Alpha JWC Ventures Pimpin Pendanaan 24 Miliar Rupiah Startup Alt-Protein “Off Foods”

Startup food-tech Off Foods mengumumkan perolehan pendanaan awal sebesar $1,7 juta (sekitar 24,3 miliar Rupiah) dipimpin Alpha JWC Ventures. Global Founders Capital (GFC) dan investor strategis lainnya, termasuk Creative Gorilla Capital, Lemonilo, dan United Family Capital (UFC) berpartisipasi dalam putaran tersebut.

Perusahaan akan memanfaatkan dana segar untuk  pengembangan penelitian terkait variasi Off Meat, dimulai dengan produk olahan alternatif daging ayam, seperti nugget. Juga masuk ke kota-kota lain dengan menerapkan strategi direct-to-consumers agar semakin banyak konsumen yang dapat dijangkau.

Off Foods merupakan startup lokal yang didirikan pada tahun lalu oleh Dominik Laurus dan Jhameson Ko. Startup ini berambisi menjadi produsen protein alternatif terkemuka (alt-protein) dari Indonesia. Caranya dengan menyediakan kesempatan bagi lebih banyak orang mengonsumsi daging hewan, tanpa mematikan daging dari hewan asli demi keberlanjutan, juga tanpa mengorbankan rasa.

Co-founder & CEO Off Foods Dominik Laurus menuturkan, pihaknya melakukan lebih dari sekadar menjual makanan, memperkenalkan ide baru perubahan gaya hidup di Indonesia yang diharapkan bisa menghasilkan masyarakat yang lebih sehat dan bumi yang lebih berkelanjutan.

“Off Meat dan [pasar] Indonesia hanyalah poin awal kami. Kami sangat senang menerima antusiasme seperti investor baru dan yang sudah ada, termasuk para ahli mapan di industri F&B, dan kami senang untuk bergerak maju dengan inovasi produk kami, ekspansi nasional segera, dan akhirnya ekspansi regional pada 2024,” kata Dominik dalam keterangan resmi, Selasa (19/4).

Perusahaan meluncurkan produk flagship Off Meat, protein serupa daging ayam, pada Agustus 2021. Dengan menggunakan model B2B, Off Foods menyuplai produknya ke berbagai restoran, seperti Gaaram, Wanfan, Mamma Rosy, dan Fitco Eats yang tersebar di tujuh kota (Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, Makassar, dan Bali).

Diklaim, pertumbuhan bisnis perusahaan melonjak hingga 10 kali lipat lewat B2B ini. Jumlah kemitraan akan terus digenjot, beberapa yang sudah dalam proses, yakni Mangkokku, Zenbu, dan Byurger yang memiliki outlet tersebar di seluruh Indonesia.

“Off Meat menjadi solusi untuk bisnis jasa makanan dalam memasok fillet daging berbasis tanaman ke pasar horeca (hotel, restoran, cafe). Produk kami terjangkau dan dapat disesuaikan untuk koki untuk membuat hidangan tanpa daging pada menu mereka dengan resep dan teknik khusus mereka sendiri. Pelanggan akan dapat menikmati selera akrab dari restoran dalam bentuk hidangan tanpa daging dan menjadi bagian dari keberlanjutan masa depan,” tambah Co-founder & CPO Off Foods Jhameson Ko.

Perusahaan ini baru-baru ini membuka cabang baru di Bali yang merupakan salah satu pasar makanan berbasis nabati yang paling penting di Indonesia. Off Foods akan melihat lebih banyak adopsi dan kemitraan dalam waktu dekat karena daging memiliki penerapan tinggi di dapur, misalnya dari menu ‘ayam’ goreng ke nugget ke ayam sambal matah tradisional, menawarkan pasar horeca di pasar negara berkembang dengan rasa yang lebih terlokalisasi dan tekstur dibandingkan dengan alt-produk yang tersedia di pasaran saat ini.

Potensi makanan nondaging

Menurut laporan terbaru dari BIS Research, sektor makanan berbasis tanaman (plant-based) secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai $480 miliar secara global pada 2024. Industri protein tanaman juga diperkirakan akan terus tumbuh di Indonesia dengan CAGR 27,5% dari 2021 hingga 2027, mewakili peningkatan sekitar enam kali lipat pada 2027, seperti dikutip dari Research and Markets.

Secara historis, adopsi nabati telah dihambat melalui titik harga premium yang sering dikaitkan dengan. Tantangan untuk kompetisi di industri ini tidak hanya soal rasa dan tekstur yang benar, tetapi juga mencakup penyempurnaan pengetahuan dan efisiensi manufaktur untuk mendekati paritas harga.

“Off Meat mencoba untuk menyelesaikan masalah lama ini, karena datang dengan alternatif yang terjangkau, menyediakan pengganti protein berbasis tanaman dengan setidaknya setengah dari titik harga para pesaingnya.”

Turut menambahkan pandangannya Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi, menurutnya alt-protein membutuhkan waktu untuk diadopsi di negara berkembang karena biayanya yang premium. Namun, konsumen telah menyadari nilai kesehatan dan manfaat lingkungan yang dibawa produk alt-food.

“Sekarang revolusi hampir menyapu pasar berkembang, seperti Indonesia dan itu adalah waktu yang tepat untuk Off Foods. Dengan produk-produknya yang hebat, strategi go-to-market yang kuat, dan struktur biaya terbaik di kelasnya yang cocok untuk mengembangkan pasar, kami percaya mereka berada dalam posisi yang kuat untuk membawa gerakan alt-protein arus utama ke rumah tangga Indonesia, “kata Eko.

Sebelumnya, startup serupa Green Rebels juga baru mendapatkan pendanaan untuk meningkatkan penetrasinya dalam menyajikan makanan berbasis alt protein.

Tokocrypto Suntik Lima Startup Pengembang Blockchain, Nanovest Salah Satunya

Tokocrypto mengungkapkan telah berinvestasi untuk lima startup blockchain di Asia Tenggara dalam rangka mendukung ekosistem web3 yang lebih masif. Tidak disebutkan nominal masing-masing yang kucurkan perusahaan untuk kelima startup tersebut, namun dipastikan bahwa investasi ini masuk dalam tahap awal.

Nama-nama dari lima startup tersebut adalah Avarik Saga (Indonesia), Play it Forward DAO (Singapura), Avarta (Singapura), Diamond Protocol (Singapura), dan Nanovest (Indonesia).

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Tokocrypto Pang Xue Kai mengatakan seluruh pendanaan tersebut dilakukan dari kantong sendiri perusahaan dan terjadi dalam kurun waktu sepanjang 2021 kemarin. Keinginan perusahaan untuk berinvestasi karena tak lain bentuk dukungan dalam rangka menggairahkan ekosistem web3 di Asia Tenggara.

“Fokus sekarang adalah mengidentifikasi lebih banyak lagi startup web3, dan ini kami lakukan melalui serangkaian program inkubasi dan akselerasi yang kami luncurkan melalui TokoLabs,” kata Pang.

Ia pun membuka kemungkinan untuk melibatkan Cydonia Fund turut serta dalam pendanaan ini. Ini adalah fund khusus yang dibentuk Indogen Capital dan Finch Capital dengan menggaet Tokocrypto. Dana kelolaan ini memiliki mandat berinvestasi dalam pengembangan ekosistem web3 berskala global dan menjadi penghubung bagi pelaku industri.

“Dengan perkembangan ekosistem aset digital, investasi kini tidak hanya berbentuk equity shares, namun juga bisa berbentuk token atau koin. Sebagai modal ventura, kami memiliki investment tesis sendiri. Inilah mengapa kami membentuk satu fund baru khusus melakukan investasi ke perusahaan dalam bentuk token atau coin,” ujar Managing Partner Indogen Capital Chandra Firmanto dalam peresmian Cydonia Fund beberapa waktu lalu.

Berikut penjelasan lebih rinci mengenai startup yang didanai oleh Tokocrypto:

1. Avarik Saga

Startup lokal ini merupakan GameFi yang mengusung konsep gim Japanese RPG (role-playing game) 2D di jaringan Ethereum. Memanfaatkan teknologi blockchain, Avarik Saga memungkinkan para pemain mendapatkan manfaat ekonomis melalui game rewards atas kontribusi mereka. Kevin Cahya selaku founder dan timnya mengaku membuat proyek gim ini karena terinspirasi oleh game P2E fenomenal Axie Infinity.

Avarik Saga merupakan satu dari 13 startup blockchain yang mengikuti angkatan pertama program Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Gim yang mereka kembangkan ini menjadi yang perdana mendapatkan dukungan pengembangan dari ekosistem blockchain lengkap dari Tokocrypto, yakni TokoVerse. Gim ini sendiri nantinya bakal diluncurkan secara resmi pada kuartal III mendatang, saat ini masih dalam penjualan koleksi NFT yang dijual di OpenSea.

2. Play it Forward DAO

Play It Forward DAO adalah kombinasi unik dari guild management platform (P2E Board) dan guild skala besar yang terdiri dari lebih dari 3.000 sarjana (PIF Guild). Memungkinkan akses luas ke game Play-to-Earn, PIF DAO diposisikan sebagai mesin pertumbuhan Metaverse Plug-and-Play.

Sama seperti Avarik Saga, startup asal Singapura ini juga masuk ke dalam angkatan pertama di TSBA. Pada awal tahun ini, PIF DAO mengumumkan penggalangan dana sebesar $6 juta yang dipimpin oleh Signum Capital. Tokocrypto dan BRI Ventures menjadi jajaran investor yang turut berpartisipasi dalam putaran tersebut.

3. Avarta

Avarta mengatasi tantangan autentikasi dan identifikasi yang meliputi aplikasi tradisional dan blockchain. Startup ini mengembangkan dompet kripto multi-rantai yang memberi pengguna blockchain keamanan yang tak tertandingi. Aplikasi blockchain memanfaatkan solusi canggih untuk pemeriksaan dan autentikasi identitas pengguna termasuk teknologi biometrik tanpa kunci, sistem TrustScore, dan daftar putih. Menawarkan protokol keamanan tingkat militer, dompet multi-rantai Avarta menumbuhkan lingkungan DeFi bagi pengguna untuk berdagang dengan percaya diri tanpa rasa takut akan penipuan.

4. Diamond Protocol

Startup asal Singapura ini dirintis oleh Coinomo dan belum dirilis secara resmi. Diamond Protocol adalah protokol vault modular yang memungkinkan setiap orang dapat memperoleh hingga 20% hasil APY.

Coinomo berdiri setelah Turn Capital mengakuisisi Dapp Pocket (pemain dompet kripto asal Taiwan) dan Cappuu (layanan yield aggregator). Coinomo adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk jual-beli mata uang kripto dan berpartisipasi dalam produk hasil dari berbagai pengembalian investasi (DeFi). Aplikasinya sudah dirilis versi beta untuk pasar Indonesia dan Taiwan sejak Juni 2021.

5. Nanovest

Ini adalah marketplace produk investasi aset digital dan saham luar negeri besutan Grup Sinar mas. Startup ini juga tergabung ke dalam TSBA. Meski belum dirilis secara resmi, Nanovest ini menawarkan kemudahan membeli saham global dan aset kripto mulai dari Rp5 ribu. Tokocrypto menjadi pihak penyedia platform untuk mengakomodasi transaksi kripto di Nanovest. Sementara untuk saham global, perusahaan bermitra dengan pedagang perantara yang terdaftar pada Financial Industry Regulatory Authority (FINRA) Amerika Serikat.

Tidak hanya marketplace, Nanovest juga memulai proyek kripto token sendiri yang belum diluncurkan—bernama NanoByte Token (NBT), berkolaborasi dengan entitas di Singapura. NBT merupakan solusi keuangan desentralisasi, dengan use-cases di dunia nyata untuk mendorong adopsi kripto secara massal di Indonesia. NBT akan menjadi native crypto token di aplikasi Nanovest.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Startup Fintech untuk PRT “Jipay” Terima Pendanaan Tahap Awal dari East Ventures

Startup fintech untuk pekerja rumah tangga (PRT) Jipay mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal senilai $1,3 juta atau sekitar 19 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari SHL Capital dan beberapa angel investors, termasuk Manila Angel Network dan Shivaas Gulati (co-founder Remitly). Dana segar ini akan dimanfaatkan untuk ekspansi tim dan pengembangan produk.

Jipay mengembangkan kartu prepaid dan aplikasi untuk keluarga dalam mengelola pengeluaran lewat PRT mereka. PRT dapat menggunakan Mastercard yang terhubung untuk belanja dan pemberi kerja dapat mengisi ulang akun melalui aplikasi yang sama. Dengan menyederhanakan proses ini, Jipay ingin menghemat waktu para pemberi kerja sekaligus menghilangkan beban tambahan PRT untuk selalu membawa dan meminta uang tunai.

Menghilangkan friksi manajemen keuangan PRT

Solusi ini pertama kali dikembangkan oleh Dayana Yermolayeva, warga Ukraina, setelah lulus dari sebuah kampus di Hong Kong di 2020. Di negara asalnya, hampir tidak ada konsep PRT yang sangat berbanding terbalik dengan Asia. Sayangnya, struktur industri PRT di sini tidak teratur, kendati peranan mereka penting dalam masyarakat dan industri tenaga kerja.

Di Hong Kong, para PRT, terutama pekerja asing, tidak memiliki akses ke bank, apalagi ke layanan keuangan dasar, seperti pengiriman uang, tabungan, dan asuransi. Sementara, keluarga yang mempekerjakan PRT asing kesulitan dengan pengaturan keuangan karena pembayaran gaji seringkali harus dilakukan secara tunai. Pengelolaan pengeluaran sehari-hari menggunakan uang tunai, kuitansi kertas, dan buku catatan adalah cara pembukuan manual yang melelahkan dan membosankan.

“Masalahnya bukan sekadar ketidaknyamanan karena pengaturan pengeluaran rumah tangga dengan cara yang berantakan ini. Masalah sebenarnya adalah kurangnya kepercayaan antara keluarga dan PRT mereka,” kata Yermolayeva dalam keterangan resmi, Kamis (31/3).

Dari akar masalah tersebut, Jipay pun lahir dengan semangat membangun kepercayaan dengan merangkul pemberi kerja, PRT, dan anak dalam satu platform. Aplikasi Jipay membantu dua kelompok pengguna. Pertama, pemberi kerja dapat menggunakan aplikasi dan Mastercard yang terhubung untuk melacak pengeluaran rumah tangga. Mereka dapat menambah dana, melihat transaksi, dan mendapat informasi tentang tren pengeluaran mingguan. Dengan demikian, pemberi kerja tidak peerlu lagi harus ke ATM untuk tarik tunai dan membaca kuitansi dari ART-nya lagi.

Kedua, para PRT dapat menggunakan kartu prepaid Jipay Mastercard untuk berbelanja keperluan rumah tangga. Kartu ini dapat digunakan di toko offline, online, maupun layanan transportasi umum. Untuk pasar tradisional yang tidak menerima kartu, PRT dapat menggunakan fitur PayNow langsung dari aplikasi Jipay. Mereka dapat melihat saldo dan transaksi waktu, sehingga mereka bisa lebih efektif dalam meggunakan anggaran rumah tangga.

“PRT asing yang menggunakan Jipay mengaku bahwa Jipay telah membantu mereka dalam menghilangkan rasa stres dan tidak nyaman dari mengatur uang tunai yang diberikan oleh pemberi kerja. Mereka tidak perlu meminta uang tunai, menyimpan kuitansi, atau membawa uang receh lagi. Dengan hal ini, para PRT dan pemberi kerja dapat membangun kepercayaan yang lebih baik.”

Rencana bisnis Jipay

Mengomentari tentang pendanaan, Yermolayeva menuturkan, “Kami sangat senang menerima pendanaan ini yang akan mempercepat misi kami untuk memberikan kemandirian finansial kepada para pekerja rumah tangga di seluruh Asia Tenggara. Kami memulai perjalanan kami dengan sebuah produk yang diperuntukkan untuk keluarga yang mempekerjakan PRT, yang kemudian memungkinkan kami untuk mempelajari lebih lanjut tentang kebiasaan keuangan PRT dan mendapatkan dukungan dari keluarga yang mempekerjakan mereka ketika kami menawarkan fitur keuangan pribadi untuk PRT asing.”

Saat ini, Jipay mengklaim telah menggaet lebih dari 1.000 orang PRT di Singapura untuk menggunakan aplikasinya. Adapun untuk nominal pengeluarannya melalui kartu (card spending) tembus ke angka $1 juta, volume transaksinya terus merangkak menjadi lebih dari 10 kali lipat dalam enam bulan terakhir. Pencapaian tersebut diklaim menjadikan Jipay sebagai game changer dalam membawa pekerjaan rumah tangga ke dalam cashless economy.

“Pengguna Jipay dari sisi pemberi kerja turut membantu dalam edukasi ke pada PRT mengenai manfaat Jipay untuk keuangan pribadi mereka, dan hal ini sangat penting terutama pada masa orientasi dan adopsi awal.”

Perusaahaan akan mengembangkan inovasi lainnya, seperti meluncurkan produk keuangan pribadi untuk para PRT; PRT akan dapat menerima pembayaran gaji ke akun pribadi Jipay mereka untuk dikirim ke keluarganya melalui Jipay Remit dan menggunakan Jipay Save untuk menyisihkan uang untuk pengeluaran besar, seperti pembelian properti atau biaya universitas untuk anak-anak mereka.

Mengomentari investasi tersebut, Principal East Ventures Devina Halim mengatakan, “Kami percaya Jipay akan menjadi platform terintegrasi yang mengeliminasi masalah atas akses keuangan di industri pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga bukan hanya industri biasa, tetapi turut menjadi industri yang mendorong produktivitas tenaga kerja di banyak negara di Asia Tenggara. Kami percaya Jipay memiliki posisi yang strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan di segmen ini.”

East Ventures Suntik Platform Kreator Konten “TipTip” Sebesar 143 Miliar Rupiah

TipTip, platform untuk kreator konten di Asia Tenggara, mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $10 juta (sekitar 143 miliar Rupiah). Angka tersebut diklaim sebagai salah satu pendanaan tahap awal terbesar yang pernah ada. Putaran ini dipimpin oleh East Ventures, dengan partisipasi dari Vertex, EMTEK, SMDV, dan beberapa family offices terkemuka.

TipTip didirikan oleh Albert Lucius, eks pendiri di Kudo yang berhasil diakuisisi oleh Grab pada 2017. Saat ini, TipTip beroperasi di Indonesia dan Singapura, memiliki tim lebih dari 70 karyawan.

Mudahkan kreator lakukan monetitsasi

TipTip hadir sebagai platform pilihan bagi kreator konten untuk memonetisasi dari hobi mereka melalui sesi video yang personal, penjualan konten digital premium, dan peluang untuk berinteraksi langsung dengan pengikut (followers) mereka. TipTip turut hadir untuk mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara berkembang di Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal dan integrasi KYC yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan dan distribusi konten melalui perangkat smartphone.

“Kami sangat menghargai dukungan dan kepercayaan yang kami terima di putaran pendanaan ini sebelum peluncuran TipTip ke publik. Keyakinan mereka semakin memperkuat visi kami akan potensi ekonomi kreator, dan bagaimana solusi yang ditawarkan TipTip dapat menjadi one-stop solution untuk semua content creator di kawasan Asia Tenggara,” ucap Founder TipTip Albert Lucius dalam keterangan resmi, Selasa (29/3).

Menurut Albert, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengakselerasi pertumbuhan TipTip dalam menjangkau dan memberdayakan ekonomi kreator di kawasan ini. Juga, memperluas tim dan mempercepat adopsi platform. Aplikasi TipTip sendiri belum diresmikan secara publik, peluncuran eksklusif (khusus undangan) rencananya akan dilaksanakan pada April mendatang. Lalu diikuti peluncuran publik untuk pasar Indonesia pada bulan berikutnya.

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Kami percaya pada potensi ekonomi kreator di kawasan ini, terutama setelah melihat pertumbuhan pesat potensi pasar selama pandemi COVID-19. Jelas bagi kita bahwa beberapa perilaku konsumen yang terbentuk selama pandemi akan terus berlangsung setelah pandemi. TipTip berada di posisi yang tepat untuk menangkap hal tersebut. TipTip adalah produk untuk dunia pasca pandemi yang dirancang selama pandemi.”

Pertemukan brand dan influencer

Tercatat saat ini besarnya permintaan untuk kegiatan digital marketing terutama yang memanfaatkan influencer tumbuh secara signifikan jumlahnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Influencer Marketing Hub, pandemi telah mempercepat pertumbuhan influencer marketing pada tahun 2020, dan jumlah ini diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2021.

Dari hanya $1,7 miliar pada tahun 2016, influencer marketing diperkirakan telah tumbuh menjadi ukuran pasar sebesar $9,7 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan melonjak lebih jauh ke $13,8 miliar pada tahun 2021.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti Partipost, AnyMind Group, Hiip, Indonesia Creators Economy besutan IDN Media, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Perusahaan teknologi Gojek pun mengumumkan kerja sama dengan platform marketing influencer Allstars untuk permudah mitra UMKM Gojek terhubung dengan influencer melakukan kegiatan pemasaran. Allstars hadir menyediakan platform untuk menghubungkan brand dengan influencer untuk keperluan promosi di media sosial. Tidak hanya menguntungkan brand, influencer pun sebetulnya juga perlu dijembatani, terlebih bagi mereka yang baru beralih profesi.

Blocknom Crypto Asset “Earning” Platform Snags 7 Billion Seed Funding

Crypto asset earning platform Blocknom announced a seed funding of $500 thousand (over 7 billion Rupiah) from three investors, including YCombinator, Number Capital, and Magic Fund. The last two names is fronted by Hendra Kwik (Fazz) and he is appointed as an advisor at Blocknom along with Tianwei Liu (Fazz) and Thomas Chen (Magic Fund).

Blocknom is currently participating in the Y Combinator’s Winter 2022 batch along with several startups. The startup was initiated in January 2022 by Gojek and Shopee’s former employee, Fransiskus Raymond and Ritase’s former engineer, Ghuniyu Fattah Rozaq.

In terms of value proposition, Blocknom offers yields deposit on available stablecoin-based crypto assets, includng USDT (Tether), USDC (Circle), and XIDR (StraitsX). The product does not have a lockup period, therefore, investors can withdraw their funds at any time. Blocknom offers earnings of up to 13% per year and is claimed to be safe from the price volatility.

“We started Blocknom to provide easy crypto investing for everyone. Based on our research, 90% of people gain negative results from trading crypto. However, they find it better to make long term crypto investments. We have not been able to find a suitable product in the market. Therefore, we decided to build Blocknom for the good of everyone,” Blocknom’s Co-founder and CEO, Fransiskus Raymond said in an official statement, Friday (4/3).

Blocknom

Based on the company’s blog, Blocknom is the first gateway for investors to enter the DeFi (Decentralized Finance) era. This platform operates on the web2 internet base and serves as a bridge for investors to the web3 DeFi industry. Blocknom implements transparency in the fund management process and has a proof of community system, with a commitment to always involve the community in the DeFi selection process to manage investor funds and has an unlimited incentives program for the community.

In the earning process, investors make earning deposits on the Blocknom website or application and they will start getting  daily rewards.

Behind the scenes, investors’ funds will be automatically input into various staking and earning platforms that have been pre-selected by the Blocknom community such as, A.A.V.E, BALANCER, CELCIUS NETWORKS, CURVE, and so on. The Blocknom algorithm will automatically carry out the process of selecting and distributing funds to the DeFi platform with the largest yield.

The competitive interest will be given as the lending institution relies on blockchain technology, with collateral lending as the core business. The collateral will be in the form of digital assets such as Bitcoin, Ethereum, etc. This allows borrowers to pay a premium interest, as they believe the value of the asset will be much higher than the interest they are paying.

Blocknom trusts Fireblock as a custodial company to store all Blocknom deposit funds. For additional security, they implement the highest level of wallet security (bank standards) and full encryption (2 factor verification). In terms of regulatory, Blocknom operates throughout Southeast Asia using the license partner method from StraitsX, licensed by MAS. Also, they currently submitting for a permit to operate in Indonesia to CoFTRA as the relevant authority.

Fransiskus said, after earning stablecoins, the company will continue to innovate to realize the mission of crypto investment for everyone journey through Blocknom.

“In the future, there will be more features designed to help people feel the benefits of crypto, not only as an investment, but also part of their daily life,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform “Earning” Aset Kripto Blocknom Umumkan Perolehan Dana Awal 7 Miliar Rupiah

Platform earning aset kripto Blocknom mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal sebesar $500 ribu (lebih dari 7 miliar Rupiah) dari tiga investor, yakni YCombinator, Number Capital, dan Magic Fund. Kedua investor terakhir ini, digawangi oleh Hendra Kwik (Fazz), sekaligus menjadikannya sebagai advisor di Blocknom bersama Tianwei Liu (Fazz) dan Thomas Chen (Magic Fund).

Blocknom saat ini berada di bawah inkubasi Y Combinator batch Winter 2022 bersama sejumlah startup lainnya. Startup tersebut dirintis pada Januari 2022 oleh mantan pegawai Gojek dan Shopee Fransiskus Raymond dan matan engineer Ritase Ghuniyu Fattah Rozaq.

Sebagai diferensiasi dengan platform earning lainnya, Blocknom menawarkan yield deposito terhadap aset kripto berbasis stablecoin yang tersedia, yakni USDT (Tether), USDC (Circle), dan XIDR (StraitsX). Produknya tidak memiliki lockup period, dengan demikian investor dapat melakukan withdraw dananya kapan saja saat dibutuhkan. Blocknom menawarkan earning hingga 13% per tahun dan diklaim aman dari volatilitas harga koin.

“Kami memulai Blocknom untuk membuat investasi kripto mudah bagi semua orang. Berdasarkan hasil riset, kami menemukan bahwa 90% orang tidak mendapatkan hasil yang baik dari trading kripto. Namun mereka merasa lebih baik untuk melakukan investasi kripto jangka panjang. Kami belum dapat menemukan produk yang sesuai di pasaran. Maka, kami memutuskan untuk membangun Blocknom demi kebaikan semua orang,” ucap Co-founder dan CEO Blocknom Fransiskus Raymond dalam keterangan resmi, Jumat (4/3).

Blocknom

Menurut blog perusahaan, Blocknom adalah gerbang pertama investor memasuki era DeFi (Decentralized Finance). Platform ini beroperasi dalam basis internet web2 dan menjadi jembatan kepada investor menuju industri DeFi web3. Blocknom menerapkan transparansi dalam proses pengelolaan dana dan memiliki sistem proof of community, dengan komitmen selalu melibatkan komunitas terhadap proses pemilihan DeFi untuk pengelolaan dana investor dan memiliki program unlimited incentives bagi komunitasnya.

Dalam proses earning, investor melakukan earning deposito di situs atau aplikasi Blocknom dan investor akan mulai mendapatkan rewards yang dibagikan setiap hari.

Di belakang layar, dana investor akan otomatis dimasukkan ke dalam berbagai platform staking dan earning yang telah dipilih sebelumnya komunitas Blocknom seperti, A.A.V.E, BALANCER, CELCIUS NETWORKS, CURVE, dan sebagainya. Algoritma Blocknom akan otomatis melakukan proses pemilihan dan pendistribusian dana dengan ke dalam platform DeFi tersebut yang memiliki yield terbesar.

Bunga yang kompetitif tersebut bisa diberikan karena backbone institusi pinjamannya adalah teknologi blockchain, yang memiliki bisnis utama pinjaman dengan kolateral. Kolateral tersebut berupa aset digital seperti Bitcoin, Ethereum, dll. Hal ini memungkinkan peminjam membayar bunga premium, sebab mereka percaya nilai asetnya akan jauh lebih tinggi dibanding bunga yang mereka bayar.

Blocknom memercayakan Fireblock sebagai perusahaan kustodian untuk menyimpan seluruh dana deposito Blocknom. Untuk keamanan lainnya, menerapkan keamanan wallet level tertinggi setingkat standar bank dan enkripsi penuh (2 factor verification). Dari segi regulasi, Blocknom beroperasi di seluruh Asia Tenggara dengan menggunakan metode partner lisensi dari StraitsX yang telah memiliki izin dari MAS. Juga, sedang mengajukan permohonan izin beroperasi di Indonesia kepada Bappebti selaku otoritas terkaitnya.

Fransiskus menuturkan, setelah earning stablecoins, perusahaan akan terus berinovasi demi mewujudkan misi semua orang dapat memulai perjalanan investasi kripto melalui Blocknom.

“Ke depannya, akan ada sejumlah fitur lain yang bertujuan membantu masyarakat merasakan manfaat dari kripto, bukan hanya sebagai investasi, tapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari,” tutupnya.

Ambisi GetPaid Sehatkan Keuangan Karyawan dengan Akses Gaji Lebih Awal

GetPaid turut meramaikan startup earned wage access (EWA) di Indonesia yang memiliki segudang masalah, terutama dari sistem penggajian yang menjadi isu buat sebagian besar pekerja. Menurut data BPS, sekitar 129 juta pekerja menghadapi tekanan dan kesulitan finansial yang disebabkan oleh arus kas yang tidak teratur, jadwal pembayaran bulanan, pengeluaran tak terduga, dan akses finansial yang terbatas. Isu-isu di atas membuat mereka akhirnya “lari” meminjam uang dari lembaga tidak resmi, yang sering menetapkan bunga tinggi dan penagihan yang mencekam.

GetPaid didirikan pada 2020 oleh Mitchell Goh dan Ian Goh. Mitchell yang mengawali karier profesionalnya sebagai pekerja sosial, kemudian melanjutkan menangani tunjangan karyawan dan keuangan. Dari situ, ia melihat bahwa sebagian besar karyawan tidak memiliki metode keuangan yang dapat membantu mereka jika ada keperluan tak terduga. Selang satu tahun, GetPaid melebarkan sayapnya ke Indonesia sejak September 2021 dan menunjuk Joses Tjohjono sebagai pimpinan regional Managing Director GetPaid Indonesia.

Seperti startup EWA lainnya, GetPaid berfokus pada penyediaan akses gaji lebih awal untuk karyawan. Perusahaan bukan memosisikan diri sebagai perusahaan pemberi pinjaman karena tidak ada kerangka waktu pembayaran, biaya bunga, atau biaya keterlambatan. Hanya biaya flat per transaksi yang dibayar karyawan ketika mereka ingin mengakses upah yang mereka peroleh.

“GetPaid hanya akan mengenakan biaya saat karyawan melakukan penarikan. Perbandingan GetPaid dengan perusahaan EWA lainnya, kita akan lebih fleksibel dan memberikan pilihan biaya transaksi untuk kenyamanan perusahaan/karyawan,” ucap Joses saat dihubungi DailySocial.id.

Dilanjutkan lebih jauh, GetPaid memberikan tiga opsi biaya. Pertama, sebesar 4% per transaksi, kemudian Rp36 ribu per transaksi, dan berlangganan Rp72 ribu per bulan. Biaya tersebut dikenakan saat pertama kali melakukan penarikan dan tidak akan ada biaya potongan lagi jika melakukan transaksi di bulan yang sama.

Akses gaji tersebut akan diberikan apabila perusahaan mendaftarkan karyawan mereka yang berhak terhadap akses tersebut melalui GetPaid. Berikutnya, karyawan dapat membuka dan mengakses aplikasi GetPaid untuk menarik gaji. Masing-masing karyawan memiliki limit penarikan dan alokasi perhitungan gaji yang dapat ditarik.

Ambil contoh, karyawan yang sudah bekerja dalam 10 hari, hanya bisa mengakses 10 hari gaji/limit penarikan mereka. Joses menuturkan, perusahaan merekomendasikan akses limit sebesar 50%-80% dari keseluruhan gaji agar karyawan tetap mendapatkan sisa gaji di tanggal seharusnya. “Dan dana yang diperoleh tersebut langsung dari GetPaid. Lalu perusahaan (karyawan) akan membayar kembali kepada GetPaid di saat tanggal gajian perusahaan tersebut.”

Joses tidak merinci secara spesifik target pengguna yang dibidik GetPaid. Ia hanya bilang membidik semua karyawan yang terdaftar di perusahaan untuk menggunakan fasilitas GetPaid. Terhitung, saat ini solusinya telah digunakan oleh 20 perusahaan. “Kami targetkan tahun ini bisa mencapai 50-100 perusahaan yang bergabung dengan kami.”

Ekspansi perusahaan akan didukung lewat perolehan dana tahap awal sebesar $1,15 juta (sekitar Rp16,4 miliar) yang didapat pada Januari kemarin dari Grovey Pay dan Nityo Infotech Service. Investasi ini memungkinkan GetPaid untuk meningkatkan dan memperluas produk EWA ke negara lainnya di Asia Tenggara.

Dorong kurangi pinjaman konsumtif

Joses melanjutkan, semangat yang ingin disampaikan GetPaid adalah mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pinjaman konsumtif yang dianggap merugikan karena bunganya yang tinggi. Kondisi tersebut benar adanya. Mengutip dari studi Health Living Index oleh AIA, uang adalah sumber utama faktor stres di Indonesia. Keuangan rumah tangga menyebabkan orang Indonesia lebih stres daripada pekerjaan, hubungan, atau bahkan kesehatan fisik mereka.

Survei global lainnya yang diselenggarakan PwC pada 2019 menemukan bahwa sebanyak 67% pekerja melaporkan berjuang pada tekanan finansial, yang berarti lebih dari dua pertiga populasi pekerja rentan terhadap migrain, depresi, dan kecemasan. Banyak penelitian menyoroti efek stres keuangan karyawan terhadap kinerja bisnis.

“GetPaid dapat membantu karyawan yang memerlukan dana darurat tanpa perlu melakukan pinjaman. Rencana kami ke depannya adalah memberantas pinjaman online dengan menggunakan GetPaid, sebab kami bukan pinjaman online.”

Perusahaan akan terus melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai solusi EWA yang terbilang masih baru di Indonesia. Terlebih semenjak pandemi, banyak orang yang membutuhkan dana di awal untuk bertahan hidup. EWA dapat menjadi solusi untuk mendapatkan gaji lebih awal dan bukan berbentuk pinjaman karena tidak memiliki bunga atau biaya keterlambatan.

Karena potensi yang luas, ia optimistis bahwa ke depannya EWA akan diminati oleh perusahaan karena menguntungkan. Perusahaan tidak perlu terganggu cash flow-nya untuk memberikan kasbon kepada karyawan. “Kami masih melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa jangan takut untuk menggunakan fasilitas yang diberikan GetPaid karena kami adalah solusi keuangan yang sehat untuk keluarga,” pungkas Joses.

Brick Announces 122 Billion Rupiah Funding Led by Flourish Ventures and Antler

Open finance startup Brick announced seed funding of $8.5 million or around 122 billion Rupiah, led by Flourish Ventures and Antler. This fundraising aims to support the vision of empowering the next generation of fintech companies with an easy-to-implement, cost-effective and inclusive infrastructure. This includes regional expansion plans to Singapore and the Philippines, after its first focusing on Indonesia.

Other investors are participated in this round, including Trihill Capital, and the previous investors, Better Tomorrow Ventures and Rally Cap Ventures. There are also some well-known fintech operators, including Sima Gandhi (Plaid, Creative Juice), Yan Wu (Bond), Brian Ma (Divvy Homes) , Ooi Hsu Ken (Iterative), Amrish Rau (Pine Labs) and Andrea Baronchelli (Aspire).

Brick was founded in 2020 by Gavin Tan (CEO) and Deepak Malhotra (CTO). Gavin was an early employee at Aspire. Deepak built India’s first unicorn neobank for millennials as the co-founder and CTO of Slice.

In an official statement, Gavin said, Brick is building a fintech rail for Southeast Asian technology companies. This funding will enable Brick to accelerate growth, scale technology platforms to expand product offerings, and support more developers in the region to build financially inclusive services.

“This funding also allows us to recruit senior local talent in every country where we operate such as Indonesia, to localize our product and ensure that it is in line with best practices and the highest standards of good corporate governance and consumer protection, especially in the sphere of integrity and data protection. Compliance, consumer protection and consumer trust are our top priorities at Brick,” Tan said.

Global Investments Advisors of Flourish Ventures, Smita Aggarwal said, “Brick is ideally positioned for growth, with a great team and a leading competitive position in the market with strong regulatory support for open finance. He continued, to catalyze the growth of financial services across customer segments, Southeast Asia needs infrastructure that enables secure and fast integration of identity verification, credit assurance and financial planning for customers.

“We believe that widespread adoption of open financial tools can accelerate financial inclusion across the region and provide a significant boost to economic growth. We look forward to working with Brick as it supports the revival of embedded finance in this very unbanked region,” Aggarwal said.

Antler’s Partner, Teddy Himler added, “We believe in an open financial model and vision for Southeast Asia. With Brick, Antler believes the region will have a more transparent, competitive and innovative fintech ecosystem. While Europe is taking a regulation-driven approach, he felt the market attraction from fintech apps (and their customers) to build on top of a basic API infrastructure.

“We believe that ASEAN’s most innovative banks, governments and consumer services will embrace open finance as a way to leapfrog traditional payments and data infrastructure,” Himler said.

In addition to Brick, open finance startups that have operations in Indonesia include Finantier, Brankas, and Ayoconnect.

Brick API Solution

Brick builds Application Programming Interfaces (APIs) for fintech and consumer technology companies. This API makes it easy for popular fintech platforms to offer payment, credit, investment, and insurance products to their consumers by linking these platforms to hyperlocal data sources. For example, if a user wants to take out a loan, Brick technology can immediately link the platform with the user’s financial account, or collect mobile wallet or job data to help process loan applications.

This technology automates and integrates the time-consuming process of collecting data from multiple sources to facilitate financial transactions. That means fintech platforms can quickly offer their users a variety of customized financial products and improve access to finance while accelerating digital adoption across Indonesia and Southeast Asia.

Brick now serves more than 50 paying clients, including some of Indonesia’s fastest growing fintech and conglomerates such as Sinarmas Group and Astra Financial. The company supports more than 13 million API calls and nearly 1 million consumers every month.

Over the past six months, Brick has expanded its API suite to better serve technology companies in Indonesia. In addition to the Brick Data API, the company now offers Brick Verification and Brick Payments. This allows the Brick API suite to cover deeper use cases and allows developers to launch world-class products with a single API integration.

For example, the end-to-end user journey from onboarding, underwriting and disbursing for users looking to take out loans, can now be automated with Brick Verification, Brick Data, and Brick Payments. While the company is currently focused on Indonesia, Southeast Asia’s largest economy, Brick plans to cover the entire region, starting with expansion to Singapore and the Philippines later this year.

Brick serves a dynamic and rapidly growing technology ecosystem in Indonesia, with more than 5,000 technology companies increasingly leveraging fintech in their product offerings. Indonesian fintech companies managed to attract more than $1 billion in investment throughout 2021, up from $282 million in 2020.

The high demand was accompanied by strong regulatory support. Bank account penetration in Indonesia is still below 50% and, to meet the government’s target of 90% financial inclusion by 2024, the central bank issued a comprehensive open banking API standard in 2020. Brick is collaborating with Bank Indonesia and the Indonesian Financial Services Authority ( OJK).

Research shows that open banking can have a strong economic impact in emerging markets, where it can significantly increase financial inclusion. Research conducted by Flourish Ventures and McKinsey & Company shows that widespread adoption of an open data ecosystem in India could result in a four to five percent increase in GDP by 2030.

Flourish believes that the potential for improvement in Southeast Asia could be even greater since the region ranks ahead of India in terms of digital adoption but lags behind in access to traditional bank-provided financial services.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Agritech Semaai Terima Investasi Tahap Awal dari Surge dan Beenext

Startup agritech Semaai mengumumkan pendanaan putaran awal sebesar $1,25 juta atau sekitar 18 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Surge, program percepatan dari Sequoia Capital India; dan Beenext. Sejumlah angel investor, seperti Nipun Mehra (Ula), Harshet Lunani (Qoala), dan Prashant Pawar (Houlihan Lokey), turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Dana akan dimanfaatkan untuk perluas jaringan pengiriman, dimulai dari toko tani (pengecer pertanian) yang pada akhirnya menjangkau petani kecil di pedesaan. Juga, menambah tim engineer dan produk yang akan ditempatkan di India hingga tiga kali lipat sampai akhir tahun ini.

Startup ini didirikan pada April 2021 oleh Muhammad Yoga Anindito, Abhishek Gupta, dan Gaurav Batra. Masing-masing memiliki latar belakang yang kuat di bidang agrikultur dan rantai pasok. Yoga sebelumnya memimpin perusahaan distributor input pertaniannya sendiri, kemudian Hasana memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rantai pasok pertanian. Sementara, Abhishek telah berpengalaman bekerja dengan pemerintah untuk memimpin berbagai proyek rural dalam bidang agrobisnis, fintech, dan kebijakan.

Semaai berambisi ingin memberikan kesempatan kepada jutaan petani dan UMKM pedesaan dalam menciptakan mata pencaharian berkelanjutan dan akses ke pembiayaan, layanan, dan pasar baru yang lebih baik. Melalui jaringan pusat pemberian layanan yang berkembang, Semaai menyediakan rangkaian lengkap layanan pertanian, seperti konsultasi khusus, alat produktivitas serta input pertanian seperti benih dan produk pupuk.

Pertanian di Indonesia adalah sebuah industri dengan nilai S$100 miliar yang terdiri dari 13,5% dari PDB negara, dan didukung oleh lebih dari 40 juta petani dan usaha kecil di daerah pedesaan – hampir sepertiga (29%) dari angkatan kerja di Indonesia. Sebagian besar tenaga kerja pertanian terdiri dari petani kecil, petani skala kecil, dan UMKM pedesaan seperti toko tani, yang merupakan pengecer pertanian kecil yang memasok sarana produksi (saprodi) dan alat-alat pertanian (alsintan) kepada petani kecil.

Meskipun kontribusi mereka pada perekonomian di Indonesia sangat besar, para petani dan UMKM pedesaan ini menghadapi tantangan besar untuk dapat mempertahankan mata pencaharian mereka. Padahal, permintaan kelas menengah akan produk makanan yang beragam semakin meningkat. Namun, mereka belum bisa memanfaatkan momen ini karena rantai pasok pertanian yang sangat terfragmentasi dan kompleks di Indonesia, yang akhirnya menyebabkan penetapan harga yang tidak jelas, kurangnya akses ke saprodi dan alsintan yang terjangkau, dan kesenjangan besar dalam supply dan demand.

Semaai bertujuan untuk mengatasi masalah sistemik tersebut dengan menawarkan rangkaian layanan yang komprehensif untuk komunitas pertanian pedesaan. Startup ini mengombinasikan konsultasi khusus melalui tim ahli agronomi, akses ke teknologi modern serta saprodi dan alsintan dengan harga terjangkau seperti benih, pestisida dan pupuk.

Co-founder Semaai Muhammad Yoga Anindito menuturkan, digitalisasi UMKM di sektor hulu pertanian berpotensi menjadi game-changer bagi agroekosistem Indonesia. Pihaknya percaya dalam memanfaatkan teknologi untuk mengubah pola pikir dan cara petani dan pelaku UMKM dalam menjalankan kegiatan mereka, dan melengkapi mereka dengan alat dan keterampilan yang diperlukan untuk memaksimalkan keuntungan mereka.

“Kami yakin bahwa bersama dengan tim kami yang berpengalaman dan pendekatan online ke offline yang unik, kami dapat tumbuh secara eksponensial untuk memberikan dampak yang berarti bagi lebih banyak petani. Dana dari penggalangan ini akan kami gunakan untuk memperkuat tim kami, memperdalam sistem distribusi kami dan ekspansi ke seluruh Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (15/2).

Dengan solusinya tersebut, diklaim sejak lima bulan peluncuran, Semaai berhasil meningkatkan GMV dari produk yang dijual ke toko pertanian dan koperasi sebesar 10 kali lipat. Angka tersebut akan ditingkatkan seiring ambisi perusahaan yang ingin menjangkau dan memberikan manfaat kepada 100 ribu petani kecil dan UMKM pedesaan di tahun depan.

Tantangan rantai pasok di industri pertanian

Solusi yang ditawarkan Semaai bukanlah barang baru, sebelumnya sudah ramai startup yang masuk menawarkan solusi efisiensi di rantai pasok pertanian. Dalam publikasi bertajuk “Yielding Next Gen. Agri Conglomerate Leveraging Tech Orchestration”, Arise menyoroti empat pain points utama dalam rantai pasok pertanian. Yakni, keterbatasan akses ke permodalan, rantai pasok yang terfragmentasi dan kurang efisien, minimnya akses ke teknologi, dan ketidakpastian harga akibat perubahan iklim.

Sementara sektor ini memiliki potensi industri yang sangat besar, nilainya bisa melebihi $500 miliar terhadap GDP global di tahun 2030 mendatang. Kontribusi dari negara Asia Pasifik ditaksir menyumbangkan 8,2% dari nilai total tersebut. Melihat tren tersebut, di kancah global investasi untuk startup argitech juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di 2020, terdapat sekitar 834 kesepakatan pendanaan, membukukan lebih dari $6,7 miliar.

Kendati pemain agritech sudah banyak bermunculan – termasuk beberapa yang sudah jadi soonicorn seperti Tanihub, Eden Farm, Aruna, dan eFishery—tim Arise masih melihat ada beberapa celah yang masih belum terisi oleh inovasi digital -sekaligus peluang investasi yang masih terbuka- salah satunya terkait B2B marketplace yang memenuhi kebutuhan petani. Selanjutnya, Arise akan melirik layanan manajemen dan IoT yang bisa membantu petani melakukan tata kelola lahan garapannya.

Di kancah global, beberapa startup agritech berhasil membukukan traksi luar biasa, termasuk kaitannya dengan investasi yang dibukukan. Belum lama ini DeHaat, sebuah startup asal India yang memiliki model bisnis serupa dengan Agriaku, baru saja mengumpulkan dana seri D senilai $115 juta dari Lightrock, Sequoia Capital India, dan Temasek Holdings, dan lain-lain.

Ekosistem solusi digital untuk sektor pertanian / Arise

Berrybenka Kini Jadi Grow Commerce, Umumkan Pendanaan Awal 100 Miliar Rupiah

Berrybenka mengumumkan perubahan nama (rebranding) menjadi “Grow Commerce” yang berkonsep rollup e-commerce dari sebelumnya perusahaan e-commerce. Pada saat yang bersamaan, perusahaan yang dipimpin oleh Jason Lamuda ini juga mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $7 juta (lebih dari Rp100 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, dan diikuti oleh East Ventures dan IRONGREY.

Dana segar akan dimanfaatkan untuk mendorong rangkaian akuisisi lebih banyak merek dan menciptakan teknologi yang lebih mutakhir untuk mendukung aspek operasional guna mempercepat pertumbuhan mereka.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Grow Commerce Jason Lamuda menuturkan Grow Commerce mengambil posisi sebagai House of Brands dengan pengalaman operasional yang kuat dalam membangun dan mendukung pertumbuhan merek lokal. Salah satu contoh keberhasilan ini dapat dilihat dari aspek distribusi penjualan. Ia dan tim telah mengembangkan platform online sendiri, membangun jaringan toko offline, berekspansi dan berjualan di berbagai pasar online.

“Dalam perjalanan tersebut, kami memahami terdapat banyak titik sulit (pain points) dan kebutuhan menyeluruh yang harus dipenuhi dari sisi pemilik brand. Grow Commerce hadir untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut. Kami berharap, kami dapat bermitra dengan lebih banyak merek lokal dan para pengusaha di kawasan ini,” ucap Jason, Selasa (15/2).

Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di bidang e-commerce, Jason dan tim berada dalam posisi yang tepat untuk memasuki fase berikutnya guna membangun Grow Commerce sebagai agregator merek e-commerce terkemuka.

“Dengan putaran pendanaan saat ini, Grow Commerce telah membuat rencana yang kuat untuk mengakuisisi merek yang berkembang pesat, meningkatkan penjualan lini depan, dan memperluas rantai pasokan yang lebih luas. Grow Commerce berada di posisi yang tepat untuk menjalankan rencana ini guna mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dan AC Ventures akan menjadi bagian dari perjalanan ini,” kata Li.

Telah miliki 4 portofolio merek

Sebagai rollup e-commerce yang menggunakan model bisnis Thrasio-style, Grow Commerce bekerja dengan cara mengakuisisi merek-merek berbasis digital yang tumbuh cepat. Regional ini dianggap sebagai area yang tepat untuk mengoperasikan model bisnis tersebut, lantaran sebagian besar penduduknya merupakan pengguna internet berbasis mobile. Dengan demikian, terdapat campuran antara DTC dan saluran distribusi penjualan online, dan relevansi berkelanjutan dari ritel offline.

Saat ini, Grow Commerce memiliki empat portofolio yang diklaim memiliki pendapatan tahunan sebesar $20 juta secara gabungan. Merek tersebut adalah Berrybenka, Aleza, Kottonville, dan BBS. Keseluruhannya merupakan merek fesyen.

Setelah memimpin dan mengembangkan Berrybenka, merek fesyen berbasis digital pertama, Jason dan tim sangat memahami tantangan dan aspirasi pemilik merek lokal dan apa yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis semacam itu secara eksponensial. Dengan keahlian tersebut, Grow Commerce memanfaatkan data analitik dan teknologi eksklusif dalam memilih kategori dan merek potensial untuk diakuisisi.

Mereka menawarkan solusi yang fleksibel dan transparan bagi para pemilik merek untuk bergabung dengan Grow Commerce dan mengembangkan bisnis bersama. Setelah menjadi bagian dari perusahaan, portofolio akan dibekali dengan berbagai strategi pertumbuhan omnichannel canggih dan teruji, seperti Berrybenka dan Aleza yang telah memberikan pertumbuhan penjualan QoQ lebih dari dua kali lipat hingga tiga kali lipat.

Sebagai ahli marketplace, tim Grow Commerce terus mencermati operasi rantai pasokan merek dan pengalaman pelanggan untuk memastikan agar pertumbuhan penjualan mereka dapat berkembang pesat, dan mencegah penurunan tingkat kepercayaan pelanggan. Grow Commerce telah meningkatkan jumlah tim mereka sebanyak lebih dari 150 orang, dan optimistis dapat tumbuh secara signifikan selama enam bulan ke depan, seiring dengan pertumbuhan pendapatan mereka.

Tren rollup e-commerce

Grow Commerce meramaikan pasar rollup e-commerce di Indonesia yang sebelumnya telah diisi oleh Hypefast, OpenLabs, Una Brands, dan Tjufoo. Merebaknya konsep Thrasio-style ini didukung oleh semakin matangnya ekosistem e-commerce. Mereka bertindak sebagai agregator merek era baru, mengakuisisi perusahaan D2C yang menjanjikan untuk memastikan keunggulan operasional dan pertumbuhan yang cepat, sehingga menciptakan nilai bagi investor.

Menariknya, masing-masing dari startup yang hadir di sini didirikan oleh mantan para petinggi di perusahaan e-commerce. Hypefast didirikan oleh Achmad Alkatiri yang sebelumnya bekerja untuk Lazada Indonesia, OpenLabs oleh Jeffrey Yuwono yang merupakan salah satu pendiri dari Sorabel.

Startup Total perolehan dana Investor
Hypefast $22 juta (debt dan ekuitas) Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Arkblu Capital, dan Amand Ventures
OpenLabs $100 juta Undisclosed
Una Brands $55 juta (debt dan ekuitas) Alpha JWC Ventures, White Star Capital, Global Founders Capital, 500 Startups, dll.
Tjufoo $125 juta Undisclosed
Grow Commerce $7 juta AC Ventures, East Ventures, IRONGREY

Diprediksi merek lokal D2C akan tetap menjadi segmen yang menarik dalam perkembangan industri e-commerce, terlebih penetrasinya terus menunjukkan tren meningkat di Indonesia. Mengacu pada laporan e-Conomy 2021, e-commerce tetap akan menjadi pendorong terbesar ekonomi digital di negara ini. Sektor ini diprediksi akan tumbuh dari $35 miliar pada 2020 menjadi $53 miliar pada 2021. CAGR sektor ini diproyeksikan naik 18% menjadi $104 miliar hingga 2025.