Dapat Lisensi BI, Startup Remitansi Transfree Segera Resmikan Kehadiran di Q2 2021

Berawal dari pengalaman pribadi sebagai anak rantau di Inggris, Crisman Wise merasakan sulitnya menemukan solusi transfer antar negara yang sederhana dan tidak mahal. Dengan niat awal untuk membantu teman, pada bulan Juli 2018 ia membuat sebuah solusi untuk mempermudah transfer ke luar negeri serta menerima uang dalam mata uang lain tanpa biaya tambahan.

Kemudian layanan tersebut diberi nama Transfree (akronim dari transfer free). Dua tahun kemudian, setelah perjalanan berliku untuk mendapat izin dari Bank Indonesia, layanan ini berhasil meraih lisensi per Juli 2020.

“Kami melihat masalah transfer antar negara ini besar dan menjadi kebutuhan banyak orang. Dengan niat awal membantu teman, kita merasa ini adalah sesuatu yang bisa berkembang. Itulah awalnya kita membuat Transfree,” ungkap Founder & CEO Transfree Crisman Wise.

Crisman mengakui, hidup sebagai anak rantau mengharuskannya berurusan dengan transfer uang ke dan dari Indonesia. Untuk mencapai hal itu, ia harus merogoh kocek cukup besar akibat biaya transfer yang cukup tinggi dari platform transfer uang internasional.

Secara model bisnis, layanan yang ditawarkan Transfree tidak jauh berbeda dari kompetitor seperti Transfez, Zendmoney atau TransferWise. Mereka memungkinkan pelanggan mengirim uang ke luar negeri dan mendapatkan pembayaran dalam mata uang lain ke dalam rekening mereka atau rekening penerima. Bedanya, Transfree tidak mematok biaya tambahan untuk layanan ini. Perusahaan mengakui hanya mengambil keuntungan dari selisih kurs.

Pemain remitansi digital di Indonesia
Pemain remitansi digital di Indonesia

Target di 2021

Pada awalnya, Transfree memang ditujukan untuk membantu para pelajar asing, terutama di Inggris agar bisa lebih mudah dan murah dalam proses transfer antar negara. Seiring perjalanan, ternyata timnya menemukan bahwa masalah terbesar ada pada para PMI (Pekerja Migran Indonesia). Dalam proses mengirim hasil jerih payah yang mereka dapat di negara orang ke Indonesia mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk biaya tambahan.

Data yang dihimpun dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa remitansi atau kiriman devisa dari TKI yang mengadu nasib ke luar negeri sepanjang 2018 mencapai US$10,971 miliar atau setara Rp153,6 triliun. Dari jumlah remitansi yang masuk ini telah menciptakan potensi bisnis yang besar.

Dalam waktu kurang lebih dua tahun, startup ini telah melayani transaksi antara Indonesia, Eropa dan Australia. Sebagian besar pelanggan datang dari relasi, namun tidak sedikit juga yang melalui rekomendasi. Jumlah tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memvalidasi permintaan (demand).

Secara teknis, Transfree belum resmi meluncurkan layanan untuk PMI ini. Hal ini menjadi salah satu target mereka di Q2 2021. Target lainnya datang dari sisi pendanaan, saat ini Transfree masih berstatus bootstrapping. Timnya masih berupaya untuk mendapat tambahan modal demi mewujudkan visi perusahaan membuat proses transfer uang internasional terasa seperti transfer lokal.

“Saat ini kita sedang mengusahakan untuk bisa launching di Q2 tahun ini. Fokus layanan kita masih akan di Asia Tenggara. Untuk target customer dan volume transaksi kita masih belum bisa disclose. Tapi bisa dibilang traksinya cukup baik. Saat ini kita sedang lari kencang agar tidak ketinggalan momentum,” ujar Crisman.

Aplikasi Lababook Mudahkan UKM Miliki Laporan Terstandardisasi

Dua tahun terakhir, platform pencatatan keuangan untuk UKM terlihat mendapatkan antusias yang cukup baik dari pasar. Di antara banyaknya pemain yang telah merilis layanannya, salah satunya ada Lababook.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Lababook Sasha Arben mengungkapkan, startup tersebut didirikan sebagai bentuk respons terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pemilik UKM di Indonesia, yaitu pencatatan manual yang tidak terdata secara rutin dan terbatasnya akses kepada pinjaman produktif.

“Lababook adalah aplikasi pencatatan transaksi harian untuk UKM di Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 2020 oleh saya bersama dengan Ariel Christiansen (CFO). Misinya adalah mendampingi pemilik usaha di Indonesia, dengan menyediakan aplikasi pencatatan transaksi yang gratis dan simpel namun tetap mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK).”

Untuk mengakses layanan yang ditawarkan, pengguna bisa langsung mengunduh aplikasi Lababook di Google Play Store dan Apple Store. Selain fitur pencatatan, juga disediakan konten-konten edukasi yang berguna dalam mengembangkan usaha mereka. Saat ini merka telah bekerja sama dengan beberapa platform seperti layanan fintech, distributor, dan supplier untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kebutuhan UKM.

“Untuk saat ini monetisasi Lababook dilakukan dengan menjalin kerja sama B2B; dengan suppliers dan distributor. Kami juga menyasar kerja sama dengan layanan fintech untuk penyaluran productive loan sebesar 20% sesuai yang ditentukan oleh OJK. Metode berlangganan sendiri saat ini masih dalam tahap researchtesting market, dan fitur,” kata Sasha.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa aplikasi serupa. Dari hasil riset kami, berikut ini statistik masing-masing aplikasi hingga akhir 2020 lalu:

Aplikasi Peringkat (kategori bisnis) Jumlah Unduhan
BukuKas 3 1 juta+
BukuWarung 6 1 juta+
Credibook 46 100 ribu+
Akuntansi UKM 84 100 ribu+
Moodah 121 10 ribu+
Lababook 184 10 ribu+
Teman bisnis 254 100 ribu+
Akuntansiku 309 1 ribu+

Standar Akuntansi Keuangan

Disinggung apa yang membedakan dengan platform serupa lainnya, disebutkan Lababook diklaim sebagai satu-satunya aplikasi pencatatan transaksi keuangan yang mengikuti Standar Akuntansi Keuangan Indonesia namun tetap memiliki interface yang mudah dan simpel.

Dengan fitur-fitur seperti Neraca, Laporan Keuangan, dan Invoice, aplikasi mengedepankan akurasi data yang dapat digunakan oleh pemilik usaha untuk mengakses produk-produk keuangan.

Pandemi yang telah mengganggu sebagian besar bisnis, secara langsung tentu saja ikut mempengaruhi bisnis dari pemilik usaha kecil yang menanggung kerugian paling parah. Pada masa awal pandemi, sempat terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam hal jumlah transaksi yang terdaftar, dikarenakan menurunnya proses jual beli pada beberapa sektor usaha.

“Namun Lababook mengedepankan efisiensi dan fleksibilitas dalam mengeksekusi visi dan misi yang sudah ditetapkan. Menghadapi permasalahan tersebut, Lababook secara internal merubah beberapa metode strategi, pemasaran, akuisisi, dan edukasi pelaku usaha untuk dapat bertahan di tengah pandemi,” kata Sasha.

Hanya dalam waktu 2 bulan setelah peluncuran aplikasi, Lababook mengklaim aplikasi mereka telah diunduh oleh sekitar 15 ribu lebih pemilik usaha di seluruh Indonesia. Dengan lebih dari 50 jenis usaha mulai dari pemilik warung kelontong, elektronik pulsa, distribusi barang, maupun pekerja sampingan. Secara khusus Lababook saat ini telah memiliki basis pengguna di seluruh Indonesia.

“Tahun ini Lababook akan fokus dalam berkolaborasi dengan berbagai platform keuangan lainnya, mengembangkan fitur yang lebih up-to-date, dan juga penggalangan dana,” kata Sasha.

Application Information Will Show Up Here

MAPID Hadirkan Layanan SaaS Pemetaan dan Analisis Geospasial

Besarnya persoalan pemetaan lokasi di Indonesia telah melahirkan beberapa produk lokal untuk menawarkan solusi terbaiknya. Salah satu platform yang mencoba untuk menyasar sektor tersebut adalah MAPID.

Secara khusus MAPID didesain menjadi platform Sistem Informasi Geografis berbasis cloud untuk membantu mengumpulkan, mengelola, memvisualisasikan, dan menganalisis data berbasis lokasi (data geospasial). Skenario penggunaannya dapat diaplikasikan di berbagai sektor, seperti industri, pertanian, pertambangan, dan lain-lain.

Kepada DailySocial, CEO MAPID Bagus Imam Darmawan mengungkapkan, layanannya hadir untuk menjawab permasalahan yang ada mengenai data dan pemetaan. Salah satu yang paling mendasar adalah sumber data masih sangat sempit. Padahal, data digital saat ini 80% mengandung unsur geografis. Kemudian kebanyakan visualisasi peta masih bersifat statis, padahal data saat ini bersifat dinamis, dan masalah-masalah lainnya terkait data dan pemetaan.

“MAPID diciptakan untuk membantu berbagai sektor untuk mengoptimalkan pengolahan dan analisis data sebagai penunjang dalam pengambilan keputusan.”

Saat ini MAPID telah memiliki sekitar 2 ribu lebih pengguna dengan 900 lebih pengguna aktif dalam platform. Mayoritas pengguna dari MAPID tergabung dalam lisensi organisasi. Layanan dan produk MAPID saat ini juga telah tersedia di seluruh Indonesia.

Di Indonesia sudah ada beberapa startup yang juga garap solusi terkait pemetaan. Di antaranya platform LOKASI dan Dheket yang dikembangkan oleh Bhumi Varta Technology. Kemudian ada juga pemain asal Singapura yang telah ekspansi sejak pertengahan tahun lalu, yakni NextBillion.ai.

Data terintegrasi

Aplikasi MAPID Now sebagai salah satu implementasi dari teknologi yang dikembangkan / MAPID
Aplikasi MAPID Now sebagai salah satu implementasi dari teknologi yang dikembangkan / MAPID

Produk MAPID adalah SaaS berbasis web, yang dapat diakses langsung melalui situs. Setelah terdaftar, pengguna kemudian akan dialihkan ke dasbor pribadi dan dapat mulai membuat proyek pemetaan. Ada beberapa hal yang kemudian dapat dilakukan, yaitu mengembangkan platform dan aplikasi pemetaan sebagai alat untuk mengumpulkan data spasial secara masif.

“Melalui teknologi yang dimiliki, data dari manusia dan sensor dapat dikumpulkan secara digital. Platform kemudian dapat memvisualisasikan semua data dalam tampilan peta yang mudah dipahami,” kata Bagus.

Model bisnis yang diterapkan oleh MAPID adalah subscription dan transaction. Bagi pengguna yang ingin menggunakan platform MAPID, harus melakukan subscription terlebih dulu. Subscription ini kemudian dibagi menjadi beberapa opsi yaitu, Student bagi pelajar yang membutuhkan platform pemetaan; Freelancer para konsultan, profesional, freelancer di bidang GIS, pebisnis; dan yang terakhir adalah Organization mereka yang masuk dalam kategori perusahaan besar, pemerintahan dan NGO.

“Data yang ada di dalam MAPID terintegrasi sehingga menghasilkan analisis yang mendalam. MAPID juga menyediakan fitur kolaborasi sehingga koordinasi dapat dengan mudah dilakukan di dalam platform untuk membuat suatu project. Platform MAPID juga mempunyai user friendly UI/UX sehingga tidak hanya para ahli di bidang GIS saja yang dapat menggunakan platform kami,” kata Bagus.

“Tahun ini MAPID berencana untuk fokus melakukan R&D untuk pengembangan produk. MAPID juga ingin melakukan penggalangan dana untuk menunjang rencana tersebut. Kami berharap dapat menjadi location intelligence untuk semua orang,” kata Bagus.

Application Information Will Show Up Here

Inavoice Hadirkan Layanan Marketplace Audio Digital, Jembatani Kreator dengan Pengguna

Bertujuan untuk menciptakan platform yang memudahkan kreator konten mencari atau membeli background musik berlisensi khusus, marketplace Inavoice didirikan. Meluncur 4 bulan yang lalu di Yogyakarta, platform yang didirikan oleh Fajar Risna Rosedra, Indar Adhi Kusuma, Jatmiko Kresnatama, dan Henry Yunan Lennon melihat masifnya pertumbuhan industri voice over di Indonesia dan belum adanya standarisasi di industri tersebut.

Inavoice Audio Marketplace didirikan atas dasar rasa prihatin terhadap tingginya tingkat kesulitan konten kreator audio visual ketika mencari atau membeli background musik berlisensi khusus. Karena kesulitan yang cukup tinggi inilah, banyak konten kreator yang kemudian mencari free copyright music, yang mungkin tidak sesuai dengan musik yang diinginkan.

“Luasnya diferensiasi kualitas hasil voice over yang diproduksi menjadi celah bagi calon pengguna jasa. Untuk itu kami hadir, menawarkan pengalaman kami dalam industri produksi audio dan jaminan hasil kualitas terbaik dengan konsistensi yang tetap terjaga,” kata Co-founder Inavoice Jatmiko Kresnatama.

Selain mengembangkan jasa produksi voice over melalui Digital Voice Over Agency, Inavoice juga mengembangkan Inavoice Audio Marketplace, sebuah pasar background musik, setiap kontributor musik terpilih dapat menjual musiknya melalui platform.

“Kami memiliki dua jenis bisnis dalam satu perusahaan, yaitu Digital Voice Over Agency dan Audio Marketplace. Kami juga membuat model bisnis yang berbeda, yaitu B2B untuk Digital Voice Over Agency dan B2C untuk Audio Marketplace. B2B dengan harapan bahwa klien akan menggunakan jasa kami dan B2C dengan harapan bahwa setiap pelanggan memiliki akses mudah untuk membeli lagu berlisensi untuk setiap konten digital yang mereka produksi,” kata Jatmiko.

Hingga saat ini Inavoice mengklaim kami telah memiliki sekitar 200 Voice Over talent dari 30 negara berbeda di dunia, 6 kontributor musik yang tersebar dari 4 negara, dan juga telah memiliki 20 klien yang telah menggunakan jasa pembuatan voice over ataupun produksi musik.

Cara kerja Inavoice

Dengan mengupayakan optimisasi Google Index (baik on page maupun off page), cara tersebut yang kemudian diterapkan oleh Inavoice untuk untuk menarik calon klien dan pelanggan. Tentunya optimasi tersebut diimbangi dengan konten pemsaran melalui kanal distribusi yang dimiliki, baik melalui Blog, Instagram, LinkedIn, Facebook, dan YouTube. Bagi klien dan pelanggan yang ingin menggunakan jasa Inavoice, bisa langsung mengakses situs.

Voice over talent dan musik kontributor yang bergabung bersama kami semuanya adalah freelancer, tidak ada kontrak terikat untuk terus berada dalam agency kami. Dengan cara seperti ini, kami menawarkan win-win solution bagi mereka karena mereka dapat dengan bebas mendistribusikan karya-karya mereka pada agency dan marketplace lain yang ada di seluruh dunia,” kata Jatmiko.

Diluncurkan saat pandemi ternyata tidak mempengaruhi pertumbuhan bisnis Inavoice. Perubahan behaviour dari target pasar, mengubah gaya produksi voice over dari client visit session menjadi remote recording system. Hal ini menurut mereka tentunya sangat mempengaruhi bagaimana ke depannya perusahaan melangkah dan menentukan business plan.

“Namun kami juga sadar betul bahwa pandemi merupakan starting poin baru bagi setiap orang, sehingga bagi bisnis yang terus konsisten dan bertahan melewati kondisi new normal, bisa menjadi leader baru dalam persaingan pasar, untuk ini, khususnya industri voice over dan audio marketplace,” kata Jatmiko.

Memasuki tahun 2021 ada beberapa target yang ingin dicapai oleh Inavoice. Di antaranya adalah memaksimalkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki di bidang audio untuk menjadi ‘win-win solution’, baik bagi talenta dan music contributor dan juga klien yang nantinya akan menggunakan jasa Inavoice. Disinggung apakah ada rencana penggalangan dana dalam waktu dekat, perusahaan menegaskan tidak memiliki rencana tersebut. Selama ini bisnis berjalan memanfaatkan modal sendiri, tanpa melibatkan investor.

“Kami sama sekali tidak berupaya untuk mencari pendanaan, penggalangan dana, atau apa pun. Yang sedang kami upayakan adalah memaksimalkan distribution channel kami agar bisa menambah jumlah traffic dan memaksimalkan kemungkinan converting melalui hal tersebut. Mengingat bahwa kami merupakan startup digital voice over agency dan audio marketplace pertama di Indonesia berbasis self funding, dengan kondisi pasar yang sedang kurang baik dikarenakan pandemi, proses bootstrapping jadi berjalan sedikit lambat,” kata Jatmiko.

Esensi Solusi Buana Tawarkan Aplikasi ERP Menyeluruh untuk Bisnis F&B

Sudah jadi cerita lama kalau restoran kesulitan dalam menyelesaikan berbagai masalah demi mencapai efisiensi operasional dan meningkatkan profit, apalagi ketika bisnis mereka terus tumbuh. Gunawan Woen yang memiliki ketertarikan kepada dunia F&B menyadari masalah tersebut untuk terjun sebagai wirausaha sebagai konsultan di firma konsultasi keuangan dan perpajakan dari pekerjaan sebelumnya sebagai auditor di PwC.

Ketertarikan Gunawan di bidang ini bermuara hingga Esensi Solusi Buana (ESB) dirintis, setelah ia bertemu dengan Eka Prasetya, yang kini menjadi salah satu co-founder ESB.

“Kemudian saya diperkenalkan dengan partner-nya Prawiryo dan Dwi Prawira. Mereka bertiga programmer andal banyak handle programming untuk big companies, banks, insurance, tapi kebanyakan jadi subcon (subkontraktor) dari main programmer. So I askem them to build ESB in 2015,” ujar Gunawan sebagai Co-Founder dan CEO ESB kepada DailySocial.

Para co-founder ESB / ESB
Para co-founder ESB / ESB

ESB pertama kali memulai kiprahnya dengan membuat solusi ERP (Enterprise Resource Planning) yang terkustomisasi sesuai kebutuhan brand restoran. Gunawan bahkan mengklaim, solusi yang mereka buat berhasil menggeser brand ERP besar pada waktu itu. Namun, pada pertengahan 2018 memutuskan untuk membuat produk sendiri yang sesuai dengan passion dan keahlian masing-masing.

“Lalu terpikirlah teknologi restoran karena waktu itu bahkan sampai saat ini, belum ada integrated solution yang betul-betul bisa kasih jawaban ke masalah yang dihadapi restoran. Berbekal pengalaman sebagai problem solver untuk banyak klien F&B, kita develop teknologi restoran ESB di tengah 2018, kita start komersial November 2018.”

Dari pengalamannya, restoran akan kehilangan pendapatan mulai dari 10% (bahkan lebih) akibat dari inefisiensi. Oleh karenanya, ada tiga aspek yang perlu ditingkatkan, yakni manajemen order & outlet, manajemen HQ & operasional, dan manajemen purchase & vendor. Solusi tersebut dapat terselesaikan apabila memanfaatkan teknologi.

Model bisnis ESB

Sebagai startup yang bergerak di SaaS, ESB menyediakan beragam solusi menyeluruh untuk restoran, mulai dari bagian ordering, POS (Point of Sales), KDS (Kitchen Display System), CDS (Customer Display System), kios, loyalitas, dan ERP. Gunawan mengklaim dari seluruh solusi tersebut, yang membedakan ESB dengan pemain sejenisnya adalah integrasi dan fokus.

Menurutnya, terkait integrasi, pemain restoran yang mampu beli software fully integrated seperti ini tidak banyak karena harganya sangat mahal. Namun, dengan model bisnis ESB, software tersebut bisa disediakan kepada restoran melalui berlangganan.

“Karena ESB fokus hanya ke industri F&B, membawa kita ke satu konsep yang dinamakan community-based software artinya ESB solve masalah satu brand, kemudian solusi tersebut ditanamkan dalam bentuk enhancement, mengakibatkan brand lain ikut menikmati pengembangannya.”

Hal tersebut menjadi lingkaran pengembangan yang membuat detail dari software ESB, menjadi sangat tajam mengatasi permasalahan dunia F&B. “Tidak mungkin satu perusahaan bisa mengatasi semua permasalahan di suatu industri, tapi kalau dibantu secara urunan oleh banyak brand, hal itu jadi memungkinkan. Solusi yang dipergunakan oleh merchant ESB besok, adalah solusi yang dipergunakan oleh brand-brand besar. Kita membawa best practice dari sisi teknologi ke industri ini.”

Pengembangan solusi ESB kini sudah menyentuh ke aspek integrasi dengan marketplace B2B untuk menghubungkan penyuplai dengan restoran, Business Intelligence (BI), dan Artificial Intelligence (AI). Menurut Gunawan, sebagian besar prosesnya sudah rampung dan akan dirilis resmi pada kuartal pertama tahun ini.

Masuk ke ranah marketplace B2B, ESB ingin permudah proses pengadaan bahan bagi restoran, termasuk membuka kesempatan bagi penyuplai untuk menjual lebih mudah dan aman tanpa harus berinvestasi lebih di armada logistik atau investasi gudang.

“Untuk B2B marketplace, model bisnisnya agak beda. Di sini kita sediakan berbagai kemudahan untuk supplier bisa melakukan proses penjualan ke restoran, membantu restoran memitigasi fraud dan kesalahan-kesalahan dalam proses procurement. Jadi supplier akan membayar untuk kemudahan-kemudahan ini per transaksi dengan harga yang pastinya sama sekali tidak memberatkan.”

Sementara, untuk BI nantinya menggunakan model bisnis berlangganan bulanan dan AI akan dikenakan biayanya berdasarkan kemampuan ESB membawa up sell untuk restoran. Pengembangan fungsi AI diharapkan mampu merekomendasikan menu yang tepat untuk konsumen, menyenangkan untuk mereka, dan membawa keuntungan lebih untuk restoran.

Perusahaan bekerja sama dengan industri jasa keuangan, untuk menyediakan kredit usaha apabila pengguna ESB ingin mengembangkan bisnis ke level berikutnya. “Karena transaksi B2C dan B2B seluruhnya menggunakan platform ESB, maka di sini dapat dipasangkan dengan jasa keuangan. ESB mendapatkan revenue sharing dari bunga tersebut.”

Telah kantongi pendanaan tahap awal

Platform ESB memungkinkan dipakai oleh restoran yang masih skala kecil. Kendati, mayoritas pengguna ESB datang dari brand besar, seperti Boga Group, Ismaya Group, MAP Group, dan Sour Sally Group, dan masih banyak lagi. Gunawan mengklaim software ESB sudah dioptimasi sedemikian rupa, sampai mampu bekerja di hardware spesifikasi rendah.

“Pasalnya, dua cost paling tinggi di restoran itu adalah biaya produksi makanan dan karyawan. ESB fokus bantu penghematan di dua tipe beban ini. Less cost = increased profit.”

Malah, dia mengungkapkan ESB telah memiliki pengguna di Malaysia dan Swiss. Serta, beberapa pengguna di sejumlah negara di Eropa sempat menghubungi ESB karena tertarik dengan solusi yang ditawarkan. “Mereka mengaku tidak menemukan perbandingan yang apple to apple dengan ESB. Which is a good news to me, sayangnya kami belum siap ekspansi ke luar Indonesia. Jadi saya masih batasi pengguna-pengguna di luar Indonesia.”

Terkait pendanaan baru, Gunawan masih menutup rapat-rapat. Akan tetapi ia menginformasikan akan ada pengumuman pada bulan ini. Sebelumnya, ESB dikabarkan telah mengantongi pendanaan tahap awal dari AC Ventures dengan nominal dirahasiakan pada Mei 2020.

Gunawan menuturkan pendanaan yang sudah diterima perusahaan sejauh ini hampir $5 juta (sekitar Rp69,5 miliar). “Pendanaan kami pergunakan untuk perkuat fungsi-fungsi produk, sembari meningkatkan penjualan,” tutupnya.

Smartlink Ingin Modernkan Pengusaha Laundry dengan Tata Kelola Digital

Jasa laundry seringkali terpinggirkan di dalam gempita digitalisasi, meski tingkat permintaannya selalu tinggi di hampir seluruh lapisan masyarakat. Bila dipantau, sejauh ini jasa laundry yang sudah didigitalkan baru berbentuk layanan on demand untuk memudahkan masyarakat mencari jasa terdekat.

Hal lainnya yang belum tergarap maksimal di bisnis laundry adalah manajemen itu sendiri. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Fredo Prima Yudha, Hery Kuswandy, Shidqon Alkaaf, dan Iqbal Firmansyah untuk merintis Smartlink mulai pada pertengahan 2016.

Kepada DailySocial, Yudha menerangkan, Smartlink berdiri karena belum ada aplikasi SaaS yang bisa memanajemenkan usaha laundry. “Sebenarnya ada aplikasi untuk bisnis laundry, namun hanya berbentuk aplikasi desktop yang tidak memberikan solusi secara fundamental ke pengusaha laundry,” katanya.

Dengan kata lain, sambungnya, belum ada aplikasi yang menyediakan layanan untuk mengelola seluruh siklus bisnis laundry, mulai dari barang masuk hingga keluar. Sebab kebanyakan hanya di bagian aplikasi kasirnya saja.

Yudha sendiri sebelumnya adalah pelaku usaha laundry. Dibantu oleh Heri yang memiliki kemampuan sebagai software engineering, Smartlink pun mulai dirintis dari awalnya berbentuk web based application hingga menjadi aplikasi untuk Android pada 2017.

“Pada saat itu eranya sudah menginjak ke era aplikasi Android dan akhirnya bertemu dengan co-founder lainnya, Alkaaf dan Iqbal yang latar belakangnya juga seorang software engineering.”

Aplikasi Smartlink mulai resmi dirilis pada awal 2018 dengan fitur yang masih mendasar. Yudha menuturkan saat itu perusahaan sempat kehabisan dana untuk mengembangkan aplikasi untuk Android, namun tetap dipaksakan launching dalam kondisi masih banyak bug.

“Akhirnya pada pertengahan Agustus 2018, baru terlihat pertumbuhan konsumen Smartlink dengan jumlah 400 outlet.”

Model bisnis dan rencana Smartlink berikutnya

Diterangkan lebih jauh, Smartlink memiliki tiga modul aplikasi yang digunakan oleh kasir (Smartlink Kasir), produksi (Smartlink Produksi), dan owner (Smartlink Bos) dilengkapi dengan fitur yang berbeda. Smartlink Bos misalnya, berbentuk website yang digunakan pemilik usaha untuk mengatur dan membaca laporan kegiatan usaha laundry.

Sementara, Smartlink Kasir berbentuk aplikasi yang digunakan oleh kasir untuk melakukan kegiatan operasional transaksi di outlet. Adapun fitur yang disiapkan dari masing-masing modul fokus mendukung empat kegiatan laundry, seperti operasional, manajamen keuangan, performa usaha, dan manajemen konsumen (CRM).

Yudha menuturkan, model bisnis yang digunakan Smartlink adalah berlangganan tapi berdasarkan pemakaian saja, bukan dengan membayar setiap bulan. Dengan demikian, setiap fitur di Smartlink akan di-split, kalau tidak ingin menggunakan fitur tersebut maka tidak perlu membayar.

Biaya terendah yang dibayar pengguna Smartlink adalah biaya per transaksi sebesar Rp100. “Biaya yang sangat murah ini karena tujuan kita saat ini hanya membangun member Smartlink dan mengejar target operasional. Jadi supaya outlet laundry bisa tumbuh dan kita [Smartlink] bisa tetap operasional.”

Pengguna Smartlink diklaim telah tembus ke angka 4 ribu outlet, yang tersebar di sekitar Jawa dan Bali. Ia berencana untuk mengembangkan produk baru, dinamai Londi Loker yang berbentuk keagenan. Produk ini akan membuat loker yang tersebar di beberapa titik dan dikelola oleh beberapa vendor. Loker tersebut membantu pemilik laundry memiliki tambahan transaksi.

“Konsumen datang ke loker, melakukan scan untuk menaruh barang yang akan di laundry ke dalam loker. Kemudian barang tersebut akan diambil oleh vendor dan dikirim kembali oleh vendor dalam waktu 24 jam, nanti konsumen ambil sendiri ke loker dan outlet Londi Loker ini dibuka selama 24 jam.”

Setelah Smartlink, Yudha berencana untuk memosisikan ulang perusahaannya untuk fokus ke aplikasi jasa sehingga tidak bermain di bisnis laundry saja. Ia juga mengklaim sejauh ini Smartlink masih mengandalkan dana sendiri untuk mengembangkan perusahaan.

“Kita enggak pernah buka investasi dan tidak pernah mendapatkan dana dari investor, jadi bisnis murni hidup dan berkembang dari kegiatan usaha kita saja sampai di posisi sekarang ini,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Pajak.io Jembatani Kebutuhan UKM Soal Perpajakan

Rendahnya peran serta pelaku UKM untuk membayar pajak dan kurang user friendly opsi perpajakan saat ini, memberikan inspirasi bagi Rayhan Gautama (CEO), Jefriansyah Hertikawan (CTO), dan Fadil Moestar (CPO) untuk mendirikan Pajak.io. Platform tersebut diinisiasi oleh pendiri Fintax (PT Fintek Integrasi Digital), salah satu Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) resmi yang terdaftar dan diawasi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Republik Indonesia.

Kepada DailySocial Rayhan mengungkapkan, berdasarkan data yang diperoleh, dari sekitar 60 juta UKM di Indonesia, hanya sekitar 2 juta unit usaha yang membayar pajak. Maka dari itu Pajak.io dibangun untuk menyediakan opsi perpajakan yang lebih user friendly agar mudah dimengerti bagi masyarakat dan pengusaha pada umumnya.

“Berdasarkan hasil studi yang kami pelajari dari berbagai jurnal ilmiah, setidaknya kami menemukan dua alasan mengapa inklusi perpajakan pada UKM sangatlah rendah. Yang pertama dikarenakan sistem daring kepatuhan pajak milik Ditjen Pajak dipandang kurang user friendly, yang kedua karena minimnya sosialisasi kepada para pelaku UKM.” kata Rayhan.

Sejak diluncurkan pada 14 Juli 2020, Pajak.io berhasil mencatat pertumbuhan yang baik sepanjang tahun 2020. Mereka mengklaim telah memiliki 3322 pengguna dari 2540 badan usaha yang terdaftar di Indonesia. Sepanjang tahun 2020, Pajak.io mencatat lebih dari 14025 transaksi dengan nominal pajak yang terkelola mencapai lebih dari 22,6 miliar Rupiah.

“Model bisnis dari Pajak.io adalah freemium. Strategi Pajak.io adalah untuk memberikan layanan gratis kepada seluruh pengguna dan juga membangun database kontak untuk nantinya ditawarkan layanan premium Pajak.io, untuk layanan premium ini akan diluncurkan pada Q1 2021,” kata Rayhan.

Manfaatkan web app

Solusi dan kemudahan yang ditawarkan untuk pelaporan pajak para pelaku UKM tersebut adalah melalui web app Pajak.io. Platform tersebut fokus pada layanan pembuatan kode billing untuk kebutuhan pembayaran pajak dan juga layanan pelaporan SPT secara daring yang lebih user friendly. Di samping itu, Fintax juga aktif untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku usaha UKM tentang kemudahan administrasi perpajakan.

“Untuk saat ini fitur multi-pengguna dan multi-perusahaan merupakan fitur yang paling diminati oleh pasar kami. Dengan fitur tersebut, satu pengguna dapat mengelola lebih dari satu perusahaan dan satu perusahaan juga dapat dikelola lebih dari satu pengguna, gratis dan tanpa batasan,” kata Rayhan.

Disinggung apa yang membedakan Pajak.io dengan platform serupa lainnya, Rayhan menegaskan positioning layanan serupa di pasar saat ini, lebih memfokuskan kepada monetisasi produknya kepada segmen enterprise. Sedangkan visi Pajak.io adalah untuk mendongkrak inklusi perpajakan terutama kepada UKM.

“Bukan berarti produk Pajak.io tidak dapat digunakan enterprise, namun product market fit terhadap segmen UKM akan selalu menjadi fokus jangka panjang dari Pajak.io,” kata Rayhan.

Perusahaan mencatat saat ini sekitar 75% pengguna dari Pajak.io adalah UKM, sementara 15% masuk dalam kategori segmen enterprise. Sisanya Pajak.io memiliki pengguna yang berasal dari kalangan instansi pemerintahan meliputi Sekolah Negeri, Madrasah, dan lainnya.

Pandemi dan rencana tahun 2021

Dilihat dari pertumbuhan bisnis saat pandemi, Pajak.io tidak mengalami kendala yang berarti. Perusahaan mencatat target telah tercapai. Sejak diluncurkannya platform, relasi yang lebih baik telah tercipta dengan target pengguna mereka yaitu kalangan UKM di Indonesia.

“Hal yang paling membanggakan justru bukan dari capaian kuantitatif, namun kualitatif. Semenjak layanan Pajak.io diluncurkan, kami merasa sangat engaged dengan segmen UKM. Berbagai macam sosialisasi perpajakan dan tawaran kerjasama dengan berbagai komunitas UKM juga kami lakukan sehingga kami jadi lebih paham mengenai pain point mereka dalam perpajakan, dan layanan apa yang harus kami bangun kedepannya untuk membantu mereka,” kata Rayhan.

Tahun 2021 mendatang ada beberapa rencana yang dimiliki oleh perusahaan, di antaranya adalah fokus untuk monetisasi produk premium melalui aplikasi e-Faktur (untuk administrasi PPN) dan e-Bupot (untuk administrasi PPh 23/26).

Ke depannya perusahaan juga akan meluncurkan layanan lain yang difokuskan untuk melayani segmen UKM secara full service (hitung-bayar-lapor) dengan memanfaatkan kemitraan strategis dengan beberapa komunitas UKM. Perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan awal.

“Kami cukup senang atas respon positif pasar terhadap Pajak.io, terutama untuk para pengguna dari sektor UKM atas antusiasme mereka terhadap kewajiban perpajakannya,” kata Rayhan.

Hadirkan Teknologi dalam “Urban Farming”, Tunas Farm Dapat Pendanaan Awal dari Gayo Capital

Kesadaran masyarakat akan hidup sehat terus meningkat. Terlebih di kondisi pandemi, tubuh memerlukan nutrisi terbaik agar tercipta daya tahan yang prima. Melihat hal tersebut, Widya Surya Prayoga, Rudwiky Okta Putra, dan Topaz Kumoro menginisiasi Tunas Farm dengan visi mengintegrasikan solusi urban farming dengan teknologi.

Tunas Farm sudah memulainya dengan membangun ruang produksi tanaman indoor farming di kawasan Gading Serpong. Salah satu metode tanam yang diaplikasikan adalah hidroponik. Konsep bisnis yang disajikan berupa B2C, yakni menawarkan farm to table untuk memungkinkan konsumen dapat menikmati sayuran yang baru saja dipetik. Didukung dengan same day delivery oleh tim logistik Tunas Farm sendiri.

Baru-baru ini, untuk mengakselerasi bisnisnya, Tunas Farm menerima pendanaan pre-seed funding dari Gayo Capital. Tidak disebutkan detail nominal yang diterima. Hanya saya dikatakan, dana yang diperoleh akan difokuskan untuk peningkatan sistem hidroponik berbasis teknologi memanfaatkan IoT.

Saat ini Surya dan tim Tunas Farm sedang menyelesaikan persiapan fasilitas di Gading Serpong sebagai tempat produksi sekaligus display indoor vertical farming yang akan selesai dalam waktu dekat. Mereka juga berencana membangun fasilitas serupa di area lain dan akan memberikan pelatihan langsung tentang bagaimana cara bertani di rumah sendiri menggunakan sistem hidroponik.

Ia juga mengatakan, bahwa ke depannya Tunas Farm akan mengeluarkan produk hidroponik kit dengan sistem IoT yang bisa dimiliki oleh masyarakat untuk bertani di rumah sendiri dengan mudah.

Startup teknologi pertanian

Kendati bisnis agritech banyak dikatakan memiliki potensi besar di Indonesia, sejauh ini belum banyak solusi teknologi yang hadir mendemonstrasi proses bercocok tanam secara signifikan. Sementara banyak sekali potensi teknologi yang bisa dimanfaatkan, mulai dari IoT, big data, machine learning, computer vision, dan lain-lain. Tidak dimungkiri, isu di sektor pertanian masih sangat banyak, dari hulu ke hilir.

Salah satu yang mulai banyak diselesaikan terkait rantai pasokan (supply chain); memungkinkan konsumen –baik bisnis maupun konsumer—mengakses produk pertanian langsung dari para petani atau melalui medium yang lebih sederhana. Dampaknya, petani mendapatkan harga jual yang lebih baik kendati dari sisi konsumen pun juga lebih hemat. Selain itu, solusi lain yang mulai banyak adalah seputar pembiayaan produktif untuk mitra petani.

Beberapa startup mulai menghadirkan produk teknologi untuk menunjang pertanian – sebagian masih proses riset (banyak ditemui dalam kegiatan inkubator, kompetisi, maupun hackthon), lainnya sudah mulai diproduksi. Selain Tunas Farm, ada juga Mertani, Tanibox, dan Neurafarm. Mertani hadirkan solusi IoT dan big data untuk memantau petani memantau kondisi lahan perkebunannya dengan skala yang besar.

Adapun Neurafarm menghadirkan aplikasi berbasis kecerdasan buatan bernama “Dr. Tania”, berfungsi membantu petani mengidentifikasi penyakit tanaman melalui analisis dari foto yang diunggah. Di skala yang lebih kecil, Tanibox menghadirkan perangkat berbasis sensor untuk membantu masyarakat bercocok tanam di dalam rumah.

Moodah Kembangkan Aplikasi Catatan Keuangan, Targetkan UKM yang Terdampak Pandemi

Angka konfirmasi kasus positif Covid-19 di Indonesia yang semakin meningkat menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda negara ini akan bebas dari belenggu virus tersebut. Hal ini berpotensi membawa sektor UKM semakin terpuruk jika tidak mulai beradaptasi dengan perubahan yang ada. Salah satu solusi yang saat ini banyak ditawarkan untuk membantu adaptasi para penggiat UKM ini adalah aplikasi pencatatan keuangan.

Salah satu aplikasi yang belum lama ini meluncur adalah Moodah. Arini Astari, selaku Co-Founder menyampaikan fakta terkait 78% UKM yang bangkrut di tahun pertama adalah karena mayoritas mereka masih unbankable, serta keuangan usaha dan rumah tangga yang tidak tertata rapi. Jadi meskipun penjualan terlihat bagus, penghasilan yang didapat tidak transparan.

“Dengan background kami para founders yang datang dari ERP consultant, kami percaya kami dapat menggunakan solusi-solusi yang sebelumnya kami kembangkan untuk big corporates, kami sederhanakan untuk sesuai kebutuhan UMKM dan membantu mereka untuk mulai menata laporan keuangannya tanpa harus belajar akuntansi,” ujar Arini.

Moodah merupakan produk ekspansi dari Rubyh.co, sebuah software house Indonesia yang berfokus dalam memberikan solusi perangkat lunak berkualitas tinggi untuk masalah terkait teknologi. Setelah tiga tahun berdiri, timnya memutuskan untuk merambah produk baru yaitu sistem manajemen inventaris. Pada tahun 2018, terbentuklah Moodah yang digawangi oleh Arini Astari, Muhammad Irfan, dan Alexander Sie To.

Fitur yang ditawarkan Moodah cukup sederhana, yaitu pencatatan transaksi, pembuatan laporan keuangan, serta pengelolaan hutang/piutang. UMKM hanya perlu memasukan pengeluaran dan pemasukan, lalu aplikasi akan membuatkan laporan keuangan yang sesuai dengan SAK EMKM.

Dengan memiliki laporan keuangan yang jelas, pelaku UMKM dapat membuat keputusan lebih cepat dan lebih baik. Laporan keuangan ini juga dapat menjadi modal mereka untuk mengajukan pinjaman. Timnya turut menambahkan, pelaku UKM yang menggunakan Moodah dilaporkan mendapat kenaikan laba bersih sampai 125%.

“Saat ini kami memfokuskan kepada teman-teman yang terdampak pandemi (dirumahkan) dan mulai berjualan mandiri secara online ataupun offline. Aplikasi pembukuan Moodah dapat dinikmati UMKM secara gratis, namun kami juga menawarkan fitur-fitur premium yang dapat dibeli oleh pengguna,” tambah Arini.

Selama beroperasi, Moodah telah bekerja sama dengan banyak pihak, terutama pemerintah, seperti Jakpreneur, Rumah Kreatif BUMN, KADIN, serta pengembang komunitas lainnya. Dalam tiga bulan terakhir, Arini turut menyampaikan antusiasme tinggi dari UKM yang ditunjukkan dengan peningkatan pengguna aplikasi hingga 86%.

Pada bulan Oktober lalu, Moodah juga terpilih sebagai salah satu kandidat untuk mengikuti program Startup Studio Indonesia. Ini merupakan program intensif yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bagi startup tahap awal untuk mengakselerasi skala bisnisnya.

“Program Startup Studio sangat membantu kami untuk fokus kepada solusi akan masalah yang kami mau coba pecahkan. Kami diberikan 1:1 session
dengan para founders yang sudah series B ke atas, sehingga kami bisa sharing experience dan sangat relatable,” ungkap Arini.

Layanan pencatatan keuangan sendiri sedang mendapat perhatian dari banyak investor. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa platform yang berhasil meraih pendanaan di tahun ini, sebut saja BukuKas, BukuWarung, serta Credibook. Sebelumnya, Moodah juga telah mengikuti program akselerator MOX oleh SOSV, perusahaan modal ventura yang bermarkas di Amerika Serikat, dan berhasil mendapatkan dana pre-seed pada bulan Februari 2020.

Terkait dampak pandemi, Arini turut menyampaikan bahwa timnya kini lebih fokus dan terarah untuk mencapai target, serta semakin termotivasi untuk membantu sektor UKM yang 47%-nya sudah tutup buku.

“Kami selalu mencoba melihat sisi yang positif dari suatu kejadian. Kami melihat pergerakan UMKM ke arah digital menjadi lebih cepat karena untuk dapat bertahan di masa pandemi, UMKM harus beralih online,” jelas Arini.

Saat ini, Moodah juga memfasilitasi UMKM dari mengadakan pelatihan-pelatihan online hingga meluncurkan fitur penagihan menggunakan WhatsApp. Penggunanya pun dapat melakukan pembayaran langsung menggunakan dompet digital, seperti GoPay, OVO, dan DANA, maupun transfer bank (virtual account).

Application Information Will Show Up Here

Desty Secures Seed Funding from East Ventures, Developing Services to Support Social Commerce

Social commerce infrastructure provider startup Desty announced an undisclosed seed funding from East Ventures. The fund will be used for product development and boost user acquisition.

Desty was founded in October 2020. It is a digital platform that helps content creators, influencers, and merchants on social media create online destinations to market, sell their products and content.

Desty’s CEO and Founder, Bill Wang explained, Desty was designed in a challenging condition, but he believes that digital acceleration provides opportunities for growth. “Desty is here as a local, simple, and free solution for online businesses to create landing pages and build their own online brand in just minutes,” he said in an official statement, Tuesday (12/1).

East Ventures’ Co-Founder and Managing Partner Willson Cuaca added, the number of online businessmen in Indonesia has grown rapidly since last year because they are shifting to open online stores. He sees that Desty’s team, which combines global and local expertise, is able to create a product that can draw the attention of thousands of users, just a few weeks after being launched.

“We are very pleased to work with Desty in helping millions of online merchants and content creators in Indonesia integrate their businesses across various e-commerce and social media platforms,” ​​Willson added.

Desty has two products, Desty Page and Desty Store. Desty Page is a landing page provider service that is optimized for links on social media accounts, especially Instagram – the concept is similar to Linktree or Oneblink developed by MTARGET. Meanwhile, Desty Store provides a platform to easily open an online store, as a complement to the marketplace.

Despite the early stage, Desty is said to have succeeded in attracting thousands of users, including online brands (Alowalo, Babycare, Notbad), content creators (Mindblowon Studio/Tahilalat), and influencers from the culinary, travel, lifestyle and fashion industries. The company has integrated with several important partners to add payment and logistics features to the Desty Store platform.

“In addition to online merchants, Desty also used by various users to increase engagement with their followers. We also provide our users with the best features, from customizable templates to comprehensive analysis tools.”

Bill said that his team will use this seed funding to accelerate product development and boost user acquisition. He targets Desty to be able to attract 100 thousand users by the first half of next year.

Bill Wang founded Desty with Eric Nathanael. Both have enough experience in local and global companies, from the e-commerce industry to B2B to telecommunications. Bill previously worked for 17 years at Alibaba, he was involved in the journey of the technology giant to evolve into AliExpress.

Social commerce momentum

According to the Econsultancy report with Magento and Hootsuite in October 2019 entitled “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, the social commerce industry is projected to grow significantly. Southeast Asia has more than 350 million internet users and 90% of them are connected to smartphones, as a result this opportunity is very promising to work on.

The pie has grown significantly during the pandemic and has been previously covered by DailySocial.

In Indonesia, these players offer a variety of simple technology solutions that make it easier for sellers to enter the digital realm. These players are Woobiz, TapTalk.io, Storie, Super, Chilibeli, Halosis.

In fact, Moka released the GoStore which makes it easy for merchants to create online shop sites. Before investing in Desty, East Ventures also invested in a social commerce startup called KitaBeli last August.

Another player, Kata.ai, a conversational technology platform powered by AI and NLP, released a dedicated social commerce platform and manages a business called QIOS. Through this platform, MSME players can create virtual assistants via WhatsApp to serve inquiries, payments, and deliveries.

This platform is integrated with e-wallets (OVO, DANA, LinkAja), and logistics services (GoSend and GrabExpress). “Kata.ai is an enabler to help players in this industry be more thriving with intelligent technology,” Kata.ai’s CEO Irzan Raditya said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian