Laporan DSResearch: Fintech Report 2020

Sektor teknologi finansial (fintech) di Indonesia masih layak mendapatkan perhatian, terlebih tahun ini ekosistem bisnis secara umum dihadapkan tantangan akibat pandemi. Dinamika industri menjadi lebih kencang, di tengah perubahan kebiasaan pengguna dan resesi ekonomi. Tentu membuat para founder dan pemimpin bisnis harus memikirkan ulang strategi mereka. Namun, menariknya berbagai hasil riset dan pakar banyak menyampaikan, adanya pembatasan fisik dan sosial justru menjadi pendorong adopsi layanan digital.

Beberapa jenis layanan fintech sifatnya mendukung bisnis digital lain – misalnya memfasilitasi layanan pembayaran di aplikasi food delivery lewat dompet digital, memberikan opsi kredit di situs online marketplace melalui paylater, sampai mendukung UMKM melalui pembiayaan bahan baku via supply chain financing dari fintech lending. Artinya, ketika dikatakan layanan digital menjadi semakin masif digunakan, secara tidak langsung juga mempengaruhi penggunaan berbagai layanan fintech tersebut.

Untuk memvalidasinya, DSResearch bersama Bank CIMB Niaga merilis “Fintech Report 2020”. Kegiatan riset ini turut didukung Ayoconnect dan Investree. Di dalamnya mengulas mengenai kondisi dan perkembangan industri fintech di Indonesia dalam setahun terakhir. Adapun cakupan bahasan yang disajikan terdiri dari lima bahasan utama, meliputi:

  1. Fintech Overview; membahas tentang perkembangan model bisnis dan teknologi yang banyak diaplikasikan oleh startup fintech. Terkait model bisnis, dipetakan berdasarkan regulasi terkait yang dirilis oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
  2. Fintech Ecosystem in Indonesia; membahas tentang perkembangan berbagai bisnis fintech di Indonesia. Termasuk beberapa sub-sektor potensial yang dinilai akan memiliki peminat yang besar di tahun-tahun mendatang. Di dalamnya juga memasukkan perspektif dari regulator.
  3. Business Perspective of Fintech; mewawancara founder startup fintech di berbagai kategori, investor, dan perbankan untuk mendapatkan perspektifnya tentang kondisi industri. Termasuk hal-hal strategis dan inovatif yang dilakukan dalam menghadapi Covid-19.
  4. Consumer Perspective of Fintech; mewawancara konsumen untuk mendapatkan persepsi publik tentang fintech dan berbagai layanan yang saat ini ada di Indonesia. Di dalamnya turut menyajikan berbagai aplikasi favorit dari setiap sub-segmen bisnis.
  5. Strategic Collaboration; membahas tentang berbagai inisiatif dan kolaborasi yang dilakukan antarstakehoder, mulai dari regulator, startup, dan korporasi.

Tema besar Fintech Report di tahun ini adalah “Maintaining Growth during Pandemic”, menggambarkan bisnis yang secara umum bisa bertahan bahkan tetap dalam lajur pertumbuhan melalui berbagai inovasi produk dan layanan yang digulirkan.

Laporan tersebut dapat diunduh secara gratis di sini: Fintech Report 2020.


Disclosure: DSResearch bekerja sama dengan Bank CIMB Niaga dalam riset ini. Sebuah perbankan nasional dengan berbagai produk inovatif, termasuk layanan API yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis digital untuk menunjang  berbagai kebutuhan transaksi. Ayoconnect dan Investree turut mendukung pengembangan laporan ini.

Pluang Survey: Gold as the Favorite Investment Instrument During Pandemic

Pluang has just conducted a survey involving 5500 respondents from a number of major cities in Indonesia. Focusing on investing and saving behavior for the millennials. One of the findings, gold is the main choice (32%) for this age group during this pandemic for investment.

Pluang’s VP Business Development, Humprey explained, there are some factors that cause gold to be the top choice for millennials. One of them is affordability with promising reciprocity.

“As many as 32% of the millennial generation reportedly tried new investments, namely gold. This is the highest percentage compared to other well-known investments such as mutual funds, stocks, and deposits,” Humprey said in his presentation.

Humprey’s presentation shows that the new investment in gold chosen by their respondents far outperformed other forms of investment such as stocks (15%), mutual funds (16%), deposits (8%), to p2p lending (4%). Another factor that helped catapult the popularity of gold in the Kiwari group was the price of gold which had risen significantly in the April-July 2020 period.

This survey actually captures that the budget for investment tends to decrease. Millennials are known to save more during this pandemic. Millennial saving enthusiasm is known to increase by around 5-10%. However, the pandemic factor has also caused the millennial generation’s budget allocations to change a lot. The costs of transportation and travel are two budget items that have diminished considerably since the pandemic began.

The unprecedented situation due to the Covid-19 outbreak is enough reason for millennials to allocate more money to save. The need for pension funds, emergency funds, family savings, buying property, medical expenses, and education funds are respondents’ top priorities when saving.

Nevertheless, the survey overall found that millennials still prefer to save their money in the form of investment (59%) rather than saving (41%). Meanwhile, the most attractive investment, as mentioned earlier, is gold.

“There are 54% of millennials having new investment during the pandemic and gold is the main choice,” said Humprey.

As a digital investment platform, he believes gold offers great opportunities for companies during a pandemic. Gold is indeed one of the investment products offered by Pluang along with other products. The Pluang movement to take advantage of this opportunity has actually been seen since actively engaging other platforms to offer gold investment products.

Gojek and Dana are two of the names they have partnered with over the past few months. Humprey also admits that this is reflected in their current user profile and activity. “So the big picture of investment is very attractive, especially in gold, especially during this pandemic,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Laporan DSResearch: Lanskap Perkembangan Fintech Lending di Indonesia

Financial technology (fintech) jadi salah satu bisnis digital yang mengalami perkembangan sangat pesat di Indonesia. Terbukti, sampai saat ini ada 158 fintech lending yang terdaftar di OJK. Belum lagi pemain lain yang menjadi enabler atau penyedia teknologi pendukung.

Pesatnya perkembangan ekosistem fintech lending melahirkan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) per Oktober 2018 lalu. Fokusnya menjembatani antara pemain dengan regulator untuk menciptakan iklim industri fintech lending yang sehat, sembari bersama-sama meningkatkan inklusi keuangan.

Guna melihat perkembangan bisnis fintech lending di Indonesia, AFPI bekerja sama dengan DSResearch melakukan riset bertakuk “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia”. Sebanyak 146 C-level perusahaan fintech lending di Indonesia berpartisipasi dalam survei ini.

Adapun laporan tersebut berfokus pada 4 bahasan utama, sebagai berikut:

  • Gambaran fintech lending; menjelaskan tentang konsep dasar layanan fintech lending, regulasi, asosiasi yang menaungi, dan para pemain di setiap kategori. Disampaikan saat ini ada empat kategori utama yang digarap, meliputi produktif, konsumtif, dan syariah.
  • Profil fintech lending; membahas tentang profil bisnis dan konsumen fintech lending. Termasuk di dalamnya jangkauan area layanan, total dana yang didistribusikan, hingga tenor pinjaman yang banyak diajukan.
  • Model dan lanskap bisnis; membahas secara spesifik terkait model layanan yang diadopsi tiap pemain, termasuk mendalami tipe layanan di masing-masing kategori.
  • Adopsi teknologi, mitigasi risiko, dan ekspansi; mendalami pendekatan yang dilakukan tiap pemain untuk mengedukasi pasar, melakukan mitigasi risiko pengembalian, penerapan teknologi untuk meningkatkan layanan, dan kanal pencairan dana.

Beberapa temuan yang menarik dari survei di antaranya, kategori produktif memiliki jumlah pemain terbanyak, yakni 57 pemain yang spesifik dan 48 pemain yang akomodasi pinjaman produktif dan konsumtif sekaligus. Kredit konsumtif paling banyak diminati pekerja (full time) dan UMKM (nondigital). Selain itu masih banyak hal-hal menarik lain yang terungkap dalam survei.

Untuk data dan pemaparan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan di berikut ini: Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia.


Disclosure: Dalam penyusunan laporan ini, DSResearch bermitra dengan AFPI sebagai asosiasi yang mewadahi pelaku usaha fintech lending di Indonesia.

Survei Pluang: Emas Jadi Instrumen Investasi Favorit Selama Pandemi

Pluang baru saja menggelar survei yang melibatkan 5500 responden dari sejumlah kota besar di Indonesia. Berfokus pada perilaku investasi dan menabung generasi milenial. Salah satu temuannya, emas jadi pilihan utama (32%) bagi angkatan usia tersebut selama pandemi ini dalam berinvestasi.

VP Business Development Pluang Humprey menjelaskan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan emas jadi pilihan utama milenial. Salah satunya adalah keterjangkauan dengan timbal balik yang cukup menjanjikan.

“Sebanyak 32% generasi milenial dilaporkan mencoba investasi baru yaitu emas. Ini merupakan persentase tertinggi dibandingkan dengan investasi lain yang banyak dikenal seperti reksa dana, saham, dan deposito,” ucap Humprey dalam paparannya.

Paparan Humprey memperlihatkan investasi baru berupa emas yang dipilih responden mereka jauh mengungguli bentuk investasi lainnya seperti saham (15%), reksa dana (16%), deposit (8%), hingga p2p lending (4%). Faktor lain yang turut membantu melambungkan popularitas emas di kelompok kiwari ini adalah harga emas yang sempat naik signifikan pada periodel April-Juli 2020.

Survei ini sejatinya menangkap bujet untuk investasi cenderung berkurang. Milenial diketahui justru lebih menabung selama keadaan pandemi ini. Gairah menabung milenial diketahui meningkat sekitar 5-10%. Namun faktor pandemi juga yang menyebabkan alokasi anggaran generasi milenial banyak berubah. Biaya untuk transportasi dan pelesir merupakan dua pos anggaran yang berkurang jauh sejak pandemi berlangsung.

Ketidakpastian segala hal yang dibawa oleh wabah Covid-19 cukup menjadi alasan bagi milenial untuk mengalokasikan lebih banyak uang untuk menabung. Kebutuhan dana pensiun, dana darurat, tabungan keluarga, membeli properti, biaya kesehatan, hingga dana pendidikan menjadi prioritas teratas responden saat menabung.

Kendati demikian secara keseluruhan survei mendapati milenial masih lebih banyak memilih menyimpan nilai uangnya dalam bentuk investasi (59%) ketimbang menabung (41%). Sementara investasi paling dilirik, seperti disebut sebelumnya, adalah emas.

“Ada 54% milenial memiliki investasi baru selama pandemi dan emas adalah pilihan utamanya,” terang Humprey.

Sebagai platform investasi digital pun meyakini emas menawarkan peluang besar bagi perusahaan selama pandemi. Emas memang salah satu produk investasi yang ditawarkan oleh Pluang bersama produk lainnya. Gerakan Pluang memanfaatkan kesempatan ini sebenarnya sudah terlihat sejak giat menggaet platform lain untuk menawarkan produk investasi emas.

Gojek dan Dana adalah dua dari sekian nama yang mereka gandeng selama beberapa bulan terakhir. Humprey pun mengakui hal itu tercermin dari profil dan acitivity user mereka saat ini. “Jadi gambaran besarnya investasi sangat menarik khususnya emas terlebih di masa pandemi ini,” imbuhnya.

Application Information Will Show Up Here

Survei Ipsos Soroti Tingkat Kepuasan Pengguna Terhadap Layanan Dompet Digital di E-commerce

ShopeePay, uang elektronik milik Shopee, disebut sebagai e-wallet dengan penetrasi terbesar selama tiga bulan terakhir. Sebuah survei menyebutkan bahwa ShopeePay memiliki pengguna dengan tingkat kepuasan tertinggi.

Survei berjudul “Kepuasan, Persepsi, dan Loyalitas Pengguna Dompet Digital di Indonesia” ini dilakukan oleh Ipsos in Indonesia. Dalam survei ini, Ipsos mengukur beberapa hal mengenai penggunaan dompet elektronik di Indonesia mulai dari penetrasi, frekuensi penggunaan, kepuasan, serta pengalaman pengguna.

Ipsos melakukan survei secara daring sejak 16 Oktober sampai 23 Oktober 2020. Sampel yang mereka gunakan mencapai seribu responden dari seluruh Indonesia dengan batasan menggunakan layanan dompet elektronik dan belanja di e-commerce dalam dua tahun terakhir.

Managing Director Ipsos in Indonesia Soeprapto Tan mengatakan, pihaknya melihat ada peningkatan penggunaan dompet elektronik secara signifikan di Indonesia sejak dua tahun terakhir. Peningkatan itu makin tinggi ketika pandemi Covid-19 melanda sehingga mengharuskan banyak orang beralih ke pembayaran non-tunai agar terhindar dari penularan virus. Ia menyebut setidaknya 44% penduduk Indonesia lebih sering memakai dompet elektronik selama pandemi.

“Berdasarkan hal tersebut, Ipsos in Indonesia berinisiatif untuk mengadakan survei lebih lanjut, untuk mengetahui merek dompet digital apa yang memiliki kepuasan, loyalitas, dan persepsi pengguna yang paling unggul,” jelas Soeprapto.

ShopeePay mendominasi

Survei Ipsos menemukan lima besar layanan e-wallet di Indonesia, yakni GoPay, Ovo, Dana, LinkAja, dan ShopeePay. Meski belum terlalu lama muncul, survei mendapati ShopeePay justru mendominasi di setiap aspek penggunaan dompet elektronik. Associate Project Director Ipsos in Indonesia Indah Tanip menjelaskan, dari aspek kepuasan terhadap merek e-wallet. ShopeePay menempati peringkat satu untuk kepuasan ini dengan skor 82%. Angka itu jauh melebihi pemain lain seperti Ovo (77%), Gopay (71%), Dana (69%), dan LinkAja (67%).

Menurut Indah ada beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan pengguna ShopeePay lebih tinggi dari yang lain. Sejumlah faktor itu di antaranya adalah layanan yang mudah digunakan, mudah top up, waktu top up real time, dan banyaknya tawaran promosi saat menggunakannya.

“Terakhir ShopeePay ini selain bisa digunakan di toko online, mulai digunakan di banyak toko offline,” imbuh Indah.

Ipsos juga menyoroti aspek loyalitas pengguna dalam penggunaan dompet elektronik ini. Ipsos mengukur kesetiaan pelanggan ini memakai Net Promotor Score (NPS) guna memahami bagaimana loyalitas pengguna terhadap suatu merek dompet elektronik.

Country Service Line Leader Customer Experience, Channel Performance, and Observer Ipsos in Indonesia Andi Sukma, menjelaskan NPS ini bisa mengukur reaksi pengguna atas penggunaan layanan. Semakin puas dan setia pengguna, semakin besar kemungkinan mereka merekomendasikan produk tersebut ke orang lain. Sebaliknya, jika produk itu tidak memuaskan pengguna dan menimbulkan sentimen negatif, kecil kemungkinan produk itu akan direkomendasikan.

“Bayangkan ini terjadi di seorang yang tergolong influencer,” ucap Andi.

Dalam aspek ini, ShopeePay lagi-lagi unggul dibanding yang lain. Skor NPS ShopeePay berada di angka +42% dari 598 responden, Ovo +34% dari 684 responden, Gopay +28% dari 580 responden. Dana dan LinkAja menyusul di belakang.

“Semua pengguna sebenarnya setia dengan layanannya masing-masing. Akan tetapi ShopeePay punya skor NPS paling setia,” ujar Indah menambahkan.

Berkat pertumbuhan pesat Shopee

Melejitnya kepopuleran ShopeePay tentu saja tak lepas dari performa Shopee sebagai e-commerce. Bertahun-tahun bersaing ketat dengan pemain besar lain seperti Tokopedia dan Bukalapak, Shopee saat ini berhasil mengungguli kompetitornya itu.

Indah menjelaskan bahwa hal itu pula yang berhasil mengangkat ShopeePay dalam waktu singkat. Shopee memperoleh lisensi uang elektronik dari Bank Indonesia di akhir 2018. Layanan itu baru benar-benar optimal berjalan sepanjang tahun lalu.

Menurut Indah Shopee berhasil menggaet banyak pengguna karena bertebarnya harga promo yang hanya bisa digunakan dengan pembayaran ShopeePay. Contoh paling umum adalah gratis ongkir dengan ShopeePay. Selain itu Shopee juga dianggap cukup agresif dalam menggaet merchant offline agar memakai dompet elektronik mereka.

“Hal itu bisa meningkatkan trial rate, dari yang cuma coba-coba lalu malah ketagihan. Itu juga yang membuat mereka menjadi promoter,” terang Indah.

Survei Ipsos ini juga menyimpulkan bahwa ShopeePay adalah merek dompet elektronik dengan penetrasi penggunaan tertinggi selama tiga bulan terakhir dan paling sering digunakan pada Oktober lalu.

Application Information Will Show Up Here

Laporan DSResearch: Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020

Creative hub adalah fasilitas yang dikembangkan untuk mendukung semangat kewirausahaan, bentuknya bisa berupa tempat fisik maupun virtual; untuk mempertemukan orang-orang kreatif dengan berbagai spesialisasi. Selain membuka jejaring, berbagai agenda bertajuk pengembangan bisnis/personal turut diselenggarakan di fasilitas tersebut. Kehadirannya cukup relevan, seiring adanya tren pengembangan UKM atau startup, khususnya di kalangan muda.

Ditinjau dari bentuknya, di Indonesia ada beberapa jenis creative hub yang tersebar di berbagai kota. Di antaranya direpresentasikan dalam coworking space, pusat pelatihan, inkubasi, hingga sistem informasi (virtual). Adapun layanannya mencakup ruang kerja, studio, ruang rapat, dll yang dilengkapi dengan fasilitas seperti konektivitas internet, program konsultasi, hingga dukungan bisnis lainnya.

Untuk melihat lebih detail sejauh mana perkembangan creative hub di Indonesia, DSResearch bekerja sama dengan Direktorat Infrastruktur Ekonomi Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, menyusun sebuah laporan riset bertajuk “Lanskap Creative Hub di Indonesia”.

Beberapa fokus pembahasan yang dirangkum meliputi:

  • Perkembangan creative hub di Indonesia; mengamati perkembangan creative hub dari tahun ke tahun, termasuk di dalamnya tren, model bisnis, dan pelaku industri yang terlibat. Salah satu data menarik yang berhasil dirangkup, saat ini ada lebih dari 300 coworking space yang beroperasi di seluruh Indonesia.
  • Sudut pandang pelaku/pengelola creative hub; menyingkap tantangan, peluang, dampak sosial dan ekonomi dari kehadiran creative hub di berbagai daerah. Termasuk mengamati bagaimana pandemi Covid-19 berdampak pada operasional bisnis unit-unit creative hub di berbagai wilayah.
  • Sudut pandang pengguna layanan creative hub; menggali perspektif dari pengguna layanan creative hub; beberapa pemain yang diwawancara termasuk Fitco, Growpal, Tanihub, Vutura, dan Waktukita. Di dalamnya termasuk memaparkan pertimbangan mereka memilih layanan coworking space untuk mendukung operasional bisnis.
  • Peranan regulator di pengembangan creative hub; mengilas aspek regulasi dan dukungan pemerintah dalam pengembangan creative hub di Indonesia.
  • Proyeksi masa depan creative hub di Indonesia; mendalami masukan pelaku bisnis dan pengguna soal optimasi layanan creative hub untuk mendukung ekosistem kewirausahaan di Indonesia. Termasuk peluang kolaborasi antarpemain dan pemangku kepentingan.

Data dan ulasan selengkapnya dapat dipelajari melalui laporan yang dapat diunduh melalui tautan berikut ini: Lanskap Creative Hub di Indonesia 2020.


Disclosure: DSResearch bekerja sama dengan Kemenparekraf RI dalam penyusunan laporan ini. Kementerian ini membawahi unit khusus Baparekraf yang menaungi pelaku kreatif dan usaha rintisan di Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs resminya: https://www.kemenparekraf.go.id/

Survei MarkPlus: ShopeePay Ungguli Pangsa Pasar Dompet Digital Selama Pandemi

Survei MarkPlus memperlihatkan ShopeePay sebagai aplikasi uang elektronik yang paling populer di Indonesia selama pandemi. Survei yang digelar ini khusus menyoroti penggunaan dompet digital dalam tiga bulan terakhir dan diikuti oleh 502 responden yang mewakili kota-kota besar dengan penetrasi smartphone tertinggi di Indonesia.

Head of Hight Tech, Property & Consumer Goods Industry MarkPlus, Inc. Rhesa Dwi Prabowo menerangkan, latar belakang survei dibuat karena laporan dari Bank Indonesia yang mencatat kenaikan transaksi digital atau uang elektronik semenjak pemberlakuan PSBB mencapai 64,48% dan volume transaksi tumbuh 37,35% secara tahunan.

Industri ini dianggap memiliki potensi besar untuk tumbuh, terlebih dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggunakan sistem pembayaran non-tunai ketika berbelanja online selama pandemi. Selain mengurangi risiko penularan, transaksi non-tunai dianggap memiliki banyak keunggulan, seperti transaksi yang lebih efisien dan efektif.

“Kami melihat adanya kecenderungan peningkatan transaksi secara digital karena masyarakat lebih memilih memenuhi kebutuhannya secara online. Berangkat dari situ, kami ingin melihat merek mana yang memiliki pangsa pasar jumlah atau volume transaksi tertinggi dalam tiga bulan terakhir,” katanya saat konferensi pers secara virtual, Rabu (2/9).

Lebih jauh dipaparkan, ShopeePay unggul dengan pangsa pasar sebesar 26% dari total volume transaksi uang elektronik di Indonesia. Kemudian disusul Ovo (24%), Gopay (23%), Dana (19%), dan LinkAja (8%).

Lebih jauh diterangkan, ShopeePay menjadi pilihan responden sebagai aplikasi yang paling sering digunakan di masa pandemi dengan rata-rata penggunaan sebanyak 7 kali tiap bulan. Berikutnya, Dana (6,4 kali), Ovo (6,2 kali), Gopay (6,1 kali), dan LinkAja (5,7 kali).

Tingginya penetrasi dompet digital, beriringan dengan kepercayaan para pengguna saat bertransaksi. Hal ini tercermin dari nilai transaksi per bulan yang dialokasikan ke dalam merek-merek dompet digital tersebut. ShopeePay kembali menempati urutan pertama dengan total nominal transaksi per bulan sekitar Rp149 ribu, unggul dibandingkan LinkAja, Dana, dan Ovo di sekitar Rp134 ribu, dan Gopay sekitar Rp109 ribu.

Nilai transaksi tersebut menurut para responden digunakan untuk membayar beragam kebutuhan. Untuk ShopeePay, responden menjawab untuk belanja online (97%), mengisi pulsa (67%), dan membayar tagihan utilitas (47%).

Adapun untuk responden yang memilih Gopay, menjawab saldo digunakan untuk membayar ojek/taksi online (68%), mengisi pulsa (56%), dan membayar makanan di tempat makan fisik (52%). Sedangkan untuk Ovo, digunakan untuk mengisi pulsa (59%), belanja online (57%), dan membayar ojek/taksi online (49%).

Terkait persepsi responden mengenai e-wallet masa kini, juga didominasi dengan ShopeePay sebagai pilihan terbanyak untuk pertanyaan tentang pertumbuhan terpesat (33%), menawarkan promo paling banyak (38%), dan mempermudah urusan belanja online (53%). Terkecuali, pertanyaan tentang e-wallet yang paling terpercaya, responden terbanyak memilih Ovo dan Gopay (masing-masing 25%).

Pergeseran konsumsi ke digital

Dalam paparan tersebut, turut mengundang Ekonom Indef Bhima Yudhistira dan Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga. Bhima menjelaskan banyak hal yang bisa disimpulkan dari temuan MarkPlus. Salah satunya adalah positioning mereka di masing-masing segmen.

Misalnya dari Gopay yang unggul di transportasi online dan Ovo yang unggul di pembelian pulsa. Sementara itu, keunggulan ShopeePay dalam masa pandemi ini menandakan adanya perubahan gaya hidup masyarakat. Didukung pula oleh kelengkapan fitur yang disediakan oleh Shopee untuk bertransaksi di dalam aplikasinya.

“Beberapa hari lalu penambahan kasus positif tembus di angka 3 ribu. Ini menandakan akan semakin banyak orang untuk hijrah bergeser dari offline ke online. Di samping itu, kemudahan Shopee sebagai one stop service untuk belanja dan membayar utilitas menjadi yang dibutuhkan konsumen,” terangnya.

Secara industri, dampak positif dengan pesatnya transaksi lewat uang elektronik pada akhirnya akan membuat biaya transaksi turun karena semakin efisien. Hal lain yang turut berdampak adalah dari sisi kesehatan, orang tidak perlu keluar rumah untuk belanja dan membayar sesuatu.

“Sebelumnya aplikasi ini 50:50 untuk transaksi transportasi dan non-transportasi. Transportasi sekarang menurun karena PSBB, penghasilan driver pun menurun, tapi sekarang transaksi lari ke pembelian makanan, berdampak juga ke e-commerce. Berarti sekarang primadonanya bergeser.”

Sebelumnya, ShopeePay meresmikan kehadirannya di Indonesia pada 25 Agustus kemarin, meski secara entitas sudah berdiri sejak 2015. Dalam peresmian tersebut perusahaan sesumbar terkait pencapaiannya saat ini sebagai pemain nomor 1 dengan pertumbuhan terpesat.

Dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan transaksi offline naik 6 kali lipat sejalan dengan ekspansi perusahaan merangkul pedagang online dan offline, serta terintegrasi dengan QRIS. Pencapaian lainnya, perusahaan mencatatkan kenaikan transaksi lebih dari 8 kali lipat di luar jabodatek untuk kurun waktu yang sama.

Fitur transfer antar pengguna (p2p) ShopeePay meningkat 5 kali lipat dan sebanyak 45% pesanan di Shopee Indonesia dibayar dengan menggunakan ShopeePay.

Laporan DSResearch: Edtech Report 2020

Education technology (edtech) menjadi salah satu kategori startup yang berkembang pesat di Indonesia. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari layanan belajar online, manajemen sekolah digital, hingga layanan finansial pemenuhan kebutuhan pendidikan. Banyak di antaranya menyasar kalangan pelajar dan pengajar, namun tidak sedikit juga yang memberikan opsi kepada para profesional dan masyarakat umum untuk mendapatkan konten belajar berkualitas.

Kendati belum sekencang lanskap lain, misalnya fintech, startup pendidikan juga mulai mendapatkan perhatian pemodal; terbukti beberapa startup berhasil memperoleh pendanaan, satu di antaranya yakni Ruangguru bahkan mencapai valuasi di atas $100 juta. Pangsa pasar yang makin matang membuat beberapa pemain edtech dari luar negeri turut menjadikan Indonesia sebagai tujuan ekspansi.

Untuk melihat perkembangan terkini startup edtech Indonesia, DSResearch merilis laporan bertajuk “Edtech Report 2020: Transforming Education”. Terdapat empat bahasan utama yang dirangkum di dalamnya, meliputi:

  • Model bisnis startup edtech; mengulas ragam layanan dan teknologi yang diaplikasikan untuk membawa transformasi dalam pendidikan. Termasuk mengulas beberapa studi kasus dari startup edtech sukses di dunia.
  • Perkembangan ekosistem edtech di Indonesia; merangkum pemain-pemain edtech dari dalam dan luar negeri, pendanaan untuk startup edtech, hingga cakupan layanan yang banyak digarap pemain lokal.
  • Perspektif pengguna layanan edtech; berisi hasil survei konsumen terkait pengalamannya menggunakan layanan berbasis teknologi untuk mendukung kegiatan belajarnya. DSResearch melibatkan 500 responden dalam surveinya.
  • Perspektif pelaku bisnis edtech; berisi hasil wawancara dengan founder startup edtech dan pemodal ventura, mendalami pandangan mereka tentang iklim edtech di Indonesia dan potensinya di waktu mendatang.

Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut: Edtech Report 2020.

Laporan DSResearch: Inovasi Strategis dalam Teknologi Asuransi

Kendati penetrasinya belum besar, bisnis asuransi diproyeksikan akan memiliki nilai fantastis di waktu mendatang. Banyak faktor pendorongnya, misalnya kesadaran pengguna yang semakin meningkat untuk memiliki jaminan hidup yang lebih baik. Terlebih, produk-produk asuransi juga mulai menyasar segmen yang lebih terjangkau, contohnya saat ini mulai marak produk asuransi perlindungan gadget, asuransi perjalanan, dan lain sebagainya; dijajakan dengan harga yang relatif murah.

Dalam rangka mengakselerasi proses penetrasi tersebut, berbagai strategi dilakukan tak terkecuali melalui inovasi teknologi. Terminologi “insurtech (insurance technology)” menjadi ramai akhir-akhir ini, dibarengi dengan banyak pemain startup yang terjun menggarap sektor tersebut. Catatan menariknya, alih-alih mengganggu legasi bisnis yang sudah ada, insurtech berpeluang besar bersinergi dengan perusahaan asuransi untuk menjangkau pangsa pasar yang lebih luas.

Guna melihat tren dan peluang sinergi tersebut, DSResearch berkolaborasi dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) merilis sebuah white paper bertajuk “Insurtech Strategic Innovation”. Di dalamnya merangkum banyak hal, berikut gambaran singkat untuk masing-masing dari tujuh bab yang menjadi pembahasan utamanya:

  1. Mendalami konsep dasar insurtech; menggali tentang apa saja yang dilakukan insurtech dalam upayanya mendemokratisasi bisnis asuransi melalui sentuhan digital. Termasuk melihat peranan berbagai stakeholder dalam perkembangan ekosistem insurtech secara global.
  2. Lanskap bisnis insurtech global; mencatat perkembangan produk teknologi asuransi di dunia dan tren produk terkini yang banyak dikembangkan. Secara spesifik menyusuri pasar di Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, dan Asia Tenggara.
  3. Lanskap bisnis insurtech di Indonesia; perkembangan insurtech di Indonesia, termasuk mendalami pemahaman dan ketertarikan masyarakat terkait penggunaan teknologi untuk memenuhi kebutuhan asuransinya. Turut dipetakan juga beberapa startup teknologi di bidang asuransi yang sudah beroperasi di Indonesia dan model bisnis yang diaplikasikan.
  4. Modernisasi bisnis asuransi dengan teknologi; mengungkap urgensi transformasi digital dalam bisnis asuransi, termasuk menampilkan studi kasus mengenai kolaborasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan asuransi dan startup teknologi di Indonesia.
  5. Tantangan inovasi insurtech; berisi perspektif dari pemain industri mengenai tantangan yang mereka temui dalam mentransformasikan bisnis asuransi perusahaannya ke ranah digital.
  6. Gambaran inovasi terkini di bidan asuransi; memetakan inovasi teknologi asuransi yang ada di Indonesia untuk mengakomodasi berbagai proses bisnis; beserta bentuk-bentuk platformnya.
  7. Studi kasus sinergi perusahaan dengan startup; membahas berbagai kerja sama strategis yang berhasil dilakukan perusahaan asuransi dan startup teknologi di berbagai negara.

Untuk bahasan selengkapnya, silakan unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: Insurtech Strategic Innovation 2020.

Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bermitra dengan Mandiri Capital Indonesia (MCI) yang merupakan corporate venture capital milik Bank Mandiri. MCI aktif berinvestasi ke startup digital di sektor fintech dan turunannya, termasuk insurtech.

Menengok Aplikasi Penunjang Produktivitas Populer Selama Pandemi

Imbauan karantina di rumah selama masa pandemi membuat naiknya berbagai aktivitas yang dilakukan secara online. Sejumlah penggunaan aplikasi di berbagai vertikal menunjukkan kenaikan eksponensial, semisal aplikasi belanja online, hiburan, penunjang kerja, pendidikan, dan pesan antar makanan.

DailySocial dan startup riset pasar Populix membuat survei untuk melihat produktivitas online selama pandemi berlangsung. Survei ini mengambil 966 responden, mayoritas responden berada di Jakarta (50%), sisanya tersebar di Bandung, Surabaya, Makassar, Medan, Semarang, dan Palembang.

Profil responden didominasi oleh laki-laki (60%) dan perempuan (40%). Usia terbanyak adalah kelompok 25-29 tahun (43%), 30-34 tahun (30%), 35-39 tahun (18%), dan 40-45 tahun (9%).

Responden juga menyatakan bahwa mereka sepenuhnya bekerja dari rumah (WFH) sebanyak 42%, semi-WFH (masuk kantor beberapa hari saja dalam seminggu, selebihnya kerja dari rumah) ada (36%), dan sisanya menjawab masih tetap masuk seperti biasa (22%).

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah mengenai kategori aplikasi yang digunakan selama karantina. Menariknya, responden paling banyak menjawab aplikasi produktivitas (seperti video konferensi, platform chat untuk bisnis, dan sebagainya) sebanyak 68%. Lalu disusul aplikasi hiburan (66%), aplikasi belanja (52%), aplikasi layanan pesan antar makanan (53%), dan aplikasi pendidikan (32%).

Tulisan ini akan khusus mendalami temuan kami dalam penggunaan aplikasi produktivitas, termasuk edukasi online, yang mendukung responden selama karantina. Aplikasi terpopuler yang paling banyak dipilih responden untuk bekerja adalah WhatsApp (68%), Zoom (16%), Google Meet/Hangout (4%), Facebook Messenger (4%), Skype (3%), Teams (2%), Slack (1%), dan lainnya (3%).

Jawaban yang paling banyak diberikan untuk durasi yang dihabiskan responden setiap harinya dalam mengakses aplikasi populer tersebut adalah lebih dari 5 jam (42%), 3-5 jam (26%), 1-3 jam (25%), dan kurang dari 1 jam (7%).

Pemanfaatan aplikasi edukasi online, turut disertakan untuk menambah tambahan informasi dari responden. Aplikasi yang paling banyak dipilih adalah Skill Academy by Ruangguru (66%), Arkademi (5%), Udemy (4%), Coursera (2%), Dicoding (2%), Hacktiv8 (2%), RevoU (2%), Udacity (2%), dan HarukaEdu (2%), Codepolitan (1%), Edx (1%), dan lainnya (12%).

Mereka memilih aplikasi tersebut karena ingin menambah pengetahuan (45%), konten lengkap (35%), harga murah (15%), dan lainnya (5%). Durasi yang dipakai setiap harinya saat mengakses aplikasi adalah 1-3 jam (49%), kurang dari 1 jam (25%), 3-5 jam (20%), dan lebih dari 5 jam (6%).

Menurut rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic”, dikutip dari Shift in the Low Touch Economy dan Board of Innovation, dipaparkan utilisasi aplikasi konferensi video tidak lagi sekadar untuk produktivitas kerja dan belajar, tetapi bergeser sebagai kegiatan sosialisasi.

Tercatat secara global, kenaikannya drastis sejak awal Januari sebesar 2% hingga awal Maret 2020 menjadi 55%. Data lain dari Brandwatch dan DW Report menyatakan Hangout dan Zoom mendominasi sebagai aplikasi konferensi video terpopuler. Bahkan basis pengguna Zoom disebutkan tumbuh dua kali lipat.

Minim partisipasi lokal

Satu poin yang terlihat dari hasil survei di atas adalah minimnya awareness responden terhadap kehadiran pemain lokal yang ikut menjajal kue bisnis yang sama.

Menurut SimilarWeb, WhatsApp menempati posisi pertama untuk aplikasi yang paling banyak dipakai orang Indonesia, khususnya di Google Play Store. Sementara, Zoom menempati posisi ke 11, menurut data termutakhir (diakses 3/5/2020).

Cerminan yang sama juga ditemukan Statista untuk aplikasi messaging terpopuler berdasarkan jumlah pengguna terbanyak di global. Pemenangnya tak lain adalah WhatsApp, lalu disusul Facebook Messenger, WeChat, QQ Mobile, Telegram, dan Snapchat, per Oktober 2019.

Diklasifikasi lebih jauh oleh SimilarWeb menurut kategori aplikasi bisnis, Zoom ada di urutan teratas, lalu disusul Hangouts Meet (2), Cisco Webex Meetings (3), Microsoft Teams (5), dan Video Conference – TeamLink (14).

Tidak nampak satupun platform konferensi lokal di peringkat ini.

DailySocial menemukan beberapa platform konferensi lokal yang hadir dan memberikan solusi yang sama, di antaranya Qiscus Meet, Biznet Gio Meet, dan liteMeet (milik liteBIG). Ketiganya menawarkan layanan secara gratis dan sebenarnya punya kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan aplikasi populer.

Dari level korporasi, ada Telkomsel dengan layanan serupnya diberi nama Cloud X. Layanan tersebut sebenarnya dirilis sejak awal tahun ini, namun tersedia untuk konsumen korporasi.

Perwakilan Telkomsel mengklaim peningkatan pengguna begitu terasa drastis sejak pemberlakuan kerja di rumah, naik 5000%, atau mencapai lebih dari 2000 akun. Dengan penjualan silang, pelanggan korporasi yang telah menjadi mitra dan pengguna operator seluler Telkomsel mendapat sejumlah keuntungan, misalnya harga paket yang jauh lebih murah.

Dari kalangan startup, ada Synergo yang mencoba jadi payung utama untuk seluruh kebutuhan kerja remote. Mereka membuat sistem Workflow Management System berfungsi untuk mengubah berbagai aplikasi penunjang kerja yang biasa dipakai perusahaan seperti Trello, Slack, Salesforce Asana, dan Dropbox menjadi satu payung saja.

Perusahaan sedang mengembangkan fitur video dan voice call yang masih dalam tahap beta untuk melengkapi layanannya tersebut. Mereka juga mengklaim jumlah pengguna Synergo yang melakukan sign up mandiri naik 10 kali lipat sejak Maret 2020.

Kesempatan pemain lokal untuk bersaing akan semakin kecil bila model bisnis yang diterapkan langsung ke end-user. Ironi tersebut bisa dilihat dari perjalanan pivot liteBIG. Sejak 2016, perusahaan masuk ke ranah korporasi menawarkan solusi private messenger platform.

Kini mereka memosisikan diri sebagai superapp untuk chat messenger dengan menambahkan fitur Timeline, SocioCommerce, Pembayaran PPOB, Transfer, Donasi, Kulbig, Event dan Qurban.

Kondisi tersebut juga dialami oleh Qiscus, awalnya mereka adalah penyedia solusi multiplatform messenger untuk korporat. Kini, mereka beralih sebagai penyedia multichannel chat untuk meningkatkan consumer experience buat pelanggan korporasi. Salah satu bentuknya adalah solusi in-app chat.

Dari dua contoh di atas memberikan gambaran jelas bahwa kesempatan pemain lokal agar bisa bersaing dengan aplikasi global, apabila bisnisnya langsung ke end user, bisa dipastikan kurang memiliki kesempatan untuk bersaing secara sejajar. Mengombinasikan ekosistem atau khusus menyasar pelanggan korporat seperti yang dilakukan Telkomsel dan Synergo bisa menjadi strategi bertahan.

Lantaran, aplikasi konferensi video diposisikan sebagai nilai tambah yang diberikan buat pelanggan dari semua rangkaian ekosistem layanan penunjang produktivitas kerja dan berbisnis.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix