar bisa berjalan bersama. Fasilitas gaji, benefit, dan fasilitas penunjang yang diberikan untuk karyawan Fast8 bukan tergolong kelas premium. Semua tetap diberikan secara layak, karyawan tetap dibuat nyaman saat kerja, walau kantor tidak se-fancy kantor startup kebanyakan.

“Kita justru bingung sama startup yang gila-gilaan kemarin kok bisa kayak gitu [kantor premium, gaji premium]. Startup yang banyak tutup itu menuai apa yang ditanam karena praktik-praktik seperti itu enggak sustainable.”

Dia melanjutkan, “Kantor kita biasa saja, tetap nyaman, tapi enggak berlebihan. Nyaman itu relatif kan ya. Di satu sisi, kita nemuin banyak hal yang kreatif untuk tetap bekerja produktif dan nyaman, tanpa harus bakar duit.”

Perihal penggajian, dunia startup ini begitu terkenal dengan budaya bajak membajak karyawan demi mendapatkan talenta terbaik. Menurut Afia, kebiasaan ini punya dampak yang buruk bagi perusahaan itu sendiri. Sebab, belum tentu karyawan yang bergaji premium ini memang layak mendapatkannya karena kapabilitas yang dimilikinya.

Hadirr

“Di tim kita biasakan no free lunch. Semua harus ada ROI [return of investment] dan logikanya jelas kenapa begitu. Sering ada mindset dari kandidat yang baru di-interview dan bilang bahwa dia layak digaji sekian karena sebelumnya dapat gaji segini. Padahal belum tentu kompetensinya selevel [gajinya]. Itu yang perlu di-challenge.

Dengan membawa budaya perusahaan demikian, Afia mengaku mayoritas karyawannya loyal terhadap perusahaan, sekitar 40% sudah menetap di sana antara tiga sampai enam tahun ke atas. Di dunia startup, banyak yang menganggap bekerja di satu perusahaan sampai tiga tahun itu terlalu lama. “Turnover paling tinggi itu biasanya baru gabung setahun di sini.”

Karena dari pola pikir sudah dibiasakan untuk selalu bijaksana dan disiplin setiap mengeluarkan belanja perusahaan, Afia mengaku justru pada saat pandemi ia dan tim tidak kaget kalau harus mengencangkan ikat pinggangnya.

“Kalau startup lain ketika ada yang dikurangi [benefit] pasti langsung terasa, tapi kami di masa itu karena terbiasa mengelola uang dengan disiplin cukup beradaptasi saja. Kita terbiasa untuk tidak neko-neko.”

Bisnis perusahaan ikut terasa karena terjadi dua tantangan yang berbeda sepanjang 2020-2023. Afia tidak merinci lebih lanjut secara angka. Namun ia menjelaskan, pada 2020-2021, tantangan saat baru terjadi pandemi adalah adaptasi kerja dari rumah. Saat itu banyak bisnis konsumer yang tutup.

“Tapi saat itu digitalisasi meningkat karena WFH, pengguna attendance kita meningkat, sehingga kita dapat durian runtuh.”

Kemudian pada 2022-sekarang tantangannya berbeda, pengguna absensi berkurang karena perusahaan yang awalnya menetapkan aturan WFH menganjurkan kembali ke kantor. Lalu, sekarang ada faktor ekonomi makro global yang mengakibatkan tech winter.

“Kita di laut ini pasti ikut terkena badainya [tech winter]. Konsumer yang terdampak ada yang mengeluh harus PHK dan itu ngaruh ke kita, [mereka] jadi sulit bayar langganan.”

Dia melanjutkan, “Jadi yang bisa disimpulkan, tantangan ada terus, perusahaan yang berhenti berlangganan juga bervariasi [industrinya]. Setiap masa ada tantangan tersediri, yang penting beradaptasi dan terus melihat metriks-metriks [kinerja keuangan] lebih tajam.”

Rencana berikutnya

Walau perusahaan sudah cetak laba, Afia mengaku tetap membutuhkan sokongan amunisi dari investor. Alasannya, Fast8 kini sudah berkembang dari sepenuhnya SaaS yang murni B2B menjadi SaaS enable marketplace yang target penggunanya sekarang B2B2E. Dana investor tersebut dibutuhkan untuk membesarkan model bisnis tersebut.

Namun karena metriks itu pula, pihaknya memiliki fleksibilitas kapan untuk mewujudkan rencana penggalangan dana. Bisa lebih selektif memilih investornya dan mengatur waktu penggalangannya agar momentumnya lebih tepat. “Sekarang belum aktif [fundraising], lagi persiapan untuk tahap berikutnya. Mungkin awal tahun depan.”

Mengutip dari Crunchbase, perusahaan, melalui Gadjian, mengantongi pendanaan debt pada 2022. Dua tahun sebelumnya, memperoleh bantuan non-ekuitas dari Google for Startups. Saat itu, Afia terpilih sebagai peserta dari total tujuh founder perempuan di Asia Pasifik mengikuti program bimbingan pengembangan keterampilan bernama Immersion: Women Founders.

Pada 2016, perusahaan mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures, diikuti Maloekoe Ventures.

Tips untuk founder baru

Di sela-sela diskusi, Afia menyampaikan dua tips singkat untuk founder baru dalam menyiapkan startup yang sehat secara finansial. Pertama, melihat model bisnisnya. Founder harus jujur pada diri sendiri, apakah unit economics-nya masuk akal untuk capai ke titik profit.

Hal ini ia terapkan dalam setiap peluncuran produk Fast8. Sebelum produk diresmikan, harus dipikirkan sumber pendapatannya dari mana, apakah itu masuk akal. Apakah benar ada orang yang mau bayar? Bagaimana retensinya, apakah bagus? Kalau jelek, akan berpengaruh pada biaya akuisisinya. “Jadi dari model bisnis harus benar-benar dipikirkan.”

Kedua, harus mengetahui metriks kunci untuk mencapai profit. Lalu terus monitor metriks tersebut. Adapun, metriks yang dipakai Fast8 adalah revenue lifetime value, consumer retention rate, dan biaya akuisisi. “Di vertikal mana pun metriksnya sama, itu-itu saja ujungnya,” pungkas dia.

Application Information Will Show Up Here

Fintelite Hadirkan Platform Berbasis OCR untuk Bantu Digitalkan dan Analisis Dokumen Keuangan

Fintelite hadir untuk meningkatkan kesadaran pelaku bisnis di Indonesia terhadap potensi data keuangan yang tidak terstruktur dan belum dimanfaatkan secara optimal. Co-Founder dan CEO Nadia Amalia mengungkap misinya untuk menggali nilai yang tersembunyi dalam data keuangan lewat Optical Character Recognition (OCR) dan visualisasi analitik.

Belum banyak yang tahu, Fintelite menaungi produk SaaS keuangan, salah satunya Sribuu yang dikenal sebagai platform pencatatan keuangan untuk segmen individu. Bedanya, Fintelite menangani segmen B2B dengan menawarkan otomatisasi data secara end-to-end.

Terakhir kali Sribuu tercatat mengantongi pendanaan pra-awal dari BEENEXT dan sejumlah angel investor pada September 2021. Saat ini, Sribuu memiliki lebih dari setengah juta pengguna. Sribuu juga merupakan lulusan program Y Combinator dan Sequoia Spark.

Solusi dan tesis

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Nadia mengungkap beberapa masalah yang ingin dipecahkan lewat solusi ini. Menurutnya, pelaku bisnis sering kali sulit mengelola data keuangan tidak terstruktur dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan ketidakakuratan data, proses entri data manual yang memakan waktu, dan kesulitan mengekstraksi data menjadi insight bernilai.

“Solusi Fintelite mengubah data mentah menjadi insight yang terstruktur dan dapat ditindaklanjuti, sehingga memudahkan proses untuk melacak pengeluaran individu, atau melakukan due diligence bagi perusahaan. Fintelite memungkinkan pengambilan keputusan keuangan yang lebih tepat serta operasional yang lebih efisien,” ujar Nadia.

Fintelite menawarkan solusi untuk memperkaya data keuangan dan OCR yang berfungsi untuk mengotomatisasi proses ekstraksi dan pembersihan data.

Solusi ini disebut unggul dalam melakukan pengelolaan data yang efisien. Contohnya, mendigitalisasi dokumen dalam hitungan detik, mengekstrak data esensial untuk diautomasi dari input manual, memperkaya data dengan insight yang cerdas, hingga mengumpulkannya dalam satu medium.

Selain membantu proses penginputan data dan otomatisasi dokumen secara digital, platform ini dilengkapi dengan dasbor analitik berbasis AI yang dapat mengakselerasi proses underwriting dan segmentasi pengguna yang lebih personalized.

“Pelaku bisnis di industri keuangan mengandalkan platform kami untuk menyederhanakan analisis data, mendorong pengambilan keputusan, hingga mengoptimalkan strateginya. Industri perbankan, termasuk bank digital, memanfaatkan solusi kami untuk mempercepat proses penjaminan, menekan risiko, dan memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik,” tutur Nadia.

Pihaknya mengklaim mitra keuangannya mampu mengurangi waktu untuk memproses penjaminan dari beberapa jam menjadi beberapa menit. Selain itu, mitranya juga dapat meningkatkan level upselling hingga 10x.

Startup yang memiliki solusi hampir mirip dengan ini adalah Konvergen.ai, yang kini telah diakuisisi oleh Datasaur. Solusi Konvergen.ai juga banyak dimanfaatkan oleh lembaga finansial untuk efisiensi proses administrasi, dalam hal ini membantu proses digitalisasi dokumen yang masih berbentuk kertas. Beberapa pengguna mereka termasuk BCA group, Taralite, dan Ovo.

Pertumbuhan berkelanjutan

Co-Founder & CEO Fintelite sekaligus Sribuu / Dok. Pribadi Nadia

Tahun lalu, Fintelite dihadapkan pada perubahan perilaku konsumen yang mendorongnya untuk lebih memahami kebutuhan pelanggan. Pendekatan ini ikut mendorong pengembangan OCR dan tools analisis–dirancang untuk menyederhanakan proses bisnis serta memungkinkan perusahaan beroperasi lebih efisien.

Di tahun ini, Fintelite menyebut akan fokus pada model bisnis yang berkelanjutan untuk menghadapi ketidakpastian pasar. Fintelite mengantongi pendapatan perusahaan tumbuh 10x lipat dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain itu, ungkap Nadia, Fintelite tengah memperluas cakupan bisnisnya ke Singapura pada tahun ini.

“Kami perlu memahami kebutuhan pelanggan secara mendalam, menginvestasikan banyak waktu untuk berinteraksi dengan pelanggan guna menyempurnakan produk. Kami ingin memastikan produk kami tidak hanya memenuhi kebutuhan mereka, tetapi mencerminkan kesediaan mereka untuk membayar.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Platform Manajemen Restoran EasyEat Perkuat Kehadiran di Indonesia

Startup penyedia layanan point-of-sales bisnis kuliner EasyEat memperkuat kehadirannya di Indonesia dengan menggandeng DOKU untuk menyediakan sistem pembayaran. Kerja sama tersebut memungkinkan konsumen dine-in dari merchant kuliner EasyEat untuk membayar transaksi dari beragam solusi pembayaran digital populer, salah satunya QRIS.

EasyEat menyediakan solusi pemesanan via-QR dan POS yang terintegrasi dengan berbagai fitur penunjang, seperti inventaris, laporan analitik, promo pemasaran, dan lainnya. Solusi tersebut dikhususkan untuk bisnis kuliner (restoran dine-in) yang menjadi target utama dari startup asal Singapura ini.

Bersama DOKU, kini pelanggan tidak hanya dapat memilih menu dan memesan makanan via smartphone mereka, tapi juga bisa langsung bayar pesanan menggunakan metode pembayaran yang diinginkan, semua dalam platform yang sama,” terang Founder & CEO EasyEat Wassem Mohd dalam diskusi bersama sejumlah media di Jakarta, kemarin (30/8).

Menanggapi kerja sama kedua perusahaan, VP of Business Development DOKU Troy Hambali menyampaikan, DOKU sebagai mitra teknologi yang mengadakan fitur pembayaran online dalam platform EasyEat, sehingga konsumen dapat langsung menyelesaikan pembayaran dalam satu platform, mulai dari scan QRIS, e-wallet, m-banking, debit card, dan credit card.

“Dengan solusi all-in-one POS EasyEat yang terintegrasi dengan platform pembayaran DOKU, pengunjung dapat memilih metode pembayaran yang nyaman bagi mereka. Dengan demikian, proses pesan dan bayar jadi lebih cepat dan operasional kafe/restoran secara keseluruhan menjadi lebih efisien,” ucap Troy.

Ia juga menegaskan bahwa kerja sama ini hanya berlaku untuk bisnis EasyEat di Indonesia saja. Di Malaysia, EasyEat bekerja sama dengan penyedia gerbang pembayaran lokal.

Simulasi pembayaran QR dengan DOKU
Simulasi pembayaran QR dengan DOKU / DOKU

Solusi EasyEat

Mohd melanjutkan, teknologi digital sangat dibutuhkan bagi pebisnis restoran. Urusan memilih menu dan memesan makanan dapat menjadi tantangan bagi pramusaji maupun pelanggan ketika dine-in di kafe/restoran. Kegiatan ini berpotensi memakan waktu cukup lama, menambah tumpukan antrean dan berakibat kurang nyaman jika tidak dikelola dengan baik.

Platform EasyEat memudahkan konsumen dalam melihat dan memesan menu dengan memindai kode QR melalui smartphone tanpa harus mengunduh aplikasi. Mereka dapat melihat dan memesan makanan tanpa harus menunggu pramusaji datang. Kemudian melakukan proses pembayaran dengan opsi beragam secara online tanpa perlu ke kasir.

Berdasarkan data yang dikutip, tren dine-in mulai diminati pasca-pandemi. Ditemukan bahwa sebanyak 79% konsumen tidak ragu lagi untuk kembali makan di restoran. Tren tersebut menjadi peluang perusahaan untuk melebarkan jaringan merchant di Indonesia.

Diklaim ada lebih dari 500 kafe/restoran yang bergabung sebagai merchant, di antaranya Lawless Burger, Feel Matcha, Papa Ron’s Pizza, Kopi Oey, Lokaholik, dan lainnya. Persebaran lokasinya tak hanya di Jabodetabek, tapi juga kota besar lainnya, seperti Bandung, Palembang, Surabaya, Bali, dan Medan.

Sebelum masuk ke Indonesia pada 2022, EasyEat juga sudah hadir lebih dulu di Malaysia. Di sana perusahaan sudah melayani lebih dari 1.000 kafe/restoran terhitung sejak mulai beroperasi di 2020. Solusinya yang ditawarkan lebih inklusif daripada di Indonesia.

Model bisnis yang diterapkan EasyEat tergolong fleksibel mengikuti arus bisnis di tiap restoran karena perusahaan hanya mengutip komisi dari setiap transaksi yang berhasil. Tidak ada biaya berlangganan yang harus dibayarkan tiap bulannya. Kebijakan tersebut dinilai dapat membantu restoran dapat meningkatkan pendapatan bisnisnya, sekaligus lebih efisien.

Disebutkan rata-rata peningkatan pendapatan yang diraih para merchant pasca bergabung dengan EasyEat mencapai 10%-20%. “Kami juga membantu merchant menjaga marginnya. Dari mesin EasyEat, kami merekomendasikan menu favorit dan harga tertinggi, dengan demikian profit mereka akan meningkat antara 20%-50%,” pungkas Mohd.

Di Indonesia, EasyEat bersaing dengan para pemain POS yang sebagian besar menyasar bisnis ritel, F&B, seperti MOKA, iSeller, Olsera, Runchise, ESB, dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Tekad Aspire Permudah Perusahaan Kelola Keuangan

Bukan rahasia umum bahwa perusahaan masih dihadapkan pada tantangan pengelolaan keuangan yang menjelimet, seperti akses terbatas pada kartu kredit korporat dan prosedur keuangan yang tidak efisien. Tak heran, dibutuhkan solusi tepat guna agar literasi keuangan di ranah perusahaan juga tidak kalah bertumbuh dari masyarakat pada umumnya.

Berbasis di Singapura, startup fintech Aspire berupaya menyelesaikan tantangan tersebut melalui software finansial untuk mempermudah perusahaan mengatur keuangan operasional bisnis. Solusinya all-in-one mencakup virtual business account, spend management, corporate card, receivable dan payable management, transfer uang lokal dan internasional, dan yang teranyar payment gateway.

“Ada tiga isu yang ingin kita selesaikan untuk bantu tim finance. Orang finance itu paling takut kalau tidak punya kontrol, visibilitas terhadap cash flow-nya, dan enggak bisa atur cash flow dengan baik. Kita berikan software untuk selesaikan tiga isu tersebut yang bisa diakses secara real time,” terang General Manager Aspire Indonesia Ferdy Nandes kepada DailySocial.id.

Masing-masing produk di atas menyelesaikan berbagai permasalahan yang sering dihadapi tim keuangan setiap bulannya, terutama saat tutup buku. Dicontohkan, spend management yang menjadi produk flagship perusahaan memungkinkan tim finance dapat melakukan budgeting untuk alat kontrol setiap pengeluaran, entah untuk belanja iklan digital, proyek, dan sebagainya.

Ketika budget iklan sudah capai makan biaya hingga 80%, maka akan muncul notifikasi yang dikirimkan ke budget owner. “Kalau untuk proyek-proyek, nanti setiap pemasukan dan pengeluaran bisa di-tag ke budget owner. Dengan dua klik, bisa tahu pemasukan dan pengeluaran untuk proyek yang mana saja, sehingga proses rekonsiliasinya lebih mudah.”

Kemudian, untuk produk virtual corporate card bisa membantu tim finance untuk membayar operasional perusahaan, entah untuk budget marketing, listrik, klaim, dan sebagainya. Berbeda dengan kartu kredit pada umumnya karena bank statement baru terbit setiap akhir bulan, kartu ini dapat dilacak secara real time penggunaannya.

Produk lainnya yang banyak digunakan adalah receivable dan payable management. Ini merupakan invoice yang terhubung dengan sistem Aspire, sehingga ketika klien membayarkan tagihannya dapat terlacak secara otomatis. Bahkan ketika klien tersebut memakai software akuntansi Xero, Netsuite, Quickboo, MYOB, dapat secara otomatis menautkan pengeluaran dan terintegrasi dengan Aspire, sehingga klien akan selalu memiliki data akuntansi yang akurat dan terorganisir dengan baik.

“Kita juga punya produk cross border payment. Ini banyak dipakai startup saat mereka dapat pendanaan dari investornya di luar negeri. Dalam 3-5 hari mereka bisa punya USD account, lalu begitu funding-nya masuk bisa di-convert [kurs Rupiah] sesuai kebutuhannya.”

Visibility-nya jelas, kontrol jelas, dan bisa tracking real time. Kartu ini juga bisa untuk bayar klaim ke karyawan. Budget owner dapat memantau langsung lewat aplikasi dan bisa diatur otoritasnya sebagai approval akhir atau bisa sekalian untuk bayar klaimnya. Semua tergantung kebijakan masing-masing perusahaan [pengaturan otoritas].”

General Manager Aspire Indonesia Ferdy Nandes / Aspire

Ferdy menuturkan, perusahaan menganut prinsip consumer-centric, artinya ada personalisasi untuk setiap negara di mana mereka beroperasi. Maka dari itu, ada kustomisasi dari setiap produk yang dibawa dari Singapura ke negara lain. Singapura contohnya, aturan di sana memperbolehkan suatu perusahaan untuk langsung bekerja sama dengan jaringan pembayaran global Visa dan Mastercard dalam menerbitkan kartu debit/kredit korporat.

“Tapi di Indonesia, untuk menerbitkan kartu kredit korporat aturannya harus melalui bank. Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga untuk corporate virtual card. Produknya sama tapi pendekatannya beda, jadi kami selalu mengikuti aturan yang berlaku di tiap negara.”

Ekspansi produk

Cakupan bisnis Aspire tak hanya di Singapura saja, tapi sudah masuk ke Indonesia setahun setelah pertama kali berdiri pada 2018. Tak hanya itu, negara Asia lainnya juga telah dirambah, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Hong Kong yang baru diresmikan pada dua bulan lalu. Total karyawan Aspire di regional mencapai 500 orang, 118 orang di antaranya adalah karyawan di Indonesia, 200 karyawan di Singapura, 100 karyawan engineer khusus di India, dan sisanya tersebar di negara lain.

“Berdasarkan kontribusi revenue, Indonesia menempati posisi kedua setelah Singapura. Timnya juga terbanyak kedua, ini menandakan bahwa kami sangat serius menggarap pasar ini sejak 18 bulan belakang.”

Penunjukkan Ferdy sebagai General Manager sejak 10 bulan lalu memperlihatkan keseriusan Aspire untuk menggarap pangsa pasar di negara ini. Sebelum bergabung, Ferdy memiliki pengalaman di berbagai perusahaan teknologi global di antaranya LinkedIn, Skyscanner, Google, Apple, Facebook, hingga Xero.

Para pengguna Aspire, sekitar 35% berasal dari startup dan sisanya UMKM. Para startup ini datang dari berbagai vertikal bisnis: e-commerce, fintech, ritel, hingga food and beverages (F&B). Nama-nama perusahaannya, seperti Schoters, eFishery, Brick, Ayoconnect, Pinhome, Base dan Haus!.

Dalam rangka mengembangkan solusi bisnis dan menjangkau lebih banyak perusahaan dari skala bisnis menengah hingga ke atas, Aspire baru-baru ini menghadirkan layanan gerbang pembayaran (payment gateway). “Dengan payment gateway ini, solusi Aspire sudah dari hulu ke hilir, mulai dari atur keuangan sampai terima uang dari end-consumer.”

Tak hanya itu perusahaan sedang mempelajari kebutuhan bagi perusahaan dengan skala bisnis yang lebih tinggi, mengingat solusi yang dibutuhkan lebih kompleks karena karyawan berjumlah ribuan. “Kalau karyawannya ada 1000-2000 untuk klaim saja pasti lebih panjang proses approval-nya, jadi butuh kostumisasi. Ini yang sedang kita pelajari agar lebih mengerti sebab kami ini consumer centric.”

Model bisnis yang digunakan Aspire adalah berlangganan. Namun pengguna dapat menyesuaikan berlangganannya fleksibel sesuai produk yang mereka pakai. Menurut Ferdy, dengan cara ini mampu membawa perusahaan mencapai posisi profit sejak Mei 2023. Keuntungan diraih setelah Aspire berhasil menggandakan pendapatan sebanyak tiga kali lipat dalam setahun belakangan. Aspire juga mengeklaim total volume pemrosesan dana dalam setahun terakhir mencapai sebesar $15 miliar.

“Karena meski kami Saas, kita selalu melihat apa yang jadi kebutuhan konsumer, lalu bisa costumize [pembayarannya] sesuai kebutuhan dan purchasing power mereka. kita berusaha fleksibel dan berusaha klien pakai software ini karena setelah pricing, kunci terpenting berikutnya apakah mereka benar-benar butuh atau tidak.”

Pencapaian tersebut membuat perusahaan percaya diri untuk mereplikasi kesuksesannya ke negara Asia lainnya. Meski tidak bisa dirinci lebih lanjut, perusahaan berencana untuk ekspansi sepanjang tahun ini. Negara terakhir yang dirambah adalah Hong Kong pada dua bulan lalu.

Selain fokus mengembangkan bisnis, perusahaan juga fokus mengedukasi para penggunanya di lapangan. Menurut Ferdy, pihaknya banyak menemukan bahwa literasi digital bagi perusahaan itu tidak berjalan sekencang dibandingkan level masyarakat akhir. Padahal perusahaan juga diisi oleh manusia yang sama dan juga terpapar dengan perkembangan teknologi terbaru.

“Ini enggak terjadi di Aspire saja, tapi di startup pada umumnya juga. Supaya kita enggak tertinggal dengan negara lain, adaptasi perusahaan juga harus lebih cepat. Ini unik bagaimana kita bisa berbenah. Banyak SDM kita yang kurang ulet untuk belajar hal baru, padahal potensi kita besar,” pungkas Ferdy.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Olsera Menuju “Superapp” untuk UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memegang peranan penting dalam memajukan perekonomian negara. Pandemi yang terjadi tahun 2020 sempat menghantam sektor ini. Namun di sisi lain turut mendorong digitalisasi di dalamnya. Berdasarkan data yang dihimpun MSME Empowerment Report 2022, terdapat 83,8% pelaku UMKM yang melakukan digitalisasi atau memanfaatkan teknologi untuk mendukung operasional bisnis mereka.

Angka ini merupakan pasar yang sangat besar bagi para penyedia layanan digitalisasi UMKM, salah satunya Olsera. Berawal dari menyediakan layanan Point-of-Sales bagi UMKM, Olsera (sebelumnya OlseraPOS) kini telah berkembang menyediakan solusi end-to-end untuk bisnis di Indonesia.

Didirikan pada tahun 2015, Olsera memiliki objektif untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan UMKM agar dapat berkembang dan meningkatkan produktivitas mereka.

Dalam interview eksklusif bersama DailySocial.id, Co-Founder Olsera Ali Tjin menceritakan awal mula didirikannya startup tersebut. Kala itu UMKM sudah mulai menjamur, tetapi operasional bisnisnya masih belum efisien.

“Untuk bisa mengadopsi teknologi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pada saat itu kita ingin mengembangkan layanan POS, tetapi alat-alatnya kebanyakan mahal.”

Meskipun begitu, perkembangan teknologi melahirkan alat-alat canggih seperti smartphone, tablet, dan lain-lain yang lebih terjangkau bagi para pebisnis. Berangkat dari situ, mereka berusaha mengembangkan teknologi yang bisa memfasilitasi manajemen bisnis dengan solusi yang lebih fleksibel dan tersedia dalam perangkat yang mereka gunakan sehari-hari.

Co-Founder & CEO Olsera Novendy Chen yang juga hadir dalam wawancara virtual ini menambahkan bahwa ketika mendirikan Olsera, timnya melihat dari sisi kebutuhan para UMKM. Semakin banyak UMKM yang semakin bertumbuh, tuntutan mereka untuk lebih produktif dan efisien juga semakin tinggi.

“Di sisi lain, kita lihat kemajuan teknologi dapat banyak membantu untuk tujuan tersebut. Namun, kebanyakan kita hanya menjadi konsumen terhadap teknologi. Ini yang menjadi inspirasi juga. Kenapa ada alat-alat canggih tetapi tidak digunakan dengan maksimal. Saat itu kita mulai dari POS,” ujarnya.

Berkembang seiring pertumbuhan mitra

Seiring pertumbuhan bisnisnya, layanan Olsera semakin berkembang menjadi manajemen bisnis all-in-one yang mendukung setiap aspek operasional. Sistem ini memungkinkan UMKM untuk merampingkan dan memaksimalkan efisiensi demi percepatan bisnisnya. Olsera juga mengungkap ambisinya untuk bisa menjadi superapp untuk UMKM Indonesia.

Layanan yang ditawarkan Olsera yang saling terintegrasi

Novendy menambahkan, “kami memiliki filosofi untuk bertumbuh bersama UMKM. Kesuksesan bisnis kita itu diukur dari seberapa banyak UMKM yang sudah kita bantu. Tanpa mereka tidak ada kami. Kata kuncinya adalah untuk melayani UMKM,”

Filosofi ini juga tertuang dalam logo Olsera yang adalah balon udara. “Kami ingin bisa membantu UMKM untuk elevate their business. Kami juga memiliki core value yang customer-centric. Apa yang kita kembangkan, itu sesuai dengan feedback mitra. Solusi yang kita telurkan juga fokus untuk mendorong para pebisnis untuk bisa lebih produktif, kompetitif, dan efisien secara waktu dan biaya. Selain itu juga lebih efektif secara pemasaran,” tambahnya.

Jika POS menjadi pintu gerbang digitalisasi UMKM, seiring pertumbuhan bisnis kebutuhan mereka pun bertambah, seperti manajemen inventori dan accounting. Olsera sendiri juga tidak ingin terpaku pada layanan POS.

Ketika pandemi melanda, banyak bisnis yang terpaksa harus menutup toko dan mulai membuka pemesanan online. Atas kondisi tersebut, Olsera menghadirkan solusi omnichannel.

Beberapa fitur utama yang ditawarkan meliputi manajemen inventori dan rantai pasok, solusi pemasaran, manajemen karyawan, toko online, solusi  omnichannel, serta program loyalitas. Selain itu Olsera juga terus menambah metode pembayaran di platformnya. Saat ini sudah ada 11 metode pembayaran, termasuk ShopeePay, OVO, DANA, GOPAY, DOKU, Akulaku, Kredivo, dan lainnya.

Untuk segmentasi pasar yang disasar, Olsera mengaku melihat masing-masing bisnis memiliki unique operational-nya sendiri. Meskipun kebanyakan merchant datang dari ritel dan F&B, mereka mengaku beruntung mampu mengembangkan layanan yang cukup fleksibel dan bisa tap-in di bisnis yang sifatnya layanan atau produk. Belum lama ini, perusahaan juga sudah masuk ke ranah korporasi.

Merchant Olsera datang dari beragam lini bisnis seperti F&B, ritel, wellness, fesyen & kecantikan, layanan (barbershop dan laundry), dan lainnya. Untuk klien korporasi yang sudah bekerja sama, termasuk TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Grup Ciputra, dan Martha Tillaar. Untuk ticketing, Olsera telah bekerja sama dengan PRSU (Pekan Raya Sumatra Utara).

“Jadi segmentasi kita ini sekarang sudah semakin luas dan itu menjadi integrated, beberapa brand ternama maupun korporasi yang memiliki sebuah kawasan, di dalamnya ada ritel, usaha layanan, hospitality, kita bisa digitalisasi secara bersamaan dalam menggunakan ekosistem kita,” tambah Novendy.

Terkait monetisasi, Olsera menawarkan model bisnis subscription dalam 3 tier, yaitu Basic (Rp158 ribu/bulan), Premium (Rp248 ribu/bulan), dan Pro (Rp328 ribu/bulan). Dalam beberapa kasus khusus, Olsera juga mengambil fee/transaksi. Hingga saat ini, perusahaan mengklaim telah berhasil memproses transaksi sebanyak Rp2,5 triliun per bulannya.

Pada awal pengembangannya, bisnis Olsera berbasis di Batam. Setelah beberapa bulan beroperasi, timnya melihat bahwa permintaan dari luar Batam semakin banyak. Di tahun ke-2 beroperasi, layanan ini sudah memiliki representatif di beberapa kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

“Batam, layaknya kota-kota lain, terus berkembang dari sisi teknologi. Begitu pula adopsi teknologi yang semakin tinggi. Namun, pada saat itu, permintaan lebih tinggi datang dari Jabodetabek. Selain itu, kita juga ingin menjangkau area yang sudah siap dan memiliki kesadaran atau awareness terhadap pemakaian teknologi serupa di hal yang lebih produktif. Hingga saat ini, kita sudah hadir di 500 kota di Indonesia.” ungkap Novendy.

Presentase kategori merchant yang memanfaatkan layanan Olsera

Eskalasi bisnis jadi fokus selanjutnya

Ketidakpastian kondisi ekonomi ketika pandemi yang masih berlanjut hingga saat ini telah memicu kesadaran akan pentingnya membangun fundamental yang kuat dalam berbisnis. Olsera sendiri mengaku sudah menyadari hal ini sebelum mereka memulai bisnis.

“Sejak 2015 kita cukup efisien dalam operasional bisnis. Di 6 bulan pertama kita masih bleeding. Namun, untungnya tim tetap solid. Masuk bulan ke-7 kita sudah bisa mencatatkan laporan keuangan yang positif. Hal ini membuat kami merasa cukup dengan cash flow yang ada hingga Covid-19 melanda Indonesia.”

Novendy mengaku bahwa ketika itu timnya tidak tahu kondisi tersebut akan berjalan berapa lama. Secara eksternal, mereka coba menghadapi isu ini dengan memberi kelonggaran kepada merchant yang usahanya terpaksa tutup di masa lockdown. Olsera juga meluncurkan layanan baru seperti dine-in dan takeaway untuk membantu merchant F&B tetap bisa berjualan.

Secara internal, tentunya kita tidak lepas dari potensi efisiensi, tetapi manajemen berusaha untuk tidak menempuh jalur itu. Secara penjualan, perusahaan menyadari bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan. Maka dari itu, mereka fokus in-touch untuk memelihara kepuasan dan kesetiaan merchant. Di sisi lain juga mengembangkan layanan baru untuk tetap optimistis.

“Saat itu, kita mulai memikirkan pendanaan eksternal. Kami mulai menjajaki potensi pendanaan dengan investor. Hingga pada Januari 2022, kita putuskan untuk menerima pendanaan dari Kejora Capital. Sampai saat ini, mereka jadi investor satu-satunya di Olsera,” jelas Novendy.

Post-funding, Olsera mulai eksplor ide-ide baru. “Ada yang berhasil, ada yang tidak. Kita fokus pada yang berhasil. Nafas kami di Olsera adalah when we do the business, we want to do it right. Sebelum sustainability startup jadi isu, kita sudah punya path to profitability. Jadi di tahun ke 2 ini, kita sudah kembali ke jalur menuju profit. Next quarter kita akan kembali mencatatkan profit,” tegasnya.

Perusahaan juga mengaku akan segera merencanakan pendanaan selanjutnya. Namun, Novendy mengungkapkan bahwa objektifnya akan berbeda dari yang sebelumnya.

Our next fundraising goal bukan bicara untuk menutup operasional. It’s not only about the cash, tapi untuk scale-up our business. The future fundraise will be purely to speed up our roadmap development dan akselerasi akuisisi selanjutnya, bukan karena kondisi kita bleeding. Sehingga kita bisa berfokus pada hal yang kreatif dan produktif, bukan sibuk memadamkan api,” pungkasnya.

Untuk target ke depannya, Olsera, melalui data-data yang mereka punya, juga ingin membantu influence dan memberi insights bagi para merchant supaya bisa lebih berkembang. “Kita akan lebih fokus untuk utilize the data. Kita juga akan masuk ke ranah machine learning dan AI namun tetap sejalan dengan kebutuhan merchant kita. Kita akan tetap fokus pada core business,” tambah Ali.

“Di samping itu, the next big thing yang kita akan lakukan adalah membawa pelanggan baru bagi para merchant, termasuk menjembatani mereka dengan merek/korporasi yang memiliki satu kesamaan visi/misi supaya bisnis UMKM bisa tumbuh lebih baik lagi. Secara roadmap kembali ke how we are going to improve efisiensi dan produktivitas dari mitra,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here