Momofin Luncurkan Platform Manajemen Dokumen dan Kontrak, Debut dengan Pendanaan “Angel Round”

Momofin adalah penyedia sistem manajemen lifecycle dokumen dan kontrak. Startup ini diinisiasi sejak awal tahun 2022 oleh Pranowo Putro, Saga Iqranegara, dan Yoga Pratama; dengan misi mempermudah masyarakat dalam berbagai proses administratif yang melibatkan tata kelola dokumen dan kontrak.

Untuk menunjang bisnis, dalam debutnya Momofin telah membukukan pendanaan angel round yang diikuti sejumlah investor individu — di antaranya dua co-founder startup social commerce Woobiz  Firlie Ganinduto dan Rorian Pratyaksa. Dana segar akan difokuskan untuk pengembangan dan penguatan lini produk.

Lewat dua produk yang telah dirilis sejak pertengahan tahun ini, yakni MomofinGO dan eMET by Momofin, layanan mereka telah digunakan lebih dari 10 ribu pengguna dan 100 klien perusahaan.

MomofinGo merupakan sebuah platform manajemen dokumen dan kontrak berbasis web yang ditujukan untuk bisnis. Sementara eMEY by Momofin berbentuk aplikasi e-materai yang ditujukan untuk konsumen akhir.

Mitra strategis Peruri

Salah satu kapabilitas yang dihadirkan lewat eMET adalah fitur e-Materai dan e-Signature. Seseorang bisa mengesahkan sebuah dokumen digital dengan materai elektronik dan tanda tangan elektronik; adapun materai tersebut secara resmi diterbitkan dari Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI).

Beleid tentang dokumen elektronik sendiri mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) Pasal 5 ayat (1). Di sana disebutkan, bahwa dokumen elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan dokumen kertas setelah disahkan, salah satunya lewat pembubuhan e-materai.

Selain untuk memberikan tanda tangan dan e-materai, eMET juga difungsikan untuk memudahkan masyarakat dalam mengelola dokumen yang telah ditandatangani. Fungsinya mirip sebagai sebuah pustaka digital yang menyimpan berbagai arsip dokumen-dokumen penting yang dimiliki.

Tampilan layanan MomofinGO

Sementara itu, dengan MomofinGO sebuah perusahaan bisa mulai melakukan transformasi digital dengan mengubah proses administrasi dokumen (pembuatan, peresmian, hingga pemberkasan) yang sebelumnya berbasis kertas ke digital. Di sini pebisnis bisa mengunggah sebuah dokumen dan menambahkan pihak untuk melakukan pembubuhan legalitas. Layanan tersebut juga turut mengautomasi alur proses (lifecycle) tata kelola dokumen secara menyeluruh.

Momofin turut menyediakan layanan API yang bisa diintegrasikan dengan sistem ERP (Enterprise Resource Planning) yang sudah dimiliki perusahaan.

Potensi bisnis

Menurut data Ditjen Pajak, di Indonesia pembuatan dokumen mencapai 9,65 miliar per tahun, sekitar 20% di antaranya membutuhkan peresmian dengan materai. Dari sana diproyeksikan nilai ekonomi yang berputar mencapai 19 triliun Rupiah setiap tahun. E-meterai juga telah disahkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Bea Meterai resmi yang berlandaskan hukum pada Oktober 2021.

Dengan potensi ini, sejumlah startup juga mulai memberikan layanan e-materai, di antaranya Paper.id (fokus ke layanan invoicing) dan TekenAja (fokus ke layanan tanda tangan digital).

Saat ini dokumen digital memang menjadi komoditas yang makin banyak digunakan. Penggunaannya seperti untuk pengesahan dokumen pembukaan rekening di bank digital; proses tanda tangan kontrak kerja di perusahaan yang sepenuhnya beroperasi secara remote working; dan lain-lain.

“Dengan adanya pendanaan baru, kami ingin berinovasi untuk mengembangkan teknologi produk kami agar lebih canggih dengan mengaplikasikan artificial intelligence. Harapannya dengan data yang ada, kami dapat mengembangkan fitur automasi yang sangat mempermudah pengguna kami ke depannya,” ujar Putro selaku Co-Founder Momofin.

Application Information Will Show Up Here

Berbagi Pelajaran dan Pengalaman Menarik dari Program Inkubator Startup DSLaunchpad

Selalu ada pengalaman menarik yang diperoleh para peserta program inkubasi startup. Tak hanya pelajaran berharga bagi pengembangan bisnis, pelaku startup juga dipertemukan dengan berbagai orang hebat di bidangnya. Salah satunya melalui DSLaunchpad, program inkubator yang diselenggarakan oleh DailySocial.id.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, kami berbincang dengan Head of Marketing GoPlay Rizki Suluh Adi dan Co-founder Sertiva Saga Iqranegara yang masing-masing pernah berpartisipasi sebagai mentor dan peserta di DSLaunchpad 1.0. Simak selengkapnya, sejumlah pengalaman menarik yang dibagikan keduanya berikut ini.

Mengambil langkah pertama

Secara umum, Rizki menilai salah satu tantangan utama yang dihadapi pelaku startup adalah bagaimana mengambil langkah pertama untuk memvalidasi ide. Istilahnya adalah sanity check. Menurutnya, sanity check dilakukan untuk memastikan ide yang diambil dapat berguna atau tidak, dapat dikembangkan atau tidak, atau apakah sudah pernah digunakan orang lain atau tidak.

Sanity check menjadi aspek yang krusial mengingat peserta program inkubasi ini datang dengan idealisme masing-masing. Mereka bahkan tak hanya diikuti oleh pelaku startup yang sudah memiliki perusahaan, tetapi ada juga yang datang hanya dengan ide matang, tetapi masih ingin melakukan brainstorming.

Berbagi pada pengalamannya tahun lalu, ungkap Rizki, para mentor menambahkan satu aspek sanity check lagi, yaitu mengembangkan ide bisnis dengan mempertimbangkan pandemi Covid-19.

“Mengapa sanity check perlu? Banyak startup yang datang dengan mimpi the romance of startup. Misalnya, ingin menjadi startup unicorn, atau startup yang punya growth, dan bisa burning money. Namun, dunia ini mulai berubah, ada masalah baru dan orang-orang menjadi selektif,” ungkap Rizki.

Dengan menambahkan satu aspek baru, startup kini tak lagi hanya fokus untuk bertumbuh, tetapi bagaimana fokus untuk mencapai garis tersebut. Pandemi Covid-19 juga mengakselerasi kebutuhan yang sebelumnya dianggap belum waktunya dikembangkan. “Salah satu keunggulan startup dibanding lainnya adalah speed. Co-founder bisa kasih keputusan dengan cepat untuk mengakselerasi kebutuhan,” tambahnya.

Mempertemukan dengan koneksi baru

Rizki melanjutkan, program inkubator turut membantu mempertemukan pelaku startup dengan jaringan investor dan klien potensial. Dari pengalaman sebelumnya pada batch pertama, ia memperkenalkan grup peserta yang ia mentori dengan para investor dan klien B2B. Dengan catatan, peserta yang dipertemukan dengan investor ini adalah mereka yang sudah memiliki ide tervalidasi.

“Kita tidak bisa membangun semua sendiri. Maka itu penting punya ide yang tervalidasi, mempertajam masalah, dan mencoba apakah orang mau membayar produk yang kita buat. Selain itu, penting juga untuk bisa mengeksekusi ide. Orang bisa punya banyak ide, tetapi yang bisa mengeksekusinya itu yang bisa survive,” paparnya.

Mengembangkan startup dari luar Jakarta

Menurut data internal DailySocial.id, sebanyak 73% peserta DSLaunchpad berasal dari luar Jakarta. Dalam kaitannya dengan industri startup, sering kali ada anggapan sulit membangun startup dari luar Jakarta karena keterbatasan akses untuk mengembangkan bisnisnya. Contoh, akses pasar dan permodalan. Maka itu, program inkubator dirasa menjadi salah satu medium penting untuk memperoleh akses tersebut.

Saga mengakui bahwa ada satu titik di mana startup mau tak mau harus ke Jakarta untuk mencari mitra strategis dan mengembangkan pasar dengan strategi tertentu. Akan tetapi, ia menilai hal tersebut bukan selalu menjadi faktor penentu kesuksesan. Sekadar diketahui, Sertiva berasal dari Yogyakarta yang bergabung menjadi peserta DSLaunchpad angkatan pertama.

“Mendirikan startup bisa itu dari mana saja. Toh para startup unicorn saja pada akhirnya membangun tim di luar Jakarta,” ucapnya.

Merealisasikan kebutuhan lebih cepat

Ada pengalaman menarik lainnya yang dialami Saga saat menjadi peserta. Sejak akhir 2019 hingga awal pandemi Covid-19, Saga bersama timnya sempat melakukan pivot layanan sertifikat digitalnya. Sebut saja dari produk A ke B.

Ketika ia bergabung menjadi peserta DSLaunchpad, ia mengaku bertemu kenalannya yang kebetulan menjadi mentor di program tersebut. Yang menariknya lagi, mentor ini ternyata berminat menggunakan produk awal Sertiva sebelum di-pivot.

“Mentor kami hampir saja membeli layanan serupa Sertiva dari luar negeri yang harganya mahal. Setelah bicara soal kebutuhan mereka, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke produk awal. Intinya, pandemi ini seperti mesin waktu, di mana sesuatu yang bakal terjadi dalam 2-3 tahun ke depan, justru terealisasi lebih cepat. Di sisi lain, kami juga tak hanya dapat mentor, tetapi juga customer di program ini,” tuturnya.

Mentoring virtual tetap efektif

Terlepas dari kegiatan yang dilakukan secara virtual, Rizki menyebut ada banyak kesempatan dan pelajaran baru yang diperoleh di program inkubator DSLaunchpad. Para mentor juga diberikan keleluasaan untuk meracik kegiatan mentoring sesuai dengan preferensinya masing-masing.

Hal ini juga turut diamini oleh Saga yang menjadi alumni angkatan pertama. Menurut pengalamannya, para mentor yang disediakan tak cuma berbekal teori saja, tetapi juga pengalamannya dalam mengembangkan bisnis startup.

“Memang ada sedikit perbedaan dalam mengikuti program inkubator offline dan online. Tapi, kami lihat semua berjalan lancar dan tetap efektif. Bahkan, permintaan kami untuk tukar mentor yang sudah di-assign juga diperbolehkan karena kami pikir sebelumnya kurang pas dengan produk yang kami buat,” kata Saga.

Introducing Sertiva, a Digital Certificate Issuance Service

Based in Yogyakarta, Sertiva is to offer a digital certificate (e-certificate) issuance solutions. It is considered quite relevant to the current conditions, when people are started to organize many online events.

Sertiva’s Co-Founder Saga Iqranegara said, since 2015 he has been quite active in ADITIF, an association for creative industry players. He found the fact that there was an imbalance of talent with competence. From there Sertiva is to connect job seekers and talents through a digital certificate publishing platform.

“I see that the link-and-match issue in the employment industry is quite vital because there is no single data linking the workforce with the industrial world. Then, the idea emerged to create Sertiva, a platform for issuing digital certificates or diplomas, therefore, we can asses someone’s competence which eventually will help the link-and-match process within th the industry,” Saga explained.

Sertiva is designed for three types of users. The first is for the Issuer or certificate issuer, the second is for the certificate holder or recipient, and the third is the Validator or party that verifies the authenticity of the electronic certificate.

“We implement an annual subscription system for Sertiva services. Sertiva’s clients come from various types of organizations, from communities, vocational schools, startups, even state-owned enterprises,” said Saga.

Momentum amid pandemic

Sertifikat Digital Sertiva
Sertiva is accessible through the website platform

The operational has been running for over a year. It has been trusted by 50 issuers consisting of companies and institutions with more than 2500 digital certificate holders.

At first, Saga said that they were pessimistic about the feedback. This is due to its relatively new technology and solutions. However, since the pandemic, where many activities were carried out virtually, Sertiva seemed to have gained momentum and proved that the solution they brought is in demand.

“It is proven by some clients using our service because they had to completely shift the offline to online events. Since mid-2020, we are increasingly convinced that this is the momentum for Sertiva , and our marketing targets are eventually influenced by the current circumstances shifting to e-certificate technology,” Saga added.

Currently, Saga with two other co-founders, Aji Kisworo Mukti and Donni Prabowo are trying to the product. This includes education about digital certificates.

“Our future plan is to expand the adoption of e-certificate technology from Sertiva. There are many people who are mistaken for digital certificates. The certificates in the JPEG or PDF file format that they have issued are not actual e-certificates. What we’ve been doing at Sertiva, it is necessary to provide the widest possible education to the community,” Saga said.

Sertiva is also part of the Telkom Group’s incubator program, Indigo Creative Nation, and has received initial funding through the program. Previously, they were also participants in the DSLaunchpad virtual incubator program held by DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Sertiva, Layanan Penerbitan Sertifikat Digital

Berkantor di Yogyakarta, Sertiva hadir menawarkan solusi penerbitan sertifikat digital (e-sertifikat). Solusinya dinilai cukup relevan dengan kondisi saat ini, di saat banyak pihak menyelenggarakan kegiatan secara online.

Co-founder Sertiva Saga Iqranegara menjelaskan, sejak 2015 ia cukup aktif di ADITIF, sebuah asosiasi wadah pelaku industri kreatif. Di sana ia menemukan fakta bahwa ada ketimpangan talenta berkompeten dengan kebutuhan. Dari sanalah Sertiva lahir untuk menghubungkan pencari kerja dan talenta melalui platform penerbitan sertiikat digital.

“Saya melihat bahwa isu link and match di dunia ketenagakerjaan lebih dikarenakan tidak ada satu data yang menghubungkan antara tenaga kerja dengan dunia industri. Kemudian muncul ide untuk membuat Sertiva ini, sebuah platform untuk menerbitkan sertifikat atau ijazah digital, sehingga kita bisa melihat kompetensi seseorang yang pada akhirnya nanti bisa membantu link and match dengan dunia kerja,” terang Saga.

Platform Sertiva didesain untuk tiga jenis pengguna. Pertama untuk Issuer atau penerbit sertifikat, kedua untuk Holder atau penerima sertifikat, dan ketiga Verifier atau pihak yang melakukan verifikasi terhadap keaslian sertifikat elektronik.

“Kami menerapkan sistem berlangganan tahunan untuk menggunakan layanan Sertiva. Klien Sertiva datang dari berbagai jenis organisasi, mulai dari komunitas, sekolah vokasi, startup, bahkan BUMN,” terang Saga.

Momentum di tengah pandemi

Sertifikat Digital Sertiva
Layanan Sertiva dapat diakses melalui platform situs webnya

Telah memulai operasional selama satu tahun lebih, saat ini mereka sudah dipercaya 50 penerbit yang terdiri dari perusahaan dan institusi dengan 2500 lebih pemegang sertifikat digital.

Saga bercerita, di awal mereka sempat pesimis solusi mereka bisa diterima. Hal ini tak terlepas dari teknologi dan solusinya tergolong baru. Namun semenjak pandemi, di mana banyak kegiatan dilakukan secara virtual, Sertiva seperti mendapat momentum dan membuktikan bahwa solusi yang mereka tawarkan ternyata banyak yang membutuhkan.

“Terbukti dengan beberapa klien yang datang karena mereka harus mengubah total bentuk kegiatannya ke online. Sejak pertengahan tahun 2020 ini kami semakin yakin momentum buat Sertiva telah datang, dan target marketing kami dengan sendirinya teredukasi oleh keadaan yang membuat mereka shifting ke teknologi e-sertifikat,” lanjut Saga.

Kini Saga, bersama dua co-founder lainnya, Aji Kisworo Mukti dan Donni Prabowo tengah berusaha untuk menyempurnakan produk. Termasuk di dalamnya edukasi mengenai sertifikat digital.

“Rencana kami ke depan adalah meluaskan adopsi teknologi e-sertifikat dari Sertiva. Karena masih banyak yang salah kaprah dengan sertifikat digital. Sertifikat dalam format berkas JPEG atau PDF yang selama ini mereka terbitkan bukanlah e-sertifikat yang sebenarnya. Untuk itu kami di Sertiva merasa perlu melakukan edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat,” tutup Saga.

Sertiva juga tergabung pada program inkubator milik Telkom Group, yakni Indigo Creative Nation, dan telah mendapatkan pendanaan awal melalui program tersebut. Sebelumnya mereka juga menjadi peserta program inkubator virtual DSLaunchpad yang diadakan DailySocial.

Memasuki Tahun Kedua, JogjaBike Mulai Monetisasi Layanan

Memperingati hari jadinya yang pertama, platform bike-sharing JogjaBike perbarui aplikasi. Diumumkan hari Minggu (27/10), saat ini layanan juga sudah dimonetisasi. Pengguna dikenakan biaya Rp5.000,- untuk menggunakan sepeda selama satu jam. Selain itu jumlah sepeda akan ditambah hingga 50 unit.

“Pengisian saldo bisa dilakukan lewat mobile/internet banking, ATM, hingga dompet elektronik seperti Dana dan LinkAja. Pengguna juga bisa menggunakan voucher fisik yang bisa dibeli dari operator JogjaBike,” terang Business Development Speeda Muhammad Reza.

Selain itu, sepeda dan mekanisme peminjaman juga turut diperbarui. Saat ini JogjaBike telah dilengkapi bike-lock yang terintegrasi dengan stasiun sepeda dan aplikasi “Speeda” sebagai anak usaha Gamatechno. Pertamina Foundation turut mendukung inisiatif ini.

“Aplikasi JogjaBike terbaru dilengkapi dengan GPS Tracking yang akan memudahkan pengguna untuk mengetahu rute bersepedanya. Selain itu, operator juga bisa memantau sejauh mana pengguna menggunakan sepedanya,” imbuh Reza.

Pengguna tidak bisa sembarang melakukan pemberhentian perjalanan. Mereka hanya bisa mengakhiri perjalanan di stasiun yang tersedia di sepanjang jalan Malioboro.

General Manager Technology, Business, & Innovation Gamatechno Saga Iqranegara menambahkan, dalam pengembangan platform baru seperti ini perusahaannya sangat menghitung terkait durability. Layanan baru tetap jalan, namun tidak merusak hal-hal lain di sekelilingnya.

Durability yang paling penting, jangan sampai saat menggunakan di perjalanan sepeda malah rusak,” papar Saga.

Di Indonesia, komoditas bike-sharing memang baru menjangkau di area spesifik. Umumnya diimplementasikan di lingkungan khusus, misalnya universitas seperti yang dilakukan Banopolis, Telkomsel dan Huawei tahun lalu; atau di area wisata seperti yang dilakukan JogjaBike atau Gowes di beberapa titik.

Sementara GrabWheels hadir dengan jangkauan akses arena yang lebih luas melalui layanan skuter elektrik, tawarkan model penggunaan yang serupa melalui aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

BCTN 1.0 Summit Segera Digelar di Yogyakarta, Ulas Manfaat Blockchain untuk Masyarakat

Menyikapi perkembangan digital yang terus berkembang pesat, Hacklab.rocks! berkolaborasi dengan Nakka akan menyelenggarakan summit bertajuk Blockchain and Cryptocurrency Talks and Networking (BCTN). Acara tersebut akan berlangsung di Yogyakarta, tepatnya di Sahid Jaya Hotel and Conference pada tanggal 7 Desember 2018 mendatang.

BCTN memiliki tujuan untuk memperkenalkan teknologi dan aktor-aktor penggiat blockchain yang telah berhasil mengubah hidup banyak orang. BCTN akan menghadirkan pemain nasional dan internasional dari industri blockchain dan cryptocurrency dalam bentuk seminar, diskusi panel, pameran, dan networking.

Masing-masing pembicara akan berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang produk atau proyek blockchain yang sedang mereka kerjakan. Tema untuk BCTN 1.0 ini adalah “akar” yang berarti pertama sekaligus memiliki manfaat terhadap grassroot. Diharapkan masyarakat semakin terbuka dalam menghadapi perkembangan teknologi cukup ada.

Saga Iqranegara selaku ketua panitia acara ini menyampaikan, “Blockchain dan cryptocurrency adalah teknologi baru yang akan mengubah wajah dunia di masa depan. Namun banyak pihak yang belum memahami manfaatnya. Dan juga banyaknya informasi negatif yang beredar dalam beberapa waktu terakhir turut memberi citra negatif pada teknologi ini. Kami merasa perlu memberikan wawasan dan membangun komunitas yang antusias dengan teknologi ini.”

Kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari ADITIF selaku asosiasi industri kreatif di Yogyakarta dan beberapa komunitas blockchain. Untuk informasi lebih lanjut mengenai acara ini, kunjungi laman resminya melalui tautan http://bit.ly/BCTN1-Dailysocial.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner BCTN 1.0

Temuan Menarik tentang Startup di Yogyakarta Tahun 2017

Jogja Start-Up sebuah komunitas penggiat usaha rintisan di Yogyakarta baru saja merilis hasil survei mereka terhadap lanskap startup digital periode paruh pertama tahun 2017. Terdapat beberapa temuan menarik, terkait dengan jumlah startup dan kategori bisnisnya. Dari jumlah yang berhasil diidentifikasi, ada sekitar 115 startup digital yang beroperasi di Yogyakarta per tahun ini. Sebanyak 86 di antaranya adalah startup asli, sedangkan sisanya pendatang dari luar kota.

Menilik lebih dalam, persentase pebisnis digital di Kota Gudeg tersebut masih didominasi oleh Software House (21,05%), disusul pemain Commerce (11%), Fintech (10%), dan Digital Agency (8%). Kendati demikian, kategori lain seperti Travel, Education, Game House, hingga IoT masih bisa ditemui. Kemudian terkait dengan ukuran startup, mayoritas digerakkan antar 2-5 orang (36,84%) dan sebagian besar lagi merupakan single player (14.04%).

“Secara umum, ini merupakan tren yang bagus untuk ekosistem digital di Yogyakarta. Dari kuantitas bisnis dan kualitas produk saya pantau terus meningkat, didukung dengan banyaknya pemain yang berasal dari luar kota hadir ke sini. Ke depannya optimis akan terus meningkat dan memberikan dampak positif bagi Yogyakarta dan komunitas startup di dalamnya,” ujar Ketua Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Saga Iqranegara.

Selama ini pemain bisnis banyak yang meyakini bahwa Yogyakarta menjadi salah satu sumber talenta berkualitas. Tak salah anggapan tersebut, adanya 121 kampus di dalam provinsi tersebut memang menyumbang salah satu angka lulusan terbanyak. Dari pantauan Jogja Start-Up dapat dipetakan talenta yang mendukung bisnis digital sebagai berikut:

Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up
Pemetaan sumber talenta bisnis digital di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Diprediksikan masih akan banyak startup luar yang bersinggah di Yogyakarta

Menilik data temuan di atas, Akbar Faisal salah satu inisiator dari Jogja Start-Up memprediksikan bahwa tren ke depan justru yang akan meningkat ialah jumlah startup dari luar kota yang meramaikan lanskap bisnis di sana. Faktor yang mendorong adalah melimpahnya SDM yang dapat dijangkau oleh bisnis, ditambah dengan “biaya hidup” yang relatif lebih efisien.

Kendati demikian diyakini bahwa hal tersebut akan berimbang dengan peningkatan kualitas talenta dari Yogyakarta yang siap terjun di dunia startup, seiring dengan awareness kampus-kampus tentang bisnis digital yang kian matang.

“Stok talenta akan semakin melimpah jika melihat dari kesiapan kampus saat ini. Beberapa kampus besar seperti UGM hingga AMIKOM bahkan telah memiliki strategi khusus untuk membina talenta dari dalam, salah satunya dengan memiliki pusat pengembangan bisnis digital di lingkungan internal kampus,” ujar Akbar.

Hal lain yang menjadi temuan menarik dari survei adalah tentang tingkatan bisnis digital di Yogyakarta. Temuan survei menyatakan bahwa mayoritas (69%) startup dijalankan menggunakan pendanaan sendiri, mirisnya masih banyak (48%) yang belum berlegalitas dalam bentuk badan usaha. Hal ini bisa jadi berhubungan dengan temuan sebelumnya, masih banyak startup yang dijalankan secara perorangan.

Tentang tingkatan bisnis digital yang ada di Yogyakarta / Jogja Start-Up

Tentang upah kerja bisnis digital di Yogyakarta

Apa yang dikatakan oleh Akbar sebelumnya mungkin mengacu pada temuan berikutnya, yakni tentang rate gaji yang diberikan oleh startup untuk para talentanya. UMR yang masih cukup kecil jika dibanding dengan kota besar lain memang membawa tren standar gaji yang lebih minimalis. Kendati demikian diyakini, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik yang ada saat ini akan terus mendongkrak angka tersebut.

Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up
Rerata gaji minimal yang diberikan untuk talenta dalam bisnis digital / Jogja Start-Up

Pada dasarnya startup di Yogyakarta makin kompetitif. Tantangannya bisnis lokal tidak hanya harus bekerja keras memperjuangkan potensi pasar (khususnya millennials) yang melimpah, melainkan harus berkompetisi dengan kompetitor dari luar.

Jogja Geek Fair 2017: Jawaban dari Berbagai Isu Teknologi Yogyakarta

Penutupan development office GO-JEK dan AGATE Studio di Yogyakarta menjadikan para pelaku bisnis startup yang akan membuka kantor pengembangan maupun ekspansi pasar menjadi khawatir. Tidak hanya startup lokal, beberapa startup kelas internasional seperti 123RF yang juga membuka kantor di Yogyakarta juga melakukan hal yang sama di pertengahan tahun 2016 lalu. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar kota ini tidak cocok untuk berbisnis dan talenta atau sumber daya manusia di Yogyakarta kurang memiliki daya saing?

Permasalahan tersebut ternyata menjadi fokus dari beberapa pihak, salah satunya Asosiasi Digital Kreatif Indonesia (ADITIF), yang berbasis di Yogyakarta. Saga Iqranegara, Ketua ADITIF mengemukakan bahwa memang di Yogyakarta pada saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, khususnya dalam hal sumber daya manusia. Berkaca dari penutupan GO-JEK beberapa waktu yang lalu, muncul menjadikan beberapa startup mengurungkan niat untuk membuka kantor di Yogyakarta. Padahal talenta teknologi (baik programmer maupun non-programmer) di Yogyakarta sangatlah banyak dan potensial.

Potensi mengenai talenta teknologi di Yogyakarta juga diakui oleh GKR Hayu, Penghageng Tepas Tandhayekti Kraton Yogyakarta. Menurutnya, setidaknya dalam satu startup besar atau korporat teknologi, khususnya di kancah nasional, pasti ada orang Yogyakarta. Tidak hanya itu, beberapa startup terkenal seperti SaleStock Indonesia dan HIPWEE, mereka juga dari Yogyakarta dan membuktikan bahwa orang-orang Yogyakarta itu potensial.

Jogja Geek Fair

Beberapa isu yang menjadi sorotan tersebut, dijadikan sebuah tantangan oleh teman-teman startup di Yogyakarta. Seperti halnya startup, jika permasalahan ini tidak di validasi, maka akan menjadi wacana sepanjang masa.

“Oleh karena itu, kita mencoba mengurai ketidakpastian tersebut melalui event Jogja Geek Fair,” ujar Akbar Faisal, Project Manager JOGJA GEEK FAIR.

Akbar melanjutkan “Pada awalnya, kami mengajak beberapa startup seperti Evenesia, StartUP Jobs Asia, Nusantarahub, Caption, Taxies, dan SaleStock yang memiliki basis di Yogyakarta untuk membahas agenda tersebut, namun apabila bisa mengundang beberapa startup lain, maka akan lebih menarik. Selain itu, kami juga menggandeng DailySocial sebagai official tech-media partner agar lebih greget.”

Jogja Geek Fair merupakan event tahunan yang menghubungkan para pelaku bisnis startup, korporasi digital, komunitas, dan talenta yang ada di Yogyakarta. Rencananya, acara ini akan diadakan di Hartono Mall pada Sabtu, 6 Mei 2017. Nantinya akan ada beberapa startup lokal maupun internasional akan membuka stand untuk showcase maupun hiring. Perusahaan yang berminat untuk bergabung, ditunggu hingga 15 April untuk join event ini.

Peserta yang akan datang, tentunya tidak hanya dari Yogyakarta saja, namun juga dari sekitar Yogyakarta seperti Semarang, Solo, Magelang, dan Purwokerto. Selain itu, acara ini juga diramaikan oleh beberapa komunitas, di antaranya ADITIF, SOLOCONVALLEY, PAIJO (Paguyuban Akun Info Jogja), Inovative Academy (IA), GAMELAN (Komunitas Pengembang Game Yogya) dan Komunitas Android Yogya.

Kampus-kampus berbasis IT dan kampus yang memiliki jurusan teknologi informasi dan manajemen juga mendukung acara ini, salah satunya dengan dipersilakannya bagi perusahaan untuk memperkenalkan startupnya ke kampus dalam serangkaian event Jogja Geek Fair.

Bagi startup atau perusahaan digital yang ingin turut serta dalam pameran Jogja Geek Fair dapat mendaftarkan diri melalui tautan: http://jogjageekfair.com/companies.

Disclaimer: Artikel ini ditulis oleh tim Jogja Geek Fair 2017. DailySocial merupakan media partner acara Jogja Geek Fair 2017.

Makna Semangat Kemerdekaan bagi Penggiat Startup Indonesia

Banyak hal yang dapat diupayakan sebagai langkah untuk mengisi kemerdekaan. Memajukan bangsa dengan semangat berkreasi dan berinovasi adalah salah satunya. Semangat tersebut juga yang ingin ditunjukkan oleh para pelaku di ekosistem startup Indonesia. Melalu kreasi digitalnya, mereka bersama-sama memantapkan ekonomi digital guna mengimbangi perkembangan dan persaingan global yang kian menantang.

Di hari peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke 71 ini, tentu menjadi momen yang pas untuk terus meningkatkan semangat kebangsaan, semangat untuk turut serta memajukan kesejahteraan bangsa. Lalu seperti apa arti semangat kemerdekaan bagi para penggiat industri startup Indonesia?

“Merdeka itu bebas, bebas dalam berpikir dan berkarya. Anak muda harus berkarya dengan menciptakan solusi berbasis teknologi digital. Setelah merdeka 71 tahun, kita harus berhenti membahas potensi dan mimpi. Kini saatnya mencetak sejarah baru di era ekonomi digital. Indonesia harus jadi bangsa pemenang,” ujar Yansen Kamto selaku CEO Kibar sekaligus salah satu penggagas gerakan 1000 startup nasional.

Seperti yang telah kita ketahui dan rasakan, bahwa saat ini banyak hal sudah bergeser, dalam bentuk digitalisasi. Berbagai industri dan kegiatan ekonomi banyak ditopang penuh oleh peranan teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai penggiat ekosistem digital, langkah nyata untuk menumbuhkan kekuatan digital nasional sangat diperlukan. Karena pilihannya hanya bekerja keras atau tergerus dinamika persaingan yang begitu kuat.

“Bagi saya arti kemerdekaan adalah kebebasan untuk mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan yang baik, kehidupan yang layak, serta kebebasan dalam memilih pasangan hidup tanpa melihat perbedaan suku dan ras tertentu. Generasi muda dapat mengisi kemerdekaan dengan kreativitas tanpa batas. Bagaimana kita sebagai penerus bangsa, dapat menghasilkan gagasan jitu dan memiliki nilai ekonomi,” ujar Founder dan CEO Bridestory Kevin Mintaraga.

Kevin menambahkan, bahwa di era seperti sekarang ini, platform digital mampu memberikan banyak hal, termasuk meningkatkan potensi ekonomi yang sudah ada. Ini tentang bagaimana kita mampu menciptakan berbagai kesempatan baru, termasuk lapangan kerja hingga memperluas cakupan pasar secara digital. Untuk itu bagi Kevin, akses internet yang merata menjadi salah satu faktor penting untuk kesejahteraan bangsa.

Ketuka ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif) Saga Iqranegara turut menyampaikan pendapatnya seputar semangat kebangsaan. Baginya, momentum ini adalah saatnya berintrospeksi apakah kita sudah berdaulat secara digital. Nyatanya, masih banyak permasalahan bangsa ini yang bisa diselesaikan dengan pendekatan teknologi. Ini perlu uluran tangan pemuda Indonesia.

Berjuang untuk aspek teknologi dan digital secara tidak langsung juga memperjuangkan perbaikan aspek lain yang beririsan. Sebut saja pendidikan, kemiskinan, dan masalah lapangan pekerjaan. Semua masalah tersebut perlahan-lahan mulai disentuh dan diselesaikan dengan munculnya perusahaan rintisan yang industrinya terus tumbuh di Indonesia.

“Dengan peluang yang terbuka lebar di dunia digital, seharusnya tidak ada lagi yang namanya pengangguran terpelajar. Bukan masanya anak muda menyerah pada keadaan. Mereka bisa ambil bagian dalam gelombang kemajuan zaman ini. Mereka harus bisa menemukan peruntungannya sendiri dari dunia digital ini,” ungkap Saga.

Tak ada cara lain kecuali keberanian untuk memulai, kegigihan untuk selalu bangkit ketika gagal dan harapan, visi, misi dan mimpi yang realistis untuk menghasilkan karya yang membanggakan. Hal tersebut yang turut menjadi keyakinan William Tanuwijaya Co-Founder dan CEO Tokopedia dalam semangat untuk memberikan sumbangsih terbaik untuk bangsa.

“Kami di Tokopedia merasa bersyukur karena kami diberikan keberanian untuk memulai, kegigihan untuk bangkit dalam setiap kegagalan kami, karena kami selalu menjaga harapan untuk mimpi kami membangun Indonesia lebih baik lewat internet. Jadi bagi kami makna kemerdekaan itu, adalah ketika setiap individu di Indonesia bisa terus memiliki kebebasan untuk mengejar impian mereka, setinggi apa pun itu,” pungkas William.

Prayogo Ryza berkontribusi dalam penyusunan artikel ini.

Asosiasi Digital Kreatif Dideklarasikan di Yogyakarta

Aditif diresmikan, beranggotakan startup-startup yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya / Shutterstock

Beberapa waktu lalu kami sempat memberitakan tentang rencana adanya Aditif (Asosiasi Digital Kreatif) yang dimulai di kota Yogyakarta. Kemarin, Senin (15/6), asosiasi ini resmi dideklarasikan. Acara deklarasi ini sendiri dihadiri tak kurang dari 35 perusahaan digital yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya. Continue reading Asosiasi Digital Kreatif Dideklarasikan di Yogyakarta