Otoklix Secures 28 Billion Rupiah Funding, Bridging Car Owners and Repair Shops through Application

An online-to-offline solution startup that digitizes the automotive aftermarket industry in Indonesia (including car service or repair services), Otoklix, announced initial funding of $2 million or the equivalent of 28 billion Rupiah. This round is led by Surge, the accelerator program of Sequoia Capital India. Also participating in this round GK Plug and Play, Kenangan Investment Fund 1, Lentor Ventures, Noble Star Ventures, and Andree Susanto as the founder of Waresix.

Surge is an acceleration program by Sequoia Capital aimed at startup companies in Southeast Asia and India. This program is held twice a year, Otoklix has successfully become a representative from Indonesia to participate in the fourth batch of Surge with other selected startups from India, Singapore, Vietnam, Indonesia, and Australia.

The Indonesian car aftermarket market is projected to grow up to $15 billion, with 20 million cars being part of the industry market by 2025. This is one of the reasons for Martin Reyhan Suryohusodo, Joseph Alexander Ananto, and Benny Sutedjo to start the largest automotive aftermarket network in Southeast Asia.

Otoklix was founded in 2019, with a mission to bridge the gap between vehicle owners and Indonesia’s fragmented general workshop industry. Transforming the vehicle maintenance experience for consumers and equipping workshops by increasing their visibility, providing business solutions through software, and reducing procurement costs.

Otoklix co-founder Martin Suryohusodo said, “The fragmented condition of the Indonesian automotive aftermarket creates difficulties for consumers due to the lack of information transparency. On the same side, the industry is also a large potential market that is often underestimated. Learning from the US market, shared mobility was able to increase aftermarket industry spending by 150% and this inspires us for the future of the Indonesian automotive aftermarket industry.”

Otoklix service covers two user segments. For car owners, Otoklix has developed a mobile application to facilitate car maintenance. Car owners can order service at a recommended independent repair shop nearby and receive standard rates and service levels. Car owners also get a guarantee for every transaction at Otoklix partner workshops and can track their repair and maintenance history in the application.

Within one year of operation, Otoklix has facilitated service for 10 thousand cars per month by more than 100 active workshop partners. The team believes that it is currently on a growth trajectory to become the largest and most trusted aftermarket service network in Indonesia, with 20 million cars that will become part of the automotive aftermarket market in the next five years.

With the funding obtained, Otoklix targets 500 partner workshops to join and serve 100 thousand cars per month, and 75% of the revenue share of the total procurement of goods and spare parts by partner workshops by December 2021.

Previously, there were three startups that had already tried out the previous batch of Surge acceleration programs from Indonesia. The three of them are Storie, Chilibeli, and Rukita.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Otoklix Raih Pendanaan 28 Milliar Rupiah, Hubungkan Pemilik Mobil dan Bengkel Melalui Aplikasi

Startup solusi online-to-offline yang mendigitalisasi industri aftermarket otomotif di Indonesia (termasuk di dalamnya layanan servis atau perbaikan mobil), Otoklix, mengumumkan pendanaan awal bernilai $2 juta atau setara 28 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Surge, program akselerator milik Sequoia Capital India. Turut berpartisipasi GK Plug and Play, Kenangan Investment Fund 1, Lentor Ventures, Noble Star Ventures, dan Andree Susanto selaku founder Waresix.

Surge adalah sebuah program percepatan oleh Sequoia Capital yang ditujukan untuk perusahaan startup di Asia Tenggara dan India. Program ini diadakan sebanyak dua kali dalam setahun, Otoklix berhasil menjadi wakil dari Indonesia untuk mengikuti Surge batch keempat bersama startup terpilih lainnya dari India, Singapura, Vietnam, Indonesia, dan Australia.

Pasar aftermarket mobil Indonesia diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan hingga $15 miliar dengan jumlah 20 juta mobil menjadi bagian pasar industri tersebut pada tahun 2025. Hal ini menjadi salah satu yang mendorong Martin Reyhan Suryohusodo, Joseph Alexander Ananto, dan Benny Sutedjo untuk memulai jaringan aftermarket otomotif terbesar di Asia Tenggara.

Otoklix didirikan pada tahun 2019, dengan misi untuk menjembatani kesenjangan antara pemilik kendaraan dan industri bengkel umum Indonesia yang terfragmentasi. Mentransformasi pengalaman perawatan kendaraan untuk konsumen dan memperlengkapi bengkel-bengkel dengan meningkatkan visibilitas mereka, penyediaan solusi bisnis melalui software, serta penghematan biaya pengadaan.

Co-founder Otoklix Martin Suryohusodo menyampaikan, “Kondisi industri aftermarket otomotif Indonesia yang cukup terfragmentasi memunculkan kesulitan bagi para konsumen karena kurangnya transparansi informasi. Di sisi yang sama, industri tersebut juga merupakan sebuah pasar berpotensi besar yang sering kali diremehkan. Belajar dari pasar Amerika Serikat, mobilitas bersama mampu meningkatkan pengeluaran industri aftermarket sebesar 150% dan hal ini menginspirasi kami untuk masa depan industri aftermarket otomotif Indonesia.”

Layanan Otoklix sendiri mencakup dua segmen pengguna. Untuk pemilik mobil, Otoklix telah mengembangkan aplikasi seluler yang memudahkan perawatan mobil. Pemilik mobil dapat memesan layanan di bengkel independen yang direkomendasikan di dekatnya dan menerima harga dan tingkat layanan standar. Pemilik mobil juga mendapatkan garansi untuk setiap transaksi di bengkel mitra Otoklix dan dapat melacak riwayat perbaikan dan pemeliharaan mereka di dalam aplikasi.

Selama kurang lebih satu tahun beroperasi, Otoklix telah memfasilitasi servis bagi 10 ribu mobil per bulan oleh lebih dari 100 mitra bengkel yang aktif. Pihaknya meyakini bahwa saat ini telah berada pada lintasan pertumbuhan untuk menjadi jaringan layanan aftermarket terbesar dan paling terpercaya di Indonesia, dengan 20 juta mobil yang akan menjadi bagian pasar aftermarket otomotif dalam lima tahun ke depan.

Dengan pendanaan yang didapat, Otoklix menargetkan 500 mitra bengkel yang tergabung serta melayani 100 ribu mobil per bulan, dan 75% bagian pendapatan dari total pengadaan barang dan suku cadang oleh bengkel-bengkel mitra pada Desember 2021.

Sebelumnya, ada tiga startup yang sudah lebih dulu menjajal program percepatan Surge batch sebelumnya dari Indonesia. Ketiganya adalah Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Application Information Will Show Up Here

BukuKas Dapatkan Pendanaan Pra-Seri A Senilai 134 Miliar Rupiah

BukuKas, startup yang menawarkan solusi pengelolaan finansial bagi UKM mengumumkan telah berhasil mengamankan pendanaan pra-seri A sebesar $9 juta atau setara dengan 134 miliar Rupiah. Investor baru yang terlibat putaran pendanaan kali ini adalah Surge (program akselerator milik Sequoia Capital India), Credit Saison, Speedinvest, S7V, January Capital, dan Cambium Grove Capital.

Investor di tahap sebelumnya yakni Prasetia Dwidharma juga turut terlibat lagi dalam pendanaan ini. Dengan pendanaan kali ini secara keseluruhan BukuKas telah membukukan pendanaan senilai $12 juta.

Dihubungi DailySocial, Co-founder & CEO BukuKas Krishnan Menon mengaku pihaknya sedang membangun ekosistem layanan yang mampu menyentuh berbagai aspek untuk kemudahan mitra merchant mereka yang tersebar di 700 kota di Indonesia. Untuk saat ini fitur atau layanan yang sedang dipersiapkan mencakup layanan invoice, manajemen inventori, dan beberapa hal lain yang sesuai dengan kebutuhan UKM.

“Kesulitan para pedagang tidak terbatas pada manajemen keuangan. Kami bermaksud untuk menawarkan lebih banyak layanan digitalisasi kepada merchant oleh kami sendiri atau melalui kemitraan,” sambung Krishnan.

Krishnan turut mengatakan, para investor cukup antusias melihat peluang pasar yang besar dan pengalaman para founder yang sudah 8 tahun berjibaku di pasar Indonesia. Termasuk semangat dan obsesi tim BukuKas untuk menyelesaikan permasalahan yang di hadapi UKM di Indonesia.

Gambaran Persaingan

Di Indonesia BukuKas baru berjalan selama 8 bulan. Kendati demikian menurut Krishnan mereka telah berhasil menjangkau banyak kota yang berada di luar tier 1 dan termasuk ke berbagai jenis usaha. Ini juga yang menjadi salah satu bukti bahwa konsep manajemen keuangan untuk UKM seperti BukuKas bisa jadi sangat fleksibel. Wajar jika potensi ini coba dilirik pemain lain seperti BukuWarung dan Kasvlo.

BukuWarung belum lama ini juga mengumumkan penggalangan dana pra-seri A yang dipimpin Quona Capital, padahal tiga bulan sebelumnya mereka baru saja merampungkan pendanaan tahap awal dari East Ventures. Sementara Kasvlo baru mengumumkan kehadirannya pada Juni kemarin.

Menanggapi persaingan ini Krishnan cukup optimis dengan pengalaman dan pengetahuan mereka terhadap produk dan pasar di Indonesia.

“Kekuatan inti kami terletak pada pengetahuan kami tentang para merchant, tentang denyut nadi dan pain point mereka. Ini memang pasar yang kompetitif tetapi kami fokus pada apa yang kami kuasai, yaitu mendengarkan pengguna, fokus pada produk dan teknik, dan eksekusi cepat. Ini telah menunjukkan hasil sejauh ini dan kami yakin itu akan terus berlanjut,” terang Krishnan.

“Meskipun ekosistem pengelolaan keuangan digital sedang dan akan tetap kompetitif, kami juga melihat banyak peluang bagi pemain yang berbeda untuk bermitra bersama untuk melayani pengguna dengan lebih baik,” lanjutnya.

Menuju ulang tahun pertamanya tampaknya BukuKas masih terus berambisi untuk menjangkau lebih banyak pengguna dan mencari solusi terbaik untuk permasalahan-permasalahan UKM.

“Kini mengarungi 2020 BukuKas menetapkan tiga fokus utama mereka ada pada meningkatkan pengalaman merchant dalam menggunakan platform mereka, menambahkan beberapa fitur kunci yang berguna, dan membantu merchant untuk menghadapi pandemi ini,” ujar Krishnan pada wawancara Mei silam.

Application Information Will Show Up Here

Storie App Aims to Become “Social Commerce”, Providing Honest Review of Beauty Products

The use of social media for sales has been very common in this industry. There is a term used to refer to this concept, it’s social commerce. In the past year, platforms with this concept are emerging, such as Woobiz and Chilibeli.

This is an issue that inspired several Alibaba Group UCWeb alumni consisting of Liu Feida, Rizky Maulana, and HE Yaoming to contribute to the challenges of the Indonesian beauty industry through the social commerce platform, Storie.

Regarding the potential of social commerce Rizky said, “We see that social media is driving the trend including the beauty industry. Therefore, Storie was founded by combining social media with e-commerce.”

He said that Storie’s basic idea was to invite Indonesian women to be more confident in embracing their true selves. Furthermore, a beauty app launched, offering honest reviews of makeup, skincare, and contemporary lifestyle.

In this application, users are offered honest reviews from beauty vloggers and/or the general public about makeup and skincare trends without having to fear getting “bullied” or being ridiculed by the audience. Storie wants to provide a safe place for users to express themselves and their passion in the beauty industry.

Beautytech in Indonesia

With a population of more than 130 million women, the Indonesian beauty industry is a market with many opportunities while at the same time requiring specific ways of entrance and to survive in this business. Previously, one of Indonesia’s beautytech platforms had secured new funding. This practically shows hope of technology penetration in the beauty industry.

“Indonesia is a blue ocean market for the beauty industry, we see more accessible information through digital media and channels. It’s easier for local and international products to enter the Indonesian market and form a very dynamic market where quality becomes crucial but not the only success factor for a product,” Rizky explained.

In terms of strategy, Storie intend to capture the demand and pain points in today’s society. One of them is inaccurate information and the lack of a community with a positive vibe. The company, entering one year old in May, has also launched an application for Android users with total downloads exceeding 500 thousand and around 100 thousand active users per day.

In terms of content curation, the company has dedicated two special teams, the QC (Quality Control) team and the content standardization team to set benchmarks and filter the contents on the platform. During the pandemic, there are many changes occurred in the business plan and monetization strategy, but the company tried to see this as a momentum to be able to innovate better.

Business strategy

In terms of monetization, Rizky revealed that the revenue is mostly comes from brand deals launching campaigns and products. “In the future, we will work with all brands to make their products available at Storie,” Rizky added.

In the near future, Storie will also launch a new initiative on its platform to facilitate transactions in the application and perfect its social commerce concept.

In late 2019, the company was selected as one of three Indonesian startups to participate in the second batch of Sequoia Capital’s accelerator program, Surge. Alpha JWC Ventures also participated in a seed round through this Surge program.

Entering the new normal, the company sees hope “As a dynamic company, as well as a society that is increasingly moving towards digital, the team believes there is always an opportunity to develop more.

“Covid-19 is quite inevitable and has changed how the world works also business and technology, and everything will lead to a digital platform, digitizing all lines of life. We build a company that is ready to transform to answer that challenge,” Rizky concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Storie Suguhkan Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan, Berambisi Jadi “Social Commerce”

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan penjualan sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim. Ada istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebut konsep ini, yakni social commerce. Dalam setahun terakhir, platform yang mengusung konsep tersebut mulai banyak bermunculan, sebut saja Woobiz dan Chilibeli.

Hal tersebut dilihat oleh beberapa alumni UCWeb Alibaba Group yang terdiri dari Liu Feida, Rizky Maulana, dan HE Yaoming sebagai sebuah kesempatan, untuk bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan dunia kecantikan Indonesia melalui platform social commerce Storie.

Mengenai potensi social commerce Rizky menyampaikan, “Kami melihat media sosial telah menjadi alat penggerak tren termasuk dunia kecantikan. Oleh karena itu Storie kami dirikan, dengan mengombinasikan antara media sosial dengan e-commerce.”

Pihaknya mengungkapkan bahwa ide dasar Storie adalah untuk mengajak perempuan Indonesia lebih percaya diri dalam menilai diri mereka masing-masing. Dari situ, lalu diluncurkan sebuah aplikasi kecantikan yang menjunjung tinggi kejujuran membahas makeup, skincare, dan lifestyle kekinian.

Dalam aplikasi ini, pengguna ditawarkan review jujur dari para beauty vlogger dan atau masyarakat pada umumnya tentang tren makeup dan skincare tanpa harus takut mendapatkan “bully” atau cemooh oleh audiens. Storie ingin menyediakan tempat yang aman untuk pengguna mengekspresikan diri dan passionnya di dunia kecantikan.

Beautytech di Indonesia

Dengan jumlah populasi perempuan lebih dari 130 juta, industri kecantikan di Indonesia adalah sebuah market yang menjanjikan banyak kesempatan sekaligus membutuhkan cara yang tepat sasaran untuk bisa masuk serta bertahan dalam bisnis ini. Sebelumnya, salah satu platform beautytech Indonesia juga baru saja mendapatkan pendanaan. Hal ini menunjukkan adanya harapan pada penetrasi teknologi di dunia kecantikan.

“Indonesia is a blue ocean market for beauty industry, kami melihat dengan semakin mudahnya akses informasi melalui media dan kanal digital. Semakin mudahnya produk lokal dan juga internasional memasuki pasar Indonesia membentuk suatu pasar yang sangat dinamis dimana kualitas dan mutu dari sebuah produk akan sangat menentukan tapi tidak menjadi satu satunya faktor keberhasilan sebuah produk,” jelas Rizky.

Dari sisi strategi, Storie mencoba menangkap keinginan dan pain point yang di hadapi masyarakat saat ini. Salah satunya adalah informasi yang kurang akurat serta kurangnya komunitas yang membawa vibe positif. Perusahaan yang genap berusia satu tahun pada bulan Mei kemarin ini juga telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna Android dengan total unduhan melebihi 500 ribu serta pengguna aktif sekitar 100 ribu per hari.

Dari sisi kurasi konten, pihaknya menyebutkan telah mendedikasikan dua tim khusus, yaitu tim QC (Quality Control) serta tim standardisasi konten untuk menetapkan benchmark dan menyaring konten-konten yang ada dalam platform. Selama pandemi ini, diakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam rencana bisnis dan strategi monetisasi, namun perusahaan mencoba melihat hal ini sebagai sebuah momentum untuk bisa berinovasi lebih baik.

Rencana bisnis

Dalam monetisasi bisnis, Rizky menyimpulkan bahwa selama ini revenue datang dari brand deals yang ingin meluncurkan campaign maupun launching produk. “Ke depannya kami akan berkerja sama dengan semua brand agar produknya dapat di jual di Storie,” Rizky menambahkan.

Dalam waktu dekat, Storie juga akan meluncurkan inisiatif terbaru dalam platformnya untuk mempermudah transaksi dalam aplikasi serta menyempurnakan konsep social commerce miliknya.

Di akhir tahun 2019 lalu, perusahaan ini terpilih menjadi salah satu dari tiga startup Indonesia untuk mengikuti program akselerator Sequoia Capital, Surge batch kedua. Alpha JWC Ventures juga turut berpartisipasi dalam seed round bersama melalui program Surge ini.

Memasuki tatanan new normal perusahaan melihat adanya harapan” Sebagai perusahaan yang dinamis, serta masyarakat yang semakin bergerak ke arah digital, pihaknya meyakini adanya kesempatan untuk bisa semakin berkembang.

“Tidak dapat dimungkiri Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dan bisnis serta teknologi, dan semua akan mengarah ke platform digital, digitalisasi semua lini kehidupan. Dan kami adalah perusahaan yang siap bertransformasi menjawab tantangan itu,” tutup Rizky.

Application Information Will Show Up Here

Kiprah dan Rencana Sequoia India di Indonesia

Sequoia India minggu lalu mengumumkan pengumpulan dana $1,35 miliar atau setara 19,5 triliun Rupiah. Dana ini diperoleh dari sejumlah limited partner, yang dibagi dalam dua program fund: $525 juta untuk venture fund dan $825 juta untuk growth fund. Fokus pendanaannya tetap untuk startup di India dan Asia Tenggara.

DailySocial berkesempatan mewawancara Managing Director Sequoia Capital India Abheek Anand untuk mendiskusikan rencana mereka di ekosistem startup Indonesia pasca pengumpulan dana ini.

Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia
Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia

Portofolio Sequoia India di Indonesia

Sequoia India telah berinvestasi ke startup di Indonesia sejak tahun 2014, termasuk turut andil di permodalan bagi Tokopedia dan Gojek. Tahun ini, mereka turut meramaikan arus digitalisasi supply-chain FMCG lokal dengan berinvestasi di GudangAda dan Ula.

Di tahun 2019 mereka meluncurkan program akselerator Surge di wilayah operasionalnya. Beberapa startup Indonesia turut berpartisipasi dan mendapatkan pendanaan, seperti Qoala, Chilibeli, BukuKas, dan beberapa lainnya.

“Sampai saat ini, kami telah bekerja dengan 19 startup teknologi di Indonesia untuk mendemokratisasi sektor-sektor penting seperti perdagangan, pendidikan, finansial, F&B, logistik, hingga perhotelan,” jelas Abheek.

Berikut daftar investasi yang telah ditorehkan Sequoia India untuk startup lokal:

Startup Tahun Investasi
Tokopedia 2014
Gojek 2015
Modalku 2016
Traveloka 2017
OnlinePajak 2017
Moka 2017
Akulaku 2018
Kopi Kenangan 2019
Kargo 2019
GudangAda 2020
Ula 2020

Startup Indonesia peserta program Surge:

Surge 01 1. Qoala

2. Bobobox

Surge 02 1. Rukita

2. Storie

3. Chilibeli

Surge 03 1. Hangry

2. BukuKas

3. CoLearn

Fokus ke startup tahap awal

Abheek menjelaskan, pihaknya melihat tren perkembangan pesat ekosistem startup di Indonesia dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman investasinya, Sequoia India memilih untuk fokus untuk mendanai startup tahap awal di kawasan ini. Mereka melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh secara signifikan dan menyelesaikan masalah banyak orang.

“Kami berinvestasi di Tokopedia dan Gojek di masa-masa awal mereka. Saat ini perusahaan tersebut menjadi sumber inspirasi bagi para pendiri startup baru. Faktanya, Indonesia saat ini memiliki unicorn terbanyak di Asia Tenggara,” jelas Abheek.

Ia melanjutkan, “Kami ingin terus melipatgandakan komitmen kami terhadap startup di Indonesia, dengan tidak hanya menjadi bagian dari unicorn generasi pertama, tapi juga setiap generasi berikutnya [..] Kami berpikir bahwa Indonesia berada di titik kritis dan akan meledak dengan peluang populasi yang berkembang dan mengerti teknologi.”

Hipotesis investasi

Melihat track-record investasinya, Sequoia India terlihat cenderung agnostik secara sektoral. Mereka berkolaborasi dengan berbagai model bisnis, mulai dari layanan konsumer, B2B, fintech, hingga healthtech.

“Sekarang, lebih dari sebelumnya, bisnis dengan unit ekonomi yang solid tidak lagi sekadar baik untuk dimiliki [melalui investasi]. Mereka wajib dimiliki. Yang kami cari adalah para pendiri yang membangun bisnis dengan unit ekonomi yang masuk akal di pangsa pasar yang besar,” jelasnya.

Dampak pandemi Covid-19 dirasa tidak memperlambat tensi investasi mereka.

“Kami terus bertemu dengan pendiri yang bersemangat dengan ide dan bisnis yang menarik, terutama di tahap awal. Sebelumnya kami akan melakukan obrolan mingguan dengan para pendiri di Jakarta dan kami akan terus melanjutkan — dan memindahkan percakapan itu secara online.”

Saat ini program Surge 04 juga sudah dibuka pendaftarannya. Mereka berharap lebih banyak startup tahap awal di Indonesia yang dapat terlibat dalam program ini.

Abheek mengatakan, “Satu pesan kami untuk para pendiri adalah: bahwa tidak pernah terlalu dini untuk berbicara dengan kami. Kami tersedia melalui email, semua platform media sosial, dan terus menerus menciptakan lebih banyak saluran. Ekonomi belum ditutup, bisnis masih terus diciptakan setiap hari. Kami terus tertarik untuk bermitra dengan para pendiri yang berani untuk membuat gebrakan di dunia.”

“Penggalangan dana baru-baru ini senilai $1,35 miliar merupakan indikasi komitmen kami dan kami akan terus mengandalkan komitmen ini ketika menyangkut pasar-pasar utama di Asia Tenggara seperti Indonesia, terlepas apakah kami dapat hadir secara langsung ataupun tidak,” pungkasnya.

Alpha JWC Ventures Terlibat dalam Pendanaan Awal Hangry Senilai 42,7 Miliar Rupiah

Hangry, startup yang mengembangkan konsep restoran “multi-brand” telah mendapatkan pendanaan tahap awal senilai US$3 juta atau setara dengan 42,7 miliar Rupiah. Investasi tersebut didapatkan dari Sequoia dan Alpha JWC Ventures. Putaran pendanaan tersebut sudah ditutup sejak awal tahun 2020 ini.

Sebelumnya bisnis yang digawangi Abraham Viktor, Andreas Resha, dan Robin Tan tersebut juga mengikuti program akselerator Surge milik Sequoia India pada debut awalnya.

“Benar kami sudah menutup pendanaan tahap awal sejak Januari 2020. Sangat bersyukur bisa dipercaya oleh investor,” ujar Viktor kepada DailySocial.

Konsep multi-brand Hangry memiliki dan mengelola beberapa brand produk makanan. Mereka mengoptimalkan layanan pesan antar makanan untuk mendistribusikan produk-produknya – mengandalkan berbagai platform seperti Gofood, Grabfood, dan Traveloka Eats. Saat ini juga sudah merilis aplikasi untuk sistem loyalty.

“Selama pandemi ini, growth kami masih aman. Mungkin karena banyak orang yang belum mulai makan di luar. Dari Januari sampai Maret pertumbuhannya 100%, sementara dari Maret ke Juni 30% tiap bulannya,” imbuhnya.

Produk makanan yang mereka jajakan meliputi San Gyu (japanese beef bowl), Ayam Koplo (ayam geprek), Bude Sari (nasi ayam, kulit dan paru tradisional) dan Kopi Dari Pada (aneka ragam minuman). Dan baru-baru ini meluncurkan brand baru bernama “Moon Chicken”.

“Sejauh ini kami masih melayani pelanggan  di sekitar Jakarta, Bintaro, Bekasi, dan Karawaci. Tapi sedang proses juga untuk membuka di Serpong, Alam Sutra, Cengkareng, dan beberapa wilayah lainnya. Tentu ekspansi ke kota-kota lain akan menjadi agenda kami selanjutnya,” terang Viktor.

Hangry adalah salah satu representasi perkembangan bisnis kuliner. Melalui sentuhan teknologi, bisnis kuliner mulai bertransformasi. Misalnya, akhir-akhir ini banyak bisnis menghadirkan konsep “cloud-kitchen”, yakni konsep restoran yang hanya melayani pemesanan makanan melalui aplikasi delivery.

Penyaji makanan di cloud kitchen umumnya tidak memiliki kedai atau tempat makan layaknya restoran biasa. Hanya saja, secara brand dan produk mereka memiliki daya tawar tersendiri. Startup pengembang platform cloud kitchen menjembatani proses bisnis antara dapur dengan pelanggan, sembari memberikan jasa pengiriman hingga transaksi.

Application Information Will Show Up Here

BukuKas Provides Bookkeeping Digital Platform for Fellow SMEs

There is a trend that circulates Indonesian startup industry for the past two years. It is the rise of services aimed at SME’s sector. The objective, in addition to transformation, is also to build a capable ecosystem to improve the SME sector. One of the startups is BukuKas. The company founded by Krishnan Menon offers a service that is ready to empower SMEs through improving financial records.

After his return to India to accompany his ailing father, Menon finally decided to start over a career in the Indonesian startup industry with BukuKas in August 2019.

Along with his travel to cities such as Tuban, Cirebon, Jepara, etc. he learned that technology is yet to cover all SMEs. Then, he began designing BukuKas to try to digitize SMEs through financial records.

Aside from financial records using paper and unorganized, most SMEs also lose track of the profits and cash flow of the transaction. It has sparked an idea to develop applications that can record their business cash flow, in a simple and easy way.

“I see the SME sector is full of potential and benefits if we can help them with simple technological solutions and encourage the business to shift into digital and financial ecosystems. Our mission is to help millions of SMEs and through that bring a huge positive impact on their business, the country, and ecosystem,” Menon said.

Menon is quite confident in what he and the team develop. He said, after successfully digitizing SMEs, their business can gradually connect to the formal banking sector through partnerships and so on.

Gaining lots of support

Within almost a year of operation, BukuKas has received a lot of support from investors. As for Krishan’s statement, they currently supported by Sequoia Capital (Surge), Credit Saison, 500 Startups, and several other investors. BukuKas is also supported by more than 20 angle investors, including Christian Sutardi, Filippo Lombardi, Edward Tirtanata, James Pranoto, and Guillem Segarra.

“The fact that many good investors and business leaders put their trust in us is a humbling experience. It also encouraged us to work 10 times harder to repay their belief in our mission,” he added.

Currently, BukuKas provides its services for free. The presence of BukuKas in Indonesia provides additional options for SMEs to manage their business digitally. Aside from BukuKas, there are also BukuWarung with similar services. Both founded in 2019 BukuWarung is supported by East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, and others.

Business during Covid-19 pandemic

The Covid-19 pandemic has affected lots of parties, including BukuKas and its merchants. Menon said the team has tried to help their merchants to the maximum extent by promoting their businesses the affected business through BukuKas’ social media. The company also holds free English classes to improve skills, including actively discussing with existing merchants.

“Merchants who use our platform have increased by 50% since the beginning of Covid-19 four weeks ago. We believe this is because BukuKas helps business owners manage their money better during these difficult times,” he said.

Sailing through 2020, BukuKas has set three main focuses on enhancing the merchant experience in using their platform, adding a number of useful key features, and helping merchants to deal with this pandemic.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

BukuKas Tawarkan Platform Digital untuk Pencatatan Keuangan UKM

Dua tahun terakhir ada tren yang bergerak cukup signifikan di industri startup Indonesia. Itu adalah tren layanan yang bergerak pada akar rumput UKM. Tujuannya, selain transformasi juga membangun ekosistem yang mumpuni untuk bersama-sama meningkatkan level UKM itu sendiri. Salah satunya adalah BukuKas. Startup besutan Krishnan Menon ini menawarkan layanan yang siap membantu UKM untuk lebih berdaya melalui pencatatan keuangan yang rapi.

Sempat kembali ke India untuk menemani ayahnya yang sakit, Krishnan akhirnya memutuskan untuk memulai kembali petualangannya di industri startup Indonesia dengan memulai BukuKas pada Agustus 2019.

Perjalanannya di kota-kota seperti Tuban, Cirebon, Jepara, dan lain-lain memberikan dirinya pemahaman bahwa teknologi saat ini belum menyentuh level UKM. Untuk itu ia mulai merancang BukuKas untuk mencoba mendigitalisasi UKM melalui pencatatan finansial.

Selain catatan yang masih menggunakan kertas dan tidak rapi, kebanyakan UKM juga kehilangan jejak ke mana laba dan uang yang mereka hasilkan mengalir. Dari sana tercetus sebuah ide untuk mengembangkan aplikasi yang bisa merekam arus kas bisnis mereka, yang sederhana dan mudah digunakan.

“Saya merasa segmen UKM bisa mendapatkan banyak manfaat jika kita dapat membantu mereka dengan solusi teknologi sederhana dan selangkah semi selangkah membawanya ke ekosistem digital dan finansial. Misi kami adalah untuk membantu jutaan UKM dan melalui itu membawa dampak positif yang besar bagi mereka, negara, dan ekosistem,” jelas Krishnan.

Krishnan cukup percaya dengan apa yang ia dan tim lakukan. Menurutnya setelah berhasil mendigitalisasi UKM mereka dapat secara bertahap membawa UKM ke sektor perbankan formal melalui kemitraan dan lain sebagainya.

Dukungan banyak pihak

Kendati belum genap satu tahun beroperasi, BukuKas sudah mendapat banyak dukungan dari para investor. Dari keterangan Krishnan, saat ini mereka didukung oleh Sequoia Capital (Surge), Credit Saison, 500 Startup, dan beberapa investor lainnya. BukuKas juga didukung oleh lebih dari 20 angle investor, di antaranya adalah Christian Sutardi, Filippo Lombardi, Edward Tirtanata, James Pranoto, dan Guillem Segarra.

“Fakta bahwa investor yang baik dan begitu banyak pemimpin bisnis yang mempercayai kami adalah humbling experience bagi kami. Itu juga membuat kami bekerja 10 kali lebih keras untuk membalas kepercayaan mereka pada misi kami,” lanjut Krishnan.

Untuk saat ini BukuKas menyediakan layanannya secara gratis. Kehadiran BukuKas di Indonesia memberikan tambahan pilihan bagi UKM untuk mengelola bisnisnya secara digital. Selain BukuKas juga ada BukuWarung dengan layanan yang serupa. Sama-sama meluncur di 2019 BukuWarung didukung oleh East Ventures, AC Ventures, Golden Gate Ventures, dan lainnya.

Menghadapi pandemi Covid-19

Pandemi covid-19 berdampak ke banyak hal. Termasuk BukuKas dan merchant mereka. Krishnan menceritakan, mereka berusaha membantu semaksimal mungkin merchant mereka dengan cara mempromosikan bisnis merkea yang terdampak melalu media sosial BukuKas. Pihaknya juga menyelenggarakan kelas bahasa Inggris secara gratis untuk meningkatkan keterampilan, termasuk aktif berdiskusi dengan merchant yang ada.

Merchant yang menggunakan platform kami meningkat 50% sejak awal Covid-19 empat minggu lalu. Kami percaya ini karena BukuKas membantu pedagang mengelola uang mereka dengan lebih baik selama masa-masa sulit ini,” cerita Krishnan.

Kini mengarungi 2020 BukuKas menetapkan tiga fokus utama mereka ada pada meningkatkan pengalaman merchant dalam menggunakan platform mereka, menambahkan beberapa fitur kunci yang berguna, dan membantu merchant untuk menghadapi pandemi ini.

Application Information Will Show Up Here

Investor’s Perspective on “Femtech” Startup Potential

DailySocial observed around 12 startups with female founders or consists of female C-levels bagged funding during 2019. It is not only startups with female-oriented products but also those engaged in SaaS technology, healthtech, and social commerce.

“The fact shows two interesting points, that more women are setting up startups and more investors are looking for and investing in female-founded companies. I expect this trend to continue increasing as these two points become highlighted,” GK Plug and Play’s Director Aaron Nio said.

Although investments are usually have looked at no gender and depend on the capabilities and qualities of the founder and execution of the business model, many advantages are claimed only by female leaders.

In the Kartini Day edition, DailySocial aims to find out investor’s interests and expectations towards female startup leaders / femtech in Indonesia.

Providing social impact

femtech1

The highlight of female-founded startups is that most of them build businesses based on a social impact. Starting from a marketplace to embrace more women towards beauty services businesses and products that empower women for partners.

“We have found and have had several dialogues with female-founded startups of various categories. From social commerce, healthtech in specific areas such as genetic startups and consumer wearables to aquaculture. We looked at more women taking leadership roles to solve Indonesia’s health and social problems,” Pegasus Tech Ventures SEA Manager, Justin Jackson said.

Pegasus Tech Ventures has invested in several female-founded startups in  Indonesia. Among them are Populix (Eileen Kamtawijoyo), AwanTunai (Windy Natriavi), Hijup (Diajeng Lestari), and Infradigital (Indah Maryani).

In general, female-founded startups usually have a more organized, structured, and empathic culture.

East Ventures fully understands this potential. This venture capital company has invested in Base (Yaumi Fauziah), Greenly (Liana Gonta Widjaja), Nusantics (Sharlini Eriza Putri), Fore (Elisa Suteja), and Sociolla (Chrisanti Indiana), Nalagenetics (Astrid Irwanto & Levana Sani).

“To date, we have had around 10% of female founders in our network and we are grateful to have worked with them and expected to increase representation. They are indeed extraordinary individuals whose work deserving full respect,” East Ventures’ Partner Melisa Irene said.

Some VCs have a bias towards startups with social impact orientation due to the market is lacking or the founder is not sufficiently focused on shareholders’ demand. However, as startups with social impacts are getting successful, more and more VCs are interested to invest in a kind of startup profile.

“Female leaders are proven to be able to build a more collaborative team, transparent, produce faster with more creative solutions. They can create a more reliable and trustworthy work environment,” Karissa Adelaide from Jungle Ventures Investment Team said.

Challenge for the female leaders

Although opportunities for women leaders are increasingly diverse, there are still some difficulties to avoid, including not yet the lack of female founders or the limited access to capital obtained. On the other hand, the income earned by female leaders tends to be less than male leaders.

“Women entrepreneurs are often encountered obstacles, not only in Indonesia but also to other countries in Southeast Asia. Currently, there are still many of them who struggle to get support and capital. As a result, in the technology sector women are still underrepresented and underpaid,” Adelaide added.

Another challenge remains is the lack of government support to create opportunities for entrepreneurs and women leaders to build businesses. In a way, to encourage more young women to build a venture that targets the technology industry, not just the creative industry.

“Female founders are great role models, both in terms of new ideas, also how they create and grow their teams. We have seen strong friendships and extraordinary partnerships among women entrepreneurs. One of the most amazing features of a female founder is meeting and talking with other founders to share tips for success,” Surge and Sequoia Capital India’s Managing Director, Rajan Anandan said.

The names included in the East Ventures portfolio such as Grace Tahir (Medico), Amanda Cole (CEO of Sayurbox), Marianne Rumantir (Co-Founder Member), Cynthia Tenggara (Parenting Head Orami), and Gita Sjahrir (Co-founder Ride) have risen as a mentor and role model of female entrepreneurs in Indonesia. In fact, female leadership is not limited to the role of a high profile mentor.

“As Digitaraya observed more female founders in the community. Our portfolio consists of more than 100 beginner alumni, 54.95% have female founders or co-founders. This is truly an extraordinary achievement for women entrepreneurs, and we only expect the number to grow continuously,” Digitaraya’s Managing Director, Nicole Yap said.

Startups with at least one female founder are usually considered offering a higher level of trust and the ability to gather and manage teams to deliver results. They also tend to provide more projections based on data, accuracy, and are more open to new ideas.

Investor’s support for female leaders

Indonesia has become one of the countries in Southeast Asia that encourages many investors to invest. Various programs and activities are carried out by related parties to support the startup ecosystem. Investors claim to support and welcome the growth of female-founded startups.

“In Jungle Ventures, we realize that we can and must be able to be a catalyst. We are proud to have started and invested in several strong and innovative companies led by female founders in our portfolio, but who are we to get complacent. We have a view to empowering the entrepreneurial generation women’s technology that is innovative, motivated and has great determination in Southeast Asia and Indonesia,” Adelaide said.

Another support provided by investors is connections and communities that can help female leaders to meet and share experiences. It is considered the most ideal way to foster confidence and a strong ecosystem for women leaders.

“In Sequoia India and Surge, we intend to create a safe community for women founders to connect, work and support each other through their entrepreneurial journey. Through Sequoia Spark, we hope to help other founders gain access to the right people and care about their success. “And of course willing to invest,” Rajan said.

CyberAgent Capital Indonesia‘s Investment Analyst and Office Representative, Kevin Wijaya agreed on this. They often hold casual discussion with the local startup community. In this activity, female founders or prospective women entrepreneurs can ask about the right way to obtain funding from VC.

“To encourage more women in the technology industry, the team often suggests startups, including CyberAgent’s portfolio, to recruit more women into the organization. This act is for diversity in startups can occur positively,” Kevin added.

Activities such as competitions and partnerships with related parties can also bring up new potential innovations in the ecosystem, which is expected to be embraced by female founders. The move was carried out by Pegasus Tech Ventures to see first hand the potential for startups.

“We held a Startup World Cup Indonesia competition in partnership with Wild Digital in November 2019, and 30% of the top finalists came from female-founded startups. This number is projected to increase every year. In addition, we also see more companies actively innovate in our pipeline comes from startups female-founded startups,” Justin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian