4 Hal Seputar Membangun Bisnis Furnitur Melalui Platform Digital

Perkembangan e-commerce di Indonesia berhasil membentuk ekosistem yang matang bagi pelaku startup lain yang ingin menjajal bisnis baru. Jika e-commerce sempat didominasi oleh marketplace di kategori produk fashion, kini semakin banyak startup yang bermain di vertikal bisnis yang berbeda.

Salah satunya adalah platform jual-beli produk furnitur. Pemainnya terus bertambah dan bisnisnya kian bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Ini menandakan adanya antusiasme pasar terhadap pembelian furnitur dengan cara yang tidak lagi konvensional.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, DailySocial membahas seputar membangun bisnis furnitur yang sustain melalui platform digital. Simak selengkapnya sharing menarik dari Co-founder dan CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo.

Tantangan bisnis furnitur via platform digital

Bagi Marshall, bisnis akan selalu berkembang, demikian juga masalah yang akan dihadapi kemudian. Dalam membangun furnitur dengan brand Fabelio dan memasarkannya lewat platform digital, ia mengaku bahwa standarisasi produk yang akan dijual menjadi salah satu tantangan terbesar. Ia harus memastikan mitranya dapat memproduksi furnitur dengan kualitas konsisten.

Tantangan lainnya adalah persoalan logistik untuk memudahkan pengiriman dan penerimaan barang. “As we grow, kami sadar bahwa furnitur itu barang besar. Pengirimannya tidak bisa begitu saja menggunakan kurir instan dan ditinggal di lobi. Di sini kami berupaya untuk memudahkan proses pengiriman hingga penerimaan barang bagi customer,” tuturnya.

Adopsi teknologi yang punya impact bagi pembeli

Dukungan teknologi canggih sering diklaim dapat meningkatkan sebuah layanan. Implementasi Artificial Intelligence (AI) atau Virtual Reality (VR) banyak disebut dapat meningkatkan customer experience, terutama pada produk retail besar, seperti furnitur.

Marshall menilai hal tersebut bisa saja benar, dengan catatan teknologi tersebut dapat memberikan dampak terhadap customer. Menurutnya, apabila sebuah teknologi punya high impact ke customer, proses switch-nya bakal lebih mudah. Ambil contoh, teknologi AI dapat menganalisis apakah customer memiliki high intent/low intent saat browsing barang.

“Kami tidak ingin membebankan customer dengan jargon semacam itu agar terlihat smart. Bagi kami yang terpenting adalah menghadirkan platform yang nyaman untuk bertransaksi. Ini kenapa kebanyakan inovasi kami tidak monumental, seperti AI atau VR,” ungkap Marshall.

Menurutnya, adopsi teknologi dapat dikatakan memberikan impact apabila dapat memberikan hasil secara organik dari transaksi. Pada kasus Fabelio, pihaknya selalu melakukan upgrade berkala pada website-nya agar customer nyaman browsing produk sebelum berinteraksi dengan virtual assistant buying.

Strategi mendongkrak repeat purchase

Seperti disebutkan sebelumnya, business nature produk furnitur cukup berbeda dengan produk-produk yang biasa kita temui di e-commerce. Hal ini karena furnitur merupakan produk berukuran besar.

Demikian juga dengan customer behavior-nya. Menurut Marshall, produk furnitur cenderung dibeli dari hasil browsing, bukan searching. Nilai pembeliannya juga besar untuk satu barang.

Lalu, bagaimana strategi untuk menjaga repeat purchase agar tetap tinggi? Menurut Marshall, sebetulnya average order value bisa saja dikurangi, tetapi harus ada ekspansi kategori produk sehingga memperluas segmen pasar. Alhasil, konsumen bisa melakukan pembelian lebih sering.

“Ini sebetulnya soal permainan product management. Dalam capital business, ini bisa dilakukan jika ada modal. Bagi kami, saat ini Fabelio ingin manage supaya customer ada high purchase. [Jika ingin ekspansi kategori], ini bisa kolaborasi dengan mitra supply chain lain, seperti produsen gelas. Mereka lebih jago dibandingkan jika kami harus produksi sendiri,” jelasnya.

Bisnis furnitur di masa Covid-19 dan new-normal

Di masa pandemi ini, Marshall mengaku ada banyak penyesuaian dilakukan untuk menjaga agar bisnis tetap berjalan. Apalagi, bagi bisnis ritel yang utamanya bergantung pada engagement di toko fisik.

Pada kasus Fabelio yang juga memiliki offline, Marshall menyebutkan bahwa pihaknya terpaksa harus menutup sekitar 20 tokonya selama masa pandemi ini. Akan tetapi, pihaknya melakukan inovasi dengan mengembangkan virtual assistant buying atau check agent untuk meningkatkan customer experience tanpa harus tatap mukaInovasi lain yang dapat dilakukan pada bisnis ini adalah menyediakan protokol khusus pada pengiriman dan penerimaan barang.

“Di situasi sekarang, tidak mungkin kita linger lama-lama di toko. Kami harus tahu apa yang nyaman bagi customer. Makanya, pengiriman barang pun harus disesuaikan dengan kondisi tertentu, seperti waktu instal furnitur dan memastikan situasi rumah tidak dalam keadaan ramai. Harusnya, strategi ini bisa berhasil untuk semua brand retail,” ungkapnya.

Kolaborasi Strategis dengan Startup untuk Mendukung Inovasi Korporasi

Makin menjamurnya startup berbasis teknologi secara langsung telah mengubah kebiasaan masyarakat luas mengadopsi layanan digital. Didukung dengan digital native company yang mulai banyak bermunculan dan secara langsung men-disrupt berbagai bisnis, termasuk finansial dan berbagai sektor lainnya. Tidak dapat dipungkiri, dengan tetap relevan dan inovatif kini menjadi kunci sukses korporasi.

Melihat tren tersebut, dalam sesi #SelasaStartup teranyar, DailySocial mencoba mengupas potensi kerja sama strategis antara korporasi dengan startup dan perusahaan teknologi. Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yakni VP of Investor Relation & Strategy BRI ventures Markus Liman Rahardja, VP of Dgital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko, dan Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna.

Upaya untuk tetap relevan

Salah satu alasan mengapa pada akhirnya korporasi harus dengan cepat mengadopsi teknologi ke dalam proses dan sistem mereka adalah agar tetap relevan. Baik di mata pelanggan hingga pihak terkait lainnya. Untuk mencapai hal tersebut, korporasi mulai banyak melakukan perubahan dan inovasi baru yang secara keseluruhan menyentuh teknologi. Apakah yang terkait dengan produk hingga potensi untuk kolaborasi dengan pihak eksternal.

“Kami menyadari sepenuhnya perubahan perilaku dari masyarakat luas saat ini yang terjadi karena mulai banyaknya fintech yang menawar layanan seperti p2p lending, asuransi teknologi, hingga wealth management. Sebagai perusahaan yang sudah menginjak usia 120 tahun, kami juga memiliki beragam produk lainnya di luar bisnis utama kami yaitu gadai, dengan mengadopsi digital kami ingin memperluas eksistensi perusahaan,” kata Herdi.

Sama halnya dengan bank dan pasar, Pegadaian memiliki jumlah cabang yang cukup besar. Tentunya menjadi menarik ketika sumber daya tersebut dimanfaatkan sepenuhnya dengan mulai mengadopsi digital dengan tujuan untuk menyentuh kepada transformasi digital.

Hal serupa juga disampaikan oleh BRI Ventures, yang selama ini mencoba untuk terus menghadirkan inovasi agar bisa tetap relevan, terutama untuk perusahaan yang sudah berusia sekitar 100 tahun. Bukan hanya inovasi saat ini saja namun juga ke depannya. Dalam hal ini Markus menegaskan, ada dua jalur yang kemudian ditempuh oleh BRI Ventures, yaitu eksploitasi dan eksplorasi.

“Untuk eksploitasi kami ingin sistem yang saat ini ditingkatkan lagi, dan untuk eksplorasi menjadi kesempatan bagi kami untuk menyambut ekosistem digital baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk dijajaki oleh kami,” kata Markus.

Dalam hal ini BRI Ventures ingin berinvestasi kepada startup yang memiliki misi dan visi yang sejalan dengan perusahaan, sebagai corporate venture capital (CVC). Apakah itu dalam bentuk inovasi, teknologi hingga jaringan yang dimiliki. BRI Ventures ingin menjalin kolaborasi dengan startup yang high scaling dan high growing.

Kolaborasi dengan startup

Saat ini BRI Ventures menjadi salah satu CVC yang cukup aktif berinvestasi kepada beberapa startup fintech di Indonesia. Mulai dari Investree hingga Modalku, yang keduanya dinilai bisa memberikan keuntungan lebih untuk BRI maupun BRI Ventures sendiri.

“Inilah yang kemudian membedakan antara ‘vendoring’ dengan ventures. Sebagai CVC idealnya kami ingin melakukan kolaborasi yang strategis demi menghadirkan teknologi yang relevan dan bermanfaat bagi kedua pihak,” kata Markus.

Bukan hanya di sektor finansial, BRI Ventures juga telah berinvestasi kepada TaniHub yang merupakan agritech terkemuka di tanah air. Tujuannya tentu saja masih bersentuhan dengan pembiayaan, namun memanfaatkan channel baru yang lebih efektif.

Di sisi lain bagi Pegadaian yang selama ini belum bermain dalam hal investasi, untuk bisa memberikan inovasi baru dan mengadopsi teknologi dengan cepat, kolaborasi atau kerja sama strategis dengan digital native startup, secara masif sudah dilakukan oleh mereka. Mulai dari menjalin kemitraan dengan Tokopedia, hingga mempekerjakan tenaga profesional, yang tujuannya untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital.

“Selama ini kebanyakan korporasi hanya mengandalkan konsultan ketika ingin melakukan perubahan atau menghadirkan inovasi baru. Melalui kerja sama dengan startup dan perusahaan teknologi, paling tidak bisa menyegarkan mindset tim internal kami sekaligus mempercepat proses transformasi digital,” kata Herdi.

Dukungan pemerintah

Sebagai regulator dalam hal ini pemerintah memiliki peranan yang cukup krusial. Bukan hanya untuk melancarkan bisnis yang dimiliki oleh startup dan korporasi, namun juga memudahkan mereka untuk melakukan dialog hingga diskusi dengan para regulator. Meskipun masing-masing sektor ditangani langsung oleh kamenterian terkait, namun Kominfo bisa mendukung semua dalam hal teknologi dan inovasi terkait.

“Salah satu contoh menarik yang kemudian wajib untuk dicermati adalah saat pandemi berlangsung, layanan konsultasi dokter online yang ditawarkan oleh startup healthtech menjadi sangat relevan,” kata I Nyoman.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan luasnya persoalan yang dihadapi di berbagai sektor, teknologi dan startup yang mencoba untuk menawarkan layanan terkait harus menunda atau bersabar, karena prioritas dari masing-masing kementerian.

Sebagai contoh teknologi smart farming dan IoT yang bisa bermanfaat bagi para petani dan nelayan, menjadi hal yang tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait karena fokus mereka lebih kepada pembiayaan dan hal lain yang lebih dibutuhkan oleh petani saat ini.

“Masing-masing kementerian memiliki prioritas dan cara pandang berbeda. Namun ada baiknya bagi pemerintah untuk mendengarkan permintaan dari startup, perusahaan teknologi atau korporasi yang ingin menghadirkan solusi baru memanfaatkan teknologi,” kata I Nyoman.

Menyiasati Transformasi Digital yang Tepat di Tengah Pandemi

Lebih dari tiga bulan lamanya, semua bisnis terhantam oleh pandemi Covid-19. Berbeda dengan krisis sebelumnya, kini ada teknologi digital yang dapat dimanfaatkan agar bisnis tetap bertahan. Karena pertimbangan ini, akhirnya korporasi besar mantap untuk terjun ke digital setelah sebelumnya baru sampai evaluasi.

Pun demikian untuk startup rintisan, go digital menjadi suatu dorongan yang harus dilakukan segera. Pasalnya, dibantu oleh ekosistem digital yang mulai terbentuk, transformasi digital akan jauh lebih cepat prosesnya. Kelebihan lainnya adalah bisnis jadi lebih efisien dan operasional bisnisnya jauh efektif.

Dalam membahas topik di atas, #SelasaStartup kali ini mengundang para pembicara yang pakar dibidangnya masing-masing untuk memberikan kiat-kiatnya untuk transformasi digital bagi startup yang baru dirintis. Ada Founder & CEO HijUp Diajeng Lestari, Country Marketing Lead of Dell Indonesia Aji Jayaloka, dan Digital Content Creator Ario Pratomo. Berikut rangkumannya:

Lebih cerdik mengemas produk

Diajeng menuturkan, pandemi ini membuat para pemilik bisnis harus kembali melihat jumlah karyawan. Menurutnya ukuran kesuksesan buat perusahaan, bukan dari jumlah karyawan. Apalagi saat pandemi ini, pemilik bisnis harus lebih hati-hati karena semua industri punya tantangan masing-masing, terutama yang bergerak di kebutuhan sekunder dan tersier.

Lalu agar produk yang dijual menonjol, cara membungkusnya dengan membentuk karakter dan keunikan untuk memperlihatkan kualitas. Apalagi buat produk yang semakin umum, value-nya akan semakin kecil, konsep ini bisa dilakukan. Bila bersaing harga, saingannya akan terlalu banyak karena lawannya adalah penjual di marketplace C2C.

“Kuncinya ada di produk itu sendiri harus diceritakan seperti apa value-nya. Kalau kita investasi ke kualitas, bisa story telling bagaimana menyajikan produk dengan baik, kita bisa tetap bersaing sekalipun jualan produk yang sangat common,” kata Diajeng.

Karena harus meminimalkan budget pengeluaran, maka startup bisa memanfaatkan platform yang sudah ada. Bisa mulai dari berjualan di platform marketplace yang sudah terkenal, daripada harus bangun situs sendiri dari awal yang lebih makan waktu dan biaya.

Setelah itu, pebisnis mulai fokus menjalankan strateginya untuk menarik pembeli bukan penetrasi strategi dengan pasang iklan di mana-mana. “Bagaimana produk kita bisa atraktif ya caranya dengan story telling.”

Menyesuaikan cerita dengan target pengguna

Menyambung dari pernyataan Diajeng, Ario menambahkan cara ia dalam membuat konten ke dalam berbagai platform online, sejatinya juga dapat diaplikasikan untuk berjualan produk. Biasanya cara yang ia lakukan adalah membuat topik besar yang ia tuangkan ke dalam platform YouTube atau audiens podcast.

Kemudian ia meneruskan konten tersebut ke platform lainnya seperti Instagram, TikTok, Twitter yang dikemas ulang agar sesuai dengan audiensnya. “Konten harus informatif, tapi jangan lupa untuk entertaining dengan caranya sendiri. Strategi hardsale itu sekarang sudah tidak begitu kerja, sudah bukan zamannya lagi,” terang Ario.

Diajeng menambahkan dalam implementasi story telling di Hijup, ia terapkan saat pertama kali merintis usahanya tersebut. Pada saat itu, produk pertama Hijup adalah jilbab, maka dari situlah ia bercerita dengan menyesuaikan target konsumennya.

“Saya sempat buat buku untuk menceritakan soal jilbab itu sendiri. Kontennya diambil dari berbagai pertanyaan orang-orang yang saya dapatkan. Strategi ini sesuai karena target konsumen kita adalah 24-35 tahun, usia kerja, sudah berkeluarga, dan ada yang sudah punya anak. Pengembangan konten berikutnya tinggal disesuaikan dari situ.”

Menyiapkan perlengkapan yang mumpuni

Aji melanjutkan, sebelum terjadi pandemi transformasi digital di mata korporasi adalah bagian dari investasi. Akan tetapi, sekarang sudah menjadi bagian dari bisnis. Untuk mulai go digital, maka pebisnis harus cek kebutuhannya, lihat kompetensi diri sendiri agar tahu cara mengembangkan produk.

“Itu sudah masuk ke dalam komponen proses transformasi digital. Tujuannya agar kita jadi lebih kreatif, bisa dengan kolaborasi dengan konten kreator,” tutur Aji.

Dalam mencari celah model bisnis digital yang tepat guna, menurutnya dapat dimulai dari pengadaan hardware untuk penunjang kerja. Minimal harus tahu spesifikasi laptop yang tahan banting dan mumpuni dipakai sehari-hari, pun untuk quality control dan after sales-nya seperti apa.

Dari sekian banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan, bila sesuai dengan kebutuhan pasti akan membawa manfaat. Misalnya suatu startup yang ingin tumbuh, agar dapat mencolok dibandingkan kompetitornya, bisa menggunakan AI atau machine learning yang mampu memberikan insight mendalam untuk strategi bisnis ke depannya.

“Tapi sekali lagi harus jeli karena sekarang cash is the king. Harus tahu aspek digital transformation mana yang kita tuju,” tutupnya.

*Disclosure: #SelasaStartup edisi ini didukung oleh Dell dan McAfee

Seputar Pemanfaatan Teknologi pada Layanan Kesehatan Gigi

Selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, layanan kesehatan berbasis online merupakan salah satu dari sejumlah layanan yang banyak diburu masyarakat di Indonesia. Layanan ini dinilai dapat membantu mengurangi penyebaran Covid-19 tanpa perlu bertatap muka.

Sebetulnya, sebelum penyebaran wabah Covid-19, startup di bidang kesehatan berbasis teknologi (healthtech) memang digadang bakal bersinar pada tahun ini.  Healthtech memampukan setiap stakeholder di dalamnya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih mudah, cepat, dan terjangkau bagi pasien.

Pemanfaatan teknologi di bidang ini dianggap sangat dinantikan oleh banyak pihak, terutama bagi pasar yang memiliki keterbatasan akses pada layanan kesehatan.

Bicara healthtech, Chief Marketing Officer Rata Deviana Maria berbagi informasi menarik seputar pemanfaatan Artificial Technology (AI) pada jenis layanan ini. Simak selengkapnya pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Pemanfaatan AI untuk decision-making

Rata merupakan contoh startup di bidang kesehatan yang memanfaatkan teknologi untuk menyediakan solusi permasalahan estetika gigi. Startup ini memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk menciptakan sebuah solusi terprediksi bagi pasiennya.

Pada kasus ini, AI dapat dimanfaatkan untuk mengolah dental record dan memperoleh sebuah hasil dari photo scan gigi pasien tentang bagaimana perawatan pasien selanjutnya.

“Teknologi yang kami gunakan bisa menghasilkan sebuah prediksi, misalnya berapa lama gigi pasien bisa rata kembali. Kami kan juga punya video pergerakan gigi pasien. Nah, teknologi ini dapat memudahkan dokter dan pasien untuk mengambil keputusan,” papar Deviana.

AI bantu untuk memilah kasus

Deviana mengakui bahwa implementasi AI di Indonesia belum secanggih di Tiongkok yang sudah diterapkan ke berbagai use case. Pada kesehatan gigi, pemanfaatan AI di Tiongkok sudah bisa digunakan untuk menghasilkan bentuk gigi yang sesuai dengan wajah pasien.

Bagi Deviana, adopsi AI di Indonesia memang masih sangat mendasar. Tak hanya menghasilkan prediksi, AI dinilai sangat membantu para dokter untuk memilah kasus.

Pada contoh berikut, AI dapat memudahkan dokter untuk menentukan apakah kasus pasien terkait dapat ditangani atau tidak. Pada kasus perataan gigi, AI dapat membantu untuk melihat bagaimana prosesnya untuk mencapai bentuk ideal.

“Misalnya, dokter ingin ingin menggerakkan gigi ke posisi ideal. AI akan mengolah data dan menghasilkan output apakah bisa atau tidak. Teknologi AI kan terus belajar dan semua hasilnya pasti memiliki batasan. Sebagai dokter, kami harus mencari cara lain,” tuturnya.

Peluang bisnis healthtech 

Secara umum, Deviana menilai bahwa layanan healthtech di Indonesia saat ini kebanyakan diisi oleh kesehatan umum (general health) yang sangat kuat pada layanan konsultasi online dan pemesanan obat. Misalnya, Halodoc dan Alodokter. Belum banyak yang mengarah yang pada layanan estetika gigi.

Menurutnya, selama lima tahun terakhir melakukan R&D, masyarakat Indonesia belum melek terhadap kesehatan gigi. Terlebih, selama ini masyarakat lebih banyak menggunakan perawatan saat sakit (sick care), bukan perawatan untuk menghindari penyakit (healthcare).

Maka itu, layanan ini dinilai dapat mendorong masyarakat untuk aware terhadap kesehatan karena lebih accessible berkat dukungan teknologi. “Apalagi pada situasi pandemi saat ini. Orang menjadi lebih sadar terhadap kesehatan. Health is something to invest on,” ungkapnya.

Peluang kolaborasi dengan pelaku healthtech lain

Sama halnya dengan startup lain, kolaborasi antar-pelaku bisnis healthtech juga sangat memungkinkan. Terutama bagi startup yang memiliki layanan niche, seperti Rata. Kolaborasi ini dapat saling mengisi dan memperkuat ekosistem layanan.

Layanan kesehatan umum dan pemesanan obat yang didominasi oleh Halodoc dan Alodokter memungkinkan terjadinya kolaborasi dengan layanan estetika gigi maupun wajah.

“Sejak awal introduce ke investor, kami memang tidak memosisikan diri sebagai penyedia layanan health care, tetapi direct-to-customer product untuk lifestyle and beauty. Dengan tren layanan gaya hidup dan kecantikan, tentu peluangnya juga semakin besar,” ujar Deviana.

Mempelajari Lika-liku Pencarian Masalah dan Solusi Bersama Alamanda

Menghidupi kewirausahaan digital di masa ini mungkin jadi pilihan karier yang menarik. Sistem kerja yang menuntut serbacepat dan penuh inovasi menjadikan pilihan bekerja di sektor ini cukup menantang.

Sumber inovasi bisa datang dari mana saja, namun asal datangnya masalah bisa lebih banyak lagi. Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika berbagi cerita mengenai seluk-beluk pemecahan masalah yang terjadi di startup. Alamanda berbagi ilmunya tersebut dalam #SelasaStartup kali ini.

Kreatif mengidentifikasi masalah

Pepatah bilang, ilham datangnya bisa dari mana pun. Ini diamini betul oleh Alamanda. Suatu hari Alamanda datang ke kantor bank mengurus keperluannya. Dalam kunjungannya itu dia juga disodori banyak sekali produk perbankan yang menurutnya jelas tidak relevan untuk seseorang sepertinya.

“Melihat itu saya sebagai pelanggan jadi kesal karena saya tahu bankir itu lagi mikirin targetnya. Akhirnya yang dia lakukan tebar jaring ke semua orang. Ok target kita penting, tapi jangan jadikan itu sebagai patokan yang didewakan. Yang kita dewakan itu customer. Dengan kita mengerti pelanggan day to day, inovasi akan muncul,” ujar Alamanda.

Namun telaah masalah itu tak bisa otomatis datang. Perlu asupan pengetahuan yang kuat untuk mengasah daya kritis dan kreativitas dalam mencari masalah. Alamanda menganjurkan mereka yang bekerja di bisnis digital untuk memperkaya diri dengan tren dan fenomena di luar negeri. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan dan teknologi dalam negeri masih cukup jauh tertinggal dengan negara-negara maju lain.

“Simpel aja, kalau kita mau desain kamar pasti kita cari referensi di Pinterest. Itu cara kita bekerja dalam mencari kreativitas, mencari asupan,” imbuhnya.

Sebisa mungkin menyayangi pelanggan

Inovasi adalah jualan wajib dari sebuah perusahaan digital. Apakah inovasi mereka bisa bergerak cepat atau tidak bergantung dari bagaimana mereka memperoleh dan mengolah data dari transaksi pelanggan mereka.

Alamanda percaya berusaha mengenal pengguna layanan sebaik mungkin adalah langkah menuju kesuksesan. Dari data tersebut perusahaan bisa mencari kebutuhan-kebutuhan baru atau yang tak terlihat dari konsumen.

Ia mencontohkan sewaktu masih bekerja di Gojek dan membuat layanan GoFood. Alamanda bercerita membuat produk itu dengan berangkat dari data perilaku konsumen Gojek. Perilaku konsumen ini menjadi kunci karena dari sana mereka menemukan masalah yang mungkin bahkan konsumen Gojek sendiri juga belum menyadarinya.

Contoh lainnya adalah pengalaman Alamanda menghadapi masalah di Binar Academy. Di tempat terakhir ini Alamanda mendapati sistem akademi gratis yang mereka besut ternyata hanya mampu menahan sekitar 50% dari total pendaftar. Setelah menelusuri lebih jauh barulah mereka tahu bahwa mereka yang memilih tidak mengikut kelas sampai akhir punya motivasi yang berbeda. Berangkat dari temuan itu, Alamanda dan tim mengubah sistem.

“Kita udah buang duit untuk customer acquisition, begitu konsumen udah masuk jangan disia-siakan, harus disayang. Jadi fokusnya dua, bagaimana kita jangkau market baru yang enggak tahu Binar tapi yang sudah masuk juga harus dijaga dan dimengerti lebih dalam lagi.”

Prinsip sederhana dalam memvalidasi

Kreativitas tentu perlu dalam mencari masalah dan solusinya. Seperti sudah disebut tadi, data dari perilaku konsumen memegang kunci untuk mendasari munculnya kreativitas tersebut. Lalu bagaimana caranya memvalidasi perilaku konsumen?

Jawaban Alamanda adalah kembali ke prinsip yang paling sederhana yakni pemakaian produk, pertumbuhan, stabilitas, dan margin profit. Adakah yang memakai produk mereka, apakah ada pertumbuhan tiap bulan, apakah pertumbuhan itu stabil, dan yang tak kalah penting bagaimana dengan keuntungannya.

Alamanda menggarisbawahi poin terakhir, karena menurutnya ada beberapa startup yang salah kaprah dalam menjalankan roda keuangannya, yang jor-joran bakar duit tapi tak diikuti dengan profit margin yang jelas.

“Aku sesederhana itu aja karena itu yang ingin aku ubah mindset tentang orang-orang bikin startup. Sekarang kan aku di Mandiri Capital juga. Duit investor itu bukan berarti kita bakar-bakar kemudian tidak punya COGS (cost of goods sold) dan pendapatan yang jelas. Duit investor ini harusnya lebih untuk mengembangkan tools yang kita perlukan,” pungkas Alamanda.

The Story of Edtech Startups On Building A Critical Mindset

Zenius is one of the pioneers of the edtech platform in Indonesia, which still exists today. This startup always emphasizes its ambition to revolutionize the way of learning in school by planting critical and logical thinking. Therefore, future students will not become a generation of only memorizing stuff, but also capable to apply the knowledge in a daily life crisis.

In carrying out that mission, Zenius continues to evolve to provide content and adapt to the current times. For further details, #SelasaStartup this week (16/6) invites Chief Education Officer Zenius Sabda PS as the speaker. He brought insights from Zenius pioneering experiences, views of the industry, and plans for the future.

The beginning

Sabda said he started Zenius back in 2004, operational funds obtained by swiping his own credit card. There are no investors, such as venture capitalists, who are interested in funding. The first business model is to make offline tutoring. Therefore, the business turnover is crystal clear.

There are regular payments received in advance and he can directly teach students. This income is to be circulated for additional teachers and create recordings when the teachers idle. “In the beginning, We create content and sell the CD. We are yet to thought about the internet at all,” he said.

The following year, the team became more active in producing CDs containing analysis and discussion. Until 2008, the CDs sold were getting more varied. There is a complete CD package, therefore, no need to buy a single unit. In that year they also began to use the internet, however, it’s only limited to selling CDs.

“This is our historical moment on April 4, 2008, we launched the first exhibition in Jakarta and a website to sell CDs.”

In the first year of online selling, Zenius claimed to have obtained profits. He was determined the following year to develop the Zenius business online because there were still many Indonesian children who were not familiar with Zenius, although at that time internet access tended to be limited.

“Zenius can survive because we have the elements, not only what is important, but the right impact. When they buy content, is it really makes them smart? or not. As long as what we deliver can change the mindset, it seems like Zenius can be guaranteed [sustainable].”

Innovation and drastic changes in time of a pandemic

He added, the pandemic and quarantine situation rose up the edtech business. Zenius is one of the impacted players, and there are lessons to be learned from the current issue. Usually, Zenius traffic rises before nightfall when the students began studying. Nowadays, traffic is high all day, used not only by students but also by teachers and parents.

“There are many things, but most [of them] are nice to have. [For example] from the beginning of the school year, our user growth has increased by 12 times. The server jump, which usually crowded at night, is now high-traffic since morning. This becomes a problem for we must improve the capacity, however, it becomes an opportunity since the enthusiasm is high.”

In addition, Zenius also turn its services free, therefore, more Indonesian children can be “addicted” to learning. Sabda said this strategy has been actually sticking out since 2013. However, supporting “facilities” (re: the presence of the Gojek application, etc.) are yet to exist, therefore, it’s just realized.

He said many Zenius users are affected in terms of manner. It affects their paradigm about learning is changing, even addictive. The impact has not been widely applied to non-users. “When the brain has been upgraded, the more “addictive” to learn. That’s our way.”

This pandemic, he continued, is proof that it is time for the education industry to go hybrid. They will no longer focus on education in schools because information can now be obtained from anywhere. At home, everyone can still be productive. All assessments can be done digitally.

However, he also emphasizes that it does not mean the school is less important because humans need to socialize. He positioned the school as a place for discussion, brainstorming, debating, and other activities that require offline interaction.

“Such activities are more effective when experienced offline. However, the source of knowledge is everywhere.”

The latest services

Since starting operation from almost 16 years ago, Zenius has only been focusing on students from elementary to high school. Sabda said the team is preparing non-academic content that works to improve professional skills. “We’re getting there, the first thing to do was a matter of strategy.”

He gave an example, coding training is one that is required to improve skills. In his opinion, coding is a very helpful tool in growing critical thinking skills. Not only for creating applications, but coding can also grow logical thinking. When it comes to finding bugs, people need scientific methods, which can be helped through coding skills.

In terms of technology, Zenius is still preparing the use of machine learning technology and artificial intelligence to help companies distribute content in accordance with the user profiles.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Cerita Perjalanan Startup Edtech Menumbuhkan Pola Berpikir Kritis

Zenius merupakan salah satu pionir platform edtech di Indonesia yang hingga kini masih eksis. Startup ini selalu menekankan ambisinya yang ingin merevolusi cara belajar di sekolah dengan menanamkan cara berpikir kritis dan logis. Sehingga para pelajar di masa depannya tidak menjadi generasi penghafal, tapi mampu mengimplementasikan ilmu tersebut saat menghadapi masalah di dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam mengemban misi itu, Zenius terus berevolusi memberikan konten-konten dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Untuk mendalami ini, #SelasaStartup edisi pekan ini (16/6) mengundang Chief Education Officer Zenius Sabda PS sebagai pembicara. Dia memberikan berbagai insight mulai dari pengalaman merintis Zenius, pandangan terhadap industri, dan rencana ke depannya.

Perjalanan awal

Sabda bercerita, dia merintis Zenius pada 2004, dana operasionalnya diperoleh dari menggesek kartu kredit sendiri. Belum ada investor, semisal dari pemodal ventura, yang berminat mendanai. Model bisnis pertama yang diambil adalah membuat bimbingan belajar offline. Di sana perputaran bisnis di ranah ini sangat jelas.

Ada pembayaran yang rutin diterima di muka dan dia bisa langsung mengajar murid. Penghasilan ini dia putar untuk merekrut tambahan guru dan membuat rekaman saat guru-guru tersebut tidak mengajar. “Kita buat konten di awal-awal dan menjual CD-nya. Internet belum terpikir sama sekali,” katanya.

Setahun berikutnya, tim semakin giat memproduksi CD berisi pembahasan soal-soal. Bahkan hingga 2008, variasi CD yang dijual semakin lengkap. Ada yang berbentuk paket lengkap CD, sehingga tidak perlu beli satuan. Pada tahun itu juga mereka mulai memanfaatkan internet, tapi baru sebatas berjualan CD.

“Ini momen historical kita tanggal 4 April 2008, kita launch di pameran pertama di Jakarta dan kita launch website untuk jualan CD doang.”

Tahun pertama berjualan online, diklaim Zenius sudah cek untung. Dia pun mantap pada tahun berikutnya untuk mengembangkan bisnis Zenius secara online karena masih banyak anak Indonesia yang belum mengenal Zenius, kendati pada saat itu akses internet cenderung terbatas.

“Zenius bisa bertahan karena kita ada elemen, tidak hanya yang penting laku saja, tapi impact yang benar. Ketika mereka beli konten, memang beneran bikin cerdas atau enggak. Selama yang kita deliver itu bisa mengubah pola pikir, kayanya sih umur Zenius bisa terjamin [lebih lama].”

Inovasi dan perubahan drastis saat pandemi

Sabda melanjutkan, pandemi dan karantina membuat bisnis edtech melonjak tinggi. Kondisi ini juga dialami oleh Zenius, dan menjadi banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini. Biasanya trafik Zenius baru menanjak menjelang malam hari saat murid mulai belajar. Akan tetapi kini ramai sepanjang hari, digunakan tidak hanya oleh murid, tapi juga guru dan orang tua.

“Masalah dari kita ada banyak, tapi kebanyakan [sifatnya] nice to have. [Misalnya] dari awal tahun pelajaran, jumlah user kita naik 12x lipat. Server tiba-tiba jump, yang tadinya rame malam doang, tiba-tiba dari pagi full. Ini jadi problem karena kapasitasnya harus kita benerin, tapi jadi opportunity karena ternyata antusiasmenya tinggi.”

Di samping itu, Zenius juga menggratiskan layanannya agar semakin banyak anak Indonesia yang “ketagihan” belajar. Sabda bilang, sebenarnya strategi ini sudah mencuat sejak 2013. Akan tetapi, “fasilitas” pendukung (re: kehadiran aplikasi Gojek, dsb) belum ada, makanya sekarang baru terealisasi.

Menurutnya, selama ini banyak pengguna Zenius yang merasa terdampak dengan cara yang diajarkan. Efeknya paradigma mereka tentang belajar berubah, malah jadi ketagihan. Dampak itu belum dirasakan secara luas oleh non pengguna. “Ketika otaknya sudah ter-upgrade, makin “ketagihan” belajar kan. Itulah cara kita.”

Momentum pandemi ini, sambungnya, menjadi pembuktian bahwa sudah saatnya dunia pendidikan untuk hybrid. Tidak lagi berpaku pada pendidikan di sekolah karena informasi kini sudah bisa didapat dari mana saja. Dengan di rumah saja, tetap bisa produktif. Semua penilaian bisa dilakukan secara digital.

Akan tetapi, Sabda juga menekankan bahwa bukan berarti tidak butuh keberadaan sekolah karena manusia harus tetap bersosialisasi. Dia menempatkan sekolah sebagai tempat untuk berdiskusi, brainstorming, berdebat, dan kegiatan lainnya yang membutuhkan interaksi secara offline.

Setting kegiatan seperti itu masih lebih efektif bila dilakukan offline. Tapi sumber ilmu jadi bisa didapat dari mana pun.”

Layanan baru

Sejak beroperasi hampir 16 tahun lalu, Zenius baru fokus untuk anak sekolah dari jenjang SD sampai SMA. Sabda mengungkapkan, pihaknya sedang menyiapkan konten non akademik yang berfungsi meningkatkan keterampilan profesional. “Kita akan mengarah ke sana, masalah yang mana duluan itu urusan strategi.”

Dia mencontohkan, pelatihan coding merupakan salah satu yang dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan. Menurutnya, coding adalah alat yang sangat membantu dalam mengasah kemampuan berpikir kritis. Coding tidak hanya untuk membuat aplikasi, juga membuat logika lebih terasah. Ketika harus mencari bug, orang butuh metode ilmiah, yang bisa dibantu lewat kemampuan coding.

Dari segi teknologi, Zenius masih mempersiapkan penggunaan teknologi machine learning dan kecerdasan buatan untuk membantu perusahaan mendistribusikan konten sesuai dengan profil para pengguna.

Application Information Will Show Up Here

Inovasi dan Peluangnya Membantu Startup Terus Bertahan

Inovasi menjadi faktor yang paling mempengaruhi keberlangsungan hidup startup. Ketika dalam posisi yang aman hingga saat krisis terjadi, inovasi bisa dipastikan membantu jalannya perusahaan. Dalam edisi #SelasaStartup kali ini, DailySocial mengundang CTO DANA Norman Sasono, membahas peluang startup menghadirkan inovasi yang relevan dan kemampuan beradaptasi demi memecahkan masalah yang bisa mempengaruhi kehidupan orang banyak.

Pantau persoalan yang ada

Salah satu kunci kesuksesan inovasi adalah berdasarkan “keen eye” yang dimiliki founder. Pantau terus masalah yang ada dan pikirkan bagaimana teknologi yang dimiliki bisa memberikan solusi yang terbaik untuk orang banyak. Misalnya yang dilakukan DANA, tim melihat adanya kebutuhan masyarakat untuk mulai melakukan pembayaran secara digital; tidak lagi hanya menggunakan uang tunai, namun pembayaran memanfaatkan QR Code dan tentunya melalui smartphone.

“Bagi platform seperti DANA, LinkAja, Gopay, dan OVO pesaing terbesar tentu saja adalah uang tunai. Untuk itu kami bersama terus memberikan edukasi kepada target pasar untuk mulai meninggalkan pembayaran secara tunai dan memanfaatkan platform pembayaran digital,” kata Norman.

Ketika masalah sudah ditemui dan solusi yang tepat sudah bisa dihadirkan, pastikan kebutuhan tersebut relevan dan tentunya bakal digunakan oleh target pasar. Pantau terus perubahan dan pastikan startup untuk terus menghadirkan inovasi lainnya.

Data-driven

Saat ini data sudah menjadi panduan wajib yang dimiliki oleh startup. Bukan hanya berfungsi sebagai rekomendasi, data yang dimiliki dan kemudian diolah juga bisa menghasilkan inovasi dan produk baru yang relevan. Menjadi ideal tentunya ketika startup sudah mulai memanfaatkan data untuk semua aktivitas dan kegiatan yang bakal dilancarkan.

“Salah satu benefit yang dihasilkan oleh data adalah, bagaimana startup bisa memanfaatkan tools terbaik dan fitur yang relevan untuk pelanggan. Bagi DANA kami melihat sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terbiasa menggunakan internet, memanfaatkan mobile phone yang dimiliki. Namun faktanya masih banyak kalangan unbanked dan underserved di pelosok daerah. Di sinilah layanan seperti DANA menjadi ideal bagi mereka, hanya memanfaatkan mobile phone dan layanan data internet,” kata Norman.

Data juga bisa membantu perusahaan untuk menghentikan kegiatan ‘bakar uang’ dilihat dari peningkatan jumlah acitive user. Saat ini DANA mencatat sudah memiliki 40 juta pengguna aktif di seluruh Indonesia. Diharapkan ke depannya, DANA bisa menjangkau seluruh target pasar lebih banyak.

Pengetahuan dan tools yang tepat

Untuk bisa menghadirkan inovasi yang terbaik dan tepat, kemampuan untuk beradaptasi dan pemahaman yang baik terhadap teknologi dan layanan yang ditawarkan menjadi krusial. Startup juga wajib untuk bisa memanfaatkan tools yang tepat atau teknologi yang relevan untuk meningkatkan layanan. Misalnya mulai melakukan uji coba menerapkan AI, IoT, hingga machine learning. Hal ini secara langsung bisa meningkatkan kemampuan dari teknologi yang dimiliki.

“Saat pandemi berlangsung saat ini bisa menjadi potensi yang baik untuk perusahaan melakukan inovasi dan melakukan adaptasi dari perubahan yang ada. Meskipun banyak startup yang mengalami impact negatif saat krisis global saat ini, namun ada pula startup hingga perusahaan yang mendapatkan impact cukup positif saat pandemi. Salah satunya adalah layanan e-commerce. Kami sebagai platform pembayaran digital secara langsung mengalami imbasnya, dilihat dari perubahan dan kebiasaan belanja online masyarakat saat ini,” kata Norman.

Tingkatkan target

Ketika kondisi startup berada pada posisi yang aman dan target telah tercapai, idealnya tidak berpuas diri dulu. Menjadi krusial bagi startup untuk selanjutnya meningkat target OKR, KPI lebih tinggi lagi, sehingga jika nantinya ada masalah yang datang, bisa belajar dan beradaptasi menghasilkan inovasi yang baru.

“Saat proses ini berlangsung kolaborasi antar tim menjadi sangat dibutuhkan. Kebanyakan inovasi hingga ide-ide baru lahir dari proses brainstorming dan kolaborasi antardivisi. Challange terus anggota tim Anda, dengan meningkatkan target yang ada,” kata Norman.

Intinya adalah temukan masalah yang ada dan coba ciptakan solusi yang tepat berangkat dari kondisi yang ada. Jika pada akhirnya startup bisa menemukan peluang baru yang lebih niche untuk kemudian bisa dimanfaatkan oleh perusahaan, tentunya menjadi hal yang positif.

“Tentunya seiring berjalannya waktu kami tidak akan pernah berhenti untuk berinovasi dan terus memperluas kolaborasi dengan pihak terkait,” kata Norman.

Application Information Will Show Up Here

Memahami Strategi Membangun Ekosistem “Healthy Lifestyle” Lewat Produk dan Teknologi

Kemajuan teknologi semakin memudahkan masyarakat untuk mendapatkan beragam informasi seputar gaya hidup sehat dengan spektrum yang sangat luas. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku startup sebagai peluang untuk menghadirkan solusi kesehatan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Di Indonesia, salah satu startup yang bermain di area gaya hidup sehat adalah Lemonilo. Startup ini memposisikan dirinya sebagai qurated marketplace yang menyediakan produk-produk alami untuk dapat mendukung ekosistem gaya hidup sehat masyarakat Indonesia.

Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Co-founder & CEO Lemonilo Shinta Nurfauzia membagikan beberapa poin penting mengenai upaya membangun ekosistem gaya hidup sehat melalui produk dan teknologi.

Membidik target pasar secara bertahap

Menurut Shinta, keinginan hidup sehat dapat dijangkau oleh siapapun. Namun, hal ini kurang didukung karena banyaknya permasalahan pada sektor kesehatan di Indonesia. Situasi ini dapat diselesaikan dengan memanfaatkan produk teknologi.

Pada kasus Lemonilo, startup ini ingin berkontribusi terhadap ekosistem gaya hidup sehat dengan memproduksi dan mendistribusikan produk alami ke masyarakat. Shinta menyebut pentingnya menentukan hipotesis dalam menentukan target pasar.

Ia mencontohkan bagaimana Lemonilo menerapkan strategi product-market-fit dengan hipotesis produk Lemonilo cocok dikonsumsi 80 juta orang. Mengapai demikian?

“Perhitungannya adalah kelas berpenghasilan Rp4 juta ke atas adalah segmen pasar yang sudah bisa memikirkan decision purchasing, seperti kualitas makanan apa yang bisa dijangkau konsumen,” ungkapnya.

Seiring berkembangnya bisnis, Lemonilo mulai masuk ke segmen mass market, di mana target pasarnya semakin lebar. Hal ini turut dipicu oleh kehadiran Mi Instan Lemonilo sebagai produk alami yang kini dinilai mulai masuk ke dalam ekosistem gaya hidup sehat masyarakat Indonesia.

Memahami konsumen melalui produk dan teknologi

Catatan lainnya adalah melakukan edukasi terhadap masyarakat Indonesia untuk melakukan gaya hidup sehat. Shinta menilai upaya edukasi ini tidak bisa dilakukan hanya beberapa kali saja. Perlu ada strategi khusus yang memudahkan target pasar untuk lebih memahami gaya hidup sehat.

“Kita tahu bahwa rata-rata tingkat literasi di Indonesia masih sangat rendah. Nah, kami selalu mengedukasi gaya hidup sehat dengan gaya bahasa yang mudah dicerna pasar,” tutur Shinta.

Selain itu, kami memanfaatkan teknologi untuk mengenali dan memahami konsumen dan apa yang mereka inginkan. Dalam hal ini, kami selalu meluncurkan produk baru melalui online channel, lalu mengirimkan survei kepada konsumen untuk mendapatkan masukan terhadap produk tersebut.

“Pada strategi lainnya, kami mempercepat R&D dan product cycling. Kami mengembangkan produk yang memiliki cycle lebih cepat dibandingkan produk dari perusahaan FMCG. Hal ini kami lakukan supaya biaya lebih efisien, serta dapat menganalisis hasil dan dampak ke konsumen menggunakan data,” ujarnya.

Memanfaatkan jalur online dan offline

Shinta berujar selalu ada barrier entry bagi konsumen yang tertarik mencoba gaya hidup sehat saat membeli produk online, yaitu ongkos kirim. Menurutnya, konsumen cenderung reluctant saat membeli tanpa ada subsidi ongkos kirim, apalagi kalau product size-nya tidak seberapa.

Dalam mengatasi isu ini, ia menilai pentingnya pemanfaatan toko offline (minimarket dan supermarket) dengan harga jual yang sama dengan toko online. Hal ini tentu dapat mengakomodasi segmen pasar yang tidak dapat menjangkau produk secara online.

“Kami juga menetapkan strategi baru dengan memfokuskan platform untuk produk dari brand sendiri. FMCG dulu biasanya hanya punya 1-2 produk sukses karena produksi, peluncuran, dan distribusi ke supermarket butuh biaya sangat besar,” ungkap Shinta.

Berbeda perusahaan FMCG, model bisnis seperti Lemonilo memungkinkan mereka untuk dapat mengembangkan banyak produk dan meluncurkannya via online. Adapun, distribusi offline hanya berlaku bagi produk yang sukses di pasar saja.

Meneropong Relasi Fintech dan UKM di Masa Pandemi

Teori dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa UKM kerap menjadi pelindung perekonomian Indonesia ketika musim paceklik menyergap. Contoh yang sering disertakan adalah krisis moneter pada 1998 dan resesi global pada 2008. Selama dua kejadian besar itu, UKM selalu disebut menjadi kekuatan ekonomi Indonesia yang bertahan ketika sektor lain ambruk.

Namun pandemi Covid-19 memberi pukulan yang berbeda. UKM tak bisa kebal menghadapi risiko-risiko ekonomi yang dibawa oleh wabah ini. Ketersediaan modal adalah salah satu faktor terpenting bagi bisnis UKM. Jika riwayat penjualan, arus kas, dan catatan pinjaman merupakan syarat kelayakan yang lazim berlaku bagi fintech lending sebelum menyalurkan kredit, maka itu semua mungkin tak lagi sepenuhnya berarti.

Co-founder & COO Modalku Iwan Kurniawan menjabarkan bagaimana peran fintech memperkuat eksistensi UKM dan apa saja yang terjadi pada industri ini selama pandemi berlangsung. Simak pandangan Iwan selengkapnya di edisi #SelasaStartup terbaru.

Sistem validasi anyar di masa pandemi

Situasi yang tidak pasti mengharuskan lembaga penyalur kredit termasuk fintech lebih cermat melakukan penilaian. Hal ini tak terkecuali bagi Modalku. Iwan menyebut ada perbedaan mencolok dalam mekanisme penyaluran kredit antara sebelum dan setelah Covid-19 merebak. Menurut Iwan umumnya stabilitas omzet jadi ukuran sebelum mereka memutuskan memberi kredit kepada UKM. Arus kas, aktivitas penjualan, dan riwayat kredit merupakan indikator yang mereka pegang teguh. Namun hal itu bergeser saat ini.

Ketidakpastian selama wabah menambah unsur kehati-hatian dalam melakukan scoring. Namun indikator yang dipakai pun bergeser banyak. Menurut Iwan pihaknya kini lebih mengedepankan prospek suatu bisnis terutama terkait dengan masa depan suatu sektor.

History itu jadi tidak penting, justru kita lebih ke future, apakah kami yakin di indisutri ini, prodok apa yang mereka jual, dan destinasi jualan mereka,” ucap Iwan.

Seperti yang kita ketahui sebelumnya, pandemi Covid-19 memukul banyak bisnis yang tersebar di sejumlah sektor. Manufaktur, perbankan, minyak dan gas, transportasi, serta pariwisata adalah contoh sektor-sektor yang dibuat hampir tak berdaya oleh Covid-19.

“Jadi cara penilaiannya ada pre-Covid-19 yang normal yang mana lebih fokus di cash flow daripada collateral. Tapi dengan adanya Covid-19 harus lebih hati-hati, forward looking dan sesuai dengan kondisi sekarang,” imbuhnya.

Memaksimalkan peluang yang ada

Meski ada banyak sektor yang tumbang sebagai dampak dari Covid-19, ada pula sektor yang terus tumbuh beberapa bulan terakhir. Sektor kesehatan dan e-commerce adalah dua contoh industri yang performanya meningkat. Ini juga terjadi pada Modalku.

Untuk sektor kesehatan, Modalku mengumumkan kerja sama mereka dengan BPJS Kesehatan. Menurut Iwan, kerja sama itu untuk menjembatani lebih banyak akses masyarakat ke layanan tersebut. Sementara di sektor e-commerce, mereka menggandeng dengan nama-nama besar seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, hingga Zilingo.

Dengan langkah-langkah itu, Iwan mengklaim pihaknya mengalami lonjakan permintaan Modalku. “Ada kenaikan sekitar 10 kali lipat jumlah aplikasi untuk meminjam modal kerja atau personal,” tukas Iwan.

Kendati lonjakan permintaan akan modal naik tajam, Modalku tidak lantas lebih mudah memberi persetujuannya. Iwan mengakui persetujuan untuk permintaan pinjaman itu sangat sedikit yang mereka penuhi karena ada lebih banyak tolok ukur yang dipakai.

Di saat bersamaan, Modalku punya pekerjaan rumah agar kondisi ideal bagi mereka dapat tercapai. Pertama adalah soal edukasi. Edukasi menjadi penting karena menurut Iwan masyarakat kerap salah paham dalam menilai pinjaman modal kerja. Misalnya saja ada anggapan bahwa bunga fintech lebih mahal ketimbang bunga dari bank. Padahal bunga itu menurut Iwan relatif kecil dibandingkan untung yang bisa diperoleh UKM.

Persoalan kedua adalah keterjangkauan akses. UKM di Indonesia umumnya masih banyak yang belum menyentuh transaksi online. Beban yang harus ditanggung fintech untuk menjangkau UKM yang tradisional ini biasanya lebih mahal dan memakan waktu. Namun sedikit keberuntungan bagi mereka, kondisi wabah saat ini mengharuskan banyak usaha tetap berjalan dan artinya akan lebih banyak usaha yang berjalan secara online tanpa perlu mereka dorong.

“Saya lihat selama Covid-19 ini tantangan itu makin terpecahkan. Kita bisa lebih efisien menyentuh atau support mereka [UKM].”

Kondisi ideal setelah pandemi

Modalku saat ini masih salah satu fintech lending terbesar di Indonesia. Total kredit yang sudah mereka salurkan sejauh ini mencapai Rp14 triliun. Belum lama mereka juga mengumumkan penggalangan dana seri C senilai US$40 juta atau sekitar Rp625 miliar.

Dengan segala bentuk adaptasi yang terjadi selama wabah Covid-19 berlangsung, Iwan menuturkan pihaknya sedang bersiap segala bentuk normal baru yang akan terjadi. Ini meliputi menyaring sektor-sektor mana saja yang akan menguat di masa depan dan mencari mitigasi risiko yang paling tepat.

Industri kesehatan, online commerce, serta supply chain tampak akan menjadi sektor yang menjadi fokus Modalku mulai saat ini. Iwan menegaskan Modalku harus bersiap sejak sekarang untuk memenuhi kebutuhan modal UKM di sektor-sektor tersebut. Sementara dari manajemen risiko, mereka melakukan perombakan peran di tubuh perusahaan. Contoh perombakan peran itu adalah memindahkan sejumlah anggota tim sales dan marketing untuk membantu tim manajemen risiko untuk melayani kebutuhan layanan-layanan seperti memperpanjang tenor pinjaman ataupun mempercepat masa pelunasan.

“Kita sudah ada SOP yang jelas dengan UKM ketika di masa depan ada kebutuhan untuk bantu adjustment, kita bisa siap manajemen risikonya,” pungkas Iwan.