Soul Parking Secures Seed Funding, Developing Smart Parking Infrastructure

Smart parking startup developer Soul Parking announced seed funding led by AC Ventures and Agaeti Ventures. Some angel investors are involved without further details mentioned, the nominal received is also undisclosed.

“We are very pleased to have partnered with AC Ventures, Agaeti Ventures, and angel investors; and we have the same vision to revolutionize conventional motorcycle parking in Indonesia,” Soul Parking’s Founder & CEO Ilham Akbar said.

Soul Parking was founded by five co-founders, consisting of Ilham Akbar (CEO), Andru Wijaya (CPO), Riza Aulya (COO), Unggul Depririanto (CTO), and Kenneth Darmansjah (CFO). They have developed solutions for parking management since 10 years ago.

Offering solutions

Soul Parking developed a smart parking solution called Compact Motorcycle Storage (CMS), a portable parking bag for bicycles. It is designed to get around the narrow land and the high demand for proper parking in strategic locations. The developed parking infrastructure is equipped with a digital application, which is able to facilitate the preparation, monitoring, and payment of vehicle parking, as well as facilitate the reporting of parking transactions to landowners.

“By only using around 60 square meters area, one CMS module can serve up to 240 motorbikes, which means one CMS module is able to increase 8 times the conventional parking capacity,” Co-Founder & CFO Kenneth Darmansjah added.

Parking space developed by Soul Parking
Parking space developed by Soul Parking

The business model applied is of two kinds. First, they sell CMS packages to anyone in need. With this option, the parking lot owner will manage the system independently. In the sale, Soul Parking also provides training on the use of the system. Second, they work together with land owners or parking areas in certain places. The management is carried out by Soul Parking team with profit sharing system.

Future plans

The company plans to build 10 new CMS through capital funds obtained from investors this year while developing user applications with features such as parking search, parking reservations, and payment. The first version of the application will be launched at the end of June 2020.

“We hope this breakthrough can help revolutionize motorcycle parking in Indonesia. By increasing efficiency and maximizing land capacity, especially in crowded cities, this will help reduce traffic congestion in very crowded areas,” Managing Partner of AC Ventures and Agaeti Ventures, Michael Soerijadji said.

In late February, Soul Parking established its first three CMS modules at Jl. Kebon Kacang Jakarta, in front of Plaza Indonesia Mall, and the Keraton Hotel. Every day, there are thousands of motorbikes parked in public areas at that location, causing incredible traffic jams. This solution is expected to minimize illegal parking and traffic congestion in Indonesia.

One of CMS module applied in the Jakarta area / Soul Parking
One of CMS module applied in the Jakarta area / Soul Parking

With around 120 million motorbikes in Indonesia, the founders believe this business has great potential. Out of the number, 15% are in Jakarta, making this region one of the most densely populated motorcycle populations in the world. Based on the latest data from BPS, motorcycle growth in Indonesia is 7% per year while road surface growth is less than 0.1% per year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Soul Parking Bukukan Pendanaan Awal, Kembangkan Infrastruktur Parkir Sepeda Motor yang Dilengkapi Teknologi

Startup pengembang aplikasi penataan parkir sepeda motor Soul Parking mengumumkan perolehan pendanaan awal yang dipimpin AC Ventures dan Agaeti Ventures. Beberapa angel investor juga terlibat, kendati tidak disebutkan detailnya, pun terkait nominal yang diterima startup.

“Kami sangat senang telah bermitra dengan AC Ventures, Agaeti Ventures dan para angel investor; dan kami memiliki visi yang sama untuk merevolusi parkir sepeda motor konvensional di Indonesia” sambut Founder & CEO Soul Parking Kemas Ilham Akbar.

Soul Parking didirikan oleh lima orang co-founder, yang terdiri dari Ilham Akbar (CEO), Andru Wijaya (CPO), Riza Aulya (COO), Unggul Depririanto (CTO), dan Kenneth Darmansjah (CFO). Mereka mengembangkan solusi untuk pengelolaan tempat parkir sejak 10 tahun lalu.

Solusi yang dihadirkan

Soul Parking mengembangkan solusi yang motor dinamakan Compact Motorcycle Storage (CMS), sebuah kantong parkir portabel untuk sepeda. Didesain untuk menyiasati sempitnya lahan dan tingginya kebutuhan tepat parkir di lokasi-lokasi strategis. Infrastruktur parkir yang dikembangkan dilengkapi dengan aplikasi digital, yang mampu memudahkan dalam penyusunan, pengawasan, dan pembayaran parkir kendaraan, serta memudahkan dalam pelaporan transaksi parkir kepada pemilik lahan.

“Dengan hanya menggunakan luas lahan sekitar 60 meter persegi, satu modul CMS dapat melayani hingga 240 sepeda motor, yang artinya 1 modul CMS mampu meningkatkan 8 kali kapasitas parkir konvensional,” ujar Co-Founder & CFO Kenneth Darmansjah.

Gambaran infrastruktur tempat parkir yang dikembangkan Soul Parking / Soul Parking
Gambaran infrastruktur tempat parkir yang dikembangkan Soul Parking / Soul Parking

Model bisnis yang diterapkan ada dua macam. Pertama, mereka menjual paket CMS kepada siapa pun yang membutuhkan. Dengan opsi ini, pemilik tempat parkir akan mengelola sistem secara mandiri. Dalam penjualannya, Soul Parking turut menyediakan pelatihan penggunaan sistem. Kedua, mereka bekerja sama dengan pemilik lahan atau area parkir di tempat tertentu. Pengelolaan dilakukan tim Soul Parking dengan sistem bagi hasil.

Rencana berikutnya

Melalui dana modal yang diperoleh dari investor, perusahaan berencana untuk membangun 10 CMS baru pada tahun ini, sekaligus mengembangkan aplikasi pengguna dengan fitur seperti pencarian parkir, pemesanan parkir, serta pembayaran. Adapun aplikasi versi awal akan segera diluncurkan pada akhir Juni 2020.

“Kami berharap terobosan ini dapat membantu merevolusi parkir sepeda motor di Indonesia. Dengan meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan kapasitas lahan, terutama di kota-kota yang padat, ini akan membantu mengurangi kemacetan lalu lintas di daerah yang sangat padat,” imbuh Managing Partner AC Ventures dan Agaeti Ventures, Michael Soerijadji.

Pada akhir bulan Februari yang lalu, Soul Parking mendirikan tiga modul CMS pertamanya di lokasi Jl. Kebon Kacang Jakarta, di seberang Mall Plaza Indonesia, dan Hotel Keraton. Setiap harinya, di lokasi tersebut terdapat ribuan sepeda motor yang terparkir di area publik sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Harapannya dengan solusi yang dihadirkan dapat meminimalkan parkir ilegal dan kemacetan lalu lintas di Indonesia.

Salah satu modul CMS yang diaplikasikan di wilayah Jakarta / Soul Parking
Salah satu modul CMS yang diaplikasikan di wilayah Jakarta / Soul Parking

Dengan sekitar 120 juta sepeda motor di Indonesia, para founder meyakini bisnis ini memiliki potensi yang besar. Dari jumlah tersebut, 15% di antaranya berada di Jakarta, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu kota dengan populasi sepeda motor terpadat di dunia. Berdasarkan data terbaru dari BPS, pertumbuhan sepeda motor di Indonesia sebesar 7% per tahunnya sedangkan pertumbuhan permukaan jalan kurang dari 0,1% per tahunnya.

AdaKerja Connects SMEs and Corporates with Blue Collars Talents

Another job marketplace platform intends to accommodate blue collar job opportunities is introduced to the public. It is AdaKerja, with a mission to simplify the process of recruiting workers efficiently through technology.

As a general note, blue-collar workers are needed in every business, from SMEs to corporations. For example, security workers, cleaners, couriers, salespeople, and others.

AdaKerja was founded in 2019 by Ashwin Tiwari. In its operations, they have received seed funding from Beenext, which also invested seeds to startups such as Amartha, Dekoruma, and Tokopedia.

“With an average UMR in the Jakarta area of ​​3 million Rupiah, it indicates that the majority of workers are the skilled labor or the blue collar sector, but there is no medium that connects companies or employers directly with skilled workers. We expect AdaKerja will be able to provide convenience access for SMEs and companies in recruiting these workers,” Tiwari said.

Facilitate talents to create CV

The AdaKerja service also features a Facebook Messenger-based chatbot to make it easier for workers to create profiles and CVs. This approach is deemed easier than users having to compile their own CV documents manually. After all, CV becomes one important component to “market” the skills of these workers.

“To date, there are more than 300 thousand skilled workers registered with AdaKerja, and there are 7 thousand job openings from various companies offered. We see changes taking place. Most companies that have used AdaKerja for recruitment purposes are SMEs which are merchants from the online platforms, such as Tokopedia and GoFood,” he added.

More players to come

There are several startups in the HR-tech sector targeting blue-collar workers in Indonesia. One of those is Job2GO, they just announced seed investment from the angel investor network BANSEA last week. Similar to AdaKerja, the list of available jobs are for gig workers, options varied, such as salesforce, merchandising, salespeople, marketing staff, administration, and others.

Job2GO’s Founder & CEO, Kurniawan Santoso told DailySocial that the Job2GO application has reached 15 thousand users, with 500 companies offering various vacancies.

Another player in the same field is Heikaku, offering similar job options but focusing on facilitating SME businesses. Based on the data shared, the most open vacancies are admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, salespeople, and others. Around 87% of applicants are high school/vocational high school graduates. In addition, there are several other players operating in Indonesia, such as Kromo and Workmate.

Previously, vacancies for blue-collar workers were widely distributed manually – for example with leaflets in public places, job postings at POS offices, or in the form of digital posters on social media. Actually, there are already existing job marketplace services, such as Jobstreet, which accommodates job vacancy publications. The thing is, with a special platform, in addition to making it easier for prospective workers, it also makes employers have a more orderly system through the partner dashboard provided.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AdaKerja Hubungkan UKM dan Korporasi dengan Calon Pekerja Kerah Biru

Satu lagi platform job marketplace yang mencoba mengakomodasi kesempatan pekerjaan kerah biru (blue collar) dikenalkan ke publik. Bernama AdaKerja, memiliki misi untuk menyederhanakan proses perekrutan tenaga kerja secara efisien lewat teknologi.

Seperti diketahui, perkerjaan blue collar hampir dibutuhkan di setiap bisnis, mulai dari UKM sampai korporasi. Contohnya tenaga kerja keamanan, kebersihan, kurir, SPG, dan lain-lain.

AdaKerja sudah didirikan sejak tahun 2019 oleh Ashwin Tiwari. Dalam operasionalnya, mereka sudah mendapatkan pendanaan awal dari Beenext, investor yang juga berinvestasi awal di startup seperti Amartha, Dekoruma, hingga Tokopedia.

“Dengan rata-rata UMR wilayah Jakarta adalah sebesar 3 juta Rupiah, mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja adalah sektor tenaga terampil atau sektor blue collar, namun belum ada medium yang menghubungkan perusahaan atau pengusaha dengan tenaga kerja terampil secara langsung. Kami berharap kehadiran AdaKerja mampu memberikan akses kemudahan untuk para UKM maupun perusahaan dalam merekrut tenaga kerja tersebut,” ungkap Ashwin.

Mudahkan pekerja buat CV

Layanan AdaKerja turut dilengkapi chatbot berbasis Facebook Messenger untuk memudahkan pekerja dalam membuat profil dan CV. Pendekatan ini dirasa lebih memudahkan alih-alih pengguna harus menyusun sendiri dokumen CV secara manual. Karena bagaimanapun CV menjadi salah satu komponen penting untuk “memasarkan” keterampilan para pekerja tersebut.

“Saat ini sudah ada lebih dari 300 ribu pekerja terampil terdaftar di AdaKerja, serta ada 7 ribu lowongan pekerjaan dari berbagai perusahaan yang ditawarkan. Kami melihat perubahan mulai terjadi. Sebagian besar perusahaan yang telah menggunakan AdaKerja untuk keperluan rekrutmen adalah UKM yang merupakan merchant dari platform online seperti Tokopedia dan GoFood,” imbuh Ashwin.

Pemain makin banyak

Startup di bidang HR-tech yang menyasar pekerja kerah biru sudah ada beberapa di Indonesia. Salah satunya Job2GO, minggu lalu mereka baru mengumumkan perolehan investasi tahap awal dari jaringan angel investor BANSEA. Sama seperti AdaKerja, daftar perkerjaan yang ada ditawarkan untuk gig workers, pilihannya seperti tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, dan lain-lain.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Job2GO Kurniawan Santoso mengatakan saat ini pengguna aplikasi Job2GO sudah mencapai 15 ribu orang, dengan 500 perusahaan yang menawarkan berbagai lowongannya.

Pemain lain yang tawarkan layanan serupa adalah Heikaku, tawarkan opsi pekerjaan serupa namun fokus memfasilitasi pelaku bisnis UKM. Berdasarkan data yang dibagikan, lowongan kerja yang paling banyak dibuka adalah admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG dan lainnya. Sekitar 87% pelamar adalah lulusan SMA/SMK. Selain itu masih ada beberapa pemain lainnya yang beroperasi di Indonesia, misalnya Kromo dan Workmate.

Sebelumnya lowongan untuk pekerja kerah biru banyak didistribusikan secara manual – misalnya dengan selebaran yang ditempel di tempat umum seperti papan lowongan kerja di Kantor POS atau dalam bentuk poster digital di media sosial. Sebenarnya layanan job marketplace yang sudah ada sebelumnya, sebut saja Jobstreet, juga akomodasi publikasi lowongan pekerjaan seperti itu. Hanya saja dengan adanya platform khusus, selain lebih memudahkan calon pekerja, juga membuat pemberi kerja memiliki sistem yang lebih tertata melalui dasbor mitra yang disediakan.

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here

Delman Big Data Startup Secures 23.6 Billion Rupiah Funding from Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Qlue

Big data management platform startup, Delman, today (26/5) announced the seed funding worth of US $1.6 million or equivalent to 23.6 billion Rupiah. This investment round was led by Intudo Ventures, with the participation of Prasetia Dwidharma Ventures and startup smart city solution developer Qlue.

The funds raised will be focused on business expansion, by developing a big data management ecosystem that can be used by clients to make predictions and business decisions, and build the Delman R&D Center in Surabaya this year.

“We found that some companies spent US$ 200 thousand and 70% of their time cleansing and classifying data into a database (warehousing). There is a lot of data with a non-uniform, irregular shape, and typos, making it difficult for scientist data to process the data and make it an accurate analysis in real-time,” Delman’s Founder & CEO, Surya Halim explained.

Since founded in 2018, Delman has been working with Qlue to help big data management in various companies and government agencies. The solutions consist of combining, cleaning, and classifying data; to visualize data in the form of a dashboard that is easy to understand.

Meanwhile, Qlue’s Founder & CEO, Rama Raditya said, in the midst of a pandemic, his company continued to actively invest in startups with great potential. He believes Delman, as a newcomer, will become a major player in the big data industry and push big data to a higher level in Indonesia. Previously, Qlue also participated in the Nodeflux’s seed funding.

“The big data market in Indonesia will continue to grow and the on-demand solution has shifted to local companies because it can provide solutions in line with the needs of Indonesian companies. In addition, there are many Indonesia companies planning for digital transformation, but yet to optimize big data processing and analyzing,” Rama said.

Intudo Ventures Founding Partner, Eddy Chan said, “Since the meeting with Delman founding team in Silicon Valley in 2017, we have seen their growth as solid management and we will continue to support them going forward.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Big Data “Delman” Dapatkan Pendanaan 23,6 Miliar Rupiah dari Intudo Ventures, Prasetia Dwidharma, dan Qlue

Startup pengembang platform manajemen big data, Delman, hari ini (26/5) mengumumkan penerimaan pendanaan tahap awal senilai US$1,6 juta atau setara dengan 23,6 miliar Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Intudo Ventures, didukung Prasetia Dwidharma Ventures dan startup pengembang solusi smart city Qlue.

Dana segar yang didapat akan difokuskan untuk ekspansi bisnis, dengan mengembangkan ekosistem manajemen big data yang dapat digunakan klien untuk membuat prediksi dan keputusan bisnis, serta membangun Delman R&D Center di Surabaya tahun ini.

“Kami menemukan bahwa rata-rata perusahaan mengeluarkan US$200 ribu dan 70% waktunya untuk membersihkan (cleansing) dan mengklasifikasikan data menjadi sebuah database (warehousing). Banyak data yang bentuknya tidak seragam, tidak beraturan, hingga salah ketik, sehingga menyulitkan data scientist untuk mengolah data tersebut dan menjadikannya analisis yang tepat secara real-time,” jelas Founder & CEO Delman Surya Halim.

Sejak berdiri di tahun 2018, Delman sudah bekerja sama dengan Qlue untuk membantu manajemen big data berbagai perusahaan dan instansi pemerintah. Adapun solusi yang akan dihadirkan mulai dari menggabungkan, membersihkan, dan mengklasifikasi data; hingga memvisualisasikan data dalam bentuk dasbor yang mudah dipahami.

Sementara itu, Founder & CEO Qlue Rama Raditya mengatakan, di tengah pandemi perusahaannya tetap secara aktif melakukan investasi di startup yang memiliki potensi besar. Ia percaya, sebagai pendatang baru Delman akan menjadi pemain utama di industri big data dan mendorong big data ke level yang lebih tinggi di Indonesia. Sebelumnya Qlue juga sempat berpartisipasi dalam putaran pendanaan awal Nodeflux

“Pasar big data di Indonesia akan terus berkembang dan pemenuhan kebutuhan solusi pun mulai bergeser ke perusahaan lokal karena solusi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan perusahaan Indonesia. Selain itu kami melihat banyak perusahaan di Indonesia yang ingin melakukan transformasi digital, namun belum optimal dalam mengolah dan menganalisis big data,” ungkap Rama.

Founding Partner Intudo Ventures Eddy Chan mengatakan, “Sejak bertemu dengan founding team Delman di Silicon Valley pada tahun 2017, kami telah melihat pertumbuhan mereka sebagai manajemen yang solid dan kami akan terus mendukung mereka ke depannya.”

Sebagai Chatbot, Chatbiz Fokus Menyederhanakan Pengalaman Konsumen

Chatbot kerap digadang-gadang sebagai bagian tak terpisahkan layanan teknologi paling mutakhir. Maka tak heran jumlah bisnis yang memanfaatkan chatbot terus bertambah banyak seiring waktu. Chatbiz adalah salah satu yang mencoba peruntungan di tengah maraknya adopsi teknologi chatbot.

Chatbiz adalah startup asisten virtual yang didirikan oleh Terry Djony. Mulai diperkenalkan ke publik sejak pertengahan tahun lalu. Ide chatbot ini berawal dari keresahan Terry yang kesulitan menghubungi toko untuk membeli barang yang ia butuhkan. Ia lalu mengembangkan kegelisahan itu menjadi ide untuk menciptakan asisten virtual yang fokus pada pengalaman pengguna sekaligus efektif untuk meningkatkan angka konversi sebuah bisnis.

Chatbot harus bisa menyederhanakan user journey sehingga angka konversi (conversion rate) pelanggan bisa naik hingga 20%, bukan justru mempersulit user journey. Bila dilihat, ada banyak sekali chatbot yang malah mempersulit user journey karena desain waterfall yang bisa jadi tidak tepat,” ucap Terry.

Fokus di angka konversi

Terry yang juga berperan sebagai CEO Chatbiz beranggapan antarmuka percakapan (interface conversational) tak selalu cocok bagi kebutuhan pengguna. Baginya perlu ada fungsi cari-dan-pilih yang dipadukan untuk asisten virtual. Ini yang ia coba terapkan di Chatbiz lewat salah satu fitur andalan mereka yakni Chat & Shop.

Chatbiz membagi pasarnya menjadi UKM dan korporasi. Sejak berdiri, Chatbiz sudah melayani enam klien mulai dari UKM bidang fesyen hingga organisasi nonprofit luar negeri. Sejauh ini mereka dapat menjawab sekitar 2 ribu chat pelanggan per bulan untuk setiap pelanggan mereka.

Bagi Terry, yang membedakan Chatbiz dengan pemain chatbot lain adalah angka konversi yang bisa mereka capai. Menurutnya rata-rata angka konversi dari chatbot yang hanya mengedepankan antarmuka percakapan hanya sekitar 2 persen.

“Kita fokus di user journey dan conversion. Conversion rate kita bisa sampai 10 persen,” klaim Terry.

Model bisnis dan target

Produk Chatbiz sejauh ini tersedia secara omnichannel. Ia bisa dipasangkan di WhatsApp, LINE, Telegram, ataupun situs web klien itu sendiri. Namun sejauh ini WhatsApp masih jadi kanal terpopuler untuk mereka.

Adapun model bisnis yang mereka pakai adalah sistem berlangganan bulanan. Biaya yang mereka patok untuk jasa chatbot mereka berkisar Rp1,5 juta per bulan. Angka ini bervariasi bergantung pada kebutuhan bisnis klien mereka.

Tahun ini mereka menargetkan 50 klien, UKM maupun korporasi, bergabung dengan Chatbiz. Tak tanggung-tanggung, angka konversi yang mereka ingin capai pun dipasang hingga 15 persen tahun ini.

Target Chatbiz ini tak mustahil untuk dicapai lantaran masa pandemi ini memaksa banyak bisnis beralih membuka lapak daring. Dalam kasus Chatbiz, mereka menyebut jumlah percakapan yang mereka tangani di WhatsApp meningkat hingga 40 persen.

“Namun kita tahu bahwa pekerjaan administratif seperti merekap order, menjawab pertanyaan, cek stok barang, dan lainnya memakan sumber daya yang tidak sedikit,” ungkap Terry.

Sokongan finansial Chatbiz saat ini datang dari angel investor yang mereka peroleh tahun lalu. Terry mengaku pihaknya masih fokus mengembangkan produk dan bisnis mereka sehingga tak begitu mengejar babak pendanaan selanjutnya.

Kedatangan Chatbiz menambah daftar startup yang mencoba peruntungan lewat inovasi chatbot. Kata.ai dan Botika adalah dua nama yang bisa dianggap paling harum dalam menyediakan layanan chatbot di Indonesia.

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.